Bab 2. Pendekatan Teoritis. 64800ruhevqq
Bab 2. Pendekatan Teoritis. 64800ruhevqq
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
A. Kajian Penelitian
Tulisan ini berangkat dari pengkajian pada beberapa literatur
dalam bentuk penelitian, baik yang terpublikasi melalui jurnal maupun
buku, dan penulis juga melihat dari berbagai pendekatan. Penulis
terinspirasi dan berusaha untuk melengkapi beberapa hasil penelitian dan
publikasi yang sudah ada, khususnya tentang industri media televisi
terutama terkait sinetron. Kajian penelitian terdahulu ini sebagai bentuk
penekan untuk orisinalitas kajian dalam buku ini. Beberapa penelitian
tersebut dianggap menarik sebagai rujukan karena relevan untuk
perbandingan dan pembeda yang juga diambil dari beberapa pendekatan,
paradigma atau perspektif yang berkembang dalam ilmu komunikasi.
Paradigma atau pendekatan yang diterapkan dalam ilmu
komunikasi sangat beragam. Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat
perdebatan seru di antara ahli atau peneliti mengenai isu cara pandang
terhadap dunia. White dan Klein (2002), Miller (2002), Guba (1994) dan
Hidayat (1999:34) mengelompokkan pada tiga paradigma. Mereka semua
membahas mengenai tiga perbedaan filosofis dari ontologi, epistemologi
dan aksiologi secara terpisah. Pertama, paradigma klasik, (mencakup
positivisme dan postpositivisme) yang beorientasi pada upaya melakukan
pengujian hipotesis, melalui laboratorium, eksperimen, atau survey
eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Kedua, paradigma konstruktivis,
bersifat reflektif/dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan
subjek yang diteliti perlu adanya empati dan interaksi dialektis agar
mampu mengkonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif
seperti partisipant observation. Ketiga, paradigma kritis, lebih
berorientasi partisipatif, dalam arti mengutamakan analisis komprehensif,
kontekstual dan multi-level analisis serta peneliti berperan sebagai aktivis
atau partisipan.
Tiga kategori filosofi tersebut digambarkan dalam bentuk yang
ekstrem dan banyak peneliti tidak dapat mengidentifikasikan dirinya
sendiri sebagai pengikut salah satu dari ketiga bentuk pandangan ekstrem
17
18
tersebut (dalam West &Turner, 2009: 75). Tiap pendekatan atau perspektif
menawarkan hal yang berbeda mengenai definisi kebenaran dan metode
yang terbaik untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, metode penelitian
selalu didasarkan atas teori atau perspektif yang melatarbelakanginya.
1. Pendekatan Positivistik
Pendekatan ini berasumsi bahwa kebenaran objektif dapat dicapai
dan melalui proses meneliti dengan bebas nilai. Tradisi ini mendukung
metode sains atau ilmu alam, dengan tujuan untuk membentuk teori yang
bersifat umum dalam mengatur interaksi manusia. Peneliti pada tradisi ini
berusaha objektif dan bekerja dalam kontrol atau arah ke konsep penting
yang ada dalam teori. Ada beberapa penelitian yang bisa diambil rujukan
dalam penulisan buku ini.
Pertama, penelitian Courtney Anderegg, Katherine Dale & Jesse
Fox (2010: 25-44) Effects of Violence Against Women in Popular Crime
Dramas on Viewers' Attitudes Related to Sexual Violence, dalam Jurnal
Mass Communication and Society. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan pengaruh kekerasan terhadap perempuan dalam drama
kriminal populer terhadap sikap penonton. Kelompok didesain untuk
eksperimen yang respondennya hanya ditujukan pada 176 mahasiswa
perguruan tinggi (80 laki-laki, 96 perempuan). Mereka diminta
menyaksikan adegan drama televisi yang menyajikan kekerasan, baik
yang termasuk kekerasan seksual maupun yang bersifat fisik terhadap
perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dampak dari drama
kejahatan pada kesenangan, stereotip jender, penerimaan objektifikasi
perempuan, dan penerimaan mitos pemerkosaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden laki-laki yang
menonton tayangan kekerasan seksual menyatakan kurang mendukung
untuk stereotip gender tradisional. Tidak ada pengaruh yang signifikan
hasil di antara peserta laki-laki kecuali bahwa mereka beranggapan bahwa
tayangan kekerasan fisik menjadi yang paling menyenangkan buat
mereka. Hasil dari reponden peserta perempuan tidak sama dan lebih
cenderung tercampur. Implikasi penelitian ini dibahas dalam kerangka
teori kognitif sosial dan potensi manfaat yang dirancang dengan baik, di
mana drama televisi kriminal untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap
perempuan.
Kedua, penelitian Hassaan Namdar, Mahwish Hassan &
Muhammad Akram Naseem (2013) dengan judul ―Effect of Local
Television Dramas on Consumer Behavior of Females”. Penelitian ini
juga berperspektif positivis, kajian ini bersifat implementatif terkait
dengan pemasaran. Penelitian ini dilatari oleh perilaku konsumen yang
18
19
19
20
20
21
21
22
3. Pendekatan Kritis
Pendekatan kritis ini erat kaitannya dengan pemahaman
pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan. Tradisi kritis ini berasumsi
bahwa ilmu tidak mungkin ada tanpa adanya ideologi. Peneliti kritis
meyakini bahwa mereka yang memiliki kekuasaan membentuk
pengetahuan, dalam arti bahwa pekerjaan mereka adalah untuk
mempertahankan kondisi yang sudah ada (status quo). Jadi orang yang
mempunyai kekuasaan baik ekonomi maupun politik berusaha agar
mereka tetap berkuasa, termasuk membungkam suara kelas yang
subordinat atau kaum minoritas yang mempertanyakan dan menantang
distribusi kekuasaan dan kebenaran versi penguasa. Bagi para peneliti
kritis, sangat penting untuk mengubah status quo untuk menyelesaikan
ketidakseimbangan kekuasaan dan untuk menyalurkan suara mereka
kepada mereka yang dibungkam oleh struktur kekuasaan tersebut.
22
23
23
Kedua, ada penelitian dari Iswandi Syahputra (2010), ―Simulasi
Islam Mistik dan Implosi Makna Religius dalam Sinetron Rahasia Ilahi
pada Stasiun TPI (MNCTV)‖. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap
bentuk-bentuk simulasi dalam sinetron mistik dan mistik religius yang
ditayangkan di televisi. Kajiannya menggunakan paradigma kritis melalui
pendekatan posmodernisme atau teori simulasi dari Jean Boudrillard
(1983). Hasil penelitian ini adalah berbagai jenis mistik-religius dalam
sinetron yang ditayangkan oleh sejumlah televisi menunjukkan televisi
telah menjadi centrum simulakra. Simulacra mistik terjadi bukan karena
faktor rutinitas media mensimulasi mistik, tetapi ketelibatan faktor adanya
konstruksi mystic society dan terpaan modernitas pada sektor keagamaan.
Kedua faktor tesebut termanifestasikan dalam berbagai simulasi mistik
oleh sinetron religius.
Simulasi mistik melalui sinetron yang ditayangkan melalui televisi
berakibat pada kaburnya sebuah realitas. Tayangan mistik di televisi
bukan lagi representasi atau konstruksi realitas adanya masyarakat yang
mistis, tetapi menjadi realitas itu sendiri. Pada tahap inilah suatu simulasi
dapat memicu sebuah implosi, yakni suatu ledakan ke arah dalam, sebagai
akibat adanya konstraksi makna. Agama tidak lagi bermakna memberi
rahmat dan kedamaian, melainkan bergeser sebagai agama sebagai sesuatu
yang menebar horor dan ketakutan.
Penelitian Syahputra mengkaji sinetron religi mistik yang sangat
tren pada masanya dengan pendekatan posmodernisme. Sinetron yang
muncul sekarang sudah bergeser pada sinetron religi yang tidak lagi
memunculkan cerita mistik lagi. Perbedaan dengan penelitian ini ada pada
perspektif, teori, dan metode, dimana penelitian ini lebih mengarah ke
wacana kritis.
Ketiga, penelitian Yu Shi (2008) yaitu The Rise of China’s Media
Supermarket: An Appraisal of Cultural Imperialism’s Relevance to the
Chinese TV Industry. Penelitian ini menjelaskan tentang komersialisasi
pada televisi Cina dalam program, genre, format, dan tema-tema isi.
Komersialisasi diekspresikan dalam interpretasi batasan masing-masing
pelaku industri televisi. Banyak yang menolak akan gejala komersialisasi
ini, namun secara paradox mereka menerima sebagai tujuan, bahkan
bagian dari pembangunan televisi China. Beberapa faktor yang membatasi
interpretasi pelaku profesional industri di antaranya adalah termasuk
pengaruh global ideologi kapitalis neoliberal, ideologi pembangunan
partai China, perspektif sosial elit professional itu sendiri, dan propaganda
China post-komunis. Batasan interpretasi ini sebagai faktor penekan
mengindikasikan kelaziman ideologi kapitalis neoliberal di China, bukti
ketepatan para ahli terhadap imprealisme budaya.
24
25
B. Kajian Teoritis
1. Teori Kritis
Teori kritis menjadi landasan utama dalam tulisan ini,
sebagaimana yang sudah penulis jelaskan sebelumnya. Pembacaan realitas
komunikasi melalui pendekatan kritis seperti ini, tentu saja berbeda dalam
banyak hal dibanding dengan perspektif positivis atau konstruktivis.
Alasan utama peggunaan teori ini adalah persoalan mekanisme pasar dan
dominasi kapitalisme yang menjadi ideologi media televisi. Yang kedua,
media televisi juga melakukan proses hegemoni, dominasi dan
marjinalisasi terhadap kepentingan publik dan mengkomodifikasi simbol-
simbol agama Islam dan budaya Betawi yang populer di masyarakat untuk
kepentingan bisnis belaka.
Teori kritis ini adalah produk dari sekelompok neo-Marxis yang
tidak puas dengan teori Marxian, khususnya kecenderungan teori ini yang
mengarah pada determinisme ekonomi. Kemunculan pemikiran dengan
pendekatan kritis ini dilatarbelakangi perdebatan para ilmuwan pada
kongres yang diadakan oleh Deutche Gesellschaft fur Soziologie di
Tubingen pada 1961 – 1965 (Dominic, 2009:95). Pertemuan tersebut
memperlihatkan kritik tajam Mazhab Frankfurt terhadap positivisme.
Habermas menyebutkan bahwa teori kritis merupakan kritik ideologi
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses
kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial
yang masing-masing berhubungan satu sama lain.
Terkait dengan ini, pola praktik kapitalisasi media dan
produksinya di bawah pengaruh pemilik modal dan dijalankan dengan
persaingan pasar bebas. Hubungan antara pemilik modal, pelaksana modal
dan pekerja didasarkan pada kepentingan pasar yang berorientasi pada
keuntungan material tanpa dibarengi dengan refleksi diri secara
komprehensif (Giddens, 2010: 290). Pada akhirnya pola seperti ini
mereduksi nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dimiliki para pekerja
dan mengarahkan pada nilai-nilai ekonomi semata (Beilharz, 2005:275).
Selain itu pola ini juga dapat membahayakan demokrasi dan kebebasan
informasi. Betapa tidak, gagasan ruang publik yang bebas dari dominasi
justru dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, kepentingan pasar dan
kepentingan pemilik modal.
35
36
36
37
37
38
38
39
eksploitatif dalam relasi sosial dan ekonomi, tidak dapat diruntuhkan oleh
revolusi pekerja. Murdock dan Golding (dalam Strinati, 2004: 150)
berusaha mengadaptasi pandangan ideologi Marx tentang pendekatan
ekonomi politik untuk menganalisis media massa (1977). Ia berbendapat
bahwa pernyataan Marx dalam German Ideology memerlukan tiga
proposisi empiris yang mereka tunjukkan dapat divalidasi secara
memuaskan: bahwa produksi dan distribusi gagasan dipusatkan di tangan
para pemilik sarana-sarana produksi kapitalis; bahwa karena itu gagasan-
gagasan mereka semakin mengemuka dan mendominasi pemikiran
kelompok-kelompok subordinat; dan karena itu dominasi ideologis ini
berfungsi mempertahankan sistem ketidaksetaraan kelas yang umum
terjadi di mana memberi hak istimewa kelas penguasa dan
mengeksploitasi kelas-kelas subordinat.
Menurut Max Weber inti dari kapitalis adalah orientasi rasional
keuntungan ekonomi. Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi
dan reproduksi dijadikan komoditas untuk dipasarkan dengan tujuan
mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan
untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna akan tetapi untuk mencari
nilai lebih (surplus value) dari nilai tukar (Abrahamson, 1991:209).
Dalam formulasi aslinya, kerangka Weber ini menjelaskan sebuah
perubahan sosial bukan perubahan kritis. Spirit kapitalisme menurutnya
didorong sebuah perubahan sosial melalui semangat agama (terutama
Protestan)—melalui konsekuensi yang tidak disengaja—realitas dorongan
ekonomi (Fisher, 2010: 25).
Saat ini kapitalisme sudah mengalami transformasi atau perubahan
bentuknya dari fase industri ke post-industri. Perubahannya tidak hanya
dalam struktur dan teknologi tetapi juga dalam bentuk fungsi legitimasi
wacana teknologi. Melalui teknologi jaringan (network technology) tidak
saja membawa revolusi sosial dengan transformasi masyarakat
kapitalisme lanjut, namun juga pada transformasi kapitalisme itu sendiri.
Eran Fisher (2010:11) juga menjelaskan bahwa spirit jaringan adalah spirit
baru tekno-kapitalisme kontemporer, yang menawarkan kerangka
teknologistik pada transformasi struktural kapitalisme dari Fordisme ke
post-Fordisme.
Selain itu, Schiller (1985) mengungkapkan bahwa media cocok
dengan sistem kapitalis dunia dengan menyediakan dukungan ideologis
bagi kapitalisme, dan korporasi transnasional khususnya (dalam Baker,
2004:295). Media dianggap sebagai kendaraan bagi pemasaran korporat,
manipulasi penonton, dan menjadikan mereka sebagai pemasang iklan. Ini
sejalan dengan efek ideologis dimana pesan media menciptakan dan
memaksa keterikatan penonton kepada status quo. Ini adalah bentuk
39
40
40
41
41
42
42
43
basis definisi kelas. Cara spesifik dimana surplus diambil oleh kelas
penguasa inilah yang menentukan mode produksi spesifik. Misalnya, di
dalam kapitalisme, kepemilikan alat-alat produksi oleh borjuis
membuatnya mampu memperkerjakan buruh dan mengambil surplusnya
dalam bentuk profit. Metode pengambilan surplus ini karenanya nampak
murni ekonomi, didasarkan pada aturan pertukaran atau perdagangan yang
tampak adil.
Terkait dengan eksploitasi ini, ada konsep yang juga
mengiringinya yaitu alienasi. Outhwaite (Ed), (2008:13) dalam
Ensklopedi Pemikiran Sosial Modern, menjelaskan bahwa alienasi adalah
proses historis dimana manusia semakin terasing dari alam dan juga dari
produk aktivitas mereka (komoditas dan kapital, institusi sosial dan
kebudayaan) yang kemudian oleh generasi selanjutnya dipandang sebagai
kekuatan yang lepas dan tertindas, yakni realitas yang teralienasi. Aliensi
juga mengacu pada perasaan terasing dari masyarakat, kelompok, kultur
atau diri sendiri yang umumnya dirasakan oleh orang yang tinggal di
masyarakat industrial yang kompleks, seperti halnya kota Jakarta dan kota
besar lainnya di Indonesia.
Dalam karya Marx, proses historis dari alienasi telah mengubah
manusia sebagai subjek kreatif menjadi objek pasif dalam proses sosial.
Humanisme sekuler Marx banyak didasarkan pada teori agama materialis
Ludwig Feurbach dimana dia mengklaim bahwa manusia telah
menyerahkan esensinya dan potensinya sendiri kepada Tuhan, yang
menyebabkan diri mereka teralienasi. Dalam Manuscripts, Marx
mengklaim bahwa alienasi religius hanya salah satu aspek kecenderungan
manusia untuk mengasikan diri mereka sendiri dari produk-produk buatan
mereka sendiri, yang dapat dijelaskan sebagai aspek alienasi ekonomi
(Outhwaite, 2008:14).
Berkaitan dengan ini, Kruger & Johanssen (2014: 634) dan Ritzer
(2012: 88-91) menjelaskan bahwa ada empat dimensi mendasar alienasi.
Pertama, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis dialienasi dari
kegiatan produktifnya. Mereka tidak menghasilkan objek-objek menurut
ide-ide mereka sendiri atau memenuhi kebutuhan mereka sendiri secara
langsung. Kedua, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi
bukan hanya melalui kegiatan-kegiatan produktif tetapi juga dari objek
kegiatan-kegiatan itu. Produk pekerjaan mereka bukan milik para pekerja,
tetapi milik para kapitalis. Ketiga, para pekerja di dalam masyarakat
kapitalis teralienasi dari para rekan kerjanya. Para pekerja dipaksa
memasuki kompetisi total, menghasilkan lebih banyak, bekerja lebih cepat
dan kadang-kadang konflik antara satu dengan yang lain. Keempat, para
43
44
44