Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Typoid
Diruang RPD 1

Disusun Oleh :

ANGGI WAHYU SUDARSONO

NIM : 2021.04.010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID

1. Pengertian Thypoid
Thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis (Simanjuntak, 2019).
Thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya  mengenai
saluran  pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Nursalam, 2015).
Thypoid  merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran. (Rampengan, 2017).
2. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan
sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan
(faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan yaitu:
pankreas, hati dan kandung empedu.
a. Mulut
Mulut merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan
dan air pada manusia. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di
anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian
dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh
organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif
sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan
oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam
bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah
oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang
lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-
bagian dari makanan tersebut dengan enzimenzim pencernaan dan mulai
mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya
lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.
Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
b. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
a. Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka).
b. Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus).
c. Serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
c. Lambung
lambung Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk
seperti kandang keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu:
a. Kardia.
b. Fundus.
c. Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan
normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam
kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang
berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.
Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting:
a. Lendir Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam
lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan
kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
b. Asam klorida(HCl) Asam klorida menciptakan suasana yang sangat
asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman
lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi
dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
d. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh
darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta.
Dinding usus melepaskan lendir yang melumasi isi usus dan air yang membantu
melarutkan pecahanpecahan makanan yang dicerna. Dinding usus juga
melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Otot
yang meliputi usus halus mempunyai 2 lapisan. Lapisan luar: terdiri atas
serabut-serabut longitudinal yang lebih tipis dan lapisan dalam: merupakan
serabut sirkuler untuk membantu gerakan peristatik. Lapisan sub mukosa terdiri
atas jaringan penyambung, sedangkan mukosa bagian dalam tebal, banyak
mengandung pembulu darah dan kelenjar. 11 Usus halus terdiri dari tiga bagian
yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus
penyerapan (ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari
usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum
Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ peritoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari
yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari
terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang
berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua
belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam
jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan.
b. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah
bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum)
dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh
usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus
kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus
dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan
secara makroskopis.
c. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan
terletak setelah duodenum, jejunum dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
Dinding usus terdiri atas 4 lapisan dasar: lapisan paliang luar (lapisan
serosa), dibentuk oleh peri tonium. Peritoneum mempunyai lapisan
visceral dan pariental dan lapisan yang terletak antara lapisan ini
dinamakan rongga peritoneum. Nama khusus yang telah diberikan pada
lipatan-lipatan peritoneum, antara lain:
a. Mesentrium merupakan lipatan peritoneum yang lebar
mengantung jejunum dan ileum dari dinding posterior abdomen dan
memungkinkan usus bergerak leluasa. Masentrium menyokong pembulu
darah dari limfe yang mensuplai usus.
b. Omentum mayus merupakan lapisan ganda peritoneum yang
menggantung dari kurvatura mayor lambung dan berjalan turun di depan
visera abdomen omentum biasanya mengandung banyak lemak dan
kelenjar limfe yang membantu rongga peritoneum (melindungi) dari
infeksi.
c. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentang
dari kurvatura minor lambungdan bagian atas duodenum menuju kehati.
Salah satu fungsi penting peritoneum adalah mencegah pergerakan
antara organ-organ yang berdekatan dengan mensekresi cairan serosa
sebagai pelumas.

3. Etiologi Thypoid
Etiologi thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella
parathypi (S. Parathypi A dan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul  yang dibuat karena rangsangan
antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W.
Sudoyo, 2019).

4. Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2)
banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau
antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih
hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa
dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum
dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan
tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun,
akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi
kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis
demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin
dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin
dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma
usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. (Soedarmo, dkk., 2017)

4. Pathway Typhoid

Infeksi Salmonella Typhi,


Salmonella Paratyphi A dan B

Penularan: 5F Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku),


Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses

Masuk melalui mulut

Masuk ke lambung

Sebagian kuman akan


Menetap di ilium terminalis Sebagian masuk di usus halus dimusnahkan oleh asam
lambung (HCL)
Perdarahan dan perforasi Kuman mengeluarkan endotoksin

Banyak kehilangan cairan tubuh Kuman masuk ke sirkulasi darah

MK: Defisit nutrisi Bakteremia 1


Menyebar ke hati dan limfe

Kuman yang tidak di


Kuman yan di fagosit mati Proses fagositosis fagosit Bakteremia 2

Usus halus Hati dan limfe Hipotalamus

Inflamasi usus Hepatomegal dan Menekan termogulasi


halus Splenomegali

MK: Hipertermia
Hiperperistaltik Menekan diafragma
Hipoperistaltik
Kelemahan
Sesak
Mual dan muntah

MK: Pola nafas tidak MK: Intoleransi


Anorexia Aktivitas
efektif

Intake tidak
adekuat

MK: Risiko
Ketidakseimbangan
cairan

5. Manifestasi Klinis
a. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari
b. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
c. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, stupor, dan koma
d. Ruam muncul pada hari ke 7-10 hari dan bertahan selama 2-3 hari
e. Nyeri kepala, nyeri perut
f. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
g. Pusing, bradikardi, nyeri otot
h. Batuk
i. Epiktaksis
j. Lidah yang berselaput
k. Hepatomegali, splenomegali, meteorismus
l. Gangguan mental berupa somnolen
m. Delirium atau psikosis
n. Dapat timbul gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan disertai syok dan hipotermia.
(Nurarif & Kusuma, 2015).

5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perporasi usus
3. Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma guillain bare dan sidroma katatonia (Susilaningrum,
Nursalam, & Utami, 2015).

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan uji widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap bakteri
salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan adanya agglutinin
dalam serum penderita demam tifoid. Akibat adanya infeksi oleh salmonella typhi
maka penderita membuat antibody (agglutinin)
4. Kultur
Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
Kultur urine : bisa positif pada akhir minggu kedua
Kultur feses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga
5. Anti salmonella typhi igM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut salmonella
typhi, karena antibody igM muncul pada hari ke3 dan 4 terjadinya demam (Nurarif
& Kusuma, 2015).

7. Penatalaksanaan
a. Observasi
1. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang
lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perforasi usus.
2. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
3. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
4. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
b. Diet
1. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari

c. Pengobatan
Obat-obatan yang umumnya digunakan antara lain
1. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
a. Klorampenicol
b. Amoxicilin
c. Kotrimoxasol
d. Ceftriaxon
e. Cefotaxim
2. Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol
(Smeltzer & Bare. 2015).
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi   nama,   umur,   jenis   kelamin,   alamat,   pekerjaan,   suku/bangsa,
agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa medik
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien thypoid biasanya mengeluh adanya
demam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Umumnya yang dirasakan pada klien thypoid adalah demam, perut terasa mual,
adanya anorexia, diare atau konstipasi, dan bahkan menurunnya kesadaran.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami thypoid atau
penyakit menular yang lain.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit
yang lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus dll.
6. Riwayat perkembangan
a. Motorik halus:
Gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh
tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.
Misalnya: kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,
menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya.
b. Motorik kasar:
Gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau seluruh anggota tubuh
yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Misalnya: kemampuan
duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya.
7. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
b. Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan
eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning
kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga
dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.

c. Pola aktivitas dan latihan


Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
d. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
f. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
8. Pemeriksaan fisik
c. B1 (Breathing)
Biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus berat bisa didapatkan komplikasi
yaitu adanya pneumonia.
d. B2 (Blood)
TD menurun, diaforesis terjadi pada minggu pertama, kulit pucat, akral dingin,
penurunan curah jantung dengan adanya bradikardi, kadang terjadi anemia,
leukopeni pada minggu awal, nyeri dada dan kelemahan fisik.
e. B3 (Brain)
Pada klien dengan thypoid biasanya terjadi delirium dan diikuti penurunan
kesadaran dari composmetis ke apatis, somnolen hingga koma pada pemeriksaan
GCS.
d. B4 (Bladder)
Pada kondisi berat akan terjadi penurunan output respon dari curah jantung.
e. B5 (Bowel)
1) Inspeksi: lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah hiperemis, stomatitis,
muntah, kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen, diare atau
konstipasi.
2) Auskultasi: penurunan bising usus kurang dari 5x/menit pada minggu pertama
dan selanjutnya meningkat akibat adanya diare.
3) Perkusi: didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya kembung.
4) Palpasi: adanya hepatomegali, splenomegali, mengidentifikasi adanya infeksi
pada minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada abdomen.
f. B6 (Bone) : adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise.
Kelemahan umum. Integumen: timbulnya reseola (emboli dari kuman dimana
didalamnya mengandung kuman Salmonella Typhosa yang timbul diperut, dada,
dan bagian bokong), turgor kulit menurun, kulit kering.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhosa
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
3. Resiko Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat akibat mual muntah dan anorexia.
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
1. Hipertermi Perfusi perifer Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan (L.02011) (1.15506)
proses infeksi Setelah dilakukan Observasi:
salmonella typhosa tindakan keperawatan - Identifikasi penyebab
selama 2x24 jam hipertermia
diharapkan suhu - Monitor suhu tubuh
tubuh pasien normal - Monitor komplikasi akibat
dengan kriteria hasil: hipertermia
-Akral cukup Terapeutik
membaik - sediakan lingkungan yang
-Tekanan darah dingin
sistolik cukup - longgarkan da lepaskan
membaik pakaian
-Tekanan darah - berikan cairan oral
diastolik membaik Edukasi
-Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena
2. Defisit Nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi (I.03119)
(L.03030) Observasi:
berhubungan dengan
Setelah dilakukan -Identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan -Monitor asupan makanan
tindakan asuhan
- Monitor berat badan
mengabsorbsi nutrien
keperawatan selama -Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
3x24 jam diharapakan
defisit nutrisi Terapeutik :
-lakukan oral hgiene sebelum
membaik.
makan jika perlu
Kriteria hasil : -fasillitasi menentukan pedoman
diet
-Porsi makanan yang
-berikan suplemen makanan jika
dihabiskan meningkat perlu
-nyeri abdomen
Edukasi :
menurun -Anjurkan posisi duduk jika
mampu
-diare menurun
-Ajarkan diet yang diprogramkan
-Berat badan
Kolaborasi:
membaik
-Kolaborasi pemberian medikasi
-frekuensi makan sebelum makan(missal,pereda
nyeri,0
membaik
-Kolaborasi dengan ahli gizi
-nafsu makan untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang
membaik
dibutuhkan.

3. Resiko Keseimbangan Manajemen cairan (103098)


Ketidakseimbangan cairan (L.03020) Observasi:
-monitor berat badan harian
cairan berhubungan Setelah dilakukan
-Monitor hasil pemeriksaan
dengan intake yang tindakan keperawatan laboratorium
tidak adekuat akibat selama 3x24 jam - berikan cairan intravena
mual muntah dan diharapkan nutrisi
Terapeutik :
anorexia. klien dapat terpenuhi, -berikan asupan cairan , sesuai
kebutuhan
BB tetap atau
bertambah, tidak ada Kolaborasi:
-Kolaborasi pemberian
anorexia dan mual
diuretic,jika perlu
muntah dengan
kriteria hasil:
-Asupan cairan
meningkat
-asupan makanan
meningkat
4. Pola napas tidak efektif Pola Napas Manajemen jalan nafas
(1.01011)
berhubungan dengan (L.01004)
Observasi:
hambatan upaya nafas Setelah dilakukan -monitor pola nafas
-Monitor bunyi nafas
tindakan keperawatan
Terapeutik :
selama 3x24 jam -berikan minum hangat
-berikan oksigen
diharapkan pola nafas
pasien membaik Edukasi:
-Anjurkan asupan cairan 2000
dengan kriteria hasil:
ml/hari
-frekuensi nafas
Kolaborasi:
membaik
-Kolaborasi pemberian
-kedalaman nafas ekspektoran ,jika perlu
membaik

5. Intoleransi aktifitas Toleransi Manajemen Energi (1.05178)


Akrivitas(L.05047) Observasi :
berhubungan dengan
-Identifikasi gangguan fungsi
kelemahan fisik. setelah dilakukan
tindakan keperawatan tubuh yang mengalami kelelahan
selama 1x24jam
-Monitor kelelahan fisik dan
diharapkan intoleransi
aktivitas dapat teratasi emosional
dengan kriteria hasil;
-Monitor pola dan jam tidur
-kekuatan tubuh
-Monitor lokasi dan
bagian atas meningkat
ketidaknyamanan selama
-kekuatan tubuh
melakukan aktivitas
bagian bawah
Terapeutik :
meningkat
-Sediakan lingkungan nyaman
-
dan rendah stimulus (mis.
Cahaya, suara, kunjungan)
-Lakukan latihan rentang gerak
pasif dan/atau aktif
-Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
-Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi :
-Anjurkan tirah baring
-Anjurkan aktivitas secara
bertahap
-Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi :
-Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

D. Implementasi
Realisasi tindakan untuk mencapai tujuan yang telah dilakukan. Kegiatan dalam
pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data, mengobservasi respon klien selama
dan sesudah pelaksanaan tindakan.

E. Evaluasi
Penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Susilo. (2015). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika


Mansjoer, Arif. (2019). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Simanjuntak, C. H. (2019). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.
Cermin Dunia Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha
Smeltzer & Bare. (2015). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Soedarmo, dkk. (2015). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI
Widodo, D. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI
Lembar Konsultasi

No Hari / Tanggal Pembahasan Paraf

Anda mungkin juga menyukai