Anda di halaman 1dari 17

TUGAS LINGKUNGAN LAUT

PENGASAMAN LAUT (Ocean Acidification)

Dosen Penggampu : Yusuf Arief Nurrahman, S.Kel,.M.Si

Nama : Semi Andryani

NIM : H1081201007

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2021
BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan ancaman bagi lingkungan pesisir dan laut. Beberapa
hasil riset menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan suhu bumi yang terjadi
bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca, terutama
Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4). Sebelum masa revolusi industri, konsentrasi
CO2 di atmosfer diperkirakan berkisar antara 200 ppm – 280 ppm, namun saat ini
konsentrasi CO2 telah mendekati 380 ppm sebagai hasil dari berbagai kegiatan manusia
seperti kegiatan industri dan penggunaan lahan. Dari keseluruhan CO2 yang dihasilkan
oleh kegiatan manusia, hanya setengah yang diserap oleh atmosfer, selebihnya sekitar 30%
terserap oleh laut dan 20% diserap oleh biosfer terestrial (Feely, et.al., 2004). Berdasarkan
kajian dari World Ocean Circulation Experiment/Joint Global Ocean Flux, konsentrasi
CO2 di atmosfer dan laut diperkirakan bisa lebih dari 800 ppm pada akhir abad ini.
Peningkatan konsentrasi CO2 ini akan menyebabkan gejala pengasaman pada perairan
karena akan terjadi peningkatan adsorbsi gas CO2 dari atmosfer ke permukaan perairan.
Selain itu, hal ini juga akan mengubah kimia laut dan berimplikasi serius terhadap terumbu
karang dan organisme penghasil kapur lainnya (Feely, et.al., 2004). Kondisi ini perlu
dipahamai dengan baik untuk bisa menentukan langkah kedepan agar fenomena
pengingkatan keasaman air laut ini tidak terus berlangsung. Oleh karena itu, penulis
menyusun makalah tentang pengasaman laut yang akan membahas tentang pengertian
pengasaman laut, proses terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengasaman
laut, bahaya dan dampak dari fenomena pengasaman laut, serta cara pengelolaan dan
penanggulangan pengasaman laut.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pengasaman laut (Ocean Acidification) terjadi?
2. Apa penyebab terjadinya pengasaman laut?
3. Darimana sumber terjadinya pengasaman laut?
4. Bagaimana bahaya dan dampak pengasaman laut pada lingkungan?
5. Bagimana cara pengelolaan dan penanggulangan pengasaman laut agar tidak
berbahaya?

1.3.Tujuan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui proses terjadinya pengasaman laut (Ocean Acidification).
2. Mengetahui bahaya dan dampak pengasaman laut pada lingkungan.
3. Mengetahui cara pengelolaan dan penanggulangan pengasaman laut.
BAB II DASAR TEORI

2.1. Pengertian Pengasaman Laut (Ocean Acidification)


Pengasaman laut (ocean acidification) merupakan istilah yang diberikan untuk
proses turunnya kadar pH air laut akibat kenaikan penyerapan karbon dioksida (CO2) di
atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Karbondioksida memiliki
presentasi yang relatif kecil dalam atmosfer bumi yakni sekitar 0,033%, namun dari tahun
ke tahun kadar CO2 cenderung mengalami peningkatan sebagian besar akibat dari
penggundulan hutan dan pembakaran bahan bakar fosil. Karbondioksida hasil aktivitas
manusia secara umum terbagi menjadi dua, sekitar 50% berada di atmosfer dan selebihnya
tersimpan di laut (Efendi, 2003). Meningkatnya konsentrasi kandungan karbondioksida
(CO2) di atmosfer bumi menyebabkan pemanasan global dan pengasaman laut (Fabry, et
al., 2008).
Rilis antropogenik CO2 di atmosfer menyebabkan pemanasan dan pengasaman
laut. Hal ini telah diusulkan sebagai ancaman utama bagi organisme laut, terutama pada
organisme yang mengandung kapur (CaCO3). Namun, penelitian mengenai pengasaman
laut saat ini adalah penemuan baru dan relatif sedikit bukti eksperimental yang tersedia
pada potensi dampak terhadap biota laut (Stump, et al., 2011).
Banyak penelitian menyebutkan bahwa laut telah menjadi penyerap CO2 terbesar
kedua setelah hutan sehingga memperlambat dampak polusi gas CO2 terhadap atsmosfer
bumi. Meskipun penyerapan oleh laut ini akan membantu memperbaiki efek iklim dari
emisi CO2 antropogenik, namun larutnya CO2 di lautan dapat menyebabkan naiknya
konsentrasi ion hidrogen (H+) sehingga akan mengurangi nilai pH dan mengakibatkan
lautan bersifat asam. Menurut Jacobson (2005), pH di permukaan laut diperkirakan turun
dari 8,25 menjadi 8,14 dari tahun 1751 hingga 2004. Penurunan pH lautan juga
ditunjukkan oleh penelitian Orr 4 et al., (2005), yang menyebutkan bahwa pH lautan telah
menurun sebesar kurang lebih 0,1 satuan yang setara dengan peningkatan 30% ion
hidrogen sejak dimulainya revolusi industri dan diperkirakan akan terus menurun hingga
0,3 sampai dengan 0,4 satuan pada tahun 2100. Perairan yang asam juga cenderung
menyebabkan terjadinya pengurangan kalsifikasi untuk pembentukan cangkang ketika
terpapar oleh naiknya kadar CO2, contohnya pada kerangkerangan dan hewan
bercangkang.
Asidifikasi atau menurunnya pH pada suatu larutan hingga keadaan asam
merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya reaksi antara air laut dengan gas CO2.
Reaksi antara air laut dengan gas CO2 tersebut akan membentuk asam karbonik yang akan
menurunkan pH air laut terutama pada daerah didekat permukaan (Kabangnga’, 2015).
Reaksi kimia yang terjadi pada proses pengasaman laut mengikuti persamaan berikut :

CO2 (g) + H20 (l) ↔ H2CO3 (aq) ;


H2CO3 (aq) ↔ H+ (aq) + HCO3 - (aq) ;
H + (aq) + CO3 2- (aq) ↔HCO3 - (aq)

CO2 dapat menjadi asam ketika bereaksi dengan air (H2O) sehingga disebut oksida
asam. H2CO3 atau yang biasa disebut asam karbonat merupakan suatu asam lemah dan
sedikit terionisasi menghasilkan H+, yang mengindikasikan larutan bersifat asam menurut
teori Asam Basa Arrhenius. Akibat reaksi ini, air laut menjadi kekurangan persediaan
karbonat (CO3 2- ) akibat pembentukan ion bikarbonat.
2.2. Penyebab
Sejak terbentuknya laut hingga beberapa puluh dekade belakangan ini, laut
memiliki stabilitas pH yang cukup sehingga mampu menyokong berbagai macam
kehidupan di dalamnya. Keadaan berubah pesat ketika peradaban manusia memasuki era
revolusi industri, dimana pembangunan di bidang industri telah berkembang secara cepat.
Dampak revolusi industri meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara drastis, namun
di lain pihak penggunaan bahan bakar fosil merupakan awal mula campur tangan manusia
terhadap kerusakan ekosistem. Era revolusi industri banyak menimbulkan hasil sampingan
berupa limbah zat kimia berbahaya serta polusi gas yang hingga kini masih menjadi
sorotan masalah pemanasan global yaitu emisi karbon dioksida (CO2).
Peneliti menemukan bahwa laut telah menjadi salah satu penyerap CO2 terbesar
setelah hutan sehingga memperlambat dampak polusi gas CO2 terhadap atsmosfer bumi.
Asidifikasi atau menurunnya pH pada suatu larutan hingga keadaan asam merupakan
fenomena yang terjadi akibat adanya reaksi antara air laut dengan gas CO2. Reaksi antara
air laut dengan gas CO2 tersebut akan membentuk asam karbonik yang akan menurunkan
pH air laut terutama pada daerah didekat permukaan.
Gambar 1. Reaksi air dengan CO2 membentuk asam karbonik
Sumber : www.sigma.com
Hal ini yang dinamakan Asidifikasi samudra atau Ocean acidification (Asidifikasi
samudra) yang merupakan istilah yang diberikan untuk proses turunnya kadar pH air laut
yang kini tengah terjadi akibat penyerapan karbon dioksida di atmosfer yang dihasilkan
dari kegiatan manusia (seperti penggunaan bahan bakar fosil). Menurut Jacobson (2005),
pH di permukaan laut diperkirakan turun dari 8,25 menjadi 8,14 dari tahun 1751 hingga
2004 (Wikipedia).
Pengasaman laut ialah perubahan kimia air laut akibat peningkatan karbon dioksida di
atmosfer. Karbon dioksida (CO2) yang terserap oleh air laut inilah yang mengakibatkan
perubaha kimia air laut. Karbon dioksida dalam air dapat menimbulkan pembentukan asam
karbonat (H2CO3), sehingga menyebabkan pH laut turun sebesar 0,1 unit. Meskipun ini
terlihat seperti bukan sebuah perubahan besar, namun skala pH adalah skala logaritma.
Dengan demikian, 0,1 satuan perubahan pH diterjemahkan ke dalam peningkatan 30 %
pada ion hidrogen. Bahkan diproyeksikan turun lagi sebesar 0,3-0,4 unit pada akhir abad
ini bila emisi gas CO2 terus bertambah.

Gambar 2. Proyeksi Perubahan Asidifikasi Samudera s/d Tahun 2009


Sumber : www.bpol.litbang.kkp.go.id
Air laut bersifat sedikit basa dengan derajat keasaman (ph) sekitar 8,2 di dekat
permukaan air laut. sejauh ini sejumlah emisi karbon dioksida yang terlarut dalam lautan
menurunkan ph air laut sekitar 0,1 (berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National
Research Council). Penurunan ph 0,1 berarti air menjadi 30 persen lebih asam dari kondisi
sebelumnya. Jika carbon dioksida terakumulasi secara terus-menerus, diperkirakan tingkat
keasaman laut akan turun menjadi 7,8 pada tahun 2100. Pada hasil studi menunjukkan
absorbsi karbon adalah kunci yang merusak makhluk berkerangka keras di lautan.
2.3. Sumber
Keasaman air laut ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen. Oleh karena itu,
peningkatan ion hidrogen dari pnyerapan karbon dioksida menurunkan pH laut dan
meningkatkan keasamannya. Selain melepaskan ion hidrogen, asam karbonat juga
membentuk ion bikarbonat (HCO3 -).
Karbon dioksida (CO2) merupakan sumber utama yang menyebabkan laut kian
asam. Oksida asam yang satu ini dapat berasal dari berbagai aktifitas, diantaranya hasil
buangan industry, peternakan, kendaraan, pembukaan lahan; dapat dikatakan bahwa
sesuatu yang sifatnya menghasilkan energy sepertinya menghasilkan gas ini. Bahkan
manusia juga menyuplai CO2 melalui proses pernapasan.
2.4. Bahaya dan Dampak Pengasaman Laut Bagi Lingkungan
Turunnya pH air laut menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap makhluk
hidup di dalam ekosistem laut. Asidifikasi secara tidak langsung dapat menghancurkan
ekosistem laut dan mengancam produktivitas perikanan. Hal tersebut terjadi karena
berkurangnya persediaan karbonat yang berdampak pada air laut yang menjadi korosif dan
dapat melarutkan cangkang (jika keasaman lautan cukup tinggi), melemahkan
pertumbuhan hewan laut dan terumbu karang beserta jutaan spesies hewan laut yang
bergantung kepadanya.
Peningkatan konsentrasi CO2 dan suhu sebagai komponen utama pengasaman laut
dapat mempercepat pemutihan (bleaching) dan menghambat pertumbuhan pada karang.
Karang akan berlendir sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai terhadap
kelangsungan hidup karang dan dampak terburuknya adalah matinya hewan karang
sehingga terumbu karang memutih (Cormap II, 2009; Kendo, dkk., 2013). Fantazzini et.al.,
(2015) juga menyebutkan bahwa karang akan meningkatkan makroporositasnya sebagai
respon terhadap berkurangnya mineralisasi kerangka pada kondisi pH yang rendah.
Peningkatan porositas kerangka serta penurunan kekakuan dan densitas bulk bisa berakibat
pada berkurangnya kepadatan populasi dan meningkatnya kerentanan kerusakan karang.
Rusaknya terumbu karang akan memengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman hewan lain
yang berasosiasi dengan karang seperti ikan karang, molusca, dan invertebrata lainnya.
Selain itu tingginya penyerapan CO2 juga dapat menghambat pertumbuhan
populasi fitoplankton (berkapur dan tidak berkapur), makroalga, dan komunitas
fitoplankton tropik. Dampaknya diprediksi semakin parah dan berpotensi merusak
ekosistem dengan terganggunya produktivitas primer (Sahabuddin, 2015). Halimeda sp
merupakan salah satu jenis makroalga yang terdampak karena mengandung kadar kalsium
dan dalam siklus hidupnya terdapat proses pengapuran (Soemarwoto, 2001). Menurut
Rukminasari, et.al. (2014), konsentrasi Ca pada Halimeda Sp yang berada pada air dengan
pH 8 terus mengalami peningkatan hingga hari ke-30, sebaliknya konsentrasi Ca pada
Halimeda Sp yang berada pada air dengan pH 5 dan 6 mengalami penurunan.
Ikan juga terpengaruh oleh pengasaman laut, terutama pada kemampuan ikan
dalam mengenali predatornya. Kemampuan larva ikan untuk mendeteksi sinyal-sinyal
ekologi yang penting terhambat oleh pengasaman laut. Sinyal-sinyal ekologi yang
berkaitan dengan kemampuan mengenali predator terdiri dari isyarat kimiawi dan isyarat
visual. Isyarat kimiawi berkaitan dengan pengenalan bau khas dari predator yang dikenali
oleh ikan melalui organ sensori, yaitu penciuman. Sedangkan isyarat visual terkait dengan
organ penglihatan ikan dalam mengenali bentuk predatornya (Puspitasari, 2012). Cripps
et.al., (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perbedaan kondisi air laut
dengan CO2 normal (sekitar 400 μatm) dan CO2 tinggi (sekitar 600 dan 900 μatm)
terhadap ikan. Dua jenis ikan yang merupakan mangsa dan pemangsa dimasukkan dalam
akuarium. Hasilnya, ada peningkatan kematian mangsa pada akuarium dengan perlakuan
CO2 tinggi. Kemampuan mangsa untuk menghindari predator merupakan salah satu
penyebabnya. Pengingkatan 7 konsentrasi CO2 terbukti mempengaruhi aspek isyarat
kimiawi dan visual tersebut, sehingga ikan tidak mampu mengenali predatornya (Dixson
et.al., 2010 dan Cripps et.al., 2011).
Selain itu, pada kondisi konsentrasi CO2 tinggi predator tidak memprlihatkan
adanya preferensi spesies mangsa, contohnya P. Fuscus tidak menunjukkan selektivitas
spesies mangsa tertentu dari segi ukuran. Hal ini berbahaya karena tidak ada pemilihan
ukuran mangsa padahal selektivitas mangsa sesungguhnya dapat mengendalikan
keberlangsungan populasi mangsa itu sendiri. Efek kualitatif dari peningkatan konsentrasi
CO2 adalah mempengaruhi komposisi spesies mangsa. P. Fuscus secara normal
mengkonsumsi ikan P. nagasakiensis dan P. chrysurus, namun preferensi ini tidak terjadi
pada kondisi konsentrasi CO2 tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa predasi pada kondisi
terjadi pengasaman akan mengubah kelimpahan relatif dari spesies tertentu dan komunitas
ikan (Ferrari et.al., 2011b dan Cripps et.al., 2011).

Gambar 3. Rangkuman efek pengasaman laut terhadap beberapa kelompok


taksonomi terpilih hingga penelitian Kroeker et.al., (2013) (Laffoley et.al., 2015)
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa hingga penelitian Kroeker et.al., (2013) telah
banyak ditemukan efek pengasaman laut terhadap kelompok taksonomi terpilih. Banyak
organisme laut yang menerima dampak negatif dari pengasaman laut seperti adanya
reduksi kelimpahan dan proses fotosintesis hingga masing-masing 80% dan 28% pada
kelompok Calcifying Algae. Meskipun lebih banyak respon negatif dari beberapa
kelompok, namun Fleshly Algae dan Diatoms mengalami peningkatan pada pertumbuhan
dan proses fotosintesisnya.
2.5. Pengelolaan dan Penanggulangan Pengasaman laut
Kurang lebih 22 juta ton gas CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia diserap
oleh lautan setiap harinya. Tidak hanya bagi laut, konsentrasi CO2 yang tidak terkontrol
juga menjadi biang masalah perubahan iklim dan pemanasan global, yang ujungnya akan
berdampak kembali ke manusia. Kesadaran akan kerusakan yang terjadi di laut akibat ulah
manusia ini perlu dibangun. Manusia harus mulai mampu untuk mengontrol emisi gas
buang CO2 karena jika tidak, organisme laut akan berada di dalam tekanan untuk
beradaptasi terhadap perubahan kimia air laut atau musnah karenanya (Burke, et al., 2012).
Menanggapi tantangan mendesak pengasaman laut, The Nature Conservancy
mengadakan lokakarya untuk para ahli kelautan di Honolulu, Hawaii, pada bulan Agustus
2008. Lokakarya ini dihadiri oleh pengelola terumbu karang, ahli kelautan, pakar iklim,
dan ilmuwan kelautan. Tujuan dari lokakarya ini adalah untuk mengembangkan fondasi
bagi strategi adaptasi yang dapat diterapkan oleh pengelola kelautan untuk mengatasi
dampak pengasaman laut. Laporan lokakarya akhir yang disebut dengan Deklarasi
Honolulu tentang Pengasaman Laut dan Pengelolaan Terumbu, menguraikan serangkaian
kebijakan dan praktik manajemen yang akan memandu langkah-langkah awal dan
mendesak yang diperlukan untuk memberikan peluang terbaik bagi terumbu karang untuk
mengatasi pengasaman laut.
Deklarasi ini menekankan bahwa dua strategi utama harus diterapkan segera dan
bersamaan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan untuk menjaga nilai sistem
terumbu karang:
1. Batasi emisi bahan bakar fosil.
2. Bangun ketahanan ekosistem laut tropis dan masyarakat untuk memaksimalkan
kemampuan mereka melawan dan pulih dari dampak perubahan iklim.
Rekomendasi manajemen berikut diidentifikasi:
 Menggabungkan terumbu dengan kerentanan atau kerentanan rendah terhadap
pengasaman laut ke dalam rencana zonasi KKL (Kawasan Konservasi Laut) selama
pengembangan atau tinjauan rutin.
 Memasukkan ke dalam rencana pengelolaan KKL strategi dan tindakan adaptasi
khususuntuk mengatasi ancaman perubahan iklim (pengasaman laut dan pemanasan
dan kenaikan permukaan laut), termasuk pemantauan efektivitasnya.
 Secara berkala meninjau rencana pengelolaan terumbu karang untuk
menggabungkan penelitian terbaru dan temuan ilmiah ke dalam pendekatan
proaktif dan adaptif untuk mengatasi dampak pengasaman laut.
 Kembangkan, uji, dan, jika perlu, lakukan intervensi untuk mengurangi efek
pengasaman laut pada wilayah dan spesies prioritas tinggi, misalnya dengan
mengurangi dampak dari gangguan lokal.
 Kembangkan, uji, dan terapkan intervensi inovatif untuk mengurangi kerusakan
terumbu yang dilemahkan oleh pengasaman laut, dan untuk mempromosikan
pengisian kembali komunitas terumbu karang yang dimiskinkan oleh hilangnya
spesies terumbu karang sebagai dampak gabungan dari perubahan iklim, termasuk
suhu air laut yang tinggi dan kenaikan permukaan laut.
 Mengintegrasikan pengelolaan terumbu karang dengan tata guna lahan dan zona
pesisir dan praktik-praktik untuk mengurangi input polutan (terutama, senyawa
amonium, nitrogen dan sulfur oksida) yang meningkatkan keasaman perairan lokal.

Selanjutnya pada 30 Januari 2009, ilmuwan-ilmuwan kelautan yang sebelumnya


bertemu di Monako pada Oktober 2008 merilis pernyataan kuat tentang percepatan
pengasaman laut karena meningkatnya emisi karbon yang disebabkan oleh perubahan
iklim akibat ulah manusia. Deklarasi menyerukan kepada Pemerintah untuk mengambil
tindakan segera untuk mengurangi emisi karbon. Lebih dari 150 ilmuwan kelautan dari
negara 26 menandatangani Deklarasi Monaco yang memperingatkan bahwa “pengasaman
laut dapat mempengaruhi jaring makanan laut dan menyebabkan perubahan besar dalam
stok ikan komersial, mengancam pasokan protein dan keamanan pangan bagi jutaan orang
serta industri perikanan bernilai miliaran dolar”. Deklarasi tersebut mendesak para
pembuat kebijakan untuk meluncurkan empat jenis inisiatif:
1. Untuk membantu meningkatkan pemahaman tentang dampak pengasaman laut
dengan mempromosikan penelitian.
2. Untuk membantu membangun hubungan antara para ekonom dan ilmuwan yang
diperlukan untuk mengevaluasi tingkat dampak sosial ekonomi dan biaya untuk
tindakan versus tidak bertindak.
3. Untuk membantu meningkatkan komunikasi antara pembuat kebijakan dan
ilmuwan sehingga a) kebijakan baru didasarkan pada temuan saat ini dan b) studi
ilmiah dapat diperluas untuk memasukkan pertanyaan yang paling relevan dengan
kebijakan.
4. Untuk mencegah kerusakan parah akibat pengasaman laut dengan mengembangkan
rencana yang ambisius dan mendesak untuk mengurangi emisi secara drastis.
BAB 3 STUDI KASUS

3.1. Pengaruh Pengasaman Laut Terhadap Terumbu Karang


Meningkatkan karbon dioksida atmosfer (CO2) diserap oleh lautan dan
menyebabkan perubahan dalam kimia karbonat lautan. Pengasaman laut terjadi ketika
CO2 di atmosfer bereaksi dengan air untuk menciptakan asam karbonat, menurunkan pH
air laut (meningkatkan keasaman air laut) dan konsentrasi ion karbonat. Ion karbonat
sangat penting untuk kalsifikasi, proses yang diperlukan untuk semua hewan laut yang
membuat kerangka kalsium karbonat, seperti karang.
Meskipun kimiawi dari efek ini dipahami dengan baik, sejauh mana dampak
pengasaman laut pada ekosistem laut dan kesejahteraan manusia tidak diketahui. Laut yang
menghangatkan dan pengasaman laut sudah mempengaruhi terumbu dengan
penyebabnya acara pemutihan karang massal dan memperlambat pertumbuhan kerangka
karang, yang mengancam ketahanan terumbu karang.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengasaman parah dan pemanasan saja
dapat mengurangi ketahanan terumbu karang melalui gangguan pertumbuhan karang dan
peningkatan mortalitas karang. Selain itu, pengasaman laut cenderung membuat karang
lebih rentan terhadap kerusakan akibat tropis dampak badai. Kemampuan karang untuk
mengimbangi kenaikan permukaan laut juga dapat dikurangi karena penurunan tingkat
pertumbuhan yang disebabkan oleh pengasaman laut. Akhirnya, terumbu yang sudah
terancam punah pemicu stres lokal lebih rentan terhadap pengasaman laut manajemen
stresor skala lokal akan sangat penting untuk menjaga terumbu tetap sehat dalam
menghadapi meningkatnya tekanan global.
Terumbu karang di seluruh dunia menghadapi ancaman berat yang membahayakan
kelangsungan hidup mereka dan telah menyebabkan degradasi dan kehancuran di banyak
tempat. Tindakan pengelolaan baru sangat dibutuhkan untuk memastikan terumbu karang
terus ada dan memulihkan struktur dan fungsinya di tempat yang telah dikompromikan.
Untungnya, para ilmuwan, konservasionis, dan manajer lingkungan di seluruh dunia
sedang mengembangkan dan menerapkan strategi baru untuk melindungi dan melestarikan
ekosistem ini terhadap serangkaian ancaman lokal dan global. Selain memahami dan
berkomunikasi pentingnya terumbu karang, juga penting untuk memahami sejauh mana
terumbu karang berisiko.
Di bawah ini adalah temuan utama dari 2011 Terumbu Karang yang Beresiko
Revisi melaporkan ref yang mengkuantifikasi ancaman saat ini terhadap terumbu karang
di seluruh dunia dan memproyeksikan risiko degradasi di masa depan.
Status Terumbu Karang di Seluruh Dunia
 Sekitar 75% terumbu karang di seluruh dunia saat ini terancam oleh kombinasi
dari lokal serta global stresor.
 Terumbu karang mengalami suhu dan keasaman laut yang lebih tinggi daripada
sebelumnya dalam 400,000 tahun terakhir.
 Lebih dari 60% terumbu karang di seluruh dunia secara langsung mengalami satu
atau lebih tekanan lokal.
 Ancaman memancing (Yaitu, penangkapan ikan yang berlebihan dan perikanan yang
merusak) dianggap sebagai ancaman non-iklim yang paling signifikan yang
mempengaruhi terumbu karang, dan mereka mempengaruhi lebih dari 55% dari
semua terumbu di seluruh dunia.
 Oleh 2050, hampir semua terumbu karang akan diklasifikasikan sebagai terancam
oleh kombinasi penyebab stres global dan lokal.
 Tanpa tindakan yang diambil untuk meminimalkan stresor lokal, persentase terumbu
karang yang terancam di seluruh dunia akan naik menjadi 90% oleh 2030 dan
mendekati 100% oleh 2050.
 Ancaman di Berbagai Wilayah Terumbu Karang
 Hampir 95% terumbu karang di Asia Tenggara terancam.
 Indonesia memiliki wilayah terumbu karang terancam yang terbesar, dengan
ancaman penangkapan ikan menjadi penyebab utama terumbu karang.
 Lebih dari 75% terumbu karang di Atlantik terancam. Di lebih dari 20 negara dan
teritori di wilayah ini, semua terumbu karang dinilai sebagai terancam.
 Lebih dari 65% dari terumbu karang di Samudera Hindia dan Timur Tengah berada
di bawah tekanan oleh ancaman lokal.
 Hampir 50% terumbu karang di Pasifik terancam.
 Sekitar 14% terumbu karang Australia terancam, meskipun peringkatnya adalah
wilayah terumbu karang yang paling tidak terancam.
Peta © WRI (World Resources Institute)

Peta
eta ini menunjukkan klasifikasi global terumbu karang berdasarkan perkiraan
ancaman saat ini dari aktivitas manusia setempat, menurut indeks ancaman lok
lokal
Terintegrasi dengan Risiko. Indeks ini mencakup penangkapan ikan yang berlebihan dan
perikanan yang merusak, pembangunan pesisir, polusi berbasis DAS, polusi da
dan kerusakan
berbasis kelautan. Pemanasan
emanasan global dan pengasaman laut tidak termasuk karena bersifat
global, bukan ancaman lokal.
Peningkatan
eningkatan Ancaman terhadap Terumbu Karang
 Persentase terumbu karang yang terancam telah meningkat sebesar 30% dalam 10
tahun terakhir.
 Peningkatan telah terjadi di semua ancaman lokal dan semua wilayah di dunia.
 Ancaman memancing (penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang
merusak) telah meningkat sebesar 80% dalam 10 tahun terakhir, menjadikannya
pemicu stres non-iklim
iklim terbesar yang dihadapi terumbu karang di seluruh dunia.
 Pemutihan karang massal kini telah terjadi di setiap wilayah di dunia.
 Diproyeksikan
iproyeksikan bahwa selama sebagian besar tahun di 2050s, 95% dari terumbu karang
akan mengalami tekanan dan potensi panas yang tinggi.
 Disebabkan oleh pengasaman laut,, diproyeksikan bahwa oleh 2050 hanya sekitar 15%
dari terumbu karang akan berada di daerah di mana tingkat aragonit cukup untuk
pertumbuhan karang.
 Negara dan wilayah 27 diidentifikasi sangat rentan terhadap kehilangan terumbu di
seluruh wilayah terumbu karang dunia; 19 di antaranya adalah negara pulau kecil.
Penting untuk mengomunikasikan status terumbu karang di tingkat lokal. Informasi ini
seringkali sulit ditemukan atau diakses. Untuk informasi tingkat negara tentang ancaman
terhadap terumbu karang, Anda dapat mengaksesnya terbuka di jendela baruSitus web
Reefs At Risk untuk menemukan laporan yang mencakup informasi terumbu global,
regional, dan lokal yang terperinci.

Terumbu karang yang berisiko dari ancaman lokal yang terintegrasi berdasarkan wilayah.
Image © WRI (World Resources Institute)
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Pengasaman laut (ocean acidification) merupakan istilah yang diberikan untuk
proses turunnya kadar pH air laut akibat kenaikan penyerapan karbon dioksida
(CO2) di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Ketika CO2
terlarut, dia akan bereaksi dengan air membentuk suatu kesetimbangan jenis ionik
dan non-ionik yaitu: karbon dioksida yang terlarut bebas (CO2 (aq)), asam karbonat
(H2CO3), bikarbonat (HCO3), dan karbonat (CO3 2- ). Terlarutnya CO2 juga akan
menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di lautan, sehingga akan
mengurangi pH lautan.
2. Turunnya pH air laut menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap makhluk
hidup di dalam ekosistem laut. Asidifikasi secara tidak langsung dapat
menghancurkan ekosistem laut dan mengancam produktivitas perikanan. Hal
tersebut terjadi karena berkurangnya persediaan karbonat yang berdampak pada air
laut yang menjadi korosif dan dapat melarutkan cangkang (jika keasaman lautan
cukup tinggi), melemahkan pertumbuhan hewan laut dan terumbu karang beserta
jutaan spesies hewan laut yang bergantung kepadanya.
3. Sebagai penghasil terbesar CO2 yang merupakan penyebab pengasaman laut,
manusia harus disadarkan untuk mengkontrol emisi CO2 ke atmosfer. Selain itu,
peran pengelola kelautan juga perlu berkomitmen untuk sama-sama melakukan
pengelolaan laut secara berkelanjutan.
DAFTAR REFERENSI

https://id.scribd.com/document/424437593/Sesar-Prabu-ocean-Acidification
https://id.scribd.com/document/328161415/Ocean-Acidification
https://reefresilience.org/id/reefs-are-at-risk/

Anda mungkin juga menyukai