Anda di halaman 1dari 19

AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI INDONESIA

DALAM PUSARAN POLITIK; SEBUAH TINJAUAN KRITIS


Musfirah Adyaningsih / 90400117026 / Akuntansi A
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Musfirah515@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meninjau apa saja tantangan ataupun tekanan
dalam pengelolaan dana desa dalam pusaran kepentingan politik, dimana keuangan desa
yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun
nyatanya yang banyak terjadi kepala desa hanya menjadikan dana desa sebagai modal
politik untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga desa yang
seharusnya berkembang malah tidak ada peningkatan sama sekali. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur yaitu
dengan mensintesa berbagai penelitian terdahulu untuk kemudian melakukan kajian
terhadap hasil penelitiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyaknya
penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh kepala desa, dimana dana desa
seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, malah digunakan sebagai modal
politik yang hanya menguntungkan aparatur, serta dalam pemilihan dan pengangkatan
perangkat desa yang masih banyak lebih didasari kekerabatan atau kedekatan semata
tanpa memperhatikan kompetensi yang dimiliki. Hal inilah yang menjadi tantangan
tersendiri yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pengelolaan dana desa.

Kata Kunci: Dana Desa, Akuntabilitas, Pengelolaan Keuangan Desa, Politik


Anggaran.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu Negara kesatuan berbentuk Republik yang terdiri
dari wilayah-wilayah atau daerah provinsi, kabupaten ataupun kota, dimana dibawah
kabupaten dan kota terdiri dari beberapa desa (Syamsi, 2014). Desa merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang diberikan kewenangan

1
untuk mengatur ataupun mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul maupun hak tradisional yang
telah diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Karlinayani dan Ningsih, 2018; Wijaya dan Samin, 2019). Dalam hal ini
Desa diberikan hak dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
sebagaimana juga dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diharapkan segala
kepentingan ataupun kebutuhan masyarakat dapat diakomodir dengan lebih baik dalam
meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Desa sebagai unit organisasi pemerintah
yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat dengan segala latar belakang
kepentingan maupun kebutuhannya mempunyai peranan yang sangat strategis (Meutia
dan Liliana., 2017). Desa memiliki peranan yang sangat penting dikarenakan kemajuan
dari suatu negara pada dasarnya sangat ditentukan oleh kemajuan desa, tidak akan ada
suatu negara yang maju tanpa provinsi yang maju, tidak akan ada provinsi yang maju
tanpa kabupaten yang maju dan begitupun dengan kabupaten, tidak ada kabupaten yang
maju tanpa desa dan kelurahan yang maju (Indrianasari, 2017; Hanifah dan Praptoyo,
2015). Hal ini berarti bahwa kemajuan suatu negara harus diawali oleh kemajuan
desanya telebih dahulu. Untuk itulah pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu
pembentukan Alokasi Dana Desa (ADD).
Alokasi dana Desa (ADD) adalah suatu dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diterima oleh Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia, serta
penanggulangan kemiskinan (Jamaluddin dkk., 2018 dan Azliana dkk., 2018). ADD
bertujuan untuk menjalankan dan memajukan pembangunan desa serta untuk
meningkatkan saran pelayanan masyarakat dan administrasi pengelolaanya dilakukan
dan dipertanggung jawabkan penggunaan dan pemakaian dana tersebut, maka
pemerintah dan aparatur desa harus memahami bagaimana pengelolaan keuangan desa
yang baik (Tambuwun dkk., 2018). Dana Desa merupakan salah satu program dari
pemerintah yang diberikan kepada Kepala Desa yang ada di seluruh wilayah Negara
Indonesia, untuk satu desa diberikan dana mencapai Rp. 1 miliar untuk memenuhi
kebutuhan di setiap desanya. Dana Desa yang berjumlah besar sangat rawan dengan

2
penyelewengan dari pihak-pihak terkait, maka dari itu pemerintah Desa dituntut untuk
transparansi dan akuntabel terhadap masyarakat (Hidayah dan wijayanti, 2017).
Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Dana Desa adalah dana APBN bagi
Desa, ditransfer melalui APBD kabupaten/kota. Dana Desa digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan dan
pemberdayaan masyarakat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa mencantumkan peraturan mengenai Keuangan Desa dan Aset Desa yang tertera
dalam BAB VIII Pasal 71 sampai dengan Pasal 77. Berkaitan dengan sumber
pendapatan desa, Pasal 72 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa sumber dana desa berasal
dari alokasi APBN. Penjelasan Pasal 72 menyebutkan alokasi dana desa dari APBN
dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta pemerataan pembangunan
desa. Berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa dalam
melaksanakan tugasnya harus mengelola keuangan dan aset desa dengan akuntabel,
profesional, transparansi, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (Yasa
dkk., 2017). Hal tersebut juga dijelaskan dalam Asas Pengelolaan Keuangan Desa Pasal
2 ayat 1 Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 menyatakan bahwa
keuangan desa dikelola berdasarkan asas transparansi, akuntabel, partisipatif serta
dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Menurut Mingo dkk. (2017) penerapan
asas-asas tersebut digunakan untuk mengantisipasi terjadinya suatu kecurangan dalam
proses pengelolaan keuangan desa. Untuk pengelolaan pemerintahan desa yang baik
terkait dengan Anggaran Dana Desa memerlukan sistem akuntabilitas maupun
transparansi.
Akuntabilitas sangatlah penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Akuntabilitas (accountability) merupakan kewajiban pada tanggung jawab seorang
pemegang amanah untuk mengelola, meyajikan, melaporkan serta menyampaikan
segala aktivitas yang dilakukan kepada pemberi amanah (Cimpoeru dan valentin, 2015).
Akuntabilitas akan memastikan bahwa penyelenggaraan pada pemerintahan desa
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (Sedmihradska, 2015). Transparansi adalah suatu
keterbukaan, dalam hal ini tidak ada yang disembunyikan dalam penyediaan informasi.
Akuntabilitas dan transparansi merupakan suatu komponen utama dari good corporate
governance. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan

3
dana desa akan membuat tingkat penyimpangan, penyelewengan, dan tindak korupsi
menjadi lebih kecil atau minim, karena masyarakat dapat memantau setiap hal yang
dilakukan oleh aparat desa terkait pengelolaan keuangan desa (Anggriani dkk., 2019;
Wardani dan Utami, 2020). Prinsip akuntabilitas dan transparansi harus diterapkan
dalam pengelolaan dana desa, hal ini untuk meghindari terjadinya penyalahgunaan dana
desa.
Anggaran Dana Desa bukanlah hal sepele mengingat jumlahnya yang fantastis.
Tercatat pada tahun 2020 pemerintah mengalokasikan anggaran Dana Desa sebesar Rp.
72 triliun, dimana pemerintah telah menetapkan alokasi besaran dana desa sebesar Rp.
960 juta untuk setiap desa. Pemberian dana desa diharapkan dapat menjadi motivasi
bagi desa-desa untuk menjadi lebih baik, lebih siap, mandiri, dan kredibel sehingga
mampu memenuhi kebutuhannya dalam mengembangkan dan membangun desanya
(Galera dkk., 2018; Simangungsong dan Wicaksono, 2017). Pengelolaan keuangan desa
seharusnya dapat melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) untuk sama-
sama mengelola dan memberi kesempatan kepada para pemangku kepentingan untuk
merumuskan kemana seharusnya dana dipakai berdasarkan kepentingan masyarakat,
seperti untuk pengembangan dan pembangunan desa. Namun, kenyataan yang sekarang
terjadi, masih banyak desa-desa yang anggarannya entah dikemanakan sehingga banyak
desa yang tidak mampu untuk mengembangkan ataupun membangun desanya meskipun
sudah menerima anggaran yang telah diberikan oleh pemerintah. Ditambah lagi
penyaluran dana desa juga dilakukan secara langsung kerekening pemerintah desa tanpa
melewati jenjang kabupaten atau kota sebagaimana sebelumnya. Sehingga hal ini juga
dapat menjadi godaan tersendiri bagi aparatur untuk melakukan penyelewengan
anggaran dan bahkan menjadi alat politik bagi aparatur desa demi kepuasan pribadi.
Banyaknya kasus di Indonesia yang melibatkan aparatur desa yang
menyalahgunakan anggaran desa yang seharusnya digunakan untuk kepentingan desa
dan masyarakat luas namun digunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan bahkan
banyak yang menggunakan sebagai alat politik dalam masyarakat. Sehingga masih
banyak desa saat ini yang tertinggal. Oleh karena itu, prinsip transparansi dan
akuntabilitas harus diterapkan. Laporan keuangan desa merupakan suatu bentuk
kebutuhan transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas. Untuk
mencapai transparansi ataupun akuntabilitas harus didukung oleh manajemen keuangan

4
dan pelaporan yang baik untuk menghasilkan informasi yang relavan dan mudah
dipahami oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) (Hendaris dkk., 2020). Jika
laporan keuangan desa dilaksanakan dengan baik maka kinerja pemerintah desa juga
meningkat (Hanifah, 2015). Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
apa saja tantangan ataupun tekanan dalam pengelolaan dana desa dalam pusaran
kepentingan politik.
TINJAUAN PUSTAKA
Dana Desa
Dana desa merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa kemudian ditransfer melalui anggaran
belanja daerah kabupaten/kota untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pemberdayaan masyarakat
desa dan hal lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa (Fahri, 2017).
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014
tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
(APBN), dan pada pasal 19 ayat (2) dijelaskan bahwa dana desa sebagaimana yang
dimaksud ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan serta pemberdayaan
masyarakat desa. Jamaluddin dkk. (2018) dan Mardiana dkk. (2020) menyatakan bahwa
dengan adanya dana desa maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan.
Dana Desa bertujuan untuk digunakan dalam menjalankan dan memajukan
pembangunan desa, serta untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat dan
administrasi pengelolaannya dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh pengguna atau
pemakai dana tersebut, maka pemerintah dan aparatur desa harus memahami bagaimana
pengelolaan keuangan desa yang baik (Tambuwun dkk., 2018). Menurut Hulu dkk.
(2018) menyatakan bahwa tujuan dari pemberian dana desa yang bersumber dari APBN
yaitu diprioritaskan untuk membangun dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu,
dapat diartikan bahwa dana desa yang diberikan oleh pusat bukan hanya untuk
diprioritaskan dalam hal pembangunan desa melainkan juga untuk pemberdayaan
masyarakat.
Alokasi Dana Desa

5
Alokasi Dana Desa atau ADD merupakan Alokasi khusus Desa yang
dialokasikan oleh Pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten) dengan tujuan
utamanya yaitu untuk mempercepat pembangunan tingkat Desa baik pembangunan fisik
(sarana dan pra-sarana) maupun sumber daya manusia (SDM) (Thomas, 2013).
Pemberian Alokasi Dana Desa (ADD) dimaksudkan sebagai bantuan stimulan atau dana
perangsang untuk mendorong dalam membiayai program Pemerintah Desa yang
ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Program Alokasi Dana Desa
bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dengan alokasi dana yang dikelola
langsung oleh masyarakat. Dengan adanya program ADD dapat terjadinya percepatan
pembangunan desa serta kemajuan perekonomian pedesaan. Kemajuan perekonomian
perdesaan menunjukkan bahwa adanya peningkatan kondisi ekonomi yang berhubungan
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat (Bempah, 2013).
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan keuangan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa yang menjadi landasan yurisdisnya. Dalam undang-undang tersebut telah
diatur tentang keuangan desa, mulai dari ketentuan umum, sumber pendapatan,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dan pengelolaannya, hingga
pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hak dan kewajiban tersebut
menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Secara spesifik, pengelolaan keuangan desa telah diatur dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 113 tahun 2014 menyatakan
bahwa keuangan desa dikelola berdasarkan asas transparansi, akuntabel, partisipatif
serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Pengelolaan keuangan desa
haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Pengelolaan keuangan
harus direncanakan secara terbuka dengan melalui musyawarah perencanaan
pembangunan desa dimana hasilnya dituangkan didalam Peraturan Desa tentang
APBDesa, serta dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dan melibatkan seluruh
unsur masyarakat desa; (2) Seluruh kegiatan haruslah dapat dipertanggungjawabkan
secara administrasi, teknis, dan hukum; (3) Informasi tentang keuangan desa harus
secara transparan yang dapat diperoleh oleh masyarakat; (4) Pengelolaan keuangan
dilaksanakan dengan prinsip hemat, terarah, dan terkendali.

6
Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan suatu prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti
bahwa proses penganggaran dimulai dengan perencanaan, penyusunan hingga
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat. Akuntabilitas juga dapat diartikan sebagai hubungan antara pihak yang
memegang suatu kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan
formal atas pihak pengendali tersebut. Menurut Supriyono (2001) Akuntabilitas adalah
suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.
Akuntabilitas termasuk hal yang penting dalam menjamin nilai-nilai seperti efisiensi,
efektifitas, prediktibilitas, maupun reabilitas (Karlinayani dan Ningsih, 2018). Media
pertanggungjawaban akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban,
juga mencakup aspek-aspek yang memudahan pemberi mandat untuk mendapatkan
informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara lisan maupun tulisan,
sehingga akuntabilitas dapat tumbuh pada lingkungan yang lebih mengutamakan
keterbukaan sebagai landasan pertanggungjawaban.
Prinsip-Prinsip Akuntabilitas
Dikutip dari Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. Prinsip-prinsip akuntabilitas sebagai berikut:
1. Intentions Disclosure Wajar bagi pengemban akuntabilitas yang melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat mempengaruhi publik dan dalam menyampaikan
kepada publik hasil-hasil yang akan diberikan serta dikemukakan alasan mengapa
hasil tersebut bermanfaat, adil, dan wajar.
2. Directing Mind Visibility Laporan pemerintah atau organisasi lain yang dapat
mempengaruhi publik dalam hal-hal yang penting harus mengidentifikasikan
directing mind atau will dari mereka yang bertanggungjawab dan akuntabel untuk
suatu kegiatan tertentu.
3. Performance Visibility Kinerja aktual harus diungkapkan melalui akuntabilitas
publik yang memadai oleh para pengemban tanggungjawab yang memiliki
akuntabilitas kinerja.

7
4. Reciprocal Accountability Mereka yang memiliki posisi senior dalam organisasi
menyampaikan akuntabilitas kepada anggota-anggota organisasi tentang tiga hal
yaitu: (a) untuk apa memilih tujuan-tujuan tertentu, (b) untuk siapa, dan (c) apa
yang diharapkan.
5. The Balance of Power, Duties and Accountibility Keseimbangan antara kekuasaan,
tugas dan akuntabilitas akan mempengaruhi kewajaran dalam pemberian
pertanggungjawaban serta memberikan harapan-harapan untuk mengatasi
hambatan-hambatan.
6. Answering for Precaution Taken Merupakan suatu kewajiban bagi para pengambil
keputusan untuk memberikan informasi yang memadai tentang resiko-resiko
penting bagi keselamatan masyarakat, sosial, keadilan hukum dan lingkungan serta
apa yang bisa dilakukan untuk sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan
resiko-resiko tersebut.
7. Corporate Fairness Terjadinya conflict of interest yang timbul antara melayani
kepentingan publik, melayani keinginan publik dan manajemen organisasi, dan
menentukan pertanggungjawaban yang dipublikasikan. Pertanggungjawaban ini
dapat mengurangi kemungkinan suatu organisasi berlaku tidak wajar dan
merugikan publik.
8. Citizen Caution Warga negara berperan aktif dalam meminta haknya untuk
pertanggungjawaban, serta menggunakan pertanggungjawaban tersebut secara
wajar.
9. Validation of Assertions Pertanggungjawaban publik untuk kehendak-kehendak,
hasil-hasil atau pembelajaran yang dilakukan memperoleh validasi dari kelompok
publik yang berminat dan memiliki pengetahuan atau para praktisi yang profesional
atau keduanya.
10. Rights Roles Para pengemban tanggungjawab memberikan pertanggungjawaban
untuk kehendak-kehendaknya, alasan-alasan yang dilakukan serta hasil-hasil yang
dicapai.
11. Governing Body and Citizen Responsibility Untuk membantu meningkatkan
kewajaran dan kelengkapan pertanggungjwaban, badan-badan yang memiliki
legitimasi untuk memberikan pertanggungjawaban melakukannya secara wajar,
jujur dan bertanggungjawab.

8
12. Wage of Abdications Sepanjang pertanggungjawaban telah diberikan secara wajar,
dan penilaian publik telah dilakukan dengan wajar, dan dinilai ada indikasi
penyimpangan, akuntabilitas memberikan orientasi untuk menindaklanjuti
penyalahgunaan wewenang, serta menunjuk warga negara lain yang lebih
kompeten.
Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior merupakan peningkatan dari Theory of Reasoned
Action (TRA) yang digagas oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1975. Reasoned Action
Theory memiliki bukti-bukti ilmiah bahwa niat untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu diakibatkan oleh dua alasan, yaitu norma subjektif. Kemudian pada tahun 1988,
Ajzen menambahkan satu faktor yaitu control prilaku persepsian individu atau yang
disebut dengan perceived behavioral control. Keberadaan faktor tersebut mengubah
reasoned action theory menjadi planned behavior theory. Theory of Planned Behavior
adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku karena perilaku tersebut dapat
dipertimbangkan dan direncanakan (Iswahyudi, 2017).
Teori ini menjelaskan bahwa niat atau intension adalah representasi kongnitif
untuk melakukan tindakan tertentu dan dipandang sebagai antesenden terdekat pada
prilaku (Andreanto, 2013). Lebih lanjut dikatakan bahwa niat dapat memberikan tentang
suatu tindakan apa saja yang akan dilakukan oleh seseorang. Niat untuk melakukan
berbagai jenis perilaku dapat diprediksikan dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari
suatu sikap seseorang terhadap perilaku, norma subjektif, dan control perilaku. Theory
of Planned Behavior ini mencakup tiga hal penting yaitu behavioral beliefs, normative
belief, dan control beliefs (Ajzen, 1991; Williams, 2014).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu
mendeskripsikan aspek-aspek yang terkait dengan objek penelitian secara mendalam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena penelitian ini pada
prinsipnya menerangkan dan mendeskripsikan secara kritis, serta menggambarkan suatu
fenomena, suatu kejadian atau pristiwa yang tejadi dalam masyarakat. Jenis penelitian
kuantitatif yaitu mendeskripsikan setiap aspek yang berkaitan dengan objek penelitian
secara mendalam (Seligsohn, 2018). Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk
memahami fenomena yang terjadi dan dialami oleh subjek peneliti misalnya perilaku,

9
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata ataupun bahasa, pada suatu konteks khusus dan dengan
memanfaatkan bebagai metode alamiah (Bungin, 2003:41).
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
pendekatan Fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan bahwa setiap individu
mengalami suatu fenomena dengan segenap kesadaran dan bertujuan untuk menggali
kesadaran terdalam pada subjek mengenai pengalaman dalam suatu pristiwa
(Hasbiansyah, 2008). Pada dasarnya penelitian fenomenologi ingin menggali dua
dimensi saja yakni apa yang dialami subjek dan bagaimana subjek tesebut memaknai
pengalaman tersebut. Fenomenologi mengasumsikan sebuah pristiwa yang tidak hanya
berdiri sendiri. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo (2018)
menyatakan bahwa peneliti fenomenologi dituntut untuk mencari akar-akar masalah
secara mendalam dari setiap peristiwa yang diteliti dengan melihat secara seksama
semua tindakan, ucapan, tulisan, gambar, informasi, gerak isyarat subjek dan konteks
kejadian peristiwa.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh melalui media perantara atau pihak ketiga yang
berupa buku, catatan, bukti yang telah ada ataupun dokumentasi lainnya dari akses
internet dengan mengambil artikel dari beberapa situs, serta literature-literatur atau
bacaan yang berhubungan dengan penelitian. Menurut Hanke dan Reitsch (1998)
menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan oleh
lembaga pengumpul data lalu dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data
sekunder dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh dari hasil tulisan, ulasan, kritik
terkait dengan pengelolaan keuangan desa dan bagaimana aparatur dalam hal
menjalankan tanggung jawabnya.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi literatur (literature review). Studi literatur adalah suatu metode pengumpulan data
dan informasi degan melalui data-data pendukung yang bersumber dari jurnal
penelitian, baik dari jurnal nasional ataupun jurnal internasional, buku-buku penunjang,
surat kabar, artikel, ataupun majalah. Tujuan penggunaan literature pada penelitian
kualitatif yaitu untuk menempatkan hasil temuan dari peneliti-peneliti terdahulu
(Afiyanti, 2005). Sedangkan menurut Copper, yaitu menginformasikan kepada pembaca

10
hasil-hasil penelitian yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu,
menghubungkan penelitian literatur-literatur yang ada dan mengisi celah yang terdapat
dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Dimana peneliti mencari
informasi yang relavan dari berbagai sumber-sumber seperti jurnal-jurnal penelitian,
buku, artikel, data dari internet ataupun sumber referensi lainnya. Kemudian informasi
yang telah didapatkan diolah menjadi data penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seiring dengan adanya perubahan dinamika politik serta sistem politik yang ada di
Indonesia yang lebih demokratis memberikan pengaruh yang cukup besar kepada
masyarakat untuk menerapkan mekanisme politik yang demokratis sesuai dengan asas
kepentingan orang banyak. Oleh sebab itu, pemerintahan yang bersih merupakan suatu
syarat kemajuan disuatu bangsa atau negara (Yani dkk., 2018). Sedangkan menurut
Galera dkk. (2018) menyatakan bahwa pemerintahan yang bersih merupakan
pemerintahan yang mampu menjalankan tanggungjawabnya tanpa melakukan hal
kecurangan, sedangkan pemerintahan korup merupakan penyebab dari kemiskinan,
sumber diskriminasi, rentan konflik dan bahkan peyalahgunaan kekuasaan. Salah satu
aspek penyelenggaraan pemerintah yaitu dalam pemerintahan desa yang harus diawasi
yaitu masalah pengelolaan keuangan desa (Desai dan Anders, 2006).
Pengelolaan keuangan desa adalah keseluruhan kegiatan dari perencanaan sampai
dengan pertanggungjawaban harus dilakukan sesuai prosedur. Pengelolaan keuangan
desa harus sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku (Triani dan Handayani,
2017). Sedangkan menurut Umar dkk. (2018) menyatakan bahwa pengelolaan keuangan
desa yang baik adalah yang sesuai dengan peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah
yaitu pengelolaan dana desa yang transparansi dan akuntabilitas. Sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa keuangan desa dikelola berdasarkan asas transparansi, akuntabel,
partisipatif. Dalam pengelolaan dana desa harus dilakukan transparansi dan
akuntabilitas karena dengan berlakunya prinsip tersebut maka akan mengurangi
terjadinya penyelewengan anggaran (Triani dan Handayani, 2017).
Untuk mencapai transparansi ataupun akuntabilitas harus didukung oleh
manajemen keuangan dan pelaporan yang baik untuk menghasilkan informasi yang

11
relavan dan mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) (Lubis
dkk., 2016). Umami dan Nurodin (2017) dan Imawan dkk. (2019) menyatakan bahwa
untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat ditunjukkan dalam
bentuk upaya pemerintah desa melakukan sosialisasi pengelolaan keuangan desa pada
masyarakat desa setiap adanya pencairan dana desa, hal ini dilakukan agar masyarakat
juga mengetahui bahwa potensi sumber daya dan keuangan telah digunakan sesuai
dengan peruntukannya. Oleh karena itu, akuntabilitas ataupun transparansi sangatlah
penting dalam pengelolaan keuangan desa.
Menurut Giuberti dkk. (2015) sistem pengelolaan keuangan desa dimulai dari 1
Januari sampai 31 Desember karena mengikuti sistem anggaran nasional maupun
daerah. Kepala desa sebagai kepala pemerintah desa yang sekaligus merupakan
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa serta mewakili pemerintah desa dalam
kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Itulah sebabnya kepala desa harus
memiliki kompetensi dalam mengelola keuangan desa agar dapat meningkatkan desa
dengan melakukan pengelolaan keuangan desa dengan baik.
Oleh sebab itu, Kepala Desa mempunyai wewenang meliputi:
1. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan APBDesa.
2. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan barang desa.
3. Memilih bendahara desa.
4. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa.
5. Dan juga menetapkan petugas yang akan melakukan pengelolaan barang milik
desa.
Kepala desa dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yaitu:
Sekretaris Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis. Pemerintah desa wajib
menyelenggarakan pengelolaan keuangan desa dengan tertib dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Umar dkk. (2018)
menyatakan bahwa Kepala Desa menjalankan kepemimpinannya secara oligarki,
terlihat dari pemilihan hingga pengangkatan perangkat desa yang lebih didasari
kekerabatan semata bukan menggunakan mekanisme right man right place yang sesuai
dengan kapasitas personelnya. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yasa dkk. (2017). Hal inilah yang banyak terjadi di pemerintahan desa
yang ada di Indonesia, padahal dalam kegiatan pengelolaan keuangan desa haruslah

12
dikelola dengan baik dan tentunya harus didukung diantaranya sumber daya manusia
(SDM) yang kompeten dan berkualitas dan disertai degan sistem ataupun prosedur
keuangan yang memadai.
Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan keuangan desa.
Maka dari itu, dengan adanya pemilihan dan pengangkatan perangkat desa yang hanya
didasarkan karena kedekatan dengan kepala desa maka hanya akan menjadi peluang
bagi kepala desa agar dapat melakukan kompromi-kompromi besar yang dilakukan
dengan perangkat desa terkait pengelolaan keangan desa yang akhirnya hanya akan
menguntungkan bahkan memuaskan para penguasa. Hal inilah sekarang banyak terjadi,
dimana kepala desa hanya menjadikan dana desa sebagai modal politik yang secara
langsung akan merugikan masyarakat desa dan bahkan hanya akan memberikan
keuntungan bagi kepala desa ataupun aparat yang juga terlibat dalam hal
penyelewengan (Mingo dkk., 2017). Fakta tersebut menjelaskan adanya suatu praktik
brokery yang dilakukan di dalam sistem perangkat desa, yaitu kepala desa sebagai
eksekutif dan staf perangkat desa sebagai birokrat. Dengan adanya praktek brokery
merupakan bagian dari resolusi kepentingan individu maupun kelompok perumusan
kebijakan anggaran yang bahkan mengabaikan dan menyampingkan kepentingan
masyarakat sebagai tujuan akhir dari proses penganggaran desa (Yani dkk., 2018).
Berdasarkan dari fakta diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan
kebijakan anggaran terjadi proses politik yang hanya memenuhi kepentingan individu
maupun kelompok perumus kebijakan anggaran. Tidak dapat dihindari, dalam
penggunaan dana publik atau dana desa akan ditentukan oleh kepentingan politik.
Sehingga, dalam hal penentuan besaran bahkan alokasi dana untuk rakyat senantiasa
akan ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Politik anggaran adalah
proses dalam pengalokasian anggaran berdasarkan dengan kemauan dan proses politik
yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok (Giuberti dkk., 2015).
Adanya fakta telah terjadinya politik anggaran dana desa dapat dilihat dari
pelanggaran yang banyak dilakukan oleh kepala desa di Indonesia dalam hal
mekanisme pengangkatan dan pemberentian aparatur perangkat desa, dimana tujuan
dari aksi itu semata-mata mengumpulan individu-individu yang bergabung dalam
kelompoknya agar memberikan kemudahan untuk dilakukan pengaturan terkait
kebulatan suara atas tindakan bersama tekait penyusunan anggaran desa tersebut.

13
Dengan melalui kewenangan penuh yang dimiliki Kepala Desa maka kemungkinan
akan memandang bahwa jabatan yang diperolehnya sebagai sumber kekuasaan yang
akan dijadikan untuk mengontrol pejabat-pejabat yang berada di bawahnya yang
tentunya hanya didasarkan kepentingan pribadi atau golongan, dimana hanya akan
memperkaya golongan atau pribadi tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama, penganggaran merupakam suatu aktivitas
politik sehingga hal tersebut dapat juga diartikan bahwa proses maupun roduknya yaitu
produk politik, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan tejadinya manipulasi,
dominasi, pemnagkasan dan bahkan pengambilan keputusan secara tertutup dan
praktek buruk lainnya juga bisa saja terjadi di dalamnya (Meutia dan Liliana., 2017).
Hal itu banyak terjadi di berbagai desa di Indonesia, salah satunya yaitu di desa
Timpuseng yang merupakan desa asal peneliti. Selain itu juga terjadi di Desa Bukit
Pamewa dalam penelitian Yani dkk. (2018). Terkait dengan terjadinya politik anggaran
dana desa di Desa Bukit Pamewa dalam penelitian Yani dkk. (2018) terjadi karena:
1. Kurang adanya teladan dari pemimpin, hal tersebut dapat terlihat dari mudahnya
kepala desa melakukan manipulasi absensi dalam proses musyawarah yang
dilakukan terkait penganggaran dana desa. dimana seharusnya masyarakat desa
juga turut diundang dalam musyawarah tersebut, namun nyatanya tidak demikian.
Sehingga dampaknya dapat memberikan peluang bagi pemimpin atau aparat
dalam melakukan manipulasi, hal ini juga terjadi di Desa Timpuseng yang
merupakan asal peneliti dan bahkan mungkin juga banyak terjadi di Desa lainnya
yang ada di Indonesia.
2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar, hal ini terlihat dari ketidakjelasan
tupoksi yang dijalankan masing-masing pejabat yang memegang jabatan. Tidak
hanya itu, yang menjadi permasalahn juga adalah beberapa jabatan yang diduduki
hanya diisi oleh SDM dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama
(SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
3. Sistem akuntabilitas dan transparansi di instansi pemerintahan desa kurang
memadai, hal ini terbukti bahwa masih banyaknya masyarakat yang ada di
Indonesia yang tidak mengetahui arah dikemanakan dana desa seharusya dikelola
salah satunya masyarakat yang ada di Desa Timpuseng. Yang mana seharusya
masyarakat desa seharusnya juga mengetahui dikemanakan dana desa di

14
alokasikan karena masyarakat juga mempunyai hak. Ini terjadi karena dalam
pengelolaan dana desa tidak adanya transparansi oleh aparatur desa.
Berdasarkan semua uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi politik
di dalam pengelolaan keuangan desa, dimana kebanyakan kepala desa serta aparatur
desa hanya menggunakan dana desa sebagai modal politik untuk kepentingan pribadi
dan kelompok. Hal ini juga terbukti banyaknya kasus-kasus manipulasi atau korupsi
yang banyak terjadi di luar sana yang dilakukan oleh kepala desa bahkan juga
melibatkan aparatur desa. Yang mana seharusnya dana desa untuk membiayai
pembangunan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa tapi malah banyak
digunakan untuk kepentingan pribadi.
Maka yang perlu disadari sekarang bagi kepala desa dan aparatur desa yaitu
melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya, karena kepala desa merupakan
pemimpin di suatu desa yang mana seharusnya memberikan yang terbaik untuk
rakyatnya. Selain itu perlu juga disadari oleh kepala desa bahwa jabatannya merupakan
amanah dari masyarakat desa, yang mana amanah tersebut harus dijaga dan
dilaksanakan dengan baik dan bukan hanya akan dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat namun juga akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Oleh karena itu dana desa tidak seharusnya menjadi ladang politik dimana hanya
dipergunakan sebagai modal politik, namun pengelolaan dana desa harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan keuangan
desa masih banyak Desa di Indonesia yang tidak menerapkan prinsip akuntabilitas
maupun transparansi yang mana pengelolaannya seharusnya sesuai dengan peraturan
pemerintah yang telah diatur sebelumnya. Hal ini dibuktikan masih banyaknya kasus-
kasus korupsi atau penyalahgunaan dana desa yang tidak lain dilakukan oleh kepala
desa bahkan juga melibatkan aparatur lainnya. Penyalahgunaan juga terlihat dalam
penentuan besaran maupun alokasi dana untuk kepentingan rakyat senantiasa juga ada
kepentingan Kepala Desa yang diakomodasi oleh Perangkat Desa, selain itu dibuktikan
kembali dengan pemilihan serta pengangkatan perangkat desa kebanyakan karena
kedekatan dengan kepala desa, bukan karena kompetensi yang dimiliki sehingga kurang
berkompetensi dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola keuangan desa.

15
Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan keuangan desa.
Maka dari itu, dengan adanya pemilihan dan pengangkatan perangkat desa yang hanya
didasarkan karena kedekatan dengan kepala desa maka hanya akan menjadi peluang
bagi kepala desa agar dapat melakukan kompromi-kompromi besar yang dilakukan
dengan perangkat desa terkait pengelolaan keangan desa yang akhirnya hanya akan
menguntungkan bahkan memuaskan para penguasa. Hal inilah sekarang banyak terjadi,
dimana kepala desa hanya menjadikan dana desa sebagai modal politik yang secara
langsung akan merugikan masyarakat desa dan bahkan hanya akan memberikan
keuntungan bagi kepala desa ataupun aparat yang juga terlibat dalam hal
penyelewengan.
Maka yang perlu disadari oleh kepala desa ataupun perangkat desa yaitu bahwa
jabatannya merupakan amanah dari masyarakat desa, yang mana amanah tersebut harus
dijaga dan dilaksanakan dengan baik dan bukan hanya akan dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat namun juga akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Oleh karena itu dana desa tidak seharusnya menjadi ladang politik dimana
hanya dipergunakan sebagai modal politik, namun pengelolaan dana desa harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya agar desa dapat maju.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and
Human Decision Processes, 50: 179-211.
Alfasadun., Pancawati Hardiningsih., Sri Devi Ratnasari, dan Ceacilia Srimindarti.
2018. Transparansidan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa. Prosiding SENDI.
Hal: 684-691.
Anggriani, Nani., Idang Nurodin, dan Deni Iskandar. 2019. Penerapan Prinsip
Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa. Jurnal Ekonomi Insentif. 13(2): 134-145.
Azlina, Nur., Amir Hasan., Desmiyawati, dan Iskandar Muda. 2017. The Effectiveness
of Village Fund Management (Case Study at Villages in Coastal Areas in Riau).
International Journal of Economic Research. 14(12): 325-336.
Bempah, Ridwan. 2013. Analisis Alokasi Dana Desa dalam meningkatkan Pendapatan
Penduduk Miskin di Kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso. E-jurnal
Katalogis. 1(2): 55-66.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Bostashvilia, David dan Gergely Ujhelyi. 2019. Political budget cycles and the civil
service: Evidence from highway spending in US states. Intenational Journal of
Public Economics. Hal.17-28.
Cimpoeru, Maria Violeta dan Valentin Cimpoeru. 2015. Budgetary Transparency – an
Improving Factor for Corruption Control and Economic Performance.
International Journal of Economics and Finance. Hal.579-586.
Giuberti, Ana Carolina. 2015. Budget Institutions and Fiscal Performance of The
Brazilian Federal Government. Intenational Journal of Economia. Vol.16, Hal:
176-193.
Hanifah, Suci Indah dan Sugeng Praptoyo. 2015. Akuntabilitas dan Transparansi
Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Jurnal
Ilmu dan Riset Akuntansi. 4(8): 1-15.
Hendaris, R. Budi dan Rahmat Siraz. 2020. Analysis Of Factors Influencing The
Accountability Of Village Funds Management. DIJEMSS.1(3): 400-411.

17
Hessami, Zohal. 2014. Political Corruption, Public Procurement, and Budget
Composition: Theory and Evidence From OECD Countries. European Journal
of Political Economy. Vol.34, Hal: 372-389.
Indriansari, neny Tri. 2017. Peran Perangkat Desa dalam Akuntanbilitas Pengelolaan
Keuangan Desa (Studi Pada Desa Karangsari Kecamatan Sukodono). Jurnal
Ilmiah dan Akuntansi Keuangan Publik. 1(2): 29-46.
Jamaluddin, Yanhar., Asep Sumaryani., Budiman Rusli, dan Rd. Ahmad Buchari. 2018.
Analisis Dampak Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa terhadap
Pembangunan Daerah. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik. 6(1): 14-
24.
Karlinayani, Sri dan Endang Surasetyo Ningsih. 2018. Akuntabilitas Pemerintah Desa
dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Studi Pada Alokasi
Dana Desa di Kabupaten Gayo Lues). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi
Akuntansi. 3(2): 309-316.
Mingo, Anahi Casadesus De dan Agusti Cerrillo M. Improving records management to
promote transparency and prevent corruption. International Journal of
Information Management. Hal.256-261.
Rumkel, Lutfi., Belinda Sam., dan M. Chairul Basrun Umanailo. 2019. Village Head
Partnership, Village Consultative Body and Customary Institution in Village
Development. International Journal Of Scientific & Technology Research. 8(8):
1058-1063.
Simangungsong, F. dan S. Wicaksono. 2017. Evaluation of Village Fund Management
in Yapen Island Regency Papua Province (Case Study at Pasir Putih Village,
South Yapen District). Open Journal of Social Science, 5(1): 250-268.
Syamsi, Syahrul. 2014. Partisipasi Masyarakat dalam Mengontrol Penggunaan
Anggaran Dana Desa. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 3(1): 21-28.
Supriyono. 2001. Akuntansi Manajemen 3: Proses Pengendalian Manajemen. Edisi 1.
Yogyakarta: STIE YKPN.
Tambuwun, Fernando Victory., Harijanto Sabijono, dan Stanly W. Alexander. 2018.
Analisis Transparansi dan Akuntabilitas Otonomi Desa dalam Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Alokasi Dana Desa di Desa Kauneran Satu Kecamatan

18
Sonder Kabupaten Minahasa. Jurnal Riset Akuntansi Going Concern. 13(4): 76-
84.
Taufiq, Andi Laela Kadriati dan Jamaluddin Majid. 2020. Budaya Siri’: Rejuvenanting
Of The Creative Profession Menuju Peace Governance Framework. Accounting
Profession Journal. 2(1): 10-25.
Thomas. 2013. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan
Pembangunan di Desa Sebawang Kecamatan Sesayab Kabupaten tana Tidung.
eJournal Pemerintahan Integratif. 1(1): 51-64.
Umar, Haryono., Sidin Usman., dan Rahima Br. Purba. 2018. The Influence Of Internal
Control And Competence Of Human Resources On Village Fund Management
And The Implications On The Quality Of Village Financial Reports.
International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET). 9(7):
1525-1531.
Wardani, Dewi Kusuma dan Ratih Ranika Putri Utami. 2020. Pengaruh Transparansi
Pengelolaan Keuangan Dana Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Desa Sidoharjo. Jurnal Kajian Bisnis. 28(1): 35-50.
Wijaya, Yudhia Satria dan Samin. 2019. Penyusunan Realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa dan Buku Pengawasan Anggaran Desa di Desa Mandalawangi
Kabupaten Pandeglang. ABDAMAS. Hal: 83-88.
Yani, Ren., Wira Hospita., Asrinaldi., dan Aidinil Zetra. 2018. Degradasai Integritas
Publik Politisi Dalam Penggunaan Anggaran Dana Desa Bukit Pamewa
Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. JISPO. 8(2): 1-15.
Yasa, I Gede Mustika., I Putu Gede Diatmika, dan Made Aristia Prayudi. 2017.
Pengaruh Partisipasi Anggaran, Penekanan Anggaran, Kejelasan Sasaran
Anggaran, dan Self Esteem Terhadap Senjangan Anggaran Desa di Kecamatan
Kubutambahan. E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan
Akuntansi Program S1. 8(2): 1-12.
Yusuf, Salma., M. Chairul Basrun Umanailo., Rizkiyah Nur Putri., Dewi Qhuril
Mayasari Ely., dan Darma. 2019. Village Institution Relations in the Utilization
of Village Funds in Namlea District. International Journal Of Scientific &
Technology Research. 8(8): 1872-1876.

19

Anda mungkin juga menyukai