Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRATIKUM FITOFARMASI

PEMBUATAN EKSTRAK RIMPANG JAHE

(Zingiber officinale)

Disusun Oleh :

Agaswari Putri Mahardini


(18020201144)

STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA


PROGRAM STUDI S1 FARMASI SIDOARJO
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembuatan ekstrak (ekstraksi) merupakan suatu proses penyarian suatu


senyawa aktif dari suatu bahan atau simplisia nabati atau hewani dengan
menggunakan pelarut tertentu yang cocok. Pembuatan ekstrak (ekstraksi)
bisa dilakukan dengan berbagai metode, sesuai dengan sifat dan tujuannya
(Depkes RI, 2000).
Metode ekstraksi yang digunakan salah satunya adalah maserasi. Maserasi
merupakan proses penyarian simplisiadengan metode perendaman
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperatur ruangan (suhu kamar) (Depkes RI,
2000).

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (Depkes RI, 1995), ekstrak


adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan, sedangkan ekstrak kering adalah sediaan yang berasal dari
tanaman atau hewan, diperoleh dengan cara pemekatan dan pengeringan
ekstrak cair sampai mencapai konsentrasi yang diinginkan menurut cara-cara
yang memenuhi syarat. Pengaturan biasanya dilakukan berdasarkan
kandungan bahan aktif dengan cara penambahan bahan tambahan inert.
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk, masa kering rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan
(Martin et al., 1961;Depkes RI, 2000).

Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman


temu-temuan yang penting dan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Jahe merupakan tanaman multifungsi karena selain sebagai bumbu masakan
jahe juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, jamu tradisonal,
kosmetik dan berbagai macam produk olahan makanan dan minuman.
Tanaman jahe telah lama dibudidayakan sebagai komoditi ekspor, namun
pengembangan jahe skala luas belum didukung dengan budidaya yang optimal
dan berkesinambungan sehingga produktivitas dan mutunya rendah. Menurut
Badan Pusat Statistik (2017), luas areal pertanaman jahe di Indonesia pada
tahun 2015 yaitu 15.037,24 hektar dengan total produksi 313.064,3 ton dan
produktivitas rata-rata sekitar 20,82 ton/ha. Pada tahun 2016 luas areal
pertanaman turun 16,52% menjadi 12.652,86 hektar dengan total produksi
340.341,08 ton dan produktivitas rata-rata sekitar 26,90 ton/ha. Di Indonesia
dikenal 3 varietas jahe yakni jahe merah (Zimgiber officinale var. rubrum),
jahe putih kecil (Zimgiber officinale var. amarum) dan jahe putih besar
(Zimgiber officinale var. officinale). Ketiga jenis jahe tersebut memiliki
perbedaan morfologi pada ukuran dan warna kulit rimpang (Rostiana et.al.,
1991 dalam Supriadi et.al., 2011).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara pembuatan ekstrak nabati dari Rimpang jahe (Zingiber


officinale) dengan metode meserasi?

2. Berapa hasil rendamen yang dihasilkan dari proses ekstraksi metode


maserasi?
3. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi hasil rendamen yang
didapatkan?
1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk dapat melakukan cara pembuatan ekstrak nabati dari


Rimpang jahe (Zingiber officinale) dengan metode meserasi.
2. Untuk mengetahui hasil rendamen yang dihasilkan dari proses
ekstraksi metode maserasi
3. Mengetahui faktor-fator yang dapat mempengaruhi hasil
rendamen yang didapatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ekstrasi

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat


didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut
dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi,
bahan yang diekstraksi merupakan bahan alam (Ditjen POM, 1986).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan (Ditjen POM, 1995).
Pembuatan ekstrak (ekstraksi) merupakan suatu proses penyarian suatu
senyawa aktif dari suatu bahan atau simplisia nabati atau hewani dengan
menggunakan pelarut tertentu yang cocok. Pembuatan ekstrak (ekstraksi)
bisa dilakukan dengan berbagai metode, sesuai dengan sifat dan tujuannya
(Depkes RI, 2000).
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia
yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan
mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam
pelarut.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan
cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran pertikel tertentu dan menggunakan
medium pengekstrasi (menstrum) yang tertentu pula. Ekstraksi dapat
dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak yang diperoleh sesudah
pemisahan cairan dari residu tanaman obat dinamakan “micela”. Micelle
ini dapat diubah menjadi
bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tinctura atau sebagai
produk/bahan antara yang selanjutnya dapat diproses menjadi ekstrak kering.
(Agoes.G,2007).

2.2 Maserasi
Maserasi secara luas digunakan dalam penelitian tanaman obat. Maserasi
terlibat perendaman bahan (kasar atau bubuk) dalam wadah bertutup dengan
pelarut dan didiamkan pada suhu kamar untuk jangka waktu minimum 3
hari. Proses perendamaan bertujuan untuk melunakkan dan memecahkan
dinding sel tanaman. Setelah 3 hari, campuran dilakukan penyaringan. Pelarut
yang digunakan dalam proses perendaman pada metode maserasi
memainkan peran penting. Pilihan pelarut akan menentukan jenis senyawa
diekstraksi dari sampel (Azwanida, 2015).
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari
selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya
(Adrian,2000).
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan
derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75
bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil
diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali
dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi,
lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak
bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan (Ditjen POM, 1995).
Maserasi dapat dimodifikasi menjadi beberapa metode yaitu :
1. Digesti
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan
lemah, yaitu pada suhu 40-50°C. Cara maserasi ini hanya dapat
dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan.
2. Maserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk berputar terus-menerus waktu
proses maserasi dapat dipersingkat 6-24 jam.
2. Remaserasi
Cairan penyari dibagi 2 seluruh serbuk simplisia
dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap-
tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari
yang kedua.
4. Maserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan
penyari selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari
selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui serbuk
simplisia dan melarutkan zat aktifnya (Ditjen POM, 1986).
5 Maserasi melingkar bertingkat
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan
secara sempurna, karena pemindahan massa akan berhenti bila
keseimbangan telah terjadi. Masalah ini dapat diatas dengan
maserasi melingkar bertingkat.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan,
kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang
sempurna (Ditjen POM, 1995
2.3 Jenis – Jenis Pelarut

Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang
memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/terlarut dengan
pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan
polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu (Prawirosujanto,
1977) :
A. Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar
cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap
dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah.
Salah satu contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol dan asam
asetat.
B. Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat dan kloroform.
C. Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik
untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut
dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis
minyak, contoh : heksana dan eter.
Macam – macam cairan penyari (Heinrich et al, 2004) :

a. Air
Termasuk yang mudah dan murah dengan pemakaian yang
luas, pada suhu kamar adalah pelarut yang baik untuk bermacam-
macam zat misalnya : garam-garam alkaloida, glikosida, asam
tumbuh-tumbuhan, zat warna dan garam- garam mineral.
Umumnya kenaikan suhu dapat menaikkan kelarutan dengan
pengecualian misalnya pada condurangin, Ca hidrat, garam glauber dll.
Keburukan dari air adalah banyak jenis zat- zat yang tertarik dimana
zat-zat tersebut meripakan makanan yang baik untuk jamur atau
bakteri dan dapat menyebabkan mengembangkan simplisia sedemikian
rupa, sehingga akan menyulitkan penarikan pada perkolasi.
b. Etanol
Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, Umumnya
pelarut yang baik untuk alkaloida, glikosida, damar- damar, minyak
atsiri tetapi bukan untuk jenis-jenis gom, gula dan albumin. Etanol
juga menyebabkan enzim-enzim tidak bekerja termasuk peragian dan
menghalangi perutumbuhan jamur dan kebanyakan bakteri. Sehingga
disamping sebagai cairan penyari juga berguna sebagai pengawet.
Campuran air- etanol (hidroalkoholic menstrum) lebih baik dari
pada air sendiri.
c. Gycerinum (Gliserin)
Terutama dipergunakan sebagai cairan penambah pada cairan
menstrum untuk penarikan simplisia yang mengandung zat samak.
Gliserin adalah pelarut yang baik untuk tanin-tanin dan hasil-hasil
oksidanya, jenis-jenis gom dan albumin juga larut dalam gliserin.
Karena cairan ini tidak atsiri, tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak-
ekstrak kering.
d. Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat
untuk pembuatan sediaan untuk obat dalam atau sediaan yang nantinya
disimpan lama.
e. Solvent Hexane
Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan minyak
tanah kasar. Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-
minyak. Biasanya dipergunakan untuk menghilangkan
lemak dari simplisia yang mengandung lemak-lemak yang tidak
diperlukan, sebelum simplisia tersebut dibuat sediaan galenik,
misalnya strychni, secale cornutum.
f. Acetonum
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut
yang baik untuk bermacam-macam lemak, minyak atsiri, damar.
Baunya kurang enak dan sukar hilang dari sediaan. Dipakai misalnya
pada pembuatan Capsicum oleoresin (N.F.XI).
g. Kloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek
farmakologinya. Bahan pelarut yang baik untuk basa alkaloida, damar,
minyak lemak dan minyak atsiri.
2.4 Tinjauan Bahan
2.4.1 Jahe
A. Klasifikasi rimpang jahe

Gambar 2.1

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Rosc.
(Rukmana, 2000).
B. Deskreipsi tanaman

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk dalam ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae,
dan genus Zingiber (Simpson, 2006).
Tanaman jahe merupakan terna tahunan, berbatang semu dengan tinggi antara 30 cm - 75
cm. Berdaun sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15 cm – 23 cm, lebar lebih
kurang 2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling. Tanaman jahe hidup merumpun, beranak-
pinak, menghasilkan rimpang dan berbunga. Berdasarkan ukuran dan warna rimpangnya, jahe
dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: jahe besar (jahe gajah) yang ditandai dengan ukuran
rimpang yang besar, berwarna muda atau kuning, berserat halus dan sedikit beraroma maupun
berasa kurang tajam; jahe putih kecil (jahe emprit) yang ditandai dengan ukuran rimpang yang
termasuk kategori sedang, dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan
beraroma serta berasa tajam; jahe merah yang ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil,
berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa sangat tajam (Rukmana, 2000).

C. KANDUNGAN KIMIA

Kandungan kimia jahe gajah Jahe banyak mengandung berbagai fitokimia dan
fitonutrien. Beberapa zat yang terkandung dalam jahe adalah minyak atsiri 2-3%, pati 20-60%,
oleoresin, damar, asam organik, asam malat, asam oksalat, gingerin, gingeron, minyak damar,
flavonoid, polifenol, alkaloid, dan musilago. Minyak atsiri jahe mengandung zingiberol, linaloal,
kavikol, dan geraniol. Rimpang jahe kering per 100 gram bagian yang dapat dimakan
mengandung 10 gram air, 10-20 gram protein, 10 gram lemak, 40-60 gram karbohidrat, 2-10
gram serat, dan 6 gram abu. Rimpang keringnya mengandung 1-2% gingerol (Suranto, 2004).
Kandungan gingerol dipengaruhi oleh umur tanaman dan agroklimat tempat tumbuh tanaman
jahe. Gingerol juga bersifat sebagai antioksidan sehingga jahe bermanfaat sebagai komponen
bioaktif anti penuaan. Komponen bioaktif jahe dapat berfungsi melindungi lemak atau membran
dari oksidasi, menghambat oksidasi kolesterol, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Kurniawati,
2010).
D. MANFAAT
Jahe Berkaitan dengan unsur kimia yang dikandungnya, jahe dapat dimanfaatkan dalam
berbagai macam industri, antara lain sebagai berikut: industri minuman (sirup jahe, instan jahe),
industri kosmetik (parfum), industri makanan (permen jahe, awetan jahe, enting-enting jahe),
industri obat tradisional atau jamu, industri bumbu dapur (Prasetyo, 2003). Selain bermanfaat di
dalam industri, hasil penelitian Kikuzaki dan Nakatani (1993) menyatakan bahwa oleoresin jahe
yang mengandung gingerol memiliki daya antioksidan melebihi α tokoferol, sedangkan hasil
penelitian Ahmed et al., (2000) menyatakan bahwa jahe memiliki daya antioksidan yang sama
dengan vitamin C.
Jahe memiliki rimpang yang kaya akan kandungan poliphenol ternyata dapat melindungi
tubuh dari berbagai polutan yang ada di lingkungan. Efek antioksidan jahe juga dapat
meningkatkan hormon testosteron, LH dan melindungi testis tikus putih yang diinduksi oleh
fungisida mancozeb (Sakr et al., 2009).
Jahe yang digunakan sebagai bumbu dapur ternyata juga dapat melindungi tubuh dari
berbagai bahan kimia, hal ini dapat dilihat bahwa jahe dapat menurunkan kadar glukosa darah,
kolesterol dan triasilglyserol pada mencit yang diinduksi oleh streptozotocin (Al amin et al.,
2006) dan juga menurunkan kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi oleh aloksan
(Olayaki et al., 2007). Rimpang jahe juga bersifat nephroprotektif terhadap mencit yang
diinduksi oleh gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan reactive oxygen species (ROS) dan
jahe yang mengandung flavonoid dapat menormalkan kadar serum kreatinin, urea dan asam urat
pada tikus percobaan (Laksmi dan Sudhakar, 2010).
BAB III
METODEPENELITIAN

2.1 Waktu dan tempat peneliian


Percobaan ini dilakukan di laboratorium Kimia organik Stikes RS Anwar
Medika Sidoarjo
2.2 Alat dan Bahan
2.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan ekstraksi simplisia rimpang
jahe antara lain, toples besar dari kaca, batang pengaduk, saringan,
corong buchner, cawan porselin, kertas saring dan seperangkat alat
destilasi sederhana.
2.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstraksi simplisia rimpang
jahe antara lain, serbuk simplisia daun jambu biji (Psidii Folium) dan
etanol 96% yang digunakan sebagai pelarut.

Anda mungkin juga menyukai