Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TENTANG

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

NAMA : ALLATIF
NISN/NIS :
KELAS : IX.4

MTs NEGERI 4 BIMA


TAHUN PELAJARAN
2020/2021
HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

A. Pendahuluan

Membicarakan masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik,
mengapa? Kita tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling
melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama
terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap
masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya.
Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari
kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu
Agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat
mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang
menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada
salah satu agama tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif,
timbul konflik yang mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai hukum yang efektif untuk membentuk
tatanan masyarakat yang beradab karena keberadaan agama bagi setiap individu sangat
vital. Hal ini dikarenakan agama mengajarkan atau menghubungkan makhluk
dengan kholiknya. Selain itu dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan
sebagainya yang ditujukan pada pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan
setiap Negara terhadap keadaan masyarakat yakni masyarakat yang berketuhanan atau
boleh dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Agama Islam dan Negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini
karena dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu
kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat
berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut.
Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan
belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari
pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai
landasan hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah
yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita
tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah
urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan
sarral ini, tidak dicampuri urusan dunia yang kotor. Apakah sikap mereka bisa
digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal”
dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi
masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi
muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi
warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui
(mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari
agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.

B. Pembahasan

1. Mengapa Manusia Perlu Beragama?


Seandainya manusia tidak beragama, apa yang akan terjadi? Tanpa agama,
apakah manusia dapat mengetahui norma-norma universal? Tanpa agama, dapatkah
manusia mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di alam supra natural?
Menurut kodratnya, manusia dalam hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang
maha dahsyat di luar dirinya. Manusia selalu merasa merasa bahwa di luar dirinya
terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan
alam sekitarnya. Pengakuan seperti ini, biasa disebut dengan beragama.
Manusia beragama karena mereka memerlukan sesuatu dari agama itu.
Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di
akhirat. Dengan agama, manusia juga bisa mendapatkan nilai-nilai moral yang
universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.

2. Mengapa Manusia Perlu Bernegara?


Bayangkan, bila suatu kelompok masyarakat tidak mempunyai negara, apa
yang akan terjadi? Bagaimana bila tidak ada wilayah, tidak ada pemerintahan, tidak
ada kepala negara? Apakah dalam kondisi seperti itu, masyarakat tadi dapat hidup
dengan teratur? Dapatkah mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka
melakukan aktivitas hidup dengan tertib?
Pada mulanya, manusia hidup sendiri-sendiri. Selanjutnya, karena tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan teman untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya itu. Oleh karena itu, mereka kemudian bergabung dengan
manusia-manusia yang lain. Karena jumlah mereka semakin banyak, maka
diperlukan pemimpin dan aturan-aturan yang disepakati.
Mereka selanjutnya juga memerlukan fasilitas-fasilitas untuk memudahkan
jalanya kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mereka membuat aturan-aturan untuk
mereka sepakati bersama dalam kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat memerlukan seseorang untuk
disegani, yang mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan tertentu bila terjadi
sesuatu atas mereka. Orang seperti ini diperlukan sebagai penengah bila
terjadikonflik diantara mereka. Dia pula selanjutnya yang menjadi pemisah sekaligus
hakim dalam persoalan-persoalan yang menyangkut orang banyak. Orang yang
berwatak seperti inilah yang kemudian mereka angkat menjadi pemimpin atau raja
atau kepala negera.

3. Agama Dan Negara


Agama dan Negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan
perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian
dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Pada hakikatnya,
negara sendiri secara umum diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama
sebagii penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar
negara pula sehingga negara sebagai menifestasi kodrat manusia secara horizontal
dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena
manusia adalah pendiri negara itu sendiri (Kaelani, 1999:91-93)

4. Relasi Agama Dan Negara


Membincang Agama dan Negara adalah sebuah pembicaraan yang cenderung
mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini bisa kita lihat bagaimana
penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi bagaimana negara dan bagaimana
agama menjadi menarik untuk diketengahkan sebagai dua perbedaan. Saya melihat
selama ini orang mendefinisikannya baik peran dan fungsi hubungan antara agama
dan negara cenderung melihat pada sisi politis. Karena itu berbagai kepentingan
sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik kepentingan antara yang
menghendaki agama sebagai dasar negara dengan kalangan politik modern yang
menolaknya.
Tapi bukan bagimana kita mempermasalahkan apakah mungkin antara agama
dapat berdampingan sesuai dengan apa yang kita bangun dan persepsikan; adil,
sejahtera dan berujung pada perdamaian. Maka menjadi sesuatu yang krusial bila kita
lihat sebab dan akibat dari konflik yang ada baik itu mempertahankan bangunan
keyakinan beragama dan bernegara. Bahkan acapkali darah menjadi hiasannya.
Hakikat Agama adalah realitas yang selalu melingkupi manusia. Muncul dari
berbagai dimensi sejarah kehidupan. Karena itu tidak muda mendefinisikannya.
Dapat dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar belakang pemikiran yang
digelutinya. Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah paradigma kajian yang
mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang tersusun dari kata
´a´ yang berati tidak dan ‘gam’ yang berati pergi. Dalam bentuk harfiah yang terpadu
kata agama berati tidak pergi, tetap ditempat, langgeng abadi yang diwariskan terus
menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya. Secara umum kata agama berarti
tidak kacau yang secara analitis kritis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi
kata: ‘a´ berati tidak dan ‘gama´ berarti kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk
agama atau beragama akan mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh
tidak akan mengalami kekacauan atau split personality. Bahkan kalau kita rujuk dari
berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang multi interpretasi.
Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung terikat pada khasanah
maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah penafsiran linier. Bahkan agama
menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai dengan konteksnya, secara
terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap ahli mengemukakan sesuai
fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang ada saya melihat agama
merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas sesuatu yang
mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya
mutlak. Juga sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dan sesama
manusia, serta hubungan antara manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan
dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang dimaksud.
Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam wilayah
kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang
berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan pengorganisasian masyarakat
yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang
menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya
suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Yang disebut sebagai kedaulatan,
yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas
diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti
organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai
tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu
dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang
mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan
dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur
bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang
Dasar.
(http://www.scribd.com/doc/41651377/Relasi-Agama-Dan-Negara-Di-Indonesia )
Para sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan
Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga
paradigma pemikiran :
a. Paradigma Intergralistik

Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted). Wilayah


agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan
keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah
pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya
diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena
pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di
Tangan Tuhan.

b. Paradigma Simbiotik

Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni
suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini
agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

c. Paradigma Sekularistik                                           

Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan


pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak
pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam
pada bentuk tertentu dari negara.

Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting.
Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan
yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan,
bukan hubungan keagamaan.

Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada tiga macam responsi dalam
hubungan antara Islam dengan negara, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif
dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali
menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran
agama dengan kenegaraan. Sedangkan responsi fakultatif, jika kekuatan mereka
cukup besar di parlemen, kaum muslimin atau gerakan Islam, akan berusaha
membuat peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang
dianggap "tidak Islami".
5. Meredefinisi Hubungan Agama Dan Negara
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor
kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat
melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan
malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra
abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika
negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang
ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa
sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi.
Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga,
ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah
jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan
publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara
merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa
memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula
negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola
hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh
masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi
umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar
salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya.
“Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (QS: Al
Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat
Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak
umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa
mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam
menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan
untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima ber-argumen bahwa seperti umumnya
agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang
publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat.
Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama
dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di
wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
(http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan-
negara/)
6. Hubungan Islam Dan Negara Di Indonesia
Masalah hubungan islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang
mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan
yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum
dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang
bersifat antagonistic dan hubungan yang
bersifat akomodatif.  Hubungan antagonistic merupakan sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai sebuah agama.
Sedangkan paham akomodatif, lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara
dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecendrungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993: 105). Abdul Aziz
Thaba menambahkan agama dan negara yang bersifat respirokal-kritis, yakni awal
dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan negara.

7. Hubungan  Agama Dan Negara Yang Bersifat Antagonistik


Eksitensi Islam politik (political islam) pada masa kemerdekaan dan sampai
pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat
mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap
keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap
gerak ideologis politik islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja
para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan islam sebagai
ideology atau agama negara (pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga
sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”.
Lebih dari itu, bahkan politik islam sering dicurigai sebagai anti ideology negara
pancasila (Bahtiar Effendy, 2001: 4).
Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini
pada awal tahun 1970-an, kecendrngan legalistik, formalistik dan simbolistik itu
masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama
pemerintahan Orde Baru. Antara lain karena alasan-alasan seperti ini, negara
memberlakukan kebijakan the politics of containment agar wacana politik Islam yang
formalistik, legalistik dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaanya, terjadi kontrol
yang berlebihan yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap kekuatan politik Islam,
terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan
menandingi eksistensi negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama
dengan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,dimana negara betul-betul
mencurigai islam sebagai kwkuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi
negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideology dalam menjalankan pemerintah.

8. Hubungan Agama Dan Negara Yang Bersifat Akomodatif


Gejala menurunya ketegangan antara islam dan negara mulai terlihat pada
pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat
islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-
kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat struktual, legislative,
infrastruktual dan cultural (Bahtiar Effendy, 2001: 35).
Kecendrungan akomodasi negara terhadap islam juga- menurut Affan Gaffar-
ditengari dengan adanya kebijakan pemerintah dalam politik umat islam sendiri (M.
Imam Aziz et.el, 1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan
kekuatan politik yang potensial, yang oleh karnanya negara lebih memilih akomodasi
terhadap islam, karena jika negara menepatkan islam sebagai outsider negara, maka
konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap
proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih
disebabkan oleh adanya kecendrungan bahwa umat islam Indonesia dinilai telah
semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan
penerimaan asas tunggal pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan negara terhadap
islam juga menjadi bagian yang penting dalam memahami hubungan agama dan
negara di masa awal 1980-an, misalnya pengesahan RUU Pendidikan Nasional,
pengesahan RUU Peradilan Agama, munculnya ICMI serta munculnya Yayasan
Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di
hampir seluruh Indonesia.

9. Hubungan Islam Dan Negara Pada Era Reformasi 


Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan
drastis dalam bernagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan
drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya
kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang
segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat
secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap
semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan
pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan
pendapat hanya sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung
berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi
kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal
semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu”
yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi
anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan
organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga
press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan
individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan
ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan
bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang
mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu
kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk
memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah
sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan
mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah
dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada
Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas?
Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya
percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi
eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat
Islam itu sendiri yakni Al-Qu’ran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah
membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang
profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat
dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang
sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola
sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam
transenden. Konsekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun
individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau
berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada
lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu
diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-
Qu’ran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu
diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara
mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian
harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah
ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan.
Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan
keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam
Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita
keadilan social.

C. Daftar Pustaka

1. Aziz, Imam M.,et,all (ed) Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta. PT. Gramedia


Pustaka Utama, 1993, cet.ke-1.
2. Ubaidillah, A.,et.all (ed) Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003
3. Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001, cet.ke-1.
4. Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1999.
5. http://www.scribd.com/doc/41651377/Relasi-Agama-Dan-Negara-Di-Indonesia
6. http://paramadina.wordpress.com/2008/04/18/meredefinisi-hubungan-agama-dan-
negara/

Anda mungkin juga menyukai