Anda di halaman 1dari 15

TUGAS : HUKUM KESEHATAN

ASPEK PERJANJIAN DALAM PENERAPAN INFORMED CONSENT

DI SUSUN OLEH :
NAMA : FAY MAESTRA RIFASYA
NIM : H1A118323
KELAS : F

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
TAHUN 2021
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " ASPEK
PERJANJIAN DALAM PENERAPAN INFORMED CONSENT " dengan tepat
waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas hukum Kesehatan. Selain
itu,makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pelayanan kesehatan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 20 Juni 2021

FAY MAESTRA RIFASYA

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1


A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................3
C. Tujuan Penulisan .........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................4
A. Pengertian Informed Consent.......................................................................4
B. Bentuk-Bentuk Informed Consent...............................................................5
C. Informed Consent Dari Aspek Hukum Dan Etika.......................................5
D. Tujuan pelaksanaan Informed Consent........................................................6
E. Hubungan Informed Consent Dengan Perjanjian Terapeutik......................8

BAB III PENUTUP ...............................................................................................9


A. Kesimpulan .................................................................................................9
B. Saran ..........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan secara nasional telah dilakukan jauh sejak
negara ini terbentuk, salah satunya adalah dengan menuangkan rencana
pembangunan kesehatan menjadi salah satu agenda penting Indonesia, hal
ini terlihat dengan dimasukannya pembangungan kesehatan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tertuang dalam Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) pada tahun 1982. Pembangunan kesehatan sekarang ini
terwujud dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang kesehatan.
Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan lahir
karena adanya tuntuntan perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan,
sebelum lahirnya Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, jaminan negara dalam bidang kesehatan dijamin dalam
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang kesehatan, namun karena
dirasakan sudah tidak sejiwa dengan perkembangan jaman dan teknologi
di bidang kesehatan, maka lahirlah Undang-Undang kesehatan No.36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang diharapkan dapat lebih menjamin
hak-hak masyarakat dalam bidang kesehatan dan tentunya sesuai dengan
perkembangan jaman.
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara
terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam
pembangunan dapat hidup produktif, oleh karena itu penyelenggaraan
kesehatan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah
penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang berkualitas.
Penyediaan fasilitas kesehatan yang berkualitas dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak swasta, dalam hal ini adalah penyediaan
fasilitas rumah sakit. Rumah sakit dalam menjalankan operasinya tidak
mungkin berjalan secara sendiri diperlukan berbagai tenaga kesehatan agar
fasilitas kesehatan ini berjalan baik, dari penyelenggaraan fasilitas

1
kesehatan ini timbulah hubungan antara tenaga kesehatan dengan
masyarakat yang membutuhkan pertolongan contohnya adalah hubungan
dokter dengan pasien. Hubungan dokter dengan pasien merupakan
hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban (akibat hukum)
yang harus dilaksanakan oleh para pihak, salah satu akibat hukum yang
ditimbulkan dari hubungan dokter dengan pasien adalah informed consent.
Informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) dalam pasal 1 angka
1 PERMENKES NO.290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran yang dimaksud informed consent adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Berdasarkan penjelasan diatas
seorang dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap
pasien,walaupun itu sesuai dengan keilmuanya tanpa adanya persetujuan
dari pasien atau keluarganya. Selain itu ketentuan seorang dokter harus
melakukan informed consent terhadap pasienya diatur dalam pasal 45 ayat
(1) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
berbunyi “setiap tindankan kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Pelaksanaan informed consent di berbagai rumah sakit di Indonesia


mulai diperhatikan, bahkan saat ini di beberapa rumah sakit maju,
perkembangan informed consent telah dikomputerisasikan tidak lagi
secara manual, sehingga pendataannya lebih lengkap dan valid.
Namun,kenyataanya tidak selalu tindakan, pelaksanaan dan pelayanan
tersebut dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar operasional yang ada.
Dalam beberapa kasus sering terjadi persengketaan antara dokter dengan
pasien akibat dari tidak dilaksanakanya hak dan kewajiban tersebut,
misalnya dalam kasus yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung
No.46K/PDT/2006, kasus yang dialami oleh Abraham Lodewyk Tahapary,
dimana dia melakukan operasi pengangkatan pen di kaki sebelah kiri dan

2
tidak untuk melakukan tindakan medis lainnya pada salah satu rumah sakit
di daerah karawaci, namun ketika operasi berjalan tim medis dari rumah
sakit tersebut melakukan tindakan invasive terhadap Abraham dengan
melakukan operasi circumsisi tanpa adanya persetujuan dari pasien yang
bersangkutan. Tentu tindakan tersebut merugikan Abraham sebagai
seorang pasien, dan dari kejadian tersebut akan menimbulkan suatu akibat
hukum bagi dokter maupun bagi pasien itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian dari informed consent ?
2. Apa saja bentuk-bentuk dari informed consent ?
3. Jelaskan Informed Consent dari aspek Hukum dan etika
4. Apa Tujuan Pelaksanaan Informed Consent?
5. Bagaimana Hubungan Informed Consent dengan perjanjian
Terapeutik?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan informed consent.
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari informed consent.
3. Agar kita mengetahui informed consent dari segi aspek hukum dan
etika
4. Agar kita memahami bagaimana tujuan pelaksanaan informed
consent
5. Untuk memahami hubungan informed consent

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Informed Consent


Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan Consent, baru kemudian
dikenal hak atas informasi kemudian menjadi ‘Informed Consent”.
Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi pasien mempunyai
hak, antara lain hak atas persetujuan tindakan yang dilakukan pada
tubuhnya, hak atas rahasia dokter, hak atas informasi, dan hak atas second
opinion. Saat ini, telah mulai diatur mengenai Informed Consent, yaitu
suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien dan keluarganya atas dasar
informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Informed consent dimuat dalam beberapa
peraturan, meskipun demikian masih diperlukan pengaturan hukum yang
lebih lengkap mengenai hal ini, karena dibutuhkan suatu pengaturan
hukum yang tidak hanya melindungi pasien dari kesewenangan dokter,
tetapi juga diperlukan untuk melindungi dokter dari kesewenangan pasien
yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan. Persetujuan
(Informed Consent) ini sangat penting mengingat tindakan medis tidak
dapat dipaksakan karena tidak ada yang tahu pasti hasil akhir dari
pelayanan kedokteran tersebut.

Pentingnya Informed Consent ini juga dikaitkan dengan adanya Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan, yang bisa saja dituduhkan kepada pihak
dokter atau rumah sakit, terkait tindakan medis yang dilakukan terhadap
pasien. Sebagai contoh, dengan melakukan operasi, memasukkan atau
menggoreskan pisau ke badan seseorang hingga menimbulkan luka, atau
membius orang lain, dapat dikatakan sebagai suatu penganiayaan.

4
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik
Indonesia nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan
kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga yang telah mendapatkan penjelasan secara lengkap
dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Informed consent
sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh hukum dan berkaitan
erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari. Komponen penting yang
diperlukan dalam informed consent adalah persetujuan/penolakan pasien
keluarga yang kompeten, informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan, serta keterangan bahwa persetujuan diberikan
tanpa paksaan.

B. Bentuk-Bentuk Informed Consent


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
a. Implied Consent (Persetujuan secara tersirat)
persetujuan secara tersirat umumnya diberikan saat kondisi gawat
darurat, di mana perlu dilakukan tindakan medis tetapi pasien atau
keluarga tidak dapat memberikan persetujuan lisan atau tertulis
pada saat itu.
b. Expressed Consent (dinyatakan)
merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Infomed consent lisan umumnya dilakukan
pada prosedur atau pengobatan tanpa risiko, seperti phlebotomy,
pemeriksaan fisik abdomen, atau rontgen toraks. Persetujuan
secara lisan dapat berupa bentuk ucapan setuju atau gerakan
mengangguk kepala. Sedangkan informed consent tertulis,
umumnya diperlukan untuk prosedur atau pengobatan yang lebih
rumit dan risiko yang lebih tinggi, seperti sectio caesarea dan
intubasi.

C. Informed Consent dari Aspek Hukum dan Etika

5
Dalam aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan prinsip
etika biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip etika
biomedis, yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non
maleficence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil (justice).
Informed consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai dengan
prinsip autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk
bertindak dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri. Akan
tetapi, seseorang harus berkompeten dalam memilih tindakan dan
mengambil keputusan terhadap dirinya agar dapat dikatakan sebagai
otonomi individu.

Kode Etik Kedokteran memuat aspek yang berkaitan dengan


prinsip otonomi dan informed consent. Pada pasal 5 Kode Etik Indonesia,
tercantum bahwa “tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin
melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh
persetujuan pasien keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan
dan kebaikan pasien tersebut”. Oleh karena itu, dokter wajib memberikan
informasi yang lengkap dan benar mengenai rencana tindakan dan
pengobatan yang akan dilakukan pada pasien, dengan segala risiko dan
efek samping yang mungkin terjadi. Selain itu, dokter juga wajib
menghormati keputusan pasien yang menolak pengobatan atau tindakan
setelah informasi diberikan.

Dalam aspek hukum, informed consent diatur dalam Undang-


Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, yang menyatakan
bahwa ”setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan. Dijelaskan juga dalam Undang-Undang bahwa sebelum
pasien memberikan persetujuan, penjelasan lengkap perlu diberikan
kepada pasien mengenai diagnosis, prosedur, tujuan tindakan, risiko dan
komplikasi tindakan, serta prognosis penyakit dengan/tanpa tindakan. UU

6
no. 29 tahun 2004 dan Permenkes no.290 tahun 2008 juga menjelaskan
mengenai tata cara dan pengaturan informed consent.

D. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent


Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa
tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan
melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari
segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malapraktik yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi
medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi
atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan
medisnya.
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan
medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat
tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap
“risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak
akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed
consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku
manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam
mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional

7
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran
dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang
kedokteran dan kesehatan.

Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan


oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent
sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan
pembedahan/operasi
2. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan
yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum
dpahami efek sampingnya.
3. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang
kemungkinan. banyak efek samping, seperti terapi dengan
sinar laser.
4. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien.
5. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter
juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan
pasien.

E. Hubungan Informed Consent dengan Perjanjian Terapeutik


Hubungan ini dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung
sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya
hanya terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu
biomedis, hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif.
Pada umumnya mulainya hubungan perjanjian terapeutik dimulai saat
seorang pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati
penyakitnya dan dokter menyanggupinya. Menurut Hukum Perdata,
hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi

8
Berdasarkan perjanjian (ius contractus) yang berbentuk kontrak Terapeutik
secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas
Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi “wanprestasi”, yaitu
peningkatan terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak,
terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh
adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang
tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. Berdasarkan hukum (ius
delicto) berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan Consent, baru
kemudian dikenal hak atas informasi kemudian menjadi ‘Informed
Consent”. Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi pasien
mempunyai hak, antara lain hak atas persetujuan tindakan yang
dilakukan pada tubuhnya, hak atas rahasia dokter, hak atas informasi, dan
hak atas second opinion. Saat ini, telah mulai diatur mengenai Informed
Consent, yaitu suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien dan
keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent
dimuat dalam beberapa peraturan, meskipun demikian masih diperlukan
pengaturan hukum yang lebih lengkap mengenai hal ini, karena
dibutuhkan suatu pengaturan hukum yang tidak hanya melindungi pasien
dari kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi
dokter dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan
perundang-undangan.

9
Terus ada dua bentuk Informed Consent yaitu pertama, Implied
Consent (Persetujuan secara tersirat) yaitu persetujuan secara tersirat
umumnya diberikan saat kondisi gawat darurat, di mana perlu dilakukan
tindakan medis tetapi pasien atau keluarga tidak dapat memberikan
persetujuan lisan atau tertulis pada saat itu. Dan kedua, Expressed
Consent (dinyatakan) merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Infomed consent lisan umumnya
dilakukan pada prosedur atau pengobatan tanpa risiko, seperti
phlebotomy, pemeriksaan fisik abdomen, atau rontgen toraks.

Informed Consent dalam segi aspek hukum dan etika yaitu Dalam
aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan prinsip etika
biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip etika biomedis,
yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non maleficence),
menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil (justice). Informed
consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai dengan prinsip
autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk bertindak
dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri. Sedangkan kode
etik Kedokteran memuat aspek yang berkaitan dengan prinsip otonomi
dan informed consent. Pada pasal 5 Kode Etik Indonesia, tercantum
bahwa “tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
tersebut.

Tujuan Pelaksanaan Informed Consent adalah hubungan antara


pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan melindungi pengguna jasa
tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa
tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malapraktik yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta

10
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.

Hubungan Informed Consent dengan perjanjian Terapeutik adalah


Hubungan ini dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai
hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya
terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis,
hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Pada
umumnya mulainya hubungan perjanjian terapeutik dimulai saat seorang
pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati penyakitnya
dan dokter menyanggupinya. Menurut Hukum Perdata, hubungan
profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi Berdasarkan
perjanjian (ius contractus) yang berbentuk kontrak Terapeutik secara
sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas.

B. Saran
Dalam persetujuan tindakan medik informed consent diharapkan
dokter dan pasien atau keluarga pasien agar menyadari hak-hak dari
masing-masing, agar tidak ada terjadi masalah kedepannya yang akan
merugikan salah satu pihak.
Demi kepastian hukum di bidang medis, serta adanya jaminan hak
dan kewajiban antara dokter dengan pasien, maka sebaiknya Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 yang mengatur tentang persetujuan
tindakan medik (informed consent) dinaikkan tingkatnya menjadi
Peraturan Pemerintah, serta ditambahkan tentang sanksi tegas bagi
pelanggar ketentuan persetujuan tindakan medik (informed consent).

11
DAFTAR PUSTAKA
Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997
https://www.alomedika.com/informed-consent-bukanlah-sekedar-lembar-persetujuan-
medis
J. Guwandi, Informed Consent dan Informed Refusal, Penerbit Fakultas Kedokteran UI,
2003
Vol 1, No 1 (2018): Law & Justice Journal, November 2018 Aspek Hukum Persetujuan
Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam Pelayanan Kesehatan

12

Anda mungkin juga menyukai