Makalah Tentang Hukum Kesehatan
Makalah Tentang Hukum Kesehatan
DI SUSUN OLEH :
NAMA : FAY MAESTRA RIFASYA
NIM : H1A118323
KELAS : F
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
TAHUN 2021
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " ASPEK
PERJANJIAN DALAM PENERAPAN INFORMED CONSENT " dengan tepat
waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas hukum Kesehatan. Selain
itu,makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pelayanan kesehatan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan secara nasional telah dilakukan jauh sejak
negara ini terbentuk, salah satunya adalah dengan menuangkan rencana
pembangunan kesehatan menjadi salah satu agenda penting Indonesia, hal
ini terlihat dengan dimasukannya pembangungan kesehatan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tertuang dalam Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) pada tahun 1982. Pembangunan kesehatan sekarang ini
terwujud dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan.
Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan lahir
karena adanya tuntuntan perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan,
sebelum lahirnya Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, jaminan negara dalam bidang kesehatan dijamin dalam
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang kesehatan, namun karena
dirasakan sudah tidak sejiwa dengan perkembangan jaman dan teknologi
di bidang kesehatan, maka lahirlah Undang-Undang kesehatan No.36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang diharapkan dapat lebih menjamin
hak-hak masyarakat dalam bidang kesehatan dan tentunya sesuai dengan
perkembangan jaman.
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara
terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam
pembangunan dapat hidup produktif, oleh karena itu penyelenggaraan
kesehatan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah
penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang berkualitas.
Penyediaan fasilitas kesehatan yang berkualitas dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak swasta, dalam hal ini adalah penyediaan
fasilitas rumah sakit. Rumah sakit dalam menjalankan operasinya tidak
mungkin berjalan secara sendiri diperlukan berbagai tenaga kesehatan agar
fasilitas kesehatan ini berjalan baik, dari penyelenggaraan fasilitas
1
kesehatan ini timbulah hubungan antara tenaga kesehatan dengan
masyarakat yang membutuhkan pertolongan contohnya adalah hubungan
dokter dengan pasien. Hubungan dokter dengan pasien merupakan
hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban (akibat hukum)
yang harus dilaksanakan oleh para pihak, salah satu akibat hukum yang
ditimbulkan dari hubungan dokter dengan pasien adalah informed consent.
Informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) dalam pasal 1 angka
1 PERMENKES NO.290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran yang dimaksud informed consent adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Berdasarkan penjelasan diatas
seorang dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap
pasien,walaupun itu sesuai dengan keilmuanya tanpa adanya persetujuan
dari pasien atau keluarganya. Selain itu ketentuan seorang dokter harus
melakukan informed consent terhadap pasienya diatur dalam pasal 45 ayat
(1) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
berbunyi “setiap tindankan kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
2
tidak untuk melakukan tindakan medis lainnya pada salah satu rumah sakit
di daerah karawaci, namun ketika operasi berjalan tim medis dari rumah
sakit tersebut melakukan tindakan invasive terhadap Abraham dengan
melakukan operasi circumsisi tanpa adanya persetujuan dari pasien yang
bersangkutan. Tentu tindakan tersebut merugikan Abraham sebagai
seorang pasien, dan dari kejadian tersebut akan menimbulkan suatu akibat
hukum bagi dokter maupun bagi pasien itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian dari informed consent ?
2. Apa saja bentuk-bentuk dari informed consent ?
3. Jelaskan Informed Consent dari aspek Hukum dan etika
4. Apa Tujuan Pelaksanaan Informed Consent?
5. Bagaimana Hubungan Informed Consent dengan perjanjian
Terapeutik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan informed consent.
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari informed consent.
3. Agar kita mengetahui informed consent dari segi aspek hukum dan
etika
4. Agar kita memahami bagaimana tujuan pelaksanaan informed
consent
5. Untuk memahami hubungan informed consent
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pentingnya Informed Consent ini juga dikaitkan dengan adanya Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan, yang bisa saja dituduhkan kepada pihak
dokter atau rumah sakit, terkait tindakan medis yang dilakukan terhadap
pasien. Sebagai contoh, dengan melakukan operasi, memasukkan atau
menggoreskan pisau ke badan seseorang hingga menimbulkan luka, atau
membius orang lain, dapat dikatakan sebagai suatu penganiayaan.
4
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik
Indonesia nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan
kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga yang telah mendapatkan penjelasan secara lengkap
dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Informed consent
sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh hukum dan berkaitan
erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari. Komponen penting yang
diperlukan dalam informed consent adalah persetujuan/penolakan pasien
keluarga yang kompeten, informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan, serta keterangan bahwa persetujuan diberikan
tanpa paksaan.
5
Dalam aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan prinsip
etika biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip etika
biomedis, yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non
maleficence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil (justice).
Informed consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai dengan
prinsip autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk
bertindak dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri. Akan
tetapi, seseorang harus berkompeten dalam memilih tindakan dan
mengambil keputusan terhadap dirinya agar dapat dikatakan sebagai
otonomi individu.
6
no. 29 tahun 2004 dan Permenkes no.290 tahun 2008 juga menjelaskan
mengenai tata cara dan pengaturan informed consent.
7
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran
dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang
kedokteran dan kesehatan.
8
Berdasarkan perjanjian (ius contractus) yang berbentuk kontrak Terapeutik
secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas
Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi “wanprestasi”, yaitu
peningkatan terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak,
terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh
adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang
tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. Berdasarkan hukum (ius
delicto) berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan Consent, baru
kemudian dikenal hak atas informasi kemudian menjadi ‘Informed
Consent”. Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi pasien
mempunyai hak, antara lain hak atas persetujuan tindakan yang
dilakukan pada tubuhnya, hak atas rahasia dokter, hak atas informasi, dan
hak atas second opinion. Saat ini, telah mulai diatur mengenai Informed
Consent, yaitu suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien dan
keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent
dimuat dalam beberapa peraturan, meskipun demikian masih diperlukan
pengaturan hukum yang lebih lengkap mengenai hal ini, karena
dibutuhkan suatu pengaturan hukum yang tidak hanya melindungi pasien
dari kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi
dokter dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan
perundang-undangan.
9
Terus ada dua bentuk Informed Consent yaitu pertama, Implied
Consent (Persetujuan secara tersirat) yaitu persetujuan secara tersirat
umumnya diberikan saat kondisi gawat darurat, di mana perlu dilakukan
tindakan medis tetapi pasien atau keluarga tidak dapat memberikan
persetujuan lisan atau tertulis pada saat itu. Dan kedua, Expressed
Consent (dinyatakan) merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Infomed consent lisan umumnya
dilakukan pada prosedur atau pengobatan tanpa risiko, seperti
phlebotomy, pemeriksaan fisik abdomen, atau rontgen toraks.
Informed Consent dalam segi aspek hukum dan etika yaitu Dalam
aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan prinsip etika
biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip etika biomedis,
yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non maleficence),
menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil (justice). Informed
consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai dengan prinsip
autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk bertindak
dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri. Sedangkan kode
etik Kedokteran memuat aspek yang berkaitan dengan prinsip otonomi
dan informed consent. Pada pasal 5 Kode Etik Indonesia, tercantum
bahwa “tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
tersebut.
10
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.
B. Saran
Dalam persetujuan tindakan medik informed consent diharapkan
dokter dan pasien atau keluarga pasien agar menyadari hak-hak dari
masing-masing, agar tidak ada terjadi masalah kedepannya yang akan
merugikan salah satu pihak.
Demi kepastian hukum di bidang medis, serta adanya jaminan hak
dan kewajiban antara dokter dengan pasien, maka sebaiknya Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 yang mengatur tentang persetujuan
tindakan medik (informed consent) dinaikkan tingkatnya menjadi
Peraturan Pemerintah, serta ditambahkan tentang sanksi tegas bagi
pelanggar ketentuan persetujuan tindakan medik (informed consent).
11
DAFTAR PUSTAKA
Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997
https://www.alomedika.com/informed-consent-bukanlah-sekedar-lembar-persetujuan-
medis
J. Guwandi, Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
2003
Vol 1, No 1 (2018): Law & Justice Journal, November 2018 Aspek Hukum Persetujuan
Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam Pelayanan Kesehatan
12