Anda di halaman 1dari 18

PENDEKATAN NON DIREKTIF DALAM

KONSELING DAN PSIKOTERAPI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Psikologi Konseling dan Psikoterapi

Dosen Pengampu : Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi., M.Si

Disusun oleh

Aditya Ramdhani Muslim 1511414113

Bella Abdi Negara 1511414131

Ummahatul Masruhah 1511414146

Swasti Masayu Puji Savitri 1511414153

Rombel 4

Jurusan Psikologi

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang

2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Carl R. Rogers memperkenalkan suatu pendekatan dalam konseling pada diri
dan masalah klien. Selama wawancara konseling berlangsung, klien diberi
kesempatan dan kebebasan untuk mengekspresikan diri dari emosinya serta
dipercayakan untuk memikul sebagian besar tanggung jawab bagi pemecahan
masalahnya. Pendekatan ini diperkenalkan pada tahun 1951 (Meyer dan Meyer,
1975 dalam Prawitasari, 2003). Sebagai tokoh pendekatan konseling dan
psikoterapi “person centered” Rogers banyak belajar dari pengalaman pribadinya
selama bertahun-tahun dalam memberikan konsltasi dan terapi, sehingga ia
percaya dan hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan dan keberhasilan klien
dalam menerapkan masalahnya dapat terjadi dan dilakukan oleh klien sendiri
apabila konselor mampu menciptakan suasana hubungan dan kondisi yang tepat
selama konseling berlangsung.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi
terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari
psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus
dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut
dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang
pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam
menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah.
Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan
klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan
terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien
menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran
dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara
konstruktif dalam pengubahan hidupnya (Corey, 2013:91).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan non direktif dalam konseling?
2. Apa tujuan dari pendekatan non direktif dalam konseling?
3. Bagaimana karakteristik pendekatan non direktif dalam konseling?
4. Apa kelebihan dan kelemahan dari pendekatan non direktif dalam konseling?
5. Bagaimana sikap dan orientasi terapi dengan menggunakan pendekatan non
direktif?
6. Bagaimana metode dan teknik konseling yang menggunakan pendekatan non
direktif?
7. Bagaimana kritik pada pendekatan non direktif?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pendekatan non direktif dalam konseling
2. Untuk mengetahui tujuan dari pendekatan non direktif dalam konseling
3. Untuk mengetahui karakteristik pendekatan non direktif dalam konseling
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari pendekatan non direktif
dalam konseling
5. Untuk mengetahui sikap dan orientasi terapi dengan menggunakan
pendekatan non direktif
6. Untuk mengetahui metode dan teknik konseling yang menggunakan
pendekatan non direktif
7. Untuk mengetahui kritik pada pendekatan non direktif
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendekatan Non Direktif


Konseling non-direktif sering juga disebut “Client Centered Therapy”.
Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika
Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah
yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberi kesempatan
mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas.
Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah
pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat
berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan
mengfungsikan kembali kemampuannya itu klien itu memerlukan bantuan.
Bertitik tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling,
inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan dipundak klien sendiri,
sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana
agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu
berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang
hangat dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu
memecahkan masalahnya.
Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “ agen pembangunan yang
mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak
masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.
Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu
dirinya. Salah satu prinsip yang dalam konseling non direktif adalah
mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka, dan
dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sesuai dengan teori yang mendasarinya,
yaitu teori Rogers tentang hakikat manusia dan tingkah lakunya, pendekatan
konseling non-direktif sering juga disebut konseling yang beraliran Humanistik
(Sofyan. S. Willis, 2004 : 176). Aliran ini menekankan pentingnya pengembangan
potensi dan kemampuannya secara hakiki ada pada setiaap individu. Potensi dan
kemampuan yang berkembang itu menjadi penggerak bagi upaya individu untuk
mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
2.2 Ciri-Ciri Pendekatan Non Direktif
Pendekatan client-centered difokuskan pada tanggung jawab dan
kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara
penuh. Klien sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri adalah orang
yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya. Pendekatan
client-centered menekankan dunia fenomenal klien. Dengan empati yang cermat
dan dengan usaha untuk memahami klien. Dengan empati yang cermat dan
dengan usaha untuk memahami kerangka acuan internal klien, terapis
memberikan perhatian terutama pada persepsi diri klien dan persepsinya terhadap
dunia (Corey, 2013:92-93).
Menurut pendekatan client-centered, psikoterapi hanyalah salah satu contoh
dari hubungan pribadi yang konstruktif. Kien mengalami pertumbuhan
psikoterapeutik didalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang
membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian.itu adalah
hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan
ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal),
bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik
bagi klien (Corey, 2013:93).
Terapi client-centered memasukkan konsep bahwa fungsi terapis adalah
tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan perhatian pada
pengalaman disini dan sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan
terapis. Terapi client-centered bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu
dogma. Pendekatan client-centered yang berakar pada sekumpulan sikap dan
kepercayaan yang ditunjukkan oleh terapis, barangkali paling tepat dicirikan
sebagai suatu cara ada dan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis
maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam
pengalaman pertumbuhan (Corey, 2013, 93-94).
2.3 Karakteristik Proses Pendekatan Non Direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan
konseling adalah karakteristik utama dari konseling non direktif. Karakteristik
untuk dari konseling non direktif, masing-masing menekankan pada :
a. Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang
dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperolehh
pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslah diberikan
suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi
kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati dan
dialami individu (Carl Rogers). Jadi klien didorong untuk menentukan
pilihan dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan
yang telah diambilnya.
b. Pengalaman-pengalaman sekarang
Konseling non direktif tidak berorientasi pada pengalaman masa lalu,
tetapi menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk
mengungkapkan pengalaman dan permasalahan yang dihadapi sekarang
ini (saat ini), konselor mendorong klien untuk mengungkapkannya dengan
sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak berpura-pura), dan permisif.
c. Konseling non direktif tidak bersifat dogmatis
Konseling non direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau
pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi
merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman,
dimana konselor dan klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan
berpartisipasi dalam menemukan berbagai pengalaman baru.
d. Konseling non direktif menekankan kepada persepsi klien
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor
berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia
fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah itu
berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
e. Tujuan konseling non direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh
konselor
Konseling non direktif ini menempatkan klien pada kedudukan
sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan
menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi tujuan
konseling dengan sendirinya ada dan ditentukan oleh klien itu sendiri.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Non Direktif


2.4.1 Kelebihan Pendekatan Non Direktif
Terapi client-centered memiliki sifat keamanan. Terapi client-centered
menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien,
memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjamin
kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi
klien dengan penafsiran-penafsiran. Para terapis client-centered secara khas
merefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan,
membantu klien untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan
mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri. Jadi,
terapi client-centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi
lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-
penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis
mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal
(Corey, 2013).
Pendekatan client-centered memberikan landasan humanistik bagi
usaha memahami dunia subjektif klien, memberikan peluang yang jarang
kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar. Jika para
klien merasa didengar, maka mereka sangat mungkin mengungkapkan
perasaan-perasaan dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa menjadi diri
sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka bebas untuk bereksperimen
dengan tingkah laku baru. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung
jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah
dalam konseling. Mereka pula yang menetapkan bidang-bidang apa yang
mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi
perubahan. Pendekatan client-centered menyajikan kepada klien umpan
balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya. Terapis
bertindak sebagai cermin, merefleksikan perasaan-perasaan kliennya yang
lebih dalam. Jadi, klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang
lebih dalam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur
dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian
klien difokuskan pada banyak hal yang sebelumnya tidak diperhatikannya.
Oleh karenanya, klien bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan yang
dialaminya (Corey, 2013).
2.4.2 Kelemahan Pendekatan Non Direktif
Kelemahan pendekatan client-centered terletak pada cara sejumlah
praktisi menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari
posisi client-centered. Tidak semua konselor bisa mempraktekkan terapi
client-centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat
yang melandasinya. Banyak pengikut Rogers yang berusaha menjadi tiruan
dari Rogers sendiri dan salah mengartikan sejumlah konsep dasar Rogers.
Mereka membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri
pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empirik. Tentu saja,
mendengarkan klien secara sungguh-sungguh, merefleksikan dan
mengomunikasikan pengertian kepada klien, memiliki nilai. Akan tetapi,
psikoterapi lebih dari itu. Barangkali memang mendengar dan merefleksikan
merupakan prasyarat bagi pembentukan hubungan terapeutik. Akan tetapi,
mendengar dan merefleksikan jangan dikacaukan dengan terapi itu sendiri.
Satu kekurangan dari pendekatan client-centered adalah adanya jalan
yang menyebabkan sejumlah praktisi menjadi terlalu terpusat pada klien
sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik. Secara
paradoks, terapi dibenarkan fokus pada klien sampai batas tertentu sehingga
menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi dan
kepribadiannya kehilangan –pengaruh. Terapi perlu menggarisbawahi
kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien dan pada saat yang sama ia
bebas membawa kepribadiannya sendiri kedalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi client-centered tidak lebih
daripada teknik mendengar dan merefleksikan. Terapi client-centered
berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam
pertemuan dengan kliennya dan lebih dari kualitas lain yang manapun,
kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila
terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara
yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi
bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien
dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis
demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka client-
centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara
mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka
kemungkinan yang nyata adalah: terapi client-centered akan dikecilkan
menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan
hasil (Corey, 2013).
2.5 Proses Konseling Non Direktif
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan Konseling Non-
Direktif adalah untuk membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga
ia mampu menjadi manusia yang berguna. Dimana tujuan dasar Konseling Non-
Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2. Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau
serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan
orang lain.
3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar
mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk
menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri.
4. Memberikan kesadaran diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan
bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas, dimana ia masih
memiliki keunikan tersendiri.
5. Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus
bertumbuh dan berkembang (process of becoming).

2.6 Sikap dan Orientasi Terapis


Seorang konselor yang efektif dalam melakukan konseling dengan
menggunakan pendekatan “person-centered” akan lebih mengutamakan sikapnya
daripada pengetahuan dan penguasaan tekniknya. Sejumlah besar pengalaman
Rogers menemukan bahwa seorag konselor yang lebih menitikberatkan pada
metode, teknik dan pengetahuannya saja akan menemukan kegagalan apabila
tanpa disertai oleh ketulusan sikap. Sebaliknya sikap saja tidaklah cukup jika
tanpa disertai oleh kemampuan verbal, pengetahuan dan penguasaan teknik yang
baik (Prawitasari, 2003).
Menurut Rogers (1961) dalam Prawitasari (2003) sikap konselor yang
diharapkan adalah:
1) Congruence dan genuiness (harmonis dan tulus)
Sikap ini sangat penting dimana konselor harus menunjukkan kesesuaian
antara ekspresi dan perilaku ketika berhadapan dengan klien. Sikap yang
menunjukkan kesungguhan hati atau ketulusan untuk membantu klien juga
harus diperlihatkan, tidak hanya ketika berhadapan dengan klien saja akan
tetapi hendaknya juga timbul dari lubuk hati yang dalam.
2) Feeling self
Sikap ini cukup sulit dilaksanakan oleh seorang konselor dimana dia juga
dituntut harus terbuka terhadap diri dan perasaannya terlebih dahulu. Hal ini
merupakan konsekuensi dari seorang konselor yang menghendaki klien untuk
terbuka terhadap diri dan perasaannya.
3) Accurate empathic understanding
Sikap ini harus pula dimiliki oleh konselor yaitu suatu pengertian yang
mendalam dan akurat terhadap diri dan masalah klien. Konselor ikut
menghayati dan merasakan apa yang sedang dialami dan dirasakan oleh klien,
dan ikut melaksanakan sesuatu tindakan atau perilaku yang sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh klien.
4) Unconditional positive regard
Bahwa konselor dapat menunjukkan penghargaan yang posisi bagi klien
tanpa syarat apa pun. Maksudnya apa saja yang dikemukakan oleh klien,
seorang konselor tetap menghargai klien sebagai person, jadi bukan terhadap
apa yang telah dilakukannya.
5) Acceptance
Yaitu suatu sikap penuh penerimaan disertai perhatian yang tulus terhadap
klien, apa pun masalahnya. Suasana ini akan membantu klien dalam usahanya
menerima dan memperhatikan dirinya sendiri. Sikap konselor yang penuh
penerimaan dan perhatian akan memungkinkan klien dapat bebas
mengekspresikan beban psikologis klien, karena situasi yang diberikan bukan
situasi yang mengancam konsep self klien. Sikap penuh penerimaan dan
perhatian ini harus tidak disertai dengan segala bentuk penilaian baik positif
maupun negatif.
6) Realness dan otentik
Yaitu sikap yang nyata dan disadari yang harus diperhatikan oleh konselor
dihadapan klien tanpa ada unsur kepura-puraan dan keterpaksaan, semua
sikap konselor searah dengan kenyataan yang ada pada diri konselor.
7) Caring
Sikap penuh kepedulian dan kerja sama konselor dalam usaha menolong
klien.
2.6 Metode dan Teknik Konseling dan Psikoterapi
Menurut Meyer dan Meyer (1975) dalam Prawitasari (2003), metode yang
dipakai dalam pendekatan Rogers ini adalah “non-directice”, sehingga pendekatan
Rogers ini sering pula disebut dengan pendekatan “non-directice”. Masih menurut
Meyer dan Meyer (1975) dalam Prawitasari (2003), teknik konseling yang
digunakan seolah-olah sederhana saja, yaitu:
1) Menjadi pendengar yang baik
Peranan konselor adalah mendengarkan dengan penuh perhatian tentang hal
yang hendak dikemukakan kepada konselor dan memberikan kebebasan
kepada klien untuk mengekspresikan diri serta emosinya agar dapat
mengurangi ketegangan psikologis yang sedang dialami klien. Klien yang
berhasil mengekspresikan diri dan emosinya secara baik dan tepat ia akan
dapat menjadi pribadi yang berfungsi secara penuh (fully fungtioning person)
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Terbuka terhadap pengalaman
b. Memiliki perasaan berarti dalam dunia kehidupannya
c. Percaya sepenuhnya pada diri sendiri
d. Memiliki kebebasan dalam mengalami sesuatu
e. Memiliki kreativitas yang cukup baik
2) Berusaha untuk memahami “frame of references” klien, melalui pikiran,
perasaan, dan hal-hal yang dieksplorasikan klien sehubungan dengan
masalah-masalah pribadinya. Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa
klien adalah merupakan sumber informasi yang terbaik bagi pemecahan
masalahnya.
3) Dapat menjernihkan dan merefleksikan perasaan emosional klien, hal ini
hendaknya dapat dilakukan konselor selama proses konseling berlangsung
utnuk menolong klien mengerti lebih jelas tentang sumber masalahnya.
4) Fungsi konselor lebih banyak sebagai fasilitator. Selama proses konseling
berlangsung dengan tujuan untuk pengembangan kemampuan klien agar lebih
mengenali dan mengerti akan perasaan-perasaan sendiri sehubungan dengan
perilaku klien sebelumnya.
5) “Silence” atau sikap diam. Kadang-kadang sikap klien ini perlu didukung
untuk memberikan kesempatan kepada klien untuk meninjau dan
mempertimbangkan kembali pengalaman dan ekspresinya yang lampau.
Pengalaman ini akan sangat berarti bagi klien dan dapat diberikan diantara
waktu wawancara. Apabila sikap diam klien terlalu lama maka konselor perlu
mengambil inisiatif untuk memulai lagi komunikasi dengan klien.
6) Tidak diperlukan diagnosis dan interpretasi. Karena hal ini dianggap
menghambat dan merugikanm proses konseling. Penggunaan alat diagnosa
psikologis tidak dianjurkan karena ada kemungkinan bahwa hasil diagnosa
psikologis yang biasanya dilakukan dengan menggunakan tes psikologi, akan
mempengaruhi sikap dan penilaian konselor terhadap klien. Konselor harus
percaya bahwa proses pemecahan masalah akan timbul dari dalam diri klien
itu sendiri. Alasan atas keberatan ini karena tingkah laku psikosis timbul
karena persepsi individu atau cara penerimaannya terhadap suatu hal sehingga
klien adalah orang yang paling potensial untuk mengetahui tentang dinamika
persepsi perilakunya.
7) Teknik-teknik lain yang digunakan agar proses konseling dapat mencapai
sasarannya adalah:
a. Rapport
b. Tanpa kritik, mengadili, menilai, baik positif ataupun negatif terhadap
sikap dan perilaku klien
c. Menghindari unsur sugesti, membujuk, mendorong, meyakinkan, dan
banyak bertanya
d. Konselor harus memilih saat yang tepat untuk berbicara kepada klien
2.7 Perubahan Klien yang Tampak dalam Proses Terapi
Menurut Prawitasari (2003), pada awal konseling dan psikoterapi, pada
umumnya klien memperlihatkan sikap yang kaku dan konsisten mempertahankan
hal-hal yangsudah merupakan konsep selfnya. Karakteristik klien yang demikian
ini akan berubah seiring dengan proses konseling dan psikoterapi yang
berlangsung. Adapun karakteristik atau ciri-ciri perasaan dan tingkah laku yang
diperlihatkan klien pada awal terapi adalah:
1. Merasa sangat percaya dan yakin terhadap sesuatu hal dan disertai tingkah
laku yang kaku dalam usaha mempertahankan keyakinannya tersebut.
2. Klien memperlihatkan sikap terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya
juga kaku.
3. Sangat dikuasai oleh pengamatan dan penilaian yang ada di dalam dirinya
(internal locus of evaluation sangat tinggi).
4. Kurang atau bahkan tidak mampu untuk berkonsentrasi.
5. Memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang menekan perasaannya, bahkan
sangat yakin akan perasaan tersebut.
6. Self confidence klien rendah yaitu klien kurang percaya pada keberadaan dan
kemampuan dirinya sendiri.
7. Merasa cemas dan takut pada suasana hubungan yang akrab. Keberadaan
konselor yang mengancam diri pribadinya sehingga klien berkesan
menghindar dengan menggunakan berbagai mekanisme pertahanan diri atau
topeng-topeng bahkan kadang konfrontatif.
8. Banyak klien yang merasa seolah-olah kepribadiannya aneh dan terpecah,
khususnya bagi klien yang sudah menampakkan gejala klinis.
9. Klien memiliki kontrol diri (internal locus of control yang sangat kuat
seakan-akan terkesan tidak membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain.
Karakteristik atau ciri-ciri perasaan dan tingkah laku ini akan mengalami
perubahan ketika klien mengalami proses terapi. Seberapa banyak perubahan
klien akan sangat tergantung kepada kualitas proses terapi khususnya kualitas
interaksi personal antara klien dengan terapis. Sejumlah perubahan klien yang
nampak antara lain:
1. Klien menjadi lebih seimbang, lebih terbuka terhadap pengalaman dan
kecenderungan untuk menunjukkan perilaku bertahan (defensif) menjadi
menurun atau semakin berkurang.
2. Klien secara konsisten menjadi lebih realistis, subyektivitas menjadi
berkurang dan cara pandang dan hasil pengamatannya menjadi lebih luas.
3. Pola pikir dan tingkah laku klien menjadi lebih efektif dalam rangka
tujuannya ke arah pemecahan masalah.
4. Penyesuaian psikologis klien meningkat, menjadi lebih bebas untuk
mengekspresikan diri pribadinya.
5. Kepakaan perasaan terhadap lingkungan yang dirasakan mengancam menjadi
berkurang. Hal ini timbul sebagai akibat dari peningkatan keseimbangan self.
6. Pola pengamatan (persepsi) klien terhadap self yang ideal menjadi lebih
realistis
7. Sebagai akibat dari peningkatan penyesuaian psikologis, maka berbagai jenis
tekanan jiwa biasanya dialami klien menjadi berkurang.
8. Penghargaan positif klien terhadap selfnya sendiri meningkat.
9. Klien menjadi lebih percaya diri dan terus terang.
10. Penerimaan klien terhadap sosok orang lain mengalami peningkatan, padahal
sebelum menjalani terapi klien merasa sulit untuk menerima orang lain dan
cenderung untuk menghindar dari interaksi dengan orang lain.
11. Klien menjadi lebih mampu untuk mengontrol perasaan dan perilakunya dan
menjadi lebih kreatif.
7.8 Kritik terhadap Pendekatan Person-Centered dari Rogers
Di samping banyak keunggulan dan peranan pendekatan ”person-centered”
dari Rogers ini banyak pula para ahli yang mengajukan banyak keberatan dan
kritik-kritik mereka. Berbagai kritik tersebut adalah:
1. Pendekatan Rogers bukan sebagai uraian yang tepat, pas dan seksama serta
bukan pula merupakan analisa yang tajam mengenai gejala-gejala psikis
manusia.
2. Menganggap pendekatan Rogers ini sebagai filsafat spekulatif yang dangkal
tentang berbagai relasi atau hubungan antar manusia (antar pribadi).
3. Teori tentang pendekatan Rogers sebenarnya tidak lebih dari semacam
“common sense” (akal sehat), jadi buka merupakan ilmu akan tetapi lebih
banyak mengarah kepada ideologi.
4. Sering dianggap sebagai pendekatan yang lemah lembut, lembek, kurang
ilmiah terlalu bersifat ritual yang hampir mendekati religius, terlalu
menyenangkan atau memanjakan klien.
5. Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan dengan nilai normatif, yang
merupakan undangan etis, lebih ke arah penyelamatan yaitu semacam ajaran
keselamatan yang berorientasi religius, menekankan pada pelayanan terhadap
kebutuhan manusia akan keselamatan dan kesehatan psikis.
6. Pandangan Rogers dipandang bersifat anti spesialis. Menurut banyak para
ahli psikologi yang beorientasi pada teori, pendekatan ini sangat naif dan
dangkal, oleh karena hanya mengandalkan pada ketrampilan sosial yang baik
dan kemampuan empati yang spontan sudah cukup bagi seorang terapis untuk
dapat menjalankan tugasnya. Terhadap kritik ini Rogers menanggapi bahwa
ia memang cenderung menciptakan teori yang sederhana, namun tetap
berhubungan dengan fakta.
7. Rogers dianggap lemah dari segi konsep-konsep teoritis, secara umum konsep
dasar kurang tajam atau kurang jelas, misalnya konsep dasar tentang tendensi
untuk aktualisasi diri. Meskipun tendensi untuk mempertahankan diri pada
tingkatan kebutuhan biologis dapat dibenarkan, namun tendensi untuk
aktualisasi diri pada tingkat yang manusiawi tidak dapat dibuktikan secara
empirik.
8. Bersifat “monistik”, artinya hanya menerima satu tendensi aktualisasi diri
yang bersifat umum saja. Padahal satu tendensi saja tidak mampu
menjelaskan kompleksitas dan ketegangan dalam kehidupan psikis manusia
yang motivational. Jika dibanding dengan ahli psikologi lainnya seperti
Freud, Jung, Adler, Murray, Maslow, Allport, teori mereka lebih membantu
menjelaskan tentang kepribadian manusia.
9. Konsep dasar pendekatan Rogers tentang organisme, belum jelas benar,
terutama tentang kodratnya. Jika organisme merupakan realitas psikis yang
mendasar, maka harus dijelaskan sifat-fat khas mana yang dimiliki oleh
realitas psikis ini danpotensi-potensi apa yang terkandung di dalam
organisme. Apakah ada perbedaan antara berbagai potensi tersebut, apakah
dapat diwujudkan. Berbagai pertanyaan ini muncul karena Rogers kurang
menjelaskan tentang ini yang khas dari berbagai potensi dasar manusia,
penggolongan tentang tipe kepribadian manusia, misalnya apakah perbedaan
antara “maladjusted person” dengan “fully funtioning person” kurang rinci.
10. Konsep Rogers yang dapat menjelaskan tentang proses terapi terlalu sedikit.
Hal ini disadari olehpara pengikut Rogers, sehingga untuk mengatasi hal ini
mereka berusaha untuk mengatasinya dengan memakai istilah-istilah dari
teori belajar, teori tentang konflik, komunikasi dan perilakuan.
11. Rogers dinilai terlalu optimis tentang kodrat manusia yaitu bahwa
kecenderungan untuk aktualisasi diri merupakan suatu kekuatan motivational
yang hanya berkembang ke satu arah tertentu saja dan ditentukan secara
biologis. Rogers tidak memperhatikan adanya konflik yang hakiki dalam
keberadaan manusia. Menempatkan sejarah dan pengaruh masyarakat di luar
garis, terpisah dari individu. Jadi hanya mengakui kekuatan yang abadi dalam
diri individu itu sendiri.
12. Pikiran Rogers tebtang masyarakat secara kongkrit terlalu umum, abstrak,
danjuga kurang dialektis. Pengaruh negatif dari masyarakat yang hanya
bersifat represif, menurut Rogers terlalu sederhana, terlalu naif sehingga
kurang memperhatikan hal-hal yang bertentangan (paradoksialitas), menetap
dannegatif dari keberadaan manusia. Padahal menurut kodrat alamiah banyak
terdapat berbagai unsur asing karena garis pemisah antara individu dengan
masyarakat sangat sulit ditemukan. Secara intrinsik, individu berada di dalam
masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga secara instrinsik ada di dalam
individu.
13. Rogers kurang menyadari bahwa seluruh situasi terapiutik itu sendiri pun ikut
menentukan tampilnya dan munculnya self yang sesungguhnya yaitu “real
really self” (RRS). Kondisi RRS ini diciptakan bersama-sama tanpa sengaja
oleh klien dan terapis pada saat proses terapiutik berlangsung. Sehubungan
dengan proses terapiutik, dapat dikatakan bahwa Rogers tidak melihat bahwa
relasi atau hubungan yang sangat spesifik antara terapis dengan klien
memiliki daya atau kemampuan konstitutif (daya yang ikut menciptakan
realita pada subyek). Pengamatan, bahasa, teori dan perilaku selama proses
terapi berlangsung mempunyai daya konstitutif atau daya mengubah yang
ikut menentukan realita dalam cara yang bermakna bagi klien. Rogers
dianggap kurang menyadari bahwa realita selalu bersifat konstitutif, berarti
selektif dan transformatif.
14. Karena keterbukaaan dan eksplorasi diri klien merupakan teknik yang utama
dalam pendekatan ini maka bagi klien yang mengalami hmbatan verbalisasi
dan kurang terdidik, dan anak-anak, proses terapi ini kurang efektif.
15. Karena pendekaan Rogers ini sangat mengutamakan proses, maka
penggunaan teknik terapi Rogers ini dirasakan sangat tidak efisien baik dari
segi waktu, tenaga maupun biaya (Prawitasari, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT
Refika Aditama.

Prawitasari, Johana E., dkk. 2003. Psikoterapi: Pendekatan Konvensional dan


Kontemporer. Yogyakarta: Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM.

Anda mungkin juga menyukai