Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN EFEKTIFITAS BEBERAPA MODEL TUMPUKAN PADA

PENGOMPOSAN KOTORAN SAPI DAN JERAMI


I Wayan Krispedana1) ,Yohanes Setiyo2),
I. A. Gede Bintang Madrini. STP.,M.gr.Ph.D.2)
1)
Mahasiswa Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unud
2)
Dosen Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unud
Email : dedikbm@gmail.com

ABSTRACT

The rest of the rice harvest in the form of straw waste which can be produced in one harvest reaching 25
tons / ha can be used as raw material for making compost. The purpose of this study was to determine the effect of
the pile composting model of different cow dung and straw, and to find out the stack model so that the composting
process of cow manure and straw produced the best compost. This study uses 3 treatments, namely: P1 (treatment
using the open windrow stack model), P2 (treatment using a static pile stack model), P3 (treatment using the China
stack model). The material weight for each treatment was 35 kg using a weight ratio of straw and cow dung 2: 1 the
parameters observed were temperature, moisture content, Ph, nitrogen, carbon and C / N ratio. The composting
process from the P3 treatment using the China model stack treatment requires 48 hours, P2 treatment day using a
static pile stack takes 51, days and P1 using an open windrow stack takes 45 days, the quality of compost produced
from raw straw and cow manure in all three treatments is in accordance with SNI standard No. 19-70302004 is used
as a quality reference for compost.

Key words: rice straw, cow dung, composting, compost quality.

PENDAHULUAN

Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan tanah. Penggunaan kompos
sebagai pupuk organik pada dosis 10 – 25 ton/ha pada budidaya hortikultura khususnya kentang mampu
memperbaiki sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah (Setiyo et al., 2016). Perubahan
sifat fisik tanah terjadi pada : struktur tanahnya, kerapatan massa,dan porositas pada tanah. Perubahan
sifat kimia tanah terutama ditunjukkan pada perubahan kandungan unsur hara tanah, KTK, dan pH tanah.
Perubahan sifat biologi tanah terjadi pada populasi biota tanahnya.
Pemberian pupuk organik akan memberikan dampak yang positif bagi kesuburan tanah dan
tanaman. Hal ini dikarenakan Mikroba-mikroba yang ada pada kompos memiliki kemampuan mengurai
bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih tersedia bagi tanaman. Pada
penelitian Hibah Strasnas 2013 dan 2014, mikroba yang ada pada kompos memiliki kemampuan
meningkatkan ketersediaan unsure hara sampai pada tingkatan tinggi hingga sangat tinggi (Setiyo et al.,
2014).
Salah satu pupuk organik yang sangat berpotensi dan mudah ditemui di Indonesia umumnya di
Bali adalah kompos dari kotoran sapi. Kotoran sapi dapat digunakan sebagai bahan baku kompos
menurut analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB

1
menyatakan kandungan hara makro dan mikro kotoran sapi yaitu dengan presentase sebagai berikut : N
0,74%; P 2,40%; K 7,69%; Ca 1,45%; Mg 0,36%; C/N 35,74%.
Oleh karena itu Pemda Bali memberikan hibah kelompok tani berupa ternak sapi sebanyak 20
ekor kepada setiap kelompok tani yang tergabung pada kelompok SIMANTRI. Saat ini pemerdayaan
petani di provinsi Bali dilakukan melalui program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi). Program
Simantri memadukan antara pertanian, peternakan, dan perikanan.
Ternak sapi mampu menghasilkan feses, dan urine yang dapat diproses dijadikan pupuk organik.
Dengan demikian ketergantungan petani pada pupuk kimia yang dapat merusak unsur hara tanah dalam
jangka waktu yang panjang dapat di kurangi. hal ini mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. SIMANTRI yang memiliki sapi dewasa 20 ekor akan menghasilkan kotoran
500 – 600 kg/hari dan berpotensi menghasilkan kompos 250 - 300 kg. Seekor sapi mampu menghasilkan
kotoran padat 23,6 kg/hari dan cair sebanyak 9,1 kg/hari (Setiawan, 2002) dan Undang (2002).
Permasalahan bagi petani pada umumnya pupuk organik berbahan baku kotoran sapi belum
berkualitas dan belum tersedia secara memadai. Hal ini disebabkan karena produser belum mengikuti
standar proses pengolahan bahan organik tersebut menjadi kompos. Kelompok SIMANTRI rata-rata
melakukan proses pengomposan dengan cara membiarkan kotoran menumpuk di sekitar kandang, tinggi
tumpukan tidak lebih dari 50 cm.
Proses pengomposan yang baik harus mengikuti ketentuan-ketentuan seprti: (1) pH bahan baku
awal pengomposan antara 6.8 hingga 7.4, (2) kadar air bahan baku antara 50-60 % d.b (3) kerapatan
massa bahan baku harus mampu menyediakan rongga untuk terjadinya sirkulasi udara (180 – 300 kg/m 3
(4) tinggi tumpukan harus mampu meminimalkan terjadinya kehilangan panas sehingga proses
berlangsung dari suhu lingkungan sampai dengan masa termofilik (minimal 1,5 m) (Setiyo et al., 2007).
Upaya perbaikan proses pengomposan kotoran sapi di SIMANTRI No 356 sudah dilakukan
melalui penelitian Sebastiao (2016), dan Eva (2016), biomassa kotoran sapi ditambah dengan jerami,
sekam padi, rumput gajah dan serbuk gergajian kayu. Model pengomposan yang dipilih adalah model
open windrow. Perbaikan tinggi tumpukan mampu menghasilkan suhu proses mencapai lebih dari 40 oC
dengan lama proses untuk menjadi kompos yang memenuhi standar SNI kurang lebih 60 hari.
Namun model pengomposan open windrow ini masih ada kendala terutama luas lahan yang harus
dipergunakan untuk proses. Untuk setiap satu ton biomassa kotoran sapi kira-kira memerlukan lahan
seluas 3 m2 (Sebastiao, 2016, Eva 2016). Untuk itu perlu diteliti model penumpukan lainnya yang mampu
mempertahankan kualitas proses pengomposan, namun terjadi efisiensi penggunaan lahan. Model
pengomposan static file yang dikembangkan di Canada (Martin, 1998) dan model China (McGarry dan
Stainford, 1978) dan sudah diuji coba oleh Reza (2003) untuk pengomposan limbah industri kertas.

2
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Belancan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, pada bulan
Juni 2017 – Juli 2017. Selanjutnya penelitian analisis kompos dan bahan baku dilakukan di Laboratorium
Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli – Agustus
2017.

Alat dan Bahan


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami dan kotoran sapi sedangkan bahan
untuk iji kualitas kompos berupa larutan kimia yang digunakan untuk uji kadar C-organik dan N-organik.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sekop, ember, garu, sarung tangan, karung, tali
raffia, dan terpal plastik. Sedangkan peralatan tambahan yang digunakan untuk uji kualitas kompos yaitu
pH meter, termometer, timbangan digital, oven, dan peralatan analisis laboratorium.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Menggunakan perbandingan
beda bentuk tumpukan kompos : Open windrow, Statik file, Model Cina dengan volume kotoran sapi
dan jerami 1:2 sebagai dengan 5 kali pengulangan berikut:

P1 1:2

P2 1:2

P3 1:2

Keterangan: P1 = Open Windrow kotoran sapi : jerami, P2 = Statik File kotoran sapi : jerami, P3 = Model
Cina kotoran sapi : jerami.
Proses Pengomposan
Proses pengumpulan bahan baku kompos dimulai dengan mengumpulkan jerami padi, jerami padi
tersebut dikeringkan sampai ukuran kadar airnya seragam selanjutnya dilakukan pemotongan jerami
dengan ukuran kurang lebih 10 cm bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengomposan yang dilakukan. Bahan baku lainya yang harus dikumpulkan adalah kotoran sapi lokal.
Setelah semua bahan baku kompos siap, selanjutnya jerami padi dicampur dengan kotoran sapi sesuai

3
perlakuan yang telah ditentukan. Setelah bahan kompos dicampur selanjutnya ditumpuk sesuai dengan
perlakuan. Setelah selesai dilakukan penumpukan selanjutnya bahan kompos ditutup dengan terpal
plastik. Pembalikan kompos dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan tujuan untuk menghilangkan bau
kompos agar tetap stabil sehingga tidak mengganggu aktivitas mikroorganisme pengurai.
Variabel yang Diamati
Suhu dan pH selama proses pengomposan diamati setiap 3 hari sekalipada pukul 09.00 WITA,
menggunakan alat thermometer dan pH meter. Waktu pengomposan dihitung dari awal pengomposan
sampai menjadi kompos dengan indikator suhu mendekati suhu awal proses pengomposan, yaitu
mendekati suhu lingkungan, mempunyai warna coklat kehitaman menyerupai warna tanah dan tekstur
kompos remah/gembur dan mudah hancur.

Uji kualitas kompos dan uji statistik


Setelah proses pengomposan berakhir, dilakukan uji kualitas kompos meliputi uji drajat
keasaman (pH) kompos dengan pH metre, uji kadar air kompos (%) dengan metode gravimetric,uji kadar
C-organik (%) dengan metode walkley dan black, uji N-total (%) dengan metode kjeldhal, dan
menghitung rasio C/N kompoa

4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Baku Kompos
Bahan baku pada penelitian berupa : jerami dan kotoran sapi dengan perbandingan berat 1 : 2,
bahan-bahan ini memiliki kriteria seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan awal bahan baku dan bahan tambahan


Perlakuan C N C/N Ph Kerapatan Suhu Kadar
0
massa (ρ), ( C) air (%)
3
kg/m
Jerami 41.30 1.02 40.49 6.98 142,86 24 25.08
Kotoran sapi 18 0.7 25.71 6.5 571,43 27 32.26
Jerami dan kotoran - --- 32.04 6.5 250 28 29.2
sapi

Tabel 1 adalah hasil pengamatan terhadap parameter : kandungan nitrogen dan, pH, ρ, suhu, dan
kadar air dari kotoran sapi yang dicampur jerami padi sebelum dikomposkan. Bahan baku yang
dikomposkan tersebut memiliki nilai-nilai C/N , pH, dan ρ masing-masing adalah 30.24, 6,5 dan 250
kg/m3. Nilai paremeter-parameter tersebut sesuai dengan kriteria model pengomposan yang
dikembangkan oleh Setiyo et al., (2007) agar proses pengomposan tersebut dapat berlangsung maksimum
60 hari.
Selain itu, jika kerapatan massa campuran bahan baku 250 kg/m 3 maka bahan akan memiliki nilai
porositas total bahan sekitar 60 % - 80 %, sehingga rongga udara mampu menyediakan oksigen untuk
proses pengomposan selama ±7 hari. Pada pH 6,5– 6,98 mikroba pengurai biomassa tersebut akan mampu
mengawali proses pengomposan (Setyawan A. B, 2002). Mikroba tersebut akan mengurai senyawa-
senyawa yang ada pada biomassa untuk dipergunakan menyusun selnya.
Proses Pengomposan
Suhu
Selama proses pengomposan, suhu diamati setiap tiga hari sekali dengan menggunakan
alat termometer digital. Hasil pengamatan suhu selama proses pengomposan disajikan dalam
bentuk grafik seperti pada gambar 1.

5
50.00

45.00

Suhu biomassa, derajat Celsius


40.00

35.00
Open Windrow (P1)
Static Pile (P2)
30.00 Model Cina (P3)

25.00

20.00
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Waktu Proses Pengomposan, hari

Gambar 1. Suhu selama proses pengomposan

Pada awal proses pengomposan tumpukan bahan baku kompos mengalami proses aklimasi, yaitu
proses penyesuaian suhu bahan kompos, dimana aktivitas mikroorganisme yang berfungsi merombak
bahan baku kompos melakukan adaptasi dengan kondisi mesofilik (Madrini, 2016). Suhu tumpukan
bahan kompos pada seluruh perlakuan mulai mengalami peningkatan pada hari ke-2 hal ini menunjukkan
jika proses penguraian bahan oleh mikroorganisme mulai aktif pada fase mesofilik. Menurut Djuarnani
(2005), peningkatan suhu yang terjadi pada awal proses pengomposan disebabkan oleh panas yang
dihasilkan dari proses perombakan bahan organik oleh mikroorganisme pengurai. Selanjutnya, suhu pada
masing-masing perlakuan mengalami peningkatan dengan kecepatan yang berbeda-beda, sehingga
rentang waktu setiap perlakuan mencapai titik suhu maksimal juga berbeda.
Setelah memasuki hari ke-9 proses pengomposan memsuki fase thermofilik yang ditandai dengan
peningkatan suhu kompos yang signifikan yang mencapai 40,20-40,80 oC. Pada fase thermofilik ini
berlangsung suhu kompos terus mengalami peningkatan dan mencapai titik suhu maksimal. Peningkatan
suhu kompos sampai hari ke-12, berdasarkan perubahan suhu terlihat bahwa perlakuan dengan sebaran
suhu tertinggi adalah perlakuan P3 dengan suhu tertinggi mencapai 48,2 oC. sedangkan perlakuan dengan
sebaran suhu terendah adalah perlakuan P2 dengan suhu tertinggi sebesar 46,8 oC.
Perlakuan P1,P2 dan P3 mencapai titik suhu maksimal saat kompos berusia 12 hari pada kisaran
suhu 48,0oC, 46,8oC dan 48,2oC Setelah suhu mencapai puncak maksimal, selanjutnya memasuki fase
pematangan kompos, suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang diakibatkan oleh aktivitas
mikroorganisme mulai berkurang sehingga energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu mengalami
penurunan. Menurut Harada (1993),saat kompos organik tersebut menjadi kompos ditandai dengan

6
menurunnya suhu mendekati lingkungan hingga stabil. Selain penurunan suhu setelah mengalami fase
mesofilik dan termofilik, kematangan kompos juga terlihat dari perubahan tekstur remah serta warna
bahan kompos menjadi coklat kehitaman. Pada gambar 1 terlihat perlakuan P3 mengalami penurunan
suhu yang paling cepat mendekati suhu lingkungan yaitu 25,2 oC pada hari ke-45 diikuti oleh dua
perlakuan lainnya. Perlakuan P1 dan P2 mengalami penurunan suhu mendekati suhu lingkungan berturut-
turut pada hari 48 dan 57. Cepat atau lambatnya proses pengomposan juga dipengaruhi faktor suhu dan
aktivitas mikroorganisme pengurai yang ada dalam proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pada
suhu rendah (10-45oC) yang terjadi pada tahap awal pengomposan (fase mesofilik) berfungsi dalam
memperkecil partikel bahan organik sehingga akan memperluas permukaan bahan dan mempercepat
proses penguraian. Selanjutnya pada fase thermofilik mikroorganisme (45-65 oC) pengurai mengambil
karbohidrat dan protein untuk metabolisme mereka sehingga akan mempercepat proses pengomposan
(Djuarnani et al, 2008).

Derajat Keasaman (pH)


Selama proses pengomposan, pH diamati setiap tiga hari dengan menggunakan alat pHmeter
digital. Hasil pengamatan pH selama proses pengomposan disajikan dalam bentuk grafik seperti pada
gambar 2.

8.5

7.5
pH

open windrow
7 ( P1)
Static Pile (P2)
6.5
Model China (P3)
6
0 3 6 9 12151821242730333639424548515457
Waktu Pengomposan

Gambar 1. pH selama proses pengomposan

Perubahan pH sangat dipengaruhi dari hasil dekomposisi biomassa kotoran sapi. Sesuai dengan
penelitian Setiyo, et al (2007), derajat keasaman pada proses dekomposisi pada kondisi netral sampai
agak basa berkisaran antara pH 7.2 – 8, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh material bahan yang

7
dikomposkan. Pengomposan awal, nilai pH berkisar 6,4-6,6, hal tersebut menunjukkan kondisi bahan
organik yang dikomposkan dalam keadaan asam, akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang
menyebabkan terbentuknya asam-asam organik. Kondisi asam tersebut akan mendorong pertumbuhan
jamur dan mendekomposisi lignin serta selulosa pada bahan kompos. Selanjutnya nilai pH kompos terus
mengalami peningkatan akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang mendekomposisikan nitrogen
dalam bahan kompos menjadi amonia, sehingga menyebabkan kondisi basa. Pada akhir proses
pengomposan, nilai pH mengalami penurunan mendekati kondisi netral (pH 6,9-7,2). Penurunan nilai pH
pada akhir proses pengomposan menandakan dekomposisi nitrogen sudah berkurang.
Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman (pH) selama proses pengomposan tidak dipengaruhi oleh
kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan organik kompos hasil sintesis protein oleh
mikroorganisme pengurai. Menurut Isroi (2008), hal ini dikarenakan pada awal pengomposan pH kompos
akan menjadi asam yang disebabkan oleh terjadi pelepasan asam, sedangkan produksi ammonia dari
senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH. Derajat keasaman (pH) bahan
organik selama proses pengomposan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan komposisi
kimia organik. Selama proses pembuatan kompos berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi
netral dan kompos menjadi matang biasanya mencapai pH antara 6 – 8 (Indriani, 2007).

Waktu Pengomposan
Kualitas kompos yang dihasilkan selama proses pengomposan selain ditentukan oleh bahan baku yang
digunakan, juga dipengaruhi oleh lama waktu proses pengomposan berlangsung Indriani (2011).

Tabel 2. Analisis Lama Waktu pada Proses Pengomposan


Perlakuan Waktu pengomposan (hari)
P1 48.20 b
P2 56.80 c
P3 45.40 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)
Berdasarkan data pada tabel 3, dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan memiliki lama waktu
pengomposan yang berbeda-beda. Lama waktu pengomposan yang berbeda-beda dipengaruhi oleh bentuk
tumpukan di setiap perlakuan.

8
Kualitas Hasil Proses Pengomposan
Standar SNI Kompos
Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat berpengaruh terhadap
kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas
baik, maka diperlukan adanya standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-
2004 tentang spesifikasi kompos. Kandungan kompos yang menjadi acuan meliputi pH, kadar air, C-
organik, N-total, dan rasio C/N kompos.

Tabel 3. Standar Kompos SNI


No Parameter Satuan Minimum Maksimum
o
1 Kadar Air % C 50
2 pH - 6,80 7,49
3 C-organik % 9,80 32
4 N-total % 0,10
5 Rasio C/N 10 20

Derajat Keasaman (pH)


Setelah proses pengomposan berlangsung, didapatkan hasil akhir kompos dengan pH seperti pada
table 4
Tabel 4. Analisis pH Kompos
Perlakuan pH Standar pH SNI
P1 7,56a
P2 7,56a 6,80 – 7,49
P3 7,56a
rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0,05)

Hasil uji statistik pH kompos menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata, seperti pada Tabel 8.
Menurut Indriani (2011), pada proses pengomposan mikroorganisme akan aktif pada kondisi pH netral
sampai sedikit asam yaitu pada pH 5,5 – 8. Pada tahap awal pengomposan akan terbentuk asam-asam
organik. Kondisi asam ini memicu pertumbuhan jamur dan akan menguraikan senyawa lignin dan
selulosa pada bahan organik. Selama proses dekomposisi bahan ini berlangsung, asam-asam organik
tersebut akan menjadi netral dan pH kompos setelah proses pematangan biasanya berkisar 6 – 8.

Kadar Air Kompos


Hasil dari uji laboratorium mengenai kadar air kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui
beda nyata dari semua perlakuan disajikan pada Tabel 5.

9
Tabel 5. Analisis kadar air Kompos
Kadar Air Standar Kadar Air SNI
Perlakuan
Rata-rata (%) (%)
P1 42,53a
P2 45,53a ˂50
P3 32,01a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)
Hasil uji statistik data pengukuran kadar air akhir kompos menunjukkan hasil bahwa, dari seluruh
perlakuan memiliki nilai yang tidak berbeda nyata antara perlakuan P1, perlakuan P2, perlakuan P3, . Hal
ini menunjukkan jika kadar air akhir kompos dari ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Kadar air yang terkandung dalam kompos hasil penelitian memenuhi dari standar SNI kadar air
kompos. Menurut Murbandono (2000), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara 40-
60%. Jika kadar air melebihi 60%, maka laju dekomposisi bahan organik menjadi melambat, sedangkan
apabila kadar air dibawah 40% akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses
pengomposan terhenti.

C-Organik Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai C-organik kompos kemudian diuji Duncan untuk
mengetahui beda nyata dari kelima perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis C-Organik Kompos


C-0rganik Standar C-0rganik
Perlakuan
Rata-rata (%) SNI (%)

10,93a
P1
P2 12,23a 9,8-32
P3 13,35a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)
Tabel 6 menunjukkan hasil dari uji Duncan untuk kandungan C-organik pada setiap perlakuan.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kedua perlakuan tidak berbeda nyata pada P > 0.05. Dilihat dari
kandungan C-organik yang dihasilkan dari kelima perlakuan, sudah memenuhi standar SNI kompos.Hasil
uji statistik menunjukkan perlakuan P1, P2, dan P3, memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Kadar C-
organik yang tidak berbeda pada perlakuan P1, P2, dan P3, dipengaruhi komposisi bahan baku berupa

10
jerami dan kotoran sapi yang sama. Selama proses pengomposan, senyawa organik akan berkurang dan
terjadi pelepasan karbon dioksida karena adanya aktivitas mikroorganisme sehingga mempengaruhi kadar
C-organik kompos yang dihasilkan Harizena (2012). ). Menurut Graves et al (2000), selama proses
pengomposan akan terjadi perubahan rasio C/N yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai
yang menggunakan unsur karbon (C) sebagai sumber energi untuk mengurai bahan organik sehin gga
kandungan karbon semakin lama akan semakin berkurang.

N-Total Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai N-organik kompos kemudian diuji Duncan untuk
mengetahui beda nyata dari kedua perlakuan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis N-Total Kompos
N-total Standar N-total
Perlakuan
Rata-rata (%) SNI (%)
P1 83 a
P2 96 b >0,40
P3 77 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki nilai yang berbeda
nyata seperti yang disajikan pada Tabel 7. Dapat disimpulkan jika menggunakan perlakuan tumpukan
yang bereda pada perlakuan P1,P2 dan P3 akan berpengaruh siginfikan terhadap kadar N- total kompos.
Rasio C/N Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai rasio C/N kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui
beda nyata dari kedua perlakuan disajikan pada Tabel 8

CNrasio

Subset for alpha = 0.05


Perlaku
an N A B

Duncana 2 5 12.8832

1 5 13.4898

3 5 17.5866

Sig. .717 1.000


Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)

11
Hasil yang didapat ketiga perlakuan memenuhi standar SNI kompos dengan rasio C/N 13,48-
12,88-17,58 sedangkan standar rasio C/N SNI 10-20%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki nilai yang berbeda nyata seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Dapat disimpulkan jika menggunakan perlakuan tumpukan yang bereda pada perlakuan P1,P2 dan
P3 akan berpengaruh siginfikan terhadap kadar N- total kompos.

Kadar Bahan Organik


Setelah semua perlakuan mengalami proses pengomposan, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar
bahan organik kompos dan didapatkan hasil seperti disajikan pada Gambar 9. Kadar bahan organik yang
diukur merupakan perkiraan besarnya jumlah materi organik yang terkandung dalam kompos.
Pengukuran kadar bahan organik dilakukan dengan prosedur pembakaran dimana materi organik
dikonversi menjadi karbondioksida dan air. Kehilangan berat melalui proses pembakaran
diinterpretasikan sebagai materi organik yang terkandung dalam kompos (Sawyer, 2003).
Tabel 9. Nilai rata-rata kadar bahan organik kompos
Kadar Bahan Kadar Bahan
Kadar Bahan
Organik Organik Standar
Perlakuan Organik
Minimum Rata-rata SNI
Maksimum (%)
(%) (%)
P1 56,02 60,10 57,66 a
P2 55,35 58,13 56,49 a
27-58
P3 53,61 57,26 55,93 a

Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
(p>0,05)

Hasil uji statistik menggunakan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) didapat hasil bahwa ketiga
perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata seperti disajikan pada Tabel 9. Dapat disimpulkan
bahwa perlakuan beda jenis tumpukan kompos tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kadar bahan organik kompos. Hal tersebut disebabkan karena komposisi bahan baku yang digunakan
sama untuk semua perlakuan, sehingga kadar bahan organik kompos yang dihasilkan cenderung seragam
antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya.

12
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah di bahas, dapat disimpulakan sebagai berikut.
1. Menggunakan model tumpukan yang berbeda berpengaruh terhadap proses
pengomposan jerami dan kotoran sapi dengan kondisi bahan baku yang sama. Proses
pengomposan dengan menggunakan model tumpukan open windrow, static pile dan
model cina berpengaruh terhadap suhu dan kualitas kompos yang dihasilkan.
2. Dari ketiga pengomposan perlakuan P3( model cina) memerlukan waktu
pengomposan paling cepat yaitu 45 hari. Selanjutnya di susul perlakuan P1(open
windrow) dan P2( static pile) yang memerlukan waktu 48 dan 56 hari.

13
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
adalah jika membuat kompos jerami dicapur dengan kotoran sapi dengan perlakuan yang sama,
sebaiknya menggunakan model tumpukan open windrow dengan kondisi faktor lain yang harus
tetap optimal untuk proses pengomposan antara lain bahan baku, suhu, pH, rasio C/N, dan
Mikroorganisme. Supaya waktu pengomposan lebih cepat dengan kualitas kompos sesuai standar
SNI.

DAFTAR PUSTAKA
Djuarnani, N., et al. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Djuarnani, N. Kristiani dan B. S. Setiawan. 2008. Cara Cepat Membuat Kompos. Penerbit PT.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri. Cetakan Pertama
Bandung : Penerbit Yarma Widya
Graves,R.E., Hattemer, G.M., Stetter, D., Krider, J.N. dan Dana, C.(2000). National Engineering
Handbook. United States Departement of Agriculture.
Hanzen RC, Keener HM, and Coihnk HAJ. 1989. Polutry manure composting : An explarotory
Indriani, Novita Hety. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

14
Isroi, 2008. Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia,
Bogor.http://id.wikipedia.org/wiki/kompos Diakses tanggal 15 April 2017
Kusuma, M. A. (2012). Pengaruh Variasi Kadar Air terhadap Laju Dekomposisi Kompos
Sampah Organik di Kota Depok (Doctoral dissertation, Tesis Fak. Teknik Program Studi
Teknik Lingkungan Universitas Indonesia).
Setiawan A, 2003. Pemanfaatan isi rumen (kambing dan domba) sebagai inokulan dalam proses
pengomposan sampah pasar ( organik ) dengan kotoran sapi perah. Skripsi. Bogor:
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Martin AM. 1998. Bioconversion of waste materials to industrial products. Blackie Academic
and Professional. London.
Murbandono, L., 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Perla M. 1997. Community composting in developing countries. J Biocycle 38(6): 48-54.
Reza AN. 2003. Pengomposan limbah sludge industri kertas dengan metode Cina dan
pemanfaatannya sebagai komponen media tanam kacang panjang. Skripsi. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Setiyo.Y, W. Arnata, NL Yulianti, dan G. Arda., 2012.IBM Simantri Kelompok Tani Sari Bumi.
Setiyo, Y., Hadi K.P., Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S., 2007. Pengembangan Model Simulasi
Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol 30 (1)
Bogor.
Setiyo Y., K.B. Susrusa, I D.G.M. Permana and I G.A.L. Triani., 2015. Development of the
LEISA system for the cultivation of consumed potatoes (Solanum tuberosum L.) Granola
variety to improve land quality and productivity.Proceedings of SENASTEK, 2015.
Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 2(1):77-84.
Sutanto R. 2002. Penerapan pertanian organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

15
16

Anda mungkin juga menyukai