Anda di halaman 1dari 19

AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI , IFFAH,

ZUHUD, DAN TAWADHU

“Ditujukan untuk memenuhi tugas”

Mata Kuliah : Akhlak


Dosen : Drs. H. Abdul Halim, M.Pd
Jurusan : Tarbiyah - PAI (II-C)

Di susun Oleh
Kelompok 9 ( Sembilan )

- Al-Fera Ridha Siregar


- Lailan Tawila
- Maula Humaira Akmal
- Mutia Khafifah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TANJUNG PURA
LANGKAT
2019

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa


atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata
kuliah Akhlak Tasauf yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami
sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat dan
menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Akhlak Terhadap diri sendiri
Iffah, Zuhud dan tawadhu ” sehingga dengan kami dapat menemukan hal-hal
baru yang belum kami ketahui.

Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.
Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.

Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba berusaha


sekuat tenaga dalam penyelesaian Makalah ini,  tetapi tetap saja tak luput dari
sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran
penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa
datang.

i
Tanjung Pura, Oktober 2019

DAFTAR IS

ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1

BAB III....................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Akhlak Pada Diri Sendiri..............................................................................2

B. Iffah...............................................................................................................3

C. Zuhud............................................................................................................5

D. Tawadhu........................................................................................................7

BAB III..................................................................................................................11

PENUTUP..............................................................................................................11

A. Kesimpulan.................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dewasa ini moral bangsa ini semakin hancur dan hilang hal ini terbukti
dengan adanya perilaku-perilaku amoral yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia terutama kaum muda. Sikap amoral yang sekarang semakin merajalela
di kehidupan masyarakat dan malah sudah dianggap biasa dan wajar dalam
kehidupan masyarakat.

Salah satu kunci utama dalam membenahi akhlak bangsa ini yaitu dengan
menitikberatkan pada lingkungan keluarga dan perlu penyadaran terhadap setiap
keluarga bahwasanya pendidikan akhlak terutama pendidikan akhlak penting
untuk diajarkan dan ditanamkan dalam diri seorang anak. Dalam proses
penanaman nilai akhlak ini haruslah pertama kali ditanamkan nilai-nilai akhlak
terhadap diri sendiri karena semua hal itu dimulai dari diri kita sendiri, setelah diri
kita benar-benar tertanam nilai akhlak maka secara otomatis dapat menjalar dalam
aspek-aspek kehidupan yang lain.

Pada makalah ini dibahas mengenai akhlak terhadap diri sendiri ,semoga
dengan adanya makalah ini dapat mempermudah kita dalam berakhlak kepada diri
kita, dan dapat menjadikan kita menjadi orang yang benar-benar berakhlak dan
menjadi seorang muslim yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana aklak terhadap diri sendiri ?
b. Bagaimana konsep iffah dalam kehidupan?
c. Bagaimana konsep tawaduk dalam islam ?
d. Bagaimana konsep juhud dalam Islam ?

C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui aklak terhadap diri sendiri .
b. Untuk mengetahui konsep iffah dalam kehidupan.

1
c. Untuk mengetahui konsep tawaduk dalam islam .
d. Untuk mengetahui konsep juhud dalam Islam .

BAB III
PEMBAHASAN
A. Akhlak Pada Diri Sendiri

Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab ‫ اخالق‬bentuk jamak
dari mufradnya khuluq ‫ خلق‬yang berarti “budi pekerti”. Sedangkan menurut
terminologi, kata “budi pekerti”, budi adalah yang ada pada manusia,
berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, ratio. Budi
disebut juga karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena
didorong oleh perasaan hati yang disebut behaviour.Jadi, budi pekerti adalah
perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah
laku manusia.1

Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai kewajiban terhadap dirinya


sendiri. Namun bukan berarti kewajiban ini lebih penting daripada kewajiban
kepada Allah. Dikarenakan kewajiban yang pertama dan utama bagi manusia
adalah mempercayai dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa “Tiada Tuhan
melainkan Allah”. Keyakinan pokok ini merupakan kewajiban terhadap Allah
sekaligus merupakan kewajiban manusia bagi dirinya untuk keselamatannya.

Manusia mempunyai kewajiban kepada dirinya sendiri yang harus


ditunaikan untuk memenuhi haknya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk
mementingkan dirinya sendiri atau menzalimi dirinya sendiri. Dalam diri manusia
mempunyai dua unsur, yakni jasmani (jasad) dan rohani (jiwa). Selain itu manusia
juga dikaruniai akal pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk Allah
yang lainnya. Tiap-tiap unsur memiliki hak di mana antara satu dan yang lainnya
mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya masing-
masing.

1
Abudin Nata, . 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Radjagrafindo Persada. h. 121

2
Jadi, yang dimaksud dengan akhlak terhadap diri sendiri adalah sikap
seseorang terhadap diri pribadinya baik itu jasmani sifatnya atau rohani . Kita
harus adil dalam memperlakukan diri kita , dan jangan pernah memaksa diri kita
untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan jiwa.

Sesuatu yang membahayakan jiwa bisa bersifat fisik atau psikis. Misalnya
kita melakukan hal-hal yang bisa membuat tubuh kita menderita. Seperti; terlalu
banyak bergadang, sehingga daya tahan tubuh berkurang, merokok, yang dapat
menyebabkan paru-paru kita rusak, mengkonsumsi obat terlarang dan minuman
keras yang dapat membahyakan jantung dan otak kita. Untuk itu kita harus bisa
bersikap atau beraklak baik terhadap tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat
membahayakan diri kita itu bisa bersifat psikis. Misalkan iri, dengki , munafik dan
lain sebagainya. Hal itu semua dapat membahayakan jiwa kita, semua itu
merupakan penyakit hati yang harus kita hindari.

B. Iffah

Secara bahasa, iffah adalah menjauhkan (menahan) dari yang tidak halal. Juga
berarti kesucian tubuh. Iffah secara istilah adalah memelihara kehormatan diri
dari segala hal yang akan merendahkan diri, merusak dan menjauhkannya. Atau
dengan kata lain menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah
haramkan. Dengan demikian, seorang yang afif adalah orang yang bersabar dari
perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara
tersebut dan menginginkannya. 2
Iffah adalah akhlak yang mulia, perbuatan yang baik, apabila seseorang
menghiasi dirinya dengan iffah maka Allah akan mencintainya dan ia akan
dicintai oleh semua manusia. Keutamaan iffah, menjaga manusia dari perbuatan
dosa yang dilakukan tangannya, lisannya atau dengan segala sesuatu yang tidak
halal baginya, dan mungkin bisa mencegahnya dari perilaku maksiat.
Di dalam kamus Al- Munjid kata iffah berasal dari kata
J‫ ترك الشهوات الدنيوية‬,‫ عفا معنها طهارة الجسد‬- ‫العفة‬
Iffah maknanya membersihkan jiwa, meninggalkan nafsu keduniawian.
2
Asmaran, As. 2007. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Radjagrafindo Persada. h, 312

3
Secara terminologi iffah adalah diperolehnya kesadaran jiwa yang mampu
mengendalikan diri dari syahwat dan hawa nafsu.
Dasar Iffah
Secara bahasa 'iffah adalah menahan dan menjaga. Adapun secara istilah;
menahan diri dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian
seorang yang 'afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang
diharamkan walaupun jiwanya menginginkannya. Misalkan saja menahan diri dari
hawa nafsu untuk minta-minta kepada orang lain (tidak mau berusaha untuk
memenuhi kebutuhan). Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 273
Firman Allah swt:

ِ ُّ‫م ْال َجا ِه ُل أَ ْغنِيَا َء ِمنَ التَّ َعف‬Jُ ُ‫يَحْ َسبُه‬


‫ف‬

“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-
orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-
minta kepada manusia).” (Al-Baqarah: 273).

273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di


jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.3
Dalam tafsir Al-Misbah di jelaskan sedikit mengenai iffah (menjaga diri)
dari hal meminta (secara mendesak), meskipun mereka golongan fakir. Mereka
adalah orang-orang terhormat, bersih walau miskin, rapi walau sederhana, taat
beragama, sangat menghargai diri mereka, dan juga terlihat khusuk, sederhana
bahkan bisa jadi wajahnya pucat pasi, tetapi ketaqwaan menjadikan mereka penuh
wibawa dan kehormatan

3
Ibid. h. 314

4
Untuk mengembangkan sikap ‘iffah ini, maka ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dan dilakukan oleh seorang muslim untuk menjaga kehormatan diri,
di antaranya:
1. Selalu mengendalikan dan membawa diri agar tetap menegakan sunnah
Rasulullah,
2. Senantiasa mempertimbangkan teman bergaul dengan teman yang jelas
akhlaknya,
3. Selalau mengontrol diri dalam urusan makan, minum dan berpakaian secara
Islami,
4. Selalu menjaga kehalalan makanan, minuman dan rizki yang diperolehnya,
5. Menundukkan pandangan mata (gaḍḍ al-baṣhar) dan menjaga kemaluannya,
6. Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki atau perempuan yang bukan
mahramnya,
7. Senantiasa menjauh diri dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah.
'Iffah merupakan akhlak paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab
itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki
kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan- keinginan yang tidak semua
harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah akan
lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji
lainnya.
Ketika sifat 'iffah ini sudah hilang dari dalam diri seseorang, akan membawa
pengaruh buruk dalam diri seseorang, akal sehat akan tertutup oleh nafsu
syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah,
mana baik dan buruk, yang halal dan haram.

C. Zuhud
Secara  etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu  dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.4
Berbicara tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan 
dari dua hal: yang pertama  zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
tasawuf. Kedua  zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.

4
Mahjudin. 2001. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.h. 112

5
Menurut istilah zuhud memiliki beberapa pengertian :

a.       Ibnu Taimiyah, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
demi kehidupan akhirat”.

b.      Imam Al Qusyairy, ”Zuhud adalah tidak merasa bangga terhadap kemewahan
dunia yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta”.

c.       Imam Al Ghazali, ”Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai


kemewahan dunia sesuai dengan kadar kemampuannya”.

d.      Hasan Al-Bashri, ”Zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau
menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di
tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama
saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan
yang mencelamu dalam kebenaran”.

      Dari empat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah suatu
sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan harta kekayaan dunia
atau dunia. Harta kekayaan atau dunia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan
hakiki yakni kehidupan akhirat.

Para ulama Tasawuf membagi zuhud ke dalam beberapa tingkatan, antara


lain :5

a. Imam Ahmad bin Hanbal :

5
Mustofa. 2009. Akhlak-Tasawuf. Bandung: Cv. Pustaka Setia.h,31

6
1) Zuhud Awam, dengan meninggalkan barang yang haram,
2) Zuhud Khawas, dengan meninggalkan barang yang halal,
3) Zuhud ’Arif, dengan meninggalkan apa saja yang menghalanginya dari
Allah SWT.

b. Imam Abu Nashr As Sarraj At Tusi :

1) Zuhud Mubtadi’ (tingkat pemula), yakni orang yang tidak memiliki sesuatu
dan hatinya-pun tidak ingin memilikinya.
2) Zuhud Mutahaqqiq (tingkat orang yang telah mengenal hakekat zuhud),
yakni orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari
harta benda duniawi karena tahu dunia tidak mendatangkan keuntungan
baginya.
3) Zuhud ‘Alim Muyaqqin (tingkat orang yang memandang bahwa dunia tidak
memiliki nilai), yakni orang yang memandang bahwa dunia ini hanyalah
sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah SWT.

c. Iman Al Ghazali :

1) Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik,


2) Meninggalkan keduniaan karena menginginkan sesuatu yang bersifat
keakhiratan,
3) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT, karena rasa cintanya
hanya tertuju kepada Allah SWT.

Kebalikan dari sifat zuhud adalah hubbuddunya (berlebih-lebihan


mencintai dunia/harta benda). Orang yang hubbuddunya digambarkan oleh Allah
SWT sebagai orang yang suka mencela dan mengumpulkan harta benda.
Perhatikan QS Al Humazah berikut ini !

7
‫ب‬ُ ‫س‬ َ ‫ح‬ْ َ ‫) ي‬2( ُ‫عدَّدَه‬َ ‫و‬ َ ‫مااًل‬ َ ‫ع‬ َ ‫م‬َ ‫ج‬َ ‫ذي‬ ِ َّ ‫) ال‬1( ‫ة‬ ٍ ‫م َز‬ َ ُ‫ة ل‬ٍ ‫م َز‬
َ ‫ه‬ ُ ‫ل‬ ِّ ُ ‫ل لِك‬ ٌ ْ ‫وي‬َ
‫ما‬
َ ‫اك‬َ ‫ما أَدْ َر‬ َ ‫و‬
َ )4( ‫ة‬ َ َ‫حط‬
ِ ‫م‬ ُ ْ ‫في ال‬ َّ َ‫) كَاَّل لَيُنْبَذ‬3( ُ‫ه أخْلَدَه‬
ِ ‫ن‬ َ َ ‫أَن مال‬
ُ َ َّ
(‫ة‬ ِ َ‫فئِد‬ْ َ ‫ع عَلَى اأْل‬
ُ ِ ‫) الَّتِي تَطَّل‬6( ُ‫قدَة‬ ُ ْ ‫ه ال‬
َ ‫مو‬ ِ َّ ‫ار الل‬ُ َ ‫) ن‬5( ‫ة‬ ُ ‫م‬َ َ‫حط‬ ُ ْ ‫ال‬
9( ‫ة‬ ٍ َ‫مدَّد‬َ ‫م‬ُ ‫د‬ ٍ ‫م‬َ ‫ع‬َ ‫في‬ ِ )8( ٌ‫صدَة‬ َ ‫ؤ‬ ْ ‫م‬ُ ‫م‬ ْ ‫ه‬ َ
ِ ْ ‫ها عَلي‬ َ َّ ‫) إِن‬7

1. kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,


2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
4. sekali-kali tidak! sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke
dalam Huthamah.
5. dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
7. yang (membakar) sampai ke hati.
8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

D. Tawadhu

Tawadhu' (‫)التّواضع‬ secara bahasa adalah ‫التّذلّل‬


"Ketundukan" dan ‫" التّخاشع‬Rendah Hati”. Asal katanya adalah
Tawadha'atil Ardhu' yakni Tanah itu lebih rendah daripada tanah
sekelilingnya. 6

            Tawadhu' secara istilah adalah tunduk dan patuh kepada


otoritas kebenaran, serta kesediaan menerima kebenaran itu
dari siapa pun yang mengatakan nya, baik dalam keadaan ridha
maupun marah. Tawadhu' juga merendahkan diri dan santun
terhadap manusia, dan tidak melihat diri memiliki nilai lebih
dibandingkan hamba Allah (manusia) yang lain nya. Sikap ini
6
Ibid. h. 33

8
adalah sikap seseorang yang tidak ingin menonjolkan diri sendiri
dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Kebaikan yang
dikaruniakan Allah Swt, padanya baik berupa harta, kepandaian,
kecantikan fisik, dan bermacam-macam karunia Allah Swt,
lainnya tidak membuat dirinya lupa. Orang yang bersikap tawadu
senantiasa ingat bahwa semua yang ada padanya adalah milik
Allah Swt, semata. Oleh sebab itu, seorang yang tawadu tak
akan menghina orang lain dengan apa pun yang diamanatkan
Allah Swt kepadanya.

Diantara sekian banyak akhlak serta sifat terpuji yang di


tekankan oleh agama kita ialah Tawadhu’ (rendah hati).
Dikarenakan akhlak mulia adalah inti ajaran agama islam, maka
tak salah kalau banyak ayat serta hadis yang menganjurkan hal
tersebut, salah satunya sifat yang akan menjadi kajian kita kali
ini, yaitu Tawadhu’. Allah SWT berfirman :

ُّ ِ‫َرض َمَر ًحا إِ َّن اهللَ الَحُي‬


‫ب ُك َّل خُم تَ ٍال فَ ُخو ٍر‬ ِ ‫ش يِف األ‬ ِ ‫َّك لِلن‬
ِ ‫َّاس َوالَمَت‬ َ ‫ص ِّعر َخد‬
َ ُ‫َوالَت‬

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia


(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Firman Allah yang lainnya

‫ني‬ِ ِ ِ َ ‫م وٱخ ِفض جنَاح‬1 ‫م واَل حَتْز ْن علَي ِه‬1 ‫ك إِىَل ٰ ما متَّعنَا بِِهۦٓ أ َْز ٰوجا ِّمْنه‬ َّ ‫اَل مَتُد‬
َ ‫ك لْل ُم ْؤمن‬ َ َ ْ ْ َ ْ َْ َ َ ُْ ً َ ْ َ َ َ ‫َّن َعْيَنْي‬

Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada


keni’matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa

9
golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah
kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu
terhadap orang-orang yang beriman. (Q.S Al-Hijr 88)

Tawadhu’ adalah sikap merendahkan diri dan melemah


lembutkan hati bukan karena kehinaan atau keremehan diri.
Tujuan dari sikap rendah diri adalah memberikan setiap hak
sesuai dengan hak atau porsinya. Tawadhu‘ merupakan faktor
yang menghasilkan ketinggian derajat dan kemuliaan diri. 7

Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia


jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap
tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji
yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi
SAW berikut ini : 

Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta


karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang
yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang
yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan
(mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).

 Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW:


“Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan
kepadaku:“Bertawadhu’lah hingga seseorang tidak
menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak
menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim).

Syarat Tawadhu’

7
Abuddin. Nata, 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pt. Taja Grafindo Persada.h. 59

10
Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali
dengan dua syarat;8

ّ ‫ ع ّزوج‬semata.
a.        Ikhlas karena Alloh ‫ل‬

Rosululloh ‫ صلي الله عليه وسلم‬bersabda;

ِ ِ ‫وما َتواضع أ‬
ُ‫َح ٌد للَّه إِاَّل َر َف َعهُ اللَّه‬
َ ََ َ ََ

“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh


akan angkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)

b.       Kemampuan

Rosululloh ‫ صلي الله عليه وسلم‬bersabda:

ِ
َ‫َي ُحلَ ِل اإْلِ ميَان َشاء‬ ِ ُ‫اض ًعا لِلَّ ِه َو ُه َو َي ْق ِد ُر َعلَْي ِه َد َعاهُ اللَّهُ َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة َعلَى ُرء‬
ِّ ‫وس اخْلَاَل ئِ ِق َحىَّت خُيَِّيَرهُ ِم ْن أ‬ َ َ‫َن َتَر َك اللِّب‬
ُ ‫اس َت َو‬ ْ‫م‬
‫َيْلبَ ُس َها‬

“Barangsiapa yang meninggalkan pakaian  karena tawadhu’


kepada Alloh padahal dia mampu, maka Alloh akan
memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk
hingga Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk
surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.

Keutamaan-Keutamaan Tawadhu'

8
Permadi. 2004. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta.h, 78

11
            Keutamaan Tawadhu’ akan menghasilkan buah yang
luar biasa baik di dunia maupun di akhirat kelak. Diantaranya
:

1.      Allah akan meninggikan derajat orang yang tawadhu’.

                     Sifat tawadhu’bukanlah suatu kehinaan, justru


dengan ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang.
Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan
untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya.

2. Meraih Al – Jannah.

          Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap


tawadhu’, mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu
orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian.
Karena sikap tawadhu’ tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak
terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias
dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak
keharmonisan masyarakat.

Tawadhu’ yang terpuji

Tawadhu’ yang terpuji adalah ketawadhu’an seseorang kepada


Allah SWT dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba
Allah. Contoh perilaku Tawadhu’ ini antara lain :9

a. Tidak berlebihan baik dalam pakaian, makanan, dan


minuman
b. Sopan santun dalam bertindak dan bersikap
9
Rosihon Anwar , . 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.h. 77

12
c. Merendahkan nada suaranya
d. Gemar menolong orang yang membutuhkan pertolongan

Tawadhu’ yang tidak terpuji

Tawadhu yang dibenci adalah tawadhunya seseorang kepada


Allah karena menginginkan dunia ada di sisinya. Contoh perilaku
tawadhu ini, antara lain :

a. Bersikap sopan santun karena memiliki maksud yang tidak


baik
b. Tidak berlebihan memakai harta karena takut dicuri atau
dimintai zakat
c. Menolong orang yang membutuhkan pertolongan dengan
maksud   ada imbalan dari yang ditolongnya. 

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Akhlak terhadap diri sendiri adalah sikap seseorang terhadap diri pribadinya
baik itu jasmani sifatnya atau rohani . Kita harus adil dalam memperlakukan diri
kita , dan jangan pernah memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu yang tidak
baik atau bahkan membahayakan jiwa.
Iffah adalah akhlak yang mulia, perbuatan yang baik, apabila seseorang
menghiasi dirinya dengan iffah maka Allah akan mencintainya dan ia akan
dicintai oleh semua manusia.

Zuhud adalah suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu


mementingkan harta kekayaan dunia atau dunia. Harta kekayaan atau dunia
hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hakiki yakni kehidupan akhirat.
Tawadhu' secara istilah adalah tunduk dan patuh kepada
otoritas kebenaran, serta kesediaan menerima kebenaran itu
dari siapa pun yang mengatakan nya, baik dalam keadaan ridha
maupun marah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Radjagrafindo Persada.


Asmaran, As. 2007. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Radjagrafindo Persada.
Mahjudin. 2001. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
Mustofa. 2009. Akhlak-Tasawuf. Bandung: Cv. Pustaka Setia.
Nata, Abuddin.   2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pt. Taja Grafindo Persada.
Permadi. 2004. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta.
Anwar , Rosihon . 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

15

Anda mungkin juga menyukai