Penyebab Imunodefisiensi
Imunodefisiensi dapat bersifat primer atau sekunder.
Imunodefisiensi primer adalah penyakit bawaan; hal ini
berarti bahwa penyakit ini sudah diderita pasien sejak
lahir dan kemungkinan didapatkan dari orangtuanya.
Dalam imunodefisiensi primer, faktor genetik memiliki
peran yang penting. Pasien dengan jenis imunodefisiensi
ini dilahirkan dengan kelainan pada komponen tertentu di
sistem imun mereka. Saat ini, ada 80 jenis
imunodefisiensi primer yang telah diidentifikasi.
Sementara itu, imunodefisiensi sekunder adalah penyakit
yang didapatkan. Ada berbagai faktor eksternal yang
dapat menyebabkan kondisi ini, termasuk usia lanjut dan
kekurangan nutrisi. Penyakit yang dapat menyebabkan
imunodefisiensi adalah infeksi kronis, tuberkulosis
diseminata, acquired immune deficiency syndrome
(AIDS) dan kanker, terutama sel ganas yang ada di sel
darah dan sumsum tulang. Splenektomi, yang merupakan
operasi untuk mengangkat limpa karena alasan tertentu,
juga dapat menyebabkan sindrom imunodefisiensi. Selain
faktor-faktor tersebut, ada obat-obat tertentu yang dapat
mengganggu sistem imun, sehingga menyebabkan
melemahnya sistem imun. Obat tersebut meliputi obat
kemoterapi, obat untuk cangkok, steroid, dan lain-lain.
Imunodefisiensi sekunder lebih sering terjadi
dibandingkan imunodefisiensi primer.
Gejala Utama Imunodefisiensi
Gejala utama dari sindrom imunodefisiensi adalah pasien
semakin rentan terhadap infeksi. Pasien dengan kegagalan
imunitas humoral akan rentan terhadap infeksi bakteri.
Pasien dengan jenis imunodefisiensi ini akan mengalami
infeksi pernapasan yang berulang, termasuk pneumonia,
infeksi pada saluran pencernaan, dan meningitis. Infeksi
kronis, seperti otitis media, juga dapat terjadi. Pasien
dengan agammaglobulinemia cenderung terkena infeksi
yang parah dan biasanya menyebabkan kondisi yang fatal.
Sementara itu, pasien dengan kegagalan imunitas yang
dimediasi oleh sel akan rentan terhadap infeksi akibat
virus dan jamur. Pada pasien dengan penyakit ini, infeksi
virus yang belum aktif, misalnya Varicella zoster dan
Herpes simplex dapat menyebar. Infeksi jamur juga
cenderung akan memengaruhi seluruh fungsi tubuh.
Kandidiasis atau infeksi ragi juga sering terjadi, biasanya
pada membran mukosa.
Respon imun merupakan respon yang terjadi dengan
interaksi antara sel B dan sel T; sehingga biasanya pasien
akan mengalami gejala yang berbeda pada saat yang
bersamaan. Oleh karena itu, pasien yang terkena
imunodefisiensi humoral juga dapat mengalami infeksi
virus yang berulang dan kronis, sedangkan pasien yang
terkena imunodefisiensi yang dimediasi sel juga rentan
terkena infeksi bakteri piogenik. Pasien dengan
imunodefisiensi kombinasi parah biasanya akan
mengalami beberapa infeksi pada saat yang bersamaan.
Siapa yang Harus Ditemui dan Jenis Pengobatan yang
Tersedia
Pasien yang mengalami infeksi berulang, terutama infeksi
yang parah, harus segera melakukan konsultasi dengan
dokter umum. Pasien dengan kondisi tersebut harus
menjalani beberapa uji laboratorium yang dapat
membantu diagnosis dan pengobatan penyakit. Pasien
imunodefisiensi biasanya akan dirujuk pada ahli
hematologi, yakni seorang ahli dalam penanganan
penyakit darah. Pasien dengan infeksi yang masih aktif
juga dapat dirujuk ke dokter ahli penyakit menular.
Pengobatan penyakit imunodefisiensi bertujuan untuk
mengobati infeksi yang masih aktif dan mencegah
terjadinya infeksi dan penyakit lain. Pasien yang memiliki
infeksi akan ditangani secara agresif. Mereka biasanya
akan diberi antibiotik spektrum luas untuk jangka waktu
yang panjang. Apabila dibutuhkan, pasien juga dapat
diberi obat anti virus dan anti jamur. Pengobatan
profilaksis atau tindakan pencegahan dengan pemberian
obat-obatan juga dapat dilakukan.
Sementara itu, pasien dengan imunodefisiensi humoral
kemungkinan harus menjalani terapi penggantian, yang
dilakukan dengan memberikan immunoglobulin manusia
setiap 4 minggu melalui infus. Hal ini dilakukan untuk
mengatur jumlah antibodi di dalam tubuh. Terapi
penggantian harus dilakukan dengan pengawasan medis,
karena pemberian infus yang berisi immunoglobulin dapat
menyebabkan efek samping yang serius. Apabila telah
mendapatkan terapi penggantian yang cukup, pasien
dengan imunodefisiensi sel B dapat memiliki kehidupan
yang sehat dan produktif.
Transplantasi sumsum tulang juga dapat digunakan untuk
mengobati penyakit imunodefisiensi tertentu. Pengobatan
terapeutik yang baru, misalnya transplantasi sel induk,
juga dapat digunakan untuk mengobati pasien
imunodefisiensi. Penelitian tentang terapi genetik dapat
meningkatkan pemahaman tentang imunodefisiensi dan
diharapkan dapat membantu menemukan cara pengobatan
baru bagi pasien dengan kondisi ini.
Penyakit imunodefisiensi sekunder diobati dengan
mengubah faktor eksternal yang menyebabkan
imunodefisiensi. Dokter mungkin harus mengurangi dosis
atau mengganti obat yang menyebabkan melemahnya
sistem imun pasien, misalnya steroid. Pasien yang
menjalani splenektomi elektif harus mendapatkan
vaksinasi sebelum tindakan. Pasien HIV harus diberi obat
antiretroviral untuk mengendalikan virus dan memperkuat
sistem imun mereka.
Pasien dengan sistem imun yang lemah sebaiknya
menghindari atau mengurangi kontak dengan orang yang
telah terkena infeksi. Pasien juga disarankan untuk
mengenakan alat pelindung, misalnya masker wajah,
terutama saat berada di tempat umum. Transfusi darah
dan pemberian vaksin hidup juga tidak boleh dilakukan
pada pasien yang memiliki defisiensi sel T dan SCID,
karena kedua tindakan tersebut dapat menyebabkan
penyakit graft-versus-host (penolakan sel donor terhadap
sel penerima) atau infeksi yang mematikan.