Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN BLS, SINKOP DAN SYOK

ANAFILAKTIK
Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi

Kepaniteraan Klinik di Bagian Oral Surgery

OLEH

Nama : Qurrata Akyuni Yusena

NPM : 20100707360804063

Dosen Pembimbing :

drg. Wulan Agnestia, MSc

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2021
BASIC LIFE SUPPORT
Penyakit henti jantung mendadak merupakan pembunuh terbesar nomor satu di dunia

(WHO,2017) . Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung

koroner dan gagal jantung. Angka kematian dunia akibat penyakit jantung koroner berkisar 7,4

juta pada tahun 2012 (Riskesdas, 2013). Di Amerika Serikat, henti jantung mendadak merupakan

salah satu penyebab kematian mendadak tersering (American Red Cross, 2015). Sedangkan

prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar

0,5%, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% (Riskesdas, 2013).

Henti jantung mendadak adalah hilangnya fungsi jantung pada seseorang secara tiba-tiba

yang mungkin atau tidak mungkin telah didiagnosis penyakit jantung. Henti jantung mendadak

terjadi ketika malfungi sistem listrik jantung dan kematian terjadi ketika jantung tiba-tiba

berhenti bekerja dengan benar. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak normal, atau tidak

teraturnya irama jantung (aritmia) (American Heart Association, 2015).

Basic Life Support (BLS) atau yang dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah

penanganan awal pada pasien yang mengalami henti jantung, henti napas, atau obstruksi jalan

napas. BHD meliputi beberapa keterampilan yang dapat diajarkan kepada siapa saja, yaitu

mengenali kejadian henti jantung mendadak, aktivasi sistem tanggapan darurat, melakukan

cardiopulmonary resuscitation (CPR)/resusitasi jantung paru (RJP) awal, dan cara menggunakan

automated external defibrilator (AED). Resusitasi jantung paru (RJP) sendiri adalah suatu

tindakan darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas dan atau henti

jantung (yang dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian

biologis (Aaberg dkk, 2014).


Tujuan utama dari BHD adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk mempertahankan

ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh. Selain itu, ini

merupakan usaha pemberian bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi dan oksigenasi tubuh

secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba

bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan hidup

jantung lanjutan (Pro emergency, 2011).

BASIC LIFE SUPPORT


No TINDAKAN FOTO
1. D = Danger
Memindahkan posisi pasien pada
daerahyang aman, alas yang datar dan kaku
2. R = Respon
Menilai respon paseien dengan memanggil
atau menepuk bahu pasien

3. S = Shout for help


Memanggil bantuan sebagai penolong
kedua atau sebagai saksi
4. C = sirkulasi
Menilai denyutan pada arteri carotis
menggunakan 2 jari. Apabila tidak teraba
lakukan RJP

5 Persiapan RJP:
Letakkan telapak tangan pada 2 jari diatas
pertemuan iga kiri dan kanan (procesus
sipoideus).
Tindihkan tangan yang lain diatas nya
Posisikan lengan lurus. Lakukan penekanan
sedalam 4-5 cm.
Kompresi dada dilakukan sebanyak 30x
Dilanjutkan 2 x nafas buatan
Lakukan sebnyak 4-5 siklus dan lakukan
evaluasi sirkulasi dan pernafasan

5. Head tilt-chin lift


A = airway
Membebaskan jalan nafas
Melakukan manuver
 Head tilt - chin lift
 Jaw trust

Jaw trust

6. B = breathing
Melakukan pemeriksaan
 Look
 Listen
 Feel

Memeberikan nafas buatan


 Mouth to mouth
Ambu bag

7. D = dissability
Melakukan penilaian skor tingkat
kesadaran
 Metode AVPU
 Metode GCS
8. E = Environmental
Menempatkan pasien dalam posisi
recovery

SINKOP
A. Pengertian Sinkop

Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “syn” dan “koptein”

yang berarti memutuskan. Sinkop dapat diartikan sebagai hilangnya kesadaran seseorang

yang terjadi secara tiba-tiba dan bersifat sementara akibat berkurangnya aliran darah ke otak.

Benign faint, simple faint, neurogenic syncope, psychogenic syncope, vasodepressor

syncope dan vasovagal syncope adalah beberapa nama lain yang biasa digunakan untuk

menggambarkan syncope, namun menurut Malamed (2014) vasodepressor syncope adalah

istilah yang paling deskriptif dan akurat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi.

Pendapat lain menyatakan bahwa vasodepressor syncope adalah suatu kegawatdaruratan

medik yang paling sering dijumpai di tempat praktek dokter gigi, di mana penderita

mengalami penurunan atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dan bersifat sementara

akibat tidak adekuatnya cerebral blood flow. Hal ini disebabkan karena terjadinya

vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi (Ganong,

1995).

B. Etilologi

Vasodepressor syncope dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, tak terkecuali di

tempat praktek dokter gigi. Individu yang rentan apabila dihadapankan dengan situasi yang

membuat dirinya stress maka dapat memicu terjadinya vasodepressor syncope. Bagi

sebagian orang, perawatan gigi dapat menyebabkan stres psikis, terutama pada pasien yang

belum pernah ke dokter gigi atau pada pasien yang mempunyai pengalaman buruk dengan

perawatan gigi sebelumnya (Kamadjaja, 2010)

Menurut Malamed (2014), terdapat dua jenis faktor yang mengakibatkan terjadinya

sinkop, yaitu faktor psikogenik dan faktor non-psikogenik. Faktor psikogenik adalah faktor-
faktor yang berhubungan dengan pikiran, konflik mental dan emosional seperti rasa takut,

gelisah, stress emosional, menerima kabar buruk, sakit yang tibatiba dan tak terduga serta

melihat darah atau instrumental bedah. Faktor non-psikogenik adalah faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya vasodepressor syncope namun tidak berasal dari pikiran melainkan

dari suatu keadaan atau lingkungan yang tidak nyaman, misalnya duduk tegak atau berdiri

lama, kelelahan, kelaparan, kondisi fisik yang buruk, kondisi lingkungan yang panas atau

terlalu lembab, kondisi lingkungan yang sempit, laki-laki serta berusia 16-35 tahun.

C. Patofisiologi

Menurut Malamed (2014), patofisiologi syncope dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1) Pre-syncope

Tanda dan gejala presinkop berhubungan dengan penurunan output kardiak,

berkurangnya aliran darah serebri, dan penurunan psikologi. Tanda dan gejala presinkop

awal yaitu merasa hangat, pucat, pusing, keringat berat dan dingin, merasa tidak enak

badan, nausea, tekanan darah menurun dan takikardi. Tanda dan gejala presinkop akhir

yaitu dilatasi pupil, menguap, hiperpnea, tangan dan kaki terasa dingin, hipotensi,

bradikardi, gangguan penglihatan, pusing dan kehilangan kesadaran.

2) Syncope

Pasien dikatakan memasuki fase sinkop ketika mengalami kehilangan kesadaran.

Hilangnya kesadaran tersebut memungkinkan respirasi menjadi tidak teratur, terengah-

engah, napas dangkal, tidak bersuara, dan apnea atau henti nafas, selain itu yang terjadi

ketika fase sinkop adalah dilatasi pupil menyerupai kematian, kejang otot, otot berkedut

pada tangan, kaki atau otot fasial, hipoksia otak 10 detik, bradikardi berlanjut dan

hipotensi.
3) Recovery/post-syncope

Fase recovery ini mulai timbul kesadaran pasien. Umumnya pasien mengalami nausea,

muka pucat, kelemahan, berkeringat, dalam beberapa menit atau beberapa jam. Selain itu

juga terjadi kebingungan atau disorientasi periodik. Kadang-kadang gejala tersebut

bertahan selama 24 jam. Tekanan darah dan denyut jantung mulai kembali normal

perlahan.

PENATALAKSANAAN SINKOP
1. Menghentikan tindakan kedokteran gigi
2. Posisikan penderita dalam posisi
supine/posisi syok (kedua kaki diangkat 30-
450)

3. Longgarkan pakaian yang ketat


4. Pemberian oksigen
5. Merangsang kesadaran pasien dengan
memanggil atau menepuk bahu, bau-bauan
yang menyengat, minuman panas dll

6. Pengukuran vital sign


a. Tekanan darah

7. Pengukuran vital sign


a. Nadi
8. Pengukuran vital sign
a. Suhu

9. Pengukuran vital sign


a. Pernafasan
SYOK ANAFILAKSIS
Anafilaktik berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata : ana = jauh dari dan

phylaxis = perlindungan. Anafilaktik syok merupakan keadaan akut, reaksi hipersensitivitas I

yang berpotensi mengancam jiwa dan terjadi dengan sangat cepat. Anafilaktik syok pada

umumnya sebagai reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh aktivasi mediator IgE dari sel

mast, basofil dan dirilis oleh mediator inflamasi seperti histamin, leukotrin, triptase dan

prostaglandin sehingga menyebabkan hipotensi akut dan syok

PENATALAKSANAAN SYOK ANAFILAKSIS


1. Menghentikan tindakan kedokteran gigi
dan pemberian bahan alergen
2. Lakukan resusitasi ABC
Airway
Breathing
circulation

3. Pemberian adrenalin 0,5 ml- 1 ml, 1:1000


intra muscular, dapat diulang setiap 10
menit bila dibutuhkan
4. Pemberian oksigen

5. Pemberian bronkodilator semprot


(salbutamol 5 mg) atau aminovilin 5 mg/kg
intra vena
6. Pemberian antihistamin intra vena.
H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg
IV) dan H2 bloker ranitidin (50 mg IV
lambat)

7. Pemberian kortikosteroid intra vena.


hidrokortison 200 mg IV

8. Kirim ke IGD

DAFTAR PUSTAKA

WHO.http:/www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index4.html (diakses pada tanggal 9


April 2017)
Riskedas. Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia.2013.

American Red Cross. Basic Life Support for Healthcare Providers Handbook.2015.

American Heart Association. AHA Guideline Update for CPR and ECC.Circulation Vol.
132.2015.

International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies. International First Aid and
Resuscitation Guidelines.2011.

A.M. Aaberg, C.E. Larsen, B.S. Rasmussen, C.M. Hansen, & J.M. Larsen.

Basic Life Support knowledge, self reported skills and fears in Danish High School students and
effect of a single 45-min training session run by junior doctors ; a prospective cohort study.
Resuscitation and Emergency Medicine:22-24. 2014.

Pro Emergency. Basic Trauma Life Support. Cibinong:Pro Emergency.2011.

Malamed, S. F. (2014). Medical Emergencies in the Dental Office Seventh Edition. St. Louis:
Elsevier.

Ganong, William F, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1995.
Kamadjaja, D. B. (2010) ‘Vasodepressor syncope di tempat praktek dokter gigi : Bagaimana
mencegah dan mengatasinya ?’, Pdgi, 59(1), pp. 8–13.

Anda mungkin juga menyukai