Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP

EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI SUSUN OLEH :
 Chika L. Tamsir
 Christian Karundeng
 Ezra Situmorang
 Festy Togolo
 Gorga Sitanggang
 Iman Bilaleya
 Larasati Dehiyo
 Mouren V. Sampouw
 Rezky G. T. L. Kindangen
 Yance Manossoh

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Manado, 26 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................4
1.1. Latar Belakang..........................................................................................4
1.2. Tujuan........................................................................................................5
BAB 2. ISI..............................................................................................................6
2.1. Perubahan Iklim........................................................................................6
2.2. Terumbu Karang........................................................................................6
2.2.1. Morfologi Terumbu Karang......................................................................6
2.2.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Terumbu Karang 7
2.3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Terumbu Karang...........10
2.4. Upaya Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Akibat
Perubahan Iklim.....................................................................................................11
BAB 3. PENUTUP...............................................................................................14
3.1. Kesimpulan..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Global warming (pemanasan global) adalah suatu proses meningkatnya


suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Menurut acuan projek IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa suhu
permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4ºC (2,0 hingga 11,5ºF) antara
tahun 1990 dan 2100. Pemanasan dan kenaikan permukaan air laut juga
diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat
emisi gas rumah kaca telah stabil. Hal ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor
lautan (Sejati, 2011).
Global warming sampai sekarang masih mengancam kehidupan makhluk
hidup. Salah satu dari dampak global warming adalah naiknya suhu dan
permukaan air laut. Naiknya suhu permukaan air laut memberikan dampak serius
pada ekologi perarairan (Rusbiantoro, 2008). Keadaan tersebut berakibat pada
kerusakan ekosistem terumbu karang.
Terumbu karang merupakan hasil asosiasi antara polip dengan Zooxanthella.
Terumbu karang dapat tumbuh baik di perairan tropik yang dangkal dengan
kedalaman sekitar 30 meter pada suhu di atas 20°C. Pola penyebarannya terbatas,
yaitu pada wilayah dangkal di paparan benua dan gugusan pulau-pulau di sekitar
wilayah khatulistiwa dan menempati 0,17% dari dasar samudera. Terumbu karang
merupakan tempat tinggal bagi 25% seluruh spesies laut (Hardianto dkk, 1998).
Beberapa tahun belakangan ini terumbu karang sudah mengalami tekanan
ekologis yang begitu hebat. Ada dua penyebab utama terjadinya degradasi ekosistem
terumbu karang yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat
alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi
terumbu karang antara lain: penambangan karang, penangkapan ikan dengan
menggunakan alat serta metode yang merusak, penangkapan yang berlebih,
pencemaran perairan, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan kegiatan
pembangunan di wilayah hulu. Degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam
antara lain oleh predator, pemanasan global, perubahan salinitas, bencana alam
seperti angin taufan, gempa tektonik, letusan gunung berapi, banjir dan tsunami,
sedimentasi yang tinggi serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina
(Westmacott dkk, 2000 dan COREMAP, 2001).

1.2. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini yaitu agar kita mengetahui dampak dari
perubahan iklim terhadap ekositem terumbu karang dan bagaimana upaya kita
untuk mengurangi ataupun mencegah lebih banyak dampak terhadapan kehidupan
makhluk hidup.
BAB 2. ISI

2.1. Perubahan Iklim

Iklim adalah rata – rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk
perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relative lama, baik
secara local, regional atau meliputi seluruh bumi kita. Iklim dipengaruhi
perubahan – perubahan yang cukup lama dari aspek – aspek seperti orbit bumi,
perubahan samudera atau keluaran energi dari matahari. Perubahan iklim
merupakan sesuatu yang alami dan terjadi secara pelan. Contoh: musim (dingin,
panas, semi, gugur, hujan dan kemarau) dan gejala alam khusus (seperti tornado
dan banjir).

2.2. Terumbu Karang

2.2.1. Morfologi Terumbu Karang


Menurut Suwignyo dkk (2005), karang termasuk ke dalam filum
Coelenterata, kelas Anthozoa. Karang merupakan hasil asosiasi antara polip
dengan Zooxanthella (Hardianto dkk, 1998).
Karang berbentuk tabung dengan mulut berada di permukaan oral yang juga
berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi
sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan kerongkongan yang pendek
lalu langsung berhubungan dengan rongga perut (Gambar 1). Di dalam rongga perut
terdapat semacam usus yang disebut dengan filamen mesenterium yang berfungsi
sebagai alat pencernaan (Suharsono, 2004).
Gambar 1. Morfologi Karang (Hardianto dkk, 1998)

Hewan karang batu merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu
berupa polip. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka
kapur sebagai penyangganya. Kerangka kapur ini berupa lempengan–lempengan
yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempengan dasar. Lempengan
yang berdiri ini disebut septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang
merupakan hasil sekresi dari polip karang tersebut (Nontji, 2002).

2.2.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Terumbu Karang


Ada enam faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu
karang, yaitu :
1. Cahaya
Untuk melakukan fotosintesis, Zooxanthella memerlukan cahaya matahari. Jadi
secara tidak langsung kehidupan terumbu karang juga tergantung pada intensitas
cahaya yang dapat menembus air laut. Semakin dalam laut semakin kecil intensitas
cahaya yang diterima. Untuk bertahan hidup terumbu karang sangat memerlukan
oksigen demi berlangsungnya proses respirasi. Terumbu karang mendapat oksigen
tambahan dari hasil fotosintesis Zooxanthella, semakin rendah produksi oksigen oleh
Zooxanthella, mengakibatkan pasokan oksigen untuk terumbu karang juga berkurang
(Hardianto dkk, 1998). Kedalaman laut maksimum untuk hidup terumbu karang
adalah 45 meter.
2. Suhu
Menurut Nontji (2002), suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi
sebaran terumbu karang. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang adalah
26-28°C. Walaupun demikian, ada beberapa jenis terumbu karang yang dapat
bertahan hidup pada suhu 13°C dan pada suhu 38°C. Suhu yang ekstrim, terlalu tinggi
atau terlalu rendah, dapat mempengaruhi metabolisme, proses reproduksi dan
pertumbuhan terumbu karang, serta pembentukan kapur (Levinton, 1982).
Pada kenaikan 1-2°C di atas suhu perairan maksimum musim panas dapat
menyebabkan pemutihan bahkan dapat menyebabkan 90-95% kematian karang
(Guldberg, 1999; Stan dan Debbie, 2000). Bila kenaikan suhu berlangsung 5-10
minggu dapat menyebabkan Zooxanthella lepas dari jaringan karang dan dapat
menyebabkan pemutihan pada banyak jenis karang yang dominan (Buchheim, 2003).
3. Salinitas
Kondisi lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan karang salah satunya
adalah dengan salinitas berkisar 30‰-36‰ (Muchlis dkk, 1998). Nontji (2002),
mengatakan bahwa toleransi terumbu karang terhadap salinitas air berkisar antara
27‰-40‰.
Tinggi rendahnya salinitas air laut dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan,
dan fluktuasi air sungai. Hujan yang sangat lebat dapat pula menyebabkan lapisan
permukaan laut salinitasnya mendadak turun sehingga mengganggu pertumbuhan
karang. Selain itu, aliran air tawar yang masuk ke kawasan terumbu karang dapat
menyebabkan kematian karang batu. Itulah sebabnya di pantai timur Sumatera, pantai
Selatan Kalimantan dan Pantai Selatan Papua dimana banyak terdapat sungai-sungai
besar bermuara menyebabkan jarang dijumpai terumbu karang (Hardianto dkk, 1998).
4. Kejernihan
Kejernihan merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhan terumbu karang. Air yang keruh dapat menghalangi masuknya cahaya
matahari yang diperlukan Zooxanthella untuk berfotosintesis. Jika alga ini tidak dapat
melakukan fotosintesis, maka pasokan makanan untuk terumbu karang juga tidak ada
sehingga terumbu karang akan mati (Hardianto dkk, 1998).
Endapan baik di dalam air maupun di atas karang mempunyai pengaruh negatif
terhadap karang. Kebanyakan karang pembentuk terumbu (hermatipik) tidak dapat
bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya dan menyumbat
struktur pemberian makanannya.
5. Substrat
Tempat melekatnya larva planula disebut substrat. Substrat biasanya kuat dan
bersih dari lumpur sehingga larva dapat melekat dengan erat. Substrat yang keras
biasanya berupa berbagai benda padat yang ada di dasar laut seperti batu, cangkang-
cangkang moluska, potongan kayu, besi yang terbenam, hingga kapal yang tenggelam
di dasar laut.
6. Pergerakan Air atau Arus
Arus air diperlukan agar pasokan makanan dan oksigen berjalan lancar serta
menghindarkan terumbu karang dari timbunan endapan. Pertumbuhan terumbu
karang di laut terbuka lebih baik dari pada di laut tertutup. Hal ini karena di laut
terbuka pasokan oksigen selalu mencukupi, sedangkan di perairan yang agak tertutup
pertumbuhan terumbu karang terhambat karena minimnya pasokan makanan
(Hardianto dkk, 1998).
Adanya arus kuat yang membawa bahan makanan sangat berguna bagi terumbu
karang, karena Zooxanthella tidak melakukan fotosintesis pada malam hari sehingga
tidak setiap saat menghasilkan makanan yang diperlukan terumbu karang. Oleh
karena itu, pertumbuhan terumbu karang di perairan yang airnya selalu teraduk oleh
angin, arus dan ombak, akan lebih baik daripada terumbu karang di perairan yang
tenang dan tertutup (Nontji, 2002).
2.3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Terumbu Karang

Secara garis besar, dampak perubahan iklim terhadap ekosistem terumbu


karang yaitu terjadinya pemutihan karang (bleaching). Pemutihan karang adalah
reaksi di mana hewan karang mengusir zooxanthellae, menyisakan kerangka
karang putih yang terlihat melalui jaringan karang transparan. Karang yang
memutih masih hidup tapi dapat memicu kerusakan berikutnya, seperti
terhambatnya pertumbuhan dan reproduksi.
Stress berkepanjangan selama beberapa minggu dapat menyebabkan
kematian pada karang akibat kekurangan makanan atau penyakit. Kematian
kerangka karang akan mengurangi struktur kompleksitas dan keanekaragaman
hayati dari sistem terumbu. Kebergantungan organisme laut pada ekosistem
terumbu pun berkurang sehingga dapat mereduksi fungsi ekosistem sebagai
penghasil makanan, sumber pendapatan warga dan perlindungan pantai.
Pemutihan massal terutama dipicu oleh pemanasan laut akibat terjadinya
pemanasan global juga diperparah perubahan iklim seperti nampak dalam
peristiwa El Nino dan La Nina. Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi
karbondioksida di atmosfer dan gas yang memerangkap panas lainnya secara
dramatis meningkatkan suhu permukaan global sekitar 1o Celcius sejak zaman
pra-industri.
Naiknya suhu laut akibat peningkatan karbondioksida di atmosfer, telah
menaikkan suhu di lautan, menyebabkan pemutihan karang terjadi semakin sering.
Suhu air laut bahkan meningkat 1-2 derajat celcius di atas suhu yang dapat
menyebabkan karang memutih. Sekitar 30% karbondioksida yang dihasilkan
manusia diserap permukaan laut dan juga menyebabkan pengasaman laut.
Pengasaman laut mengurangi kemampuan karang membangun kerangka kapur
sekaligus meningkatkan penggerusan atau kerontokan karang. Tekanan local
dapat menurunkan ketahanan terumbu karang dalam mempertahankan fungsi
ekosistem. Penangkapan ikan berlebihan dan polusi yang menyebabkan turunnya
kualitas air dapat merusak kemampuan karang untuk memulihkan diri dari
tekanan panas serta dapat menghambat pertumbuhan karang baru.
Karang yang mengalami pemutihan dinamakan coral bleaching. Jika hal
tersebut tetap dan terus berlangsung maka karang yang mengalami pemutihan tadi
akan menjadi karang mati atau death coral.

2.4. Upaya Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang


Akibat Perubahan Iklim

Upaya mengurangi laju perubahan iklim wajib dan segera dilakukan,


melalui ;
 Penyusunan berbagai kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup yang
berorientasi pada upaya pengurangan laju pemanasan global. Seperti
menekan tingginya tingkat deforestasi pada sektor kehutanan, melalui
penetapan jeda tebang hutan. Indonesia sebagai negara berkembang dan
salah satu negara dengan potensi hutan tropis terbesar di Dunia, dapat
menggunakan Clean Developmen Mechanism (salah satu mekanisme
fleksibel dalam protokol kyoto) untuk mendukung pelaksanaan program
kehutanan nasional seperti rehabilitasi lahan dan kegiatan penanaman hutan
terdegradasi, meliputi; pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan,
pemberantasan Illegal Logging, pelaksanaan pengelolaan hutan lestari
melalui sertifikasi hutan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan.
Apabila program ini berjalan dengan baik diharapkan Indonesia dapat
mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak
digunakannya kepada negara industi maju sebagai bentuk mekanisme
perdagangan emisi (Emission Trading) yang termasuk salah satu mekanisme
fleksibel dalam Protokol Kyoto untuk mencegah atau mengurangi emisi
GRK.
 Pengurangan emisi GRK secara di atmosfer, melalui pengembangan
teknologi pembangkit listrik berbasis energi terbaharukan dengan
memanfaatkan potensi alam pesisir dan laut, seperti; energi pasang surut,
energi gelombang laut, energi angin laut dan Ocean Thermal Energi
Conversion (OTEC) sebagai pengganti penggunaan energi fosil penghasil
emisi GRK. Mengurangi penggunan alat transportasi pribadi. Mengurangi
limbah makanan.
 Pencegahan penipisan lapisan Ozon yang diperkirakan sudah mencapai 30
% lebih, melalui komitmen bersama untuk mengurangi penggunaaan dan
membatasi produksi CFC dengan pengembangan bahan alternatif pengganti
CFC yang ramah lingkungan untuk pendukung aktivitas manusia. Upaya ini
dilakukan agar lapisan Ozon sebagai filtrasi radiasi sinar matahari yang
masuk ke Bumi dapat tetap terjaga demi keberlanjutan kehidupan di muka
Bumi, karena walaupun upaya minimalisasi penggunaan CFC telah
dilakukan, namun manfaatnya belum dapat dirasakan dalam waktu singkat,
disebakan konsentrasi CFC sekitar 8 juta ton yang dilepaskan ke udara
selama kurun waktu 50 tahun terakhir hampir seluruhnya masih berada di
atmosfer. Sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama agar senyawa CFC
ini dapat dihilangkan melalui proses geokimia.
 Pemantauan komunitas fitoplankton di lautan secara simultan dan
berkesinambungan untuk mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap
perkembangan komunitas fitoplankton. Peranan fitoplankton yang sangat
besar dalam mengendalikan iklim global melalui kemampuannya menyerap
CO2 secara langsung baik dari atmosfer maupun kolom perairan untuk
kebutuhan proses fotosintesisnya, sehingga upaya mempertahankan
komunitas fitoplankton di lautan baik dalam ukuran maupun kelimpahnnya
sangat diperlukan.
 Pengembangan budidaya berbagai jenis rumput laut (alga laut), karena
selain dikenal sebagai komoditas unggulan yang bernilai ekonomis penting,
ternyata dalam berbagai penelitian juga diketahui memiliki kontribusi
positif dalam menyerap CO2 langsung dari atmosfer maupun dari kolom
perairan sehingga membantu pengontrolan kadar CO2 di bumi.
 Mulai dari diri sendiri.
BAB 3. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perubahan iklim terhadap terumbu karang mempunyai dampak yang buruk


yaitu bisa membuat hewan karang stres sehingga terjadi pemutihan karang
(bleaching).

Sehingga upaya penanggulangan yang kami ambil yakni penyusunan,


pengurangan, pencegahan, pemantauan serta pengembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Buchheim J. Coral reef bleaching. Http:/www.marinebiology.org/coral


bleaching.htm. 2003.

COREMAP. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Coral


Reef Rehabilitation and Management Program. Jakarta. 2001.

Guldberg HO. Jones R. Photoinhibition and photoprotection in symbiotic


Dinoflagellates from reef-building corals. Mar Ecol ProgrSer. 1999:
183:73-86.

Hardianto D, Krishnayanti I, Supyani T. Terumbu karang keindahan alam di ambang


kepunahan. Konphalindo. Jakarta. 1998.

Levinton JS. Marine Ecology. Practice hall inc. Engloweed Cliffs. New Jersey. 1982.

Muchlis, Bachtiar I, Karnan. Laju petumbuhan karang pada ekosistem terumbu


karang Teluk Kombal Lombok. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Mataram. Mataram. 1998.

Nontji A. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta. 2002.

Stan dan Debbie H. What is coral bleaching and why does it happen.
Http://saltaquarium.about.com/library/weakly/aa0703300.htm. 2000.

Suharsono. Jenis-jenis karang di Indonesia. Pusat Penelitan Oseanografi LIPI


COREMAP Program. Jakarta. 2004.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, dkk. Avertebrata air Jilid I. Penebar
Swadaya.. Jakarta. 2005.

Titoyo, Anjar. 2008. Dampak Pemanasan Global Terhadap Terumbu Karang.


Universitas Nasional Jakarta.

Westmacott S, Teleki K, Wells S dkk. Pengelolaan terumbu karang yang telah


memutih dan rusak. IUCN. Switzerland. 2000.

Anda mungkin juga menyukai