Anda di halaman 1dari 37

Case Report Session

LAPORAN KASUS
KRISIS HIPERGLIKEMIA + SEPSIS

Oleh:
dr. Wira Genalhen

Preseptor:
dr. Hasnur Rahmi, SpPD

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD SIJUNJUNG
KABUPATEN SIJUNJUNG
PERIODE JUNI 2021 – OKTOBER 2021
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketoasidosis diabetikum dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
merupakan komplikasi akut/ emergensi diabetes melitus.1,2 Kedua keadaan tersebut
mempunyai angka komorbiditas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang lebih baik.3 Angka kematian KAD berkisar
0,5-7% tergantung dari kualitas pusat pelayanan yang mengelola KAD tersebut.1 Data di
amerika menunjukkan bahwa insiden HHNK sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. Insiden
ini sedikit lebih tinggi dibandingkan insiden KAD. Angka mortalitas pada HHNK cukup
tinggi, sekitar 10-20%.2
KAD adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi ((300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton positif (+) yang kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.3 Sedangkan pada HHNK terjadi peningkatan glukosa darah sangat
tinggi (600-1200 mg/dl) tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat(330-380 mOs/ml) plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.3
Salah satu komplikasi yang angka kematiannya tinggi lainnya adalah sepsis. Sepsis
didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh disregulasi
respon pejamu terhadap infeksi.4
Sepsis dimasukkan ke dalam kategori penyakit darurat yang sama seperti serangan
jantung atau stroke karena ada gangguan dalam distribusi oksigen dan nutrisi ke jaringan
sehingga dibutuhkan penanganan kegawatdaruratan segera. Hal tersebut yang menjadikan
sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU).
Selain itu, berdasarkan epidemiologinya sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di
seluruh dunia setiap tahunnya dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara
100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. 4

1.2 Batasan Masalah


Penulisan case report session ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis Krisis hiperglikemia dan sepsis.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
mengenai krisis hiperglikemik dan sepsis
1.4 Metode Penulisan
Penulisan case report session ini disusun berdasarkan studi kasus dan studi
kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Krisis hiperglikemia


2.1.1 Definisi
Ketoasidosis Diabetikum(KAD) adalah salah satu komplikasi akut diabetes
yang sangat berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan kepada seorang
pengidap dibetes melitus (DM) tipe 2. KAD adalah fenomena unik pada seorang
pengidap diabetes akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan
hormon kontra regulator, yang mengakibatkan lipolisis berlebihan dengan akibat
terbentuknya benda-benda keton dengan segala konsekuensinya.1
KAD adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi ((300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis
dan plasma keton positif (+) yang kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.3
Sindrom Koma Hiperosmolaritas Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolaritas, tanpa disertai adanya ketosis. Gejala
klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai
gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.2
Ditinjau dari sudut patofisiologi, HHNK dan KAD merupakan suatu spektrum
dekompensasi metabolik pada pasien diabetes yang berbeda pada awitan(onset),
derajat dehidrasi, dan beratnya ketosis.2

2.1.2 Epidemiologi
Angka kekerapan KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 pengidap diabetes
dan masih menjadi problem yang merepotkan di rumah sakit terutama rumah sakit
dengan fasilitas minimal. Angka kematian KAD berkisar 0,5-7% tergantung dari
kualitas pusat pelayanan yang mengelola KAD tersebut.1
Data di amerika menunjukkan bahwa insiden HHNK sebesar 17,5 per 100.000
penduduk. Insiden ini sedikit lebih tinggi dibandingkan insiden KAD. Angka
mortalitas pada HHNK cukup tinggi, sekitar 10-20%.2

3
2.1.3 Patogenesis KAD
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar
hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan
somatostatin) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat
dengan akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis
dan glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat
hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan peningkatan hormon
kontra regulator terutama epinefrin juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada
jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan
ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik. Populasi benda keton
utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Sekitar 75-85%
benda keton terutama 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri sebenarnya
tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber
energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa. Hiperglikemia
dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan
elektrolit. Perubahan tersebut memicu lebih lanjut hormon stress sehingga akan terjadi
perburukan hipergikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan itu tidak diiterupsi
dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi
jaringan yang buruk.1
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator
yang meningkat sebagi respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit
gastrointestinal yang berat, infark miokard akut, stroke, dan lain lain. Dengan adanya
kondisi stres metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya cukup secara
relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan
lipolisis.1

4
Gambar 2.1 Patogenesis KAD

Patofisiologi HHNK
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.
Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas
tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravascular atau penyakit ginjal yang
telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan
konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.2
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami
ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut
berpengaruh adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar,
konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin
yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah
hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon.2

5
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia.
Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel
lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan
stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin
naiknya konsentrasi glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi,
maka besarnya kenaikan konsentrasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi
dan masukan karbohidrat oral.2
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan mengakibatkan
menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan
masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin
mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan
peningkatan konsentrasi protein yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi
hormone anti diuretik. Keadaan hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa
haus.2
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan
tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan
kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya
akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu
stadium terakhir dari proses hiperglikemia ini, dimana telah timbul gangguan
elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.2

2.1.4 Faktor pencetus


Pencetus tersering KAD adalah infeksi. Pencetus lain diantaranya adalah
menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut, pankreatitis, dan
obat-obatan. Pada beberapa pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak
ditemukan pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek
keadaannya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali.1
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor
pencetus yang sering terjadi adalah infeksi, selain itu dapat juga diakibatkan oleh
pengobatan, noncomplience, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan
penyakit penyerta.2

6
2.1.5 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis perlu anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang detail dan teliti. Dari anamnesis dapat ditemukan
riwayat seseorang menderita diabetes dan pada keadaan berat dapat ditemukan
penurunan kesadaran bahkan koma.1 Pasien HHNK umumnya berusia lanjut, belum
diketahui mempunyai DM, dan pasien DM-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemik oral. Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan
penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual muntah, namun
lebih jarang jika dibandingkan dengan pasien KAD. Kadang pasien HHNK datang
dengan keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.2
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas kussmaul jika
asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat badan dan
tanda-tanda dari penyakit penyertanya.1 Pada HHNK dapat ditemukan peningkatan
suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi
abdomen, yang membaik setelah rehidrasi.2
TRIAS biokimiawi KAD adalah hiperglikemia, ketonemia, dan atau ketonuria,
serta asidosis metabolik dengan beragam derajat. Kunci diagnosis pada KAD adalah
adanya peningkatan total benda keton di sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi
adanya benda keton di darah dan urin adalah dengan menggunakan reaksi nitropruside
yang meng-estimasi kadar asetoasetat dan aseton secara semikuantitatif. Walaupun
sensitif tetapi metode tersebut tidak dapat mengukur keberadaan beta hidroksibutirat,
benda keton utama sebagai produk ketogenesis. Peningkatan benda-benda keton
tersebut akan mengakibatkna peningkatan anion gap.1
Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis utama
KAD, walaupun ada istilah KAD euglikemik, dengan demikian setiap pengidap
diabetes yang gula darahnya lebih dari 250 mg/dl harus dipikirkan ketosis atau KAD
jika disertai dengan keadaan klinis yang sesuai. Derajat keasaman darah (pH) yang
kurang dari 7,35 dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan
yang terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. PAda keadaan seperti
itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/l ditambah dengan keadaan klinis lain yang
sesuai, maka sudah cukup untuk menegakkan KAD.1
Pada saat masuk rumah sakit seringkali terdapat leukositosis pada pasien KAD
karena stress metabolik dan dehidrasi, sehingga jangan terburu-buru memberikan
antibiotik jika jumlah leukosit antara 10.000-15.000 m3.1

7
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton, dan analisis gas darah belum
ada hasilnya. Berikut ini adalah beberapa gejala dan tanda HHNK sebagai pegangan2:
a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda
semakin berkurang dan pada anak belum pernah ditemukan
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin
c. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal
atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit cushing
d. Sering disebabkan oleh obat-obatan antara lain tiazid, furosemid, manitol, digitalis,
reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol.
e. Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatk dan operasi.

Tabel 2.1 Perbandingan KAD dengan HHNK1,2


Variabel HHNK
Ringan Sedang Berat
Kadar glukosa plasma >250 >250 >250 >600
(mg/dL)
Kadar pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00 >7,30
Kadar bikarbonat serum 15-18 10-<15 <10 >15
(mEq/L)
Keton pada urin atau positif positif positif Sedikit/negati
serum f
Osmolaritas serum bervariasi bervariasi bervariasi >320
Efektif (mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Kesadaran Sadar Sadar, drowsy Stupor, koma Stupor, koma

2.1.6 Penatalaksanaan
2.1.6.1 KAD
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan.

8
Karena klinis KAD sangat beragam maka tidak semua KAD harus dirawat ICU,
hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan monitoring yang
intensif, maka sebaiknya dilakukan perawatan di ruangan yang bisa melakukan
monitor intensif (HCU).1
Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksaan KAD
setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan
intraselular, intravaskular, intersisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada
masalah kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0,9%)
diberikan dengan dosis 15-20 cc/kgbb/jam pertama. Tindak lanjut cairan pada jam-
jam berikutnya tergantung keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit, dan
produksi urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan
penggantian cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya
benda keton, dan perbaikan asidosis.1
A. Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin
intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi.
Dari beberapa studi prospektif dengan randomisasi di dapatkan bahwa pemberian
insulin regulator dosis rendah intravena merupakan cara yang efektif dan terpilih. Jika
dosis insulin intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya
tidak diperlukan insulin bolus (priming dose) di awal. Dengan pemberian insulin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan
kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl, lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah
berada di sekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus dextrose dianjurkan untuk
mencegah hipoglikemia.1
B. Kalium
Pasien KAD sejatinya mengalami hiperkalemia melalu mekanisme asidemia,
defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien normal atau
rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien
sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi insulin akan
menurunkan kalium lebih lanjut. Monitor jantung perlu dilakukan pada keadaan
tersebut agar jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah hipokalemia maka pemberian
kalium sudah dimulai manakala kadar kalium disekitar batas atas nilai normal.1

9
C. Bikarrbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan ruti, kecuali jika ph darah kurang dari 6,9. Hanya saja pada
keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan, seringkali sulit membedakan
apakah asidosisinya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek buruk dari koreksi
bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya resiko hipokalemia,
menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat
paradoksal.1
D. Fosfat
Meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering ditemukan
dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan turun dengan
pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan manfaat yang nyata
pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi serum fosfat kurang dari
1 mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, anemia, atau depresi nafas akibat
kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.1
E. Transisi ke insulin subkutan
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena dosis
rendah, maka langkah selajutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah memasuki
fase resolusi dengan kriteria gula darah kurang dari 200 mg/dl dan dua dari keadaan
berikut : serum bikarbonat lebih atau sama denga 15 mEq/l, pH vena >7,3 dan anion
gap hitung kurang atau sama dengan 12 mEq/dl.1
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian insulin intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama.
Asupan nutrisi pertimbangan penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih
puasa karena suatu hal atau asupan masih sangat kurang maka lebih baik insulin
intravena dilanjutkan.1
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami
KAD, maka pemberian insulin dapat di berikan ke regimen awal dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan insulin pada keadaan terakhir. Pada pasien yang belum
pernah mendapat insulin maka pemberian insulin subkutan terbagi lebih dianjurkan.
Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan lebih menyerupai
insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah.1

10
Gambar 2.2 Protokol manajemen KAD1

11
2.1.6.2 HHNK
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2 N, 2 A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat,
dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan konsentrasi
glukosa darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena
lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai kelainan
organ-organ lainnya. 2
Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan

2.1.7 Prognosis
Umumnya pada KAD pasien membaik setelah diberikan insulin dan terpai
standar lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Kematian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.1
HHNK biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan
oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit penyertanya. Angka kematian
berkisar 30-50%.2

2.2.1 Definisi Sepsis


Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa
disebabkan oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ yang
sederhana saat pasien disangkakan infeksi untuk pertama kali, berhubungan dengan
kematian di rumah sakit lebih dari 10%.4
Secara klinis disfungsi organ dapat dinilai dengan skor Sequential Organ
Failure Assessment (SOFA). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan dengan
peningkatan probabilitas mortalitas (Tabel 2.2)4

12
Tabel 2.2 Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment4

SSC 2016 merekomendasikan menggunakan nilai total skor SOFA ≥2


mewakili disfungsi organ. Skor baseline SOFA harus diasumsikan nol kecuali pasien
diketahui memiliki disfungsi organ sebelum timbulnya infeksi (akut atau kronis).
Pasien dengan skor SOFA ≥2 memiliki risiko kematian sekitar 10% pada populasi
yang disangkakan infeksi di rumah sakit. Tingkat kematian ini lebih besar dari tingkat
kematian 8,1% untuk infark miokard ST-segmen elevasi, yang secara luas dianggap
sebagai kondisi mengancam kehidupan masyarakat. Jika Skor SOFA ≥2 maka
terdapat peningkatan 2-25 kali lipat risiko keparahan dibandingkan pasien dengan
skor SOFA kurang dari 2.4

2.2.2 Skrining Pasien Sepsis


Suatu model klinis yang dikembangkan dengan regresi logistik multivariabel
mengidentifikasi bahwa 2 dari 3 variabel klinis seperti Glasgow Coma Scale (GCS)
≤13, tekanandarah sistolik ≤100 mmHg, dan tingkat pernapasan ≥22 kali/menit
memiliki validitas prediktif hampir sama dengan skor penuh SOFA pada keadaan di
luar ICU(AUROC = 0,81; 95% CI, 0,80-0,82).6 Untuk pasien dengan dugaan infeksi
di ICU, skor SOFA memiliki validitas prediktif (AUROC = 0,74; 95% CI, 0,73-0,76)
lebih tinggi dari model ini (AUROC = 0,66; 95% CI, 0,64-0,68), yang mungkin
mencerminkan efek modifikasi oleh intervensi (misalnya, vasopressor, obat penenang,
ventilasi mekanis).4

13
Ukuran baru ini disebut sebagai qSOFA (for quick SOFA) yang terdiri dari
variabel gangguan kesadaran, tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg, dan tingkat
pernapasan ≥ 22/menit, memberikan kriteria bedsite yang sederhana untuk
mengidentifikasi pasien dewasa dengan dugaan infeksi yang kemungkinan memiliki
hasil yang buruk (Tabel 2.3).4
Meskipun qSOFA kurang kuat dibanding skor SOFA ≥2 di ICU, namun skor
ini tidak memerlukan tes laboratorium dan dapat dinilai dengan cepat dan berulang-
ulang. Satuan tugasmenunjukkan bahwa kriteria qSOFA dapat digunakan oleh dokter
untuk menilai disfungsi organ dengan cepat, memulai atau meningkatkan terapi yang
sesuai, dan untuk mempertimbangkan rujukan ke perawatan kritis atau meningkatkan
frekuensi pemantauan, jika belum dapat dirujuk. Kriteria qSOFA positif harus juga
menjadi pertimbangan adanya kemungkinan infeksi pada pasien yang belum dianggap
sebagai infeksi.4
Tabel 2.3 Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA)4
Tingkat respirasi ≥ 22x/menit
Gangguan kesadaran GCS <15
Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg

2.2.3 Definisi Syok Sepsis


Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah
(sirkulasi) dan metabolik/seluler yang terkait denganrisiko kematian yang lebih
tinggi.4
2.2.4 Kriteria Klinis untuk Mengidentifikasi Syok Septik
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis
disertai hipotensi yang menetap dan membutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan MAP ≥65mmHg dan memiliki kadar serum laktat>2 mmol/L
(18mg/dL) meskipun setelah resusitasi volume yang memadai.Dengan kriteria ini,
kematian di rumah sakit lebih dari 40%.4

14
Table 2.4
Diagnostic criteria for sepsis4
Infection, documented or suspected, and some of the following:
General variables
Fever (>38.3 °C)
Hypothermia (core temperature <36 °C)
Heart rate >90 min−1 or more than two SD above the normal value for age
Tachypnea
Altered mental status
Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 h)
Hyperglycemia (plasma glucose >140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes

Inflammatory variables
Leukocytosis (WBC count >12,000 μL−1)
Leukopenia (WBC count <4,000 μL−1)
Normal WBC count with greater than 10 % immature forms
Plasma C-reactive protein more than two SD above the normal value
Plasma procalcitonin more than two SD above the normal value
Hemodynamic variables
Arterial hypotension (SBP <90 mmHg, MAP <70 mmHg, or an SBP

15
decrease >40 mmHg in adults or less than two SD below normal for age)
Organ dysfunction variables
Arterial hypoxemia (PaO2/FiO2 <300)
Acute oliguria (urine output <0.5 mL kg−1 h−1 for at least 2 h despite adequate fluid
resuscitation)
Creatinine increase >0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L
Coagulation abnormalities (INR >1.5 or aPTT>60 s)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count <100,000 μL−1)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin >4 mg/dL or 70 μmol/L)

Tissue perfusion variables


Hyperlactatemia (>1 mmol/L)
Decreased capillary refill or mottling
WBC = white blood cell; SBP = systolic blood pressure; MAP = mean arterial
pressure; INR = international normalized ratio; aPTT = activated partial
thromboplastin time.

Table 2.5
Severe sepsis4
Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ dysfunction
(any of the following thought to be due to the infection)
Sepsis-induced hypotension
Lactate above upper limits laboratory normal
Urine output <0.5 mL kg−1 h−1 for more than 2 h despite adequate fluid resuscitation
Acute lung injury with PaO2/FiO2 <250 in the absence of pneumonia as infection source
Acute lung injury with PaO2/FiO2 <200 in the presence of pneumonia as infection
source
Creatinine>2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)
Bilirubin >2 mg/dL (34.2 μmol/L)
Platelet count <100,000 μL
Coagulopathy (international normalized ratio >1.5)

16
2.2.5 Patogenesis
Severe sepsis dan septic syok berkembang dari systemic inflammatory
dan coagulase response sebagai bukti infeksi. Bakteri gram negatif bacilli
(seperti Escherichia colli, Klebsiella spp. dan Pseudomonas aeruginosa) dan
Gram positifcocci (seperti staphylococci dan streptococci) merupakan pathogen
umum yang berhubungan dengan perkembangan sepsis, walaupun jamur, virus
dan parasit juga dapat menyebabkan sepsis. Jamur, terbanyak seperti candida,
hanya menyebabkan 5% dari semua kasus severe sepsis.4
Patofisiologi dari sepsis bakteri dimulai oleh kedua komponen membrane
luar dari organism gram negatif (lipo polysaccharide, Lipid A, flagellin dan
peptidoglycan) dan organisme gram positif (teichoic acid, lipotechoic acid,
peptidoglycan). Komponen membrane luar dan komponen dinding sel tersebut
dapat mengikat reseptor CD14, suatu protein yang melekat pada bagian luar
monosit. Baru-baru ini, beberapa reseptor yang biasa disebut reseptor Toll-like
teridentifikasi dan menunjukkan bahwa komponen bakteri juga berinteraksi
dengan reseptor ini. Sepuluh anggota dari reseptor Toll-like yang diidentifikasi,
masing-masing menunjukan derajat spesifisitas untuk mikroorganime pathogen
dan produk selular (misalnya TLR2 untuk peptidoglycan, lipoteichoic acid atau
TLR4 untuk lipopolysaccharide). 5
Pengikatan reseptor Toll-like akan mengaktivasi sinyal jalur intraseluler
yang memicu factor transkripsi, seperti factor-ƘB yang pada gilirannya
mengontrol ekspresi gen respon imun, mengakibatkan pelepasancytocines.
Sytocines dengan sifat inflamasi (termasuk TNF-α, IL-1, IL-2. IL6) atau
cytokines dengan sifat anti inflamasi (IL-4 dan IL-10).5
Jaringan mediator inflamasi mengaktifkan leukosit, mempromosikan
adhesi endotel leukosit-pembuluh darah dan memicu kerusakan endotel.
Kerusakan endothelial ini, pada gilirannya menyebabkan ekspresi factor jaringan
dan aktivasi kaskade jaringan faktor-dependent pembekuan diawali dengan
trombin, sehingga microaggregates fibrin, trombosit, neutrofil dan sel darah
merah mengganggu aliran darah kapiler, sehingga mengurangi oksigen dan
pengiriman nutrisi.5
Khususnya, sitokin pro inflamasi meningkatkan ekspresi enzim-induksi
nitric oxide synthase (iNOS) di sel endothelial yang akan meningkatkan sintesis

17
dari vasodilator kuat nitrat oksida yang akan menyebabkan penurunan dalam
karakteristik resistensi sistemik vaskular.

Gambar 2.3 patogenesis sepsis bakteri

2.2.6 Manajemen sepsis berat


Initial resuscitation
Dengan suatu protokol, resusitasi kuantitatif pasien dengan sepsis-
diinduksi hipoperfusi jaringan (didefinisikan sebagai hipotensi yang menetap
setelah terapi awal cairan atau konsentrasi laktat darah ≥4 mmol/L). Protokol ini
harus dimulai secepat mungkin ketika hipoperfusi jaringan telah diketahui dan
tidak boleh ditunda untuk dimasukan keruangan ICU. Selama 6 jam pertama
resusitasi, tujuan resusitasi awal hipoperfusi sepsis yang diinduksi harus
mencakup semua hal berikut sebagai bagian dari protokol pengobatan (kelas
1C):4
(a) CVP 8–12 mmHg
(b) MAP ≥65 mmHg

18
(c) Urine output ≥0.5 mL kg h−1
(d)
Superior vena cava oxygenation saturation (ScvO2) or mixed venous oxygen
saturation (SvO2) 70 or 65 %, respectively.

Table 2.6
Recommendations: initial resuscitation and infection issues4
A. Initial resuscitation
1. Protocolized, quantitative resuscitation of patients with sepsis-induced
tissue hypoperfusion (defined in this document as hypotension persisting
after initial fluid challenge or blood lactate concentration ≥4 mmol/L).
Goals during the first 6 h of resuscitation:
(a) Central venous pressure 8–12 mmHg
(b) Mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg
(c) Urine output ≥ 0.5 mL kg−1 h
(d) Central venous (superior vena cava) or mixed venous oxygen saturation
70 or 65 %, respectively (grade 1C)
2. In patients with elevated lactate levels targeting resuscitation to normalize
lactate as rapidly as possible (grade 2C)
B. Screening for sepsis and performance improvement
1. Routine screening of potentially infected seriously ill patients for severe
sepsis to allow earlier implementation of therapy (grade 1C)
2. Hospital-based performance improvement efforts in severe sepsis (UG)
C. Diagnosis
1. Cultures as clinically appropriate before antimicrobial therapy if no
significant delay (>45 min) in the start of antimicrobial(s) (grade 1C). At
least 2 sets of blood cultures (both aerobic and anaerobic bottles) be
obtained before antimicrobial therapy with at least 1 drawn percutaneously
and 1 drawn through each vascular access device, unless the device was
recently (<48 h) inserted (grade 1C)
2. Use of the 1,3 β-D-glucan assay (grade 2B), mannan and anti-mannan
antibody assays (2C), if available and invasive candidiasis is in differential
diagnosis of cause of infection.
3. Imaging studies performed promptly to confirm a potential source of

19
infection (UG)
D. Antimicrobial therapy
1. Administration of effective intravenous antimicrobials within the first hour
of recognition of septic shock (grade 1B) and severe sepsis without septic
shock (grade 1C) as the goal of therapy
2a. Initial empiric anti-infective therapy of one or more drugs that have
activity against all likely pathogens (bacterial and/or fungal or viral) and that
penetrate in adequate concentrations into tissues presumed to be the source of
sepsis (grade 1B)
2b. Antimicrobial regimen should be reassessed daily for potential
deescalation (grade 1B)
3. Use of low procalcitonin levels or similar biomarkers to assist the clinician
in the discontinuation of empiric antibiotics in patients who initially appeared
septic, but have no subsequent evidence of infection (grade 2C)
4a. Combination empirical therapy for neutropenic patients with severe sepsis
(grade 2B) and for patients with difficult to treat, multidrug-resistant bacterial
pathogens such as Acinetobacter andPseudomonas spp. (grade 2B). For
patients with severe infections associated with respiratory failure and septic
shock, combination therapy with an extended spectrum beta-lactam and either
an aminoglycoside or a fluoroquinolone is for P. aeruginosa bacteremia (grade
2B). A combination of beta-lactam and macrolide for patients with septic shock
from bacteremic Streptococcus pneumoniaeinfections (grade 2B)
4b. Empiric combination therapy should not be administered for more than 3–
5 days. De-escalation to the most appropriate single therapy should be
performed as soon as the susceptibility profile is known (grade 2B)
5. Duration of therapy typically 7–10 days; longer courses may be appropriate
in patients who have a slow clinical response, undrainable foci of infection,
bacteremia with S. aureus; some fungal and viral infections or immunologic
deficiencies, including neutropenia (grade 2C)
6. Antiviral therapy initiated as early as possible in patients with severe sepsis
or septic shock of viral origin (grade 2C)
7. Antimicrobial agents should not be used in patients with severe
inflammatory states determined to be of noninfectious cause (UG)

20
E. Source control
1. A specific anatomical diagnosis of infection requiring consideration for
emergent source control be sought and diagnosed or excluded as rapidly as
possible, and intervention be undertaken for source control within the first
12 h after the diagnosis is made, if feasible (grade 1C)
2. When infected peripancreatic necrosis is identified as a potential source of
infection, definitive intervention is best delayed until adequate demarcation
of viable and nonviable tissues has occurred (grade 2B)
3. When source control in a severely septic patient is required, the effective
intervention associated with the least physiologic insult should be used (e.g.,
percutaneous rather than surgical drainage of an abscess) (UG)
4. If intravascular access devices are a possible source of severe sepsis or
septic shock, they should be removed promptly after other vascular access
has been established (UG)
F. Infection prevention
1a. Selective oral decontamination and selective digestive decontamination
should be introduced and investigated as a method to reduce the incidence of
ventilator-associated pneumonia; This infection control measure can then be
instituted in health care settings and regions where this methodology is found to
be effective (grade 2B)
1b. Oral chlorhexidinegluconate be used as a form of oropharyngeal
decontamination to reduce the risk of ventilator-associated pneumonia in ICU
patients with severe sepsis (grade 2B)

Table 2.7
Recommendations: Hemodynamic Support and Adjunctive Therapy*
G. Fluid Therapy of Severe Sepsis
1. Crystalloids as the initial fluid of choice in the resuscitation of severe sepsis

21
and septic shock (grade 1B).
2. Against the use of hydroxyethyl starches for fluid resuscitation of severe
sepsis and septic shock (grade 1B).
3. Albumin in the fluid resuscitation of severe sepsis and septic shock when
patients require substantial amounts of crystalloids (grade 2C).
4. Initial fluid challenge in patients with sepsis-induced tissue hypoperfusion
with suspicion of hypovolemia to achieve a minimum of 30 mL/kg of
crystalloids (a portion of this may be albumin equivalent). More rapid
administration and greater amounts of fluid may be needed in some patients
(grade 1C).
5. Fluid challenge technique be applied wherein fluid administration is
continued as long as there is hemodynamic improvement either based on
dynamic (eg, change in pulse pressure, stroke volume variation) or static
(eg, arterial pressure, heart rate) variables (UG).
H. Vasopressors
1. Vasopressor therapy initially to target a mean arterial pressure (MAP) of 65
mm Hg (grade 1C).
2. Norepinephrine as the first choice vasopressor (grade 1B).
3. Epinephrine (added to and potentially substituted for norepinephrine) when
an additional agent is needed to maintain adequate blood pressure (grade
2B).
4. Vasopressin 0.03 units/minute can be added to norepinephrine (NE) with
intent of either raising MAP or decreasing NE dosage (UG).
5. Low dose vasopressin is not recommended as the single initial vasopressor
for treatment of sepsis-induced hypotension and vasopressin doses higher
than 0.03-0.04 units/minute should be reserved for salvage therapy (failure
to achieve adequate MAP with other vasopressor agents) (UG).
6. Dopamine as an alternative vasopressor agent to norepinephrine only in
highly selected patients (eg, patients with low risk of tachyarrhythmias and
absolute or relative bradycardia) (grade 2C).
7. Phenylephrine is not recommended in the treatment of septic shock except
in circumstances where (a) norepinephrine is associated with serious
arrhythmias, (b) cardiac output is known to be high and blood pressure

22
persistently low or (c) as salvage therapy when combined
inotrope/vasopressor drugs and low dose vasopressin have failed to achieve
MAP target (grade 1C).
8. Low-dose dopamine should not be used for renal protection (grade 1A).
9. All patients requiring vasopressors have an arterial catheter placed as soon
as practical if resources are available (UG).
I. Inotropic Therapy
1. A trial of dobutamine infusion up to 20 micrograms/kg/min be administered
or added to vasopressor (if in use) in the presence of (a) myocardial
dysfunction as suggested by elevated cardiac filling pressures and low
cardiac output, or (b) ongoing signs of hypoperfusion, despite achieving
adequate intravascular volume and adequate MAP (grade 1C).
2. Not using a strategy to increase cardiac index to predetermined supranormal
levels (grade 1B).
J. Corticosteroids
1. Not using intravenous hydrocortisone to treat adult septic shock patients if
adequate fluid resuscitation and vasopressor therapy are able to restore
hemodynamic stability (see goals for Initial Resuscitation). In case this is
not achievable, we suggest intravenous hydrocortisone alone at a dose of
200 mg per day (grade 2C).
2. Not using the ACTH stimulation test to identify adults with septic shock
who should receive hydrocortisone (grade 2B).
3. In treated patients hydrocortisone tapered when vasopressors are no longer
required (grade 2D).
4. Corticosteroids not be administered for the treatment of sepsis in the
absence of shock (grade 1D).
5. When hydrocortisone is given, use continuous flow (grade 2D).
*Reprinted from Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-637

23
Table 2.8
Recommendations: Other Supportive Therapy of Severe Sepsis*
K. Blood Product Administration
1. Once tissue hypoperfusion has resolved and in the absence of extenuating
circumstances, such as myocardial ischemia, severe hypoxemia, acute
hemorrhage, or ischemic heart disease, we recommend that red blood cell
transfusion occur only when hemoglobin concentration decreases to <7.0 g/dL
to target a hemoglobin concentration of 7.0 –9.0 g/dL in adults (grade 1B).
2. Not using erythropoietin as a specific treatment of anemia associated with
severe sepsis (grade 1B).
3. Fresh frozen plasma not be used to correct laboratory clotting abnormalities in
the absence of bleeding or planned invasive procedures (grade 2D).
4. Not using antithrombin for the treatment of severe sepsis and septic shock
(grade 1B).
5. In patients with severe sepsis, administer platelets prophylactically when counts
are <10,000/mm3 (10 x 109/L) in the absence of apparent bleeding. We suggest
prophylactic platelet transfusion when counts are < 20,000/mm3 (20 x 109/L) if
the patient has a significant risk of bleeding. Higher platelet counts
(≥50,000/mm3 [50 x 109/L]) are advised for active bleeding, surgery, or
invasive procedures (grade 2D).
L. Immunoglobulins
1. Not using intravenous immunoglobulins in adult patients with severe sepsis or
septic shock (grade 2B).
M. Selenium
1. Not using intravenous selenium for the treatment of severe sepsis (grade 2C).
N. History of Recommendations Regarding Use of rhAPC
A history of the evolution of SSC recommendations as to rhAPC (no longer
available) is provided.

24
O. Mechanical Ventilation of Sepsis-Induced ARDS
1. Target a tidal volume of 6 mL/kg predicted body weight in patients with sepsis-
induced ARDS (grade 1A vs. 12 mL/kg).
2. Plateau pressures be measured in patients with ARDS and initial upper limit
goal for plateau pressures in a passively inflated lung be ≤30 cm H2O (grade
1B).
3. Positive end-expiratory pressure (PEEP) be applied to avoid alveolar collapse at
end expiration (atelectotrauma) (grade 1B).
4. Strategies based on higher rather than lower levels of PEEP be used for patients
with sepsis-induced moderate or severe ARDS (grade 2C).
5. Recruitment maneuvers be used in sepsis patients with severe refractory
hypoxemia (grade 2C).
6. Prone positioning be used in sepsis-induced ARDS patients with a Pao2/Fio2
ratio ≤100 mm Hg in facilities that have experience with such practices (grade
2B).
7. That mechanically ventilated sepsis patients be maintained with the head of the
bed elevated to 30-45 degrees to limit aspiration risk and to prevent the
development of ventilator-associated pneumonia (grade 1B).
8. That noninvasive mask ventilation (NIV) be used in that minority of sepsis-
induced ARDS patients in whom the benefits of NIV have been carefully
considered and are thought to outweigh the risks (grade 2B).
9. That a weaning protocol be in place and that mechanically ventilated patients
with severe sepsis undergo spontaneous breathing trials regularly to evaluate the
ability to discontinue mechanical ventilation when they satisfy the following
criteria: a) arousable; b) hemodynamically stable (without vasopressor agents);
c) no new potentially serious conditions; d) low ventilatory and end-expiratory
pressure requirements; and e) low Fio2 requirements which can be met safely
delivered with a face mask or nasal cannula. If the spontaneous breathing trial is
successful, consideration should be given for extubation (grade 1A).
10. Against the routine use of the pulmonary artery catheter for patients with sepsis
induced ARDS (grade 1A).
11. A conservative rather than liberal fluid strategy for patients with established
sepsis-induced ARDS who do not have evidence of tissue hypoperfusion (grade

25
1C).
12. In the absence of specific indications such as bronchospasm, not using beta 2-
agonists for treatment of sepsis-induced ARDS (grade 1B).
P. Sedation, Analgesia, and Neuromuscular Blockade in Sepsis
1. Continuous or intermittent sedation be minimized in mechanically ventilated
sepsis patients, targeting specific titration endpoints (grade 1B).
2. Neuromuscular blocking agents (NMBAs) be avoided if possible in the septic
patient without ARDS due to the risk of prolonged neuromuscular blockade
following discontinuation. If NMBAs must be maintained, either intermittent
bolus as required or continuous infusion with train-of-four monitoring of the
depth of blockade should be used (grade 1C). 3. A short course of NMBA of not
greater than 48 hours for patients with early sepsis-induced ARDS and a
Pao2/Fio2 < 150 mm Hg (grade 2C).
Q. Glucose Control
1. A protocolized approach to blood glucose management in ICU patients with
severe sepsis commencing insulin dosing when 2 consecutive blood glucose
levels are >180 mg/dL. This protocolized approach should target an upper blood
glucose ≤180 mg/dL rather than an upper target blood glucose ≤ 110 mg/dL
(grade 1A).
2. Blood glucose values be monitored every 1–2 hrs until glucose values and
insulin infusion rates are stable and then every 4 hrs thereafter (grade 1C).
3. Glucose levels obtained with point-of-care testing of capillary blood be
interpreted with caution, as such measurements may not accurately estimate
arterial blood or plasma glucose values (UG).
R. Renal Replacement Therapy
1. Continuous renal replacement therapies and intermittent hemodialysis are
equivalent in patients with severe sepsis and acute renal failure (grade 2B).
2. Use continuous therapies to facilitate management of fluid balance in
hemodynamically unstable septic patients (grade 2D).
S. Bicarbonate Therapy
1. Not using sodium bicarbonate therapy for the purpose of improving
hemodynamics or reducing vasopressor requirements in patients with
hypoperfusion-induced lactic acidemia with pH ≥7.15 (grade 2B).

26
T. Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
1. Patients with severe sepsis receive daily pharmacoprophylaxis against venous
thromboembolism (VTE) (grade 1B). This should be accomplished with daily
subcutaneous low-molecular weight heparin (LMWH) (grade 1B versus twice
daily UFH, grade 2C versus three times daily UFH). If creatinine clearance is
<30 mL/min, use dalteparin (grade 1A) or another form of LMWH that has a
low degree of renal metabolism (grade 2C) or UFH (grade 1A).
2. Patients with severe sepsis be treated with a combination of pharmacologic
therapy and intermittent pneumatic compression devices whenever possible
(grade 2C).
3. Septic patients who have a contraindication for heparin use (eg,
thrombocytopenia, severe coagulopathy, active bleeding, recent intracerebral
hemorrhage) not receive pharmacoprophylaxis (grade 1B), but receive
mechanical prophylactic treatment, suchas graduated compression stockings or
intermittent compression devices (grade 2C), unless contraindicated. When the
risk decreases start pharmacoprophylaxis (grade 2C).
U. Stress Ulcer Prophylaxis
1. Stress ulcer prophylaxis using H2 blocker or proton pump inhibitor be given to
patients with severe sepsis/septic shock who have bleeding risk factors (grade
1B).
2. When stress ulcer prophylaxis is used, proton pump inhibitors rather than
H2RA (grade 2D)
3. Patients without risk factors do not receive prophylaxis (grade 2B).
V. Nutrition
1. Administer oral or enteral (if necessary) feedings, as tolerated, rather than either
complete fasting or provision of only intravenous glucose within the first 48
hours after a diagnosis of severe sepsis/septic shock (grade 2C).
2. Avoid mandatory full caloric feeding in the first week but rather suggest low
dose feeding (eg, up to 500 calories per day), advancing only as tolerated (grade
2B).
3. Use intravenous glucose and enteral nutrition rather than total parenteral
nutrition (TPN) alone or parenteral nutrition in conjunction with enteral feeding
in the first 7 days after a diagnosis of severe sepsis/septic shock (grade 2B).

27
4. Use nutrition with no specific immunomodulating supplementation rather than
nutrition providing specific immunomodulating supplementation in patients
with severe sepsis (grade 2C).
W. Setting Goals of Care
1. Discuss goals of care and prognosis with patients and families (grade 1B).
2. Incorporate goals of care into treatment and end-of-life care planning, utilizing
palliative care principles where appropriate (grade 1B).
3. Address goals of care as early as feasible, but no later than within 72 hours of
ICU admission (grade 2C).
*Reprinted from Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic
shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-637

28
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No MR : 10656
Tanggal periksa : 26 Juli 2021
Status Perkawinan : Menikah
Negeri Asal : Tanjung gadang kab. Sijunjung
Agama : Islam
Suku : Minang

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Penurunan kesadaran sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
- Luka pada kaki kanan yang dirasakan semakin nyeri sejak 1 minggu yang lalu.
Luka awalnya kecil sekitar 4 bulan yang lalu pada matakaki kaki kanan, lalu
pasien di bawa ke puskesmas dan tidak ada reaksi berkurang sama sekali,
setelah itu luka meluas sampai ke jari kaki dan menjadi kehitaman serta
bernanah, lalu pasien datang ke IGD RSUD Sijunjung 1 minggu smrs dan
pasien dirawat selama 3 hari dan disarankan untuk dilakukan amputasi namun
pasien menolak dan pasien pulang atas permintaan sendiri.
- Demam dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, demam hilang timbul, demam tidak
disertai rasa menggigil, sakit kepala, dan keringat. Kejang tidak ada. Demam
mulai berkurang sejak pulang rawatan terakhir.
- Batuk (+) dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, dahak (+) susah dikeluarkan,
riwayat minum obat paket 6 bulan (-)
- Sesak napas (-)
- Nyeri tenggorokan (+)
- Kontak dengan pasien covid 19 disangkal

29
- Penurunan nafsu makan (+) sejak 3 hari yang lalu. Tidak ada makanan yang
masuk.
- Mual ada, muntah tidak ada
- Pandangan kabur (-)
- Sakit pinggang disangkal
- Buang air kecil biasa, tidak ada keluhan
- Buang air besar biasa, tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi tidak ada
- Riwayat Diabetes Mellitus (+) sejak tahun 2006 tidak terkontrol
- Riwayat sakit ginjal tidak ada
- Riwayat sakit jantung tidak ada
- Riwayat asma (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


- Merokok tidak ada
- Alkohol (-)

A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis :
Keadaan Umum : somnolen, tampak sakit berat,
Tanda vital
Tekanan Darah : 90/p mmHg
Nadi : lemah, 70x/menit
Nafas : simetris, 22x/menit
Suhu : 37.2ºC
SpO2 : 96% dengan nasal kanul 3 lpm
Kepala :Normosefali, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Hidung : Tidak tampak deformitas
Telinga : Tidak ada kelaianan
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, caries gigi (+)
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar

30
Thoraks
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Atas : RIC II, Kanan : LSD, Kiri : 1 jari medial LMCS
RIC V
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : SNbronkovesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
- Teraba dingin, CRT < 2 detik, udem tidak ada
- Pada kaki kanan didapatkan adanya gangrene dan ulkus

Gambar 3.1 Kaki Diabetikum

31
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi(25/7/21)
Hemoglobin : 10 gr/dl
Leukosit : 22.830 /mm3
Trombosit : 248.000 /mm3
Hematokrit : 27,4 %
Eritrosit : 3,6 /mm3
Hitung jenis :
Netrofil : 91,6 %
Limfosit : 3,4 %
Monosit : 5%
Eosinofil : 0
Basofil : 0
Kesan :
- Anemia ringan
- leukositosis
- Netrofilia
- Limfopenia
- Monositosis
- leukositosis

Kimia Klinik(25/7/21)
Ur / Cr : 97 / 1,2 mg/dl
Na / K / Cl : 114 / 4,9 / 77 mmol / L
GDS : 436mg/dl
Kesan :
- Ur↑, Cr↑
- hiponatremia, hiperkalemia, hipokloridemia
- GDS↑

Pemeriksaan Urin (25/7/21)


Benda keton : negatif

32
EKG
(25/7/21)

Gambar 3.2 EKG


Intepretasi EKG :
Sinus rhytm, QRS rate 93 x/menit, Axis N, P wave 0,08”, PR interval 0,16”, QRS
complex 0,08”, ST elevasi (-), LVH (-), RVH (-)
Kesan : Sinus ritme

Rontsen Thoraks
(25/7/21)

33
Gambar 3.3 Rongsen thoraks, pedis dekstra
Diagnosis Kerja
- Syok sepsis ec gangren pedis dekstra
- Gangren pedis dekstra et ulcus pedis dekstra
- Diabetes melitus tipe II tidak terkontrol, normoweight
- Anemia ringan
- Hiponatremia
- Hiperkalemia
- Hipoklorida
- Susp.Covid 19

Diagnosis Banding
- KAD
- HHS

Tatalaksana
- O2 3 l/m
- Pasang NGT
- Diet cair 6x150 kkal/hr
- Guyur NaCl 0,9% 1000 cc dalam 1 jam
- Pasang kateter urin

34
- Cek GD post rehidrasi
- Drip criticall ill insulin
- triway NaCl 3% 12 jam / kolf (2 kolf)
- Inj meropenem 3 x 1 gr (IV)
- Inj metronidazol 3 x 500 mg (IV)
- Infus selanjutnya NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam
- Rapid antigen dan PCR
- Rawat leader bedah
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Inj. Vit.C 3x200 mg
- Vit D 1x1000 iu (po)
- Zink 1x20 mg (po)

Prognosis
- Quo Ad functionam : dubia ad malam
- Quo Ad vitam : dubia ad malam
- Quo Ad sanationam : dubia ad malam

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Taringan TJE, Ketoasidosis metabolik. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid VI;
Interna Publishing. Interna. Jakarta; 2014. p. 2377-82
2. Soewondo P, Koma Hiperosmolar hiperglikemik non ketotik. In Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid VI; Interna Publishing. Interna. Jakarta; 2014. p. 2383-7
3. Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di Indonesia.
Perkeni. Jakarta. 2019. p. 57-58
4. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012.
February 2013, Volume 39, Issue 2, pp 165–228. ISSN: 0342-4642 (Print) 1432-1238
(Online)
5. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A randomized trial
of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med 2014; 370(18):1683-1693

36

Anda mungkin juga menyukai