Anda di halaman 1dari 27

WAKIL MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Oleh: Laurensius Arliman S*

ABSTRACT
Minister duties in leading department assisted by the Deputy Minister under
article 10 of Law of the Ministry of State. Furthermore, Article 70 paragraph (1)
of Presidential Regulation No. 76 Year 2011 on changes to the Presidential
Regulation No. 47 Year 2009 on the Establishment and Organization of State
Ministry stated that the deputy minister is under and is responsible to the minister.
The position of vice minister in the legislation was a career officer and not a
member of the cabinet, based on the elucidation of Article 10 of Law of the
Ministry of State. This scientific work is a normative legal research. Legal theory
used is the theory of power and government organizations. Based on the research
results it can be concluded that the position of deputy minister should be clarified,
whether career positions or political positions, and the terms of appointment of
deputy ministers by the president must be reinforced provisions in the legislation,
so that the realization of legal certainty.

Key Word: Deputy Minister; Government; Republic of Indonesia.

ABSTRAK
Tugas Menteri didalam pemimpin departemen, dibantu oleh Wakil Menteri
berdasarkan pasal 10 Undang-undang Kementerian Negara. Selanjutnya Pasal 70
ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 Tentang perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara menyatakan bahwa wakil menteri berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada menteri. Kedudukan jabatan wakil menteri di dalam
undang-undang adalah sebagai pejabat karir dan bukan anggota kabinet,
berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Kementerian Negara. Karya
ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif. Teori hukum yang digunakan
adalah teori kekuasaan dan organisasi pemerintahan. Berdasarkan hasil penelitan
dapat disimpulkan kedudukan wakil menteri itu harus diperjelas, apakah jabatan
karir atau jabatan politis, dan syarat-syarat pengangkatan wakil menteri oleh
presiden harus dipertegas ketentuannya didalam dalam undang-undang, sehingga
terwujudnya kepastian hukum.

Kata Kunci: Wakil Menteri; Pemerintahan; Republik Indonesia.

PENDAHULUAN
Di dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Presiden
memiliki kekuasaan pemerintahan untuk melaksanakan kegiatan kekuasaan
pemerintahan, hal ini diatur dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

*
Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang, Strata Satu dan Strata Dua
ditamatkan di Universitas Andalas.

1

yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada BAB III mengenai
Kekuasaan Pemerintahan Negara. Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) secara tegas dinyatakan bahwa
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tersebut jelas menegaskan bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar. Kemudian pada Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam menjalankan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Berdasarkan hal
tersebut, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, jelas dinyatakan bahwa
Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Selain itu Presiden juga dibantu
oleh Menteri-Menteri Negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-Menteri Negara tersebut membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan
yang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementeriannya yang diatur
dalam undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UUD 1945. Pasal
17 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: ayat (1) Presiden dibantu oleh menteri-
menteri negara, (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, (4)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.
Pasal 17 ini menegaskan bahwa kekuasaan Presiden tidak tak terbatas
karenanya dikehendaki setiap pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara haruslah berdasarkan undang-undang. Dengan adanya
ketentuan bahwa setiap pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian
negara harus berdasarkan undang-undang yang mengaturnya ini, sama sekali tidak
mengurangi apalagi menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian
negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Sebaliknya, ketentuan mengenai harus berdasarkan undang-undang yang
mengaturnya tersebut, justru dimaksudkan untuk memudahkan Presiden dalam
menyusun Kementerian Negara.
Selain itu juga dimaksudkan agar otoritas yang diberikan oleh konstitusi
kepada Presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan dalam

2

hal bertindak tegas.1 Kemudian dalam hal pelaksanaan kewenangan Presiden
untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri, tidak boleh bersifat mutlak,
tanpa kontrol parlemen. Para menteri adalah pemimpin pemerintahan dalam
bidangnya masing-masing. Merekalah yang sesungguhnya merupakan
pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itu, para menteri hendaklah bekerja sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk itu,
dalam mengangkat Menteri, meskipun tidak mengikat, Presiden harus sungguh-
sungguh memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, susunan
kabinet dan jumlah menteri yang akan diangkat, karena berkaitan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ditetapkan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakian Rakyat. Dengan demikian, Presiden tidak dapat
mengangkat dan memberhentikan para Menteri dengan seenaknya.2
Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk beluk hal-hal
yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, menteri
mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara
yang mengenai departemennya.3 Sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 17 UUD 1945, maka dibuatlah pengaturannya dalam
bentuk undang-undang. Saat ini ketentuan mengenai Kementerian, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU
Kementerian Negara). Di dalam undang-undang tersebut dapat dilihat secara jelas
dan tegas ketentuan yang mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan
organisasi Kementerian Negara.
Pengaturan mengenai Kementerian Negara tidak didekati melalui
pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi, undang-undang
tersebut melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang harus
dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara.
Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang


1
H.F. Abraham Amos, 2005, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari ORLA, ORBA,
Sampai Reformasi), Telaah Sosiologis Yuridis dan Yuridis Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata
Negara Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hal. 204.
2
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, hal. 63.
3
Ni’matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, hal. 112.

3

nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, urusan
pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, dan urusan
pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah.4
Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu urusan
dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian bisa
melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh
Presiden. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang persyaratan
pengangkatan dan pemberhentian menteri. Pengaturan persyaratan pengangkatan
Menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih
seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat
memiliki integritas dan kepribadian yang baik.5
Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dibantu
oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Kemudian terdapat pula ketentuan mengenai pengangkatan Wakil
Menteri yang diatur dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara yang menyebutkan,
bahwa “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Penjelasan Pasal ini mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan wakil menteri
adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet”. Selanjutnya Pasal 70
ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 Tentang perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Dan Organisasi
Kementerian Negara (Perpres Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara)
mengatakan bahwa “Wakil Menteri berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada menteri”. Beberapa aturan tersebut merupakan aturan yang terkait dengan
jabatan wakil menteri.
Didalam ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak terdapat
ketentuan yang mengatur siapa yang mengangkat wakil Menteri, apakah Menteri
atau Presiden, selain itu posisi wakil Menteri kurang jelas apakah yang dimaksud
dengan pejabat karir itu dari internal departemennya atau semua pegawai negeri

4
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara.
5
Ibid.

4

disebut dengan pejabat karir. Undang-undang tersebut juga tidak menyebutkan
tentang tugas dan tanggung jawab dari wakil Menteri.
Dalam sejarah kabinet Presidensial di Indonesia hanya dalam kabinet RI
pertama yang dibentuk tanggal 5 september 1945 yang memiliki wakil menteri.
Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara, dan 2 wakil menteri.
Wakil menteri yang ada pada waktu itu hanyalah wakil menteri dalam negeri dan
wakil menteri penerangan. Kedudukan dua wakil menteri itu jelas karena
namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta. Di era pemerintahan presidensial
setelah dekrit Presiden (1959-1966) dari presiden Soekarno hingga kabinet
pertama yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono Kabinet Indinesia
Bersatu jilid satu (KIB I), jabatan wakil menteri tidak ada walau pada waktu itu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat satu orang wakil yakni menteri
luar negeri namun jelas kedudukannya.6 Sementara itu dalam Kabinet Indonesia
Bersatu jilid dua (KIB II) kedudukan wakil menteri tidak jelas.
Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara mengatakan bahwa Wakil
Menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Dari sini terdapat
kerancuan mengenai kedudukan Wakil Menteri tersebut, kerancuan itu makin
bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Perpres Pembentukan Dan Organisasi
Kementerian Negara yang mengatakan bahwa Wakil Menteri berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
Disatu pihak Wakil Menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
tetapi dilain pihak Wakil Menteri itu berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Menteri. Sementara Wakil Menteri itu bukan diusulkan oleh menteri yang
bersangkutan, tetapi murni inisiatif Presiden, seorang menteri tidak dapat
memberhentikan wakil menteri karena wakil menteri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden. Pasal 70A Perpres Pembentukan Dan Organisasi Kementerian
Negara menambahkan lagi bahwa “Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil
Menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon I.a”. Meskipun


6
Lihat dalam http://www.digital.seputar-indonesia.com. diakses pada tanggal 20 Agustus
2015.

5

mendapatkan hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.a, wakil menteri itu
bukanlah pejabat eselon I.a.
Pasal 10 UU Kementerian Negara memuat norma yang menyatakan
“Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus,
Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan
Pasal 10 ini menyatakan yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat
karir dan bukan merupakan anggota kabinet.
Penjelasan Pasal 10 bukan lagi sekedar tafsir resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan atas norma yang ada didalam batang tubuh, sebagaimana
yang dikemukakan dalam lampiran II angka 176 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yang menyatakan bahwa
“Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan
hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing
dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidak jelasan dari norma yang dimaksud”.
Namun fakta yang terjadi adalah bahwa penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara telah membentuk norma tersendiri sehingga tidak sesuai
dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 10
tersebut telah memuat norma tersendiri apalagi dikaitkan dengan lampiran II
angka 177 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan
bahwa “Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi
norma”. Ketentuan tersebut telah menyebutkan secara jelas, namun Peraturan
Presiden Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, justru menjadikan
penjelasan Pasal 10 sebagai sandaran bagi pengaturan jabatan wakil menteri.
Kedudukan jabatan wakil menteri di dalam undang-undang kementerian
negara adalah sebagai pejabat karir dan bukan anggota kabinet, tetapi hal tersebut
hanya berdasarkan kepada penjelasan terhadap Pasal 10 UU Kementerian Negara.
Penjelasan pasal tersebut merupakan norma baru yang tidak dimuat dalam batang

6

tubuh undang-undang kementerian negara dan penjelasan tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran untuk mengatur jabatan wakil menteri yang disebut
kedudukannya sebagai pejabat karir dan bukan anggota kabinet tersebut.
Wakil menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi, sementara Pasal 70
ayat (2) Perpres Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menyebutkan
bahwa “Wakil Menteri merupakan pejabat karir dan bukan merupakan anggota
Kabinet.” Pejabat karir adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan
POLRI, yang menduduki jabatan karir secara berjenjang, jabatan itu diraih
seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan.
Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, tidak sembarangan. Tidak
mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Sebelum Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76
Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa “wakil menteri itu
haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon I.a,” namun ketentuan ini
dihapuskan tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain.
Dalam kasus pengangkatan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri
Hukum dan HAM pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhyono, maka dengan
adanya perubahan yang dilakukan oleh Presiden terhadap Perpres Pembentukan
Dan Organisasi Kementerian Negara meloloskan Denny Indrayana sebagai wakil
Menteri Hukum dan HAM. Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara
menyatakan bahwa jabatan wakil Menteri harus berasal dari pejabat karir.
Ketentuan itu selanjutnya dirinci dalam Pasal 70 ayat (3) Perpres Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara yang menyebutkan pejabat karir adalah
pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon I.a. Namun
kemudian ketentuan Pasal 70 ayat (3) tersebut dihapus dengan adanya perubahan
oleh Presiden terhadap Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara menjadi Peraturan Presiden
Nomor 76 Tahun 2011.
Sebagaimana diketahui, pangkat dan golongan Denny Indrayana tidak
memadai untuk menduduki jabatan wakil Menteri Karena golongan Denny
Indrayana baru IIIC sementara menurut undang-undang, wakil Menteri itu eselon
I.a. Pasal 70 ayat (2) Perpres Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

7

menyatakan bahwa Wakil Menteri merupakan pejabat karir dan bukan merupakan
anggota kabinet, tetapi Denny Indrayana tidak memiliki jenjang karir
kepegawaian untuk kemudian diangkat menjadi seorang wakil Menteri.
Pada saat masih berlakunya ketentuan mengenai persyaratan pengangkatan
wakil menteri yaitu Pasal 70 ayat (3) Perpres Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara yang menyebutkan pejabat karir adalah pegawai negeri yang
telah menduduki jabatan struktural eselon I.a, sebelumnya telah menggagalkan
pengangkatan Anggito Abimayu sebagai wakil menteri keuangan dan fahmi Idris
sebagai wakil menteri kesehatan karena keduanya belum memenuhi kepangkatan
eselon I.a, sehingga terbentur aturan tersebut.
Namun berbeda halnya dengan Denny Indrayana yang bisa lolos sebagai
wakil Menteri hukum dan HAM, dikarenakan ketentuan yang mengharuskan
bahwa persyaratan untuk menjadi wakil Menteri adalah telah menduduki jabatan
struktural eselon I.a dirubah oleh presiden meskipun jabatan Denny belum
mencapai jenjang eselon I.a.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disebutkan
sebelumnya, maka penulis perlu membatasi lingkup permasalahan yang akan
dibahas agar tidak menyimpang dari sasarannya. Adapun permasalahannya adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Kedudukan Wakil Menteri Dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara?
2. Apakah Persyaratan Dalam Melakukan Pengangkatan Wakil Menteri
Oleh Presiden?

METODE PENELITIAN
Penelitian karya ilmiah ini, berjenis penelitian hukum normatif (yuridis
normatif)7 Pada penelitian yuridis normatif penelitian ini difokuskan untuk
mengkaji dan meneliti materi hukum, yaitu meneliti kedudukan wakil menteri
dalam sistem pemerintahan indonesia menurut undang-undang nomor 39 tahun
2008 tentang kementerian negara. Penelitian ini akan melihat nilai ilmiah suatu

7
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 2, Jakarta, Sinar Grafika,
hal. 30.

8

pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue dengan cara
pendekatan-pendekatan (approach) yang digunakan, antara lain:
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan perundang-
undangan merupakan suatu hal yang mutlak dalam penelitian yuridis normatif,
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral suatu penelitian.8 Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani9.
2. Pendekatan Historis (Historical Approach). Pendekatan historis dilakukan
dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu.
Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan
hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu, melallui pendekatan demikian
penelitian ini juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi
yang melandasi aturan hukum tersebut.10 Penelitian normatif yang
menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti untuk
memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu pengaturan hukum
tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman
maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.11
3. Pendekatan Kasus (Case Approach). Berbeda dengan penelitian sosial12,
pendekatan kasus (case approach), dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum.13 Pendekatan kasus (case approach) tidak sama dengan
studi kasus (case study). Dalam pendekatan kasus beberapa kasus ditelaah
untuk dijadikan referensi bagi suatu isu hukum. Sedangkan studi kasus (case
study), adalah suatu studi terhadap kasus-kasus tertentu dilihat dari berbagai
aspek hukum.


9
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan
Kedua, Jawa Timur, Bayu Media Publishing, hal. 302.
10
Ibid, hal 126.
11
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, Bandung, hal 332.
12
Marnasse Malo dan Sri Trisnongtias menjelaskan bahwa Tujuan pokok dari Penelitian
Sosial (yang tentunya bersifat ilmiah), adalah menjelaskan gejala-gejala sosial yang ada dalam
suatu masyarakat. Marnasse Malo dan Sri Trisnongtias, 1997, Metode Penelitian Masyarakat,
Jakarta, Pusat Antara Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Unversitas Indonesia, hal. 19.
13
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal 321.

9

TEORI PENELITIAN
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelasakan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi, kemudian teori ini harus diuji dengan
menghadapkan pada fakta-fakta yang menunjukkan ketdidakbenaran, yang
kemudian untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis
(rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis14. Menurut Sudikno Mertokusumo,
teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis, tidak
sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan, secara kritis
ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode sintetis saja.
Dikatakan secara kritis karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori
hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena
memerlukan argumentasi atau penalaran.15 Sejalan dengan hal diatas, maka teori
yang akan digunakan dalam tulisan ilmiah ini adalah teori kekuasaan dan
organisasi pemerintahan.
Teori kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan
pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana
kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati
yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan
oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut
juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang
dimiliki negara untuk memaksakan. kehendak pada warga negaranya16. Oleh
karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari
mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan
negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya
kekuasaan negara tersebut17.


14
Otje Salman dan Anton F Susanto, 2010, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Jakarta, Rafika Aditama Press, hal 21.
15
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka,
hal. 87.
16
A. Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (suatu studi analisis mengenai keputusan Presiden yang
berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita IV), Jakarta, Disertasi Doktor Ilmu
Hukum, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, hal. 84.
17
Jika seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka artinya
bahwa orang yang berkuasa itu mampu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.
Menurut Logeman terdapat lima macam legitimatie daripada gezag, yaitu: (1) Charismatish gezag;

10

Teori kekuasaan negara ini merupakan turunan dari teori negara,
pemikiran ini terjadi karena kekuasaan lahir dari adanya sebuah negara yang
berdiri. Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan
melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing
menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang
individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan
seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi
yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap
anggotanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan18. Peyerahan
kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial itu
dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini
berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh19.
Teori selanjutnya yang mendukung adalah teori organisasi pemerintahan,
lebih jauh pemerintahan dalam arti luas meliputi seluruh kegiatan pemerintah,
baik menyangkut bidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif dan dalam arti
sempit meliputi kegiatan pemerintah yang hanya menyangkut bidang eksekutif20.
Membedakan secara tajam terhadap pemerintah dan pemerintahan. Pemerintah
adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan
upaya untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan adalah semua kegiatan
lembaga atau badan-badan publik tersebut dalam menjalankan fungsinya untuk
mencapai tujuan negara. Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa pemerintah pada hakekatnya adalah aspek statis, sedangkan pemerintahan
adalah aspek dinamikanya. Selanjutnya bahwa suatu pengertian tentang
pemerintahan, dapat dibedakan dalam pengertian luas dan dalam pengertian
sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah “segala kegiatan badan-badan publik.
Yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai


(2) Magisch gezag; (3) Dynastiek gefundeer gezag; (4) Gezag gelegitimeerd als
vertegenwoordiging; (5) Gezag ener elite. Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, 1991, Asas-
Asas Hukum Tata Negara, Cetakan 3, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 125-126.
18
Jean Jacques Rousseau, 1974, Annatated Editions The Social Contract or Principles of
Political Righ, Cetakan 9, United States of America, The New America Libraryz, hal. 61
19
Franz Magnis Suseno, 2013, Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-
Lenin, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal. 250-251.
20
Koswara, 2002, Teori Pemerintahan Daerah, Jakarta, Institut Ilmu Pemerintahan Press,
hal. 29.

11

tujuan negara”. Dalam arti sempit, adalah segala kegiatan badan-badan publik
yang meliputi kekuasaan eksekutif”21.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


A. Kedudukan Wakil Menteri Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Kementerian Negara
Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat.22 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “ Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Berdasarkan hal itu
dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah Kesatuan, sedangkan
bentuk pemerintahannya adalah Republik.
Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus
kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensial. Pemerintah merupakan alat
kelengkapan negara, suatu negara tidak dapat eksis tanpa adanya pemerintah,
karena pemerintah pada hakikatnya adalah kekuasaan yang terorganisir. Oleh
karena itu, pemerintah adalah suatu organisasi yang diberikan hak untuk
melaksanakan kekuasaan kedaulatan.23 Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
kedaulatan dalam hal ini adalah presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara sehingga tercapainya
tujuan dari sistem pemerintahan yang diterapkan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan negara presiden dibantu oleh
seorang wakil presiden, dan menteri-menteri negara yang diangkat dan


21
Ermaya Suradinata, 1996, Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Bandung,
Ramadhan. hal. 6-7.
22
Selengkapnya terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945Alinea ke IV.
23
C.F. Strong, 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan
Bentuk-bentuk Konstitusi dunia (terjemahan), Bandung, Nusa Media, hal. 10.

12

diberhentikan oleh presiden. Menteri adalah pemimpin pemerintahan yang
sesungguhnya dalam bidangnya masing-masing. Karena jabatan Presiden dan
Wakil Presiden sendiri sebagian fungsinya bersifat simbolik, fungsi
kepemimpinan dalam arti teknis memang seharusnya berada dipundak para
menteri. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa para menterilah yang sesungguhnya
merupakan pemimpin pemerintahan yang riil dan operasional dalam pengertian
sehari-hari. Bahkan dapat diidealkan bahwa perbedaan kualitas antara sifat-sifat
kepemimpinan Presiden dan para Menteri dalam proses pemerintahan adalah
bahwa Presiden dan Wakil Presiden adalah pemimpin pemerintahan dalam arti
politik. Sementara itu, para menteri merupakan pemimpin pemerintahan dalam
arti teknis.24
Kemudian dalam hal presiden mengangkat menteri-menteri negara adalah
merupakan hak prerogatif presiden yang diatur ketentuannya di dalam Pasal 17
UUD 1945. Pasal 17 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: ayat (1) Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan, (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian
negara diatur dalam undang-undang.
Pasal 17 UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dibantu menteri-menteri
negara yang dipilih dan diberhentikan oleh presiden. Ketentuan tersebut
mengisyaratkan bahwa menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu
tersebut berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Presiden
memiliki hak penuh untuk memilih menteri-menteri negara yang akan membantu
menjalankan tugas kekuasaan pemerintahan, karena itulah yang bertanggung
jawab kepada publik terhadap keberhasilan pelaksanaan pemerintahan yang
menjadi urusan menteri negara tertentu adalah presiden.
Pasal 17 UUD 1945 menghendaki setiap Pembentukan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Dengan adanya
ketentuan yang menghendaki setiap Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang tersebut, maka terdapatlah

24
Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, hal. 326.

13

keharusan bahwa proses pembentukan, pengubahan, dan/atau pembubaran
kementerian negara hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat dan tata cara
yang diatur berdasarkan undang-undang. Hal itu ditujukan untuk membangun
mekanisme sebagai upaya untuk membatasi jumlah kementerian, selain itu juga
dimaksudkan untuk membatasi Presiden dalam membentuk dan membubarkan
organisasi kementerian.
Berdasarkan ketentuan mengenai menteri-menteri negara tersebut harus
diatur dalam suatu rumusan undang-undang maka pada saat ini diatur
ketentuannya di dalam UU Kementerian Negara. Di dalam undang-undang
tersebut selain diaturnya ketentuan mengenai menteri-menteri negara yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, juga terdapat ketentuan
mengenai wakil menteri. Ketentuan mengenai wakil menteri tersebut diatur
dalam satu pasal yaitu pada Pasal 10 yang menyatakan bahwa “dalam hal terdapat
beban kerja yang membutuhkan penanganan secara kusus, presiden dapat
mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”.
Keberadaan Wakil Menteri hanyalah berdasarkan kepada Pasal 10 UU
Kementerian Negara. Jika merujuk kepada UUD 1945, maka di dalam UUD 1945
tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang Wakil Menteri. Pasal 17 UUD
1945 hanya menyebutkan Menteri sebagai pembantu Presiden, dan sama sekali
tidak menyebutkan tentang Wakil Menteri. Konstitusi hanya mendelegasikan
kepada undang-undang untuk mengatur hal yang berkaitan dengan pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementerian negara. Satu-satunya jabatan yang
mempunyai Wakil dalam UUD 1945 adalah jabatan Wakil Presiden. Sementara
jabatan Wakil Menteri tidak disebutkan dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 17 ayat 4, yang muncul pada Perubahan ketiga UUD
1945 (2001) yang menyatakan bahwa” Pembentukan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Artinya
keberadaan Pasal tersebut menghendaki bagaimana membangun mekanisme untuk
membatasi jumlah kementerian. Pasal tersebut juga dimaksudkan untuk
membatasi Presiden dalam membentuk dan membubarkan organisasi
kementerian. Dengan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat 4 UUD 1945
tersebut, maka dibuatlah ketentuannya dalam suatu rumusan undang-undang,yang

14

kemudian diatur di dalam UU Kementerian Negara. Dalam Pasal 15 UU
Kementerian Negara. jelas diatur, jumlah kabinet itu tidak bisa diubah, tetap 34
orang. Menurut penulis atas dasar Inilah Presiden membentuk jabatan baru bagi
keberadaan Wakil Menteri yang merupakan pejabat karir dan bukan anggota
kabinet sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UU Kementerian Negara.
Karena undang-undang telah membatasi bahwa jumlah kabinet paling banyak
hanya 34 dan tidak memungkinkan untuk menempatkan Wakil Menteri di dalam
kabinet.
Sementara itu dengan adanya ketentuan Pasal 10 di dalam UU
Kementerian Negara telah memberikan kewenangan secara bebas kepada Presien
untuk mengangkat Wakil Menteri. Walaupun demikian, terdapat kekacauan dalam
pengangkatan Wakil Menteri yaitu adanya kekacauan dalam mengangkat orang
untuk menduduki posisi Wakil Menteri karena adanya kesalahan filosofi dan
kurangnya nalar dalam memaknai Pasal 10 UU Kementerian Negara.
Merunut pada Pasal 10 UU Kementerian Negara, sudah sangat jelas
tergambar posisi Wakil Menteri dibutuhkan bagi Kementerian yang mempunyai
beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Artinya, ada beban
kerja yang perlu dibagi dengan Wakil Menteri. Untuk mengukurnya
menggunakan ukuran analisis pekerjaan, sehingga yang menduduki posisi Wakil
Menteri semestinya dari kalangan internal atau pejabat karir. Jabatan Wakil
Menteri bersifat manajerial dalam rangka mengelola dua fungsi jika ada
penggabungan dan untuk memaksimalkan pejabat eselon I secara teknis
manajerial kedalam. Posisi Wakil Menteri merupakan pejabat karir, tapi dilantik
oleh Presiden, namun ada PNS golongan III C bisa loncat setara dengan eselon Ia,
atau golongan IV E. Hal itu karena aturan yang ada sekarang disiasati atau bahkan
ditubruk dengan keluarnya Perpres Pembentukan Dan Organisasi Kementerian
Negara, ini tentu merusak sistem birorasi kalau hanya gara-gara surat Presiden,
aturan bisa berubah.
Pasal 10 diadakan untuk memberikan keringanan beban kerja secara
khusus dalam suatu kementerian, dengan kata lain, jabatan Wakil Menteri
sebenarnya hanya dibutuhkan bagi kementerian yang memiliki beban kerja
dengan penanganan khusus untuk membantu Menteri. Pengangkatan Wakil

15

Menteri disesuaikan dengan beban kerja yang dibutuhkan secara khusus
berdasarkan analisis jabatan, jadi seharusnya Wakil Menteri harus menggunakan
analisis jabatan.
Kedudukan wakil menteri diatur dalam penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara yang menyatakan bahwa wakil menteri adalah pejabat karir
dan bukan merupakan anggota kabinet. Menurut UU Kementerian Negara, bahwa
Wakil Menteri itu berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pasal
10 UU Kementerian Negara hanya memuat norma bahwa Presiden dapat
mengangkat wakil menteri, istilah wakil menteri membawa pengertian pejabat
tersebut memang mewakili menteri dalam menangani hal-hal khusus
dikementerian itu. Ketika menterinya berhalangan, maka wakil menteri itulah
yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR
dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah
anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas
inisiatif presiden sendiri dan bukan inisiatif atau sekurang-kurangnya atas usul
menteri yang bersangkutan.
Di dalam Pasal 1 angka 6 undang-undang pokok-pokok kepegawaian
disebutkan bahwa “jabatan karir adalah jabatan struktural dan fungsional yang
hanya diduduki Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat yang ditentukan”.
Sementara itu yang dimaksud dengan Jabatan fungsional adalah jabatan keahlian,
yang tidak atau tidak jelas disebut atau digambarkan dalam struktur organisasi,
tetapi jabatan itu harus ada karena fungsional, yang memungkinkan kelancaran
pelaksanaan tugas organisasi.25
Kedudukan jabatan wakil menteri menurut UU Kementerian Negara
adalah sebagai pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Jabatan wakil
menteri menurut UU kementerian negara hanya bersifat fungsional, karena tidak
terdapat di dalam susunan organisasi kementerian. Susunan dari organisasi
kementerian terdiri dari: a) pemimpin, yaitu Menteri; b) pembantu pemimpin,
yaitu sekretariat kementerian; c) pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan d)
pengawas, yaitu inspektorat kementerian.


25
C.S.T. Kansil, dan Cristine S.T. Kansil, 2008, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi
Aksara, Jakarta, hal. 224.

16

Namun apabila dikatakan jabatan fungsional jabatan Wakil Menteri sangat
beragam bidang tugasnya. Kemudian kalau ditinjau dari arti jabatan fungsional itu
sendiri berarti menunjukan adanya sifat tertentu dan harus ada penggolongannya.
Adapun jabatan wakil menteri di dalam UU Kementerian Negara hanya diatur
dalam satu Pasal sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, sementara
menyangkut tugas dan tanggung jawab wakil menteri tidak diatur dalam UU
Kementerian Negara. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan yang ada dalam
UU Kementerian Negara, maka presiden sebagai penyelenggara kekuasaan
pemerintahan membentuk peraturan presiden terkait pembentukan dan organisasi
kementerian negara. Hal ini tercermin dalam Perpres Pembentukan Dan
Organisasi Kementerian Negara.
Kedudukan wakil menteri dalam sistem pemerintahan Indonesia menurut
UU Kementerian Negara adalah merupakan pejabat karir dan bukan merupakan
anggota kabinet, hal ini dinyatakan dalam penjelasan Pasal 10 UU Kementerian
Negara. Sementara didalam Perpres Pembentukan Dan Organisasi Kementerian
Negara, pada Pasal 70 ayat (1) nya dinyatakan bahwa ”wakil menteri itu berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada menteri”. Seharusnya wakil menteri itu
diangkat oleh menteri bukan presiden agar jelas kedudukannya dan termasuk
dalam kabinet.
Pada kenyataannya wakil menteri diangkat oleh presiden. Disatu pihak
wakil menteri diangkat oleh presiden dilain pihak wakil menteri bertanggung
jawab kepada menteri sehingga tidak ada kejelasan mengenai kedudukan wakil
menteri ini apakah merupakan jabatan karir atau politis. Tidak jelasnya posisi
wakil menteri karena yang melantik bukan menteri, melainkan presiden. Selain
itu, tidak ada kejelasan mengenai kriteria yang membuat Menteri tertentu
mempunyai wakil, karena tidak semua Menteri diberikan pendamping wakil
Menteri.
Didalam ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak terdapat
ketentuan yang mengatur siapa yang mengangkat wakil Menteri, apakah Menteri
atau Presiden, selain itu posisi wakil Menteri kurang jelas apakah yang dimaksud
dengan pejabat karir itu dari internal departemennya atau semua pegawai negeri

17

disebut dengan pejabat karir. Undang-undang tersebut juga tidak menyebutkan
tentang tugas dan tanggung jawab dari wakil Menteri.
Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera didalam Pasal-
Pasal undang-undang tersebut, fungsi penjelasan undang-undang tidak lebih dari
sekedar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur didalam
Pasal sehingga dimengerti maksudnya. Penjelasan undang-undang tidak boleh
memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur dalam Pasal-Pasal
undang-undang tersebut.
Penjelasan Pasal 10 bukan lagi sekedar tafsir resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan atas norma yang ada didalam batang tubuh, sebagaimana
yang dikemukakan dalam lampiran II angka 176 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa “Penjelasan berfungsi sebagai
tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam
batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata,
frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai
dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidak jelasan dari norma yang
dimaksud”.
Penjelasan Pasal 10 tersebut telah memuat norma tersendiri apalagi
dikaitkan dengan lampiran II angka 177 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang menyatakan bahwa “Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh
mencantumkan rumusan yang berisi norma.” Ketentuan tersebut telah
menyebutkan secara jelas, namun Perpres Pembentukan Dan Organisasi
Kementerian Negara, justru menjadikan penjelasan Pasal 10 sebagai sandaran
bagi pengaturan jabatan wakil menteri.
B. Persyaratan Pengangkatan Wakil Menteri Oleh presiden
Persyaratan dalam melakukan pengangkatan wakil menteri oleh presiden
adalah bahwa wakil menteri itu harus berasal dari pegawai negeri yang telah
menduduki jabatan struktural eselon I.a, hal tersebut dinyatakan didalam Pasal 70
ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara. Namun dihapus ketentuannya, dengan

18

dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 tentang perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara tanpa mengubah ketentuan yang lain.
Pada penjelasan UU Kementerian Negara disebutkan bahwa wakil menteri
merupakan pejabat karir dan harus sesuai dengan jabatan eselon I, yang berarti
memiliki pangkat tertinggi IV/e dalam peraturan kepegawaian yang masih berlaku
saat ini. Sementara dalam kenyataan, para wakil menteri dilantik oleh presiden
yang tidak mungkin terjadi untuk pejabat eselon I yang lain. Pasal 70A Perpres
Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara menambahkan lagi bahwa
“Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan setingkat
dengan jabatan struktural eselon I.a”. Meskipun mendapatkan hak keuangan dan
fasilitas setingkat eselon I.a, wakil menteri itu bukanlah pejabat eselon I.a.
Pengangkatan Wakil Menteri di beberapa Kementerian Negara, merupakan
satu hal yang menimbulkan kontroversi, yakni pengangkatan Denny Indrayana
sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Banyak kalangan menyatakan di
hadapan publik bahwa pengangkatan Denny Indrayana melanggar ketentuan
Perpres Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara, khususnya Pasal 70
ayat (3). Disebutkan dalam Pasal 70 ayat (3) tersebut “Pejabat karir sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan
struktural eselon I.a.” Sementara itu Denny Indrayana belum mencapai dan
menduduki jabatan struktural setingkat eselon I.a. (golongan IV.E) tersebut.
Reaksi pun bermunculan dari anggota DPR, Publik, dan bahkan kalangan
akademisi hukum. Reaksi publik inipun akhirnya terjawab karena ketentuan Pasal
70 ayat (3) tersebut telah dihapus dengan terbitnya Perpres Pembentukan Dan
Organisasi Kementerian Negara.
Dengan dihapusnya ketentuan tersebut, maka untuk menduduki posisi
Wakil Menteri tidak lagi harus pejabat yang telah mencapai dan menduduki
jabatan struktural setingkat eselon I.a, karena wakil Menteri diangkat oleh
Presiden. Namun yang terjadi adalah adanya ketidak pastian hukum, karena posisi
wakil Menteri menjadi kurang jelas apakah yang dimaksud dengan pejabat karir
itu dari internal departemennya atau semua pegawai negeri disebut dengan pejabat
karir. Terlebih lagi Undang-Undang Kementerian Negara mengatakan dalam

19

penjelasannya bahwa wakil menteri merupakan pejabat karir dan bukan
merupakan anggota kabinet sehingga wakil menteri harus berasal dari pejabat
karir sementara ada Denny Indrayana yang diangkat oleh Presiden meskipun
bukan merupakan pejabat karir.
Peraturan Presiden baru terintegrasi menjadi tata urutan perundang-
undangan, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang kemudian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, diubah dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan
bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 1 angka 6 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan bahwa “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan”. Menurut Pasal 13 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”.
Menurut UU Kementerian Negara Presiden diberikan kewenangan untuk
mengangkat wakil menteri. Namun Meski diberikan kewenangan oleh Presiden,
pengangkatan wakil menteri seharusnya berdasarkan pada kebutuhan organisasi di
kementerian itu. Harus ada kejelasan mengenai persyaratan dalam melakukan
pengangkatan wakil Menteri oleh Presiden dengan adanya ketentuan yang jelas

20

dalam undang-undang yang menjadikan suatu kementerian diberikan Wakil
Menteri.
Terkait dengan keberadaan Wakil Menteri itu sendiri Dengan terdapatnya
ketentuan Pasal 10 mengenai wakil menteri yang menyatakan bahwa “dalam hal
terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara kusus, presiden dapat
mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Menurut penulis kata-kata
“dapat” di dalam Pasal tersebut memberikan diskresi kepada Presiden, artinya
Presiden diberi kewenangan secara luas. Dalam hal ini Presiden dapat
menggunakan kewenangannya secara bebas untuk mengangkat Wakil Menteri
atau tidak mengangkat Wakil Menteri, karena Pasal tersebut telah memberikan
kewenangan kepada Presiden tanpa adanya batasan yang jelas.
Dengan adanya kewenangan yang dimiliki oleh Presiden tersebut, maka
fakta yang terjadi saat ini adalah bahwa hampir disemua kementerian yang ada
pada KIB jilid II yang berjumlah 34 orang diberikan pendamping yaitu Wakil
Menteri tanpa adanya alasan dan pertimbangan yang jelas atas keberadaan Wakil
Menteri tersebut, karena tidak semuanya diberikan pendamping Wakil Menteri,
sementara ada dibeberapa kementerian yang mempunyai dua Wakil Menteri.
Di dalam (political appointes) tidak ada ketentuan mengenai persyaratan-
persyaratan yang diberlakukan untuk pejabat karir, jadi dia bisa bebas, siapa saja
tidak perlu pangkat karena merupakan jabatan politik. Namun berbeda halnya
dalam melakukan pengangkatan Wakil Menteri oleh Presiden yang semula dengan
adanya Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 yang mengharuskan bahwa
Wakil Menteri harus telah menduduki jabatan eselon I.a, tetapi persyaratan yang
menyatakan bahwa Wakil Menteri harus berasal dari pejabat eselon I.a tersebut
dihapus ketentuannya oleh Presiden, sehingga tidak ada lagi ketentuan bahwa
Wakil Menteri itu harus telah menduduki jabatan eselon I.a. Persyaratan mengenai
pengangkatan Wakil Menteri tidak lagi terdapat dalam peraturan perundang-
undangan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal ini.
Konsekuensi yang timbul dengan dihapusnya ketentuan mengenai Wakil
Menteri harus merupakan atau berasal dari pejabat eselon I.a yang dinyatakan
dalam Pasal 70 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 adalah terjadinya
ketidak pastian hukum yang berakibat kepada tidak adanya ketentuan yang

21

mengatur alasan dan pertimbangan apa saja bagi Presiden untuk mengangkat
Wakil Menteri pada suatu kementerian tertentu. Pasal 10 UU Kementerian Negara
memang telah memberikan kewenangan secara luas kepada Presiden untuk
mengangkat Wakil Menteri pada kementerian tertentu, yang berarti bahwa
Presiden bisa saja dengan bebas untuk menggunakan kewenangannya tersebut
dalam melakukan pengangkatan terhadap Wakil Menteri. Kapan kewenangan
tersebut digunakan tergantung padanya.
Namun perlu dipertegas dalam UU Kementerian Negara tersebut mengenai
beban khusus apa yang dimaksud oleh Pasal 10 UU Kementerian Negara, karena
undang-undang tersebut hanya menyatakan bahwa “dalam hal terdapat beban
kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus Presiden dapat mengangkat
Wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Hal tersebut berarti telah memberikan kewenangan begitu luas kepada
Presiden. Presiden dalam melakukan pengangkatan Wakil Menteri tentu bisa
menunjuk siapa saja orang yang akan diangkatnya menjadi Wakil Menteri.
Sehubungan dengan penghapusan persyaratan pengangkatan Wakil Menteri yang
dilakukan oleh Presiden yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
47 Tahun 2009 pada Pasal 70 ayat 3 yang menyatakan bahwa “ Wakil Menteri itu
haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon I.a”, yang kemudian
dirubah persyaratan tersebut oleh Presiden dengan dikeluarkannya Perpres
Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara.
Perubahan terhadap Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 hanya
menghapus ketentuan Pasal 70 ayat 3 dalam Perpres ini, sementara ketentuan
yang lain tidak dilakukan perubahan. Selain daripada itu terdapat pula ketentuan
lain dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 yaitu dengan
ditambahkannya satu Pasal pada perubahan ini yaitu adanya penambahan terhadap
Pasal 70 dengan menambahkan ketentuan Pasal 70 A yang menyatakan bahwa
”Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan setingkat
dengan jabatan struktural eselon I.a”. Sementara itu Penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara menyatakan bahwa ”yang dimaksud Wakil Menteri adalah
pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet”. Berdasarkan penjelasan
Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa Wakil Menteri merupakan pejabat karir

22

namun tetap saja mendapatkan hak keuangan dan fasilitas setingkat dengan
jabatan struktural eselon I.a, tapi sudah jelas bahwa Wakil Menteri bukan
merupakan pejabat struktural yang berasal dari eselon I.a.
Dengan dihapusnya persyaratan bahwa Wakil Menteri harus berasal dari
pejabat eselon I.a, berpengaruh terhadap sistem karir dan mengacaukan jenjang
karir kepangkatan, sehingga menutup kesempatan bagi pejabat eselon I yang
lainnya untuk bisa menjabat sebagai Wakil Menteri, hal ini dikarenakan bahwa
untuk dapat menjadi Wakil Menteri adalah melalui pengangkatan oleh Presiden.
Jadi persyaratan dalam melakukan pengangkatan Wakil Menteri oleh Presiden
tidak ada lagi karena Presiden sudah mempunyai kewenangan untuk menunjuk
siapa saja duduk pada posisi Wakil Menteri di kementerian tertentu sesuai
keinginan Presiden. Terjadinya kenyataan seperti ini tentunya bertentangan
dengan UU Kementerian Negara yang menghendaki bahwa Wakil Menteri adalah
merupakan pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Namun dengan
adanya pengangkatan Denny Indrayana oleh Presiden sebagai Wakil Menteri
Hukum dan HAM yang hanya berasal dari golongan III C, berarti dalam hal ini
adalah Wakil Menteri bukan lagi pejabat karir namun adalah pejabat politis karena
diangkat oleh Presiden.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketentuan mengenai wakil menteri diatur dalam satu pasal yaitu pada
Pasal 10 yang menyatakan bahwa “dalam hal terdapat beban kerja yang
membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil
menteri pada kementerian tertentu”. Sehubungan dengan hal itu kedudukan wakil
menteri diatur dalam penjelasan Pasal 10 undang-undang tersebut yang
menyatakan bahwa wakil menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan
anggota kabinet. Menurut UU Kementerian Negara, bahwa wakil menteri itu
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Kedudukan jabatan
wakil menteri menurut UU Kementerian Negara adalah sebagai pejabat karir dan
bukan merupakan anggota kabinet. Penjelasan Pasal 10 menjadi sandaran oleh
presiden bagi pengaturan jabatan wakil menteri.

23

Persyaratan dalam melakukan pengangkatan wakil menteri oleh presiden
adalah bahwa wakil menteri itu harus berasal dari pegawai negeri yang telah
menduduki jabatan struktural eselon I.a, hal tersebut dinyatakan didalam Pasal 70
ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang pembentukan dan
organisasi kementerian negara. Namun dihapus ketentuannya dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 tentang perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi
kementerian negara tanpa mengubah ketentuan yang lain.
B. Saran
1. Kedudukan wakil menteri itu harus diperjelas apakah merupakan jabatan karir
atau jabatan politis. Tidak jelasnya posisi wakil menteri karena yang melantik
bukan menteri, melainkan Presiden. Jika ingin benar-benar mengembangkan
suatu sistem administrasi pemerintahan yang benar, dan yang ditempatkan di
dalam kotak Menteri sebagai pemimpin kementerian itu adalah Menteri dan
Wakil Menteri sebagai pemimpin dari kementerian, lebih baik sebenarnya
kalau jabatan Wakil Menteri itu ditetapkan sebagai jabatan Negara artinya
dimasukan dalam kabinet. Karena di dalam jabatan Negara tidak ada keharusan
mengenai persyaratan-persyaratan yang diberlakukan untuk pejabat karir.
Artinya siapa saja tidak perlu ada kepangkatan karena merupakan jabatan
negara. Harus ada kejelasan mengenai kriteria yang membuat Menteri tertentu
mempunyai wakil, karena tidak semua Menteri diberikan pendamping wakil
Menteri, dan pertimbangan apa saja sehingga Presiden mengangkat wakil
Menteri pada suatu kementerian. Seharusnya Didalam ketentuan Pasal 10 UU
Kementerian Negara diatur ketentuan mengenai siapa yang mengangkat Wakil
Menteri, apakah Menteri atau Presiden, seharusnya posisi wakil Menteri
diperjelas apakah yang dimaksud dengan pejabat karir itu dari internal
departemennya atau semua pegawai negeri disebut dengan pejabat karir.
Seharusnya UU Kementerian Negara menyebutkan tentang tugas dan tanggung
jawab dari wakil Menteri sehingga ada batasan kewenangannya. Kemudian
penjelasan terhadap Pasal 10 UU Kementerian Negara seharusnya tidak
dijadikan sebagai pengaturan jabatan Wakil Menteri, karena penjelasan tidak
bisa dijadikan sebagai norma hukum untuk membentuk peraturan lebih lanjut

24

dan bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2. Seharusnya persyaratan dalam melakukan pengangkatan wakil menteri oleh
presiden dipertegas ketentuannya dan diatur dalam dalam undang-undang, agar
supaya dapat terwujudnya suatu kepastian hukum. Adanya penghapusan
terhadap persyaratan dalam melakukan pengangkatan Wakil Menteri yang
semula harus berasal dari pegawai negeri yang telah menduduki jabatan
struktural eselon I.a, hal tersebut dinyatakan didalam Pasal 70 ayat (3) Perpres
No.47 Tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi kementerian Negara,
sehingga kini persyaratannya tidak ada lagi dan hanya diangkat oleh Presiden
untuk mengadakan jabatan Wakil Menteri pada kementerian tertentu. Namun
Didalam ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak terdapat ketentuan
yang mengatur siapa yang mengangkat wakil Menteri, apakah Menteri atau
Presiden, selain itu posisi wakil Menteri kurang jelas apakah yang dimaksud
dengan pejabat karir itu dari internal departemennya atau semua pegawai
negeri disebut dengan pejabat karir. Undang-undang tersebut juga tidak
menyebutkan tentang tugas dan tanggung jawab dari wakil Menteri. Maka dari
itu untuk selanjutnya perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 10 UU
Kementerian Negara yang menjadi dasar hukum keberadaan jabatan Wakil
Menteri. Harus diperjelas siapa yang mengangkat Wakil Menteri itu dan
diperjelas apakah yang dimaksud dengan pejabat karir itu dari internal
departemennya atau semua pegawai negeri disebut dengan pejabat karir yang
harus dimuat ketentuannya di dalam UU Kementerian Negara.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A. Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (suatu studi analisis
mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun
waktu Pelita I – Pelita IV), Jakarta, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Pasca
Sarjana Universitas Indonesia.

Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Cetakan 3, Jakarta, Ghalia Indonesia

25

C.F. Strong, 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah
dan Bentuk-bentuk Konstitusi dunia (terjemahan), Bandung, Nusa Media

C.S.T. Kansil, dan Cristine S.T. Kansil, 2008, Sistem Pemerintahan Indonesia,
Jakarta, Bumi Aksara.

Ermaya Suradinata, 1996, Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah,


Bandung, Ramadhan.

Franz Magnis Suseno, 2013, Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis
Pasca-Lenin, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

H.F. Abraham Amos, 2005, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari ORLA,


ORBA, Sampai Reformasi), Telaah Sosiologis Yuridis dan Yuridis
Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta,
RajaGrafindo Persada.

Jean Jacques Rousseau, 1974, Annatated Editions The Social Contract or


Principles of Political Righ, Cetakan 9, United States of America, The
New America Libraryz

Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta,


Sinar Grafika.

_______________, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, PT


RajaGrafindo Persada.

Koswara, 2002, Teori Pemerintahan Daerah, Jakarta, Institut Ilmu Pemerintahan


Press.

Ni’matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo


Persada.

Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Jakarta, Rafika Aditama Press.

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka.

Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 2, Jakarta, Sinar


Grafika.

B. Data Internet
www.digital.seputar-indonesia.com. diakses pada tanggal 18 Agustus 2015.

C. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

26

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 Tentang perubahan Atas Peraturan


Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Dan Organisasi
Kementerian Negara.

27

Anda mungkin juga menyukai