Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TECHNOPRENEURSHIP

Disusun Oleh :

NAMA : MISBARUDIN

NIM : 025012.62401.19.011

KELAS : TI.5A

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

POLITEKNIK SEKAYU

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Entrepreneurship atau kewirausahaan adalah sebuah tema yang cukup menarik


untuk dibicarakan dan coba ditekuni oleh beberapa orang karena menjanjikan sebuah
kesuksesan karir dan finansial bagi yang berhasil menjalaninya. Di Indonesia,
pembicaraan mengenai entrepreneurship semakin sering terdengar dalam beberapa
tahun terakhir ini antara lain dipicu oleh suksesnya penjualan buku “Rich-Dad-Poor-
Dad” karangan Robert Kiyosaki yang secara eksplisit menyarankan kepada
pembacanya untuk beriwirausaha sebagai bagian untuk memperoleh kebebasan
finansial. Bahkan beberapa pemuda bertutur bahwa mereka ingin menjadi wirausaha
dengan mendirikan perusahaan dan memperoleh kebebasan finansial seperti yang
disarankan oleh Kiyosaki tanpa menghiraukan bidang apa yang akan mereka terjuni
dan hambatan apa saja yang akan mereka temui dalam berwirausaha.
Di samping itu, dunia Teknologi Informasi (IT) adalah sebuah dunia usaha dan
teknologi yang paling banyak menghasilkan enterpreneur yang sukses baik secara
bisnis maupun keuangan. Nama-nama seperti Hewlet-Packard, Bill Gates, Lerry
Elison, Steve Jobs, dan Michael Dell merupakan nama-nama pendiri perusahaan di
bidang Teknologi Informasi, dan merupakan entrepreneur murni karena mereka
memulai usaha yang baru sama sekali dan di usia yang cukup muda.
Melihat kondisi inilah maka tidak heran kalau banyak sekali enterpreneur yang
ingin mendirikan usaha dalam bidang IT, bahkan di era dot-com, hampir semua
entrepreneur berusaha mendirikan perusahaan dot-com. Seiring dengan berlalunya
era dot-com dan dengan jatuhnya banyak perusahaan dot-com, tetap tidak
mengurangi semangat para entrepreneur muda untuk mencoba peruntungan mereka
dalam dunia IT ini.
Maka dari itu dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai hal-hal umum yang
menyangkut seputar technopreneurship dan sudah sejauh mana perkembangannya
baik dalam dilingkup Indonesia maupun di Asia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. KEWIRAUSAHAAN

Kewirausahaan atau entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis, yaitu


perantara. Menurut para ahli kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk
memulai suatu usaha dan perkembangan usaha (Soeharto Prawiro, 1997). Sedangkan
menurut Robbin dan Coulter bahwa Entrepreneurship is the process whereby an
individual or a group of individuals uses organized efforts and means to pursue
opportunities to create value and grow by fulfilling wants and need through
innovation and uniqueness, no matter what resources are currently controlled
(Kewirausahaan adalah proses dimana seorang individu atau kelompok individu
menggunakan upaya yang terorganisir dan sarana untuk mencari peluang untuk
menciptakan nilai dan tumbuh dengan memenuhi keinginan dan kebutuhan melalui
inovasi dan keunikan, tidak peduli sumber daya apa yang dikendalikan). Sedangkan
Peter Druker mendefinisikan ; “ the practice of consistently converting good ideas
into profitable commercial ventures”. Berdasarkan definisi di atas ada beberapa kata
kunci tentang pengertian entrepreneurship atau di Indonesia di kenal dengan
”kewirausahaan”, yaitu : 1) aktivitas manusia yang creative dan inovatif; 2)
kemampuan untuk membuat dan membangun yang belum ada; 3) visi untuk bersedia
mengambil resiko; 4) kewirausahaan adalah ilmu, yang dapat di pelajari (Peter
Druker).
Beranjak dari pengertian di atas maka entrepreneur atau wirausahawan adalah
orang yang memiliki paradigma hidup sebagai innovator, creator dan oportunis,
orang ini juga menjadi kunci perubahan yang mampu mencptakan lapangan kerja dan
kesejahteraan. Wirausaha adalah orang yang ingin di sebut “boss” yang mampu
menjadi penggerak ekonomi.
3.2 TECHNOPRENEURSHIP

Ditilik dari asal katanya, technopreneurship merupakan istilah bentukan dari


dua kata, yakni „teknologi‟ dan „enterpreneurship‟. Secara umum, kata teknologi
digunakan untuk merujuk pada penerapan praktis ilmu pengetahuan ke dunia industri
atau sebagai kerangka pengetahuan yang digunakan untuk menciptakan alat-alat,
untuk mengembangkan keahlian dan mengekstraksi materi guna memecahkan
persoalan yang ada. Sedangkan kata entrepreneurship berasal dari
kata entrepreneur yang merujuk pada seseorang atau agen yang menciptakan
bisnis/usaha dengan keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian untuk
mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang
ada (Zimmerer dan Scarborough, 2008).
Jika kedua kata diatas digabungkan, maka kata teknologi disini mengalami
penyempitan arti, karena Teknologi dalam “technopreneurship” mengacu pada
Teknologi Informasi, yakni teknologi yang menggunakan komputer sebagai alat
pemrosesan. Menurut Posadas (2007), istilah technopreneurship dalam cakupan yang
lebih luas, yakni sebagai wirausaha di bidang teknologi yang mencakup teknologi
semikonduktor sampai ke asesoris komputer pribadi (PC). Sebagai contoh adalah
bagaimana Steven Wozniak dan Steve Job mengembangkan hobi mereka hingga
mereka mampu merakit dan menjual 50 komputer apple yang pertama, atau juga
bagaimana Larry Page dan Sergey Brin mengembangkan karya mereka yang
kemudian dikenal sebagai mesin pencari google. Mereka inilah yang disebut sebagai
para teknopreneur dalam definisi ini.
Dalam wacana nasional, istilah technopreneurship lebih mengacu pada
pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan wirausaha. Berbeda dengan
pengertian pertama diatas, jenis wirausaha dalam pengertian technopreneurship disini
tidak dibatasi pada wirausaha teknologi informasi, namun segala jenis usaha, seperti
usaha mebel, restoran, super market ataupun kerajinan tangan, batik dan perak.
Penggunaan teknologi informasi yang dimaksudkan disini adalah pemakaian internet
untuk memasarkan produk mereka seperti dalam perdaganganonline (e-Commerce),
pemanfaatan perangkat lunak khusus untuk memotong biaya produksi, atau
pemanfaatan teknologi web 2.0 sebagai sarana iklan untuk wirausaha. Dalam
pengertian kedua ini, tidaklah jelas pihak mana yang bisa disebut
sebagai technopreneur.
Merujuk pada Dorf and Byers (2005) mendefinisikan technological
entrepreneurship sebagai “style of business leadership that involve identifying high
potential, technology intensive commercial opportunities, gathering resources such
as talent and capital, and managing rapid growth and significant risk using
principled decision making skill. Technology ventures exploit breakthrough advances
in science and engineering to develop better products and services for costumer. The
leader technology ventures demonstrate focus, passion and unrelenting will to
succeed”. Shane and Venkataraman (2004) mendefiniskan technological
entrepreneurship sebagai proses yang digunakan oleh wirausahawan untuk
mengelola sumber daya, system teknis (teknologi), dan strategi organisasi untuk
memanfaatkan peluang, sedangkan Canadian Academy Engineering (1998),
mendifinisikan sebagai “pengaplikasian inovatif dari pengetahuan teknis dan
keilmuan seseorang atau beberapa orang yang memulai dan mengoperasikan
bisnisnya berdasarkan resiko dalam mencapai tujuan organisasi”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat di gambarkan secara umum
technological entrepreneurship sebagai gaya bisnis yang berdasarkan kemampuan
menjadikan technology dasar untuk mengidentifikasi peluang usaha dan
menggunakan teknologi sebagai alat atau system pembuatan keputusan bisnis
berdasarkan kemampuan pengetahuan dan keilmuannya, termasuk merancang,
membuat dan menditribusikan hasil produksi perusahaan kepada pengguna.
Dalam buku Cash Flow Quadrant karya Robert Kiyosaki menyebutkan bahwa
ada 4 karakter di dunia ini dalam hal mendapatkan penghasilan, yaitu employee, self-
employee, business owner, dan investor. Dan hal yang paling menakjubkan adalah
technopreneur adalah satu kategori baru yang keluar dari 4 karakter tersebut.Artinya
dunia technopreneur adalah suatu dunia baru, dimana masih sangat terbuka dengan
luas kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang besar.
Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information
and communication technology–ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana
dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia.Teknologi telematika
dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication),
pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan
mempergunakan sarana multimedia.
Technopreneurship adalah sebuah inkubator bisnis berbasis teknologi, yang
memiliki wawasan untuk menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan
generasi muda, khususnya mahasiswa sebagai peserta didik dan merupakan salah
satu strategi terobosan baru untuk mensiasati masalah pengangguran intelektual yang
semakin meningkat ( +/- 45 Juta orang). Dengan menjadi seorang usahawan terdidik,
generasi muda, khususnya mahasiswa akan berperan sebagai salah satu motor
penggerak perekonomian melalui penciptaan lapangan-lapangan kerja baru. Semoga
dengan munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas
permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini.Selain itu juga bisa
menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK,
sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.
Salah satu cara untuk mempersiapkan seorang tecnopreneurship ialah dengan
memberikan dasar-dasar dalam technopreneur, yakni memberikan bekal dimana
salah satunya ialah teknologi komunikasi dan informatika. Dimana teknologi ialah
salah satu dasar penting yang harus dimiliki seorang entrepreneur untuk menjadi
seorang technopreneur.
Salah satu jurusan di perguruan tinggi yang menjalankan program
perkuliahan dengan berbasiskan technopreneur adalah jurusan TI.Secara teknis,
implementasi pendidikan berbasis technopreneurship ini, sama saja seperti
perkuliahan pada umumnya, hanya saja pada 2 semester pertama secara intensif para
mahasiswa diberikan pelatihan (training) sebagai pondasi awal berupa penguasaan
bahasa pemrograman (VB.Net/C#/Java) atau disain grafis 3D, WEB, dan ini
disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri TI saat itu.

2.2.1 Aspek Pembentukan Karakter Technopreneurship

Berikut adalah beberapa aspek yang harus diperhatikan untuk menjadi


seorang technopreneur selain menyiapkan pengetahuan tentang teknologi :
1. Menggali diri
Kunci untuk mengidentifikasi jiwa pengusaha adalah dengan cara melihat
karakter seseorang, khususnya pada hal-hal yang menjadi kebiasaan, alami dan
dilakukan dengan baik. Setiap dari kita, memiliki susunan karakter tertentu yang
menjadikan kita, apa adanya. Digunakan kata Tema Karakter untuk menggambarkan
unsur-unsur yang membentuk susunan karakter.Mengetahui Tema
Karakter Seseorang adalah permulaan. Tema Karakter adalah inti, seperti pusat bola
salju yang mengumpulkan lebih banyak salju ketika menggelinding menuruni bukit.
Ia mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman dalam prosesnya. Tema Karakter
membentuk pengetahuan dan pengalaman dalam satu wilayah yang berhubungan.
Bila seseorang dengan kreativitas sebagai tema karakter yang dominan, akan
memiliki kemampuan lebih untuk mengatasi situasi yang membutuhkan adaptasi dan
perubahan dibandingkan dengan yang memiliki tema karakter dengan kreativitas
yang lebih rendah. Pengalaman Hidup dapat mengembangkan dan memperkuat tema
karakter, tetapi dapat juga menguranginya. Pendidikan dan latihan juga memberikan
bentuk dan ukuran bola salju, pentingnya mengetahui tema karakter kita tidak dapat
diremehkan sebaliknya semakin cepat kita mengetahuinya akan lebih
baik. Wirausahawan memiliki enam tema karakter utama yang membentuk akronim:
F (Focus) untuk fokus,
A (Advantage) untuk keuntungan,
C (Creativity) untuk kreativitas,
E (Ego) untuk ego,
T (Team) untuk tim,
S (Social) untuk sosial

2. Kemampuan yang Diperlukan


Keterampilan yang dibutuhkan oleh para pengusaha dapat dikelompokkan
menjadi tiga area utama: keterampilan teknis seperti menulis, mendengarkan,
presentasi lisan, pengorganisasian, pembinaan, bekerja dalam tim, dan teknis tahu-
bagaimana(know-how), keterampilan manajemen usaha termasuk hal-hal dalam
memulai, mengembangkan, dan mengelola perusahaan. Keterampilan dalam
membuat keputusan, pemasaran, manajemen, pembiayaan, akuntansi, produksi,
kontrol, dan negosiasi juga sangat penting dalam membangun dan mengembangkan
usaha baru.Keterampilan terakhir melibatkan keterampilan kewirausahaan.Beberapa
keterampilan ini, membedakan pengusaha dari manajer termasuk disiplin, pengambil
risiko, inovatif, teguh, kepemimpinan visioner, dan yang berorientasi perubahan.

3. Memulai usaha
Ada empat subkategori menjadi wirausahawan:
1. Penemu, mendefinisikan konsep, unik, baru, penemuan atau metodologi
2. Inovator, menerapkan sebuah teknologi baru atau metodologi untuk
memecahkan masalah baru.
3. Marketer, mengidentifikasi kebutuhan di pasar dan memenuhinya dengan
produk baru atau produk substitusi yang lebih efisien.
4. Oportunis, pada dasarnya sebuah broker, pialang, yang menyesuaikan antara
kebutuhan dengan jasa diberikan dan komisi.

3.3 PERKEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP DI ASIA

Jika kita menengok ke 2 -3 dekade yang lalu, maka sebut saja Taiwan, Korea
Selatan dan Singapura masih digolongkan sebagai Negara Berkembang. Namun
sekarang negara-negara ini telah menjadi negara maju dengan perekonomian yang
didasarkan pada Industri teknologi. Perkembangan Korea diawali dengan industri
tradisional kemudian diikuti oleh industri semikonduktor. Sedangkan Singapura
memiliki kontrak di bidang elektronik dengan perusahaan-perusahaan barat
kemudian diikuti juga oleh manufaktur semikonduktor. Taiwan terkenal dengan
industri asesoris komputer pribadi (PC). Rahasia lain yang membuat perkembangan
negara-negara ini melejit adalah adanya inovasi.
Inovasi di bidang teknologi Informasi inilah yang juga membuat India
berkembang dan menjadi incaran industri dunia barat baik bagi outsourcing maupun
penanaman modal. Contoh teknologi yang dikembangkan oleh India adalah
sebuah Handheld PC yang disebut sebagai simputer. Simputer dikembangkan untuk
pengguna pemula dan dari sisi finansial adalah pengguna kelas menengah bawah.
Simputer dijalankan oleh prosesor berbasis ARM yang murah dan menggunakan
sistem operasi berbasis opensource. Harga di pasaran adalah sekitar $200.
Inovasi India yang luar biasa datang dari perusahaan Shyam Telelink Ltd.
Shyam Telelink memperlengkapi becak dengan telefon CDMA yang berkekuatan
175 baterai. Becak inipun diperlengkapi juga dengan mesin pembayaran otomatis.
Penumpang becak bisa menelpon dan tarif yang dikenakan adalah sekitar 1.2 rupee
per 20 menit. Lalu perusahaan ini mempekerjakan orang yang tidak memiliki
keahlian untuk mnegemudikan becak. Upah para pengemudi becak tidak didasarkan
pada gaji yang tetap namun merupakan komisi sebesar 20% dari tiap tarif telepon
yang diperoleh (Wireless week, 2003).
Di Filipina, perusahaan telepon SMART mengembangkan metode untuk
melayani transfer pengiriman uang dari para pekerja Filipina yang diluar negeri
melalui telepon seluler dengan SMS. Menurut laporan Asian Development Bank
(ADB), SMART dapat meraup sekitar US $14 – 21 trilyun per tahunnya dari biaya
transfer program ini.
China mengikuti jejak yang sama. Perusahaan-perusahaan China mulai
menunjukkan kiprahnya di dunia internasional. Akuisisi IBM oleh perusahaan China
Lenovo di tahun 2004 dan akuisisi perusahaan televisi Perancis Thomson oleh
Guangdong membuktikan bahwatechnoprenuership di China semakin kukuh.
Studi Posadas menunjukkan bahwa technopreneurship di Asia berkembang
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, faktor inovasi yang diinsiprasikan oleh
Silicon Valley. Jika revolusi industri Amerika di abad 20 yang lalu dipicu oleh
inovasi yang tiada henti dari Silicon valley, maka negara-negara Asia berlomba
untuk membangun Silicon Valley mereka sendiri dengan karakteristik dan lokalitas
yang mereka miliki.
Kedua, Inovasi yang dibuat tersebut diarahkan untuk melepaskan diri dari
ketergantungan dunia barat. Sebagian besar teknologi yang diciptakan oleh dunia
barat diperuntukkan bagi kalangan atas atau orang/instansi/perusahaan yang kaya dan
menciptakan ketergantungan pemakaiannya. Sementara itu sebagian besar
masyarakat (baca pasar) Asia belum mampu memenuhi kriteria pasar teknologi barat
tersebut. Masih banyak masyarakat asia yang memiliki penghasilan dibawah $1 per
hari, sehingga mereka tidak memiliki akses ke teknologi yang diciptakan oleh dunia
barat. Ini merupakan peluang yang besar bagi para teknopreneur untuk berinovasi
dalam menciptakan sebuah produk teknologi yang menjangkau masyarakat marginal.
3.4 PERKEMBANGAN TECHNOPRENEURSHIP DI INDONESIA

Sebagian besar wacana di negara kita mengarahkan technopreneurship seperti


dalam definisi kedua di atas. Baik dalam seminar, lokakarya dan berita, maka bisa
dijumpai bahwa pemakaian teknologi Informasi dapat menunjang usaha bisnis.
Terlebih dimasa krisis global seperti sekarang ini, maka peluang berbisnis lewat
Internet semakin digembar-gemborkan. Ada kepercayaan
bahwa technopreneurship menjadi solusi bisnis dimasa lesu seperti ini. Sebagai
contoh, penggunaan perangkat lunak tertentu akan mengurangi biaya produksi bagi
perusahaan mebel. Jika sebelumnya, mereka harus membuat prototype dengan
membuat kursi sebagaisample dan mengirimkan sample tersebut, maka dengan
pemakaian perangkat lunak tertentu, maka perusahaan tersebut tidak perlu
mengirimkan sample kursi ke pelanggan, namun hanya menunjukkan desain kursi
dalam bentuk soft-copy saja. Asumsi ini tidak memperhitungkan harga
lisensi software yang harus dibeli oleh perusahaan mebel tersebut.
Jika technopreneurship dipahami seperti dalam contoh-contoh ini, maka
kondisi ini menyisakan beberapa pertanyaan: Apakah
benar technopreneurship mampu menjadi solusi bisnis di masa kini? Akan dibawa
kemanakah arah technoprenership di negara kita? Menurut hemat
penulis, technopreneurship yang dipahamai dalam makna yang sesempit ini justru
akan menjadi bumerang bagi pelaku bisnis, karena ini akan menciptakan
ketergantungan terhadap teknologi buatan barat. Dan ini tidak sejalan dengan
semangat technopreneurship yang dikembangkan oleh negara-negara Asia lainnya.
Selain itu, inovasi yang berkembang belum mampu melepas ketergantungan tersebut
karena masih berskala individu, seperti inovasi dan kreatifitas dalam
pembangunan website, penggunaan teknologi web 2.0 sebagai media promosi.
Inovasi yang diharapkan adalah inovasi dalam pengembangan kapasitas lokal dengan
basis teknologi dari dunia barat, sehingga hasil inovasi tersebut mampu melepaskan
kita dari kungkungan ketergantungan penggunaan lisensi dan ketergantungan
teknologi barat.
Untuk dapat menuju ke arah yang sama seperti negara-negara tetangga kita
lainnya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan dekonstruksi
pemahaman technopreneurship. Ini penting sekali karena kita semua tahu bahwa
persepsi menentukan aksi. Dengan pemahaman technopreneurship seperti dalam
definisi pertama maka akan memungkinkan bermunculannya
para technopreneurship sejati yang akan membawa Indonesia berjalan bersama-sama
dengan India, Korea Selatan maupun Taiwan.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Menjadi seorang technopreneurship merupakan salah satu alternatif dalam


menunjang kebutuhan financial saat ini. Dengan dukungan besarnya kebutuhan akan
teknologi informasi disegala bidang menjadikan technopreneurship menjadi suatu
bidang karir yang memiliki prospek yang baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang technopreneurship
adalah
1. Pengetahuan akan teknologi informasi
2. Memiliki jiwa entrepereneur yang meliputi sikap untuk menggali diri,
mengetahui keterampilan yang dimilikinya kemudian berani untuk memulai
usaha.

Anda mungkin juga menyukai