Anda di halaman 1dari 31

Nama: Muhammad Al Farisi

Nim: 170610037
Kelompok : 1

Jump 5 Learning Objective


1. Gawat Nafas pada Neonatus
2. Hiperbilirubinemia pada Neonatus
3. Kelainan Jantung pada Neonatus
4. Gangguan SSP pada Neonatus
5. Gangguan sistem metabolik, nutrisi, elektrolit, hepatobilier

Jump 7 searching information

Lo 1 Gawat Nafas pada Neonatus


1. Hyaline Membrane Disease
Respiratory distress syndrom yang idiopatik  dikenal juga sebagai Hyalin Membrane
Disease, hyaline membrane disease merupakan keadaan akut yang terutama ditemukan pada
bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi
dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram.
Respiratory Distress Syndrome  (RDS)  disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi  surfaktan terutama pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi yang kurang.

ETIOLOGI
Penyebab utama terjadinya RDN atau RDS adalah defesiensi atau kerusakan surfaktan. Faktor
penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu:
a. Premature (Usia gestasi dibawah 32 minggu)
b. Asfiksia perinatal
c. Maternal diabetes,
d. Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar.

Gangguan traktus respiratorius :


a. Hyaline membrane disease (HMD). Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi
(bayi prematur)
b. Transient tachypnoe of the newborn (TTN). Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada
bayi Caesar karena dadanya tidak mengalami kompresi oleh jalan lahir sehingga
menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.
c. Infeksi (pneumonia)
d. Sindroma aspirasi
e. Hipoplasia paru
f. Hipertensi pulmonal
g. Kelainan congenital (choanal atresia, hernia diagfragma,pieer robin sindroma)
h. Pleural effusion
i. Kelumpuhan saraf frenikus

Luar traktus respiratoris:


Kelainan jantung congenital, kelainan metabolic, darah dan SSP.
TANDA DAN GEJALA
a. Dispnoe Berat
b. Penurunan Compliance Paru
c. Pernapasan yang dangkal dan  cepat pada mulanya yang menyebabkan alkalosis
respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak terbang.
d. Peningkatan kecepatan penapasan
e. Nafasnya pendek dan ketika menghembuskan nafas terdengar suara ngorok
f. Kulit kehitaman akibat hipoksia
g. Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas
h. Napas cuping hidung
i. Takipnea ( > 60x/mnt)

PATOFISIOLOGI
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang
disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel
pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum
pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah
merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan
sisa udara fungsional pada sisa akhir ekspirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.

Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :


Oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anerobik dengan penimbunan
asam laktat dan asam organic lain yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolic.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolarisyang akan menyebabkan terjadinya
transudasi kedalam alveoli dan terbentuknya fibrin, selanjutnya fibrin dan jaringan epitel yang
nekrotik membentuk suatu lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya sirkulasi  jantung, penurunan
aliran darah keparu dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis. Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia
pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti
hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :

Atelektasis → hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah paru →


hambatan pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung terus sampai
terjadi penyembuhan atau kematian.

KOMPLIKASI
a. Pneumothorax
b. Pneumodiastinum
c. Pulmonary intertistitial dysplasia
d. Broncho pulmonary dysplasia (BPD)
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi
e. Patent ductus arterious (PDA)
PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya
f. Hipotensi
g. Asidosis
h. Kejang
i. Intraventricular hemorraghe
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik
j. Retinopathy pada premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi
k. Infeksi sekunder
Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan
jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Foto rontgen
menunjukan adanya atelektasis
b. Analisa gas darah
analisis gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg
c. Imatur lecithin/ sphingomyelin (L/S)
lesitin/spingomielin rasio 2:1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur
d. pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah (untuk mengetahui hipoglikemia).
e. Kalsium serum (untuk mementukan hipokalsemia)

PENATALAKSANAAN
tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi
tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
− Pantau selalu tanda vital
− Jaga patensi jalan nafas
− Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
− Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
− Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
d. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan
penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen
lanjut.

Gangguan Nafas Sedang
− Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
− Bayi jangan diberi minum
− Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
− Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai
ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika
untuk terapi kemungkinan besar seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut
diatas.
− Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
− Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis
− Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang
pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara pemberian minum
− Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak
kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di
Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
 
Gangguan nafas ringan
− Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
− Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya.
Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
− Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
− Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan
pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
 
Penatalaksanaan Medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
− Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
− Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
− Fenobarbital
− Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
− Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian
dari pemakaian ventilasi mekanik.

2. Sindrom Aspirasi Mekonium

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah kumpulan gejala yang diakibatkan oleh
terhisapnya mekonium kedalam saluran pernafasan bayi. Sindroma Aspirasi Mekoniuim
terjadi jika janin menghirup mekonium yang tercampur dengan cairan ketuban, baik ketika
bayi masih berada di dalam rahim maupun sesaat setelah dilahirkan.  Mekonium adalah tinja
janin yang pertama. Merupakan bahan yang kental, lengket dan berwarna hitam kehijauan,
mulai bisa terlihat pada kehamilan 34 minggu.
Pada bayi prematur yang memiliki sedikit cairan ketuban, sindroma ini sangat parah.
Mekonium yang  Terhirup lebih kental sehingga penyumbatan saluran udara lebih berat.

ETIOLOGI
Aspirasi mekonium terjadi jika janin mengalami stres selama proses persalinan
berlangsung. Bayi seringkali merupakan bayi post-matur (lebih dari 40 minggu). Selama
persalinan berlangsung, bayi bisa mengalami kekurangan oksigen. Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya gerakan usus dan pengenduran otot anus, sehingga mekonium dikeluarkan ke
dalam cairan ketuban yang mengelilingi bayi di dalam rahim. Cairan ketuban dan mekoniuim
becampur membentuk cairan berwarna hijau dengan kekental yang bervariasi. Jika selama
masih berada di dalam rahim janin bernafas atau jika bayi menghirup nafasnya yang pertama,
maka campuran air ketuban dan mekonium bisa terhirup ke dalam paru-paru.
Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada
saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan pertukaran udara di
paru-paru. Selain itu, mekonium juga menyebabkan iritasi dan peradangan pada saluran
udara, menyebabkan suatu pneumonia kimiawi.
Cairan ketuban yang berwarna kehijauan disertai kemungkinan terhirupnya cairan ini
terjadi pada 5-10% kelahiran. Sekitar sepertiga bayi yang menderita sindroma ini memerlukan
bantuan alat pernafasan. 
Aspirasi mekonium merupakan penyebab utama dari penyakit yang berat dan
kematian pada bayi baru lahir.
Faktor resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium:
 Kehamilan post-matur
 Pre-eklamsi
 Ibu yang menderita diabetes
 Ibu yang menderita hipertensi
 Persalinan yang sulit
 Gawat janin
 Hipoksia intra-uterin (kekurangan oksigen ketika bayi masih berada dalam rahim).

PATOFISOLOGI
SAM seringkali dihubungkan dengan suatu keadaan yang kita sebut fetal distress. Pada
keadaan ini, janin yang mengalami distres akan menderita hipoksia (kurangnya oksigen di
dalam jaringan). Hipoksia jaringan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas usus disertai
dengan melemasnya spinkter anal. Maka lepaslah mekonium ke dalam cairan amnion. Apa
yang terjadi bila mekonium terhisap ke dalam saluran pernafasan? Mekonium tersebut akan
menyumbat (sebagian ataupun seluruh) saluran pernafasan bayi dimana dalam hal ini akan
menjadi berbahaya jika tidak segera ditangani.

GEJALA DAN TANDA


Gejalanya berupa:
 Cairan ketuban yang berwarna kehijauan atau jelas terlihat adanya mekonium di dalam
cairan ketuban
 Kulit bayi tampak kehijauan (terjadi jika mekonium telah dikeluarkan lama sebelum
persalinan)
 Ketika lahir, bayi tampak lemas/lemah
 Kulit bayi tampak kebiruan (sianosis)
 Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
 Apneu (henti nafas)
 Tampak tanda-tanda post-maturitas

KOMPLIKASI
1. Displasia bronkopulmoner
2. Pneumotoraks
3. Aspirasi pnemonia
Bayi yang menderita SAM berat mempunyai kemungkin lebih besar untuk menderita
mengi (wheezing) dan infeksi paru dalam tahun pertama kehidupannya. Tapi sejalan dengan
perkembangan usia, ia bisa meregenerasi jaringan paru baru. Dengan demikian, prognosis
jangka panjang tetap baik.
Bayi yang menderita SAM sangat berat mungkin akan menderita penyakit paru kronik,
bahkan mungkin juga menderita abnormalitas perkembangan dan juga ketulian. Pada kasus
yang jarang terjadi, SAM dapat menimbulkan kematian

PENGOBATAN
Setelah kepala bayi lahir, dilakukan pengisapan lendir dari mulut bayi. Jika
mekoniumnya kental dan terjadi gawat janin, dimasukkan sebuah selang ke dalam trakeabayi
dan dilakukan pengisapan lendir. Prosedur ini dilakukan secara berulang sampai di dalam
lendir bayi tidak lagi terdapat mekonium.  Jika tidak ada tanda-tanda gawat janin dan bayinya
aktif serta kulitnya berwarna kehijauan, beberapa ahli menganjurkan untuk tidak melakukan
pengisapan trakea yang terlalu dalam karena khawatir akan terjadipneumonia aspirasi.
Jika mekoniumnya agak kental, kadang digunakan larutan garam untuk mencuci
saluran udara. Setelah lahir, bayi dimonitor secara ketat. Pengobatan lainnya adalah:
 Fisioterapi dada (menepuk-nepuk dada)
 Antibiotik (untuk mengatasi infeksi)
 Menempatkan bayi di ruang yang hangat (untuk menjaga suhu tubuh)
 Ventilasi mekanik (untuk menjaga agar paru-paru tetap mengembang).
Gangguan pernafasan biasanya akan membaik dalam waktu 2-4 hari, meskipun
takipneu bisa menetap selama beberapa hari. Hipoksia intra-uterin atau hipoksia akibat
komplikasi aspirasi mekonium bisa menyebabkan kerusakan otak. Aspirasi mekonium jarang
menyebabkan kerusakan paru-paru yang permananen

PENATALAKSANAAN
Tergantung pada berat ringannya keadaan bayi, mungkin saja bayi akan dikirim ke unit
perawatan intensif neonatal (neonatal intensive care unit [NICU]). Tata laksana yang dilakukan
biasanya meliputi :
1. Umum
Jaga agar bayi tetap merasa hangat dan nyaman, dan berikoksigen.
2. Farmakoterapi
Obat yang diberikan, antara lain antibiotika. Antibiotika diberikan untuk mencegah
terjadinya komplikasi berupa infeksi ventilasi mekanik.
3. Fisioterapi
Yang dilakukan adalah fisioterapi dada. Dilakukan penepukan pada dada dengan maksud
untuk melepaskan lendir yang kental.

Pada SAM berat dapat juga dilakukan:


 Pemberian terapi surfaktan.
 Pemakaian ventilator khusus untuk memasukkan udara beroksigen tinggi ke dalam paru
bayi.
 Penambahan nitrit oksida (nitric oxide) ke dalam oksigen yang terdapat di dalam
ventilator. Penambahan ini berguna untuk melebarkan pembuluh darah sehingga lebih
banyak darah dan oksigen yang sampai ke paru bayi. Bila salah satu atau kombinasi dari ke
tiga terapi tersebut tidak berhasil, patut dipertimbangkan untuk menggunakan extra
corporeal membrane oxygenation (ECMO). Pada terapi ini, jantung dan paru buatan akan
mengambil alih sementara aliran darah dalam tubuh bayi. Sayangnya, alat ini memang
cukup langka
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Rontgen dada untuk menemukan adanya atelektasis, peningkatan diameter antero posterior,
hiperinflation, flatened diaphragm akibat obstruksi dan terdapatnya pneumothorax 
( gambaran infiltrat kasar dan iregular pada paru )
 Analisa gas darah untuk mengidentifikasi acidosis metabolik atau respiratorik dengan
penurunan PO2 dan peningkatan tingkat PCO2

2. Hiperbilirubinemia pada neonatus

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemu- kan
pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebab- kan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiper- bilirubinemia tampak
kuning akibat aku- mulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit.
Pada janin, tugas mengeluarkan biliru- bin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan bukan
oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang memerlukan sampai
beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk
menge- luarkan bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih
menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang
berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya.

HIPERBILIRUBINEMIA DAN IKTERUS


Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah
>5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan
non-fisiologik.

Ikterus fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang diberi susu formula,
kadar bilirubin akan men- capai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1
mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih
lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang
bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi peningkatan kadar bilirubun dengan kadar
puncak yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila
tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih
dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin.
Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara berurut
50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari
berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan
kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
pening- katan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin

Metabolisme bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi
yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan
35 mg bilirubin indirek, yaitu bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.
Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin ditransfer melalui
membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat
pada ligandin, serta sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentra- si dan afinitas albumin plasma dan
ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan
diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat bilirubin sedangkan
albumin tidak.

Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme
heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin
terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon
monoksi- da. Besi dapat digunakan kembali, sedang- kan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir
tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidro- gen intramolekul).
Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila
terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak ter- konjugasi dengan albumin baik oleh faktor
endogen maupun eksogen (misalnya obat- obatan), bilirubin yang bebas dapat me- lewati
membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas.
Gejala klinis pada hiperbillirubinemia
Sebagian besar kasus hiperbilirubin- emia tidak berbahaya, tetapi kadang- kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis
yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus,
mata ter- putar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek
jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak
dapat digerakkan ke atas.

DIAGNOSIS
Visual
M
etode visual memiliki angka ke- salahan yang cukup tinggi, namun masih dapat
digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit di- terapkan pada
neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun bila ter- dapat keterbatasan alat masih boleh
diguna- kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera dirujuk untuk
diagnosis dan tata laksana lebih lanjut.

Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencaha- yaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan
bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasar- kan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO


Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena itu, ensefalopati
bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas, antara lain
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasar- kan kecepatan reaksi
oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna.
Dengan pen- dekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Pemecahan heme menghasilkan biliru- bin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen.
Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan seba- gai indeks produksi bilirubin.

Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk jaundice, kolestasis,
anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan hipotiroid.

Tatalaksana
Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi
pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin
dengan mengeluar- kannya melalui urin sehingga dapat menu- runkan kerja siklus
enterohepatika

3. Kelainan Kardiovaskuler pada Neonatus


PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital merupakan
abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada semasa kelahiran. Malformasi
kardiovaskuler kongenital tersebut berasal dari kegagalan perkembangan struktur jantung
pada fase awal perkembangan janin.

EPIDEMIOLOGI

Telah disebutkan bahwa penyakit jantung bawaan terjadi sekitar 1% dari keseluruhan bayi
lahir hidup atau sekitar 6-8 per 1000 kelahiran. Terdapat hal menarik dari PJB yakni insidens
penyakit jantung bawaan di seluruh dunia adalah kira-kira sama serta menetap dari waktu-waktu.

Meski demikian pada negara sedang berkembang yang fasilitas kemampuan untuk
menetapkan diagnosis spesifiknya masih kurang mengakibatkan banyak neonatus dan bayi muda
dengan PJB berat telah meninggal sebelum diperiksa ke dokter.

Oleh sebab itu insidens penyakit jantung bawaan sebaiknya dapat terus diturunkan dengan
mengutamakan peningkatan penanganan dini pada penyakit jantung bawaan tetapi juga tidak
mengesampingkan penyakit penyerta yang mungkin diderita. Hal ini ditujukan untuk mengurangi
angka mortalitas dan morbisitas pada anak dengan PJB.

Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa
sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak ditandai dengan sianosis.

Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian terbesar dari seluruh penyakit jantung
bawaan Bergantung pada ada tidaknya pirau (kelainan berupa lubang pada sekat pembatas antar
jantung), kelompok ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. PJB asianotik dengan pirau


Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau (shunt) dari satu
sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri
lebih tinggi disbanding sisi kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke
kanan.
Akibatnya, aliran darah paru berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila
pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka

Yang termasuk PJB asianotik dengan aliran pirau dari kiri kanan ialah:

 Atrial Septal Defect (ASD) Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah
kelainan akibat adanya lubang pada septum intersisial yang memisahkan antrium kiri
dan kanan.
 Ventricular Septal Defect (VSD) Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect
(VSD) merupakan kelainan berupa lubang atau celah pada septum di antara rongga
ventrikal akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel.
 Patent Ductus Arteriousus (PDA) Patent Ductus Arteriousus (PDA) atau duktus arteriosus
persisten adalah duktus arteriosus yang tetap membuka setelah bayi lahir.

2. PJB asianotik tanpa pirau


Penyakit jantung bawaan jenis ini tidak ditemukan adanya defek yang menimbulkan
hubungan abnormal antara ruang jantung. Kelainan dapat berupa penyempitan
(stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian tertentu jantung, yakni katup atau
salah satu bagian pembuluh darah diluar jantung yang dapat menimbulkan gangguan
aliran darah dan membebani otot jantung.

Jenis PJB tanpa pirau antara lain :

 Stenosis pulmonal

stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk menunjukkan adanya obstruksi pada
jalan keluar ventrikel kanan atau a. pulmonalis dan 14 cabang-cabangnya.
Kelainan ini dibagi menjadi 3 tipe yaitu valvar, subvalvar, dan supravalvar. Terapi yang
dianjurkan pada kasus sedang hingga berat ialah valvuloplasti balon transkateter. Prosedur
ini sekarang dilakukan oleh bayi kecil, sehingga dapat menghindari pembedahan neonates
yang berisiko tinggi.
 Stenosis aorta
Pada kelainan ini dapat ditemui katup aorta hanya memilki dua daun yang
seharusnya tiga, atau memiliki bentuk abnormal seperti corong.
Dalam jangka waktu tertentu lubang atau pembukaan katup tersebut sering
menjadi kaku dan menyempit karena terkumpulnya endapan kalsium.
 Koarktasio aorta
Koarktasio aorta meupakan kelainan jantung non sianotik yang paling banyak
menyebabkan gagal jantung pada bayi-bayi di minggu pertama setelah kelahirannya.
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOTIK

Penyakit jantung bawaan sianotik merupakan kelainan struktur dan fungsi jantung sehingga
mengakibatkan seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen
kembali eredar ke sirkulasi sistemik dan menimbulkan gejala sianosis.
Sianosis yang dimaksud yakni sianosis sentral yang merupakan warna kebiruan pada mukosa
akibat konsentrasi hemoglobin tereduksi >5g/dl dalam sirkulasi.
Berdasarkan dari gambaran foto dada PJB sianotik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang

a. Tetralogi Fallot (TF)


Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang banyak
ditemukan yakni berkisar 7-10% dari seluruh penyakit jantung bawaan. Tetralogi Fallot
merupakan kelainan yang terdiri dari kombinasi 4 komponen uakni defek septum
ventrikel, over-riding aorta, stenosis pulmonal, serta hipertensi ventrikel kanan.
Bayi-bayi dengan tetralogi berat memerlukan pengobatan medik dan intervensi
bedah pada masa neonatus. Terapi ditujukan segera pada pemberian segera
penambahan aliran darah pulmonal untuk mencegah sekuele hipoksia berat. Pemberian
PGE1 dapat menyebabkan dilatasi duktus arteriousus dan memberi aliran darah
pulmonal yang cukup sampai prosedur bedah dapat dilakukan.

b. Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal merupakan kelainan jantung kongenital sianostik yang sangat
jarang ditemukan. Atresia pulmonal disebabkan oleh gagalnya proses pertumbuhan
katup pulmonal, sehingga tidak terdapat hubungan antara ventrikel kanan dengan arteri
pulmonal.
Kelainan ini dapat terjadi dengan septum ventrikel yang masih intak atau disertai
dengan defek pada septum ventrikel. Insiden atresia pulmonal dengan septum yang
masih intak atau utuh sekitar 0,7-3,1% dari keseluruhan kasus PJB.

Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah

a. Transposisi Arteri Besar


Transposisi arteri besar merupakan kelainan jantung yang paling banyak pada neonatus.
Insiden kelainan ini sekitar 25% dari seluruh kelainan jantung bawaan sianotik atau 5-10%
dari kselutuhan penyakit jantung bawaan dan kelainan ini ditemukan lebih banyak paada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Pada kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis, yakni aorta keluar
dari ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar dari ventrikel kiri. Dengan demikian
maka kedua sirkulasi sistemik dan paru tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat
berlangsung apabila ada komunikasi antara dua sirkulasi ini.

4. Gangguan SSP pada Neonatus

GANGGUAN SSP
A. ENSEFALOPATI ISKEMIK HIPOKSIK (HIE)
Hipoksia : kekurangan oksigen parsial atau lengkap dalam jaringan
Iskemia : penurunan atau penghentian aliran darah ke jaringan
Asfiksia : keadaan gagal berlangsungnya pernafasan secara spontan & teratur segera
setelah lahir pd Bayi Baru Lahir

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) merupakan salah satu penyebab utama


disabilitas dan kematian pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Neonatal HIE adalah
sindrom klinis dengan gangguan fungsi neurologis pada awal kehidupan neonatus yang
lahir pada atau lebih dari 35 minggu gestasi, dengan manifestasi penurunan kesadaran
atau kejang, sering disertai gangguan untuk memulai dan menjaga pernapasan, dan
depresi tonus otot dan refleks. HIE juga merupakan penyebab penting kerusakan otak
pada bayi baru lahir dengan konsekuensi jangka panjang yang buruk.

 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Patofisiologi cedera otak karena cedera hipoksik-iskemik dapat disederhanakan menjadi
dua fase patologis berupa cedera otak dalam beberapa minggu disebut fase kegagalan
energi primer dan fase kegagalan energi sekunder, yaitu gangguan perkembangan saraf
dalam beberapa bulan atau tahun, serta periode laten di antara dua fase tersebut. Fase
kegagalan energi primer ditandai dengan penurunan aliran darah otak yang menyebabkan
penurunan transpor oksigen dan substrat lain ke jaringan otak. Kejadian ini menyebabkan
metabolisme anaerob, peningkatan asam laktat, penurunan ATP, penurunan transpor
transeluler, serta peningkatan kadar natrium, air, dan kalsium intrasel. Proses tersebut
berakhir pada kematian sel dan nekrosis. Setelah fase kegagalan energi primer,
metabolisme serebral kembali pulih karena reperfusi dan reoksigenasi, namun berlanjut
ke fase kegagalan energi sekunder yang berakibat apoptosis sel dan hasil akhir yang lebih
buruk. Saat onset dan resolusi fase kegagalan energi primer pada bayi dengan HIE tidak
selalu diketahui pasti. Fase laten yang berada di antara fase kegagalan energi primer dan
fase kegagalan energi sekunder merupakan saat optimal untuk memulai terapi agar
mengurangi cedera otak, karena terhindar dari fase kegagalan energi sekunder. Penyebab
cedera hipoksik, yaitu asfiksia intrauterin atau postnatal. Asfiksia intrauterin terjadi jika
pertukaran udara dan aliran darah plasenta terganggu. Gangguan tersebut disebabkan
faktor janin, perfusi plasenta yang tidak adekuat, gangguan oksigenasi maternal,
terputusnya sirkulasi umbilikal. Sedangkan asfiksia postnatal bisa disebabkan penyakit
membran hialin, pneumonia, aspirasi mekonium, penyakit jantung kongenital. Hal ini
menyebabkan depresi perinatal yang berlanjut pada berkurangnya pertukaran oksigen
dan karbondioksida dan timbulnya asidosis laktat berat. Jika episode hipoksik- iskemik ini
cukup parah untuk merusak otak, maka akan terjadi kondisi hypoxic-ischemic
encephalopathy dalam 12-36 jam.

 FAKTOR RESIKO
- Kondisi antepatrum (faktor maternal): preeklampsia/ eklampsia, diabetes, hipertensi
dlm kehamilan, penyakit jantung, infeksi
- Kondisi obstetrik: solusio plasenta, plasenta previa, prolaps tali pusat, PJT, KPD,
Polihidramnion, Gemeli
- Kondisi intrapartum: presentasi abnormal, distosia, kehamilan postmatur, partuss
presipitatus
- Kondisi postpartum (faktor neonatus): kelahiran kurang bulan, RDS, MAS, Sepsis,
Pneumonia, penyakit hemolitik, kelainan jantung/ paru.

 Tingkat HIE
- HIE tingkat 1:
 Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan, jitteriness
 Pemberian minum buruk
 Tonus otot meningkat, refleks tendon berlebihan
 Eksitasi simpatik (peningkatan denyut jantung, pupil dilatasi)
 Aktivitas kejang
 (-) Gejala hilang dalam 24 jam
- HIE tingkat 2:
 Letargi
 Pemberian minum buruk
 Hipotonia
 Denyut jantung menurun, konstriksi pupil
 50 - 70% bayi mengalami kejang, 24 jam setelah kelahiran

- HIE tingkat 3:
 Abnormalitas neurologis terus berlanjut
 Koma
 Flasiditas
 Tidak ada refleks
 Pupil diam, sedikit reaktif
 Apnea, bradikardia, hipotensi
 Kejang (+)

 Pemeriksaan penunjang
1. EEG
Dapat memprediksi keadaan klinis termasuk kemungkinan untuk hidup dan sekuele
neurologis jangka panjang, seperti kuadriplegia spastik atau diplegia.

2. USG
Penggunaan USG (ultrasonography) menguntungkan karena nyaman, tidak invasif,
murah, dan tanpa paparan radiasi pada neonatus yang hemodinamis tidak stabil. Selain
itu, USG Doppler kranial dapat menilai resistive index (RI), yang memberikan informasi
perfusi otak. Peningkatan nilai RI menunjukkan prognosis buruk

3. CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling kurang sensitif untuk menilai HIE karena
tingginya kandungan air pada otak neonatus dan tingginya kandungan protein cairan
serebrospinal mengakibatkan buruknya resolusi kontras parenkim. Selain itu, paparan
radiasinya tinggi. Namun, CT-scan dapat menscreen perdarahan pada neonatus sakit
tanpa sedasi.

4. MRI
Merupakan pencitraan yang paling sensitif dan spesifik untuk bayi yang diduga cedera
otak hipoksik-iskemik. Lokasi, distribusi, dan derajat keparahan lesi hipoksik iskemik dapat
dideteksi oleh MRI (magnetic resonance imaging) dan berhubungan dengan hasil akhir.
MRI pada hari-hari pertama kehidupan juga dapat berguna untuk prognosis dan
membantu pengambilan keputusan seperti terminasi kehidupan. MRI juga dapat
menyingkirkan penyebab ensefalopati lain, seperti perdarahan, infark serebral,
neoplasma, dan malformasi kongenital.

 Tatalaksana
- Pencegahan tatalaksana terbaik
- Mempertahankan oksigenasi, keseimbangan asam-basa, ventilasi mekanik jika perlu
- Memantau & mempertahankan suhu tubuh Mempertahankan keseimbangan
elektrolit
- Mengkoreksi hipovolemia
- Menghindari kelebihan cairan
- Mengobati kejang: fenobarbital, fenitoin.

 Prognosis
HIE berkisar antara kesembuhan total hingga kematian, berkorelasi dengan saat dan
lamanya cedera, derajat keparahan cedera, dan manajemen terapi. Bayi dengan pH awal
darah tali pusat <6,7 memiliki 90% risiko kematian atau gangguan perkembangan
neurologis berat di usia 18 bulan. Skor APGAR 0-3 pada 5 menit, defisit basa tinggi (>20-25
mmol/L), postur deserebrasi, lesi basal ganglia-thalamus berat, HIE berat hingga usia 72
jam, dan kurangnya aktivitas spontan, meningkatkan risiko kecacatan dan kematian.

B. KEJANG PADA NEONATUS


- Perubahan paroksimal dari fungsi neurologik (perilaku, sensorik, motorik, fungsi
autonom sistem saraf) yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari
- Keadaan emergency, tanda bahaya :
 hipoksia otak
 mengakibatkan sekuele di kemudian hari
 tanda/gejala dari 1 masalah atau lebih
- Sulit mengenal bangkitan kejang pada BBL  kejadian sesungguhnya tidak diketahui
- 70 – 80% BBL secara klinis tidak tampak kejang  elektrografik mengalami kejang.

 Etiologi
Penyebab kejang pada BBL :
- Kelainan SSP primer (proses intrakranial): meningitis, cerebrovascular accident,
encephalitis, perdarahan intrkranial, tumor
- Sekunder : masalah sistemik atau metabolik (iskemik-hipoksik, hipokalsemia,
hipoglikemia, hiponatremia)

Penyebab kejang pada BBL berdasarkan berbagai penelitian:


- Enselofalopati Iskemik Hipoksik
- Perdarahan intrakranial
- Meningitis
- Hipoglikemi
- Hipokalsemi
- Kelainan kongenital otak
- Hipertensi
- Kernikterus
- Kelainan metabolik bawaan
- Infark serebral
- Putus obat ibu

 Epidemiologi
AS: 0,8-1,2 setiap 1000 BBL pertahun
1-5% bayi pada bulan pertama mengalami kejang
Insidensi: meningkat pada bayi kurang bulan

 Manifestasi klinis
Bervariasi,  sering sulit membedakan dengan gerakan normal bayi.
- Kejang lokal
- Kejang klonik
- Kejang primitif subkortikal: apnea, gerakan mengunyah, gerakan mata abnormal,
perubahan tonus otot periodik.

 Diagnosis
- Anamnesis Faktor risiko : Riwayat kejang dalam keluarga
- Riwayat kehamilan/prenatal (TORCH, preeklamsia, gawat janin, pemakaian obat
gol.narkotika.
- Riwayat persalinan (asfiksia,trauma persalinan, KPD, anestesi lokal/blok).
- Riwayat paskanatal (infeksi BBL, perawatan tali pusat, infeksi tali pusat).

 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksan laboratorium
- KGD, elektrolit, amonia/BUN, laktat
- Darah rutin
- Analisa gas darah
- Analisa cairan serebrospinal
- Septic work up : kultur & uji kepekaan kuman
- Kadar bilirubin totsl/direk dan indirek

2. Elektro Ensefalografi (EEG)


3. Pencitraan: USG kepala, CT-scan cranium, MRI

 Tatalaksana
1. Tatalaksana awal kejang : Pengawasan jalan nafas bersih & terbuka, pemberian
oksigen
2. 2. Pasang jalur IV  cairan dosis rumatan
3. Bila KGD < 45mg/dL  tangani hipoglikemia
4. Medikamentosa:
o Fenobarbital: - Dosis awal: 20 – 40 mg/KgBB/IV
- Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
- Dosis rumatan : 3 – 5 mg/KgBB dibagi dalam 2 dosis.
o Fenitoin : bila bayi tidak respons adekuat dengan pemberian fenobarbital
- Dosis awal : 15 – 20 mg/KgBB/IV
- Awasi gejala bradikardia, aritmia, hipotensi selama pemberian - Dosis
rumatan : 5 – 8 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis
o Lorazepam : bila bayi tidak respons terhadap pemberian fenobarbital dan
fenitoin secara berurutan
- Dosis efektif : 0.05 – 0.10 mg/KgBB/IV  dimulai dengan 0.05 mg/KgBB
pelan dalam beberapa menit
- Awasi depresi pernafasan dan hipotensi.

Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL

1. Apnu Termasuk gejala kejang : Disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan
tidak disertai bradikardi

2. Jitterness
- Normal
- Bedakan dengan kejang
- Bentuk gerakan: tremor simetris dengan fekuensi cepat  5 – 6 kali per menit

Akibat sensitifitas thd stimulus merasa jika anggota gerak ditahan.


5. Gangguan sistem metabolik, nutrisi, elektrolit, hepatobilier

 HIPOTERMIA
a. Pengertian

Hipotermia adalah suatu keadaan ketika bayi diletakkan di lingkungan yang lebih
dingin dari suhu lingkungan netralnya, dan ketika bayi menggigil dapat meningkatkan
penggunaan oksigen dan penggunaan glukosa untuk proses fisiologis (Ladewig, 2006)
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas untuk
menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas karena pengaruh
dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti kondisi fisik (Lestari, 2010).

b. Klasifikasi Hipotermia
1) Hipotermia ringan, suhu <36,5oC

2) Hipotermia sedang, suhu antara 32oC-36oC

3) Hipotermia berat, suhu kurang dari 32oC

c. Gejala dan tanda hipotermia


1) Gejala hipotermia bayi baru lahir:

Bayi tidak mau menetek, bayi lesu, tubuh bayi teraba dingin, denyut jantung bayi
menurun dan kulit tubuh bayi mengeras.
2) Tanda-tanda hipotermia:
a) Hipotermia sedang: Aktivitas berkurang, tangisan melemah, kulit berwarna
tidak rata (cutis marmorata), kemampuan menghisap lemah dan kaki teraba
dingin.
b) Hipotermia berat: sama dengan hipotermia sedang, bibir dan kuku kebiruan,
pernafasan tidak teratur, bunyi jantung lambat, selanjutnya timbul hipoglikemi
dan asidosis metabolik.
d. Faktor penyebab

Penyebab utama terjadinya hipotermia, karena kurangnya pengetahuan tentang


mekanisme kehilangan panas dari tubuh bayi dan pentingnya mengeringkan bayi
secepat mungkin. Dan resiko untuk terjadinya hipotermia dikarenakan perawatan
yang kurang tepat setelah bayi lahir, bayi dipisahkan dari ibunya segera setelah lahir,
berat badan bayi yang kurang dan memandikan bayi segera setelah lahir.
Dan faktor pencetus terhadap timbulnya hipotermia adalah faktor lingkungan,
syok, infeksi, KEP (Kekurangan Energi Protein), gangguan endokrin metabolik,
cuaca, dan obat-obatan (Wiwik, 2010).

e. Mekanisme kehilangan panas

Bayi baru lahir tidak dapat mengatur suhu tubuhnya, dan dapat dengan cepat
kehilangan panas apabila tidak segera dicegah. Bayi yang mengalami hipotermia
beresiko mengalami kematian. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir
terjadi melalui:
1) Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi pada saat bayi ditempatkan dekat
benda yang mempunyai temperatur tubuh lebih rendah dari temperatur tubuh
bayi, contohnya bayi ditempatkan dekat jendela yang terbuka
2) Konduksi adalah kehilangan panas melalui kontak langsung antara tubuh bayi
dengan permukaan yang dingin, contohnya bayi diletakkan di atas timbangan
atau tempat tidur bayi tanpa alas
3) Konveksi adalah kehilangan panas yang terjadi pada bayi saat bayi terpapar
dengan udara sekitar yang lebih dingin, contohnya angin dari kipas angin,
penyejuk ruangan tempat bersalin

4) Evaporasi adalah kehilangan panas karena menguapnya cairan ketuban pada


permukaan tubuh setelah bayi lahir karena tubuh tidak segera dikeringkan.

f. Suhu tubuh

Besaran yang menyatakan ukuran derajat panas atau dingin suatu benda. Untuk
menentukan suhu tidak dapat menggunakan panca indera (perabaan tangan), maka
diperlukan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengukur suhu adalah termometer.
Termometer dibuat berdasarkan prinsip perubahan volume. Termometer yang berisi
air raksa disebut termometer raksa, dan termometer yang berisi alkohol disebut
termometer alkohol. (Lestari, 2010).
Suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus. Hipotalmus berusaha agar suhu
tetap hangat (36,5-37,5oC) meskipun lingkungan luar tubuh berubah-ubah.
Hipotalamus mengatur suhu dengan menyeimbangkan produksi panas pada otot dan
hati, kemudian menyalurkan panas pada kulit dan paru-paru. Sistem kekebalan tubuh
akan merespon apabila terjadi infeksi dengan melepaskan zat kimia dalam aliran
darah, dan merangsang hipotalamus untuk menaikan suhu tubuh dan menambah
jumlah sel darah putih yang berguna dalam melawan kuman (Lestari, 2010).

g. Keseimbangan panas

Pengaturan temperatur/ regulasi adalah suatu pengukuran secara komplek dari


suatu proses dari kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan secara
konstan. Suhu tubuh bayi merupakan tolok ukur kebutuhan akan tempat tidur yang
hangat sampai suhu tubuhnya sudah stabil, dan suhu tubuh bayi harus dicatat
(Sarwono, 2002, p.755). Manusia secara fisiologis digolongkan dalam makhluk
berdarah panas/ homotermal suhu lingkungan berubah. Hal ini karena ada interaksi
secara berantai kedua proses ini aktivitasnya diatur oleh susunan saraf pusat yaitu
hipotalamus.

h. Penatalaksanaan Hipotermia pada bayi baru lahir:

Untuk mengatasi bayi yang mengalami hipotermia adalah dengan


membersihkan cairan yang menempel pada tubuh bayi seperti daran dan air ketuban,
membungkus bayi dengan selimut yang telah dihangatkan dan meletakkannya di
dalam inkubator, kemudian pindahkan bayi menempel pada dada ibu, atau sering
disebut sebagai metode kanguru (Ladewig, 2006).
Apabila kondisi ibu tidak memungkinkan, karena ibu masih lemas pasca
bersalin, segera keringkan bayi dan membungkus bayi dengan kain yang hangat,
meletakkan bayi dekat dengan ibu, dan memastikan ruangan bayi cukup hangat
(Wiwik, 2010)

i. Cara mempertahankan kehangatan pada bayi

Berikut adalah cara mempertahankan kehangatan tubuh bayi (Yaniedu, 2011)


1) Mengeringkan bayi dengan seksama, selimuti tubuh bayi, dan tutup kepala
bayi
2) Menganjurkan ibu untuk memeluk bayi dan menyusui bayi
3) Sebaiknya menimbang bayi, apabila sudah mengenakan baju, dan menunda
memandikan bayi 6 jam pasca lahir
4) Menempatkan bayi di ruangan yang bersih dan hangat
j. Cara mengukur suhu tubuh

Cara mengukur suhu tubuh bayi pada aksila, adalah sebagai berikut (Lestari, 2010)
1) Gunakan termometer yang dapat mengukur suhu sampai 32oC
2) Menggunakan termometer yang bersih
3) Mengupayakan bayi tetap hangat selama pengukuran dilaksanakan dengan
menyelimuti bayi dan meletakkannya diatas permukaan yang hangat
4) Meletakkan bayi dalam posisi terlentang
5) Turunkan suhu termometer sebelum digunakan, sampai angka di bawah 35oC
6) Meletakkam ujung termometer pada apeks aksila (ketiak) dan rapatkan lengan
ke badan bayi atau silangkan lengan didepan dada selama minimal 3 menit,
atau pada anus bayi dan ukur selama 1 menit.
7) Melepaskan termometer dan mambaca hasil suhu

Setelah selesai basuh termometer menggunakan air klorin 0,5%, air sabun,
kemudian ke air bersih dan lap menggunakan kain bersih.

 HIPOGLIKEMIA

a. Pengertian

Hipoglikemia adalah kondisi gula darah yang turun di bawah nilai normal.
Hipoglikemia sebenarnya normal ditemui pada bayi baru lahir, namun biasanya hanya
berlangsung sementara, dan kadar gula darah akan meningkat dengan sendirinya
dalam 2-3 jam. Yang menjadi masalah dan butuh pengawasan adalah ketika
hipoglikemia menetap. Hal ini biasanya disebabkan oleh kondisi medis tertentu, dan
bisa membahayakan nyawa bayi.

b. Faktor Risiko Hipoglikemia pada Bayi

Ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia pada
bayi, yaitu:

1. Bayi dari ibu penderita diabetes

Ibu hamil yang mengalami diabetes akan mengalami peningkatan kadar gula
dalam darah. Gula darah yang tinggi ini dapat mengalir ke peredaran darah bayi
dan memicu produksi insulin dalam tubuh bayi. Saat bayi lahir, asupan glukosa
dari plasenta akan turun, sementara kadar insulin dalam tubuh bayi masih tinggi.
Keadaan ini akan menyebabkan hipoglikemia pada bayi baru lahir.

2. Bayi terlalu besar atau kecil selama dalam kandungan

Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK) dan bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK) sama-sama berisiko mengalami hipoglikemia saat lahir. Hal ini karena bayi
dengan kedua kondisi tersebut biasanya dilahirkan oleh ibu dengan intoleransi
glukosa.

3. Bayi prematur atau bayi kurang bulan

Cadangan glikogen biasanya baru terbentuk pada kehamilan trimester ketiga,


sehingga bila bayi lahir prematur, maka persediaan glikogen akan lebih sedikit dan
lebih cepat habis terpakai. Hal ini bisa meningkatkan risiko terjadinya
hipoglikemia pada bayi.

4. Bayi lebih bulan (postmature baby)

Bayi yang lahir lewat waktu, yaitu setelah usia kehamilan 42 minggu, juga lebih
berisiko mengalami hipoglikemia. Pada kehamilan di atas 42 minggu, fungsi
plasenta akan menurun, sehingga janin menggunakan cadangan glikogennya.
Cadangan glikogen yang menurun akan membuat bayi lebih rentang mengalami
hipoglikemia.

5. Bayi yang stres selama kehamilan dan persalinan

Janin dan bayi yang mengalami stres memiliki kecepatan metabolisme yang
tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain. Jika asupan
nutrisi tidak mencukupi bayi yang mengalami stres selama kehamilan dan
persalinan akan rentan mengalami hipoglikemia.

c. Patofisiologi

Penyelidikan kadar gula darah pada 12 jam pertama menunjukan bahwa


hipoglikemia dapat terjadi sebanyak 50% pada bayi matur. Glukosa adalah sumber
energi selama masa janin. Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari
kadar gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin
menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi aterm dapat mempertahankan
kadar gula darah 50-60 mg/dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan
lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang
belum mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula sama dengan atau kurang dari 20
mg/dL (Ika, 2010; h. 25).

Gula darah berfungsi sebagai makanan otak dan membawa oksigen ke otak.
Jika asupan glukosa kurang, akibatnya sel-sel saraf diotak mati dan mempengaruhi
kecerdasan bayi kelak. BBLR membutuhkan ASI sesegera mungkin setelah lahir
dan minum sangat sering (setiap 2 jam) pada minggu pertama.

 HIPERGLIKEMIA

a. Pengertian

Hiperglikemia adalah keadaan peningkatan kadar gula dalam darah dari


rentang kadar puasa normal 80–90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar
140–160 mg /100 ml darah. Hiperglikemia adalah kadar gula darah (glukosa) yang
tinggi. Hiperglikemia pada bayi baru lahir lebih jarang terjadi, gula yang diberikan
melalui infus bisa menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang berlebihan.

b. Etiologi

Kadar gula darah yang tinggi juga mungkin terjadi pada bayi yang
mendapatkan gula (glukosa) tambahan melalui pembuluh darah, misalnya pada
bayi-bayi prematur atau bayi yang awalnya mengalami hipo glikemia.
Hiperglikemia juga bisa terjadi pada bayi baru lahir yang mengalami stres berat
atau menderita infeksi yang berat (sepsis).

1. Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan


insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan
penting.
2. Yang lain akibat pengangkatan pancreas, pengrusakan secara kimiawi sel beta
pulau langerhans.
3. Faktor predisposisi herediter, obesitas.
4. Faktor imunologi pada penderita hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti
adanya suatu respon autoimun. Respon ini mereupakan repon abnormal
dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.
c. Tanda dan gejala

Bayi dengan gula darah yang tinggi (hiperglikemia) seringkali tidak


memiliki gejala. Terkadang, bayi dengan kadar gula darah yang tinggi akan
menghasilkan jumlah air kencing yang banyak dan bisa mengalami dehidrasi.

Tingginya kadar gulah darah bisa merupakan suatu tanda bahwa bayi
memiliki stress pada tubuh akibat adanya gangguan tertentu, misalnya infeksi,
gangguan nafas, atau gagal jantung.

5. Gejala awal umumnya yaitu (akibat tingginya kadar glukosa darah) polipagi,
polidipsi, dan poliuri.
6.  Kelainan kulit, gatal-gatal, kulit kering.
7. Rasa kesemutan, kram otot.
8. Visus menurun..
9. Penurunan berat badan.
10. Kelemahan tubuh dan luka yang tidak sembuh-sembuh.

d. Komplikasi Hiperglikemia

Komplikasi hiperglikemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

11. Komplikasi akut


12. Komplikasi metabolic
13. Ketoasidosis diabetic
14. Koma hiperglikemik hiperosmoler non ketotik
15. Hipoglikemia
16. Asidosis laktat
17. Komplikasi akut
18. Komplikasi vaskuler
19. Makrovaskuler : PJK, stroke, pembuluh darah perifer
20. Mikrovaskuler : retinopati, nefropati
21.  Komplikasi neuropati
Neuropati sensorimotorik, neuropati otonomik gastroporesis, diare, diabetic, buli-
buli neurogenik, impotensi, gangguan reflex kardiovaskuler.
22. Campuran vascular neuropati
23. Ulkus kaki
24. Komplikasi pada kulit

e. Penatalaksanaan

Untuk bayi yang memerlukan glukosa tambahan, maka pemberian glukosa pada
bayi dapat diturunkan. Pada bayi dengan diabetes transient, hiperglikemia hanya
berlangsung sementara dan akan membaik dengan sendirinya, biasanya dalam waktu
beberapa minggu. Selama waktu tersebut kadar gula darah harus dipantau dan dijaga
dengan baik. Selain itu, hidrasi tubuh bayi-bayi yang mengalami hiperglikemia yang
harus diperhatikan agar bayi tidak mengalami dehidrasi. Setiap cairan dan elektrolit
yang hilang pada bayi harus diganti. Tetapi jika terjadi hiperglikemia menetap, maka
perlu dilakukan penangananan lebih lanjut.

Tujuan utama terapi Hiperglikemia adalah mencoba menormalkan aktivitas


insulin dan kadar glukosa darah dan upaya mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropati.Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia :

25. Diet
26. Komposisi makanan :
27. Karbohidrat = 60–70%
28. Protein 10–15%
29. Lemak 20–25%
30. Jumlah kalori perhari
31. Antara 1100–2300 kkal
32. Kebutuhan kalori basal : laki-laki : 30 kkal/kg BB, Perempuan : 25 kkal/kg BB
33. Penilaian status gizi
34. BB
35. BBR = x 100 %
36. TB – 100
37. Kurus : BBR 110%
38. Obesitas bila BBRR > 110%
39. Obesitas ringan 120 – 130%
40. Obesitas sedang 130 – 140%
41. Obesitas berat 140 – 200%
42. Obesitas morbit > 200%
Jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk penderita DM yang bekerja biasa
adalah :
43. Kurus : BB x 40 – 60 kalori / hari
44. Normal (ideal) : BB x 30 kalori / hari
45. Gemuk : BB x 20 kalori / hari
46. Obesitas : BB x 10 – 15 kalori / hari.
47. Latihan Jasmani
48. Penyuluhan
Dilakukan pada kelompok resiko tinggi; umur diatas 45 tahun, kegemukan
lebih dari 120% BB idaman atau IMT > 27 kg/m, hipertensi > 140/90 mmHg,
riwayat keluarga DM, dislipidemia, HDL 250 mg/dl, parah TGT atau GPPT (TGT
: > 140 mg/dl – 2200 mg/dl), glukosa plasma puasa derange / GPPT : > 100
mg/dl dan < 126 mg/dl).Obat berkaitan hiperglikemia
 Masalah Pemberian ASI
Masalah pemberian ASI pada BBLR terjadi karena ukuran tubuh bayi
dengan BBLR kecil, kurang energi, lemah, lambungnya kecil dan tidak dapat
menghisap. Bayi dengan BBLR sering mendapatkan ASI dengan bantuan,
membutuhkan pemberian ASI dalam jumlah yang lebih sedikit tetapi sering. Bayi
BBLR dengan kehamilan ≥35 minggu dan berat lahir ≥2000 gram umumnya bisa
langsung menyusui.

 Gangguan Hepatobilier

Atresia bilier

Atresia bilier adalah penyakit yang berat , tetapi sangat jarang terjadi. Insidensi di Amerika kurang lebih

1:10000-15000 kelahiran hidup, dan lebih sering pada anak perempuan dibanding laki-laki. Penyakit ini lebih

sering pada bayi Asia dan Afrika –Amerika dibanding dengan bayi Kaukasia. Di Asia lebih banyak terjadi pada

bayi Cina dibandingkan dengan bayi Jepang . Penyakit ini merupakan penyebab tranplantasi liver yang terbanyak

di Amerika dan negara Barat lainnya.

Patogenesis

Patogenesis atresia biliaris masih sulit dimengerti, penelitian terakhir dikatakan akibatt

kelainan kongenital dari sistim biliaris. Permasalahan pada ontogenesis hepatobilier dicurigai

dengan bentuk atresia bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang lain. Walaupun

yang banyak pada tipe neonatal dengan tanda khas inflamasi yang progresif, dengan dugaan

infeksi atau toksik agen yang menyebabkan obliterasi duktus biliaris.

Duktus biliaris intra hepatal yang menuju porta hepatis biasanya pada minggu pertama

kehidupan tampak paten tetapi mungkin dapat terjadi kerusakan yang progresif. Adanya toksin

didalam saluran empedu menyebabkan kerusakan saluran empedu extrahepatis. Proses ini sering

terjadi pada tipe III. Fibrosis yang menyebabkan obliterasi yang komplit sebagian sistim bilaris

ekstra hepatal.
Identifikasi dari aktivitas dari inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier ekstrahepatal

tampaknya merupakan lesi yang didapat. Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab

secara khusus tetapi infeksi merupakan faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk

neonatal. Banyak penelitian yang menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada

penderita atresia biliaris dibandingkan dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah

diimplikasi termasuk rotavirus dan cytomegali virus (CMV).

Klasifikasi

a. Tipe I : obliterasi dari duktus kholedekus ,duktus hepatikus normal.

b. Tipe II : atresia duktus hepatikus dengan struktur kistik tampak pad derah porta hepatis

c. Tipe III : pada lebih 90% pasien ,atresia pada duktus hepatikus kiri dan kanan setinggi porta

hepatis. Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus biliaris intra hepatal , yang

tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.

Etiologi dan Faktor resiko

Penyebab dari Atresia bilier tidak diketahui dengan pasti .Mekanisme auto imun mungkin

merupakan sebagian penyebab terjadinya progresivitas dari Atresia bilier. Dua tipe dari atresia

biliaris adalah bentuk fetal dan terjadi selama masa fetus dan timbul ketika lahir, serta bentuk

perinatal lebih spesifik dan tidak terlihat pada minggu kedua sampai minggu keempat kehidupan.

Atrsia biliaris bukan kelainan heriditer ini terlihat pada bayi kembar atresia bilier tidak terjadi

pada keda bayi tersebut. Faktor risiko atresia bilier yang terjadi selama periode fetus atau neonatal

adalah salah satu atau kombinasi faktor dibawah ini :


- Infeksi dengan virus atau bakteri

- Gangguan sistim imun

- Komponen empedu yang abnormal

- Ganguan pertumbuhan dari liver dan duktus biliaris

Diagnosis

a. klinis

Bayi –bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal dan perkembangannya baik

pada minggu pertama. Hepatomegali akan terlihat lebih awal. Splenomegali sering terjadi, dan biasanya

berhubsungan dengan progresivitas penyakit menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal 

Ikterus karena peninggian bilirubin direk. Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin

yang terkonjugasi, di mana peninggian bilirubin yang tidak terkonjugasi jarang sampai 2 minggu.

Pasien dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia) pertengahan liver bisa teraba pada

epigastrium .

Penting juga diperiksa kelainan VACTERL lainnya. Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan

kelainan jantung.

a. Pemeriksaan penunjang

- pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah dan liver function test, urine, dan feses rutin dilakukan pada
kelainan ini. Pemeriksaan LFT memiliki spesifisitas yang kurang. Pemeriksaan alkali
fosfatase sering menigkat pada anak normal akibat adanya remodeling tulang.

Pemeriksaan Gama Glutamil Transpeptidase dapat dijadikan indikator yang lebih


spesifik pada kelainan sistem hepatobiier. Senelum terjadinya stadium dekompensata
tes untuk meniliai fungsi sintesis hepar (kaskade pembekuan darah dan
albumin( masih dalam batas normal.
Pemeriksaan skrining TORCH juga penting untuk menyingkirkan kondisi ikterik
lainnya. Skring untuk memeriksa defisiensi alfa-1 antitripsin juga perlu
dipertimbangkan.

Feses pada penderita atresia bilier berwarna dempul, atau yang biasa disebut feses
akholik.

- Biopsi Hepar

Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang tipis dan dibawah mikroskop dapat

dinilai obstruksi dari sistim bilier.

- Pemeriksaan pencitraan

1. Gambaran USG, bervariasi tergantung tipe dan derajat beratnya penyakit 


- Hati dapat membesar atau normal dengan struktur parenhim yang inhomogen dan ekogenitas yang tinggi

tertama daerah periportal akibat fibrosis 

- Nodul-nodul cirrhosis hepatis 

- Tidak terlihat vena porta perifer karena fibrosis 

- Tidak terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal 

- Triangular cord didaerah porta hepatis: daerah triangular atau tubular ekogenik lebih spesifik untuk atresia

bilier extra hepatal 

- Kandung empedu tidak ada atau mengecil dengan panjang <1.5 cm . Kandung empedu biasanya lebih kecil dari

1,9 cm,dinding yang tipis atau tidak terlihat ,ireguler dengan kontur yang lobuler(gall bladder ghost triad), kalau

ada gambaran ini dikatakan sensitivitas 97 % dan spesifisitas 100%. 

- Gambaran kandung empedu yang normal (panjang >1,5 cm dan lebar >4 cm ) dapat terlihat sekitar 10 % kasus 

- Tanda hipertensi portal dengan terlihatnya peningkatan ekogenitas daerah periportal. 

- Kemungkinan dengan kelainan kongenital lain sepertisitus inversus, polisplenia.


2. Skintigrafi : HIDA scan 

Radiofarmaka (99m TC )- labeled iminodiasetic acid derivated sesudah 5 hari dari intake phenobarbital , ditangkap

oleh hepar tapi tidak dapat keluar kedalam usus ,karena tidak dapat meliwati sistim bilier yang rusak.Tes ini

sensitif untuk atresia bilier (100%)tapi kurang spesifik (60 %) . Pada keadaan Cirrhosis penangkapan pada hepar

sangat kurang.

3. Kolangiografi

1. Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi 

- melalui kandung empedu yang terlihat : 

- Gambaran atresia bilier bervariasi 

-Pengukuran dari hilus hepar jika atresia dikoreksi secara pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris

yang intak 

2. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) 

Dengan menyuntik senyawa penontras dapat dilihat langsung keadaan duktus biliaris ekstra hepatal seperti: 

- Obstruksi duktus kholedokus 

- dapat melihat distal duktus biliaris ekstra hepatal distal dari duktus hepatikus komunis 

- dapat melihat kebocoran dari sistim bilier ekstra hepatal daerah porta hepatis.

4. MRI

- MRCP 

Dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstra hepatal untuk menentukan ada tidaknya atresia bilier 

- Peninggian sinyal daerah periportal pada T2 weighted images 

 
5. Intubasi Duadenum 

Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub diletakkan didistal duodenum.tidak adanya

bilirubin atau asam empedu ketika diaspirasi menunjukkan kemungkinan adanya obstruksi.

Penatalaksanaan

Atresia bilier adalah keadaan penyakit yang serius dan dapat menyebabkan cirrhosis hepatis ,hipertensi portal,

karsinoma hepatoseluler, dan kematian terjadi sebelum umur 2 tahun. 


a. Nutrisi pada pasien Atresia bilier harus diperhatikan terutama untuk lemak,asam lemak esensial yang mudah

diabsorbsi dan pemberian protein dan kalori yang baik. 

b. Operasi 

1. Kasai prosedur 

Tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia dan menyambung hepar langsung ke usus halus

sehingga sehingga cairan empedu dapat lansung keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y

hepatoportojejunostomy .

2.Transplantasi hepar. 

Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil , atresia total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis

Anda mungkin juga menyukai