Anda di halaman 1dari 18

NAMA : YULINAR MUSTAFA

KELAS : B

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa,
dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk
menghasilkan kecakapan  atau pengetahuan ,sebuah perilaku, pengetahuan, atau
teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut untuk
menjadi yang lebih baik ke depan. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju
pengembangan diri individuagar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya.
Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang
manusia dengan lingkungan tersebut.

Berpijak dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan


dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
sedikit.Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld
dalam Pannen dkk, 2001:3). Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak
mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran.
Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai
landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya
partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa
belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan
pengetahuannya sendiri.

Akibatnya, oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran. Orentasi


pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat
pada siswa.Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi.
Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau
siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya.
Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat
informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber
informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan,
alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di
kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan
memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan
pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).

Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak
mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para
siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja
sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997:
53).

B.Rumusan Masalah
1. Apapengertian Teori Konstruktivisme?
2. Apa karakterisrikTeori Konstruktivisme?
3. Apa prinsip-prinsip dari Teori Konstruktivisme?
4. Teori belajar apa saja yang mendukung pendekatan konstruktivisme?
5. Apa saja ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme?
6. Bagaimana menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran?
 

1. Tujuan
Makalah ini tentunya bertujuan menyuguhkan informasi-informasi keilmuan yang
kemudian dapat dijadikan sebagai dasar referensi menyangkut:

1. Menjelaskan pengertian Teori Konstruktivisme?


2. MenjelaskankarakterisrikTeori Konstruktivisme?
3. Menjelaskan prinsip-prinsip dari Teori Konstruktivisme?
4. Menjelaskan Teori belajar yang mendukung pendekatan konstruktivisme?
5. Menjelaskan ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme?
6. Menjelaskan menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa
Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3).
Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang
memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari
kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.Kontruksi berarti bersifat
membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,


yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam
kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi
pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah


ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri
pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui
proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Menurut Wheatley (1991: 12) berpendapat dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dari pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalamanbelajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Teori konstruktivisme juga merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran


kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.

Teori pembelajaran konstruktivisme ini sama halnya dengan model pembelajaran


experiental learning, yaitu suatu model dimana, proses belajar mengajar yang
mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan
melalui pengalamannya secara langsung. Experiental Learning adalah : proses
dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Hasil
Pengetahuan dari kombinasi menggenggam dan mentransformasikan pengalaman
(Kolb, 1984).

Teori Konstruktivistik memandang bahwa belajar adalah mengonstruksi makna


atas informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Belajar yang
bersifat konstruktif ini sering digunakan untuk menggambarkan jenis belajar yang
terjadi selama penemuan ilmiah dan pemecahan masalah kreatif di dalam
kehidupan sehari-hari. Pada teori ini juga memandang peserta didik sebagai
individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan prinsip-
prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila sudah dianggap
tidak dapat digunakan lagi. Hal ini memberikan implikasi bahwa peserta didik
harus terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar


menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi
hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan
hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh
melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan
memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama
tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa
itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
1. Karakteristik konstruktivisme
Menurut Konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi
arti, wacana, dialog, pengalaman fisik, dll. Belajar juga merupakan proses
mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa sehingga pengetahuannya
berkembang. Karakteristik konstruktivisme:

1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa
yang dilihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi
oleh pengertian yang telah dimiliki.
2. Konstruksi arti merupakan proses yang terus menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu
mengadakan rekonstruksi.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu proses
pengembangan pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru.
Belajar bukanlah suatu hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu
sendiri, yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi
ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk
memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan
lingkungannya.
6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa,
yaitu konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi
dengan bahan yang dipelajari.
1. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.


2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
kontruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah
pertanyaan.
7. Mencari dan menilai pendapat siswa.
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu
nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

1. Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme


Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu;
teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata
(Suparno, 1997:49).

1. Teori perkembangan mental Peaget


Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa


pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru
yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan


konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut:

1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki


tujuan
2. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas
5. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang


dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang
(Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa
inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah


menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar
yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator,
fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[12]
 
2. Teori Perubahan Konsep
Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan
adanya proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar.
Pada mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian
spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan
konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian yang logis dan
sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan pemahaman itu
berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan yang besar dari
pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang
radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses
perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi
(Suparno, 1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep
yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan
akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan
fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam akomodasi oleh kaum
konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal.

Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti
bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep.
Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses
berkembang yang terus menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami
perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang
hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.
Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan
lingkungannya.

Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik


membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik
dibantu untuk mengarahkan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan mereka
yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong
pendidik untuk menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan
konsep yang kuat pada peserta didik sehingga pemahaman mereka lebih sesuai
dengan pengertian ilmuan.

2.     Teori Skema
Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang
digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau memecahkan
persoalan (galam Suparno, 1997:55) . Menurut teori skema, pengetahuan itu
disimpan dalam suatu paket informasi atau skema yang terdiri atas suatu set atribut
yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal
objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan yang lain memberikan
makna dan arti kepada gagasan kita.  Belajar menurut teori skema adalah
mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket
informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema
adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal,
menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi
atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka
pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.
( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana
pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan
hubungan antara skema-skema itu.

Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas


skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini
mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi.
Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan,
tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.

3.     Teori Belajar Bermakna Ausubel


David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna
(meaningful learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba
menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi
melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan
mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si
pelajar (Suparno, 1997: 54).
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah
keduanya menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau
pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya
keaktifan siswa dalam belajar.

4.     Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner, “pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina
ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur,
2000:10) menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa
adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut
mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah
suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa
dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi
pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu
orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan
tidak hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.

1. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme


Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu:

1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.


2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa.
3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin
dicapai.
4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan
pada hasil.
5. Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan.
6. Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
9. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif.
10.Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses
pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis.
11.Menekankan bagaimana siswa belajar.
12.Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi
dengan siswa lain dan guru.
13.Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
14.Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.
15.Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar.
16.Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
17.Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan
dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut
beberapa literatur yaitu sebagai berikut.

1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang


telah ada sebelumnya.
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman.
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna
melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam
berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri
pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:

 menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang


telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan,
 menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan
dengan berbagai cara,
 mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu
konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari,
 mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan
orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, dan siswa-siswa,
 memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
 Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik
dan siswa mau belajar (2004:37).
1. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun pengetahuan
di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar
yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat
memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman
yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat
tangga tersebut. Oleh karena itu agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan
pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan solusi yang baik untuk
dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional
(behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.

Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan


konstruktivistik menurut Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai
berikut.
Pembelajaran
No Pembelajaran Tradisional Konstruktivistik

Kurikulum disajikan mulai


dari keseluruhan menuju
kebagian-bagian dan lebih
Kurikulum disajikan dari mendekatkan kepada
bagian-bagian menuju konsep-konsep yang lebih
keseluruhan dengan luas
menekankan pada  
1 keterampilan dasar
Pembelajaran sangat taat
pada kurikulum yang telah Pembelajaran lebih
ditetapkan menghargai pada
  pemunculan pertanyaan dan
2 ide-ide siswa

Kegiatan kurikuler lebih


banyak mengandalkan pada
sumber-sumber data primer
Kegiatan kurikuler lebih dan manipulasi bahan
banyak mengandalkan pada  
3 buku teks dan buku kerja
Siswa dipandang sebagai
“kertas kosong” yang dapat
digoresi informasi oleh
guru, dan guru
menggunakan cara didaktik
dalam menyampaikan Siswa dipandang sebagai
informasi kepada siswa pemikir-pemikir yang dapat
  memunculkan teori-teori
4 tentang dirinya

5 Penilian hasil belajar atau Pengukuran proses dan


pengetahuan siswa hasil belajar siswa terjalin
dipandang sebagai bagian di dalam kesatuan kegiatan
dari pembelajaran dan pembelajaran, dengan cara
guru mengamati hal-hal
yang sedang dilakukan
siswa, serta melalui tugas-
biasanya dilakukan pada tugas pekerjaan
akhir pelajaran dengan cara  
testing

Siswa-siswa biasanya
bekerja sendiri-sendiri,
tanpa ada group proses
dalam belajar Siswa-siswa banyak belajar
  dan bekerja di dalam group
6 proses
Memandang pengetahuan
Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat
adalah objektif, pasti, tetap, temporer, selalu berubah,
dan tidak berubah. dan tidak menentu
Pengetahuan telah  
7 terstruktur dengan rapi

Belajar adalah penyusunan


pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah menata
lingkungan agar siswa
Belajar adalah perolehan termotivasi dalam menggali
pengetahuan, sedangkan makna
mengajar adalah  
8 memindahkan pengetahuan
Kegagalan dalam
menambah pengetahuan
dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu
dihukum Kegagalan merupakan
  interpretasi yang berbeda
9 yang perlu dihargai

10 Evaluasi menuntut satu Evaluasi menggali


munculnya berfikir
divergent, pemecahan
jawaban benar. Jawaban ganda, dan bukan hanya
benar menunjukkan bahwa satu jawaban benar
siswa telah menyelesaikan  
tugas belajar

Evaluasi dipandang sebagai Evaluasi merupakan bagian


bagian terpisah dari utuh dari pembelajaran
kegiatan pembelajaran, dengan cara memberikan
biasanya dilakukan setelah tugas-tugas yang bermakna
selesai kegiatan belajar serta menerapkan apa yang
dengan menekankan pada dipelajari yang menekankan
11 evaluasi individu pada keterampilan proses
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :

 Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan


pendapatnya dengan bahasa sendiri.
 Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
 Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
 Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa.
 Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
Langkah-Langkah Pembelajaran Kontruktivisme
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam
merancang program, implementasi program dan   evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi
pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan
peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa
yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk
menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah,
mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk
modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi.
Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini
terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman
belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program
pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar
yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan
hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan
analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas
maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang
resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi
pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme
dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri
aktif secara mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur
kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator
pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus terhadap
suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka. Menurut Werrington (dalam
Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas konstruktivis seorang guru
tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka
sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban,
guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar.
Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang
dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat
masuk akal siswa.

Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang


berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara
satu dengan lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan
setiap masalah. Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis
diantaranya bahwa observasi dan mendengar aktivitas dan pembicaraan
matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk
kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat
dievaluasi.

Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin


diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi
kelas menggunakan apa yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’.
Dalam konstruktivis proses pembelajaran senantiasa ”problem centered approach”
dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna
matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivis.

Daftar Pustaka
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan
Cendikia.
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya
Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi EraGlobaliasasi.
PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan.

Kolb, D. (1984). Experiential Learning. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.

Wheatley, G.H.(1991).”Constructivist perspectives on science and mathematics


learning”. Journal Science Education, 75,(1),9-21.
 

Anda mungkin juga menyukai