Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aterosklerosis

Aterosklerosis berasal dari bahasa yunani yaitu ‘athere-‘ yang berarti bubur, dan ‘–
skleros’ yang berarti keras. Aterosklerosis adalah penyakit akibat respon peradangan pada
pembuluh darah (arteri besar dan sedang), bersifat progresif, yang ditandai dengan deposit
massa kolagen, kolesterol, produk buangan sel dan kalsium, disertai proliferasi miosit yang
menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sehingga mengakibatkan kekakuan
dan kerapuhan arteri (Stary, 1995).
Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi (khususnya LDL),
merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurangnya aktifitas fisik.
Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan lipoprotein-A juga dilaporkan sebagai
faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Ada 4 faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga (genetik). Helicobacter Pylori dan
Chlamydia Pneumoniae, juga bisa menimbulkan infeksi atau transformasi miosit atau
endotel, yang akan memicu lesi aterosklerosis.
Hiperglikemia dapat memacu aktifitas protein kinase C (CPK). Peningkatan aktifitas
CPK akan meningkatkan ekspresi transforming growth factor-beta (TGF-𝛽). Peningkatan
ekspresi TGF-𝛽 menimbulkan kekakuan dan abnormalitas structural pembuluh darah.
Populasi dengan hiperlipidemia lebih banyak terkena aterosklerosis dibanding
kelompok orang dengan kadar lipid rendah. Populasi dengan hiperlipidemia ini lebih
signifikan berhubungan dengan gejala aterosklerosis dan kematian, oleh karena komplikasi
aterosklerosis koroner. Tingginya kolesterol darah, trigliserida, dan LDL berhubungan
dengan stenosis koroner. Sementara kadar kolesterol HDL berhubungan dengan menurunnya
insiden penyakit aterosklerosis, karena HDL dapat mengembalikan kolesterol dari jaringan
untuk di metabolisme di hepar. Kadar kolesterol LDL yang tinggi menjadi penyebab utama
sel endotel dan miosit. Kolesterol LDL dapat mengalami oksidasi, agregasi, dan berikatan
dengan proteoglikan atau menyatu dengan kompleks imun.

Universitas Sumatera Utara


Pada kondisi hipertensi juga berperan agen proinflamasi yang meningkatkan formasi
hidrogen peroksida (hidroksi radikal) dan radikal bebas (anion superoksida) dalam plasma.
Substansi itu mereduksi pembentukan nitrit oksida oleh endotel, meningkatkan adhesi
leukosit, dan peningkatan resistensi perifer. Selanjutnya formasi radikal bebas mengakibatkan
efek hipertensi dan hiperkolesterolemia (Hansson, 2005).

2.2 Patogenesis Aterosklerotik

Dinding arteri merupakan suatu sistem yang dinamis dan teratur. Akan tetapi, elemen-
elemen perusak dapat mengganggu homeostasis normal pada arteri dan memberi jalan
terjadinya aterogenesis. Beberapa hal telah berhasil diidentifikasi sebagai komponen-
komponen penting yang berkontribusi pada proses inflamasi aterosklerosis, yaitu (1)
disfungsi endotel, (2) akumulasi lipid di dalam intima, (3) pengerahan leukosit dan sel-sel
otot polos ke dalam dinding pembuluh darah, (4) pembentukan foam cell, (5) deposisi dari
matriks ekstraseluler seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1 Diagram evolusi plak aterosklerosis (Libby, 2002)


(1) Akumulasi partikel lipoprotein di dalam intima. Lipoprotein yang berwarna lebih gelap
menunjukkan modifikasi lipoprotein (oksidasi atau glikasi). (2) Stres oksidatif, termasuk
konstituen dari LDL yang termodifikasi (mLDL), menginduksi produksi sitokin-sitokin lokal.
(3) Sitokin tersebut menginduksi pelepasan molekul-molekul adesi yang mengikat leukosit
dan zat-zat kemoatraktan (monocyte chemoattractant protein 1 [MCP1]) yang menyebabkan
migrasi leukosit ke dalam intima. (4) Setelah masuk ke dalam dinding pembuluh darah,
monosit darah mengalami stimulus seperti faktor stimulus koloni makrofag (M-CSF) yang
meningkatkan ekspresi reseptor scavenger. (5) Reseptor scavenger memediasi pengambilan
mLDL oleh makfrofag dan menyebabkan pembentukan foam cell. Foam cell makrofag
merupakan sumber tambahan sitokin dan molekul efektor seperti anion superoksida dan
matriks metalloproteinase. (6) Sel-sel otot polos bermigrasi dari media ke lapisan intima (7)
Sel otot polos intima membelah, dan berelaborasi dengan matriks ekstraseluler, mendorong
akumulasi matriks pada plak aterosklerosis. Pada tahap ini fatty streak berubah menjadi
fibrofatty lesion. (8) Pada tahap lanjutan, dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis, dan kadang
diikuti oleh kematian sel-sel otot polos (apoptosis).

Universitas Sumatera Utara


Fatty streak merupakan lesi yang pertama kali terlihat pada ateroklerosis. Pada
inspeksi secara kasat mata, lesi ini terlihat sebagai area yang berwarna kuning pada
permukaan arteri, akan tetapi lesi ini belum menonjol dan belum mengganggu aliran darah
pada arteri. Fatty streak dapat dijumpai pada aorta dan arteri koroner orang berumur 20
tahun. Lesi ini tidak menimbulkan gejala, dan dapat membaik perlahan pada beberapa lokasi
pembuluh darah. Inisiasi terbentuknya lesi ini sangat berhubungan dengan terjadinya
disfungsi endotel.
Disfungsi endotel dapat dipicu oleh dua hal utama yaitu stres fisik dan zat-zat iritan.
Peran dari stress fisik pada pembuluh darah dapat dilihat dari fakta bahwa aterosklerosis lebih
cenderung terbentuk pada titik-titik percabangan arteri. Pada bagian pembuluh darah yang
lurus, aliran laminar menyediakan nitrit oksida yang lebih banyak, yang bermanfaat sebagai
vasodilator, inhibisi agregasi platelet, dan efek anti inflamasi. Arteri-arteri dengan cabang
yang sedikit seperti left internal mammary artery (LIMA), menunjukkan resistensi yang lebih
baik terhadap aterosklerosis, sedangkan pembuluh darah dengan percabangan seperti arteri
karotis komunis dan arteri koroner kiri merupakan tempat utama terjadinya aterosklerosis.
Disfungsi endotel juga dapat terjadi akibat paparan zat-zat toksik. Sebagai contoh
merokok, level lipid yang abnormal, dan diabetes, yang dikenal sebagai faktor risiko mayor
aterosklerosis, dapat menginduksi terjadinya disfungsi endotel. Setiap keadaan tersebut
meningkatkan produksi zat-zat oksigen reaktif dari endotel, terutama anion superoksida, yang
berinteraksi dengan molekul intraseluler lainnya untuk mempengaruhi fungsi metabolik dan
sintesis endotel. Sebagai akibatnya, sel-sel tersebut menyebabkan terjadinya proses
proinflamasi.
Saat stresor fisik dan kimia mengganggu homeostasis endotel, akan terjadi beberapa
hal berikut (1) rusaknya fungsi endotel sebagai barier permeabilitas, (2) pelepasan sitokin
inflamasi, (3) peningkatan produksi molekul adesi permukaan sel yang memanggil leukosit,
(4) terganggunya pelepasan zat-zat vasoaktif (prostasiklin dan nitrit oksida), (5) terganggunya
sifat antitrombotik.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Disfungsi endotel sebagai tahap awal pembentukan plak (Libby, 2002)
Stressor fisik dan kimia merusak endotel, memungkinkan masuknya lipid ke lapisan
subintima dan mendorong pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin ini dan lingkungan yang
kaya lipid mendorong pengerahan leukosit ke lapisan subintima, yang nantinya akan
berkumpul menjadi foam cell.

Endotel yang telah teraktifasi tidak lagi berfungsi sebagai barier yang efektif terhadap
pergerakan lipoprotein ke dalam dinding pembuluh darah. Permeabilitas endotel yang
meningkat memberi jalan bagi LDL untuk masuk ke intima, suatu proses yang difasilitasi
dengan meningkatnya konsentrasi LDL dalam sirkulasi. Setelah berada di dalam intima, LDL
berakumulasi di subendotel, berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. Hal
ini meningkatkan waktu keberadaan LDL di dalam intima, yang memungkinkan LDL
mengalami modifikasi kimia yang merupakan poin penting dalam terbentuknya lesi
aterosklerosis. Hipertensi, yang merupakan faktor risiko mayor aterosklerosis, dapat
meningkatkan retensi LDL di dalam intima dengan meningkatkan produksi proteoglikan
pengikat LDL oleh sel-sel otot polos.
Oksidasi merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada LDL yang berada di
dalam intima. Hal ini dapat terjadi sebagai aksi dari zat oksigen reaktif dan enzim-enzim pro-
oksidan yang berasal dari endotel yang teraktifasi atau sel-sel otot polos, atau dari makrofag
yang mempenetrasi dinding pembuluh darah. Pada pasien diabetes dengan kondisi
hiperglikemia kronis, dapat terjadi glikasi dari LDL, suatu modifikasi yang dapat
mengaktifkan sifat proinflamasi dari LDL. Perubahan biokimia ini terjadi cepat dan

Universitas Sumatera Utara


berkontribusi pada mekanisme inflamasi yang diinisiasi oleh disfungsi endotel, dan mereka
dapat menyebabkan inflamasi sepanjang siklus pertumbuhan dari plak. Pada tahap fatty
streak dan sepanjang pertumbuhan dari plak, LDL yang dimodifikasi (mLDL) menyebabkan
pengerahan leukosit dan pembentukan foam cell (Libby, 2002).
Pengerahan dari leukosit (terutama monosit dan limfosit T) ke dalam dinding
pembuluh darah merupakan tahap kunci dalam aterogenesis. Proses ini bergantung kepada (1)
ekspresi dari leukocyte adhesion molecule (LAM), (2) signal kemoatraktan seperti monocyte
chemotactic protein 1 (MCP-1), IL-8, interferon-inducible protein-10.
Aterogenesis dimulai saat terjadinya jejas pada endotel akibat berbagai faktor risiko
dengan berbagai intensitas. Salah satu penjejas utama endotel adalah LDL plasma yang
tinggi. LDL akan mengalami oksidasi menjadi LDL-oks yang mudah sekali menempel dan
menumpuk pada dinding pembuluh darah menjadi deposit lipid. Penumpukan ini
menyebabkan jejas pada endotel. Pada keadaan terjejas, endotel normal akan menjadi endotel
yang hiperpermeabel, yang ditunjukkan dengan terjadinya berbagai proses eksudasi
(misalnya; protein, glukoprotein) dan infiltrasi monosit ke dalam lapisan pembuluh darah
akibat peningkatan adesifitas terhadap lipoprotein, leukosit, platelet dan kandungan plasma
lain. Selain itu, endotel terjejas juga memiliki prokoagulan yang lebih banyak dibandingkan
antikoagulan, serta mengalami pemacuan molekul adesi leukosit seperti L-selektin, integrin,
platelet-endothelial-cell adhesion molecule (PECAM)-1 dan molekul adesi endotel seperti E-
selektin, P-selektin, intraceluar cell adhesion molecule (ICAM-1) dan vascular-cell adhesion
molecule (VCAM-1). Keadaan ini mengakibatkan makro molekul lebih mudah menempel
pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan jejas pada endotel (Soehnlein, 2012).
Sel endotel berfungsi sebagai vasodilator, antitrombotik, dan antiinflamasi. Sel
endotel, paling sedikit mensintesis 3 faktor vasodilator yang berbeda; Nitrit Oxide (NO),
prostasiklin (PGI2), dan EDHF (endothelium-derived hyperpolarizing factor) yang belum
teridentifikasi. Pada beberapa kondisi patologis, sel endotel juga mensintesis beberapa faktor
vasokonstriksi (EDCF-endothelium-derived constriction factor) termasuk endothelin,
superoxide, dan prostaglandin vasokonstriktor.
Respon inflamasi yang terjadi pada aterogenesis diperantarai oleh makrofag derivat
monosit dan limfosit T, yang apabila berlanjut akan meningkatkan jumlah makrofag dan
limfosit yang beremigrasi. Aktifitas makrofag dan limfosit menimbulkan pelepasan enzim
hidrolitik, sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan, yang dapat menginduksi kerusakan
lebih lanjut, dan akhirnya menimbulkan nekrosis fokal. Respon inflamasi ini apabila terus
berlanjut akan menstimulai migrasi dan proliferasi miosit yang saling bercampur pada area

Universitas Sumatera Utara


inflamasi dan membentuk lesi intermedia. Apabila inflamasi tidak mereda, maka arteri akan
mengalami remodeling, yaitu penebalan dan pelebaran dinding arteri secara bertahap hingga
lumen arteri tidak dapat berdilatasi kembali.

2.3 Sindroma Koroner Akut

SKA adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan
oleh iskemik miokard akut. SKA yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut infark
miokard. Manifestasi SKA secara klinis dapat sebagai APTS, IMANEST atau IMAEST
(Thygensen dkk, 2012).
Diagnosis IMAEST akut ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu; adanya
nyeri dada khas angina (durasi nyeri lebih dari 20 menit, tidak berkurang dengan istirahat
atau nitrat, nyeri dapat menjalar ke leher, rahang bawah atau lengan kiri, dapat disertai
dengan gejala aktivasi sistem saraf otonom seperti mual, muntah atau keringat dingin),
dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya LBBB yang dianggap baru,
peningkatan kadar enzim jantung akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta
dijumpai abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi.
(Van der Werf dkk, 2012).
IMAEST umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Pada saat
terjadinya infark miokard juga terjadi reaksi inflamasi yang hebat sebagai respon dari sel-sel
otot jantung yang nekrosis. Lekositosis merupakan penemuan yang sering dijumpai pada
pasien IMAEST yang menggambarkan infiltrasi dari sel-sel darah putih ke dalam jaringan
yang nekrosis sebagai respon terhadap iskemi dan reperfusi. Dalam proses tersebut, netrofil
merupakan sel leukosit pertama yang ditemukan pada area miokard yang nekrosis. (Hansson,
2005; Libby, 2002)

2.4 Parameter Hematologi dari Aterosklerosis Koroner

Inflamasi merupakan sifat penting pada patogenesis aterosklerosis (Hansson, 2005).


Studi epidemiologi yang bersifat prospektif menunjukkan bahwa penanda-penanda inflamasi
merupakan prediktor kejadian kardiovaskular yang independen (Danesh, 1998). Studi klinis
pada pasien-pasien dengan sindroma koroner akut menunjukkan peningkatan penanda
inflamasi yang signifikan pada saat masuk ke rumah sakit dan hubungan yang kuat dengan

Universitas Sumatera Utara


hasil akhir klinis (Takahashi dkk, 2007, O’Donoghue dkk, 2008). Akan tetapi peran dari
penanda inflamasi pada pasien-pasien PJK yang stabil masih dipertanyakan.

Gambar 2.3 Dasar Proses Inflamasi Aterosklerosis (Simon, 2012)


Progresitifitas plak aterosklerosis berhubungan dengan banyak mekanisme imunitas. Signal
awal adalah kombinasi dari cedera endotel, adesi platelet, dan stimulasi makrofag dan sel
limfosit T oleh mLDL di lapisan intima. Respon dari sistem imun innate juga melibatkan
pengerahan dari netrofil yang mengekspresikan alarming seperti MP-8/14 dan CRAMP.
Sistem imun adaptif termasuk respon proaterosklerosis seperti IFN-Y yang diproduksi oleh
limfosit T dan juga mekansime protektif seperti sekresi antibodi neutralizing oleh limfosit B
dan aktifitas anti inflamasi oleh sel T regulator.

Peran parameter hematologi dalam penyakit kardiovaskular telah diteliti pada


beberapa penelitian. Sabatine dkk., mengungkapkan bahwa jumlah leukosit berhubungan
dengan perfusi epikardial dan miokardial yang terganggu (2002). Hubungan antara
peningkatan jumlah leukosit dan penyakit jantung koroner telah dilaporkan pada beberapa
studi (Prentice,1982). Jumlah leukosit juga berhubungan erat dengan tingkat keparahan lesi
aterosklerosis koroner dari hasil angiografi koroner (Cavusoglu dkk, 2006). Beberapa
mekanisme telah dihipotesiskan untuk menjelaskan bagaimana jumlah leukosit berhubungan
dengan aterosklerosis koroner (Ernst,1987).
Leukosit cenderung beragregasi dan berembolisasi ke dalam pembuluh darah kecil
pada kondisi aliran darah yang rendah (Craddock,1977).Leukosit dapat menyebabkan cedera
dan inflamasi endotel yang diperantarai oleh lepasnya zat-zat yang teraktifasi seperti radikal
bebas, oksidan, enzim-enzim proteolitik, dan metabolit arakidonik (Sacks,1978).

Universitas Sumatera Utara


Masih belum jelas apakah kelas tertentu dari leukosit berhubungan dengan penyakit
jantung koroner. Suatu studi prospektif menunjukkan hubungan dengan netrofil
(Prentice,1982). Walaupun studi prospektif secara konsisten menunjukkan hubungan yang
positif antara jumlah leukosit total dan angka morbiditas dan mortalitas dari penyakit jantung
koroner, hanya terdapat dua studi prospektif yang meneliti hubungan antara jumlah leukosit
diferensial dan penyakit jantung koroner. Prentice dkk. menunjukkan bahwa netrofil,
eosinofil, dan monosit dapat memprediksi penyakit jantung koroner (1982).
Beberapa mekanisme yang menjelaskan bagaimana peran leukosit di dalam
patogenesis aterosklerosis telah dikemukakan pada beberapa penelitian. Tahap pertama dalam
proses aterosklerosis adalah menempelnya monosit ke lapisan intima pembuluh darah setelah
terjadinya cedera pada dinding arteri. Setelah diselimuti oleh lemak, monosit berubah
menjadi makrofag dan mensekresikan enzim metalloproteinase. Selain makrofag tersebut,
netrofil juga ditemukan akan memediasi lepasnya sel-sel endotel pada penelitian in vitro,
dengan dicernanya protein-protein pada permukaan sel endotel oleh enzim protease netral
proteolitik (Gambar 2.4) (Soehnlein,2012). Netrofil juga terbukti meningkatkan aktifitas
kemotaktik pada pasien angina stabil (Mehta dkk,1989). Studi-studi epidemiologi mencari
hubungan antara jumlah leukosit perifer, terutama netrofil dengan penyakit jantung koroner
(Kostis, 1984) . Meningkatnya agregasi netrofil dan aktifitas oksidase juga ditemukan pada
arteri koroner pasien-pasien dengan PJK yang menjalani angiografi koroner (Risevuti
dkk,1989). Granul protein sekunder di dalam netrofil yaitu cathelicidin secara langsung
menginduksi terjadinya aterosklerosis melalui rekrutmen dari sel-sel monosit (Doring, 2012).
Percobaan pada tikus dengan defisiensi apoE, hiperlipidemia menginduksi neutrofilia dan
derajat netrofilia berhubungan positif dengan luasnya lesi aterosklerosis (Drechler, 2010).
Sel-sel inflamasi tersebut tidak hanya berperan dalam inisiasi dan progresi dari
aterosklerosis, tetapi juga berperan dalam destabilisasi plak aterosklerosis yang menyebabkan
perubahan suatu proses kronis menjadi proses iskemik akut. Proses inflamasi yang
menyebabkan rupturnya plak meliputi menurunnya sintesis dan meningkatnya degradasi dari
komponen-komponen struktural dari kapsul fibrosa oleh enzim degradasi dan sitokin yang
diproduksi oleh makrofag pada tempat rupturnya plak (Gambar 2.5). Walaupun makrofag
punya peran yang besar dalam rupturnya plak, aktifasi netrofil juga punya peran dalam
sindrom koroner akut.
Beberapa penelitian invitro dan invivo mengindikasikan hubungan netrofil dengan
aktifasi trombosit, terganggunya mikrosirkulasi, dan perluasan infark (Soehnlein,2012;Mehta
dkk,1989). Netrofil yang teraktifasi telah berhasil diidentifikasi pada plak yang ruptur dan

Universitas Sumatera Utara


sel-sel endotel pasien dengan sindroma koroner akut (Naruko, 2002). Kebanyakan penelitian
tersebut menunjukkan bahwa netrofil merupakan subtipe leukosit yang paling berperan dalam
sindroma koroner akut.
Jumlah netrofil pada pasien dengan IMA juga memiliki nilai prognostik. Penelitian
dari Meissner, dkk (2011) dan Karabinor, dkk (2009) menunjukkan bahwa jumlah netrofil
saat masuk ke rumah sakit berhubungan dengan prognostik yang lebih buruk pada pasien-
pasien dengan SKA.

Gambar 2.4 Mekanisme Aktifasi Netrofil pada Aterogenesis (Soehnlein, 2012)


A. Netrofil masuk ke dalam lesi aterosklerosis dicetuskan oleh aktivasi trombosit. B. Netrofil
yang telah diaktifkan mensekresikan granul-granul protein seperti myeloperoxidase,
azurocidin, dan proiteinase-3, yang menginduksi ekspresi molekul adesi dan perubahan
permeabilitas serta membatasi bioavaibilitas dari nitrit oksida yang kesemuanya
menyebabkan disfungsi endotel. C. Granul protein yang mengumpul di endotelium dan
disekresikan di lokasi inflamasi menginduksi adesi dan datangnya monosit. D. Granul protein
netrofil mencetuskan polarisasi makrofag dan menginduksi ekspresi reseptor skavenger. E.
Ikatan alfa-defensin ke molekul LDL akan menjebak molekul LDL tetap di dalam dinding
pembuluh darah. Oksidasi molekul LDL tersebut oleh enzim myeloperoxidase akan
meningkatkan pembentukan foam cell

Gambar 2.5 Mekanisme Destabilisasi Plak yang Diperantarai Oleh Netrofil

Universitas Sumatera Utara


A. Enzim myeloperoxidase akibat stress oksidatif dan enzim metalloproteinase yang
disekresikan netrofil dapat menginduksi apoptosis sen endotel, degradasi membran dasar, dan
deskuamasi sel endotel. B. Metalloproteinase memecah matriks-matriks ekstrasel C. Netrofil
menyebabkan apoptosis dan nekrosis sekunder, yang mungkin berkontribusi dalm formasi
inti nekrosis.

Parameter lain yang pada penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan independen


yang kuat dengan kejadian kardiovaskular adalah rasio netrofil dengan limfosit (rasio N/L).
Selain netrofil, limfosit memiliki peran yang penting dalam modulasi respon inflamasi pada
tahap aterosklerosis. Pada kondisi akut akan dijumpai jumlah limfosit yang menurun
(limfopenia), akibat respon sekunder dari jumlah kortikosteroid yang meningkat (Ait-oufella
dkk,2006). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa leukosit, subtipe leukosit, dan rasio
netrofil/limfosit (rasio N/L) merupakan indikator dari inflamasi sistemik (Zahorec, 2001).
Rasio N/L juga dapat memprediksi kejadian dan kematian kardiovaskular (Papa, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Teori

Plak Aterosklerosis

Ruptur Plak

Sumbatan total pada


arteri koroner

Lepasnya CKMB dan Nekrosis Stres metabolik


troponin ke sirkulasi jaringan miokard akut

Kejadian Klinis
Kardiovaskular Mayor:
- Mortalitas
- Syok kardiogenik
- Gagal jantung akut
- Aritmia ventrikel
(VT/VF)
Infiltrasi sel darah Mobilisasi leukosit
putih ke dalam dan netrofil dari
jaringan nekrosis sumsum tulang

Neutrofilia

Gambar 2.6 Diagram Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


2.6 Kerangka Konsep

Pasien dengan diagnosis IMAEST onset


≤ 24 jam

Pemeriksaan darah lengkap


dan enzim jantung di IGD

Jumlah netrofil Nilai CKMB dan


Korelasi
Troponin-T

Netrofil ≤11,8 Netrofil >11,8


(x103/µL) (103/µL)

Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor


selama perawatan di rumah sakit
- Gagal jantung akut
- Syok kardiogenik
- Kematian
- Aritmia ventrikel (VT/VF)

Gambar 2.7 Diagram Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai