Korupsiiiiiii 6. Poin 1-4
Korupsiiiiiii 6. Poin 1-4
Disusun Oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Anti Korupsi
dengan pengetahuan yang kami miliki.
Kami berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pendidikan Anti Korupsi. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan – kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata – kata yang kurang
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang menyadari
bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat pemahaman yang
keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan korupsi sebagai kekuatan
sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-nilai kultural seperi pemberian
hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, namun ada pula sistem yang
memaksa seseorang berlaku korupsi.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PENGERTIAN KORUPSI
A. Definisi Korupsi
Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu Corruptio yang
arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap tidak bermoral
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap.
Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan
demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat
dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap
kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada tingkat
negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan. Ketiga korupsi
dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan
materil.
B. Bentuk-Bentuk Korupsi
Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilakukan di lingkungan instansi pemerintah pusat
maupun daerah, BUMN, dan BUMD serta bekerja sama dengan pihak ketiga antara lain sebagai
berikut :
5) Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan
uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak yang harus dikenali,
dan menyalahgunakan keuangan.
6) Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras.
7) Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
11) Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
12) Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
13) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat
laporan palsu.
14) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
18) Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
19) Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang tidak sesuai
yang sebenarnya.
22) Memata-mata secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan pribadi.
23) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
25) Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan dan double atau triple.
C. Sejarah Korupsi
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada
henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak bagaimana
tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak
(Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan
Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa
kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras
dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung
kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali
sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan
kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke
luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut
Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain”.
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala
kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad
untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara
lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite
ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon
pemerintah.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan
elit pemerintahan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi
dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa
menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran
beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang
tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur
sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya
melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak
luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada
konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan
kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian
nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi
merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
BAB III
· Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
· Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
· Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
· Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.
Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap
penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan
korupsi > kerugian bila tertangkap.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena
sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama
telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat
yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah
bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran
sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi
lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa
menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya
maupun orang lain.
BAB IV
A. Dampak Ekonomi
Di sisi lain, meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa, yang
kemudian dapat melonjakkan utang Negara. Pada keadaan ini inefisiensi terjadi, yaitu ketika
pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan, namun disertai dengan maraknya praktik korupsi.
Berbagai permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi sudah merajalela
yang dapat mengakibatkan lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi. Rendahnya kualitas barang
dan jasa bagi public, menurunnya pendapatan Negara dari sector pajak, meningkatnya hutang Negara.
Bagi masyarakat miskin, korupsimengakibatkan dampak yang luar biasadan saling bertaut
satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan olehorang miskin yakni semakin mahalnya
jasa berbagai pelayanan publik, rendahnyakualitas pelayanan, dan pembatasan aksesterhadap berbagai
pelayanan vital sepertiair, kesehatan, dan pendidikan. Kedua,dampak tidak langsung terhadap
orangmiskin yakni pengalihan sumber dayamilik publik untuk kepentingan pribadi dankelompok,
yang seharusnya diperuntukkanguna kemajuan sektor sosial dan orangmiskin, melalui pembatasan
pembangunan.Hal ini secara langsung memiliki pengaruhkepada langgengnya kemiskinan yangdapat
menimbulkan solidaritas social semakin langka dan demoralisasi sertadapat meningkatkan angka
kriminalitas.
BAB V
· Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi penegakan integritas diri
seseorang. Tanpa adanya kejujuran mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang berintegritas.
Seseorang dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Kejujuran juga akan terbawa dalam bekerja sehingga dapat membentengi
diri terhadap godaan untuk berbuat curang.
· Kepedulian
Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Individu yang
memiliki jiwa sosial tinggi akan memperhatikan lingkungan sekelilingnya di mana masih terdapat
banyak orang yang tidak mampu, menderita, dan membutuhkan uluran tangan. Pribadi dengan jiwa
sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar tetapi ia malah
berupaya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu sesama.
· Kemandirian
Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang menjadi tidak bergantung terlalu
banyak pada orang lain. Mentalitas kemandirian yang dimiliki seseorang memungkinkannya untuk
mengoptimalkan daya pikirnya guna bekerja secara efektif. Jejaring sosial yang dimiliki pribadi yang
mandiri dimanfaatkan untuk menunjang pekerjaannya tetapi tidak untuk mengalihkan tugasnya.
Pribadi yang mandiri tidak akan menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab
demi mencapai keuntungan sesaat.
· Kedisiplinan
Disiplin adalah kunci keberhasilan semua orang. Ketekunan dan konsistensi untuk terus
mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan dirinya dalam
menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan kebenaran menjadi pegangan utama dalam
bekerja. Seseorang yang mempunyai pegangan kuat terhadap nilai kedisiplinan tidak akan terjerumus
dalam kemalasan yang mendambakan kekayaan dengan cara yang mudah.
· Tanggung Jawab
Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya di muka
bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia. Segala tindak
tanduk dan kegiatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, masyarakat, negara, dan bangsanya. Dengan kesadaran seperti ini maka seseorang
tidak akan tergelincir dalam perbuatan tercela dan nista.
· Kerja Keras
Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi terwujudnya
kemanfaatan publik yang sebesar-besarnya. Ia mencurahkan daya pikir dan kemampuannya untuk
melaksanakan tugas dan berkarya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan mau memperoleh sesuatu
tanpa mengeluarkan keringat.
· Kesederhanaan
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya dan berupaya
memenuhi kebutuhannya dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk hidup
dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi modal kehidupannya adalah ilmu
pengetahuan. Ia sadar bahwa mengejar harta tidak akan pernah ada habisnya karena hawa nafsu
keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya.
· Keberanian
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran dan
menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir adanya penyimpangan dan berani menyatakan
penyangkalan secara tegas. Ia juga berani berdiri sendirian dalam kebenaran walaupun semua kolega
dan teman-teman sejawatnya melakukan perbuatan yang menyimpang dari hal yang semestinya. Ia
tidak takut dimusuhi dan tidak memiliki teman kalau ternyata mereka mengajak kepada hal-hal yang
menyimpang.
· Keadilan
Pribadi dengan karakter yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan jerih
payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah upayakan. Bila ia
seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada bawahannya sesuai dengan
kinerjanya. Ia juga ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat dan bangsanya.
B. PRINSIP-PRINSIP ANTIKORUPSI
Akuntabilitas
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang
dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu prinsip
akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat
pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan
dukungan masyarakat (de facto). Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang
keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang
karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga
mengharuskan agar setiap penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.Agenda-
agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan
Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.) Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah bahwa
setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan kepada
penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni Direktorat
Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada komponen-komponen
atau lembaga yang melakukan pengawasan.
2.) Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai penilaian dan
evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya dan tidak
dilakukan.
Transparansi
Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bisa dilihat dari aliran dana
tertentu (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Ketidaktahuan masyarakat akan dana-dana
tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk menikmatinya sesuka hati.
Fairness
Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau
Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi
dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran
kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu sendiri
terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijakan, dan
sebagainya.Prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktek-praktek ketidakwajaran, baik
berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat
menggiring setiap proses pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan
secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial. Korupsi
sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah memaksa setiap
Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan main anti
korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut tidak selalu identik
dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa undang-undang kebebasan mengakses
informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli, mauoun yang lainnya yang
dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran
Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hukum atau penegakan hukum
di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi bagian dari nilai-
nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh peraturan atau undang-
undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sebuah Negara yang
merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para pembuat
kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan integritas pembuatnya.
Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila pembuat kebijakan antikorupsi
adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru mereka menjadi bagian dari
carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control dan memberikan jalan dari tindakn
korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di dukung
oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur kenegaraan modern
terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Apabila penegak
kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya sebagai aturan yang mengikat bagi semua,
termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru
melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-nilai,
pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-undang anti korupsi.
Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah kebijakan.
Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan berpengaruh terhadap
efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara maksimal
baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di potong oleh sistem maupun budaya
masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya bias efektif melalui
peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat dari sejarah pemberantasan korupsi di
Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja maksimal di bandingkan dengan keberadaan
undang-undang atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara asia
yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat yang sangat rendah
dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
Control Kebijakan
Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas
pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama sekali
tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan
masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus di
rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control kebijakan.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tiga model control tersebut
tergantung pada bentuk rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta pilihan politik yang
hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan masyarakat dalam
mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan
pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat perundang-undangan,
transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka
keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Secara lebih focus, yang menjadi sasaran pengawasan
dan control public dalam proses pengelolaan anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan
konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan denghan pelaksanaan
penganggaran itu sendiri.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat secara
intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sektor-sektro yang meliputi:
1. Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas dan
sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2. Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan pajak
retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman luar negeri
dan pengolalanya dalam penganggaran.
3. Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh kontraktor
atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara fisik.
4. Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam
penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put) pekerjaan,
tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan yang telah dikerjakan ,
terutama proyek-proyek fisik.
Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan dan
dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh rangkaian
kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
BAB VI
Salah satu cara untuk memberantaskorupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang
khususmenangani korupsi. Sebagai
contohdi beberapa Negara didirikan lembaga yangdinamakanOmbudsmanyang tugasnyaantara lain
menyediakan sarana bagimasyarakat yang hendak mengajukankeberatan tentang apa yang dilakukan
olehlembaga pemerintah dan pegawainya.Selain itu juga,Ombudsmanmemberikanstandar perilaku
sertacode of conduct bagilembaga pemerintah maupun lembagahukum yang membutuhkan.
NegaraIndonesia sendiri sudah memiliki lembagayang khusus dibentuk untuk memberantaskorupsi,
yaitu Komisi PemberantasanKorupsi.
e) Mempergunakan hak pilihdengan baik baik itu dalam pilkada, pemiludan pilpres.
a) Mewajibkan pejabat public untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki,
baik sebelum maupun sesudah menjabat
b) Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang, baik di pemerintahan pusat, daerah, maupun militer,
salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah melakukan lelang atau penawaran secara
terbuka.
c) Membuat dan mengembangkan system yang transparan dan akuntabel dalamhal perekrutan negawai
negeri dananggota militer.
d) Selain system perekrutan, perlu pengembangan system penilaian kinerja pegawai negeri yang menitik
beratkan pada proses dan hasil kerja akhir.
BAB VII
Adopsi atas The G8 Ministerial Declaration on Recovering Proceeds of Corruption atau Deklarasi
G8 atas Pengembalian Aset hasil Korupsi ini dilakukan pada saat pertemuan G8 Justice and Home
Affairs Ministers yang diadakan di Washington, 11 May 2004. Deklarasi ini membuka jalan untuk
serangkaian inisiatif dengan tujuan untuk membantu negara korban kejahatan korupsi mendapatkan
kembali aset korupsi itu. Dalam hal Pengembalian Aset, Deklarasi ini melengkapi inisiatif StAR
atau Stolen Assets Recovery Initiatif.
a. membentuk suatu team gabungan yang berisi ahli dalam Bantuan Timbal Balik ketikamenerima
permintaan dari negara korban
b. membentuk satuan tugas berdasarkan kasus atas permintaan dari negara korban
c. menyelenggrakan workshop regional sebagai sarana tukar menukar informasi dengan negara korban
dalam hal teknik-teknik investigasi keuangan internasional dan tata cara bantuan timbal balik
d. memastikan tiap-tiap negara G8 mempunyai aturan yang meminta dilakukan Penelusuran Lebih
Ketat atau enhanced due diligence untuk rekening orang-orang yang masuk kategori Politically
Exposed Persons, dalam hal aturan tentang Informasi transaksi digital [Wire Transfer Originator
Information]
f. mencari alternatif yang lebih efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi
The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diluncurkan oleh World Bank dan UNODC di
New York, pada tanggal 17 September 2007, bertujuan untuk menolong negara-negara berkembang
mendapatkan kembali aset/dana tercuri itu dan membantu mereka dalam mempergunakan dana
curian yang dikembalikan itu untuk kepentingan pembangunan. Untuk mencapai tujuan itu, peranan
negara-negara maju juga disebut terutama untuk mengurangi halangan kembalinya dana-dana
curian itu ke negara yang berhak.
Dalam prakteknya, StAR didesain untuk bekerja di 4 area:
• Memperkuat integritas Pasar Keuangan dengan mengajak lembaga-lembaga keuangan agar mematuhi
peraturan tentang pencucian uang dan memperkuat kerja sama di antara financial intelligence units
[seperti PPATK] di seluruh dunia.
• Mengawasi penggunaan aset yang dikembalikan agar dipergunakan untuk kepentingan pembangunan,
seperti pendidikan dan infrastuktur.
konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. Konvensi ini menetapkan standar-standar hukum
yang mengikat (legally binding) negara-negara peserta untuk
mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis
internasional.
· HONG KONG - Bicara soal pemberantasan korupsi, banyak pakar yang mengatakan bahwa Hong
Kong adalah sebuah contoh sukses bagaimana mereka berhasil memberantas korupsi. Empat puluh
tahun yang lalu, organisasi anti-korupsi Transparansi Internasional mencatat bahwa Hong Kong
merupakan salah satu negara terkorup di dunia.
"Saya ingin membandingkan Hong Kong (tahun 1970-an) dengan Argentina saat ini," kata Ran Liao,
koordinator program senior untuk kawasan Asia Timur dan Selatan.
Transparansi Internasional baru mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi sejak 1995, namun
mereka memiliki data mengenai Hong Kong sejak tahun 1970-an, di mana Liao mengatakan saat itu
Hong Kong berada pada tingkat yang sejajar tidak hanya dengan Argentina, tapi juga Gabon dan
Tanzania.
Menurut Indeks Persepsi Korupsi terbaru, ketiga negara tersebut memiliki nilai rendah hanya 35 dari
total 100, dari skala O (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Sementara itu, kini Hong Kong berhasil mendapat nilai 77 dari total 100, menempatkan negeri ini di
urutan 14 dari 176 negara, yang berarti bahwa Hong Kong dianggap sedikit lebih korup dibandingkan
Jerman (13), namun lebih bersih dibandingkan Inggris (17) dan AS (19). Lalu, bagaimana caranya
Hong Kong bisa berhasil menekan angka korupsi? Perubahan itu berawal ketika bekas koloni Inggris
itu dilanda aksi demonstrasi massal di jalanan setelah Peter Godber, yang waktu itu menjabat
sebagai Inspektur polisi, melarikan diri dari Hong Kong ketika tengah diselidiki atas dugaan
melakukan korupsi. Aksi demonstrasi itu memicu didirikannya Komisi Independen Anti-Korupsi
(ICAC), sebuah badan pemerintah dengan kewenangan penyidikan yang luas. Namun perubahan ini
tidak hanya ditujukan pada pejabat pemerintah saja. "Mereka mengadopsi pendekatan tiga tujuan,
yaitu hukuman, pendidikan dan pencegahan," kata Liao. Pendidikan dimulai di taman kanak-kanak
lokal, di mana beberapa tokoh yang diciptakan ICAC mengedepankan dilema etika dan cerita-cerita
kepada anak-anak yang menyampaikan pesan bahwa kejujuran selalu menang."Kami tidak
mengajarkan mereka mengenai hukum namun kami mengajarkan mereka mengenai nilai-nilai," kata
Monica Yu, direktur eksekutif Pusat Pengembangan Etika Hong Kong, sebuah divisi ICAC.
Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas
korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu
menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Ketidakpercayaan
para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat ekonomi biaya tinggi
misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada hubungan ekonomi yang
merugikan.
BAB VIII
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap
UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri,
Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil
menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas
korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat.
Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes
dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena
korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri
yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang
divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor
itu menilep uang negara Rp. 7,6 milyar, jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya
yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku
tindak pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau
tidak diketahui kelanjutannya secara jelas.
Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi
Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen
66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil
yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak
terbentuk.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran
Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang
dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para
penyelenggara negara. Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian,
namun banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah
yang tidak dilaporkan milik Jaksa Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30
Tahun 2002 tentang KPK akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir
mempertahankan KPKPN melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh
Mahakamah Konstitusi.
Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur
kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim ini berada
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor
melaporkan perkembangan kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini
sudah disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan usaha milik
negara (BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.
1.Pasal 2
2.Pasal 3
3.Pasal 13
4.Pasal 15
• Setiap orang
Ayat (2):
UU No. 20/2001
Pasal 1 angka 1:
… adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi
yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan,
• terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan: keadaan bahaya, bencana alam
nasional, akibat kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter; dan
2. Pasal 3:
3. Pasal 13:
• Setiap orang memberi hadiah/janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan/ wewenang
yang melekat pada jabatan/kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada
jabatan/kedudukan tersebut
4. Pasal 15:
• Setiap orang yang mencoba/ membantu/ bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
BAB IX
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran serta
masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga) unsur utama,
yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah satu upaya pemberantasan
korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-korupsi di masyarakat.
B. Peran Mahasiswa
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil di
depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang mereka
miliki.
Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan
berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka
miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan
kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi
watch doglembaga-lembaga negara dan penegak hukum.
C. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat
wilayah, yaitu:
• Lingkungan keluarga
• Lingkungan kampus
• Masyarakat sekitar
• Tingkat lokal/nasional