A. HAKIKAT EJAAN
Perkembangan ejaan seiring dengan perkembangan masyarakat tutur suatu
bahasa. Jika dicermati, bahasa Indonesia telah beberapa kali mengalami
penyempurnaan ejaan. Lalu apa yang dimaksud ejaan? Sebelum kita memahami
batasan ejaan, silakan Anda cermati dua contoh sederhana berikut!
Contoh (1) dan (2) di atas memberikan informasi yang berbeda jika seseorang
memiliki pengetahuan mengenai ejaan, khususnya penggunaan huruf kapital. Akan
tetapi, jika seseorang tidak memiliki pengetahuan kebahasaan tentang ejaan maka
keduanya contoh di atas ditafsirkan tidak akurat. Kalau subyek yang dibicarkana dia
itu memiliki bentuk fisik berkulit gelap maka acuannya adalah contoh (2) sedangkan
jika yang dimaksud itu adalah dia bernama Hitam maka acuannya adalah contoh (1).
Begitu juga dengan fungsi tanda baca. Tanda baca yang berbeda di bagian akhir
kalimat mewakili intonasi final dalam ragam lisan yang memberikan informasi
berbeda. Cermati kalimat sederhana pada contoh (3), (4), dan (5) berikut.
(3) Masuk!
(4) Masuk?
(5) Masuk.
Contoh (3) merupakan bentuk direktif menyuruh yang diakhiri dengan intonasi final
berupa tanda seru. Contoh (4) merupakan bentuk interogatif menanyakan. Contoh
(5) merupakan deklaratif yang bisa saja jawaban dari pertanyaan seseorang,
misalnya dalam percakapan “Apa katanya?” “Masuk.” Beberapa contoh tersebut
diharapkan dapat memberikan gambaran sederhana kepada Anda tentang
pentingnya ejaan dalam berbahasa. Lantas, apa ejaan?
Ejaan merupakan seperangkat aturan yang digunakan untuk memindahkan
bahasa lisan ke dalam bahasa tulis. Sama halnya dengan ragam lisan dan ragam tulis
yang memanfaatkan dua komunikasi yang berbeda. Ragam lisan merupakan
komunikasi langsung yang menghadirkan pembicara pada saat pembicaraan
berlangsung sehingga ragam lisan banyak dibantu oleh unsur suprasegmental/
paralinguistik –baik gerak tangan, anggukan, gelengan kepala, intonasi, jeda,
artikulasi, dan sebagainya. Berbeda dengan bahasa tulis sebagai bagian dari
komunikasi tidak langsung yang tidak menghadirkan penulis dalam komunikasi
tersebut sehingga perlu seperangkat aturan agar apa yang dipahami pembaca relevan
dengan apa yang dikemukakan oleh penulis. Aturan-aturan tersebut meliputi
pemakaian huruf, penulisan kata, penggunaan tanda baca, dan penulisan unsur
serapan.
2. Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi disebut juga dengan Ejaan Republik disusun oleh Menteri
Pendidikan Kebudayaan dan Pengajaran RI, Mr. Soewandi, pada 19 Maret 1947.
Ejaan Soewandi disusun untuk menyederhanakan ejaan van Ophuysen. Berikut
perubahan ejaan van Ophuysen menjadi ejaan Soewandi.
a. Fonem /oe/ menjadi /u/, seperti kata goeroe menadi guru.
b. Fonem hamzah /’/ menjadi /k/, seperti kata Pa’ menjadi Pak.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
d. Awalan /di-/ dan kata depan /di/ keduanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinnya, seperti dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan kata seperti
dibeli, dimakan.
3. Ejaan Pembaruan
Ejaan pembaruan merupakan ejaan yang menyempurnakan sistem ejaan yang
sudah ada sebelumnya. Fonem yang terdiri dari konsonan rangkap dijadikan satu
fonem. Ejaan ini juga disebut ejaan Prijono-Katopo karena awalnya diketuai oleh
Prof. Prijono dan dilanjutkan oleh E. Katopo setelah Prijono diangkat menjadi
Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Pengajaran. Ejaan ini diresmikan pada 19 Juli
1956. Berikut beberapa perubahan ejaan Republik ke ejaan Pembaruan.
a. Gabungan konsonan /dj/ menjadi /j/.
b. Gabungan konsonan /tj/ menjadi /ts/.
c. Gabungan konsonan /ng/ menjadi /ŋ/.
d. Gabungan konsonan /nj/ menjadi /ñ/.
e. Gabungan konsonan /sj/ menjadi /š/.
4. Ejaan Melindo
Ejaan Melindo merupakan ejaan Melayu-Indonesia. Ejaan Melindo disusun
atas kerja sama Indonesia-Malaysia. Kerja sama antara Indonesia dan Malaysia ini
berhasil dirumuskan pada tahun 1959 untuk menyederhanakan sistem fonemis yang
ada. Akan tetapi, ejaan ini tidak sempat diumumkan ke publik karena masalah politik
antara kedua negara. Ejaan Melindo tidak jauh berbeda dengan ejaan pembaruan
karena berusaha menyederhanakan ejaan dengan menggunakan sistem fonemis.
Beberapa perubahan dari ejaan Pembaruan ke ejaan Melindo adalah sebagai
berikut.
a. gabungan konsonan /tj/ diganti fonem /c/.
b. Gabungan konsonan /nj/ diganti /nc/.
C. PENULISAN HURUF
1. Huruf Kapital
Adapun aturan penggunaan huruf kapital adalah sebagai berikut.
a. Huruf pertama awal kalimat, seperti contoh berikut.
(1) Apa mata kuliah hari ini?
(2) Mahasiswa mendiskusikan sejarah perkembangan ejaan di Indonesia.
b. Huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan, misalnya Andrea Hirata,
Pidi Baiq, Boy Chandra, Jenderal Kancil, Dewa Pedang.
Huruf kapital tidak digunakan untuk (1) huruf pertama nama orang yang
merupakan nama jenis atau satuan ukuran, misalnya ikan mujair, lima ampere,
jeruk bali; (2) huruf pertama kata yang bermakna ‘anak dari’, seperti bin, binti,
boru, dan van, atau huruf pertama kata tugas, misalnya Siti Aisah bin Samsudin,
Fatma binti Salim Batubara, Charles Adriaan van Ophuijsen.
c. Huruf pertama pada awal kalimat dalam petikan langsung, seperti contoh
berikut.
(1) Adinda Putri menyatakan, “Terampil berbahasa khususnya berbicara sangat
penting dimiliki seorang youtuber.”
(2) “Indonesia bisa!” ujarnya.
d. Huruf pertama setiap kata nama agama, kitab suci, dan kata ganti Tuhan,
misalnya Islam, Alquran, Kristen, Hindu, Weda, Allah, -Nya.
e. Huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, atau
akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang mengikuti
nama orang, misalnya Sultan Hasanuddin, Haji Agus Salim, Imam Hambali,
Raden Ajeng Kartini, Dr. Mohammad Hatta.
f. Huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, profesi,
serta nama jabatan dan kepangkatan yang dipakai sebagai sapaan, misalnya
dalam kalimat berikut.
(1) Selamat datang, Yang Mulia.
(2) Semoga berbahagia, Sultan.
(3) Selamat pagi, Dokter.
g. Huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau
yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu berupa nama instansi atau
nama tempat, misalnya Wakil Presiden Adam Malik, Perdana Menteri Nehru,
Prof. Supomo, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Gubernur Papua Barat.
h. Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa, misalnya bangsa
Indonesia, suku Dani, bahasa Bali, kecuali yang dipakai sebagai bentuk dasar
kata turunan tidak ditulis dengan huruf awal kapital, misalnya pengindonesiaan
kata asing, keinggris-inggrisan, kejakarta-jakartaan.
i. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari
besar atau hari raya, misalnya tahun Hijriah, Masehi, Agustus, Galungan, hari
Lebaran, hari Natal.
j. Huruf pertama unsur nama peristiwa sejarah, misalnya Konferensi Asia Afrika,
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, tidak dipakai untuk huruf
pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama, misalnya Soekarno
dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia; Perlombaan
senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.
k. Huruf pertama nama geografi, misalnya Jakarta, Asia Tenggara, Pulau Miangas,
Amerika Serikat, Bukit Barisan, Jawa Barat, Dataran Tinggi Dieng, Danau Toba,
Gunung Semeru, Ngarai Sianok. Akan tetapi, tidak dipakai sebagai (a) huruf
pertama nama geografi yang bukan nama diri, misalnya berlayar ke teluk; mandi
di sungai; menyeberangi selat; berenang di danau (b) huruf pertama nama diri
geografi yang dipakai sebagai nama jenis tidak ditulis dengan huruf kapital,
misalnya jeruk bali (Citrus maxima), kacang bogor (Voandzeia subterranea).
Nama yang disertai nama geografi dan bagian dari nama jenis dapat disejajarkan
dengan nama jenis lain dalam kelompoknya, misalnya Kita mengenal berbagai
macam gula, seperti gula jawa, gula pasir, gula tebu, gula aren, dan gula anggur.
Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring mempunyai fungsi yang berbeda.
l. Huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna)
dalam nama negara, lembaga, badan, organisasi, atau dokumen, kecuali kata
tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk, misalnya Republik Indonesia,
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Republik Indonesia, Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
m. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata (termasuk unsur kata
ulang sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan makalah serta nama
majalah dan surat kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan
untuk, yang tidak terletak pada posisi awal. Sebagai contoh Saya telah membaca
buku Dylan 1990 dan Dylan 1991.
n. Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, atau sapaan, misalnya S.H.
(Sarjana Hukum), S.K.M. (Sarjana Kesehatan Masyarakat), S.S. (Sarjana
Sastra).
o. Huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, kakak,
adik, dan paman, serta kata atau ungkapan lain yang dipakai dalam penyapaan
atau pengacuan, misalnya: “Kapan Bapak berangkat?” tanya Hasan. Dendi
bertanya, “Itu apa, Bu?” “Silakan duduk, Dik!” kata orang itu. Akan tetapi, (a)
huruf kapital tidak digunakan untul istilah kekerabatan yang bukan merupakan
penyapaan atau pengacuan, misalnya kita harus menghormati bapak dan ibu kita;
semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga; (b) Kata ganti Anda ditulis
dengan huruf awal kapital, misalnya dalam kalimat Sudahkah Anda tahu? Siapa
nama Anda?
2. Huruf Miring
Adapun penggunaan huruf miring adalah sebagai berikut.
a. Digunakan untuk Judul buku, nama majalah/ nama surat kabar yang dikutip dalam
tulisan, termasuk dalam daftar pustaka, seperti contoh berikut.
(1) Saya sudah membaca buku Dylan 1990 karya Pidi Baiq.
(2) Majalah Gadis merupakan majalah populer pada tahun ’90-an.
b. Digunakan untuk menegaskan/ mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau
kelompok kata dalam kalimat, seperti contoh berikut.
(1) Huruf terakhir kata abad adalah d.
(2) Tulislah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas tangan.
c. Digunakan untuk menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau
bahasa asing, misalnya upacara peusijuek menarik perhatian wisatawan asing
yang berkunjung ke Aceh. Nama ilmiah buah manggis ialah Garcinia
mangostana. Akan tetapi, huruf miring tidak dipakai untuk (1) nama diri, seperti
nama orang, lembaga, atau organisasi, dalam bahasa asing atau bahasa daerah; (2)
naskah tulisan tangan atau mesin tik (bukan komputer), bagian yang akan dicetak
miring ditandai dengan garis bawah; (3) Kalimat atau teks berbahasa asing atau
berbahasa daerah yang dikutip secara langsung ditulis dengan huruf miring.
3. Huruf Tebal
Adapun penggunaan huruf tebal adalah sebagai berikut.
a. Digunakan untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring, sepeti
contoh berikut.
(1) Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa
Indonesia.
(2) Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti ‘dan’.
b. Digunakan untuk menegaskan bagian-bagian karangan, seperti judul buku, bab,
atau subbab, seperti contoh berikut.
1) Latar Belakang
2) Rumusan Masalah
3) Tujuan
4) Manfaat
D. PENULISAN KATA
1. Kata Dasar
Kata dasar merupakan kata yang belum mengalami proses morfologis –baik
afiksasi (penambahan imbuhan, reduplikasi (pengulangan), maupun komposisi
(gabungan dua kata yang menghasilkan kata majemuk). Kata dasar ditulis sebagai
satu kesatuan, seperti penulisan kata bahasa pada contoh (a) dan budaya pada contoh
(b) berikut.
a. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah.
Pada contoh (a) kata bahasa ditulis dalam satu kesatuan, tidak dipisah
menjadi ba hasa/ ba ha sa/ baha sa).
b. Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya.
Pada contoh (b) kata budaya ditulis budaya, bukan bu daya/ buda ya/ bu da
ya.
2. Kata Berimbuhan
Kata berimbuhan dihasilkan dengan menambahkan imbuhan (afiks) yang dikenal
dengan proses afiksasi. Imbuhan terdiri atas awalan, sisipan, akhiran, gabungan
awalan dan sisipan. Adapun ketentuan menulis kata berimbuhan adalah sebagai
berikut.
a. Imbuhan ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya, misalnya berdiskusi,
mempelajari, lukisan, dan sebagainya. Begitu juga dengan imbuhan yang diserap
dari unsur asing, seperti -isme, -man, -wan, atau -wi, ditulis serangkai dengan
bentuk dasarnya.
b. Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya
infrastruktur, proaktif, antarkota, kontraindikasi, mancanegara, subbagian,
multilateral, swadaya, narapidana, transmigrasi, tunakarya, ekstrakurikuler, dan
sebagainya.
(1) Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal kapital atau
singkatan yang berupa huruf kapital dirangkaikan dengan tanda hubung (-),
non-Indonesia, pro-Barat, non-ASEAN, anti-PKI.
(2) Bentuk maha yang diikuti kata turunan yang mengacu pada nama atau sifat
Tuhan ditulis terpisah dengan huruf awal kapital, seperti contoh berikut.
(a) Marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih (pengasih kata
turunan dari kasih).
(b) Kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Pengampun (pengampun kata
turunan dari ampun).
(3) Bentuk maha yang diikuti kata dasar yang mengacu kepada nama atau sifat
Tuhan, kecuali kata esa, ditulis serangkai, seperti contoh berikut.
(a) Tuhan Yang Mahakuasa menentukan arah hidup kita (kuasa adalah kata
dasar sehingga ditulis serangkai dengan maha).
(b) Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita.
3. Kata Ulang
Bentuk ulang merupakan hasil proses reduplikasi. Reduplikasi merupakan
istilah dalam bidang linguistik untuk menyatakan proses pembentukan kata dari
proses pengulangan kata --baik sepenuhnya, sebagian, maupun dengan perubahan
bunyi. Berikut beberapa aturan yang diatur EBI untuk penulisan bentuk ulang.
a. Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung (-) di antara unsur-
unsurnya, misalnya anak-anak, biri-biri, cumi-cumi, ibu-ibu, emak-emak, ramah-
tamah, terus-menerus, dan sebagainya.
b. Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan mengulang unsur pertama, misalnya
surat kabar menjadi surat-surat kabar, kapal barang menjadi kapal-kapal
barang, rak buku menjadi rak-rak buku.
4. Gabungan Kata
Gabungan kata yang menghasilkan kata baru merupakan hasil pembentukan
kata yang dalam proses morfologis disebut komposisi. Adapun aturan gabungan kata
dalam EBI adalah sebagai berikut.
a. Unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus,
ditulis terpisah, misalnya duta besar, kambing hitam, persegi panjang, orang tua,
rumah sakit jiwa, meja tulis, cendera mata, dan sebagainya.
b. Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian ditulis dengan
membubuhkan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya, misalnya anak-istri
pejabat, anak istri-pejabat, ibu-bapak kami, ibu bapak-kami, buku-sejarah baru,
buku sejarah-baru. Keenam gabungan kata ini mengacu pada konsep yang
berbeda.
c. Gabungan kata yang penulisannya terpisah tetap ditulis terpisah jika mendapat
awalan atau akhiran saja, misalnya bertepuk tangan, menganak sungai, garis
bawahi, sebar luaskan, dan sebagainya.
d. Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran sekaligus ditulis serangkai,
misalnya dilipatgandakan, menggarisbawahi, menyebarluaskan,
pertanggungjawaban, dan sebagainya.
e. Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai, misalnya radioaktif,
adakalanya, kacamata, apalagi, kasatmata, saputangan, bagaimana, kilometer,
barangkali, manasuka, beasiswa, matahari, segitiga, dan sebagainya.
b. Akronim
(1) Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata ditulis dengan
huruf kapital tanpa tanda titik, misalnya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), LAN (Lembaga Administrasi Negara), PASI (Persatuan Atletik
Seluruh Indonesia), dan sebagainya.
(2) Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan
suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital, misalnya Bulog
(Badan Urusan Logistik), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasi-
onal, Kowani (Kongres Wanita Indonesia) Sumbar (Sumatera Barat),
Suramadu (Surabaya-Madura), dan sebagainya.
(3) Akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf awal dan suku kata
atau gabungan suku kata ditulis dengan huruf kecil, misalnya iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi), pemilu (pemilihan umum), puskesmas (pusat
kesehatan masyarakat), tilang (bukti pelanggaran), dan sebagainya.
9. Partikel
Adapun aturan penulisan partikel adalah sebagai berikut.
a. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya, misalnya (1) Bacalah buku itu baik-baik! (2) Apakah yang
tersirat dalam surat itu? (3) Apatah gunanya bersedih hati?
b. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya, seperti contoh
berikut.
(1) Apa pun permasalahan yang muncul, dia dapat mengatasinya dengan
bijaksana.
(2) Jika kita hendak pulang tengah malam pun, kendaraan masih tersedia.
Akan tetapi, partikel pun ditulis serangkai dengan kata yang diikutinya jika
digungsikan sebagai penghubung atau konjungsi. jika yang merupakan
unsur kata penghubung ditulis serangkai, misalnya (1) Meskipun sibuk, dia
dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. (2) Dia tetap bersemangat
walaupun lelah. (3) Adapun penyebab kemacetan itu belum diketahui.
c. Partikel per yang berarti ‘demi’, ‘tiap’, atau ‘mulai’ ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya,seperti contoh berikut.
(1) Mereka masuk ke dalam ruang rapat satu per satu.
(2) Harga kain itu Rp 50.000,00 per meter.
(3) Karyawan itu mendapat kenaikan gaji per 1 Januari.
(3) Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau ang ka terakhir dalam
penomoran deret digital yang lebih dari satu angka dalam judul tabel, bagan,
grafik, atau gambar, seperti contoh berikkut.
(a) Tabel 1 Kondisi Kebahasaan di Indonesia
(b) Tabel 1.1 Kondisi Bahasa Daerah di Indonesia
(c) Bagan 2 Struktur Organisasi Bagan 2.1 Bagian Umum
(d) Grafik 4 Sikap Masyarakat Perkotaan terhadap Bahasa Indonesia
(e) Gambar 1 Gedung Cakrawala
c. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang
menunjukkan waktu atau jangka waktu, seperti contoh berikut.
(1) Pukul 01.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik atau pukul 1, 35 menit,
20 detik).
(2) 01.35.20 jam (1 jam, 35 menit, 20 detik)
(3) 00.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
(4) 00.00.30 jam (30 detik)
d. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama penulis, tahun, judul
tulisan (yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru), dan tempat
terbit, seperti contoh berikut.
(1) Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peta Bahasa di
Negara Kesatuan Republik Indone- sia. Jakarta.
(2) Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.
e. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya
yang menunjukkan jumlah, seperti contoh berikut.
(1) Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau. Penduduk kota itu lebih dari
7.000.000 orang. Anggaran lembaga itu mencapai Rp 225.000.000.000,00.
Akan tetapi tidak digunakan untuk
(a) memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak
menunjukkan jumlah, misalnya tahun 1956, halaman 1305, nomor
rekeningnya 0015645678.
(b) Akhir judul yang merupakan kepala karangan, ilustrasi, misalnya
Gambar 3 Alat Ucap Manusia (tidak diakhiri titik), Tabel 5 Sikap
Bahasa Generasi Muda Berdasarkan Pendidikan (tidak diakhiri titik).
(c) Mengakhiri alamat penerima dan pengirim surat serta tanggal surat,
seperti contoh berikut.
Yth. Direktur Taman Ismail Marzuki
Jalan Cikini Raya No. 73
Menteng
Jakarta
8. Tanda Seru
Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan berupa
seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan,
atau emosi yang kuat, seperti contoh berikut.
(1) Alangkah indahnya taman laut di Bunaken!
(2) Mari kita dukung Gerakan Cinta Bahasa Indonesia!
(3) Merdeka!
9. Elipsis
Adapun penggunaan elipsis adalah sebagai berikut.
a. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau
kutipan ada bagian yang dihilangkan, seperti contoh berikut.
(1) Penyebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.
(2) Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara
ialah ….
Tanda elipsis pada contoh (1) ditulis dengan spasi dari kata sebelum dan
sesudahnya, sedangkan dalam contoh (2) elipsis ditulid dengan empat tanda
ttik karena titik keempat berfungsi sebagai intonasi final.
b. Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog,
seperti contoh berikut.
(1) “Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?”
(2) “Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.”
--------