TESIS
Dwi Kristianto
NPM : 0806482346
1
PROGRAM PASCASARJANA KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPOK
DESEMBER 2010
BAB 1
PENDAHULUAN
2
terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil
masyarakat.
3
terkendali, masalah lingkungan sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan dan
masalah lainnya.
4
investasi khususnya usaha produksi hutan (HPH/HTI), perkebunan skala besar
dan pertambangan telah menghilangkan kesempatan masyarakat lokal untuk
memanfaatkan tanah dan hutan(sumberdaya agraria) yang meraka miliki.
5
yang berkepentingan untuk memperkaya kajian akademis dalam upaya
pelaksanaan landreform di Indonesia. Selain itu penelitian ini untuk memperkaya
kajian tentang isu-isu pembangunan sosial dalam pembangunan Indonesia.
6
Gambar: 1.1 Kerangka Operasioanal Penelitian
7
tentang pola penguasaan, pemilikan, dan pengusahaan lahan secara komunal
masih sangat sedikit, sehingga tipe penelitian eksploratif ini dipilih dalam
penelitian ini.
8
Tabel 1.1 Theoretical Sampling
N INFORMASI YANG
INFORMAN JML
O DIBUTUHKAN
1. 2 3 4
9
1.1.4. Unit Analisis.
Unit analisis adalah berbagai bentuk atau pola penguasaan, kepemilikan
dan pemanfaatan lahan komunal dan seperti apa tipe dan ciri-ciri pengelolaan
lahan komunal di Indonesia. Selain itu juga opini model ideal dalam perspektif
pemerintah, penelitian dan akademisi, lembaga riset dan NGO dalam upaya
mendorong kebijakan operasional program Pembaharuan Agraria di Indonesia.
Semua kajian akan didasarkan atau diklarifikasi dengan UUPA tahun 1960 dan
paradigma Pembangunan Sosial.
10
“choosing an appropriate expert panel is critical for success. It is the
first stage of the of delphi proses and regarded as the ‘lynchipin of the
method'”
Yang dimaksud adalah, penentuan informan menjadi sangat penting karena hal
ini sangat mempengaruhi hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan
penelitian. Ada dua alasan kenapa expert sampling digunakan. Pertama, ini
adalah cara terbaik untuk memperoleh sampel orang yang punya specific
expertise. Dalam hal ini, expert sampling adalah hal yang khusus dari
purposive sampling. Alasan kedua, adalah expert tersebut dapat digunakan
sebagai bukti penguat validitas sampel yang dipilih mengunakan metoda non
probabilistik lainya.
11
Analisis data dalam penelitian ini akan mengunakan metode analisis
deskriptif. Metode analisis ini dipilih untuk membuat analisis secara sistimatis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan pola kepemilikan
lahan dan model-model landreform yang dikembangkan di Indonesia. Pendekatan
ini dipilih untuk menyajikan berbagai aspek yang terkait dengan program
landreform dimana aspek ekonomi, sosial budaya dan politik dapat dipadukan
dalam pelaksanaan program ini.
12
BAB V Hasil dan Pembahasan: Dalam bab ini berisi tentang analisis pola-
pola penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan lahan komunal, dimana hasil
temuan penelitian diinterpretasikan dengan gugus teori yang digunakan pada bab
sebelumnya yaitu kajian berbagai model landreform di Indonesia, yang susuai
dengan tujuan pembangunan sosial dan prespektif UUPA 1960.
BAB VI Penutup: Bab ini berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi,
yakni tentang kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang dilakukan, serta
saran yang dapat direkomendasikan dari hasil analisis yang dilakukan.
13
BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN
Pada bagian ini akan memaparkan tentang teori-teori yang melandasi penelitian
ini, meliputi paradigma pembangunan nasional, paradigma pembangunan sosial,
reforma agraria dan landreform.
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembangunan secara fisik tidak bisa lepas
dari lahan dan ruang, maka lahan menjadi kunci dari proses sebuah pembangunan.
Bagaimana menempatkan lahan sebagai modal pembangunan yang menghadirkan
kesejahteraan bagi masyarakat dan kestabilan ekosistem, tergantung dari
paradigma dan bagaimana menempatkan lahan sebagai sumber daya yang bisa
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk itu, bab ini akan menguraikan
pemahaman kembali apa arti pembangunan yang sesungguhnya.
Istilah ”pembangunan” pada mulanya adalah sekadar terjemahan dari
bahasa Inggris development. Sebelum Perang Dunia II, istilah pembangunan juga
telah dipakai oleh tokoh pergerakan Indonesia. Akan tetapi makna yang
dimaksudkan mungkin sedikit berbeda dari apa yang sekarang dimengerti secara
umum. Saat itu, makna pembangunan mengacu pada tiga makna sekaligus antara
lain(Wiradi, 2000, hal.152):
14
16
(c) Membangun secara fisik, bagi kesejahteraan rakyat.
Tujuan pokok yang harus difasilitasi pemerintah melalui pembangunan
untuk setiap individu masyarakatnya adalah : Kecukupan, Harga Diri dan
Kebebasan dari Sikap Menghamba. a). Kecukupan adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sedangkan yang disebut sebagai
kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan
menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan keamanan, b). Harga Diri yaitu menjadi manusia
seutuhnya yaitu adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri
sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan
seterusnya, c). Kebebasan dari Sikap Menghamba adalah kemampuan untuk
memilih nilai universal, kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan
secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak
oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini (Todaro dan Smith,
2006, hal.27-28)
15
pada pembangunan ekonomi. Paradigma tersebut didasarkan pada teori
pertumbuhan yang digagas oleh Rostow. Teorinya yang terkenal ialah teori ”lima
tahapan pertumbuhan ekonomi” (Rostow dalam Fakih, 1960).
16
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterakan manusia
walaupun dengan paradigma proses yang berbeda ketika banyak kalangan
membahasnya. Proses pembangunan akan diawali dengan menggali sumber-
sumber daya yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan sumber daya
melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada keluaran
(output) atau hasil yang akan dicapai (outcome).
17
pada sisi lain konsep ideasional tentang tujuan pembangunan sosial jarang sekali
didefinisikan dengan menggunakan indikator kuantitatif. Tetapi tujuan ini
digambarkan dengan istilah abstrak dan melibatkan penjelasan deskriptif dan
normatif yang melibatkan metode kualitatif tentang interaksi manusia, arti hidup
dan partisipasi dalam pembuatan putusan pembangunan”.
Komponen spesifik atas "kehidupan yang serba lebih baik" itu, bertolak
dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di semua masyarakat paling
tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro dan Smith, 2006,
hal.28-29):
18
3. Empowerment. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada
masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang
ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang
sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan.
4. Sustainability. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk
membangun secara mandiri.
5. Independence. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang
satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling
menguntungkan dan saling menghormati.
Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi
sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan
material dan non-material. (Midgley, et al 2000:xi) mendefinisikan kesejahteraan
sosial sebagai ”...a condition or state of human well-being”. Kondisi sejahtera
terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar
akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi;
serta manakala manusia memperoleh perlindungan risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya (Suharto, 2008, hal.104).
19
pembangunan yang selama ini mengutamakan pembangunan ekonomi. Ada
keyakinan yang kuat bahwa kesejahteraan rakyat (human well being) tidak
semata diukur dari pertumbuhan ekonomi (material) tetapi juga diukur dengan
indikator-indikator kesejateraan sosial. Karena itu pembangunan sosial juga
hendak mengatasi korban-korban pembangunan ekonomi yang berideologi
developmentalism seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran,
penggusuran, maupun kerentanan sosial yang lain.
20
Pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pembangunan yang
berbasis masyarakat untuk membantu menyelesiakan permasalahan-permasalahan
masyarakat, pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dari masyarakat. Bukan sesuatu yang dirancang dari luar yang sering
kali justeru meminggirkan kepentingan dan keberadaan dari masyarakat.
21
manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a
process of expanding the real freedoms that people enjoy) (Sen, 2000).
22
atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya:
patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
"Tanah adalah pusaka, tanah adalah sumber kekuatan dan jaminan hidup
bagi bangsa sejak purbakala sampai ke akhir jaman"(Singgih Praptodiharjo
(1951) dalam Sinambela (1997)).
23
tanah bagi orang Lampung merupakan hidup mati manusia itu", dan oleh orang
Aceh, menyatakan bahwa tanah berasal dari Tuhan, tanah-tanah bebas yang belum
digarap oleh manusia disebut "Haqqullah" sedang tanah-tanah yang telah digarap
disebut "Haqquladam" (Singgih Praptodiharjo, 1951 dalam Sinambela,1997).
Kondisi tersebut disadari oleh para pemimpin bangsa, karena itulah dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, sebagai berikut bahwa "Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Hal yang berkaitan
dengan pasal ini, kemudian diperjelas dan dijabarkan lagi dalam Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya di lapangan.
24
bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-
hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Sementara, pasal 16 ayat 2
menjelaskan hak-hak atas ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4
ayat (3) yaitu :Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam
pasal 4 ayat (3) ialah:a. hak guna air, b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Selain hak-hak tersebut di atas, masih ada hak pengelolaan yang berasal
dari hak pengusahaan tanah-tanah negara sebagai dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah No.8 Tahun 1953. Hak pengelolaan ini tidak ditemukan dalam UUPA,
tetapi telah diatur dengan Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, tentang :
"Pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan
tentang kebijaksanaan selanjutnya". Hak pengelolaan diberikan kepada instansi-
instansi Pemerintah seperti Departemen-Departemen dan Lembaga-Lembaga Non
Departemen serta Badan Milik Daerah yang selain dipergunakan sendiri juga
dapat diberikan kepada pihak ketiga.
25
sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUPA, tidak boleh dipergunakan
semuanya, tetapi harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tentunya kondisi ini bukan kondisi yang diinginkan. Karena kondisi ini
akan semakin menjadikan adanya ketimpangan dalam penguasaan dan
kepemilikan tanah. Seperti dikutip dalam Wiradi (1996), dalam salah satu pidato
Bung Hatta di Yogyakarta pada tahun 1946, terkandung suatu pandangan
26
mengenai masalah pertanahan. Apabila diperinci, pesan itu terdiri dari 10 butir, 4
(empat) butir di antaranya relevan disebutkan di sini yaitu:
(1) Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas dan
memeras hidup orang banyak.
(2) Tanah yang dipakai oleh kebun-kebun besar itu pada dasarnya adalah tanah-
tanah milik masyarakat.
(3) Tanah tidak boleh menjadi "obyek perniagaan" yang diperjualbelikan semata-
mata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh
diperlakukan sebagai komoditi).
(4) Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dan negara, karena
negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum.
Tanah sebagai aset mempunyai ciri-ciri yang khas ditentukan oleh lokasi,
komposisi, dan struktur partikel-partikel di dalamnya. Daya produksi itulah yang
menjadikan tanah bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan begitu saja.
Karena sukar diganti (replaced), oleh segenap bangsa tanah diperlakukan dan
dilindungi secara khusus. Peperangan antar bangsa atau revolusi dalam
27
masyarakat dapat meletus bila penguasaan atas tanah tidak diatur secara adil dan
baik (Tjondronegoro, 1996).
28
atau hanya menguasai tanah sempit yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup petani secara minimal. Padahal konstitusi telah mengamanatkan secara
tegas bahwa negara harus menjadi pembela dan memastikan terpenuhinya
kepentingan, kesejahteraan dan kedaulatan akan sumber daya. Di sinilah kenapa
Reforma Agraria (landreform) menjadi penting untuk dilakukan sebagai upaya
menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia dari akar masalahnya.
29
adaptif terhadap kondisi dominan masyarakat yang kebanyakan masih menganut
sistem komunal. Permasalahan akses terhadap sumber daya agraria ini sangat
berpengaruh pada proses produksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka, selain itu juga akan memberikan kontrol yang cukup berarti terhadap
keberlanjutan usaha serta keberlangsungan hidup mereka sehari-hari.
30
5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya
kesanggupan kemampuanya(Harsono 1973;2-3).
Program keempat dikenal sebagai landreform dalam arti sempit.
Selanjutnya dalam pembahasan ini istilah landreform akan digunakan untuk
mengarah ke program pemerintah menuju peraturan penguasaan tanah.
Selama perjalanan sejarah yang panjang itu, tentu saja konsepnya menjadi
berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam dan
sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah, di masing-masing negara.
Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: ”Suatu penataan
kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
tanah, agar tercipta suatu strutkur masyarakat yang adil dan sejahtera” (Wiradi
2001). Wiradi (2001) juga menyampaikan bahwa istilah yang semula dipakai
adalah ”landreform”. Sesuai dengan kondisi sosial budayanya, dan orientasi
pandangan ekonomi dari para perencananya di masing-masing negara, maka pola
”landreform” di berbagai negara itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: yang
bersifat redistributif; yang bersifat kolekivist; dan yang campuran dari keduanya
itu. (Di negara-negara sosialis, “landreform” nya bersifiat kolektivist; di Negara-
negara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive)
31
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria
yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan
produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur
yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu
kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu
paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya
program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan,
pendidikan dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “landreform ”
plus program-program penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian
diberi istilah dalam bahasa Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang
berusaha menerapkan pembaruan agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah
Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an (King, 1977, hal.34).
32
Dengan demikian menurut Eko pembaharuan agraria dapat dikonsepsikan
sebagai ”upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam
menguasai tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui
mekanisme dan sistim politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Pengertian ini tidak sekedar perubahan
dari penguasaan tanah dan hubungan-hubungan sosial yang ada didalamnya, tetapi
pembaharuan agraria harus pula mengakui keberadaan tanah-tanah adat hal yang
sangat penting dalam pembaharuan agraria, sehingga kiranya sangat perlu
diadakan peraturan yang khusus mengenai hal tersebut.
33
Komponen yang pertama disebut sebagai asset reform, sedangkan yang kedua
disebut access reform. Gabungan antara kedua jenis reform inilah yang
diistilahkan dengan “Landreform Plus” sebagai ciri dasar yang membedakan
PPAN ini dari program landreform yang pernah dilakukan pemerintah
sebelumnya. “Landreform plus artinya landreform yang sesuai dengan kerangka
undang-undang, ditambah dengan acces reform.(Napiri M, 2006).
34
istilah Lipton nicely-behaved non-landreform (Michael Lipton dalam David
Lehmann (ed), 1974:269-81). Karena itu, bagaimanapun juga, "genuine reform"
hanya bisa dilakukan jika ada "kemauan politik" (Michael Lipton, 1974). Atas
dasar tujuan umum dan pertimbangan seperti itu, maka Wiradi (2001)
menegaskankan bahwa terutama di negara-negara non-sosialis, muatan konkrit
dari pembaruan agraria adalah:
Menurut Napiri M, et.al. (2006), ada 5 (lima) tujuan utama yang hendak dicapai
dari program landreform plus yang akan dilaksanakan pemerintah melalui
pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan komponen
asset reform, access reform yang kemudian diistilahkan dengan ”Landreform
35
Plus”, yaitu: (a). Menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
dan penggunaan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebih
berkeadilan sosial, (b). Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
khususnya kaum tani dan rakyat miskin di perdesaan, (c). Mengatasi
pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru di bidang pertanian dan
ekonomi perdesaan, (d). Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumber
ekonomi dan politik, dan (e). Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif
untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria.
a. Adalah hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang
bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan
hak pemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain, tetapi sama dengan
hak ulayat dalam hukum adat. Dalam kaitanya dengan itu, negara diberi
wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu menyejahterakan rakyat,
antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa (pasal 2 UUPA).
b. Memberikan kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti
pemilikan tanah, Pemegang hak milik atas tanah hanya warga negara
Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin. Warga negara asing tak diberi hak
36
yang demikian itu (prinsip nasionalitas-pasal 9 jo.21 ayat 1 UUPA). Pasal ini
membatasi kewenangan warga negara asing untuk menguasai tanah Indonesia.
Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya alam Indonesia,
seperti tanah partikelir yang menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi
buruh tani di tanah milik warga negara asing. Pemilik adalah penguasa yang
mengambil hasil kerja buruh tani.
c. Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal maupun
maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang
menghisap tenaga kerja petani melalui sistim persawahan tanah atau gadai
tanah (pasal 7jo. Pasal 17 UUPA). Pengaturan batas minimal ditujukan agar
keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Terdapat korelasi yang
saling menguatkan antara kecilnya produktivitas dengan kecilnya pemilikan
atas tanah. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya berakibat kecilnya
pendapatan pemiliknya (baca:petani), juga secara mikro (nasional) merugikan
karena rendahnya karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo pasal 17
UUPA). Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa batas maksimal) akan
membuka peluang bagi sekelompok kecil orang menguasai tanah dalam luas
yang sangat besar dan sebagian besar yang lain terpaksa hanya mengandalkan
tenaga untuk menjadi buruh. Ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan
senantiasa akrab dalam struktur masyarakat yang demikian. Sebaliknya, jika
tanah didistribusikan kepada semua orang, setiap orang memperoleh tanah
meski sedikit, memang lebih menjamin pemerataan tetapi resikonya adalah
produktivitas menjadi rendah, atau rata dalam “kemiskinan”.
d. Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara
aktif (pasal 10 UUPA) sehingga dapat membawa manfaat bagi dirinya,
keluarga maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah
pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan
menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya
hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang
memeras (pasal 10 ayat 1 jo. pasal 11 ayat 1).
e. Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan
tanah, untuk selanjutnya mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan
37
hak atas tanah. Alat bukti pemilikan itu, untuk menjamin kepastian hukum
atas tanah.
Selain berbagai hal diatas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia NOMOR IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam juga memberi landasan yang kuat tentang
landreform . Beberapa yang menjadi pertimbangan kenapa landreform penting
adalah terdapat :
1. bahwa sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional
yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur;
2. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai
tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan
nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan
dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam;
3. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan,
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan;
5. bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta
masyarakat, serta menyelesaikan konflik;
6. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan
komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah
bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan dan ramah lingkungan;
38
Untuk menterjemahkan hal tersebut maka Pemerintah telah menyusun
beberapa Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hak Atas Tanah. Ketentuan
peraturan perundang-undangan tertinggi yang mengatur pengelolaan sumber daya
alam dan agraria adalah Pasal 28 H UUD 1945 yang melindungi hak atas properti.
(a) Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
terutama kaum tani.
(b) Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil.
(c) Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan
social euphoria dan family security sehingga para petani termotivasi untuk
mengelola usaha taninya dengan lebih baik.
39
(d) Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak
kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan
stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
(e) Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Sementara pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan
kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu
(Winoto dalam Napiri M et.al., 2006b):
40
“Family Farm” model kapitalis
“Family Farm” model Neo-Populis.
Atas dasar arah transaksinya model landreform dapat dibedakan dalam dua
model yaitu :
Italia, semula memilih model (b), yang terjadi kemudian mirip model (a);
Yugoslavia (sebagai negara sosialis), memakai model (a), namun yang
berkembang kemudian adalah mirip model (c).
Jepang, sengaja atau tidak, semula pola landreform nya cenderung berciri
(c), tapi kemudian menjadi (b).
41
Tabel 2.1
42
kompensasi 15% tanan non
kerajaan, selama
masa 30 tahun
India 1952 tanah tuan program lewat kompensasi
tanah penghapusan zamin pembayaran yang
(zamindari) pengurangan rendah dan
sebagain pemberian tanah
penyakapan tuan kecil.
tanah menjadi 1/3
atau ¼ atau kurang
distribusi tanah
Jepang 1945 Tanah distribusi tanah sebagian tanah
penyakapan penyakapan
diberikan kepada
pengarap aktual
melalui pembelian
oleh pemerintah
dan penjualan
kembali
tanah dijual
kepada pengarap
pada harga fix
berdasarkan harga
dan sewa sebelum
perang.
Sumber: Eko , 2000.
43
dengan negara-negara lain yang dianggap berhasil (misalnya, Jepang 71%; Korea
Selatan 66%; Meksiko 66%; Peru 37%; Bolivia 34%; Vietnam 72%) (Lihat,
Rehman Sobhan, 1993). Dengan demikian, tingkat ketimpangannya pun tetap
tinggi (diukur dengan Indeks Gini, pada tahun 1973: 0.53). Apalagi sekarang,
jelas kondisinya jauh lebih parah.
Pilihan model yang dipilih akan sangat berpengaruh pada konsep dan
teknik operasionalisasinya. Hal Ini menjadi arah ke mana dan bagaimana sumber
daya agraria dikelola dalam konteks pembaharuan yang akan dilakukan.
44
sama sekali dengan tetap diakuinya hak guna usaha ataupun hak lain. Rencana
pembaruan agraria atas lahan seluas 8,15 juta hektar yang dialokasikan untuk
rakyat (seluas 6 juta hektar) dan pengusaha (2,15 juta hektar) harus dilihat dalam
rangka model gabungan semacam ini. Yang kemudian mesti dipikirkan dan
disepakati adalah bagaimana skema alokasi semacam ini dapat terintegrasi secara
utuh untuk menjamin akses petani bukan saja kepada tanah, melainkan juga
kepada keseluruhan proses produksi dari hulu ke hilir.
45
BAB 3
POLA PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PENGELOLAAN TANAH DI
INDONESIA
46
pengelolaan lahan secara komunal.
Sementara menurut Abna & Sulaiman (2007) memahami asal usul dari
tanah negara ini menurutnya kita harus mengembalikan ingatan kita kepada
sejarah terbentuknya Indonesia. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Van
Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht van Nederland Indie, sebelum datangnya
kapal dengan bendara tiga warna ke nusantara, wilayah ini tidak kosong akan tata
hukum. Menurutnya masyarakat di wilayah ini telah hidup teratur dalam masing-
masing wilayah hukum adat (adatechtkringen) yang berjumlah 19 lingkaran.
Artinya seluruh wilayah yang sekarang menjadi teritori Republik Indonesia telah
terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah hukum adat itu, mulai dari Aceh, Batak,
Minangkabau sampai ke Irian(Papua).
47
tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. (2). Hak erfpacht untuk
pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat
tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang
diadakan oleh Menteri Agraria. Menurut Undang-undang Pokok Agraria Bab II
Bagian IV , Pasal 28. (1). Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau pertenankan. Dalam
ayat dan pasal-pasal selanjutnya ditetapkan bahwa HGU diberikan atas tanah
dengan luas 5 hektar untuk waktu 25 tahun yang dapat diperpanjang, dapat beralih
dan dialihkan, subyeknya WNI atau BHI, terjadi karena penetapan pemerintah,
dan dapat dijadikan jaminan hutang (Abna & Sulaiman 2007).
PP No. 8 Tahun 1953, LN. 1953-14. Pas. 1. Didalam Peraturan ini yang
dimaksud dengan: a. tanah Negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara.
Sementara dalam UUPA 1960 sebagai sumber hukum dalam pengelolaan sumber-
sumber agraria justru tidak ditemukan istilah tanah negara. UUPA 1960 hanya
menyampaikan khusunya Pasal 2. UUPA : Atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberi wewenang untuk :
48
Abna & Sulaiman (2007) tersebut mencoba mempertanyaan, apakah memang ada
tanah yang di atasnya tidak melekat suatu hak tertentu, setidak-tidaknya pada
suatu bidang tanah tententu akan melekat hak ulayat dari masyarakat hukum adat.
Sementara kalau kita mengacu pada ketentuan UUD 1945 terdapat
kerancuan pada istilah “dikuasai oleh negara” antara Pasal 33 ayat 2 dengan Pasal
33 ayat 3. Menurut Pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Istilah
dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan dikelola oleh negara
secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara makna
“dikuasai oleh negara” dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan oleh Pasal 2
UUPA, sebagai “Hak Menguasai Negara”, yang sesuai dengan penjelasan Umum
UUPA, istilah “dikuasai” dalam pasal ini tidak berarti “dimiliki”, akan tetapi
adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu. Kerancuan terhadap pemahaman makna
“dikuasai oleh negara” seperti yang dimuat dalam UUD 45 dan UUPA itu, sering
timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang memandang bahwa hak
menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang
diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni diartikan sebagai milik negara,
yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara.
LMPDP mendefinisikan perbedaan pengertian menggenai tanah negara,
yang menurutnya dapat dipahami dari adanya pendefinisian yang berbeda yaitu:
49
h. Semua bidang tanah yang tidak dinyatakan sebagai tanah hak milik
perorangan, milik desa, tanah ulayat, tanah dengan status hak erfpacht, tanah
konsesi dan sebagainya
i. Tanah yang dikuasai dan atau digunakan instansi pemerintah dan belum
dilekati hak
j. Tanah bentukan baru, termasuk tanah yang terbentuk karena proses reklamasi.
Perterjemahan definisi tanah negara ini sangat mempengaruhi pola
pengelolaan tanah negara, karena faktanya bahwa didalam tanah yang diklim
sebagai tanah negara ada tanah-tanah adat atau komunal yang diatasnya melekat
hak ulayat dan hukum adat.
50
Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum
(subjek hak) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat tersebut berisi
wewenang untuk:
Abna & Sulaiman (2007) membagi tiga bentuk persekutuan hukum adat,
yakni :
51
3.2. Definisi Lahan Komunal
Dalam artikata.com komunal berasal dari kata dasar komune(commune)
dengan definisi: tempat sekelompok orang untuk tinggal dan hidup bersama-sama,
di mana mereka bekerja bersama dan membagi hasil kerja itu rata-rata. Mengacu
pada definisi tersebut maka tanah komunal adalah tanah yang diusahakan, dikelola
dan dimiliki secara bersama untuk mewujudkan kesejateraan diantara anggota
komunal.
52
bagaimana pola pengelolaan Sumberdaya Agraria dilakukan oleh masyarakat di
penjuru nusantara khusunya pada masyarakat komunal/masyarakat adat.
53
pembelian. Dalam perkembangannya pola-pola tersebut disesuaikan berdasarkan
pada budaya dan adat masing-masing masyarakat adat tersebut (Oding, Alfonsus,
Harianja 2008).
Sejarah singkat Batak Toba Sibisa Porsea dapat diketahui berdasarkan
sejarah asal mula bagi orang batak adalah perkembangan suatu desa dari masa
kemasa. Hal ini erat hubungan silsilah yaitu perasaan komunal (komunitas) yang
tebal dikalangan penduduk disuatu desa. Hal itu tampak sekali dalam kehidupan
sehari – hari pada masyarakat setempat seperti penggunaan bahasa, adat istiadat,
dan silsilah dari keturunannya. Sebelum dikemukakan tentang uraian desa
perlulah diketahui bahwa perinsip adat istiadat dan asal mula suku batak tidak
terlepas dari Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu adalah suatu aturan yang mengatur sistem kekerabatan
marga – marga yang ada pada suku batak dan merupakan acuan hidup masyarakat
batak yang merupakan sebagai berikut : Hula – hula (Tulang), Dongan Sabutuha
(Semarga), Boru (Anak Perempuan). Keuntungan lainnya terkait dengan warisan
adalah (a) dengan pemberian klen, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila
kelak suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang dimiliki
suaminya dan (b) kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama di dalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya
sama-sama satu etnis.
Aturun-aturan yang terkait dengan Dalihan na tolu dalam hal pemilikan
dan penguasaan lahan, terutama tanah di Tanah Batak antara lain: a). Warisan.
Tanah warisan diberikan orang tua kepada anaknya yang laki-laki, setelah orang
tua meninggal, b). Pauseang. Sebidang lahan (khususnya sawah) yang diberikan
pihak hula-hula pada anak perempuannya pada saat anak perempuannya tersebut
menikah. c).Ulos Nasora Buruk” (Kain batak yang tidak akan usang). Ungkapan
ini dipakai sebagai lahan yang diberikan oleh hula-hula kepada borunya untuk
dimiliki dan dikelola. d). Indahan Arian (sumber makanan). Lahan ini diberikan
oleh hula-hula kepada borunya dengan dibarengi hak pemilikan, namun tidak
boleh dipindahtangankan kepada pihak lain. ). Panjaean (batu loncatan).
Sebidang tanah yang diberikan oleh orang tua, ketika orang tuanya masih hidup,
54
kepada anak laki-laki setelah anak laki-laki tersebut menikah. f). Dondontua.
Tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak laki-laki tertuanya. g)
Upasuhut. Sebidang tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak
laki-laki bungsu, h).Marga di luar marga pemilik tanah dapat memilki tanah jika
mereka telah menikah dengan perempuan dari marga pemilik tanah. Mereka
biasanya disebut Sonduk hela.
Apabila terjadi penyimpangan dalam perkawinan (bila salah seorang calon
pengantin bukan berasal dari etnis Karo), pihak daliken si telu calon pengantin
yang beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo
tersebut disyahkan menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (marga/beru), dan
sekaligus diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-
bidang tertentu (di luar adat istiadat Karo) sama dengan orang tua kandungnya,
tetapi dalam bidang-bidang tertentu (di dalam adat istiadat Karo) jelas jauh
melebihi orang tua kandungnya yang bukan berasal dari etnis Karo. Pemberian
klen/marga ini tidak bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non Karo yang
ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken sitelu
tetap berfungsi semestinya.
Pola pemanfaatan lahan seperti ini, menunjukkan bahwa pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan DTA Danau Toba masih
berorientasi para tujuan ekonomi. Hal ini dilakukan karena masyarakat tidak
mempunyai alternatif sumber pendapatan lain di luar pertanian dan luas lahan
yang dimiliki sempit (rata-rata 0,25 Ha). Kalaupun di lahan mereka ditanami
pohon, pohon tersebut tidak merupakan tanaman utama dan dominan yang akan
menjadi sumber pendapatan masyarakat.
Dalam memanfaatkan lahan pertanian/sawah para petani masyarakat Batak
banyak melakukan penanaman tanaman pertanian seperti padi palawija, dan
sayur-sayuran. Sementara pada lahan kebun/ladang para petani juga menanami
lahannya dengan tanaman yang cepat menghasilkan (crash crop) seperti tanaman
pertanian (padi gogo, jagung, kacang tanah, cabai rawit) dan tanaman perkebunan
(seperti kopi dan coklat). Masyarakat Batak di DTA Danau Toba mengunakan
pohon sebagai batas lahan dan jarang diusahakan secara komersil.
55
3.3.2. Pola Penguasaan Lahan pada Masyarakat Minangkabau.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain,
tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya.
Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut
sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah
Minangkabau sekarang ini. Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat
Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak
menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat
dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua
hubungan kekerabatan diatur secara adat. Pada tataran konseptional, adat Minang
terbagi pada empat kategori: a). Adat nan sabana adat, b). Adat nan teradat, c).
Adat nan diadatkan, d). Adat istiadat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antar
sesama anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan yang formal
maupun yang tidak formal.
Sementara bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam
dimaksud adalah (1) Bauduah, suatu perajahan dimana setiap wilayah di bawah
penguasaan suku baik berupa bentangan punggung yang di atasnya tumbuh pohon
produktif maupun aliran air sungai yang bertaburan ikan selain dibangun batas
fisik antar kaum dan juga batas bathin (internal power). Selain itu, (2) Balega
(bergilir), setiap warga kaum dapat memanfaatkan hasil sumber alam, menggarap
tanah dimaksud secara bergilir sesuai dengan kesepakatan bersama kaum.
Perubahan kesepakatan dimaksud dapat dilakukan jika telah dibangun suatu
kesepakatan baru berikutnya. Kemudian, (3) Pagang-Gadai- Susuik merupakan
kesepakatan baru berikutnya dalam pemanfaatan sumber alam, yang secara
kultural boleh dilakukan dengan cara menyewakan kepada anggota kaum lain
sampai beberapa langkah yang masih sesuku selama jangka waktu tertentu dengan
perjanjian tertentu pula (Saptomo. 1995)
.Penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam semestinya mendasarkan
pada potensi lokal tempatan mengingat secara kultural, potensi lokal mewujudkan
prinsip-prinsip matrilineal; sosial, mengintegrasikan anak kemanakan akibat
praktik perkawinan eksogami; ekonomi, mempertinggi tingkat kesejahteraan lahir
batin; politis, menunjukkan praktik ideologi komunal secara benar; keamanan,
56
menjaga keutuhan baik fisik dan bathin sosial masyarakat tempatan. Menurut
Saptomo (1995) Kekuatan bathin (internal power), pembagian hasil sumber alam
secara bergilir sesuai alam, penyewaan kepada anggota kaum sesuku selama
jangka waktu tertentu, merupakan bentuk penguasaan tanah dan pemanfaatan
sumber alam dimaksud. Kondisi geografis, homogenitas dan jumlah penduduk,
kultur merantau merupakan faktor-faktor pendorong kurangnya pengaruh pada
percepatan perubahan. Sementara, orientasi pada hukum negara, interaksi antara
hukum dan kedatangan etnik lain menjadikan interaksi antar etnik dan antar tata
hukum lokal memproduk beragam pandangan hukum baru yang mendorong
pergeseran model legalitas sosial ke legalitas formal.
Pada adat Minang cara untuk mempertahankan dan memanfaatkan sumber
alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi aturan lokal dalam
mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan
sumber alam demikian. Dalam konsep lokal, keamanan tanah tidak diukur dengan
selembar kertas yang disebut sertifikat, tetapi riwayat penggarapan tanah secara
turun temurun, pengakuan tokoh- tokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi
faktor penentu. “Tanah yang disertifikatkan berarti liar karena akan berakibat
bahwa hak atas tanah dimaksud akan berpindah-pindah dan dapat digunakan
secara bebas oleh orang yang namanya tercantum dalam sertikfat tersebut
sehingga sulit dikontrol.” Artinya terdapat pandangan bahwa setiap bidang tanah
yang disertifikatkan dianggap sebagai sebagai tanah “liar” dengan alasan tanah
yang sudah disertifikatkan akan menjadi bebas bagi orang yang namanya
tercantum di atas lembar sertifikat untuk dijual, disewa, digadai, dijadikan
jaminan bank, dan sejenisnya.
Dalam konteks interaksi secara kultural matrilineal berlaku prinsip
perkawinan eksogami suku (subetnik) dan endogami suku bangsa (etnik). Namun,
dalam konteks adat Minangkabau hambatan matrilineal itu dibuka melalui praktik
malakok (melekat). Dalam malakok ini, siapapun dan apapun etniknya dapat
menikah dengan etnik Minangkabau apabila, terutama laki-laki dimaksud, telah
mengaku kepada dan diakui oleh salah satu mamak yang bersuku berbeda dengan
calon pasangan dalam nagari dimaksud.
57
Dalam studinya Saptomo. (1995) membagi tiga macam kepemimpinan
dalam masyarakat Minangkabau yaitu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Penghulu
Penghulu di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan
sehari-hari “Datuak“. Penghulu itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari.
2. Kepemimpinan Mamak
Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua saudara laki-laki ibu
baik adik maupun kakaknya yang sudah dewasa/ menikah disebut mamak.
Ninik Mamak (Di dalam urusan adat Minangkabau Ninik Mamak adalah
orang yang dituakan berfungsi KK dalam rumah tangga kaum paruk/
jurai).
Alim Ulama (Kedudukan alim ulama dihormati kerena ilmu dan
keteladanan imannya).
Cerdik Pandai (Cerdik pandai artinya kumpulan orang pandai-pandai atau
disebut cerdik cendikia).
Dalam perspektif kultural atau hukum lokal model perajahan merupakan
hukum yang hidup (living law) berkenaan dengan cara membangun batas-batas
non fisik. Selain itu, model penyelesaian lewat kesepakatan antar mamak di suatu
tempat yang disebut Surau merupakan kebiasaan yang telah melembaga. Ini
menunjukkan bahwa hukum negara tidak dijadikan sebagai rujukan, bahkan
dihindari, untuk menyelesaikan persoalan konflik antar kaum berbeda suku,
namun diselesaikan lewat saluran kultural masyarakat tempatan.
Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi
sengketa. Dalam konteks ekonomi, potensi lokal dapat mempertinggi dan menjaga
tingkat kesejahteraan dengan cara membagi hasil sumber alam secara ‘merata’
sesuai kehendak alam. Antara kaum satu dan yang lain dalam menerima apa yang
diterima dipandang sebagai kehendak alam diyakini sebagai perwujudan Alam
58
Takambang Jadi Guru. Dengan keyakinan demikian, mereka tidak mengeluh,
konflik, apalagi sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan
kepada komunitas luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan
bagaimana ideologi komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan
berbagai kepentingan berbeda.
Peluso & Padoch (1996) dalam Noveria, Gayatri, & Mashudi, (2004).
menyampaikan bahwa pada komunitas Dayak, lahan untuk bertani dan berladang
diperoleh dengan cara membersihkan/membabat hutan. Pada masyarakat Dayak
Kayan yang tinggal di daerah sungai Mendalam wilayah Kalimantan Barat,
misalnya, mengakui bahwa mereka yang membuka hutan primer mempunyai hak
untuk bertani dan berladang diareal yang dibuka. Hak penguasaan lahan ini dapat
diturunkan kepada keturunan dari individu-individu yang pertama kali membuka
lahan. Pada masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas berkembang pola
59
penguasaan dan pemilikan lahan yang diakui oleh masyarakat secara turun-
temurun, pola tradisional dan turun temurun, warga desa menguasai dan
memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka. Dalam mengelola sumberdaya
lahan yang ada penguasaan dan pemanfaatan lahan dapat bersifat perorangan dan
juga dapat bersifat komunal. Pola pemanfaatan dan penguasaan lahan tersebut
diakui dalam konteks lokal tradisional, tetapi tidak secara hukum formal. Pola tani
masyarakat Dayak yang pengusahakan ladang secara berpindah dalam rotasi tiga
sampai sepuluh tahun ini dianggap tidak permanen menurut Undang-Undang
Pokok Pertanahan (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Akibatnya secara hukum, petani
ladang berpindah sulit untuk mendapat jaminan penguasaan lahan, meskipun
secara lokal ditingkat desa terdapat pengakuan pemanfaatan ini.
60
buahan yang oleh masyarakat dikenal dengan "tanam tumbuh", maka lahan di
anggap tanah tak bertuan dan siapapun yang berkeinginan untuk menanaminya
dapat mengunakan lahan tersebut. Sedangkan pemilikan lahan untuk bertani dan
berladang dikalangan Masyarakat Sembuluh Kalimantan Tengah ditentukan
berdasarkan kegiatan penanaman tanaman tumbuh, praktek tersebut sudah
berlangsung lama dalam masyarakat dan semua penduduk menghormati segala
kesepakatan yang berlaku, sehingga masing-masing dapat menjalankan kehidupan
mereka. Mengingat pentingya lahan lahan bagi masyarakat, maka pemilikan lahan
dapat diartikan sebagai wujud keberadaan, penguasaan, status dan juga
menunjukan harta yang dimiliki. Oleh karena itu kehilangan lahan dapat dianggap
sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Bagi masyarakat Dayak, sungai, tanah dan hutan merupakan bagian yang
terpenting dari identitas sebagai seorang Dayak. Pandangan yang sama juga
tercermin dalam pola penggunaan tanah masyarakat Dayak dalam ekosistem hutan
tempat tinggal mereka. Tanah bukan hanya sebagai sumberdaya ekonomi, namun
juga merupakan basis untuk kegiatan budaya, sosial, politik dan spiritual
(Andasputra, 2001). Bagi masyarakat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa
“kewajiban” - karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan sempat
terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka aksesnya terhadap tanah menjadi
hilang, meski seringkali bersifat sementara. Berbeda dengan pola pengelolaan
pada masyarakat modern yang didahulukan adalah “hak” (misalnya diberi hak
untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul hubungan
dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah
disebutkan, lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi “hak” (Admajaya, 1998).
61
seperti biaya sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara
Tiwah, dan lain-lain.
Dayak Ribun memiliki kebiasaan memberi tanda dengan cara tanda alam
sebagai batas yang memisahkan dengan tanah milik orang lain, misalnya bambu,
bersamaan dengan proses penghutanan kembali secara alamiah bekas ladangnya,
maka tanda-tanda alam yang menjadi batas pemilikan tanah menjadi berubah sulit
dikenali, bahkan seringkali telah hilang. Pohon bambu sebagai batas, dalam
beberapa tahun telah menjadi rumpun bambu yang meluas sehingga titik batas
yang sebetulnya sulit ditemukan. Model atau sistem penguasaan tanah secara
tradisional di desa-desa yang berkembang pada masyarakat Dayak yang sudah
berjalan ini ternyata mampu meminimalkan konflik penguasaan lahan. Sistem itu
justru menjamin terpeliharanya integrasi sosial tingkat lokal.
Baik itu Dayak Kayaan atau Dayak Bukat. Peran sentral pemimpin adat
menyangkut mulai dari urusan tata upacara adat, menjatuhkan hukum adat kepada
pelanggar, hingga mengorganisir masyarakat juga memutuskan kapan mulai
penanaman padi dilakukan. Kelembagaan Dayak Mudu dan Dayak Bukit (Sinosis)
ada tiga yaitu: organisasi tingkat rumah tangga, organisasi sosial tingkat kampung
dan organisasi sosial tingkat desa. pada umumnya didalam masyarakat adat
Dayak dikenal adanya dualisme kepemimpinan yaitu disamping ada pemimpin
formal, seperti; Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun dan RT, juga ada pemimpin
non formal yang tersusun mulai dari tingkat RT.sampai ke Tingkat Kabupaten,
yaitu; 1) Pengurus adat (ketua adat) yang mempunyai kewenangan menyelesaikan
62
masalah adat pada tingkat dusun; 2) Tumenggung; yang mempunyai kewenangan
menyelesaikan masalah adat pada tingkat desa; dan 3) Dewan Adat yang
mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah adat pada tingkat kecamatan.
Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat
pada umumnya bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun
juga merupakan sentral kebutuhan spiritual. Terdapat konsep kunci dalam tradisi
masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah “ibu”. Hingga kini sesungunya bagi
masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjualbelikan (Rahman 2007). Hak
ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan, hanya boleh
dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam satu rumpun adat
(suku). Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini, secara informal
masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di daerah
63
tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat hukum adat
(marga) tertentu, dimana ketentuan-ketentuan penggunaannya di antara anggota
marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-masing marga.
Kearifan lokal masyarakat Adat Papua dalam mengelola lahan menjadi basis
pengelelolaan yang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan dan sosial itu
tercermin dalam berbagai pemahaman mereka, contohnya:
64
Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayan Kebudayaan Tabi termasuk
Genyem yakni Demou Tru merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat
Namblong yang hanya diduduki oleh Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan
kekal. Konsep kepemimpinan adat di Papua adalah tunggal dan otonom, struktur
dari orangnya atau individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan
patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas-
batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu kesatuan
territorial adat. Peran kepala suku sangat penting dalam komunitas Suku Mayu,
kepala suku yang mengkoordiner anggota suku untuk membuka lahan, selain itu
Suku Muyu memilih tanah berwarna hitam karena mereka meyakini tanah
tersebut subur dan cocok untuk hampir semua jenis tanaman: pisang (jum), jemen
andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran, dan lain-lain.
Kepala suku yang menjadi penengah ketika terjadi konflik di masyarakat.
65
Gambar: 3.1 Peta Suku Bangsa di tanah Papua ( Sumber Dinas
Kebudayaan Propinsi Papua 2008)
66
kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah atau organisasi
tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui berbagai
kegiatan.
BAB 4
TEMUAN LAPANGAN
“... kalau kita bicara konsep umum mengenai pembaharuan agraria, atau
reforma agraria dalam bahasa Inggris agrarian reform itu sebenarnya satu
67
konsep yang luas, menyangkut banyak sektor dan juga mendasar” (US,
Ketua KPA 28 Agustus 2010).
Kalau kita lihat definisi yang ada, misalnya di dalam lembaga Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) telah dikembangkan definisi reforma agraria atau
pembaharuan agraria adalah suatu upaya untuk menata ulang struktur agraria dari
yang sebelumnya tidak adil menjadi lebih berkeadilan sosial. Struktur agraria
sendiri adalah potret pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi di masyarakat.
Dalam bahasa sederhananya, ketika struktur agraria di masyarakat diketahui
kondisinya timpang, dalam arti sebagaian besar tanah yang ada di republik ini
dikuasai oleh sebagian kecil penduduknya, maka sebagaian besar penduduknya itu
tidak menguasai tanah khususnya kaum tani, maka disitulah urgensi pembaharuan
agraria itu hadir. Artinya reforma agraria adalah jalan bagaimana memastikan
sumber daya agraria dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan.
Kalau boleh saya simpulkan saat ini otoritas petani terhadap sumber daya
agraria khususnya tanah sangat lemah dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki
oleh swasta dan pemerintah. Ada tiga hal yang menjadikan posisi rakyat sangat
lemah dibandingkan dengan swasta dan pemerintah dalam penguasaan tanah dari
tahun ke tahun, khususnya petani. Penyebab kondisi tersebut, pertama adanya
68
permasalahan internal dalam masyarakat yang tidak dapat mendapatkan
perlindungan hasil-hasil pertanian karena mekanisme pasar bebas dan maraknya
korupsi yang seringkali menyudutkan posisi masyarakat dengan kebijakan yang
kurang atau tidak berpihak pada masyarakat, kedua adalah sangat besar
pengaruhnya adalah tingginya kepentingan swasta melalui mekanisme pasar
melakukan alih fungsi lahan yang seringkali mendapat legitimasi dari pemerintah,
ketiga adalah kewenangan negara yang besar dan sepihak dalam mekanisme
hukum formal.
69
memajukan kondisi kehidupan masyarakat, maka pembaharuan agraria
sebenarnya dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasarnya menuju fase
masyarakat yang lebih meningkat kualitas hidupnya dan lebih berkembang cara
memenuhi kebutuhan hidupnya .
70
Sebelum melihat lebih jauh pilihan kebijakan landreform di Indonesia,
penelitian ini akan menggali informasi terkait dengan konsep pembaharuan
agraria. Hal ini penting untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak
terkait dengan apa itu reforma agraria. Pembaharuan agraria adalah bagaimana
menghadirkan keadilan dan kesejateraan rakyat melalui penataan ulang struktur
agraria dengan pengelolaan, pemanfaatan dan distribusi sumber-sumber agraria.
Dalam konteks lahan atau pembaharuan agraria dalam arti sempit sering disebut
dengan landreform.
71
akses dan kontrol terhadap tanah itu menjadi terselesaikan akar penyebab
kemiskinannya.
”Tanah adalah alat produksi utama di sektor pertanian, alat produksi yang
lain itu dapat berbentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
pengembangan produksivitas pertanian, seperti permodalan, bibit, pupuk
teknologi dan sarana-sarana produksi yang lain, itu adalah sifatnya
pendukung atau penunjang tapi tanah adalah faktor produksi yang utama
sehingga dia harus diutamakan agar tersedia dahulu, caranya yaitu melalui
landreform” (US, Ketua KPA, 28 Agustus 2010).
72
ini dalam konteks persiapan program pembaharuan agraria nantinya. Di depan
sudah dijelaskan dengan terang apa itu landreform selanjutnya akan disampaikan
apa itu distribusi, redistribusi dan konsolidasi tanah. Tiga istilah ini menjadi kata
kunci dalam program landreform. Menurut pegiat pengurus Dewan Nasional
Konsorsium Pembaharuan Agraria dalam wawancara kami menjelaskan:
73
garis bawahi tidak punya keterkaitan sejarah maupun kultural dengan
tanah yang ada di situ” (US, Ketua KPA,28 Agustus 2010).
“... Misal, pada periode waktu tertentu masuk salah satu pihak biasanya
badan-badan usaha baik negeri maupun swasta yang menguasai dan
mengusahakan tanah dalam skala luas dalam waktu yang cukup lama.
Kalau di cermati petikan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ada
konteks sejarah dari sisi masyarakatnya keterikatan atas tanah di situ, ada konteks
sejarah masuknya perusahaan-perusahaan, jadi kalau tanahnya bukan tanah negara
murni kalau distribusi pada tanah negara murni kalau redistribusi itu tanah negara
yang sudah diserahkan penguasaan maupun pengusahaannya pada badan usaha
tertentu baik milik negara maupun swata”. Redistribusi mirip dengan distribusi
hampir sama bentuknya yaitu pembagian tanah kepada rakyat. Subyeknya sama
yaitu rakyat miskin rakyat yang tidak memiliki tanah atau rakyat yang mempunyai
tanah yang sempit tapi background dari asal usul kepemilikan dan pengelolaan
tanah masyarakat itu yang membedakan antara distribusi dan redistribusi.
74
Lahan-lahan yang tadinya persilnya sempit-sempit dengan konsolidasi
dapat digabungkan, sehingga di atas tanah yang sudah digabungkan dijalankan
usaha bersama proses produksi bersama sehingga nilai ekonominya menjadi lebih
meningkat lebih baik, keuntungan dapat lebih baik dan itu jadi sumber
kesejahteraan. Itu contoh dari konsolidasi di lahan pertanian, konsolidasi lahan
juga dapat terjadi di sektor-sektor yang lain.
Istilah lain yang harus juga dikenal adalah apa itu yang disebut pengakuan
hak (recognize) akan sumber daya lahan yang mereka miliki secara turun-temurun
dan diwariskan oleh garis leluhur pada suatu masyarakat Adat. Seperti penegasan
salah satu pegiat pemberdayaan masyarakat adat nusantara, berikut kutipannya:
75
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Ini yang menjadikan alasan bagi
para pegiat pemberdayaan masyarakat adat kenapa istilah recognize menurutnya
harus dikenal dalam program pembaharuan agraria khusunya landreform.
Tapi intinya yang ingin saya katakan bahwa baik distribusi, redistribusi
maupun konsolidasi tanah ini semuanya membutuhkan koneksitas yang
kuat antara model yang dirancang oleh pemerintah dengan kondisi sosial
ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat itu.” (US, Ketua
KPA, 28 Agustus 2010).
76
Tanpa ada koneksitas itu, misalnya pemerintah hanya memikirkan satu
model aja untuk diterapkan di seluruh Indonesia tanpa melihat keragaman sosial
ekonomi, politik dan budaya maka, besar kemungkinan bahwa program itu akan
gagal. Tidak akan sampai pada tujuannya, dan bahkan kita mengkhawatirkan
kalau itu dipaksakan model yang hanya satu bentuk saja itu dapat menimbulkan
konflik baru. Keberhasilan program landreform tidak lepas dari desain model atau
pola yang mau dilaksanakan. Karena konsep ini yang akan menjadi panduan
operasionalisasi dalam pelaksanaan landreform, desain model operasionalisasi
adalah hal yang harus disiapkan bagi perancang dan pelaksana landreform
berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat. Misalnya distiribusi atau
redistribusi tanah, kalau diterapkan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik
dan budaya dimana program itu dijalankan, maka konflik sosial sangat besar
kemungkinan terjadi.
77
kesempatan yang sama untuk memberikan akses atau memberikan kontrol
terhadap sumber daya yang ada di situ. Hal ini selaras dengan salah satu pegiat
pembaruan agraria:
Struktur sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lahir dari satu
peradaban yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat tersebut,
perubahan struktur sosial tidak dapat dilakukan dengan cepat, karena akan
berbenturan dengan kultur dan kebiasaan kehidupan sosial dari suatu komunitas
masyarakat. Menurut US hal ini yang harus menjadi perhatian bagi perancang dan
pelaksana program landreform. “Kalau penguasaan tanah dan pemilikan tanah
individual ini dipaksakan harus dijalankan demi komunitas itu maka yang
namanya struktur sosial disitu akan goyah, yang namanya setiap masyarakat adat
punya struktur sosial punya kepemimpinan disana dan juga nilai-nilai kolektivitas
nilai-nilai kebersamaan dari komunitas itu juga akan runtuh”.
Jika satu wilayah atau satu hamparan tanah yang semula semua orang
dapat mengaksesnya secara leluasa, tetapi dengan bertangung jawab sesuai
dengan norma-norma adat yang berlaku disitu, dengan program landreform yang
individual malah terjadi pemecahan sistim dan pola pemilikan dan penguasaan
tanah menjadi individual dimana disitu ada kapling-kapling, ada batas-batas
individual, teritori bagi individu tertentu atas wilayah tertentu maka ini dapat
menimbulkan shock culture atau gegar budaya. Jadi biasanya dapat mengakses
satu bidang tanah sekarang menjadi tidak boleh karena sudah di kapling itu milik
si A, Si B, si C dan seterunya
78
masyarakat. Budaya komunal yang didasari dengan kegotong-royongan didorong
untuk individualistik karena pola kepemilikan lahan-nya yang individual akan
merubah budaya yang berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. sebuah
ilustrasi jika kamunitas masyarakat yang tadinya komunal, lalu dilakukan
kebijakan pembaharuan agraria atau landreform dengan pola yang dikembangkan
sekarang mereka menanam sendiri, di lahanya sendiri yang sudah disertifikat, dan
dia tidak lagi peduli dengan tetangnya dengan saudaranya yang lain yang juga
mempunyai kewajiban untuk menggarap tanahnya, begitu juga pada saat panen
pada sebelum panen, saat pengelolaan-pengelolaan, perawatan tanaman, dari yang
biasanya bersama-sama kolektif, saling gotong-royong, dan dengan pola
pemanfaatan yang individual juga itu akan terdorong menjadikan masyarakat
menjadi lebih individualistik lebih mementingkan kepentingan diri sendiri atau
keluarganya saja. Ini sebuah gambaran bagaimana dampak landreform pola
individu ketika diterapkan pada masyarakat komunal. Hal ini dicontohkan oleh
seorang pegiat pembaruan agraria:
”...dalam saat panen juga begitu, penjualan bagi hasilnya tidak akan lagi
dilakukan secara bersama secara kolektif, singkat kata model pemilikan
penguasaan tanah yang individual sekalipun itu diklem sebagai bagian dari
reforma agraria atau landreform itu belum tentu akan berdampak baik
terhadap masyarakatnya apabila itu tidak memperhatikan kondisi sosial
budaya, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial politik yang ada disitu”.
(US, Ketua KPA,28 Agustus 2010).
Oleh karena itu, pembaharuan agraria yang akan atau yang sedang
disiapkan oleh pemerintah itu mutlak harus memperhatikan pola pemilikan
penguasaan dan pengusahaan tanah yang berlaku di setiap masyarakat yang pasti
beragam. Menurut US yang harus dibuat oleh pemerintah adalah prinsip-
prinsipnya nilai-nilai mendasarnya. Misalnya saja ia harus melindungi dan
menghormati sistem hukum Adat yang berlaku di komunitas setempat reforma
agraria juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga jangan sampai
79
dengan program pembaharuan agraria itu hanya beberapa pihak saja yang
diuntungkan.
80
4.3.1. Adat Penunggu.
Pengelolaan lahan di masyarakat adat Penunggu memang cukup menarik
untuk dikaji karena kuatnya kebutuhan komunal itu membuat masyarakat Adat
Penunggu membuat organisasi Moderen. Masuknya Belanda untuk melakukan
investasi di wilayah Sumatera Timur untuk tanaman tembakau. Investasi ini
mengontrak tanah-tanah masyarakat adat rakyat Penunggul (sekarang rakyat
Penunggu) yang disebut sebagai Akta Van Konsesi. Ketika Indonesia merdeka,
asset-aset perkebunan Belanda ini di nasionalisasi. Nasionalisasi juga termasuk
mengambil tanah-tanah Ulayat rakyat Penunggu tanpa melakukan negosiasi
dengan masyarakat adat, tanah-tanah tersebut kemudian di jadikan Perkebunan
Negara yaitu PTPN IX kemudian merger menjadi PTPN II sampai sekarang.
Akibat sistem ini maka tahun 1953 (tepatnya tanggal 19 april 1953) rakyat
Penunggu yang terdiri dari 67 kampong yang berada di 4 wilayah (Serdang, Deli,
Medan, Binjai, Langkat) yang di batasi oleh Sungai Wampu (langkat) dan Sungai
Ular (Serdang) membentuk organisasi perjuangan yaitu BPRP (Badan Perjuangan
Rakyat Penunggu) yang kemudian menjadi BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat
Penunggu Indonesia). Tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk meminta
kembali tanah ulayat mereka (rakyat Penunggu) seluas 350.000 ha yang sudah
dikuasai oleh PTPN II.
Masa perjuangan dari 1953 sampai 1997, tanah ulayat yang diduduki
kembali untuk dijadikan lahan-lahan pertanian tidak pernah bertahan lama karena
terus menerus digempur dan diduduki oleh pihak Perkebunan. Dari tahun 1998
sampai tahun 2010 (saat ini) ada beberapa kampong yang berhasil bertahan
menduduki tanah ulayat dengan hak kepemilikan komunal dan mengelolanya
menjadi lahan pertanian yang bersifat individual. Proses perjuangan ini satu
kampong rakyat Penunggu Tanjung Mulia berhasil memenangkan kasus melawan
PTPN II sampai putusan Mahkamah Agung.
81
karena tanah-tanah ulayat yang dikuasai masih dalam status perjuangan, sehingga
pembagian tanggung jawab per-individu di keluarga terjadi.
82
Dari latar belakang silsilah masyarakat Penunggu terdiri atas tiga yaitu:
Mustotin, klan ini merupakan keturunan orang asli Penunggu, sementara Semenda
merupakan campuran klan orang asli Penunggu dengan orang luar, sedangkan
Resam, merupakan masyarakat atau orang pendatang. Meski terbagi dalam tiga
klan tapi dalam hak pengelolaan tidak ada pembedaan mereka juga mempunyai
kewajiban yang sama dalam kehidupan sosial dan pengelolaan lahan di wilayah
adat Penunggu.
“...di dalam Anggaran Dasar BPRPI memuat pasal yang mengatur bahwa
satu individu (anggota BPRPI) haknya berhak mendapat pengelolaan di
satu kampong saja atau di 1 wilayah adat. Di pasal lain AD menyatakan
bahwa tanah ulayat yang di kelola tidak dapat diperjualbelikan, akan tetapi
berlaku hukum sewa menyewa, belahan atau jika terjadi pengalihan
pengelolaan wajib dilaporkan ke Pengurus Kampung” (AS, Tokoh Muda
Penunggu, 5 Oktober 2010).
83
akan memberikan teguran dan sanksi pencabutan atas hak pengelolaan tanah yang
kemudian dialihkan kepada anggota lain. Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa
anggota dalam pengelolaan lahan ada yang berhasil dan ada yang gagal Untuk
menyeimbangkan hal ini, maka pengurus organisasi melakukan intervensi dengan
menerapkan subsidi dengan sistem kerjasama antar anggota dengan sistem bagi
hasil, sistem zakat dan sistem sumbangan kepada organisasi untuk mendampingi
penyaalurannya kepada anggota yang kurang berhasil atau gagal panen atau
belum maksimal dalam pengelolaan tanah ulayatnya.
Adat penunggu dipimpin oleh Petua Adat. Petua Adat bertugas sebagai
pemangku adat dalam satu kampung, petua adat juga menjadi utusan atau
perwakilan anggota-anggota rakyat Penunggu dalam hubungan eksternal dan
menentukan kebijakan terhadap pengelolaan tanah ulayat yang diawali oleh hasil
musyawarah dan mufakat anggota. Sementara, Pimpinan Kampong atau Ketua
Kampong; bertugas untuk mengatur anggota-anggota yang melakukan
pengelolaan atas tanah ulayat yang dikuasai. Ketua Kampong, selain mengurus
internal juga membantu petua adat secara eksternal tertuma dalam melakukan
proses-proses advokasi, lobi dan negosiasi dalam perjuangan merebut kembali
tanah ulayat.
84
Ketua Kampong dibantu oleh sekrertaris, bendahara dan pimpinan
kelompok, dengan tugas masing-masing antara lain: sekretaris : bertugas untuk
penataan dan manajemen organisasi terutama mengatur dan memastikan anggota
taat terhadap AD/ART organisasi, bendahara ; bertugas mencari dan mengelola
keuangan organisasi seperti iuran wajib anggota dan pimpinan kelompok :
bertanggung jawab dan mengontrol anggota-anggota yang lebih kecil atau dalam
kelompoknya.
85
sempit sehingga hanya tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi
untuk dikembangkan pada lahan-lahan masyarakat adat Penunggu.
86
“Membicarakan soal penguasaan dan pemilikan tanah di Bali tidak lepas
dari kesatuan masyarakat adat Bali yang otonom sampai hari ini, yakni
Desa Pakraman atau Desa Adat” (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)
Dalam konteks Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan
kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat
dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini
muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja
berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas
kepentingan bersama dalam bermasyarakat, juga merupakan persekutuan dalam
kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan
demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok,
yakni wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan Perpaduan tiga
unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang
nyaman,tenteram, dan damai secara lahiriah maupun bathiniah. Seperti inilah
gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.
87
mesti melihat relasi yang kuat antara negara, desa adat dan pariwisata, ini
bagian dari hal yang akan kita kaji diharapkan penelitian dapat memotret
aspirasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya lahan yang mereka
miliki”. (GSP, 25 Oktober 2010)
”Seluruh tanah tersebut adalah milik desa adat meskipun sebagian atas
nama individu atau kelompok. Awig-awig desa mengatur tentang
pengelolaan tanah di desa tersebut dan orang Tenganan Pegringsingan
tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar
Tenganan”. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)
88
hanya boleh memilih pekarangan di banjar asal pasangan yang sebelah timur. Hal
ini senada dengan wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat:
”Misalnya warga dari Banjar Kauh menikah dengan warga dari Banjar
Pande, maka mereka hanya boleh memilih pekarangan yang terdapat di
banjar Pande, sehingga khusus di Banjar Pande pertumbuhan
penduduknya lebih cepat dari dua banjar lainnya, disamping memang juga
beranggotakan orang-orang pendatang yang memperoleh ijin tinggal dan
menjadi warga adat. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)
89
berada di bawah aturan adat. Bidang-bidang tanah yang dikuasai dan diatur itu
diberi nama sesuai dengan peruntukannya yang dapat dikuasai dengan hak milik
individu terikat dan hak milik komunal. Dari penelusuran sebuah lembaga nirlaba
yang bergerak di kajian tanah adat menemukan bahwa pembagian hak atas tanah
di Desa Adat Tenganan Pegeringsingan terbagi menjadi dua Pertama Tanah
dengan Hak Milik Individu Terikat meliputi : Tanah Pekarangan Rumah, Tanah
Sekehe, (sekehe adalah perkumpulan yang mempunyai tujuan tertentu yang berada
di bawah naungan organisasi besar/induk dan keanggotaanya bersifat sukarela),
Tanah Milik Pribadi, yang kedua Hak Milik Komunal, Hak milik komunal disebut
juga dalam hal ini hak milik adat, yaitu hak milik desa adat sebagai suatu
persekutuan atau badan hukum. Dengan kata lain, hak milik komunal adalah
tanah yang dikuasai adat, penggunaannya dan pengelolaannya diatur secara
bersama. Tanah yang dikuasai dengan hak milik komunal ini dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hak milik komunal murni dan hak milik komunal tidak
murni.
”Aturan tersebut seperti wajib tunduk pada kekuasaan desa adat atas tanah
(Hak pertuanan desa), aturan melarang atau mengubah pola permukiman
yang ada tanpa seijin desa adat, apabila menyelenggarakan upacara ritual
keagamaan, desa berhak ngerampag, ngalang, ngambeng, ngambang, atau
mengambil dengan Cuma Cuma dari warga”. (GSP, Yayasan Kekal 25
Oktober 2010)
90
aturan untuk penjualan tanah, aturan untuk perkawinan, aturan bagi
pendatang, hukuman/sangsi”.
91
hanya ada satu yaitu : Wayan Mangku Widya,
yang saat ini sudah keluar dari luanan. Belum
dapat menjadi luanan tertinggi karena
perkawinan anak pertamanya.
2. Bahan Rolas :
Bahan Duluan : merupakan bagian dari bahan Roras yang terdiri
atas atas 6 pasang pertama sebagai keliang
desa. Tugasnya pengambil keputusan dalam
pemerintahan.
Bahan Tebenan : merupakan bagian dari bahan roras yang terdiri
atas 6 pasang yang akan menjadi keliang desa.
3. Tambalapu
Tambalapu Duluan : merupakan bagian dari tambalapu roras, yang
terdiri atas 6 pasang yang bertugas
menyampaikan informasi kepada warga
lainnya.
Tambalapu Tebenan : terdiri atas 6 pasang, tugasnya sama dengan
tambalapu duluan
4. Pengluduan : tugasnya adalah sebagai pelaksana kegiatan.
92
tanah untuk selama-lamanya dengan menerima uang kontan. Kedua, hibah
yang dimaksud diartikan sebagai pemberian seseorang kepada orang lain,
baik ahli waris maupun orang lain yang bukan ahli warisnya, atas dasar
kerelaan, ketiga adalah gadai. Gadai adalah menyerahkan tanah sementara
kepada orang lain dengan menerima uang kontan, dengan maksud orang
yang punya tetap mempunyai hak atas kembalinya tanah tersebut dengan
membayar sejumlah uang yang sama. Namun demikian, sama seperti jual
beli, gadai tanah tidak diijinkan di lakukan kepada orang luar desa
Tenganan.”(GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010).
Jika seorang janda ataupun seorang yang tidak mempunyai anak tidak
diperbolehkan memberikan hibah. Proses pengurusannya hampir sama dengan
jual-beli, dimana orang yang akan menghibahkan hartanya kepada seseorang
harus melaporkan ke bale agung pada sangkepan krama desa dan disaksikan oleh
kliang desa. Bila syarat-syarat telah terpenuhi, maka kliang adat akan membuat
surat hibah yang dibubuhi cap kliang desa, tanggal, hari dan tahun dibuatnya.
Hal ini senada dengan wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat
bahwa:
”Berbeda dengan hibah dan jual beli, gadai dilaksanakan secara lisan
antara para pihak tanpa harus lewat sepengetahuan kliang adat. Dengan
demikian susah dikontrol apakah ada gadai yang dilakukan kepada pihak
luar”. (GSP, Yayasan Kekal 25 Oktober 2010)
93
Selain tiga mekanisme tersebut di atas, ada pula proses perpindahan
kepemilikan karena proses warisan. Ada 2 (dua) jenis tanah yang dapat diwariskan
yaitu tanah pekarangan rumah (Hak Milik Individu Terikat) dan tanah yang
merupakan hak milik pribadi (sawah dan tegalan). Hal ini senada dengan
wawancara salah satu pegiat pengamat tanah adat :
”Saat ini tanah sawah dan ladang di Tenganan Pegringsingan digarap oleh
orang lain yang berasal dari luar Tenganan dengan sistem bagi hasil.
Dalam pengelolaannya mereka tinggal di dalam areal lahan tegalan atau
hutan dan membangun bangunan permanen sebagai tempat tinggal. Pada
mulanya mereka mendapat persetujuan dari desa adat karena memang
sudah terjadi secara turun temurun, jadi mungkin sawah yang digarap
sekarang merupakan sawah garapan kakeknya dulu”. (GSP, Yayasan Kekal
25 Oktober 2010)
94
Jika berbicara perihal penggarap dan pemilik tanah, yang paling menarik
untuk dibahas adalah seputar hukum agraria nasional tentang Tanah Kelebihan.
Desa Tenganan Pegringsingan memiliki awig yang melarang orang menjual tanah
milik pribadi kepada orang luar Tenganan. Begitu pula sebaliknya, orang dari luar
tidak boleh membeli tanah yang berada di wilayah Tenganan Pegringsingan.
Sedangkan dalam ketentuan UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian disebutkan bahwa seorang atau orang-orang yang dalam
pernghidupannya merupakan suatu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian yang luasnya tidak melebihi batas maksimum.
Berlakunya dua hukum nasional tersebut dan ditambah kenyataan bahwa
penggarap sawah dan tegalan berasal dari orang luar Tenganan Pegringsingan,
maka dapat dipastikan bahwa ada penggarap yang akhirnya mempunyai hak
kepemilikan pribadi dan bebas dari aturan awig-awig”.
95
dan itu pun jarang di kelola karena masih berupa hutan. Ini yang belum ada
solusinya antara adat dan pemerintah, apakah itu milik negara atau milik adat.
Pemerintah lokal Timor dalam mengelola sumber daya lahan selalu tunduk
kepada hukum adat meski sudah ada hukum formal. Contohnya ketika Bupati atau
pemerintah daerah akan menmanfaatkan satu areal lahan maka pemerintah daerah
selalu meminta ijin Petua Adat. Kalau Petua Adat mengijinkan maka penggunaan
lahan tersebut baru dapat dilakukan. Di sini tergambarkan bahwa kepemilikan
tanah adat itu eksistensinya masih punya kekuatan yang bukan hanya ditaati oleh
masyarakat tapi juga pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
96
suku. Perwakilan di wilayah ini, Nai bersama pemerintah mendiskusikan tentang
pengelolaan dan pemanfaatan lahan komunal yang akan digunakan oleh
pemerintah. Pembangunan untuk fasilitas publik seperti jalan raya, Sekolah,
tempat peribadatan (gereja). Keputusan kepala suku mengikat karena hirarkinya
dari atas ke bawah (top down) dalam masyarakat Adat Timor.
97
tata batas biasanya masyarakat menerima dan menjujung tinggi keputusan
tersebut. Kalau sudah tidak dapat didamaikan dalam adat, baru permasalahan ini
dibawa ke pengadilan tapi hal ini jarang sekali terjadi. Berikut petikan wawancara
bagaimana adat menyelesaikan konflik:
“...karena otoritas adatnya itu masih mengatur itu, dia cari tahu sejarahnya
dulu kepemilikan tanah ini dikelola oleh siapa suku mana dicari tahu
sehingga yang berhak mengelola tanah ini adalah suku ini” (YEM, Tokoh
Muda Timor 25 Oktober 2010)
“Misalnya antara suku ini dengan suku itu berbatasan, di sana suku A
kamu yang menggarap sampai di sini, suku B biar di sana. Di dalam suku
ini kan ada individu lagi yang mengelola, individu ini dia yang
meneruskan terus-terus. Nah di Timor itu sukunya sangat banyak sehingga
dia tahu batas-batas alam itu. Jadi individu ini bukan orang di luar
suku”(YEM, Tokoh Muda Timor 25 Oktober 2010).
98
Bagi kita yang terbiasa dengan tulis-menulis dan mendokumentasikan
dalam bentuk tulisan ini sebenarnya masalah yang susah dan banyak tafsirnya
alias ribet, tapi menjadi sangat mudah ketika mereka mengetahui hak dan peran
masing-masing, ini pembelajaran menarik bagi generasi sekarang.
”... jangan heran kalau di Timor orang punya ladang jagung itu luas-luas,
karena mulai dari mengolah lahan, penanaman sampai pemanenan
dilakukan secara bergotong royong, paling hanya perawatan saja yang
dilakukan sendiri oleh individu petani pemilik lahan (YEM, Tokoh Muda
Timor 25 Oktober 2010).
99
Tanah-tanah suku Dani itu diperoleh dari membuka ladang didapat dari
perang antar suku lebih jauh dijelaskan:
“... Jadi kau pu Tete tuh punya kerja kebun di sini, tempat di sini jadi
tempat honey. Jadi di sana tempat tinggal itu namanya honey jadi ketika
kebun sudah tumbuh lain-lain tanah itu nanti yang itu otomatis milik saya
dan itu otomatis saya wariskan ke keturunan saya. Jadi tanah itu tetap jadi
tadi yang sempat saya utarakan dapat juga pada saat perang, perang
sampai.. jalan kemana, berapa kilo jalan tapi disaat mereka disitu mereka
jalan perang istirahat di tempat itu hisap rokok itu ahhh itu anggaplah
tanah itu milik fam/marga yang sempat hisap rokok disitu karena pada saat
dia hisap rokok bikin api ada yang melihat berarti oooo dari isu-isu dari
siapa saja” (YH, Direktur Titian 1 Oktober 2010).
Pengakuan terhadap satu lahan milik untuk suku dihormati dan diakui oleh
suku lain, yang menarik dari kepercayaan masyarakat di Wamena khususnya
wilayah Me Pego seperti dijelaskan tokoh muda Suku Dani sebagai berikut:
”...dulu ko pu Tete hisap rokok di sini jadi secara tidak langsung saya, dan
ketika ada orang yang kena sakit atau macam dapat tabrak jatuh dari
pohon di tempat itu orang lain tidak dapat sembuhkan, yang dapat
sembuhkan karena tadi tempat itu yang hisap rokok saya Pu Tete macam
begitu jadi kekuatan dari adat sudah ada di situ. Jadi sakit-sakit itu macam
orang lain tidak dapat obati, jadi tanah itu secara tidak langsung jadi milik
marga itu” (YH, Direktur Titian 1 Oktober 2010).
100
”Jadi ketika kita contohnya mengambil hasil hutan yang itu memang sudah
dilarang dan kita biar ambil sembunyi-sembunyi ambil hasil hutan kayu
atau yang lain-lain tapi yang terjadi yang jelas nanti pengaruh ke
ternaknya, terus ada pengaruh ke tanamannya. Jadi ada pengaruh pada
makanan pokok di sana itu petata, jadi selama ini petata di sana itu besar-
besar ketika kita melanggar hal itu nanti petata itu hasilnya kecil-kecil, itu
nanti terlihat disitu. Petata dalam bahasa Indonesia berarti Ubi, jadi macam
petata itu nanti pu isi tidak besar, kecil-kecil jadi dia pu daun tidak subur
itu menandakan orang ini berarti dia sempat ambil hasil hutan, tempat-
tempat larangan, tempat-tempat sakral larangan begitu” (YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010).
”Itu macam kepercayaan Totem itu begitu, macam di Papua bagian selatan
itu kan orangnya tinggi-tinggi, hal itu menandakan bahwa dia leluhur
mereka dari burung Kaswari jadi ada fam Kaise, Kaise itu artinya Kaswari
jadi orangnya tinggi-tinggi. Trus fam asegof, trus fam Kepno itu kan
mereka juga orangnya tinggi-tinggi jadi mereka leluhur mereka itu rusa
seperti itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
101
“Kalau di tempat saya itu Anjing itu kan biasa fam dari Loka, Huby itu
dari itu anjing jadi fam-fam itu tidak perlu makan Anjing jadi kalau makan
biasa tulang-tulang ini sakit. Ada gejala-gejala itu” (YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010)
Menurut tokoh muda Suku Dani tidak semua masyarakat Papua mengenal
Totem hanya suku-suku tertentu saja, khususnya suku Dani itu bilang usameke.
itu yang jadi hukum. Usameke itu mengatur untuk melindungi apa saja semacam
hewan-hewan, tumbuhan pohon-pohon dan lahan. Masyarakat suku Dani dalam
mengusahakan lahannya tidak hanya untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-
hari, hasil panen untuk komuditas tertentu di jual ke pasar untuk ditukar dengan
kebutuhan hidup yang lain. Masyarakat kebanyakan berkebun untuk tanaman
sayuran dan jagung dan lain-lain. Hal ini senada apa yang dikatakan tokoh muda
Papua:
”kalau masyarakat itu kebanyakan berkebun dan bercocok tanam yang tadi
saya cerita itu, saya cerita petata karena makannya pokok, tapi cara
berkebun itu kalau biasa lihat di TV-TV itu dengan bedengan”. Untuk
dijual itu macam sayur-sayur kol, jagung, sayur bayam, sayur sawi itu
biasa ditanam terus di jual”.(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober
2010)
”Kopi ada, sekarang punya apa punya pabrik sendiri Kopi Wamena ada,
Carabika Wamena, kan sekarang itu sudah ada gambar honey baru
kopinya ada masyarakat pakai koteka baru ada Kopinya sudah
dipublikasikan mungkin diseluruh Indonesia sudah. Yang sudah ada itu,
sudah ada memang itu Kopi” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober
2010)
102
Seperti realitas sosial di mana saja bahwa konflik selalu menjadi bagian
hidup dari kehidupan manusia. Perselisihan juga menjadi bagian hidup dari suku-
suku di Wamena. Konflik tanah seringkali menyebabkan perang antar suku ketika
masing-masing suku tidak dapat menyepakati batas wilayah adat mereka. Berikut
dijelaskan oleh tokoh muda Suku Dani:
”Yang sering masyarakat Wamena itu ada perang suku itu masalah yang
pertama itu masalah pembagian hak ulayat itu di sini suku ini punya disani
suku ini punya dan juga paling sering itu masalah perempuan, masalah
perempuan contohnya istrinya saya diganggu oleh ada satu suku biasanya
jadi perang. Dan kalau itu dari pihak istri itu jalan bongkar babi di pihak
pelaku, pelaku tidak terima terjadi peselisihan itu terjadi perang di Suku
Dani itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
”Tanah yaa yang tadi saya utarakan kalau macam pembagian dari satu
suku ini kita Pu batas wilayah sampai batas wilayah dari suku sebelah
tidak dapat ini punya artinya diantara itu baku-perang baku-perang satu
suku kalah berarti dia undur tanah itu berarti milik suku yang menang”
(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
”Cara menyelesaikanya itu tadi dengan perang, jadi kalau mereka kalah
jadi suku yang ini ambil, tapi memang biasanya diselesaikan dengan damai
itu biasanya panggil kepala suku terus Tua-Tua adat trus yang sudah tahu
103
informasi sejak awal jadi dipanggil semua dari Ketua Suku dari kedua
suku ini jadi sempat cerita-cerita dulu itu begini Ko Pu Nenek pernah apa
punya hak di sini jadi yang berhak dapat tanah ini. Kau jadi yang satu
mengalah itu berdasar ada Kepala-Kepala Suku dari kedua suku itu terus
ada Tua-Tua yang sudah tahu informasi tentang sebelumnya jadi. tanah ini
sebenarnya bagaimana dulu tanah ini Nenek moyang pernah begini, jadi
yang pertama itu dikumpulkan kalau bicara-bicara tidak ada solusi jadi
perang, perang itu agak ini utamakan dulu ditanyakan siapa pemilik tanah
sebenarnya seperti itu” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
Yang disampaikan di atas adalah untuk berkebun dan ada tanah untuk
ditinggalkan lagi untuk tempat ternak. Karena luasnya kebun yang dibuat pada
awal pembukaan lahan dan pembuatan pagar agar tidak diganggu oleh hewan liar,
seluruh pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama (bergotong-royong).
104
untuk buat pagar itu membutuhkan banyak orang jadi buka kebun itu tujuh
puluh hektar besar-besaran” (YH, 25 Oktober 2010),
Setelah pembuatan pagar selesai tanah baru dibagi-bagi secara adil per
keluarga, setelah ini tangungjawab pengelolaan, baik untuk penanaman,
perawatan menjadi tangung jawab keluarga masing-masing.
“Itu nanti dibagi perkeluarga karena tangungjawab untuk bekerja itu babat
cangkul tanam itu kan masing-masing. Jadi dibuat dulu padar keliling baru
selesai pagar jadi masih ada rumput pohon-pohon besar itu sudah mulai
bagi. batas ini sampai sini nanti keluarga ini batas ini sampai sini nanti
keluarga ini setelah dibagi semua kebun selesai semua sudah mulai panen”
(YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
Lebih jauh dijelaskan bahwa setiap hasil panen pertama selalu diserahkan
atau disumbangkan pada honey dan gereja-geraja. Berikut petikannya:
Menurut pendapat tokoh muda Suku Dani bahwa pemindahan hak akan
tanah selain tadi disampaikan turun-temurun juga karena proses jual-beli. Jual beli
umumnya hanya dilakukan pada masyarakat pendatang. Ini tidak aneh karena
hampir semua suku-suku di Papua khusunya di Wamena masih mempunyai tanah
yang cukup luas, apalagi kalau kita bandingkan dengan populasi penduduknya.
Seperti kutipan berikut:
”Kalau gadai itu jarang. Yang terjadi itu jual...jual saja dengan orang dari
luar biasanya. Kalau di Wamena itu biasanya yang dijual itu hanya daerah
kota saja” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
105
Kepemimpinan kepala suku tidak dipilih biasanya Tokoh-Tokoh yang
mempunyai keahlian berperang, selain itu kekayaan juga menjadi ukuran untuk
menjadi kepala suku. Yang pasti saat ini kepala suku itu diwariskan dari
leluhurnya. Seperti keterangan dalam kutipan ini:
”Kepala itu tidak dipilih, kepala itu dari awal dari nenek moyang sana, jadi
macam saya kebetulan saya ini anaknya dari kepala suku jadi macam saya
Pu Tete itu dulunya dia orangnya jago perang, jago perang dan itu punya
banyak babi dan punya istri banyak bahkan dua puluh sampai dua puluh
lima itu, itu istri kepala suku. Kalau babinya paling banyak itu secara tidak
langsung itu anggap jadi kepala suku jadi tidak dipilih”(YH, Tokoh Muda
Suku Dani, 25 Oktober 2010).
”... itu nanti diwariskan kepada anak pertama laki-laki. Anak kalau ada
sepuluh-lima belas itu nanti dilihat biasanya kepala suku itu diwariskan
jadi dilihat mana yang paling rajin berkebun dan punya istri banyak ada
perempuan melamar banyak. ...itu dia Pu anak nanti ganti orang tua jadi
secara langsung” (YH, Tokoh Muda Suku Dani, 25 Oktober 2010)
106
pada wilayah Indonesia yang sangat luas dengan berbagai karateristik baik
biofisik, sosial dan budaya pengelolaan yang berbeda-beda. Model yang
dikembangkan pun tidak dapat seragam, tergantung pada potensi dan budaya yang
berkembang di masyarakat. Peran negara dan pemerintah adalah mendorong
optimalisasi dan produktivitas lahan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Dalam lahan komunal lahan dimilik secara bersama. Ada yang istilahnya
kolektif dimana tidak ada kepemilikan individu tidak ada penguasaan individu
didalam kepemilikan lahan itu. Ada komunal yang didalamnya ada kepemilikan
individu, tetapi individu itu harus anggota masyarakat dalam komunitas komunal
tersebut sementara tidak boleh diperjual-belikan oleh individu-individu.”
107
menjadi pijakan dalam mendorong kebijakan agraria di Indonesia. Berikut
kutipannya:
1. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang dapat
dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak
seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini berfungsi sebagai kawasan
perlindungan alam dan pemanfaatan dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-
kaidah konservasi alam, maka peran negara dalam memantau akses dan
melindungi kawasan menjadi dominan. Misal pada kawasan taman nasional
dan hutan lindung.
2. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga, dengan
didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat
komunal.
108
4.3.6. Model Pengelolaan Lahan Komunal yang sesuai dengan Karateristik
Masyarakat Indonesia, dalam Kerangka Optimalisasi Lahan
Menurut pendapat pegiat pembaharuan agraria program pembaharuan
agraria khusunya landreform di Indonesia dari sisi produktifitas tanah pasca
landreform, dalam rumus kepala BPN reforma agraria itu sama dengan
landreform +akses reform. Berikut petikan keterangannya:
109
dapat ditanamkan disini kemudian pupuknya, misalnya kita dorong pupuknya
yang sifatnya organik pupuk yang bukan pupuk kimia buatan pabrik tetapi pupuk
yang dikembangkan petani sendiri untuk meningkatkan produksi disatu sisi tapi
juga untuk memelihara keberlanjutan pelayanan alam, pelestarian alam dan
lingkungan. Jadi ini pupuknya yang ramah lingkungan, teknologinya juga mudah
dan meringankan petani tidak menjerat petani. Hal ini ditegaskan seperti kutipan
berikut ini :
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan supaya usaha ini sesuai konteks
pengembangan usaha tani agar terjadi peningkatan produktifitasnya maka
pengelolaan pertanian ini dikembangkan dalam bentuk badan-badan usaha milik
petani dalam bentuk koperasi-koperasi petani baik melalui Badan Usaha Milik
Petani (BUMP) dan koperasi-koperasi petani. Pengusahaan tanah yang sudah
dikuasai itu akan dilakukan secara bersama sehingga pencarian bibit-bibit,
pencarian pupuk dan sarana produksi yang lain yang menunjang produktivitas
tanah ini dilakukan secara bersama juga.
110
Pendapat serupa juga disampaikan oleh pegiat masyarakat adat,
menurutnya salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
adalah kegotong-royongan, fakta itu dapat dibuktikan dalam berbagai tradisi dan
budaya masyarakat di berbagai kepulauan di Indonesia. Berikut petikan
penegasannya:
Kalau kita melihat kembali wilayah Indonesia saat ini hampir 70%
merupakan kawasan hutan, yang otoritas pengelolaannya ada di tangan negara.
Hal senada juga dikatakan oleh salah seorang pejabat di Ahli Bidang Revitalisasi
Industri Kehutanan (Pernah menjabat Dirjen Planologi) Kementerian Kehutanan
bahwa:
111
framework yang juga sudah dipegang oleh negara menurut hukum formal
ada dua. Kalau saya lihat kawasan atau tanah Indonesia itu 185 juta hektar
133 Juta hektar itu di kawasan hutan, by law adalah kawasan hutan. Berarti
hampir 60-70% luas daratan di Indonesia itu dikuasai negara, di bawah
Kementerian Kehutanan. (S, 27 September 2010)
“Buat saya ini omong kosong kalau di kawasan hutan itu tidak dapat
berjalan land market. Boleh jadi secara aturan begitu, tapi faktanya, berapa
luasan lahan hutan yang dikuasakan kepada sektor swasta dibandingkan
akses yang diberikan kepada masyarakat. Bahkan masyarakat yang sudah
tinggal turun-temurun ratusan tahun di satu kawasan yang masuk kawasan
hutan seringkali di anggap pemerintah sebagai perambah. Ketika
memotong kayu dianggap mencuri padahal mereka mewarisi lahan dan
112
kayu-kayu tersebut dari nenek moyang mereka” (YK, Direktur Titian 1
Oktober 2010).
Dari dua pendapat yang berbeda tersebut menjadikan dasar bahwa ini
merupakan tantangan atau menjadi perhatian bagi perancang, penyusun dan
pelaksana landreform nantinya. Kajian terhadap obyek dan subyek landreform
semestinya tidak hanya didasarkan saja pada hukum formal tapi kajian sosial,
kajian kesejarahan kepemilikan dan pengelolaan hendaknya dapat nenjadi
indikator dalam penentuan model landreform.
BAB 5
PEMBAHASAN
113
melalui studi pustaka dari hasil-hasil penelitan, buku dan artikel yang dapat
menggambarkan pola-pola kepemilikan komunal di berbagai komunitas
masyarakat Indonesia. Untuk memperdalam kajian, maka telah dilakukan
wawancara dengan beberapa nara sumber yang berkecimpung langsung di dalam
isu-isu agraria di Indonesia
114
Adapun sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dengan sebutan Dalihan
Natolu, Batak Karo dengan sebutan Daliken Sitelu, dan Batak Simalungun dengan
sebutan Tolu Sahundulan.
115
membersihkan atau membabat hutan(Bab 3, h.56). Pada masyarakat Dayak
Kayan yang tinggal di daerah sungai Mendalam wilayah Kalimantan Barat,
misalnya, mengakui bahwa mereka yang membuka hutan primer mempunyai hak
untuk bertani dan berladang di areal yang dibuka. Hak penguasaan lahan ini dapat
diturunkan kepada keturunan dari individu-individu yang pertama kali membuka
lahan. Sementara itu. masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas berkembang
pola penguasaan dan pemilikan lahan yang diakui oleh masyarakat secara turun
temurun (Bab 3, h.56), pola tradisional dan turun temurun, warga desa menguasai
dan memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka. Dalam mengelola sumber
daya lahan yang ada penguasaan dan pemanfaatan lahan dapat bersifat perorangan
dan juga dapat bersifat komunal. Pola pemanfaatan dan penguasaan lahan tersebut
diakui dalam konteks lokal tradisional, tetapi tidak secara hukum formal. Pola tani
masyarakat Dayak yang pengusahaan ladang secara berpindah dalam rotasi tiga
sampai sepuluh tahun.
Tabel 5.1
116
Berdasar Patrilineal Matrilineal Parental
Genealogis (pertalian darah (pertalian darah
(keturunan) (pertalian darah garis garis ibu) garis bapak dan
bapak) garis ibu)
117
pengelolaan tanah ulayat tergantung dari berapa jumlah luas yang berhasil
dikuasai.
Adat Penunggu ini menjadi menarik untuk terus dikaji karena organisasi
adat telah melebur dan membuat organisasi moderen dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai adat dengan mengadopsinya dalam aturan-aturan
organisasi. Selain itu, model komunal ini telah menjadi pembelajaran bersama
bagaimana pola landreform dijalankan, karena mereka membangun kesepakatan
pengelolaan secara bersama melalui musyawarah dan aturan-aturan adat
penunggu.
Pada masyarakat adat di Bali kepemilikan lahan oleh Desa Adat, yang
menarik membicarakan soal penguasaan dan pemilikan tanah di Bali tidak lepas
dari kesatuan masyarakat adat Bali yang otonom. Sampai sekarang, Desa
Pakraman atau Desa Adat, meyakini bahwa seluruh tanah adalah milik desa adat
meskipun sebagian atas nama individu atau kelompok (Bab 4, h.85). Awig-awig
desa mengatur tentang pengelolaan tanah di desa tersebut dan orang Tenganan
Pegringsingan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar
Tenganan. Wilayah Desa Tenganan Pegringsingan sejak abad ke-11 hingga
sekarang tetap sama. Walaupun mengalami perubahan itu lebih karena faktor
alam, misalnya longsor atau terkikis, mengingat bahwa wilayah Tenganan yang
berbukit-bukit dan masih menggunakan batas alam sebagai batas desa.
118
Kepemilikan individu ini memang berdampak pada tidak adanya
kemampuan adat untuk mengintervensi lahan-lahan yang sudah diberikan kepada
individu. Artinya kontrol terhadap perpindahan kepemilikan lahan ini sudah tidak
dapat dilakukan oleh otoritas adat secara penuh. Meski demikian, karena ikatan
antara tanah dengan masyarakat ini sangat tinggi, maka dalam benak masyarakat
Timor menjual tanah menjadi hal yang di haramkan. Konsekuensi dari hal
tersebut, yaitu jarang sekali ditemui transaksi penjualan tanah di Timor terutama
di daerah pedalaman atau perdesaan.
Tabel 5.2
Penguasaan dan
Wilayah Kajian Bentuk Pengelolaan
Pemilikan
119
Ayah (patrilineal) d). Indahan Arian, e). Dondontua,
f) Upasuhut, g).Marga,
120
Timor Tanah Komunal Pengelolaan lahan yang tadinya
dikelola secara secara komunal ini, mulai bergeser
individu pada pola kepemilikan individu.
Hal ini dapat terjadi jika individu
tersebut sudah lama mengelola
lahan secara intensif di satu
wilayah
Pada Adat Minangkabau setiap individu terikat dan terlibat dengan adat,
hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan
kekerabatan diatur secara adat. Pada tataran konsepsional, adat Minang terbagi
pada empat kategori: a). Adat nan sabana adat, b). Adat nan teradat, c). Adat nan
diadatkan, d). Adat istiadat. Adat mengatur interaksi dan hubungan antar sesama
anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan formal maupun tidak
formal.
Pada Batak Toba sebelum diuraikan tentang desa, perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa prinsip adat istiadat dan asal mula suku batak tidak terlepas dari
Dalihan Na Tolu (Bab 3, h.50). Dalihan Na Tolu adalah suatu aturan yang
mengatur sistem kekerabatan marga-marga yang ada pada suku batak dan
121
merupakan acuan hidup masyarakat batak yang merupakan sebagai berikut: Hula-
hula (Tulang), Dongan Sabutuha (Semarga), Boru (Anak Perempuan).
Lain lagi dengan kelembagaan di Bali, hal ini sangat unik karena Desa
Adat di Bali merupakan satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya masih
memegang teguh peraturan mengenai adat istiadat setempat. Dalam adat Bali
sangat sulit membedakan mana adat dan mana agama, sementara di tempat-tempat
yang lain di Indonesia, persoalan adat dan agama sering kali dipisahkan secara
jelas garis demarkasinya, malah kadang keduanya timbul ketegangan bahkan
bertabrakan.
Dalam adat Bali ini, ada kesatuan budaya masyarakat yang sangat lengkap,
dimana dimensi adat dan agama menyatu berkelindan. Untuk menyiasati jarak
antara struktur lama dengan struktur baru, sehingga untuk membedakan ini maka
antara desa adat dengan tata pemerintahan pasca kemerdekaan di Bali, maka
kelembaagan adat tetap mempunyai struktur lama sementara struktur baru atas
nama desa menjadi desa dinas yang sifatnya administratif seperti desa-desa
umumnya di Indonesia.
122
Lembaga Adat Tenganan merupakan lembaga tertinggi yang mengatur tata
kehidupan warganya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari maupun dalam
upacara ritual keagamaan. Krama desa bertugas untuk melakukan upacara,
mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Jabatan dibagi empat tingkat
yaitu (lihat Bab 4, h.85): Luanan, Bahan Duluan, Bahan Tebenan, Tambalapu
duluan, Tambalapu Tebenan, Pengluduan.
Pada masyarakat Timor, di tiap-tiap Adat dipimpin oleh Raja. Raja ini
sama masyarakat setempat sering disebut Liurai, biasanya satu kecamatan itu ada
satu Raja. Ia mempunyai 12 Nai, 12 Nai ini wakil raja atau gubernur mereka, yang
bertugas memantau seluruh sumber daya alam maupun aturan nilai-nilai adat yang
ada dan masih berlaku di daerah itu.
123
diperhatikan dalam membangun model operasionalisasi landreform yang nantinya
berlaku berbeda-beda di tiap suku atau pun di tiap daerah.
Sementara pada masyarakat Batak Toba relasi sosial terlihat dalam adat
perkawinan ini mirip dengan masyarakat adat Minangkabau. Apabila terjadi
penyimpangan dalam perkawinan (bila salah seorang calon pengantin bukan
berasal dari etnis Karo), pihak daliken si telu calon pengantin yang beretnis Karo,
selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut disyahkan
menjadi ”orang Karo” yaitu diberikan klan (marga/beru), dan sekaligus diberikan
orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (di luar
124
adat istiadat Karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidang-
bidang tertentu (di dalam adat istiadat Karo) jelas jauh melebihi orang tua
kandungnya yang bukan berasal dari etnis Karo (Bab 3, h.51). Pemberian klan
ini tidak bertujuan untuk mengkaronisasikan etnis non Karo yang ingin berjodoh
dengan etnis Karo, tetapi bertujuan agar mekanisme daliken sitelu tetap berfungsi
semestinya.
Meski berbeda caranya antara Adat Minang dan Batak tapi esensi norma-
narma yang berkembang mempunyai nilai-nilai yang boleh dikata relatif sama.
Pada masyarakat Batak salah satu keuntungan terkait dengan warisan adalah (a)
dengan pemberian klan, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak
suaminya meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang dimiliki
suaminya dan (b) kedudukan orang yang diberi klan (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama di dalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya
sama-sama satu etnis.
125
dapat memilki tanah jika mereka telah menikah dengan perempuan dari marga
pemilik tanah. Mereka biasanya disebut Sonduk hela.
126
dimiliki. Oleh karena itu, kehilangan lahan dapat dianggap sebagai ancaman
terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Dalam konsep kehidupan di Bali mengacu pada istilah Tri Hita Karana,
yaitu tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup
manusia (Bab 4, h.80). Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan
127
hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan
dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya
persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam
bermasyaraakat, tapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan
untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian suatu ciri khas
desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni: wilayah,
masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan
tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang
nyaman, tenteram dan damai secara lahiriah maupun batiniah. Seperti inilah
gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.
Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan,
hanya boleh pinjam-pakai (dipinjampakaikan) antara sesama warga yang masih
dalam satu rumpun adat (suku). Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini,
secara informal masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang
ada di daerah tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat
hukum adat (marga) tertentu, dimana ketentuan-ketentuan penggunaannya di
antara anggota marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-
masing marga.
128
Pantangan dalam menebang pohon jenis Merbau yang perawakannya
tinggi besar dan berbeda dengan jenis yang sama pada suatu luasan (suku Bugui).
Wanita yang dalam keadaan menstruasi tidak diperbolehkan ke kebun, karena
diyakini dapat mendatangkan babi yang dapat merusak tanaman (suku Arfak).
Kearifan lokal masyarakat adat Papua seperti a). etika dan aturan, b).
teknik dan teknologi, c).praktik dan tradisi pengelolaan Hutan/Lahan. Merupakan
bukti bahwa pola-pala pengusahaan dan pengelolaan lahan layak menjadi kajian
bagaimana model dan pola-pla pengusahaan lahan di Indonesia diadopsi dalam
operasionalisasi pembaharuan agraria di Indonesia.
129
tigo sajarangan (Tali Tigo Sapilin) terbagi menjadi tiga yaitu Ninik Mamak, Alim
Ulama, Cerdik Pandai (Bab 3, h.54).
130
sanksi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas-batas yang
jelas, memiliki harta pusaka, serta merasa terikat pada satu kesatuan teritorial adat
(Bab 3, h. 51).
Pada Suku Mayu di Papua peran kepala suku sangat penting dalam
komunitas, kepala suku yang mengkoordinir anggota suku untuk membuka
lahan. Selain itu, Suku Muyu memilih tanah berwarna hitam karena mereka
meyakini tanah tersebut subur dan cocok untuk semua jenis tanaman: pisang
(jum), jemen andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran,
dan lain-lain. Kepala suku yang menjadi penengah ketika terjadi konflik di
masyarakat.
Masyarakat Timor di setiap Adat dipimpin oleh Raja (Bab 4, h.93). Raja
disebut Liurai. Pada lahan-lahan yang belum dikelola atau masih kosong itu
menjadi otoritas adat, sehingga siapapun yang akan mengunakan lahan tersebut
harus seijin Petua Adat atau kepala suku. Misalnya kawasan yang akan dikelola
sumber daya alamnya pemerintah harus berkoordinasi dengan Kepala Suku yang
secara adat menguasai lahan tersebut. Keputusan tentang pengelolaan lahan
tersebut di bawah otoritas ketua adat sepenuhnya. Semua anggota-anggota suku
tetap percaya pada ketua adat, struktur adat yang ada di Timor adalah suku besar
yang dipimpin oleh ketua adat atau Nai. Nai ini memiliki wakil yaitu kepala suku-
kepala suku. Dengan perwakilan di wilayah ini Nai bersama pemerintah
mendiskusikan tentang pengelolaan dan pemanfaatan lahan komunal yang akan
131
digunakan oleh pemerintah. Pembangunan untuk fasilitas publik seperti jalan
raya, sekolah, tempat peribadatan (gereja). Keputusan kepala suku mengikat
karena hirarkinya top-down dalam masyarakat Adat Timor.
Dalam konsep lokal, keamanan tanah tidak diukur dengan selembar kertas
yang disebut sertifikat, tetapi riwayat penggarapan tanah secara turun temurun,
pengakuan tokoh- tokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi faktor penentu.
Dengan demikian, masyarakat merasa tidak perlu menyertifikatkan tanahnya yang
132
diperoleh dari warisan, mereka hanya menyertifikatkan tanah-tanah yang dibeli
dari pihak lain.
133
Membahas pola kepemilikan tanah di Papua tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan masyarakat Papua, karena bagi masyarakat Papua sejengkal tanah itu
tanah milik adat. Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah
antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem,
Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni
Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3
(Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja
Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru,Aifat,Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan
Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5
kawasan Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah
adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom,
Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak
Jaya, Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman (Bab 3, h.53).
Seperti realitas sosial di mana saja bahwa konflik selalu menjadi bagian
hidup dari kehidupan manusia. Perselisihan juga menjadi bagian hidup dari suku-
suku di Papua. Konflik tanah seringkali menyebabkan perang antar suku ketika
masing-masing suku tidak dapat menyepakati batas wilayah adat mereka (Bab 4,
h.100). Meski demikian, sengketa tata batas antar suku selalu diawali dengan
musyawarah yang menghadirkan Tetua-Tetua dan tokoh adat yang memahami
permasalahan tata batas, baru setelah tidak ada kesepakatan perang suku tersebut
terjadi. Perang antar suku biasanya baru selesai setelah ada pihak yang kalah dan
mengakui wilayah yang menjadi konfik menjadi wilayah suku yang menang.
Dalam masyarakat Desa Adat Bali khususnya di desa Tanganan, tanah dan
luas tanah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah tetap, hal ini juga berlaku
untuk luas dan letak tanah berdasarkan penggunaannya. Adanya awig-awig yang
mengatur semuanya, maka tanah desa tidak akan mengalami perubahan (Bab 4,
h.85). Yang mungkin terjadi perubahan adalah tanah hak milik, itu pun hanya
sebatas pergeseran kepemilikan diantara sesama warga adat. Di sini menunjukkan
bahwa hampir tidak pernah terjadi konflik tentang tata batas pada wilayah desa
Adat. Keteguhan dan konsistensi masyarakat Bali dalam memegang nilai-nilai
leluhur termasuk menjaga warisan yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka,
134
menjadikan urusan distribusi lahan dapat dikelola dengan baik. Ini dapat
dibuktikan dengan luas lahan Desa Adat tidak terjadi perubahan meski sudah
ratusan tahun.
Pada masyarakat Timor batas wilayah milik komunal dan individu masih
menggunakan tanda alam seperti batu besar, sungai, dan pohon. Masyarakat
Timor belum mendokumentasikan tata batas wilayah baik komunal maupun
individu, dalam bentuk peta yang tergambar atau pun tertulis. Di sini tugas Nai-
Nai tersebut mengenali dan mengidentifikasi batas-batas kepemilikan, meski
demikian permasalahan perbatasan jarang terjadi konflik (Bab 4, h.94). Apabila
terjadi konflik, tata batas biasanya diselesaiakan dengan rapat adat atau dibilang
omongan-omongan sirih pinang. Apabila kepala suku memutuskan sebuah konflik
tata batas biasanya masyarakat menerima dan menjunjung tinggi keputusan
tersebut. Kalau sudah tidak dapat didamaikan dalam adat, baru permasalahan ini
dibawa ke pengadilan tapi ini jarang sekali terjadi untuk di wilayah Timor.
135
h.55). Dengan keyakinan tersebut, mereka tidak mengeluh, konflik, apalagi
sengketa. Praktik demikian, secara politis, dapat menunjukkan kepada komunitas
luar bahwa warga komunitasnya mampu mempraktikkan bagaimana ideologi
komunal diterapkan secara benar dan dapat mempertemukan serta menyelaraskan
berbagai kepentingan yang berbeda.
136
misalnya selain iuran wajib masyarakat yang mempunyai hasil tani yang berlebih,
lewat organisasi memberikan bantuan pada masyarakat dalam komunitas mereka
yang sedang gagal panen. Hal ini dilakukan supaya tidak ada kesenjangan sosial
dan menjalin silaturahmi diantara masyarakat.
137
sumber daya alam regional, pada masyarakat Dayak di Kalimantan seringkali
wilayah komunalnya berada pada wilayah administrasi pemerintahan yang
berbeda. Hal ini seringkali menimbulkan perbedaan pendapat diantara masyarakat
komunal dengan pemerintah.
Dalam penentuan tata batas tidak hanya didasarkan pada tanda-tanda alam
tapi juga lebih dari itu, misalnya pada suku Dayak dalam menentukan batas
wilayah ini ditujukan untuk membangun kebersamaan (sense of
community) sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan
untuk mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material
well-being). Di lain pihak, pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga
dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai. Masyarakat Suku
Dani juga begitu, penghormatan terhadap wilayah adat suku lain bukan hanya
dilihat dari batas-batas fisik tapi juga batas spiritual dimana suku lain yang
mengakses, mengambil atau mengusahakan wilayah yang bukan wilayah sukunya
diyakini akan berdampak pada kehidupan mereka. Ini menunjukan betapa kearifan
budaya mereka begitu luhur dalam menghormati batas-batas wilayah suku
mereka.
138
b. Pilihan Kebijakan Landreform Pada Pola Kepemilikan Tanah Komunal
di Indonesia.
Peran negara dalam pengelolaan sumber daya agraria sesuai Undang-
undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang kepada negara untuk:
Dari penelusuran data dan wawancara serta mengacu pada UUPA 1960
maka didapat gambaran awal pola landreform di Indonesia. Kesuksesan program
pembaharuan agraria dalam konteks landreform, salah satunya adalah pola dari
pelaksanaan landreform dan pilihan-pilihan operasionalisasinya. Kalau di
kelompokkan, maka ada 3 pola yang dapat dikembangkan yaitu:
139
a. Komunal
b. Individual
c. Campuran/modifikasi antara Komunal dan Individual
Pada pilihan kebijakan kepemilikan, penguasaan, pengusahaan maupun
pengelolaan komunal dapat di kelompokan menjadi dua pilihan antara lain:
a. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang
dapat dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini
berfungsi sebagai kawasan perlindungan alam dan pemanfaatan
dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi alam, maka
peran negara dalam memantau akses dan melindungi kawasan menjadi
dominan. Misal pada kawasan taman nasional dan hutan lindung.
b. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga,
dengan didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku
pada masyarakat komunal.
140
teknologi, pemasaran, dan lain-lain). Jadi, “landreform” plus program-program
penyiapan berbagai infrastruktur itulah yang kemudian diberi istilah dalam bahasa
Inggris Agrarian Reform. Negara pertama yang berusaha menerapkan pembaruan
agraria dengan paket lengkap seperti itu adalah Bulgaria yaitu pada tahun 1880-an
(King, 1977:34).
141
secara bersama misalnya untuk menghindari jual beli atau lepasnya tanah dari
rakyat miskin atau menghindari dari spekulasi komoditisasi atau komersialisasi
tanah. Landreform dapat selesai, tapi reforma agraria belum selesai. Hal ini dapat
terjadi karena tanah yang sudah didistribusikan/redistribusikan kepada masyarakat
itu belum tentu atau tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang menerima tanah, belum tentu dan tidak otomatis. Oleh karena itu, diperlukan
sejumlah input istilah Wiradi (guru besar Agraria IPB), berupa input-input pasca
landreform berupa sarana dan prasarana pendukung terhadap tanah.
142
Pendapat serupa juga disampaikan oleh penggiat masyarakat adat
nusantara, bahwa salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
adalah kegotong-royongan, fakta itu dapat dibuktikan dalam berbagai tradisi dan
budaya masyarakat di berbagai pulau di Indonesia. Ia menegaskan lagi bahwa,
sesuatu yang khas dan jarang dimilki oleh komunitas masyarakat di negara lain
adalah kehidupan sosial bersama pada masyarakat Indonesia. Gotong-royong
tidak hanya dikenal pada masyarakat Jawa, di Bali misalnya pengelolaan lahan
dilakukan secara bersama-sama, bahkan masyarakat Dayak di pedalaman
Kalimantan dalam pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-sama, mereka
juga tinggal secara bersama di rumah Betang. Masyarakat di pulau Papua juga
hidup berkelompok.
BAB 6
6.1. Kesimpulan
Dari kajian literatur dan wawancara yang telah dilakukan, maka
penelitian ini menyimpulkan beberapa poin penting yang sangat mendasar
kenapa pembangunan ekonomi di Indonesia seperti tidak tahu arah, proses
pembangunan berjalan tetapi transformasi sosial untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat tidak terjadi. Hal ini dikarenakan persoalan
143
pembaharuan agraria dengan perangkat kebijakannya yang dikenal dengan
UUPA 1960 tidak dijalankan dalam operasionalisasinya.
144
Pembaharuan agraria sebagai fondasi pembangunan yang dimaksud
adalah pembaharuan agraria selain sebagai cara mendistribusi sumber daya
agraria secara adil, juga memberikan kepastian hukum bagi berbagai pihak
terhadap kepemilikan, pengelolaan dan penggunaan sumber daya agraria.
Pembaharuan agraria itu didefinisikan sebagai upaya untuk meletakkan dasar
bagi pembangunan nasional yang lebih lanjut. Pembaharuan agraria juga
dasar atau fondasi bagi dijalankannya pembangunan nasional, termasuk
didalamnya industrialisasi nasional dimana peran masyarakat dominan.
Sementara, kejelasan status kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan
merupakan bagian dari jaminan kepastian investasi bagi sektor swasta dan
bagi masyarakat ada kepastian hak sehingga mereka tidak tergusur oleh
sebuah proses pembangunan.
145
c. Komunal Murni.
Komunal murni ini dapat diterapkan pada sumber daya agraria yang
dapat dimanfaatkan bersama dan atau yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak seperti hutan dan danau. Jika kawasan komunal ini
berfungsi sebagai kawasan perlindungan alam dan pemanfaatan
dibolehkan asal sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi alam, maka
peran negara dalam memantau akses dan melindungi kawasan menjadi
dominan. Misal pada kawasan taman nasional dan hutan lindung.
d. Komunal yang didalamnya ada individu.
Pada pola ini khususnya dapat diterapkan pada usaha tani di mana
kepemilikan dipegang oleh komunal atau komunitas sementara
pengelolaannya diserahkan pada individu dalam sebuah keluarga,
dengan didasarkan pada kesepakatan dan norma-norma yang berlaku
pada masyarakat komunal.
146
dijadikan alasan bagi perancang, perencana dan pelaksana landreform untuk
tidak mengakomodir pengakuan hak bagi masyarakat-masyarakat komunal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan tata batas yang belum
terdokumentasi dengan baik bukan hanya menjadi permasalahan masyarakat
komunal saja, tapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dimana
batas-batas dari pengelolaan agraria dalam berbagai fungsinya juga belum
selesai.
147
memperjelas maksud dari UUD 1945 khususnya amendment IV pada pasal
18B butir 2.
6.2. Rekomendasi
Dari temuan lapangan, pembahasan dan berdasarkan pada kajian
pustaka yang dilakukan maka, penelitian ini merekomendasikan beberapa
poin terkait dengan pilihan kebijakan landreform pada pola komunal antara
lain :
148
perencana dan pelaksana pembaruan agrarian adalah bagaimana
landreform memberikan pemenuhan harga diri, harkat dan martabat
(human dignity) serta hak sosial-budaya.
3. Tidak adanya payung kebijakan nasional yang menjadi acuan terhadap
setiap kebijakan yang dilahirkan dalam pengelolaan sumber daya agraria
sehingga diperlukan segera untuk memperkuat posisi UUPA dalam
berbagai kebijakan nasional.
4. Perlu studi-studi tentang model-model pelaksanaan landreform khususnya
pada pola kepemilikan komunal dengan mengkaji lebih dalam tentang
kondisi sosial ekonomi, sosial politik dan budaya. Studi-studi tersebut
dalam upaya mendukung informasi dan keberhasilan program landreform
pada pola-pola komunal maka penggalian silsilah kepemilikan hak atas
suatu kawasan yang merupakan lokasi hidup komunitas adat setempat
melalui proses penelitian dan kajian sosial budaya.
5. Perlu dilakukan pemetaan wilayah kepemilikan berdasarkan komunitas
suku maupun marga untuk memastikan batas-batas wilayah antar suku
maupun marga. Pemetaan ini dilakukan dengan metode partisipatif
sehingga pengakuan satu wilayah tidak menjadi konflik dengan komunitas
komunal yang lain.
6. Pilihan Kebijakan Landreform di Indonesia Pada Pola Kepemilikan
Komunal adalah sebagai berikut:
A. Recognize (pengakuan terhadap tanah yang dimiliki secara
komunal/adat/ulayat) oleh Negara,
Dilakukan ketika seluruh prasyarat sudah dimiliki oleh satu komunitas
komunal, sehingga pemerintah tinggal memberikan pengakuan
terhadap wilayah komunal tersebut.
B. Recognize + Distribusi untuk komunal,
Dilakukan pada wilayah komunal yang memiliki lahan terbatas dan
tidak lagi mampu memberi jaminan akses bagi seluruh anggota
komunitas komunal. Sehingga perlu diberikan lahan tambahan dari
lahan yang dikuasai negara untuk didistribusikan.
C. Recognize + Redistribusi untuk komunal,
149
Dilakukan ketika satu wilayah komunal yang dimiliki terbatas
sementara sebagain lahan komunal dikelola oleh negara atau swasta.
Sehingga pemerintah berkewajiban untuk meredistribusi lahan
tersebut.
D. Konsolidasi.
Satu komunitas yang tinggal di satu tempat, karena kondisi politik
ekonomi, sosial ekonomi, sosial budaya , membuat mereka melakukan
pengelolaan secara bersama. Dalam konsolidasi ini sertifikat bisa
individu bisa komunal sesuai dengan klaim yang ajukan.
150
mapan.
f. Adanya relasi sosial yang
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
g. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
h. Kecukupan sumber daya
lahan yang dikelola.
151
(pengakuan terhadap temurun dan memiliki b. Dukungan
tanah yang dimiliki keterkaitan sejarah dangan dokumentasi tata
secara lahan. batas(partisipatif).
komunal/adat/ulayat b. Adanya satu sistem, c. Intervensi
dibarengi dengan seperangkat aturan, yang kelembagaan berbasis
pengembalian/pembagian menjamin distribusi lahan norma dan nilai-nilai
tanah yang pernah bagi komunitasnya. lokal.
dikelola oleh negara atau c. Adanya kelembagaan yang d. Dukungan akses
swasta) menjalankan dan menjaga pasar/dan pelindungan
norma dan hukum yang ada. untuk komoditi dan
d. Memiliki model kelola yang hasil budidaya.
mapan.
e. Adanya relasi sosial yang
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
f. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
g. Kecukupan sumber daya
lahan terbatas, sebagain
lahan yang pernah dikelola
telah dikelola oleh
pemerintah atau pihak
swasta.
152
mapan. pendanaan kredit/mitra
e. Adanya relasi sosial yang kerja.
mendukung distribusi aset
bersama baik lahan maupun
produksinya
f. Adanya tata batas yang
mengatur kelola-kelola
anggota komunitas maupun
batas dengan pihak luar.
g. Kecukupan sumber daya
lahan terpenuhi.
Hasil studi ini merupakan penelitian awal untuk menyusun panduan dalam
menentukan kriteria-indikator/ciri-ciri kepemilikan komunal, untuk dikenali dan
mendapat pengakuan atau perlindungan dari negara. Sehingga perlu ada studi
lebih mendalam dan empiris terkait dengan ciri-ciri pengelolaan komunal. Studi
lain yang juga diperlukan adalah menguji hasil penelitian ini dalam
menyempurnakan pendekatan penilaian.
153
PUSTAKA
I. Buku-Buku
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar. (Edisi
Revisi). Jakarta : PT Rineka Cipta
Colchester, Marcus; Jiwan, Norman; Andiko; Sirait, Martua ; Firdaus, Asep
Yunan; Surambo,A.; Pane, Herbert. (2006). Tanah yang Dijanjikan:
Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia–Implikasi terhadap
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Bogor: Forest Peoples
Programme, Perkumpulan Sawit Watch, HuMA dan the World
Agroforestry Centre.
Eko Sutoro, Chandra Ade, Hudayana Bambang , Widiputranti Sri Cristine,
Sadhan Gregorius, Hostowiyono, M.Borori, Marliyantoro Oelin,
Purwanto, Aksa Sahrul, Suharyanto, Sumarjono, dan Murdiyanto Hari
Widyo. (2005).Manifesto Pembaharuan Desa. Yogyakarta: APMD Press,
Fakih, Mansoer. (2002). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Jogjakarta: INSIST PRESS
FAO. (2002). Land Tenure and Rural Development. Roma: Food and
Agriculture Organization
Fauzi, Noer. (1999). Petani dan Penguasa “Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia” Yogyakarta: INSIST, KPA & Pustaka Pelajar.
Gerrish, Kate & Lacey, Anne. (2010). The Research process in Nursing.
(Sixth Edition). Singapore. Blackweell Publishing Ltd,
Haar, B.Ter. (1981). Asas ? Asas dan Sunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Harsono. (1973). Hukum Agraria Indonesia. (Bagian Pertama, Jilid I).
Jakarta: Penerbit Djambatan,
Mantra. (2004). Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk ilmu-ilmu
sosial, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.
King, Russel. (1977). Land Reform : A World Survey. Colorado : West New
Press, Boulder.
Korten, C David. (1993). Menuju Abad ke-21 “Tindakan Sukarela dan
Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
154
LIPTON, Michael .(1974).: "Towards a Theory of Land Reform" dalam David
Lehmann (ed) (1974): Agrarian Reform and Agrarian Reformism. London.
Faber & Faber.
Tokede,Max J.; Wiliam, Dede; Widodo; Gandhi, Yosias; Imburi, Christian;
Patriahadi; Marwa, Jonni;Yufuai, Martha Ch.(2005). Dampak Otonomi
Khusus di Sektor Kehutanan “Papua Pemberdayaan Masyarakat Hukum
Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari” Bogor :
Center for International Forestry Research
Midgley, James. (2005). Pembangunan Sosial : Perspektif Pembangunan
dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Ditperta Islam Departemen Agama
RI
Moleong, J. Lexy. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi.)
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, J.Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ndraha, Taliziduhu, (1990). Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta : Rineka Cipta
Noveria, Gayatri, & Mashudi, (2004). Berbagi Ruang dengan Masyarakat :
Upaya Resolusi Konflik Sumberdaya Hutan di Kalimantan Tengah.
Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI,
Salim, Agus .(2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogya : PT.
Tiara Wacana,
Sen, Amartya .(2000). Development As Freedom New Delhi, : Oxford
Universiyt Press
Suharto, Edy. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik Bandung:
Alfabeta,
Sumardjono. (2005). Kebijakan pertanahan: antara regulasi dan
implementasi Jakarta: Kompas
Todaro & Smith. (2006). Pembangunan Ekonomi, Edisi 9, Jilid 1 (Haris
Munandar, Penerjemah). Jakarta : Erlangga.
Warriner, Doreen (1969). Land Reforms in Principle and Practice. Oxford:
Oxford University Press.
Wiliam, (2005). Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di
Kabupaten Manokwari. Bogor : Center for International Forestry Research
Wiradi, Gunawan .(2000). Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum
Berakhir. Yogyakarta: INSIST Press
155
II. DOKUMEN
Affandi, Oding & Harianja, Alfonsus H (2008) Sistem Tenurial dan
Pengelolaan Lahan Secara Kolaboratif. Centre of Forest and Nature
Conservation Research and Development (CFNCRD) and International
Tropical Timber Organization (ITTO)
Andasputra, N. Bamba, J, Petebang, E. 2001. Pelajaran dari Masyarakat
Dayak: Gerakan Sosial dan rekonsoliasi Ekologi di Kalimantan Barat.
WWF-Biodeversity Support Program (BPS) and Institute Dayakologi.
Pontianak
Admajaya, (1998). Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan
Problema Pembangunan Masyarakat Admajaya dan Puslitbang Badan
Pertanahan Nasional. Jakarta.
BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin, No.
04/Th.II/9, July, Jakarta: BPS.
Laboratorium Kebudayaan Papua Dinas Kebudayaan Propinsi Papua
Sinambela (1997) Analisis Kebijakan Publik Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum di DKI Jakarta. Depok. FISIP Universiatas Indonesia
III. ARTIKEL
Abna Bachtiar & Sulaiman, Dt. Rajo (2007). Pengelolaan Tanah Negara dan
Tanah Ulayat .Masukan Dalam Lokakarya Regional Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM): Sumatera Barat
Padang.
Budiantoro, Setyo.(2003, 29 November). Manusia, Kebebasan, dan
Pembangunan Artikel Sinar Harapan.
Munsi Lampe .( 2006, Agustus10). “Kearifan Lingkungan dalam Wujud
Kelembagaan, Kepercayaan/Keyakinan, dan Praktik” Laboratorium
Jurusan Antropologibekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH) Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Napiri, M Yusup;Sohibuddin, Mohamad ;Nurdin, Iwan; Syahyuti (2006).
Reforma Agraria: Kepastian Yang Harus Dijaga. Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP)
Widiowati, Didiet. (2009). Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI
Wiradi, Gunawan. (2001, 20-23 Agustus). Reforma Agraria Sebagai Basis
Pembangunan. Makalah Seminar dan Lokakarya: "Arah Kebijakan
Nasional Mengenai Tanah dan Sumberdaya Alam Lainnya",
156
diselenggarakan oleh Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA)
bekerjasama dengan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumberdaya Alam
(Pokja PSDA) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Bandung.
IV. JURNAL
Budiantoro, Setyo (2003). Manusia, Kebebasan, dan Pembangunan. Jurnal
Ekonomi Rakyat. November.
Cholid Sofyan. (2006).“Redistribusi Tanah Dalam Usaha Pengentasan
Kemiskinan Masyarakat Petani” Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jilid
4, Nomor 2, , 166-187.
Irma Yeny (2007). Implikasi Ketentuan Adat dalam Pemanfaatan Hutan
Alam Produksi di Papua. Jurnal Info Sosial Ekonomi, Vol 7 No 1.
Muh. Abdul Halim, S.E. (2006). Mengkaji Peran Negara Dalam
Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia Jurnal Equilibrium –
STIE Ahmad Dahlan Jakarta. September-Desember
Ngalo (1997). Hak Atas Tanah : Luka Sejarah Anak Suku Pedalaman
"Sebuah Catatan Masyarakat Adat di Indonesia Timur" Wacana No. 1.
September - Oktober
Tjondronegoro, S.M.P. (1996). “Tanah : Aset Utama Pembangunan” Jurnal
Analisis Sosial AKATIGA Edisi 3. Juli.
Wiradi, Gunawan (1996). “Jangan Pelakukan Tanah Sebagai Komuditi”
Jurnal Analisis Sosial AKATIGA Edisi 3. Juli.
V. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Arkanudin,( 2009, 30 Maret) Resolusi Konflik Pertanahan Berdasarkan
Pranata Adat. http://www.unka.ac.id/
Basuki (2007) Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Antara
Regulasi dan Implementasi). http://eprints.undip.ac.id/6723/
Brahmandita , Nyoman (2010). Kebuntuan Landreform Jebol: Menuju
Reforma Agraria. http://www.kpa.or.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=490&Itemid=107
Chasan . (2008, 8 Agustus, ) Dari Development Menjadi Empowerment.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080808105753
Definisi Komunal. http://www.artikata.com/arti-335890-komune.php
157
Wahab, Oki Hajiansyah. (2000, 24 Maret).Reforma Agraria: Isu dan
Kebutuhan.http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?
id=2009032406414764 Selasa,
Land Management and Policy Development Projek. Penyederhanaan
Perangkat Penguasaan Tanah. (2007, 29 Agustus)
http://www.landpolicy.or.id/kajian/13/
Mampioper, Dominggus A. (2008, 4 Agustus). Kelunturan Nilai Adat
Masyarakat Papua. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=26&jd=Kelunturan+Nilai+Adat+Masyarakat+Papua&dn=2008080413
0004
158
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang “Pendaftaran Tanah”
Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1965, tentang : "Pelaksanaan konversi
hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan tentang
kebijaksanaan selanjutnya".
159