Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TENTANG
NAMA : ALLATIF
NISN/NIS :
KELAS : IX.4
A. Pendahuluan
Membicarakan masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik,
mengapa? Kita tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling
melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama
terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap
masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya.
Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari
kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu
Agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat
mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang
menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada
salah satu agama tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif,
timbul konflik yang mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai hukum yang efektif untuk membentuk
tatanan masyarakat yang beradab karena keberadaan agama bagi setiap individu sangat
vital. Hal ini dikarenakan agama mengajarkan atau menghubungkan makhluk
dengan kholiknya. Selain itu dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan
sebagainya yang ditujukan pada pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan
setiap Negara terhadap keadaan masyarakat yakni masyarakat yang berketuhanan atau
boleh dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Agama Islam dan Negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini
karena dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu
kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat
berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut.
Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan
belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari
pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai
landasan hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah
yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita
tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah
urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan
sarral ini, tidak dicampuri urusan dunia yang kotor. Apakah sikap mereka bisa
digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal”
dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi
masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi
muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi
warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui
(mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari
agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
B. Pembahasan
b. Paradigma Simbiotik
Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni
suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini
agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
c. Paradigma Sekularistik
Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting.
Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan
yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan,
bukan hubungan keagamaan.
Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada tiga macam responsi dalam
hubungan antara Islam dengan negara, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif
dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali
menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran
agama dengan kenegaraan. Sedangkan responsi fakultatif, jika kekuatan mereka
cukup besar di parlemen, kaum muslimin atau gerakan Islam, akan berusaha
membuat peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang
dianggap "tidak Islami".
5. Meredefinisi Hubungan Agama Dan Negara
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor
kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat
melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan
malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra
abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika
negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang
ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa
sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi.
Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga,
ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah
jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan
publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara
merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa
memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula
negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola
hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh
masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi
umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar
salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya.
“Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (QS: Al
Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat
Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak
umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa
mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam
menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan
untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima ber-argumen bahwa seperti umumnya
agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang
publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat.
Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama
dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di
wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
(http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan-
negara/)
6. Hubungan Islam Dan Negara Di Indonesia
Masalah hubungan islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang
mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan
yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum
dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang
bersifat antagonistic dan hubungan yang
bersifat akomodatif. Hubungan antagonistic merupakan sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai sebuah agama.
Sedangkan paham akomodatif, lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara
dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecendrungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993: 105). Abdul Aziz
Thaba menambahkan agama dan negara yang bersifat respirokal-kritis, yakni awal
dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan negara.
C. Daftar Pustaka