Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

ATRIBUT DAN KODE ETIK AKUNTAN FORENSIK DAN


STANDAR AUDIT INVESTIGATIF

Dosen pengampu :
Ni Nengah Seri Ekayani, SE,AK.M.SI.,CA

Oleh :
Muhammad Fairuz Rizaldi (1833121479)
Ni Kadek Oktariani (1833121487)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Warmadewa
Tahun 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks,
berkembang pula praktik kejahatan dalam bentuk kecurangan (fraud)
ekonomi. Jenis fraud yang terjadi pada berbagai Negara bisa berbeda, karena
dalam hal ini praktik fraud anatara lain dipengaruhi kondisi hukum di Negara
yang bersangkutan. Pada Negara- negara maju dengan kehidupan ekonomi
yang stabil, praktik fraud cenderung memiliki modus yang sedikit
dilakukan.Berbagai macam kasus yang terjadi di perusahaan maupun lembaga
pemerintahan tidak jarang disebabkan karena faktor kecurangan (fraud). Peran
akuntansi forensik dalam mengungkapkan kecurangan sangatlah dibutuhkan.
Akuntansi forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) mengumpulkan bukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-
kasus korupsi yang dilaporkan kepada instansi tersebut. Akuntansi forensik
juga digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Inspektorat
Jenderal Kementerian untuk menggali informasi selama proses pelaksanaan
audit investigasi.
Audit investigasi merupakan bentuk audit atau pemeriksaan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan kecurangan atau
kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur dan teknik-teknik yang
umumnya digunakan dalam suatu penyidikan. Tuanakotta (2010) dalam
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif mengemukakan bahwa akuntansi
forensik mempunyai ruang lingkup yang spesifik untuk lembaga yang
menerapkannya atau untuk tujuan melakukan audit investigatif. Selain itu
dalam melaksanakan pekerjaannya seorang akuntan forensik harus memahami
kode etik serta standar pekerjaan. Dalam tugas profesionalnya, akuntan wajib
mematuhi aturan etika yang tertuang dalam kode etik akuntan. Kode etik
akuntan sebagai suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan
bertindaknya akuntan sehigga apa yang dilakukannya dipandang oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat serta
kehormatan profesi. Dengan adanya kode etik ini maka para akuntan
diharapkan memahami dan menerapkannya sebagai tanggung jawab dalam
penugasan profesionalnya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu :
1. Bagaimana atribut seorang akuntan forensik ?
2. Bagaimana karakteristik seorang pemeriksa fraud ?
3. Bagiamana kualitas seorang akuntan foresnsik ?
4. Bagaimana kode etik akuntan forensik ?
5. Apa yang dimaksud dengan standar audit investigatif ?
6. Bagaimana standar pemeriksaan keuangan negara ?
7. Apa yang dimaksud dengan standar akuntansi forensik ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui atribut seorang akuntan forensic
2. Untuk mengetahui karakteristik seorang pemeriksa fraud
3. Untuk mengetahui kualitas seorang akuntan forensic
4. Untuk mengetahui kode etik akuntan forensic
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan standar audit investagatif
6. Untuk mengetahui standar pemeriksaan keuangan negara
7. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan standar akuntansi forensik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Atribut Seorang Akuntan Forensik


Atribut seorang akuntan forensik adalah bagaimana seorang auditor
memahami suatu entitas dengan kaitannya entitas lain. Howard R. Davia
memberi lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan
investigasi terhadap fraud :
1. Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara
premature. Identifikasi lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai
potensi menjadi pelaku. Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta
dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang paling penting : Who
did it ?. Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku didorong oleh
keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya
kurang elok. Dalam bahasa inggris, penghalusan ini disebut euphemism.
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan
kecurangan”. Banyak kasus kecurangan kandas di pengadilan karena
penyidik dan saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat
melakukan kjahatan atau pelanggaran. Menurut Davia, tujuan proses
pengadilan adalah menilai orang, bukan mendengar celotehan yang
berkepanjangan tentang kejahatannya.
3. Seorang auditor forensik harus kreatif, berfikir seperti pelaku fraud, jangan
dapat ditebak. Dalam proses audit investigatif, keadaaan dapat berubah
dengan cepat, misalnya, bukti dan barang bukti dihancurkan atau pelaku
bersembunyi atau melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor
forensic harus berpikir kreatif dalam menggunakan prosedur untuk
mengumpulkan bukti. Seorang auditor forensic harus dapat beroikir
layaknya seorang pelaku fraud agar dapat mengantisipasi langkah- langkah
yang akan diambil pelaku fraud jika mereka mengetahui bahwa tindakan
mereka tercium atau terungkap. Seorang auditor forensic juga tidak
gampang ditebak dalam melakukan proses audit investigative, agar tidak
dengan mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan
persekongkolan. Ada 2 macam persekongkolan yaitu :
 Persenkongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang
mempunyai niat jahat.
 Persekongkolan dimana pesertanya tidak menyadari bahwa keluguannya
dimanfaatkan oleh rekan kerjanya, contoh: memberikan password
komputernya.
Dalam tindakan fraud yang dibarengi dengan persekongkolan, auditor
forensic harus memiliki indra atau instuisi yang tajam untuk
merumuskan “teori persekongkolan” untuk memudahkan dalam
pengumpulan bukti.
5. Auditor harus mengenali pola fraud yang dilakukan oleh pelaku, yaitu si
auditor harus mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam
pembukuan atau di luar pembukuan. Pendeteksian dan pengumpulan bukti
terhadap fraud yang dilakukan dalam pembukuan, seperti pencatatan ganda
atas pembayaran kepada pemasok, akan memerlukan teknik dan prosedur
audit yang berbeda dengan pola fraud yang ada di luar pembukuan seperti
kickback, penagihan piutang yang sudah dihapus dan penjualan barang
yang sudah dubesituakan. Untuk membuktikan fraud yang dilakukan
dengan pembayaran ganda misalnya, auditor forensic akan lebih efektif dan
efisien jika menggunakan prosedur vouching, yaitu menelusuri dari
transaksi ke bukti pendukung. Jika auditor forensic melakukan sebaliknya,
yaitu dengan menggunakan trashing (menelusuri dari bukti pendukung ke
transaksi), maka pencatatan ganda atas pembayaran tersebut tidak akan
terdeteksi.
2.2 Karakteristik Seorang Pemeriksa Fraud
Association of Certified Fraud Exeminers (ACFE) menjelaskan karakteristik
pemeriksa fraud yang harus memiliki kemampuan yang unik. Disamping
keahlian teknis, pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara adil (fair), tidak
memihak, sahih (mengikuti perundang-undangan) dan akurat, serta mampu
melaporkan fakta-fakta yang dikumpukan dan kemudian melaporkannya
dengan akurat dan lengkap. Sehingga dapat dikatakan pemeriksa fraud adalah
orang yang memiliki gabungan keahlian dari pengacara, akuntan, kriminolog
dan detektif atau investigator.
Kemampuan berinteraksi dengan manusia juga amat menentukan. Sikap
pemeriksa terhadap orang lain memengaruhi sikap orang lain tersebut
kepadanya. Sikap yang bermusuhan akan menimbulkan rasa was-was dalam
diri responden, yang kemudian menyebabkan mereka bersikap menarik diri
dan menjaga jarak. Pemeriksa juga harus menjadi sosok yang disukai orang
lain. Pemeriksa fraud harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti
konsep-konsep keuangan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan
terhadapnya.
2.3 Kualitas Akuntan Forensik
Menurut Robert J Lindquist menyatakan bahwa kualitas yang harus dimiliki
oleh akuntan forensik sebagai berikut :
 Kreatif. Kemampuan untuk melihat sesuatu secara berbeda dari orang lain.
Suatu hal yang normal bagi orang lain belum tentu dianggap normal oleh
akuntan forensik.
 Rasa ingin tahu. Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.
 Tidak menyerah. Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun
fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi
sulit diperoleh.
 Akal sehat. Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata.
Ada yang menyebutnya perspektif anak jalanan yang mengerti betul
kerasnya kehidupan.
 Business sense. Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis
sesungguhnya berjalan dan bukan hanya sekedar memahami bagaimana
transaksi dicatat.
 Percaya diri. Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuanya sehingga
dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa
penuntut umum dan pembela).
Independen, Objektif dan Skeptis
Menurut (BPKP,2007) Sikap tersebut merupakan sikap yang harus
melekatpada diri seorang auditor. Ketiganya juga tidak dapat dipisahkan dari
pekerjaan akuntan forensik.
 Independen adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh
pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Dalam SPAP (IAI, 2001:
220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah
dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan
umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern).
 Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap
adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau
bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak
lain
 Skeptisme merupakan sikap atau pikiran yang selalu mempertanyakan atau
mengasumsikan kerentanan terhadap suatu kecurangan tetapi juga tidak
membenarkan kejujuran yang absolut.
2.4 Kode Etik Akuntan Forensik
Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya,
dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas.
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar
dan tidak baik bagi profesional. Tujuan kode etik agar profesionalisme
memberikan jasa sebaik- baiknya kepada pemakai jasa atau nasabahnya.
Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Dalam
menjalankan profesinya seorang akuntan forensik harus memperhatikan kode
etik, diantaranya :
1. Tanggung Jawab Profesi
Setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
professional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Anggota
mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa professional
mereka. Anggota juga bertanggung jawab untuk memelihara kepercayaan
masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur
dirinya sendiri. Setiap anggota harus menunjukan komitmen terhadap
profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Kepentingan Publik
Publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan,
dan pihak lainnya bergantung kepada objektivitas dan integritas akuntan
dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Hal ini
menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik.
Ketergantungan ini juga mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat
dan Negara. Akuntan juga tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan
yang bersifat illegal atau melangar etika, atau segenap tindakan yang
menimbulkan adanya konflik kepentingan. Kepentingan utama profesi
akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa
akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi.
3. Integritas
Integritas merupakan hal yang melandasi kepercayaan publik dan menjadi
patokan bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas
mengharuskan seseorang bersikap jujur, dan berterus terang tanpa
mengorbankan rahasia penerima jasa. Kepercayaan publik tidak boleh
dikalahkan oleh keuntungan pribadi.
4. Objektivitas
Suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak,
tidak berprasangka, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah
pengaruh pihak lain.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa
professional dengan sebaik baiknya sesuai dengan kemampuannya.
Anggota harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat
mendukung pendapat yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat
bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah” atau“tidak bersalah”.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota tidak boleh mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia
yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak- pihak
yang berwenang. Kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar
anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota berkewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat
mendiskreditkan profesi sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada
penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan
masyarakat umum. Setiap anggota harus mengungkapkan seluruh hal yang
material yang diperoleh dari hasil audit. Apabila informasi tersebut tidak
diungkapkan akan menimbulkan distory terhadap fakta yang ada.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa professionalnya sesuai dengan
standar teknis dam standar profesionalnya yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut
sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan
standar profesianal yang harus ditaati anggota adalah standar yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Feferation of
Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang
relevan.
Pelaksanaan Kode Etik
Mempunyai dokumen mengenai Standar dan Kode Etik adalah langkah
awal yang baik. Namun, tanpa penegakan (enforcement) yang tegas dan
konsisten, kredibilitas profesi dipertanyakan.
Contoh Kasus:
Langgar kode etik KPK Antasari terancam lima tahun penjara
Posisi Ketua Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) nonaktif Antasari Azhar
semakin terjepit, sekalipun bisa lolos dari kasus pembunuhan berencana
terhadap Nazarudin Zulkarnain hukuman lain masih menantina. Itu terkait
dugaan pelanggaran kode etik KPK yang dilakukan Antasari.
Peneliti hukum indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah
mengungkapkan Antasari diindikasi melanggarPasal 36 UU Nomor 30 tahun
2002 tentang KPK. Dalam pasal itu disebutkan , pimpinan KPK dilarang
bertemu dengan tersangka kasus korupsi atau pihak lain yang terkait yang bisa
memunculkan konflik kepentingan
“aturannya jelas, jadi zero tolerance (tidakadatoleransi)” “kata febrii di
Jakarta” untuk meminimalkan konflik kepentingan. Dia mengatakan , banyak
sinyalmen yang menunjukan Anatasari melanggar kode etik.
Febri lantas menyebutkan, Antasari mengaku bertemu dengan
Nazarudinn dalamkasus korupsi di PT rajawali Nusantara Indonesia yang
disebutt sebagai pelapor. Kemudian informasi penemuan Antasari dengan
pengusaha di Batam.“ jadi persoalaan-persoalan itu yang mengindikasi ada
pelanggaran kode etik” katanya ancaman hukuman untuk antasari karena
pelanggaran kode etik adalah lima tahun penjara berdasarkan Pasal 65 UU
KPK. (Sumber : https;//jawapos.com/.19 mei 2009)
2.5 Standar Audit Investigatif
Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Oleh karena itu, dalam
pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan adanya standar tersebut.
Dengan standar ini pihak yang diaudit, pihak yang memakai laporan audit,
dan pihak-pihak lain dapat mengukur mutu kerja si auditor. K.H. Spencer
Pickett and Jennifer Picket, merumuskan beberapa standar untuk melakukan
investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas
fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan. Standar tersebut adalah :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui. Dalam hal
ini tersirat dua hal. Pertama, adanya upaya membandingkan antara praktik-
praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya
ini disebut benchmarking. Kedua, upaya benchmarking dilakukan terus-
menerus untuk melakukan solusi terbaik.
2. Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian, sehingga bukti-bukti
tadi dapat diterima dipengadilan.
3. Pastikan seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, dan
diindeks dan jejak audit tersedia. Ini diperlukan sebagai referensi apabila
ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi
sudah dilakukan dengan benar dan membantu perusahaan dalam upaya
perbaikan cara-cara investigasi.
4. Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Jika investigasi dilakukan dengan cara
melanggar hak asasi pegawai, yang bersangkutan dapat menuntut
perusahaan dan investigatornya, sehingga bukti yang sudah terkumpul akan
menjadi sia-sia.
5. Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan
kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut,
baik dalam kasus hukum administrative maupun hukum pidana.
6. Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasi” seluruh target yang sangat
kritis ditinjau dari segi waktu. Investigator harus menentukan cakupan
investigasinya. Untuk memperkecil peluang pelaku menghancurkan atau
menghilangkan bukti.
7. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk pencatatan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protocol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan
polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai laporan.
2.6 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Badan Pemeriksa Keuangan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara no. 1 tahun 2007 mencantumkan beberapa standar yang berkenaan
dengan penemuan fraud. Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi
Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; Kecurangan (fraud); dan Ketidakpatutan (abuse)
Apabila ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap tujuan pemeriksaan, pemeriksa harus merancang
metodologi dan prosedur pemeriksaan sedemikian rupa sehingga dapat
mendeteksi penyimpangan yang dapat membawa pengaruh signifikan terhadap
tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus menentukan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tujuan
pemeriksaan, dan harus memperhitungkan risiko bahwa penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan, dan kecurangan maupun
penyalahgunaan wewenang dapat terjadi. Berdasarkan penilaian risiko
tersebut, pemeriksa harus merancang dan melaksanakan prosedur yang dapat
memberikan keyakinan yang memadai mengenai hal-hal yang menyangkut
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang undangan, serta
ketidakpatutan. Untuk itu pemeriksa juga harus menyiapkan dokumentasi
pemeriksaan mengenai penilaian risiko tersebut.
Tidak praktis bagi pemeriksa untuk menetapkan suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan berpengaruh signifikan terhadap tujuan
pemeriksaan. Hal ini disebabkan program pemerintah sangat dipengaruhi oleh
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tujuan pemeriksaan
sangat beragam. Walaupun begitu pemeriksa dapat menggunakan pendekatan
berikut ini:
a. Ubah setiap tujuan pemeriksaan menjadi beberapa pertanyaan tentang
aspek tertentu dari program yang diperiksa (tujuan, pengendalian intern,
kegiatan, operasi, output, outcome sebagaimana dimuat dalam paragraf
10).
b. Identifikasikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
langsung dengan aspek tertentu yang menjadi bahan pertanyaan tadi.
c. Tentukan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan
yang secara signifikan dapat mempengaruhi jawaban pemeriksa atas
pertanyaan tadi. Jika benar maka ketentuan peraturan perundang undangan
tersebut mungkin signifikan bagi tujuan pemeriksaan.
2.7 Standar Akuntansi Forensik
Indepedensi akuntan forensik harus independen dalam melaksanakan
tugas
 Garis pertanggungjawaban
1. Untuk kegiatan internal lembaganya, akuntan forensik harus cukup
independen dalam melaksanakan tugasnya. Ia bertanggung jawab
langsung ke dewan komisaris kalau penugasan diberikan oleh
lembaganya atau kepada penegak hukum dan atau regulator jika
penugasannya datang dari luar lembaganya
2. Dalam hal akuntan forensik tersebut independen( misal jika partner
kantor akuntan publik). Ia akan menyampaikan laporannya kepada
seorang eksekutif senior yang kedudukannya lebih tinggi dari orang
yang diduga melakukan fraud. Alternatifnya adalah akuntan forensic
menyampaikan laporannya kepada dewan komisaris
3. Dalam hal akuntansi forensik tersebut independen dan penugasan
diterimanya dari lembaga penegak hukum atau pengadilan, pihak yang
menerima laporan atau counterpart harus ditegakan dalam kontrak.
 Objektivitas akuntan forensik harus objektif, dalam melaksanakan telaah
akuntansi forensiknya.
 Kemahiran Profesional (akuntansi forensik harus dilaksanakan dengan
kemahiran dalam melaksanakan telaah akuntansi forensik).
1. Sumber daya manusia
Semua sumber daya manusia yang melaksanakan akuntansi forensik
harus mempunyai kemahiran teknis, pendidikan, dan pengalaman
yang memadai sesuai dengan tugasnya dengan baik.
2. Pengetahuan, pengalaman, keahlian dan disiplin
Akuntan forensik harus memiliki atau menggunakan sumberdaya
manusia yang memiliki penegtahuan, pengalaman, keahlian, dan
disiplin untuk melaksanakan tugasnya dengan baik
3. Supervisi
Dalam hal ada lebih dari satu akuntan forensik dalam satu penugasan,
salah seorang di antara mereka berfungsi sebagai “in charge” yang
bertanggungjawab dalam mengarahkan penugasan dan memastikann
bahwa rencana kerja dilaksanakan sebagaimana harusnya dan
didokumentasikan dengan baik.
4. Kepatuhan terhadap standar perilaku
Akuntan forensik harus mematuhi standar perilaku professional
terbaik yang diharapkan dari akuntan, editor, rekan dari profesi hokum
baik pembela maupun jaksa penuntut umum dan regulator
5. Hubungan manusia
Akuntan forensik harus memiliki kemampuan berinteraksi dengan
sesama manusia seperti yang diharapkan dalam hubungan antar
manusia di dunia bisnis dalam kegiatan sehari-hari atau ketika
melakukann wawancara dan introgasi dari kegiatan akuntansi
BAB III
PENUTUP
Auditor merupakan pekerjaan yang professional, oleh karena itu auditor
diharapkan mampu menerapkan atribut dan kode etik dalam melaksanakan auditnya.
Karena di dalam kode etik berisi nilai-nilai luhur yang amat penting bagi eksistensi
profesi. Dengan menerapkan kode etik maka tanggung jawab seorang audior akan
semakin meningkat, sehingga mendeteksi kecurangan pun akan lebih meninggkat. Hal itu
memperkecil kemungkinan terjadinya kecurangan. Rasa tanggung jawab yang tinggi juga
mempengaruhi hasil opini dari seorang auditor.
Bagi instansi, juga harus mendukung auditor dalam melakukan pekerjaannya guna
meningkatkan penerapan kode etik untuk dapat memaksimalkan pendeteksian fraud.
Sehingga dapat menekan dampak fraud yang muncul.
REFRENSI
Tuanakotta, M. Theodorus. 2016. Akuntansi Forensik & Audit Investigasi. Jakarta.
Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai