Anda di halaman 1dari 183

PEMBANGUNAN HUKUM

DAN
KONFLIK UNDANG-UNDANG BIDANG SEKTORAL

Oleh:

Pusat Studi Kebijakan Hubungan Pusat dan Daerah


Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Kerjasama
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Palembang
2009
IDENTITAS PENELITIAN

1. Judul Penelitian : Pembangunan Hukum dan Konflik


Undang-Undang Sektoral
2. Aspek : Integrasi Bangsa dan Harmoni Aturan
Hukum
3. Peneliti Utama : Dr. Febrian, S.H. MS.
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Unit Kerja : Fakultas Hukum
6. Alamat Unit Kerja : Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya, Jl. Jl. Raya Palembang -
Prabumulih, Inderalaya Ogan Ilir
7. Telepon /Fax : Telp. (0711) 442001
Fax. (0711) 353373
8. Alamat e-mail : febrian_zen@yahoo.com.sg
9. Telepon Seluler/HP : 081 63285762

Anggota Penelitian
No. Nama Kedudukan
1 Ridwan, SH., M.Hum. Wakil Ketua/ Anggota
2 Indah Febriani, SH., M.Hum. Sekretaris/Anggota
3 Dr. M. Syaefuddin, SH., M.Hum. Anggota
4 Drs. Murzal, SH., M.Hum. Anggota
5 Firman Muntaqo, SH., M.Hum. Anggota
6 Zulhidayat, SH. Anggota
7 Mada Apriandi Zuhir, SH., MCL. Anggota

Tenaga Pendukung:
1. Mardiana, SH.
2. Mariana, SE.
3. Mardani, S. Kom.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti haturkan ke hadirat Allah yang Maha
Mengetahui yang telah memberi ilmu dan hikmah, sehingga proses penelitian dan
penulisan laporan akhir penelitian yang berjudull “Pembangunan Hukum dan
Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral, dalam rangka studi hubungan pusat
dan daerah, dapat diselesaikan dengan baik.

Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara
pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian
wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian
urusan pemerintahan terdiri atas; urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat; urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Hal inilah yang akan menentukan sejauhmana
pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Lebih lanjut, objek urusan
pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.

Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur


dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Secara khusus juga diatur dalam berbagai UU sektoral, namun seringkali
menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik
wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan
pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran
otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di
daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak
negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak
menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian
daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan
budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah
otonom.

Penelitian ini merupakan kerjasama DPD RI dengan Pusat kajian Hubungan


Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya melalui Surat Perintah
Kerja, Penelitian Pusat Studi Kebijakan Hukum Pusat-Daerah Tentang
Pembangunan Hukum Dan Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Nomor:
HM. 320/440/DPD/VI/2009, tanggal: 22 Juni 2009.

Untuk dapat mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, penelitian ini


disusun dalam beberapa kajian yang bermuara pada pembangunan hukum terkait

iv
dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral. Dalam
pelaksanaannya, topik-topik kajian tersebut disusun sebagai berikut; kajian tentang
konflik aturan hukum di bidang pertanahan, kajian tentang konflik aturan hukum di
bidang lingkungan hidup, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang
pengelolaan kesehatan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang kehutanan,
kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam
kelautan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber
keuangan negara, dan bidang hukum lainnya, yaitu hukum bidang kesehatan, hukum
bidang pendidikan, dan hukum bidang pertambangan. Topik-topik tersebut
kemudian dijabarkan menjadi deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang
lebih selaras dengan cita-cita UUD 45, Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
hubungan pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral, pembagian wewenang
antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun
2004 maupun dalam berbagai UU sektoral, review sejumlah peraturan yang tidak
sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil, dampak
pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah, Konsep dan
prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas dan hak-hak
masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan masing-masing topik.

Dalam kesempatan ini, peneliti menghaturkan terima kasih yang tulus kepada
semua pihak yang telah banyak membantu selama proses penelitian dan penulisan
laporan akhir, yaitu:

1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, atas kepercayaan dan


kerjasamanya, semoga dapat berlanjut dimasa-masa yang akan datang;
2. Prof. Dr. Badia Perizade, M.B.A, selaku Rektor Universitas Sriwijaya,
lembaga tempat peneliti bernaung,;
3. Prof. Amzulian Rifai, S.H., LLM., PhD, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya; dan
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus ikhlas
telah membantu peneliti dalam proses penelitian ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tiada gading yang tak retak. Untuk itu,
saran dan kritik membangun dari para pembaca guna perbaikan di masa mendatang
sangat penulis harapkan.

Palembang, 2009

Peneliti

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................... i


Identitas Penelitian ..................................................................................... ii
Kata Pengantar ........................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................... iv
Daftar Tabel ............................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Permasalahan ..................................................................... 3
C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup .................................. 3
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 6
E. Metode Penelitian .............................................................. 6
F. Out Put/Hasil Penelitian ..................................................... 7

BAB II LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS 8


A. Urgensi Pemerintahan Daerah ........................................... 8
B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi .................................. 10
C. Pembangunan Hukum ...................................................... 14
D. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum .................. 15
E. Politik Hukum .................................................................... 17
F. Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan ................ 19
1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundang-undangan ......... 19
2. jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 ....................................... 24
3. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan .................. 25
4. Landasan Peraturan Perundang-undangan ................... 27
5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum
Sektoral ....................................................................... 30

BAB III ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN 31


A. Quo Vadis Ideologi Populis Agraria .................................... 31
B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa .................. 36
C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan
Konstitusional Pengelolaan Tanah ...................................... 43
D. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan
Konstitusional Pengelolaan Tanah ....................................... 43
E. Desentralisasi atau Sentralisasi Urusan Bidang Pertanahan.. 49

vi
F. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 .............................. 53
1. Aspek Historis ................................................................ 53
2. Asas Kekeluargaan .......................................................... 56
3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara ........ 58
G. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945 ........................................................ 65
1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945 ................................................................................ 65
2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (1967-
1998) .............................................................................. 70
3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (1998-
2006) ............................................................................... 81

BAB IV ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN 95


A. Aturan Hukum Sektor Pertanahan ...................................... 95
B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan .......................... 100
C. Isu Hukum Aktual dala Konflik Aturan Hukum Sektor
Kesehatan ............................................................................ 103
1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum
dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan .................... 104
2. Ketikonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan
Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan
Kesehatan ....................................................................... 104
3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi
Sosial Pelayanan Kesehatan .......................................... 105
4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum
dan Kebijakan Perizinan ............................................... 106
5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan
Akreditasi ........................................................................ 106
6. Ketidakjelasan dan Keteterlambatan Aturan Hukum dan
Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit ............................. 107
7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum
dan Kebijakan Sanksi Administrasi ............................... 107
8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang
Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dan Peraturan
Daerah ............................................................................. 109
9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan
Hukum (Pemerintah) Sektor Kesehatan ......................... 109
D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang
Pemerintah dala Otonomi Daerah Sektor Kesehatan ......... 112
E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor
Kesehatan ........................................................................... 114
F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah
Sektor Kesehatan Kesehatan dalam Peraturan Daerah ........ 121

vii
G. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Otonomi Sektor Kesehatan ........ 121
H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum
dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan ......................... 123
I. Penguatan Asas Konsisten dan Kesegeraan Aturan Hukum
dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan
Kesehatan ........................................................................... 124
J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum
dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan ............ 124
K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum
dan Kebijakan Pengelolaan Perbekalan Kesehatan ............ 125
L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan
Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan ............................. 126
M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan
Akreditasi ............................................................................ 126
N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum
Audit Medis ....................................................................... 127
O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum
dan Kebijakan Sanksi Administrasi .................................... 127
P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah
Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah ............. 128
Q. Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan
(Pemerintah) Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good
Governance ....................................................................... 128
1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan
Daerah .......................................................................... 131
2. Perubahan Struktur dan Fungsi Kementerian
Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... 131
3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian
Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... 132
R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari
Pemerintah Pusat dan Alokasi “Subsidi” dari Pemerintah
Pusat di Sektor Kesehatan ................................................. 133

BAB V ANALISIS ATURAN HUKUM PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN 136
A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah ................................ 136
B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan ............................. 137
C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan laut oleh Daerah ............. 140
D. Penegakan Hukum dan kebijakan Sektor Kelautan Multi
Dimensi ............................................................................... 141

viii
BAB VI ANALISIS ATURAN HUKUM HUBUNGAN
KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH 143
A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........... 143
1. Desentralisasi Fiskal .................................................... 144
2. Dana Perimbangan ...................................................... 145
3. Dekonsentrasi ............................................................... 146
4. Tugas Pembantuan ........................................................ 146
5. Pinjaman Daerah ..........................................................
147
B Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor
Keuangan Pusat dan Daerah ........................................... 147
C Isu Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan
Pusat dan Daerah ............................................................... 148
D Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara
Pusat dan Daerah ................................................................. 150

BAB PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN


VII HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN
MASYARAKAT ADAT 153
A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan
Daerah ................................................................................. 153
B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam
Perspektif Desentralisasi ..................................................... 156
C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah
Berdasarkan Prinsip Otonomi yang Luas ............................. 159

BAB VIII PENUTUP 162


A. Umum ................................................................................ 162
B. Khusus ............................................................................... 163

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 169

ix
DAFTAR TABEL

No Judul Hlm
1 Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi Struktural 18
dan Corak Penguasa
2 Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia Tahun 1970-2001 37
3 Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah 38
4 Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 39
5 Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna Lahan dan 40
Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993)
6 Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Tahun1990-2003 41
(Juta Orang)
7 Pembagian Wewewnang Pemerintah Sektor Kesehatan 117
Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan
Melaksanakan
8 Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap 120
Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sistem negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) Indonesia,


diselenggarakan untuk sebagian urusan secara sentralisasi, dan diselenggarakan pula
pemencaran kekuasaan kepada organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang
pemerintah pusat di daerah yang dikenal sebagai dekosentrasi. Di samping itu,
diselenggarakan pula sebagian urusan pemerintahan secara desentralisasi, yakni
wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan oleh satuan-
satuan pemerintahan di tingkat yang lebih rendah dan bersifat otonom. Dalam rangka
otonomi tersebut, perlu dijalankan sistem mekanisme yang baik tentang hubungan
antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan perubahannya,


diletakkan dasar konstitusional tentang hubungan antara pusat dan daerah, yaitu
berupa prinsip-prinsip, antara lain:
1. Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otoonmi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2));
2. Otonomi yang seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5));
3. Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1));
4. Pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat dan
hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2));
5. Pengakuan dan penghormatan atas pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1));
6. Badan perwakilan dipilih langsung melalui suatu pemilu (Pasal 18 ayat
(3));
7. Hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil
(Pasal 18A ayat (2));
8. Wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1));

1
9. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dilaksanakan secara adil dan selaras (Pasal 18A ayat (2)).

Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar dalam penyusunan undang-


undang terkait dengan otonomi, terutama undang-undang tentang pemerintahan
daerah dan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, sebagai lex generalis dan undang sektoral sebagai lex
specialis.

Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara
pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian
wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian
urusan pemerintahan terdiri atas:
- urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;
- urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang
selanjutnya dikenal adanya urusan Pemerintah daerah terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan.

Adapun pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan


pemerintah tersebut di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauhmana
pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Objek urusan pemerintahan bisa
sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.

Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur


dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (serta perubahannya) dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut, secara khusus juga
diatur dalam berbagai UU sektoral, namun pengaturan tersebut seringkali
menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik
wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan
pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran
otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di
daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak

2
negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak
menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian
daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan
budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah
otonom.
Tujuan dari desentralisasi yang digariskan prinsip-prinsipnya dalam UUD
1945 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Disamping itu
sebagai perwujudan demokratisasi di daerah, pemerataan, dan keadilan, serta
memperhatikan keragaman daerah. Idealnya, aplikasi desentralisasi dalam undang-
undang terkait dengan otonomi, antara lex generalis dan undang sektoral (lex
specialis) tersusun dalam bingkai yang sinkron.

B. Permasalahan

Beranjak dari tujuan desentralisasi tersebut, maka dalam hubungan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat permasalahan pokok adalah
bagaimana mensikronkan hubungan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik urusan yang diatur dalam UU
Pemerintahan daerah dan UU Perimbangan Keuangan, maupun urusan-urusan yang
diatur dalam berbagai UU sektoral, sehingga selaras dengan prinsip otonomi yang
luas.

C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup

Beranjak dari tujuan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini disusun
dalam beberapa kajian yang kesemuanya bermuara pada pembangunan hukum yang
bagaimana terkait dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral.
Sebagai pemetaan, UU yang diterbitkan sebelum tahun 1999, sangat potensial terjadi
ketidaksinkronan. Tidak berarti dengan sendirinya, bahwa UU yang diterbit setelah
itu sudah pasti sinkron, belum tentu. Topik-topik kajian disusun sebagai berikut:

3
1. Analisis aturan hukum di sektor pertanahan.
Mengkaji:
- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras
dengan cita-cita UUD 45.
- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,
khususnya sektor pertanahan.
- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32
Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral lainnya terkait dengan
urusan pertanahan.
- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian
wewenang yang selaras dan adil di bidang pertanahan.
- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan
daerah.
- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang
luas.
- Hak masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan pertanahan.

2. Analisis aturan hukum di sektor kesehatan.


- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras
dengan cita-cita UUD 45.
- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,
terutama bidang/sektora kesehatan.
- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU
sektoral terkaitan dengan pelayanan kesehatan.
- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian
wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kesehatan.
- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan
daerah dalam urusan kesehatan.
- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang
luas.

4
3. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam kelautan.
- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras
dengan cita-cita UUD 45.
- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,
terutama di bidang pengelolaan sumber daya kelautan.
- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32
Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral terkait pengelolaan
sumber daya kelautan.
- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian
wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kelautan.
- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan
daerah.
- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang
luas.
- Hak masyarakat adat (masyarakat pesisir) dan pengaturannya terkait
dengan sumber daya kelautan.

4. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber keuangan Negara.


- Deskripsi lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan
cita-cita UUD 45.
- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,
terutama bidang keuangan.
- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU
sektoral terkait bidang keuangan.
- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian
wewenang yang selaras dan adil.
- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan
daerah.
- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang
luas.

5
D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mendeskripsikan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras
dengan cita-cita UUD 45.
2. Mendefinisikan ulang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan
pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral.
3. Mendeskripsikan pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai
UU sektoral.
4. Me-review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian
wewenang yang selaras dan adil.
5. Memaparkan dampak yang terjadi sehubungan dengan permasalahan yang
timbul akibat pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan
daerah.
6. Merumuskan konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip
otonomi yang luas.
7. Mendeskripsikan hak masyarakat adat dan pengaturannya.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini didekati dari sisi ilmu hukum, baik pada tataran
dogmatik, teori hukum, maupun filasafat hukum. Selain menggunakan penelitian
hukum, dalam studi ini juga digunakan pendekatan hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif atau kepustkaan
tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
semantik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan


kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perundangn-undangan

6
yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman colonial sampai
sekarang termasuk UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan
UU Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006).

Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah pengertian-


pengertian pokok atau dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam UU yang
berkaitan dengan Hubungan Pusat dan dan Daerah, tujuannya adalah untuk menelaah
indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama terhadap undang-undang
bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas desentralisasi dan demokratisasi.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal dilakukan untuk


menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Penelitian
terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah keserasian peraturan
perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material dan obyek formal penelitian.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk menelaah kesrasian
peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur substansi materi yang
sama.

Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan


peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi obyek
materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang Pemerntahan
Daerah, juga untuk mengetahui perkembangan muatan desentralisasi dalam setiap
kebijakan pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

2. Bahan Penelitian

Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

F. Output/Hasil Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang ditujukan


kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan.

7
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS

A. Urgensi Pemerintahan Daerah


Keberadaan pemerintah dalam suatu negara adalah suatu yang urgen (penting)
bagi proses kehidupan masyarakat. Sekecil apapun kelompok masyarakat, bahkan
individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Jika tidak ada pemerintah,
maka masyarakat akan hidup dalam ketidakteraturan1, karena tidak ada institusi yang
memberikan perlindungan hukum bagi warga beserta harta benda milik mereka.
Hukum rimbalah yang akan terjadi, siapa yang kuat dialah yang akan menang dan
mampu mempertahankan kehidupan dan miliknya.
Negara, melalui pemerintahnya menyelenggarakan tertib hukum dalam rangka
memberikan perlindungan hukum bagi warga, aparatur pemerintah, dan aset negara.
Dikatakan oleh Hans Kelsen:
“The state is,…, a legal order. It is element, territory and people, are the
territorial and personal spheres of validity of that legal order… The “power”
of the state is validity and efficacy of legal order,…”2

Negara adalah tertib hukum. Elemen negara, wilayah dan rakyat, adalah lingkungan
wilayah dan pribadi keberlakuan dari tertib hukum. Kekuasaan negara adalah
keberlakuan dan kemanfaatan dari tertib hukum. Sebaliknya, para penulis kontitusi
Amerika, seperti dikemukakan Alan Norton:

“The separation of territorial powers could be seen as a check on the power of


central state: ...the American stress on the division of powers between levels of
government could be extended to some extent to local government as
mitigating the dominant of the sovereign”3.

1
Ridwan. “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan Kedua UUD 1945”. Makalah pada
Seminar Bagian Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya dengan
Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006, hlm. 1.
2
Hans Kelsen. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York, hlm.
303
3
Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a
comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book Company, Suffolk,
Great Britain, hlm. 26-27

8
Dari kutipan di atas, disarikan bahwa pemisahan kekuasaan teritorial dapat
dilihat sebagai pengawasan terhadap kekuasaan negara, bagi Amerika pembagian
kekuasaan tersebut adalah sebagai pengurangan dominasi kedaulatan.

Apapun bentuknya suatu negara dan seberapa pun luas wilayahnya, tidak akan
mampu menyelenggarakan pemerintahan secara sentral terus-menerus. Keterbatasan
kemampuan pemerintah, menimbulkan konsekwensi logis bagi distribusi urusan-
urusan pemerintahan negara kepada pemerintah daerah.4 Pemencaran atau distribusi
urusan-urusan pemerintahan kepada satuan-satuan dan unit-unit pemerintahan yang
lebih kecil, memunculkan sistem-sistem pemerintahan daerah yang merupakan
bagian dari sistem pemerintahan nasional negara yang bersangkutan.
Bagi negara Indonesia, terdapat beberapa alasan mengenai perlu atau
pentingnya pemerintahan daerah, yaitu alasan sejarah, alasan situasi dan kondisi
wilayah, alasan keterbatasan pemerintah, dan alasan politis dan psikologis:5
1. Alasan sejarah
Secara historis, ekssistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa
pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu, sampai pada sistem
pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah.

2. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah


Secara geografis, Indonesia merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari
ribuan pulau besar dan kecil, satu sama lain dihubungkan oleh sela dan laut,
dan dikelilingi oleh lautan yang luas. Kondisi wilayah yang demikian,
mempunyai konsekwensi logis terhadap lahirnya berbagai suku dengan adat
istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya masing-masing.
Demikian pula keadaan dan kekayaan alam dan potensi permasalahan yang
satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri. Oleh karena itu, dipandang
akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan
pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintah yang berada di
wilayah masing-masing.

3. Alasan Keterbatasan Pemerintah


Tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah
pusat, karena keterbatasan kemampuan pemerintah, maka pendelegasian
kewenangan kepada unit pemerintahan di daerah-daerah suatu keniscayaan.
Tidak mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang
menyangkur\t kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke.

4
S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 16.
5
Ibid., hlm. 21-25.

9
4. Alasan Politis dan Psikologis
Ketika UUD 1945 dalam masa penyusunan, terdapat pandangan yang menonjol
pada saat itu adalah wawasan integralistis, demokratis, dan semangat persatuan
dan kesatuan nasional. Sejarah membuktikan, bahwa sekian lamanya bangsa
Indonesia hidup di bawah pemerintah penjajah, disebabkan faktor utama, yaitu
lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa pada waktu itu. Pembentukan dan
pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan
semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan negara
kesatuan Republik Indonesia.

Negara Republik Indonesia yang menganut faham negara kesatuan, memikul


beban yang berat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat, hal ini mengingat wilayah yang luas, bersifat nusantara, dan
heterogenitas sosial budaya penduduk, maka pilihan menggunakan asas
6
desentralisasi adalah keniscayaan. Dengan desentralisasi, pemerintah pusat dapat
menyerahkan sebagian urusan atau kekuasaannya kepada daerah menjadi urusan
rumah tangganya.7 Berdasarkan asas desentralisasi yang dianut, dikenalnya adanya
pemerintahan daerah otonom yaitu daerah yang diberi wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri.

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Desentralisasi dan otonomi Daerah adalah instrumen untuk mencapai tujuan


dan bukan tujuan itu sendiri. Permasalahannya, terletak bagaimana
menyelenggarakan pemerintahan Daerah dalam negara kesatuan sehingga tujuan
akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Karena itu, masalah
pengaturan tentang pemerintahan daerah dan pelaksanaannya, terus menjadi bahan
perbincangan sejak masa penyusunan UUD 1945 sampai sekarang. Persoalan
otonomi daerah (yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah) bukan persoalan yang
berdiri sendiri, bukan hanya masalah ketatanegaraan, tetapi banyak segi dan
berkaitan dengan aspek kehidupan manusia.

6
Otonomi sudah menjadi suatu keniscayaan, karena pelaksanaan otonomi daerah memberikan
eksistensi bagi keberagaman sosial, budaya, dan adat isitiadat. Lihat J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk
Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69.
7
Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan Negara”.
Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan RI. Sekretariat
Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992. hlm 4.

10
Silih berganti diundangkan undang-undang pemerintahan daerah sejak tahun
1945, bahkan untuk itu dilakukan perubahan terhadap ketentuan UUD 1945, adalah
dalam rangka menginterpretasikan dan menemukan solusi terbaik atas permasalahan
tersebut di atas.
Pada mulanya makna “otonomi” (otonomi daerah) adalah pengundangan
sendiri, yang dalam perkembangan selanjutnya diartikan juga pemerintahan.
Otonomi daerah, selanjutnya disingkat otonomi, merupakan satu sistem dalam
kerangka desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Istilah desentralisasi dan
otonomi sering dipakai untuk makna yang sama secara bergantian, padahal secara
teoritis pengertian kedua istilah itu dapat dibedakan, namun dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan antara keduannya tidak dapat dipisahkan.
Rondinelli, sebagaimana dikutip Gustam Idris8, mengemukakan tiga bentuk
desentralisasi:
1. Dekonsentrasi (deconcentration); bersifat field (lapangan) dan local
administration (integrated local administration dan unintegrated local
administration)
Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab
administrastif antara departemen pusat di lapangan. Pada tipe field
administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil
keputusan, namun para pejabatnya tetap pegawai departemen pusat. Pada
integrated local administration tenaga staf departemen pusat yang
ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan
dari kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab
kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada Pemda.
Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan
pemda berdiri sendiri, mereka bertanggung jawab kepada departemen
masing-masing. Kordinasi dilakukan secara informal.

2. Delegasi wewenang kepada badan semi otonomi.


Merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan
manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang
tidak secara langsung dibawah pengawasan pemerintah pusat (ingat
BUMN di Indonesia).
3. Devolusi kepada pemerintahan lokal.
Pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah
pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk
dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom

8
Gustam Idris. “Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel tentang
Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan
Diklat Provinsi Sumatera Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus
2001, hlm. 2- 4.

11
dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintahan pusat; wilayah
jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan;
unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum berwenang
mengelola sumber daya;
4. Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi).
Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta
administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi
pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah”.

Uraian di atas menegaskan bahwa konsep desentralisasi timbul karena adanya


perhatian yang makin besar untuk memberikan keleluasaan dalam perencanaan dan
administrasi, yang dilatarbelakangi oleh: pertama, kurang memuaskannya hasil
perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi yang terpusat; kedua, perlunya
dikembangkan cara-cara baru dalam pengelolaan program dan proyek serta
administrasi pembangunan; ketiga, adanya kenyataan bahwa kebutuhan masyarakat
makin kompleks diikuti makin luasnya kegiatan pemerintahan sehingga makin sulit
tercapainya efisiensi dan efektivitas fungsi pemerintahan.

Menurut teori center-peripheral relationships, dalam pendekatan formulasi


wewenang pusat dan daerah, pusat adalah bagian dari masyarakat yang
kewenangannya dikontrol.9 Sedangkan pinggiran/ daerah adalah lokasi di mana
wewenang digunakan/ dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilai-
nilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and beliefs). Pusat
adalah sistem nilai karena didukung oleh kewenangan-kewenangan berkuasa dari
masyarakat. Sistem nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti
melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang dalam sistem
nilai-nilai tersebut.10

Menurut M. Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk pergaulan hidup juga
dan oleh sebab itu antara rakyat yang merupakan penduduk daerah otonom itu harus
pula ada ikatan, diantaranya sekepentingan bersama.11 Pembentukan daerah otonom
tentu tidak dapat diadakan dengan menarik garis-garis di atas peta saja dan hanya

9
Arend Lijphart. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale
University Press, hlm. 20-21.
10
Ibid.
11
.M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom.
EndaNG, Jakarta. hlm. 4

12
memperhitungkan syarat-syarat obyektif saja. Syarat obyektif tentu perlu, tetapi
syarat subyektif tidak kalah pentingnya. Syarat subyektif itu adalah dasar
kepentingan bersama dan dasar seperasaan anatara anggota pergaulan hidup itu
(daerah).12 Syarat yang dikehendaki oleh hukum, menurut Nasroen, adalah daerah
otonom tidak boleh bertentangan atau merusakkan dasar kesatuan dari Negara
Kesatuan RI; Daerah otom harus berada dalam lingkungan negara sebagai negara
yang berbentuk kesatuan.13

Bagaimana kebijaksanaan yang harus dijalankan dalam pembentukan daerah


otonom? Menurut Nasroen, harus lebih dahulu diadakan analisis mengenai keadaan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas bermacam
suku bangsa mempunyai corak hidup dan pendirian sendiri-sendiri, sungguh
demikian ke semua suku bangsa itu mempunyai dasar yang sama dan satu, yaitu
dasar keindonesiaan.14

R. Tresna15, menggolongkan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie


(dekonsentrasi) dan staatskundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).
Desentralisasi ketatanegaraan dapat berbentuk “desentralisasi territorial” dan
“desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) adalah pemberian
kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran
pekerjaan semata-mata. Desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian
kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan
asas demokrasi pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna mengemukakan, desentralisasi
dapat pula berbentuk “otonomi” dan medebewind. Otonomi mengandung makna
regeling dan bestuur, sedangkan medebewind merupakan tugas pembantuan.

Di Belanda,16 medebewind dipahamkan sebagai pembantu penyelenggaraan


kepentingan-kepentingan dari Pusat atau daerah yang tingkatnya lebih atas oleh alat
perlengkapan pemerintahan daerah yang lebih rendah tingkatannya. Urusan itu tidak
beralih, tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab tetap
kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan pengaturannya berada
sepenuhnya pada daerah yang memberi bantuan.
12
.Ibid., hlm. 4
13
.Ibid., hlm. 9
14
.Ibid., hlm. 4
15
.Ibid.
16
.Ibid. .

13
C. Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum secara tepat memerlukan desain pembangunan hukum
secara tepat pula, yaitu pemahaman yang tepat terhadap karakteristik objek
pembangunan tersebut. Hingga saat ini masih berkembang berbagai pandangan
tentang ruang lingkup ilmu hukum. Sebab utamanya adalah besarnya pengaruh dari
perkembangan ilmu pengetahuan (abad 17 sd 19) terhadap ilmu hukum. Akibat
yang harus diterima oleh hukum sebagai akibat perkembangan itu yaitu terjadinya
reduksi hukum sebagai objek ilmu hukum dan terhadap hukum sebagai suatu
keutuhan. Pendefinisian hukum secara sempit oleh berbagai ahli, misalnya oleh ahli
politik dan ahli ilmu sosial, telah mengakibatkan makna hukum tercabut dari
keutuhan sistemnya dan menjadi sebagai norma yang sangat sempit.
Di kalangan ahli hukum sendiri masih sangat kuat cara pandang yang sempit
terhadap hukum tersebut, hal ini tak lepas dari kuatnya pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan secara keseluruhan terhadap ilmu hukum. Pendekatan mekanis-analitis
yang dikembangkan dalam ilmu fisika, yang meneliti suatu objek yang dipisahkan
dari aspek aksiologisnya, dimanfaatkan pula dalam pengembangan ilmu hukum pada
abad ke-18. Hukum dipandang hanya sebagai norma belaka dan terpisah dari
keutuhuan sistem hukum sebagai suatu keseluruhan (utuh).
Hukum yang dikonsepkan sebagai norma belaka, akan berpengaruh buruk
terhadap pembangunan hukum di Indonesia. Jika hukum dikonsepkan sebagai norma
belaka, maka pembangunan juga akan berorientasi pada pembangunan komponen-
komponen hukum yang hanya terbatas pada sistem pembentukan norma dan
penerapan norma itu. Dengan cara seperti itu akan menghasilkan pembangunan
hukum yang berlangsung dalam proses yang tidak dapat ditentukan efektivitasnya.
Hanya dengan desain sistem hukum yang tepatlah dapat diciptakan desain
pembangunan hukum secara tepat pula. Untuk itu diperlukan pendekatan yang
mampu mengkonstruksi keseluruhan komponden sistem hukum dan menggambarkan
hukum sebagai suatu keutuhan, yaitu pendekatan sistem.
Suatu sistem hukum itu bermula dari masyarakat dan berakhir pada masyarakat
pembentuknya, tempat dimana hukum itu akana diterapkan. Konstruksi sistem
hukum memiliki susunan sebagai berikut: masyarakat hukum-- budaya hukum --
filsafat hukum -- pendidikan hukum (ilmu hukum) -- konsep (desain) hukum --
pembentukan hukum (lembaga pembentuk hukum)-- bentuk hukum (tertulis/tidak

14
tertulis) -- penerapan hukum (lembaga penyelenggara hukum)-- evaluasi hukum --
masyarakat hukum --.
Konstruksi sistem hukum tersebut di atas, selaras dengan kenyataan hukum,
baik pada sistem masyarakat yang sangat sederhana maupun sampai pada
masyarakat bangsa (negara) dan masyarakat global. Masing-masing komponen
sistem tersebut bersifat otonom yang integralis.
Komponen bentuk perundang-undangan di Indonesia tersusun atas UUD,
UU/Perpu, PP, Perpres, Perda, dan seterusnya. Komponen pembentuk hukum,
misalnya dalam pembentukan UU, maka lembaga pembentuknya terdiri atas DPR,
Presiden, dan (DPD).
Pembentukan hukum merupakan masalah yang menonjol dalam peta
permasalahan hukum. Dalam perspektif permasalahan ini, maka profesionalisme
dalam bidang legal drafting memegang peranan penting. Penelitian hukum juga
memainkan peranan penting sebagai proses awal yang mendahului pembentukan
hukum. Penelitian hukum merupakan proses pembentukan hukum dalam kerangka
desain sistem.
Kualitas hukum yang dibentuk sangat ditentukan oleh komponen pendidikan
hukum yang bersinergis dengan komponen pembentukan hukum. Komponen
pendidikan hukum membawahi sub-sistem pendidikan hukum dan sub-sistem
penelitian hukum, masing-masing menentukan kualitas profesionalisme ahli hukum,
kualitas pembentuk hukum, dan penerapan hukum. Komponen pembentukan hukum
membawahi sub-sistem pembentukan hukum yang akan mempengaruhi kualitas
hukum yang akan dibentuk dan diterapkan.

D. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum


Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perbedaan perubahan yang
satu dengan yang lain ditentukan pada sifat atau tingkat perubahan itu sendiri, begitu
juga halnya dengan perubahan hukum. Perubahan hukum terjadi apabila dua
unsurnya telah bertemu pada satu titik singgung, yaitu: (1) keadaan baru yang timbul
dan (2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu
sendiri. Menurut Sinzheimer:
“Syarat-syarat bagi terjadinya perubahan pada hukum itu baru ada, manakala
dengan terjadinya perubahan-perubahan (timbulnya hal-hal yang baru) itu

15
timbul emosi-emosi pada pihak-pihak yang terkena, yang dengan demikian
akan mengadakan langkah-langkah menghadapi keadaan itu serta menuju
kepada bentuk-bentuk kehidupan yang baru.”17

Selain itu, Arnold M. Rose mengemukakan adanya tiga teori umum perihal
perubahan-perubahan sosial, yang kemudian dihubungkan dengan hukum, yaitu: (1)
kumulasi yang progresif daripada penemuan-penemuan di bidang teknologi, (2)
kontak atau konflik antara kebudayaan, dan (3) gerakan sosial (social movement).18
Menurut ketiga teori tersebut, maka hukum lebih merupakan akibat daripada faktor
penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Lahirnya perubahan hukum biasanya diawali dengan perubahan ditingkat
pemikiran hukum itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan
perubahan pemikiran hukum tersebut ialah munculnya fenomena negara modern.
Kelahiran negara modern pada abad ke-19 dengan atmosfer politik liberalisme,
berimplikasi di bidang teknologi dan industri. Hal inilah yang kemudian mendorong
sistem perekonomian menjadi kapitalistik dan sangat agresif, dengan ciri kehausan
dimana-mana, salah satunya adalah “industrialisasi yang lapar lahan” 19
Di bidang hukum nilai-nilai liberal terpusat pada jaminan atas kemerdekaan
individu yang menjadi paradigma dalam sistem hukum. Sistem hukum liberal
dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu, ia tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada
masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan konstruksi manusia, apakah
itu kontruksi sosial, politik atau kultural, puncak dari kontruksi tersebut (abad ke-19)
adalah lahirnya konsep Rule of Law.20 Sistem hukum modern yang dilambangkan
dengan doktrin “Rule of Law”, adalah suatu perkembangan yang bermuatan nilai
atau budaya yang khas. Hukum modern melembagakan perkembangan idiologi
pembebasan individu. Hal ini dapat dilihat dari periodesasi sejarah Eropa, dari abad
kegelapan, feodal, pertengahan, pencerahan, dan modern. Periodeisasi itu
menunjukkan adanya akselerasi menuju pembebasan individu. Dengan demikian

17
Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung, hlm. 101.
18
Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 108.
19
Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 91-92.
20
Satjipto Rahardjo. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian Umum
Kompas, tanggal 3 Januari 2001.

16
dapat dikatakan bahwa perkembangan menuju doktrin “Rule of Law” adalah sisi lain
dari perkembangan individu menuju pembebasannya.21

E. Politik Hukum
Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal
frame work), mempunyai peranan penting. Melalui politik hukum, dikaji hukum
yang berlaku (ius constitutum), maupun yang memberikan arah pada pembangunan
hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), karena politik hukum merupakan
disiplin yang mendasari aktifitas memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau
model yang akan digunakan dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam
rangka mencapai tujuan maupun untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang
direncanakan.22
Abdul Hakim G Nusantara dan Arief Budiman mengemukakan konsep yang
dapat digunakan untuk memahami perspektif pemikiran politik hukum. Menurut
Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional secara harfiah diartikan sebagai
kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara
nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional bisa
meliputi:
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan
hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat;
3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan
anggotanya;
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok
elit pengambil kebijakaan.23

Keempat faktor tersebut menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik


hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan

21
Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 45-46.
22
Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan
Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi
Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”, Usulan Penelitian untuk Disertasi, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2006, hlm. 37.
23
Abdul Hakim G Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, Makalah pada Karya Latihan
Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani &
A. Ahsin Thohari, “Dasar-Dasar Politik Hukum” Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 30-31.

17
dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius
constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu constituendum.24
Mengacu pada pendapat Arief Budiman, pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh pemerintah secara mandiri, tetapi tetap
ditentukan oleh “kondisi struktural”25 dari pemerintahan sendiri. Kebijakan juga
ditentukan oleh rezim yang ada. Jadi kebijakan dalam sebuah rezim yang otoriter
akan mengalami perubahan dibawah rezim yang demokrasi, namun apakah
perubahan itu bersifat substansial atau tidak itu persoalan lain.

Tabel 1. Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi


Struktural dan Corak Penguasa
Aspek Uraian Sifat
Kondisi Struktural; Pakta Dominasi, Feodalisme,
Pengaturan Kekayaan, Hubungan Kapitalisme, Sosialisme,
Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik dari dan sebagainya.
Kekuatan Produksi, baik secara
Nasional maupun Internasional.
Pemerintah; Aparat Politik & Pra-Birokratik,
Birokrasi, Aspek Personel dari Birokratik,
Pelaksana Negara Post Birokratik26
Rezim; Sistem Politik, cara Totaliter, Otoriter, Semi-
Penyelenggaraan Kekuasaan Demokrasi, Demokrasi
Hasil Kebijakan Publik Represif, Otonom,
Responsif27
Sumber: Arief Budiman, 1997.

Unsur dominan dalam suatu perubahan kebijakan adalah kondisi struktural,


karena kebijakan publik merupakan hasil interaksi dari kondisi struktural (proses
politik antara pemerintah yang berkuasa dengan dan proses politik yang ditempuh)

24
Ibid, hlm. 31
25
Kondisi Struktural dari negara; meliputi pakta dominasi dari kekuatan-kekuatan masyarakat
yang ada dengan negara di mana pengaturan kekayaan—yakni siapa yang mendapat apa dan berapa
banyak, serta cara-cara mendapatkan kekayaan itu diatur. Dengan lain perkataan, kondisi struktural
meliputi aspek-aspek hubungan sosial, politik dan ekonomi. Perlu dicatat juga bahwa dalam konsep
kondisi struktural ini, termasuk jugakekuatan-kekuatan internasional yang berpengaruh pada
pengaturan kekayaan dan pakta dominasi di sebuah negara tertentu. Bantuan ekonomi dan militer dari
negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendukung sebuah
negara tentunya merupakan kondisi yang memperkokoh kekuasaan negara yang dibantu. Lihat dalam:
Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 90-93.
.
26
Tambahan dari penulis, dikutip dari; Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law &
Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper & Row, Publishers New York, Hagerstown,
San Francisco, London, hlm. 22.
27
Ibid. hlm. 16.

18
yang ada. Faktor dominan dari kondisi struktural yang mempengaruhi kebijakan
tergantung pula dengan jenis kebijakannya. Untuk kebijakan tertentu mungkin
kondisi struktural yang paling dominan, tetapi untuk lain kebijakan mungkin unsur
pemerintah atau proses politiknya yang menjadi faktor dominan.

F. Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan

1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundangan-Undangan


Di kalangan awam, sering terjadi kekeliruan dalam mengartikan istilah-istilah
“peraturan perundang-undangan“, “undang-undang“ dan “hukum“28. Kekeliruan
terjadi karena terbentuknya konsep berpikir yang menyamakan peraturan perundang-
undangan dengan undang-undang, atau sama dengan hokum. Padahal, undang-
undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan, ia terdiri dari undang-
undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti, Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Daerah. Undang-undang adalah hukum, tetapi hukum
tidak sama dengan undang-undang, sebab undang-undang adalah salah satu bentuk
dari kaidah hukum, disamping kaidah hukum lainnya seperti hukum adat, hukum
kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.
Istilah peraturan perundang-undangan dalam praktik dan wacana akademik
kadang digunakan dengan memaknainya tidak secara tepat. Febrian, dalam Disertasi-
nya menggunakan istilah “aturan hukum” untuk istilah “peraturan perundang-
undangan”. Dari kata dasar “atur“, mendapat akhiran “an“ yang bermakna kata
benda, ditambah kata hukum, menjadi “aturan hukum“. Hal ini sekali lagi didasarkan
kepada permasalahan hirarki adalah permasalahan bentuk hukum yang membentuk
pola jenjang aturan hukum (UUD - UU/Perpu - PP - Perda) dan wewenang aturan
hukum, yaitu wewenang untuk mengatur yang langsung mengikat umum29. Oleh
karena itu, makna aturan hukum yang dimaksud, yaitu dari segi bentuk adalah
tertulis dan dari segi substansi dan sifat adalah mengikat umum atau keluar.30 Di

28
Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta,
hlm. 1, dalam: H. Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta, hlm. 35-36.
29
Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 59.
30
Ibid, hlm. 65.

19
dalam uraian selanjutnya, kedua istilah peraturan perundang-undangan dan aturan
hukum, digunakan secara bersamaan atau secara bergantian.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditemukan istilah “Peraturan
Perundang-undangan”, yang ada hanyalah jenis atau bentuk dari ”Peraturan
Perundangan-undangan”, yaitu: Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.31
Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, istilah “perundang-
undangan” dapat ditemukan pada Pasal 127 Bagian II judul Perundang-undangan,
dengan menyebutkan kekuasaan perundang-undangan federal. Selain itu terdapat
juga istilah “Peraturan-peraturan Undang-undang”, “Aturan-aturan Undang-undang”,
“Aturan-aturan hukum (yang tak tertulis)”, “Perundang-undangan federal”. Jika
merujuk pada jenisnya terdapat: Undang-undang federal; Undang-undang daerah-
daerah bagian; Undang-undang; Undang-Undang Darurat; Peraturan Pemerintah;
dan Keputusan Presiden32.
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, istilah
“perundang-undangan” ditemukan pada Bagian II judul Perundang-undangan, lain
halnya dengan apa yang diatur dalam Konstitusi RIS 1949, kekuasaan perundang-
undangan dalam UUDS 1950 dilakukan pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat33. Istilah-istilah lainnya tidak jauh berbeda dengan yang diatur
dalam Konstitusi RIS 1949, seperti: “Aturan-aturan hukum”, ”Peraturan-peraturan
Undang-undang”, Aturan-aturan Undang-undang”, “Peraturan Undang-undang”.
Yang membedakan dengan Konstitusi RIS 1949 ialah jenis atau bentuk dari
peraturan-peraturan tersebut, yaitu: “Undang- undang”, “Keputusan Presiden”,
“Undang-undang darurat”, “Peraturan Pemerintah”34.
Pada masa berlakunya UUDS 1950, jenis peraturan perundang-undangan yang
ada meliputi: Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Undang-undang Darurat,
Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden yaitu: peraturan untuk melaksanakan
Dekrit Presiden, Peraturan Presiden yaitu peraturan untuk melaksanakan Penetapan

31
Pasal 3, 5 ayat (1), 22 ayat (1), 5 ayat (2), UUD 1945 (sebelum amandemen).
32
Pasal 20, 26, 31, 51 ayat (3), 32 ayat (2), 41 ayat (2), 139, 141, 119 Konstitusi RIS 1949
33
Pasal 89 UUDS 1950: kecuali apa yang ditentukan dalam pasal 140 maka kekuasaan
perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.
34
Pasal 13 ayat (2), 17 ayat (2), 27 ayat (1), 30 ayat (3), 31, 5, 21, 90, 91, 51 ayat (4), 84, 96
ayat (1), 97, 98 UUDS 1950.

20
Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Perdana Menteri, Peraturan Menteri,
Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Tingkat I dan II. Jenis-jenis peraturan
Perundang-undangan selain yang telah disebutkan dalam UUDS keberadaanya
didasarkan pada Surat Presiden No. 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959, No.
2775/HK/1959 tanggal 22 September 1959, dan surat No. 3639/HK/1959 tanggal 26
Nopember 1959.33
Pada masa berlakunya UUDS 1950, terjadi kesemerawutan dalam tata urutan
peraturan perundang-perundangan. Terjadi kerancuan menyangkut jenis dan
substansi peraturan perundang-undangan, seperti, Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden mengatur materi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Terdapat
Peraturan Pemerintah yang ternyata sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Presiden. Jadi, dalam hal ini terjadi berbagai kerancuan dan tumpang tindih
mengenai materi muatan maupun tata urutan peraturan perundang-undangan.
Memasuki tahun 1966 “kesemerawutan” jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan mulai dibenahi, diawali dengan Ketetapan MPRS No.
XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di
luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Peninjauan kembali terhadap produk-produk hukum tersebut, didasarkan atas alasan
adanya jenis peraturan perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum
dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang isinya tidak sesuai atau
bertentangan dengan isi UUD 1945.
Munculnya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia, relatif membuka ruang untuk
menyelesaikan kesemerawutan tersebut. Ketetapan ini meliputi tiga bagian, yaitu:
I. Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.
II. Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dan
III. Bagan atau Skema Susunan Kekuasaan di dalam Negara Republik
Indonesia.
Bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dari
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berisikan bentuk-bentuk atau jenis-jenis
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia secara hirarki:

21
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
2. Ketetapan MPR,
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
4. Peraturan Pemerintah,
5. Keputusan Pemerintah,
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:
a. Peraturan Menteri,
b. Instruksi Menteri.
Selanjutnya tata urutan dan jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan, di
tetapkan dengan TAP MPR No. V/MPR/1973 diulangi dengan TAP MPR No.
IX/MPR/1978 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000. Kemudian pada tahun 2004 lahir
undang-undang yang khusus mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 1 angka
2 undang-undang tersebut, pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
dan mengikat secara umum.
Menurut Abdul Latief, jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan mulai dari TAP MPR No. XX/MPR/1966 sampai dengan UU No. 10
Tahun 2004 mengandung kerancuan bahkan kesalahan yang perlu diperbaiki dan
disempurnakan, karena menempatkan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan
Perundang-undangan yang tertinggi, dan disisi lain UUD 1945 juga sebagai Hukum
Dasar Negara35 .
Berkenaan dengan pendapat Abdul Latief di atas, jika kita cermati
Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 Bagian I, diterangkan lebih lanjut
bahwa sebagai perwujudan cita-cita Pancasila yang merupakan Sumber Segala
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia berturut-turut ialah:
1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, merupakan
tindakan pertama dari Tata Hukum Indonesia,
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
3. Undang-Undang Dasar 1945, dan
4. Surat Perintah 11 Maret 1966.

35
Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah. UII Press, Yogyakarta, hlm. 45.

22
Berdasarkan urutan tersebut di atas, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan pertama untuk merealisasikan cita-
cita Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Tertib Hukum Indonesia. Tata Hukum
Indonesia merupakan dasar penyelenggaraan Tertib Hukum Indonesia, Proklamasi
berfungsi sebagai keputusan bangsa Indonesia secara menyeluruh untuk tidak lagi
mengakui adanya ikatan dengan tata hukum yang sebelumnya, yaitu tata hukum
kolonialisme.
Sejak Proklamasi, berdirilah tata hukum baru, yaitu tata hukum Indonesia
dengan Proklamasi sebagai “tindakan pertama” atau “ketentuan pertama” atau
“norma pertama” atau dapat juga disebut sebagai “ketentuan pangkalnya”. Oleh
karena itu, Proklamasi tidak dapat dicari dasar hukumnya, dasar wewenangnya
kepada aturan-aturan lainnya secara konstitusionil. Selama sesuatu ketentuan secara
konstitusionil masih dapat dicari dasar hukumnya kepada sesuatu aturan atau
ketentuan yang telah ada sebelumnya, maka itu bukan ketentuan pertama atau
ketentuan pangkal.36
Penempatan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan yang
tertinggi dan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar Negara, mengandung kerancuan
bahkan kesalahan, sebagaimana pendapat Abdul Latief di atas. Struktur yang
demikian sangat tidak beralasan, karena justru penempatan UUD 1945 pada urutan
tertinggi pada Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah tepat. UUD 1945
haruslah dipahami sebagai hukum dasar yang tertulis dan merupakan sebagian dari
hukum dasar, yang berisikan aturan-aturan pokok atau dasar-dasar mengenai
ketatanegaraan dari suatu negara. Artinya UUD 1945 dibentuk dengan sengaja oleh
lembaga yang berwenang, oleh karena itu UUD 1945 dilihat dari bentuk dan proses
pembentukannya merupakan Peraturan Perundang-undangan.
Dilihat dari proses sejarah, UUD 1945 bukan merupakan pangkal atau
ketentuan pertama yang melegitimasi berdirinya Republik Indonesia, dalam hal ini
penulis sepakat dengan pendapat Joeniarto. Hal ini di dasarkan pada Proklamasi
tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik kulminasi dari amanat penderitaan
rakyat, untuk merealisasikan tujuan perjuangannya dengan membentuk negara
nasional yang bebas merdeka dan berdaulat. Konsekuensinya ialah menjebol tertib

36
Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di
Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hlm. 19-20.

23
hukum kolonial dan membangun tertib hukum yang baru. Dengan demikian, sudah
tepat jika UUD 1945 ditempatkan pada posisi Peraturan Perundang-undangan yang
tertinggi di dalam Tata Hukum Indonesia, dan sekaligus juga menjadi Hukum Dasar
Negara (yang tertulis).

2. Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut UU No. 10


Tahun 2004

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, telah


ditetapkan lewat Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yautu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.
Pada Pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Adapun jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang
ditentukan oleh Pasal 7 (1) dimaksud, merujuk ke Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU
No. 10 Tahun 2004:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang
atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Sekilas ketentuan dari penjelasan tersebut (Pasal 7 ayat (4)) dan dikaitkan
dengan Pasal 7 (1), seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan
organ negara lainnya secara hierarkis berada dibawah Peraturan Daerah. Akan tetapi
bila dicermati secara seksama ketentuan Pasal 7 ayat (4), terlihat bahwa pengaturan
yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal

24
itu bergantung kepada diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
mana, jika diperintahkan oleh Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, misalnya
dapat dikatakan setingkat dengan Peraturan Pemerintah karena sama-sama
diperintahkan oleh Undang-Undang (regulation); sebaliknya, apabila diperintahkan
oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia berada dibawah Peraturan
Pemerintah (delegated regulation).37
Dengan demikian, bukan lembaga yang menerbitkan peraturan perundangan
itu yang menentukan kedudukannya, melainkan peraturan perundang-undangan yang
mana yang memerintahkan, yang menentukan kedudukan peraturan perundang-
undangan dalam hierarki peraturan perundang undangan Republik Indonesia. Hal ini
sangat berbeda dengan yang pernah ditentukan di dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR-RI No. III tahun 2000.38

3. Asas-Asas Peraturan Perundang-Undangan

a. Undang-Undang tidak berlaku surut


Asas yang menyatakan bahwa ”undang-undang tidak berlaku surut“,
mensyaratkan peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau
perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan
berlaku atau berlaku atas peristiwa sebelum peraturan perundang-undangan itu
diberlakukan. Jika suatu peraturan perundang-undangan akan diberlakukan surut,
maka harus diambil ketentuan yang paling menguntungkan pihak yang terkena.
Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menyatakan, “tiada
peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-
undangan pidana yang mendahulukan“ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van
eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).39

b. Lex superior derogat legi inferiori


Asas ini berlaku apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-
undangan yang secara hierarkis berbeda (yang lebih rendah dengan yang lebih

37
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta, hlm. 98.
38
Ibid.
39
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi.
Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit, hlm. 48.

25
tinggi), maka dengan demikian peraturan perundang-undangan yang hierarkinya
lebih rendah harus disisihkan. Dalam penerapan asas ini perlu dirujuk Pasal 7 ayat
(1) jo ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya.

c. Lex specialis derogat legi generali


Berbeda dengan asas lex superiori derogat legi inferiori, asas lex specialis
derogat legi generali ini mengatur tentang dua peraturan perundang-undangan yang
secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, misalnya Undang-undang
dengan Undang-undang. Perbedaannya hanya pada ruang lingkup materi muatannya
yang tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang
lain. Misalnya antara UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 127
UU No. 1 Tahun 199540, “Bagi perseroan yang melakukan kegiatan tertentu dibidang
pasar modal berlaku ketentuan Undang-undang ini, sepanjang tidak diatur lain dalam
perundang-undangan di bidang pasar modal“. Akan tetapi, tidak semua peraturan
perundang-undangan menyebutkan posisinya sebagaimana ketentuan-ketentuan
transitor tersebut. Dalam hal demikian, harus di identifikasi ruang lingkup materi
muatan kedua peraturan perundang-undangan.

d. Lex posterior derogat legi priori


Peraturan Perundang-undangan yang lahir kemudian menyisihkan Peraturan
Perundang-undangan yang lahir sebelumnya. Asas ini berkaitan dengan dua
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah yang sama, misalnya UU
No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.
Sebagaimana yang terjadi pada asas lex specialis derogat legi generali, penggunaan
asas ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua Peraturan Perundang-
undangan dalam hierarki yang sama.
Asas ini dapat dipahami bahwa, peraturan perundang-undangan yang baru
lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Jika
sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang
dibutuhkan untuk situasi yang sedang dihadapi, dan ketentuan itu justru termuat

40
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 99.

26
dalam peraturan perundang-undangan yang telah digantikan, maka harus dilihat
dahulu apakah ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang
lama tersebut tidak bertentangan dengan landasan filosofis peraturan perundang-
undangan yang baru. Jika tidak, maka harus dinyatakan bahwa ketentuan itu tetap
berlaku melalui aturan peralihan peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam
hal ini perlu dipelajari landasan filosofis dari setiap Peraturan Perundang-undangan
yang diacunya.

4. Landasan Peraturan Perundang-Undangan

Secara umum suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-


kurangnya harus memiliki landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan
yuridis.

a. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)

Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai-nilai moral dan etika
dari suatu bangsa tersebut, yang di dalamnya terdiri dari nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kesusilaan dan nilai-nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa.
Filsafat hidup suatu bangsa harus menjadi landasan di dalam pembentukan hukum
dalam kehidupan bernegaranya. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk harus
mencerminkan filsafat hidup bangsa itu atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan
dengan nilai-nilai moral bangsa.
Landasan filosofis adalah dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi
dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke
dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya, di Negara Republik
Indonesia ialah Pancasila, ia menjadi dasar filsafat dalam pembentukan perundang-
undangannya. Undang-undang harus mencerminkan gagasan yang ada di
belakangnya, yaitu keadilan. Undang-undang bukan sekedar produk tawar menawar
politik dan jika undang-undang yang dihasilkan cuma merupakan legitimasi dari
tawar menawar politik dan tidak memuat nilai-nilai keadilan, maka undang-undang
itu memang diundangkan dan sah, walaupun secara hukum sebenarnya ia tidak
pernah ada, sebagaimana dalam bahasa latin disebutkan: “Est autem just a justitia,

27
sicut a matre sua, ergo prius fruit justitia quam jus“ (tetapi hukum timbul dari
keadilan sebagai ibunya sehingga telah ada keadilan sebelum adanya hukum).41

b. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)

Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan


sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat
di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka42. Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup
masyarakat atau hukum yang hidup (living law) dimana peraturan itu diterapkan.
Namun, tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat pada suatu masyarakat,
akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak
sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).43 Karena masyarakat
berubah, nilai-nilai pun terus berubah, untuk itulah kecendrungan dan harapan
masyarakat harus dapat diprediksi dan diakomodir dalam peraturan perundang-
undangan yang berorientasi masa depan.

c. Landasan Yuridis (Juridische grondslag)


Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi
dasar kewenangan (bevoegdheid, compententie) pembuatan Peraturan Perundang-
undangan. Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan hukum
juga merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis Peraturan Perundang-undangan.44
Landasan hukum kewenangan membentuk dan keberadaan suatu Peraturan
Perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa dasar hukum tersebut pembentukan
dan keberadaan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak sah secara
hukum.
Landasan yuridis meliputi segi formil dan segi materil. Landasan yuridis
formil, yakni landasan yuridis yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada
badan tertentu untuk membentuk peraturan tertentu. Misalnya Pasal 20 ayat (1) UUD
41
Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 104.
42
Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit
Bina Aksara, hlm. 92, dalam: H. Rosdjidi Ranggawidjaya, Op.cit, hlm 44.
43
Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta,
hlm 15. dalam: H. Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid.
44
Ibid.

28
1945 (perubahan pertama) menjadi landasan yuridis bagi DPR untuk membentuk
undang-undang. Sedangkan landasan yuridis dari segi materil, yaitu landasan yuridis
yang merujuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal untuk segi isi (materi) yakni dasar
hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 25 UUD 1945 adalah
landasan yuridis materil dalam menyusun materi muatan peraturan perundang-
undangan yang berkenaan dengan syarat-syarat menjadi hakim dan
pemberhentiannya.

d. Landasan Politis
Menurut Solly Lubis, landasan politis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan
pemerintahan negara. Selanjutnya ia mencontohkan garis politik otonomi yang
tercantum dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 (GBHN) menjadi landasan politis
pembuatan UU No. 5 Tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di
daerah. 45
Pada tahun 1999 garis politik otonomi kembali ditegaskan dalam TAP MPR
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Tap MPR tersebut menjadi landasan politis pembentukan UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Pada tahun 2001, terdapat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada Pasal 1 ketentuan ini
ditegaskan bahwa: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan
perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam”. Namun ketentuan ini tidak melahirkan peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ketentuan tersebut. Hal ini seiring
dengan perubahan UUD 1945 yang berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan
Republik Indonesia, dan makin nyata sejak adanya UU No. 10 Tahun 2004, dimana

45
M. Solly Lubis, Op.cit, hlm. 20.

29
pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan tidak lagi memasukkan TAP MPR.

5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum Sektoral

Jika hukum dimaknakan sebagai tata hukum (sistem peraturan perundang-


undangan, aturan hukum), maka konflik norma hukum antar aturan hukum yang
lebih rendah atau antara aturan hukum yang lebih rendah terhadap aturan hukum
yang lebih tinggi, tidak terlepas dari konflik yang terjadi pada tataran hukum yang
lebih tinggi (konflik antar nilai, dan antar asas). Nilai dan asas yang dimaksud
berkedudukan sebagai norma hukum yang lebih tinggi dan menjadi dasar
pembentukan aturan hukum yang lebih rendah.
Oleh karena pembentukan aturan hukum pada kenyataannya dipengaruhi oleh
berbagai kekuatan dan kepentingan pada lembaga pembentuk aturan hukum
(legislatif dan eksekutif), maka konflik aturan hukum juga dapat diakibatkan oleh
karena aturan hukum yang lebih rendah dibuat atau dirumuskan tidak selaras
dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya menjadi dasar perumusan
aturan hukum tersebut. Terlebih bila pemerintahan demokratis tidak dilaksanakan
berdasarkan makna hakikinya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat, namun dimaknakan sebagai pemerintah yang didasarkan pada suara
terbanyak (pemegang kekuasaan politik terbesar).
Berdasarkan uraian di atas, maka konflik aturan hukum (sinkronisasi dan
konsistensi aturan hokum, peraturan perundang-undangan) merupakan
lanjutan/turunan konflik nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung pada sumber
hukum tertinggi, yaitu UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak 4
(empat) kali. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik aturan hukum (peraturan
perundang-undangan) hanya dapat dilakukan apabila; konflik pada level nilai dan
asas yang terkandung dalam hukum dasar tertulis (konstitusi tertulis), dikaji terlebih
dahulu dan dijadikan patokan dalam pengkajian sinkronisasi dan konsistensi aturan
hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rendah.

30
BAB III
ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN

A. Quo Vadis Idelogi Populis Agraria


Berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor:
Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum
dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh
penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif
terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik
penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi
hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis
dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal)46. Secara formal selalu
diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi
yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan
belum tentu demikian.
Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum
antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma
tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses
dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa
pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik
hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasi-
kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap
berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah
mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan
masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak
kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat
global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah
sangat memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat

46
Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas
Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-110.

31
bervariasi tingkat perkembangannya, mulai dari yang sangat maju sampai yang
masih sangat sederhana, bahkan masih ada yang hidup di “alam bebas”.
Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah
dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin meningkatnya
sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta.
Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri
yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana tercatat
dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh Inggris
maupun Belanda.47
Berangkat dari kenyataan pada zaman kolonial, dan perbedaan antar wilayah,
tingkat kepadatan penduduk, budaya agraris, sistem produksi, penguasaan teknologi,
dan konsep hak atas tanah, maka setelah kemerdekaan pemerintah mencoba untuk
merumuskan orientasi baru sebagai dasar politik hukum agraria/pertanahan
Indonesia. Landasan politik hukum agraria Indonesia tersebut secara tegas
dituangkan pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari ketentuan tersebut di atas, timbul pertanyaan yaitu bagaimana kekuasaan
Negara itu dilaksanakan, sedangkan konstitusi tidak menjelaskan secara spesifik?.
Konsekwensi vulgar yang dapat ditarik adalah penguasa Negara/pemerintah
mendapat kesempatan luas untuk merumuskan Peraturan Perundang-undangan yang
rinci mengenai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, penguasa negara
berwenang menetapkannya melalui politik hukum dalam sejumlah undang-undang
48
maupun peraturan pelaksana undang-undang . Yang terpenting dalam hal
ditetapkannya suatu peraturan ialah implikasi-implikasi atau ekses negatif yang
muncul dari penerapan tersebut. Pertanyaannya ialah siapa yang paling diuntungkan
dengan ditetapkannya suatu peraturan?. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat
proses pembentukan peraturan sangat tergantung dengan orientasi pemerintah,

47
Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman
Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas
Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat
(Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya.
48
Maria R Ruwiastuti. Op.cit, hlm. 111.

32
tingkat partisipasi politik masyarakat, pertarungan kepentingan, dan konfigurasi
politik nasional maupun global.
Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia, ditandai dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960. Peraturan ini lebih dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043.
UUPA memuat perubahan-perubahan yang revolusioner, dalam arti perubahan
yang terkandung di dalam materi muatannya bersifat mendasar dan fundamental
terhadap stelsel hukum agraria warisan kolonial. Misalnya, penyatuan hukum agraria
dengan jalan unifikasi, yang dilatarbelakangi oleh sifat dualisme hukum agraria yang
berlaku sebelumnya sebagai warisan zaman kolonialisme. Namun, karena sebagian
besar rakyat Indonesia masih dipengaruhi hukum adat, maka hukum agraria yang
baru tersebut didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat dan bersandar
pada hukum agama, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia
internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia.49
Pilihan ideologi politik sosialisme daripada UUPA dapat ditemukan dalam
Pasal 5 dan Pasal 14 ayat (1) UUPA, sebagai berikut:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal
9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya:”.

Kata-kata Sosialisme Indonesia juga ditemukan di dalam Penjelasan Umum


UUPA. Penjelasan otentik Sosialisme Indonesia terdapat dalam Ketetapan MPRS
No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dirumuskan dengan:

49
Lihat Konsiderans UUPA, Berpendapat huruf a, (cetak miring dari pen).

33
Bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berentjana adalah suatu pembangunan
dalam masa peralihan, jang bersifat menjeluruh untuk menudju tertjapainja
masjarakat – adil – dan – makmur – berdasarkan – Pantjasila atau
Masjarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau
penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan
Rakjat:50

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa ideologi politik dari UUPA adalah
Sosialisme Indonesia yang artinya disamakan dengan tatanan masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Sosialisme Indonesia tidak sama dengan
sosialisme di negara-negara sosialis Barat, ia bersendikan pada keadilan, kerakyatan
dan kesejahteraan. Ideologi politik sosialisme Indonesia selanjutnya direalisasikan
menjadi konsepsi politik hukum politik hukum (politico-legal concept) berupa Hak
Menguasai Negara (HMN).51 Di bidang agraria, dalam Hukum Agraria Nasional,
Hak Menguasai Negara merupakan hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah
melebihi hak apapun juga, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA,
sebagai berikut:
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Disimak dari ruh atau semangatnya, maka UUPA mengusung semangat


reformasi agraria dengan strategi (Neo) populis, sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan UUPA, yaitu:
(a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, sebagai
alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur;
(b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan, dan;
(c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.52

50
.Konsiderans Menimbang, angka 2, Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada
perkembangannya kemudian Ketetapan ini dicabut lewat TAP MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968.
Lihat pada: “Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan
Departemen Penerangan, Bandung, 1961, hlm. 51
51
Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus
Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul, hlm. 18.
52
Penjelasan Umum, angka I, UUPA

34
Watak (Neo) populis dari UUPA juga dapat dibaca pada Pasal 13 UUPA yang
pada intinya menyatakan, bahwa pengaturan dalam lapangan agraria merupakan
usaha pemerintah untuk meninggikan produksi, kemakmuran rakyat, dan penerapan
asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan dalam bidang agraria. Selain itu,
pemerintah wajib mencegah adanya monopoli dari pihak swasta maupun usaha
pemerintah atas penguasaan tanah, dengan batasan bahwa usaha-usaha pemerintah
yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
Menurut Noer Fauzi, strategi (Neo) populis menekankan pada satuan usaha
keluarga, untuk itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada
masyoritas keluarga tani, tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga. Dengan
demikian produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut,
walaupun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh negara. Hal inilah
yang membedakannya dengan strategi kapitalis.53
Seiring dengan munculnya liberalisasi dalam bidang perdagangan yang
ditandai dengan diberlakukannya secara global (globalisation)54 kebijakan
perdagangan bebas lewat suatu perjanjian perdagangan internasional. Tanah yang
pada mulanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan rakyat
Indonesia, saat ini hanya ditempatkan sebagai komoditas semata, padahal tanah tidak
hanya mempunyai arti secara ekonomis (komoditas), tetapi juga mempunyai makna
kultural, sosial, politis dan religius.

53
Dalam strategi kapitalis, sarana produksi yang utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu
non-penggarap. Penggarap yang langsung mengerjakan tanah adalah pekerja upahan “bebas”, diupah
oleh penguasa/pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan sifatnya
terpisah. Tenaga kerja adalah barang dagangan (komoditi). Tanggung jawab, pengambilan keputusan
produksi sepenuhnya ditangan pemilik/penguasa tanah. Lihat dalam: Dianto Bachriadi, (editor, et-al),
“Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia”,
Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta,1997, hlm. 68.
54
Globalisation, adalah pasar yang meng-global atau kapitalisme global. Dulu bernama
kapitalisme internasional, sekarang berubah menjadi kapitalisme global, karena secara kuantitatif
telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya
sekitar 300 juta dollar sehari, di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilyun dollar sehari! Kalau
dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per-detik, maka
milyaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Dengan
demikian istilah “Globalisation” secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses
pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Globalisasi
merupakan kelanjutan dari kolonialisme. Lihat dalam: Bonnie.S, “AT THE END OF
GLOBALISATION, WE ARE ALL DEAD”, www.globaljust.org,igj@globaljust.org/, hlm. 2.

35
B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa
Di era Orde Baru perubahan fungsi tanah terjadi sangat cepat, terutama alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lebih dari 60% total produksi pangan
nasional Indonesia (khususnya beras) dihasilkan dari pulau Jawa, disisi lain sampai
tahun 1995 sekitar 22.000 (dua puluh dua ribu) hektar per tahun tanah pertanian di
Pulau Jawa beralih fungsi. Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa
akhirnya kita terpaksa mengimpor beras. Memang pada dasarnya, alih fungsi lahan
tak mungkin dielakkan, namun perlu diatur dengan mempertimbangkan keadilan
dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapan.55
Pada prakteknya, tanah hasil alih fungsi tersebut sebagian besar justru menjadi
obyek spekulasi, karena tanah diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan).
Artinya, tanah-tanah yang sudah digusur (“dibebaskan”) ternyata tidak dimanfaatkan
sesuai dengan “peruntukannya”. Berdasarkan catatan Majalah Informasi No. 224
Tahun XVIII/1998, pada tahun 1998 tanah-tanah yang sudah dialokasikan untuk
sektor-sektor tertentu, sebagian besar diterlantarkan. Tanah terlantar untuk
perumahan sebesar 85%, industri 88%, jasa/pariwisata 86%, dan untuk perkebunan
74%, sebagian besar motifnya adalah spekulasi.56
Ketertindasan rakyat karena tidak mampu bertarung secara finansial apabila
berhadapan dengan swasta, ataupun pemerintah, memunculkan berbagai sengketa
pertanahan. Pada data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat bahwa
dalam kurun waktu tahun 1970 sampai tahun 2001 telah terjadi 1.753 kasus konflik
tanah di Indonesia. Cakupan luas lahan sengketa tersebut sebesar 10.892.203 hektar
dan jumlah korban akibat sengketa ini sebanyak 1.189.482 keluarga. Dilihat dari
intensitas konflik, sampai dengan Desember 2001, intensitas tertinggi terjadi di
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 484 kasus, setelah itu Provinsi DKI dengan
jumlah 175 kasus yang meliputi luas tanah 60.615 hektar, Jawa Timur 169 kasus,
Sumatera Selatan 157 kasus, Sumatera Utara 121 kasus. Paling sedikit jumlah kasus
sengketa pertanahan adalah Provinsi Papua hanya berjumlah 28 kasus, namun

55
Gunawan Wiradi, “Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009”,
makalah Semiloka Reforma Agraria, YLBHI, Jakarta, September 2004, hlm. 2.
56
Ibid, hlm. 2-3.

36
dengan luas lahan sengketa paling luas yaitu 4.012.224 hektar.57 Untuk lebih jelas
tentang konfigurasi konflik pertanahan di Indonesia dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia


Tahun 1970 - 2001
Pihak yang Terlibat Sengketa
Provinsi Jumlah Luas Lahan Jumlah
Daerah Kasus Sengketa Korban Peme- Militer Perusahaan
rintah Negara Swasta
JABAR 484 184.484 237.482 197 12 60 225
JAKARTA 175 60.615 117.194 96 5 9 66
JATIM 169 390.296 187.428 77 9 31 59
SUMSEL 157 305.323 71.830 27 1 18 116
SUMUT 121 509.100 89.548 39 8 26 57
JATENG 99 32.417 72.494 57 1 23 25
SULTENG 58 1.036.589 51.955 21 1 4 34
LAMPUNG 54 320.716 120.840 23 3 4 25
SULSEL 48 54.555 16.994 25 3 4 17
ACEH 47 362.027 61.059 11 1 9 26
NTT 44 472.571 2.955 28 2 4 22
RIAU 33 134.170 14.056 8 0 2 23
KALTIM 33 1.676.614 22.684 13 1 5 16
SUMBAR 32 266.597 29.134 14 1 4 15
PAPUA 28 4.012.224 35.943 15 2 0 12
LAINNYA 171 1.073.904 57.885 68 9 16 95
JUMLAH 1.753 10.892.202 1.189.481 719 59 219 833

Sumber: Data Base KPA, 2001.

Sepanjang tahun 1980-an eskalasi sengketa pertanahan terus meningkat di


daerah pedesaan maupun perkotaan. Dari 1.753 kasus yang terekam, sebanyak
27,1% akibat pengembangan sarana perumahan, kota baru dan fasilitas perkotaan,
dan 19% merupakan pengembangan areal perkebunan besar. Sebanyak 10, 5%
berkenaan dengan konflik pemanfaatan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan
negara oleh pemerintah yang kemudian menjadi kawasan hutan produksi maupun
kawasan hutan lindung/konservasi, dan sebanyak 6,6% merupakan pengembangan
kawasan industri dan pabrik.

57
Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002, hlm. 54.

37
Tabel 3. Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah
No Jenis Sengketa Jumlah Dalam %
1 Perkebunan 344 19,6
2 Sarana Umum/Fasiltas Perkotaan 243 13,9
3 Perumahan/Kota Baru 232 13,2
4 Kehutan Produksi 141 8,0
5 Kawasan Industri/Pabrik 115 6,6
6 Bendungan/Pengairan 77 4,4
7 Turisme/Hotel/Resort 73 4,2
8 Pertambangan 59 3,4
9 Sarana Militer 47 2,7
10 Kehutanan Konservasi/Lindung 44 2,5
11 Pertambakan 36 2,1
12 Sarana Pemerintahan 33 1,9
13 Perairan 20 1,1
14 Transmigrasi 11 0,6
15 Lain-lain 278 15,9
16 Jumlah 1.753 100

Sumber: Data Base KPA, 2001.

Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia, adalah sengketa tanah skala
besar dengan karakter yang rumit. Konflik yang terjadi bukanlah konflik kelas di
pedesaan, tetapi konflik antara sektor pertanian dan sektor industri sebagai akibat
dari transformasi agraria, berupa dominasi sektor industri atas sektor pertanian dan
perkebunan58. Dominasi tersebut dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan pertanahan
yang secara substansi menguntungkan orang yang melakukan kegiatan usaha di luar
pertanian. Kondisi demikian akhirnya menimbulkan polarisasi struktur penguasaan
tanah yang timpang, sebagaimana terlihat Tabel 4.

58
Untoro Hariadi & Masruchah (Editor), “Tanah, Rakyat Dan Demokrasi”, Forum LSM –
LPSM DIY, Yogyakarta, 1995. hlm. 66.

38
Tabel 4. Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Jumlah Anak Luas Lahan
No Nama Perusahaan Pemilik
Perusahaan (ha)
1 Barito Pacifik Timber Prajogo Pangestu 39 Perusahaan 3.536.800
2 Kayu Lapis Indonesia Andi Sutanto 17 Perusahaan 3.142.800
3 Djayanti Burhan Uray 20 Perusahaan 2.805.500
4 Alas Kusuma Suwandi 15 Perusahaan 2.189.000
5 Korindo In Yong Sun 8 Perusahaan 1.493.500
6 Kalimanis Bob Hasan 6 Perusahaan 1.353.000
7 Budhi Nusa Burhan Uray 7 Perusahaan 1.190.700
8 Satya Djaja Asbert Lyman 7 Perusahaan 1.026.000
9 Surya Dumai Martias 8 Perusahaan 1.108.000
10 Kalamur Anthony Salim 8 Perusahaan 969.500
11 Panca Eka Bina Pywood Supendi 8 Perusahaan 835.000
12 Sumalindo Winarto Oetomo 6 Perusahaan 796.300
13 Daya Sakti Widya Rachman 7 Perusahaan 672.000
14 Raja Garuda Mas Sukanto Tanoto 8 Perusahaan 659.500
15 Hutrindo Wanabangun Alex Karampis 6 Perusahaan 649.000
16 Bumi Raya Utama Pintarso Adiyanto 6 Perusahaan 609.455
17 Sumber Mas Yos Sutomo 5 Perusahaan 597.000
18 Benua Indah Budiono 5 Perusahaan 563.000
19 Dayak Besar Yusuf Hamka 6 Perusahaan 544.000
20 Kayu Mas Tekman 6 Perusahaan 519.000
21 Tanjung Raya H.A. Bakrie 6 Perusahaan 476.000
22 Bumi Indah Raya Soenaryo 4 Perusahaan 427.000
23 Hutrindo Prajen Akie Setiawan 5 Perusahaan 438.000
24 Bhara Induk Much. Jamal 5 Perusahaan 345.000
25 Siak Raya Sumarta 4 Perusahaan 329.000
26 Rante Mario Hutomo Mandala P Perorangan 114.000
27 Wahana Sari Bakti Sigit Harjojudanto Perorangan 100.000

Sumber: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 1998.

Tabel 4 menggambarkan struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam


oleh segelintir orang dengan cakupan lahan yang sangat luas. Bayangkan tanah
seluas 27,4 juta hektare hanya dikuasai oleh 25 kelompok perusahaan dan dua
perusahaan perorangan.
Badan Pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) mempunyai data
yang berbeda. Menurut BP-KPA, sampai tahun 1999 terdapat 620 unit produksi

39
yang mempunyai Hak Penguasaan Hutan atau Hak Penguasaan Hutan Tanaman
Industri (HPH/HPHTI) seluas 48 juta hektare, termasuk Perhutani (perusahaan
negara) yang menguasai tanah di pulau Jawa seluas 2,6 juta hektare dan di klaim
sebagai Hutan Negara. Dari keseluruhan (10 konsesi) yang dikuasai sebanyak 16, 7
juta hektare atau 34, 8% dikuasai hanya oleh 12 konglomerat.59 Jumlah ini sangat
kontras jika dibandingkan dengan luas lahan yang dikuasai Rumah Tangga Petani
(RTP), sebagaimana yang disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna


Lahan dan Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993)
Golongan Luas Tanah yang Dikuasai
Pulau Tahun JUMLAH
< 0.5 Ha > 0,5 hA
RTP % RTP %
Sumatera 1983 1063.6 28.74 2637.0 71.26 3700.6
1990 1483.9 41.58 2085.0 58.42 3568.9
1993 1383.0 29.02 3382.0 70.98 4765
Jawa 1983 6983.2 63.13 4078.5 36.87 11061.7
1990 7183.0 69.32 3178.5 30.68 10361.5
1993 8070.0 69.79 3494.0 30.21 11564
Bali & NTT 1983 565.7 37.75 932.9 62.25 1498.6
1990 449.1 40.78 652.3 59.22 1101.4
1993 557.0 42.10 766.0 57.90 1323
Kalimantan 1983 191.2 0.25 905.0 99.75 906.2
1990 231.2 28.49 580.3 71.51 811.5
1993 241.0 19.98 965.0 80.02 1206
Sulawesi 1983 368.4 27.08 991.9 72.92 1360.3
1990 463.9 35.05 859.5 64.95 1323.4
1993 425.0 25.53 1240.0 74.47 1665
Maluku & 1983 104.0 30.23 240.0 69.77 344.0
Irian Jaya 1990 147.6 48.99 153.7 51.01 301.3
1993 203.0 39.80 307.0 60.20 510.0
Sumber : BPS Tahun 2003.

Pendapatan yang diperoleh RTP adalah keseluruhan penjumlahan dari total


pendapatan angkatan kerja yang dimiliki dalam berbagai kegiatan produktif yang
dilakukan terutama oleh anggota keluarga yang sudah dewasa. Kemampuan petani
mencari nafkah sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah, persediaan,
pemanfaatan, dan produktifitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, tanah pertanian
yang dikuasai RTP-lah yang paling menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh
dari kegiatan usaha tani. Makin luas lahan pertanian yang dikuasai, makin tinggi

59
Dianto Bachriadi. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal
Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada pertemuan: Konsultasi
dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan dalam Rangka Promosi Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang, Juni 2004, hlm. 3.

40
total pendapatan yang akan diperolehnya. Dalam beberapa hal, penguasaan tanah
seorang petani itu biasanya sejajar dengan tingkat kecukupan keluarganya.60 Hal ini
didukung dengan kenyataan bahwa sejumlah besar kemiskinan (kemiskinan
struktural)61 terdapat pada strata penguasaan tanah, paling rendah yaitu petani gurem
dan buruh tani.

Tabel 6. Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan


Tahun 1990 – 2003 (Juta Orang)

Perkotaan Pedesaan
Tahun Kota + Desa
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1990 9,4 34,56 17,8 65,44 27,2
1993 8,7 33,59 17,2 66,41 25,9
1996 9,6 27,83 24,9 72,17 34,5
1998 17,6 35,56 31,9 64,44 49,5
1999 15,6 32,57 32,3 67,43 47,9
2000 12,3 31,78 26,4 68,22 38,7
2001 8,6 22,69 29,3 77,31 37,9
2002 13,3 34,64 25,1 65,36 38,4
2003 12,3 32,89 25,1 67,11 37,3

Sumber : Indikator Kesejahteraan Rakyat, BPS, 2003.

Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan, perlu dikaji kembali politik agraria


sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan bagaimana
implementasinya dalam UUPA dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan
melakukan kajian demikian, akan diperoleh gambaran mengenai konflik penormaan
pada berbagai peraturan perundang-undangan (sinkronisasi). Berdasarkan kenyataan
yang ada (tataran penerapan) diindikasikan, bahwa salah satu faktor penyebab
terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dan munculnya berbagai sengketa

60
Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hlm. 55.
61
Kemiskinan Struktural berarti kemiskinan yang melekat pada kelas-kelas sosial tertentu.
Mereka menjadi miskin bukan karena kelemahan atau nasib malang individual yang buruk, melainkan
karena menjadi bagian dari golongan masyarakat itu. Jelaslah bahwa problem utama kemiskinan
petani bukan karena kemiskinan yang ada dengan sendirinya, tetapi akibat dari struktur sosial yang
menentukan kehidupan golongan mereka. Problem kemiskinan petani merupakan masalah moral dan
keadilan juga. Lihat dalam: G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam
Pembangunan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta, hlm. 9.

41
pertanahan adalah ketidaksinkronan pengaturan mengenai penguasaan tanah. Kajian
demikian mendesak dan penting dilakukan karena, sudah menjadi rahasia umum
bahwa saat ini kita mendapat “waris” dari rejim Orde Baru, berupa ribuan sengketa
pertanahan dalam bentuk sifat, pola, sumber, dan skala konflik yang sangat beragam.
Orde Baru dalam merumuskan dan melaksanakan peraturan kebijakan
pertanahannya menerapkan paradigma “Pembangunanisme” (developmentalism),62
bahwa pembangunan akan berjalan hampir secara otomatis melalui akumulasi modal
lewat bantuan dan investasi dengan motor utamanya ada pada elite swasta. Untuk
mengawal proses akumulasi modal ini Orde Baru menerapkan kebijakan stabilitas
politik dan keamanan, dan strategi ekonomi “Tricle Down Effect” lewat paket
undang-undang politiknya, dan diperparah oleh mekanisme globalisasi yang
memungkinkan modal asing masuk ke sektor-sektor perkebunan dan pertanian tanpa
batas.
Menurut, Demitrius Chirstodoulou (mantan pakar FAO), akar konflik agraria
yang paling dasar adalah adanya sejumlah ketidakserasian. Di Indonesia, sedikitnya
ada empat ketidakserasian atau ketimpangan, yaitu:
1. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria,
khususnya tanah, yang berkaitan dengan tata guna tanah;
2. Ketimpangan dalam hal pemilikian dan penguasaan tanah;
3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria;
4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat kebijakan
sektoral.63

Dengan memahami karakteristik peraturan perundang-undangan di bidang


pertanahan, dapat ditemukan konflik penormaan (taraf sinkronisasi) peraturan
perundang-undangan penguasaan tanah terhadap politik agraria nasional.

62
Developmentalism adalah paradigma yang bertujuan membendung pengaruh dan semangat
anti kapitalisme di negara dunia ketiga, dengan ciri-ciri melakukan penaklukan ideologi dan teoritis
terhadap negara-negara dunia ketiga. Developmentalism dilontarkan dalam era perang dingin untuk
membendung sosialisme, ia merupakan bungkus baru dari kapitalisme. Awal kemunculannya dapat
dilacak dari pertemuan para ilmuawan sosial dalam suatu lokakarya tentang “The implementation of
Title IX of the foreign Assistance Act of 1961. Tugas utama mereka adalah melakukan studi tentang
bagaimana kebijakan pemerintah Amerika dalam era ‘perang dingin’. Pada akhir pertemuan mereka
berhasil melahirkan the Foreign Assitance Act of 1966, yang mencerminkan dominasi interpretasi
ilmuwan liberal terhadap kongsep pembangunan. Lihat dalam: Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir
Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 201.
63
Demitrius Christodoulou. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict
Worldwide. Zed Books, London and New Jersey, hlm. 61, dalam: Gunawan Wiradi. Op cit., hlm. 2.

42
C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan
Konstitusional Pengelolaan Tanah
Politiknya agraria Indonesia dikonsepsikan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut
Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm
aan eigen Indonesisch”64 atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai
ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang
begitu besar kepada Negara.
Di dalam UUD 1945, ketentuan Pasal 33 tersebut di atasi ditempatkan dalam
Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hal tersebut
menunjukkan adanya hubungan erat dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial
bagi masyarakat Indonesia. Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta memaknai Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:
Apabila kita pelajari pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata bahwa masalah yang
diurusnya ialah politik perkonomian Republik Indonesia”. Dalam bagian kedua
dan ketiga daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh
negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau
“ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada
membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang
pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara
mempunyai kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat 2
terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”65

Sehubungan dengan itu juga Mohammad Hatta dalam “Dasar Pre-advis kepada
Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha lama” di tahun 1943, juga
mengungkapkan bahwa:
Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya
dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban.
Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian
mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai
negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka
hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber
kemakmuran bagi rakyat umumnya”.66

64
W.L.G. Lemaire. 1995. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij, Bandung, hlm. 120, dalam:
Abdurrahman. 1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36
65
Ibid, hlm. 37.
66
Noer Fauzi. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik
Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam: Dianto Bachriadi, et.al. (ed). 1997. Reformasi Agraria,

43
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan, sekaligus merupakan arah dan
tujuan kebijakan pengelolaan tanah di Indonesia. “Ruh” dari Pasal 33 ayat (3)
tersebut didasarkan pada semangat menciptakan keadilan sosial, yang meletakkan
penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan publik pada negara. Ketentuan ini
berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat yang
melaksanakan kehidupan bernegara di Indonesia. Maka dari itu dapat ditarik
kesimpulan, bahwa mandat yang diberikan kepada pemerintah itu melahirkan
konsekuensi berupa kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan tanah,
sehingga semua tanah yang berada diseluruh wilayah Indonesia dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atas dasar konsep pemberian kuasa/mandat.
Pada awal kemerdekaan, rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian
diimplementasikan melalui beberapa Peraturan Perundang-Undangan agraria yang
bersifat ”parsial”, antara lain: UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa
Perdikan, UU No. 13 Tahun 1948 tentang Penghapusan Hak-Hak Konversi, UU No.
1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan sebagainya. Intinya
peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan tujuan jangka pendek yaitu
menghapuskan secara cepat lembaga-lembaga feodal dan lembaga-lembaga kolonial
yang masih ada.
Barulah pada akhir tahun 1960 tepatnya tanggal 24 September 1960,
pemerintah berhasil menetapkan suatu undang-undang Agraria Nasional, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA memuat azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria
Nasional yang sekaligus merupakan manifestasi cita-cita bangsa Indonesia untuk
menghentikan hukum agraria kolonial, yang disusun berdasarkan sendi-sendi
pemerintahan jajahan. Karena, perjuangan merombak struktur hukum agraria
kolonial dan menyusun hukum agraria nasional tidak dapat dilepaskan dari
perjuangan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan diri dari cengkraman dan
pengaruh sisa-sisa sistem feodalisme dan kolonialisme.67

Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-
UI, Jakarta, hlm. 67.
67
Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di
DPRGR tahun 1960.

44
Kebulatan tekad tersebut dicantumkan dalam konsiderans menimbang UUPA,
yang menyatakan bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian
dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara
di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.68
Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menjadi landasan konstitusional penguasaan
tanah ini (Pasal 33 ayat 3) diadopsi UUPA dan dimuat pada Pasal 2 ayat (1): “Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Adanya penambahan
kata-kata “ruang angkasa” pada Pasal 2 (1) UUPA, tidak berarti penambahan
terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, penambahan tersebut hanya bersifat
deklaratif, dan bukan konstitutif.69 Penambahan yang bersifat deklaratif merupakan
penegasan bahwa ruang angkasa adalah bagian yang integral dari bumi dan air
tersebut dan jika dikaitkan dengan doktrin wawasan nusantara maka Pasal 2 ayat (1)
dari UUPA memberikan kejelasan yang mendalam tentang doktrin wawasan
nusantara itu70.
Selanjutnya mengenai hak menguasai negara yang merupakan politik hukum
dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA juga memberikan penjelasan bahwa untuk
mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tidak perlu negara
bertindak sebagai pemilik tanah dan lebih tepat jika negara, sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai
dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini
bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertiannya adalah memberi wewenang
kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada
tingkatan yang tertinggi: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; (b) menentukan dan mengatur hak-
hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; (c)

68
Konsiderans Menimbang, huruf b, UUPA.
69
A.P. Parlindungan (b). 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 2.
70
Penjelasan Umum, angka II (2), UUPA.

45
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa71.
Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga
membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan
(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan
pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan
dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari
Hak Menguasai dari Negara tersebut72.
Landasan ideal ini, memandang tanah sebagai karunia Tuhan mempunyai sifat
magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanah mempunyai makna yang sangat
strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek
sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek
hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu:
1. nilai produksi,
2. nilai lokasi
3. nilai lingkungan
4. nilai social;
5. nilai politik; dan
6. nilai hukum.
Sumber daya alam berupa tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai
tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut di atas.
Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya” merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai sentral
yang mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat. Untuk
mencapai cita-cita ini prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat, karena
akan menjadi pusat dari segala hal, paling tidak dalam hal ini persoalan
keagrariaan.73

71
A.P. Parlindungan (a). 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar Maju,
Bandung, hlm. 37.
72
A.P. Parlindungan (a), hlm. 39.
73
Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah
yang Harus Diselesaikan, dalam: “Usulan Revisi UUPA 1960; ”Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat
atas Sumber-Sumber Agraria”, KRHN & KPA, Jakarta, 1998, hlm. 214.

46
Ide politik hukum hak menguasai daripada negara di dalam UUPA, beranjak
dari Prasaran Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari
Kementrian Agraria di Tretes bulan November tahun 1958, intinya Badan Pembuat
undang-undang meminta saran dari akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang
membenarkan kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria di seluruh wilayah
negeri ini, yang dirumuskan dalam Bagian B angka 32:
Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat
dipilih tiga kemungkinan:
1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan,
sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu
mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara
adalah hak dominium.
2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan,
tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang
publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping
itu dapat juga digunakan istilah hak publique.
3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak
sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat
seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat,
negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-
kesatuan rakyat.
Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa;
a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi yang memegang
kekuasaan atas tanah, dan;
b. hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaiannya
tanah saja.
Hubungan yang tersebut pada no. 3, negara sebagai personafikasi rakyat
bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut
perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat
perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu-individunya74.

Konsep yang tersebut pada angka 2 di atas menjadi prinsip dari politik hukum
UUPA. Jika ditelaah lebih mendalam, konsepsi negara menguasai ini,
mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan”75 atau dalam
istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada kenyataannya tidak

74
Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas
Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 37-38.
75
Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam
Muller, Hegel dan lain-lain yang berpendapat bahwa negara bukan dimaksudkan untuk menjamin
kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya
sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala
golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan
persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah dalam negara yang berdasar aliran pikiran
integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya (dalam: Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 34-5.

47
demikian, karena negara merupakan organisasi kekuasaan yang sarat dengan
sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan
rakyat atau kepentingan negara.
Berangkat dari tujuan pokok UUPA yang dirumuskan dalam penjelasannya,
bahwa UUPA merupakan dasar berpijak bagi penyusunan hukum agraria nasional
sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal
frame work), mempunyai peranan penting. Konflik peraturan perundang-undangan
yang pada akhirnya secara signifikan, dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa-
sengketa tanah, tidak dapat dipisahkan dari pilihan terhadap politik hukum agraria.
Sementara politik hukum agraria tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan paradigma
yang menopang struktur dan sistem sosial yang dianut negara tersebut.
Melalui politik hukum, dikaji hukum yang berlaku (ius constitutum), maupun
yang memberikan arah pada pembangunan hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum), karena politik hukum merupakan disiplin yang mendasari aktifitas
memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau model yang akan digunakan
dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan maupun
untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang direncanakan.76
Menurut Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional, secara harfiah
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau
dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum
nasional bisa meliputi:
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten;
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan
hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat;
3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan
anggotanya;

76
Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”, Majalah Hukum dan Keadilan
No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi Hukum
Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan Penelitian Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang,
2006, hlm. 37.

48
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok
elit pengambil kebijakaan77.

Keempat faktor tersebut di atas menjelaskan secara gamblang wilayah kerja


politik hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses
pembaruan dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang
berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu
constituendum.78
Konsepsi hukum tanah nasional dan ketentuan UUPA masih relevan untuk
meluruskan pembangunan, karena ketentuan-ketentuan dalam UUPA merupakan
penjabaran sila-sila Pancasila di bidang pertanahan. Demikian juga politik
pertanahan nasional yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tetap
relevan digunakan sebagai landasan untuk meluruskan pembangunan hukum
agraria/pertanahan. Oleh karena itu, semangat dan visi dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, dapat dan harus digunakan juga untuk melindungi kepentingan nasional dalam
menghadapi akibat arus globalisasi, terutama di bidang ekonomi yang berkarakter
liberal-individualistik. Karakter yang liberal-individualistik tersebut tidak selaras
dengan konsepsi Pancasila yang telah mendasari dan menjiwai pembangunan bangsa
dan negara. Di bidang agraria, melalui UUPA sebenarnya sudah menyediakan
rambu-rambu, agar perjalanan bangsa Indonesia bisa sampai pada tujuan yang kita
cita-citakan79.

D. Desentralisasi atau Sentralisasi Wewenang Bidang Pertanahan

Legal issu yang dominan di bidang pertanahan adalah apakah urusan


pemerintahan di bidang pertanahan wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah
dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).80
Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan turunan langsung dari Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, merumuskan:

77
Abdul Hakim G Nusantara. “Politik Hukum Nasional”. Makalah pada Karya Latihan
Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani &
A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30-31.
78
Ibid, hlm. 31.
79
Boedi Harsono, ”Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Peaksanaannya”, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi
Revisi 2005, hlm. 237.
80
Penjelasan Umum, (II angka 2), UUPA.

49
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil
dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas menegaskan sikap, bahwa untuk mencapai
ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945, negara tidak perlu bertindak
sebagai pemilik tanah dan yang lebih tepat adalah bertindak selaku badan penguasa.
Sejalan dengan Penjelasan Umum angka II (2) UUPA; ”adalah lebih tepat jika
negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku
Badan Penguasa”. Perkataan ”dikuasai” dalam ayat (2) pasal ini bukanlah berarti
dimiliki. ”Dikuasai” berarti memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya.
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Dengan demikian kewenangan negara sebagai organisasi kekuasaan adalah
”mengatur” artinya membuat peraturan, dan ”menyelenggarakan” yang artinya
melaksanakan (execution) penggunaan/peruntukkan (use), persediaan (reservation)
dan pemeliharaan (maintenance) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

50
terkandung di dalamnya. Selain itu, arti dari ”menentukan dan mengatur” (huruf b)
yaitu: menetapkan dan membuat peraturan-peraturan mengenai hak-hak apa saja
yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut.81 Sedangkan,
penjelasan dari Pasal 2 ayat (4) berkaitan dengan asas ekonomi dan medebewind
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Jika argumentasi didasarkan pada Pasal 2 ayat (4), maka persoalan agraria
merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah merupakan medebewind.
Berdasarkan penafsiran otentik (authentieke atau officiele interpretatie) atau sesuai
dengan tafsir yang dinyatakan dalam undang-undang itu sendiri, maka Pasal 2 ayat
(4) UUPA menegaskan; bahwa wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada
pemerintahan pusat, dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakan-
tindakan di bidang agraria jika tidak ditunjuk ataupun dilimpahkan kewenangannya
oleh pemerintah pusat (asas medebewind).
Namun, jika argumentasinya didasarkan pada Pasal 14 UUPA, maka
pengertian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas
tanah menurut Pasal 2 ayat (4) di atas menjadi berbeda, karena Pasal 14 secara
eksplisit memerintahkan otonomisasi di bidang agraria. Berdasarkan Pasal 14
UUPA, pemerintah pusat mempunyai kewenangan membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan pemerintah daerah,
berdasarkan rencana umum tersebut berwenang mengatur persediaan, peruntukan,
dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan
keadaan daerah masing-masing.82
Berdasarkan memori penjelasan UUPA, disebutkan bahwa perlu adanya suatu
rencana ("planning") yang dimulai dari rencana umum ("national planning") yang
kemudian dirinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-
tiap daerah mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa. Selanjutnya, mengingat akan corak perekonomian negara di kemudian hari
dimana industri dan pertambangan menjadi penting, maka di samping perencanaan
pertanian, industri dan pertambangan perlu diperhatikan. Sedangkan yang berkaitan
81
A.P. Parlindungan. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju,
Bandung, hlm. 39.
82
Periksa Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUPA.

51
dengan ayat (3) di atas mengenai pemerintah daerah dapat membentuk peraturan
daerah, pengesahannya harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat
oleh pemerintah pusat.83
Jika ditafsirkan secara gramatikal atau interpretasi bahasa yang menekankan
pada makna teks yang dinyatakan di dalam kaidah hukum, maka Pasal 14 UUPA
tersebut memerintahkan, bahwa urusan-urusan bidang pertanahan yang berkaitan
dengan regional planning yang meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air serta ruang angkasa untuk daerah, dapat dilaksanakan dengan asas
desentralisasi sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing. Untuk selanjutnya
ditindaklanjuti dengan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan daerah yang
mengacu pada rencana umum (national planning) yang dibuat oleh pemerintah.
Artinya pembuat undang-undang sadar bahwa perencanaan peruntukan dan
penggunaan akan bumi, air serta ruang angkasa harus pula disesuaikan dengan
kondisi geografis atau keadaan tertentu dari daerah masing-masing, untuk itulah
pengaturannya di desentralisasikan kepada daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu
alasan utama dari desentralisasi yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dalam
bukunya ”General Theory of Law and State”, yang dinyatakan bahwa:
“…desentralisasi memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara
berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang membuat
perbedaan tata hukum nasional semacam itu lebih dikehendaki mungkin karena
pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional atau keagamaan. Semakin
besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-kondisi sosial, maka
akan semakin diharuskan desentralisasi melalui pembagian teritorial.84

Berdasarkan uraian di atas, bahwa penyelenggaraan kewenangan di bidang


pertanahan dapat dilaksanakan secara dekonsentrasi (yang merupakan penghalusan
dari sentralisasi), medebewind atau asas pembantuan dan secara desentralisasi.
Kewenangan pertanahan yang dilaksanakan secara sentralisasi oleh
pemerintahan pusat adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rencana umum
(national planning) seperti pengaturan dan penetapan hukum tanah nasional yang
meliputi perencanaan dan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan
hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah. Kalaupun ada pelimpahan

83
Memori Penjelasan Umum Angka II (8), dan Penjelasan Pasal 14 UUPA.
84
Hans Kelsen. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori
Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-
Empirik). Bee Media Indonesia, Jakarta, hlm. 370.

52
kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu dalam rangka dekonsentrasi
kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada
Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind bukan otonomi.85 Sedangkan
desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan memerlukan suatu ketentuan
perudang-undangan yang secara jelas mengatur pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mana pelaksanaan kebijakannya
dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala
Daerah.
Jika kita menengok kembali kepada UU No. 22 Tahun 1999 (sudah tidak
berlaku lagi) dengan merujuk pada Pasal 2 dan 14 UUPA, sebenarnya telah selaras
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini didasarkan pada Pasal 11 UU 22/1999
yang mengatur masalah desentralisasi, salah satunya bidang pertanahan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk pengaturan penjabarannya berdasarkan Pasal 12,
ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP), dalam hal ini PP No. 25 Tahun 2000.
Meskipun demikian, dalam PP tersebut masih menyisahkan persoalan, dikarenakan
dalam materi muatannya tidak menegaskan bentuk kewenangan yang
didesentralisasikan tersebut. Inilah yang menjadi pangkal tolak kerancuan peraturan
perundang-undangan bidang pertanahan yang dikeluarkan setelah tahun 2000.

E. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945

1. Aspek Historis
Sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD 45 sebanyak 4 (empat) kali,
serta penempatan Penjelasan UUD 1945 tidak lagi sebagai penjelasan otentik dari
UUD 1945, sedangkan UUD 45 setelah amandemen tidak dilengkapi dengan
penjelasan, sulit untuk menemukan dan menentukan dasar filosofi hukum, nilai-nilai,
asas-asas, konsep-konsep yang dapat menjadi pegangan untuk melakukan analisis
sinkronoisasi dan konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka
menentukan ada tidaknya konflik peraturan perundang-undangan, teramasuk
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, karena setiap pasal dari
peraturan perundang-undangan yang akan dianalisis menjadi sangat terbuka
penafsirannya.

85
Arie S.Hutagalung. Op.cit, hlm. 40.

53
Walaupun penjelasan UUD 45 tidak lagi berkedudukan sebagai penafsiran
otentik UUD 45, namun masih berperan signifikan untuk menggali hakikat Pasal 33
UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusionil pengaturan hukum di bidang
agraria, termasuk di bidang pertanahan. Bukankah pemahaman atas Pasal 33 UUD
1945 itu tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca teks maupun penjelasan
suatu peraturan perundang-undangan.
Untuk menelaah hakikat dalam rangka memperoleh pengertian maksud dari
Undang-Undang Dasar suatu negara, maka suasana dan realitas objektif pada waktu
Undang-Undang Dasar itu dirumuskan, termasuk aspek ideologi dari perancangnya
yang tentunnya sedikit banyak mempengaruhi proses perumusannya, harus
dimengerti terlebih dahulu.
Secara histories, perumusan Rancangan UUD 1945 dilakukan oleh Panitia
Perancang Undang-undang Dasar yang ditetapkan pada rapat Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945. Tetapi, materi-
materi pokok (dasar-dasar negara) dari rancangan UUD itu telah dibahas sejak
tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang-sidang pertama BPUPKI, sampai kemudian
ditetapkan menjadi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 pada Rapat Panitia
Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI).
Di dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang dibahas dalam Rapat Panitia
Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945, BAB mengenai kesejahteraan sosial ditempatkan
pada BAB XIII Tentang Kesedjahteraan Sosial, dengan nomor Pasal 32, dan
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Perékonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan.
(2) Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai
hadjat hidup orang banjak dikuasai oléh Pemerintah.
(3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oléh
negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran
rakjat.86

Rumusan Pasal 32 Rancangan UUD tersebut mencakup nilai-nilai yang


terkandung di dalam dasar negara yaitu sistem kekeluargaan, yaitu suatu aliran
pikiran yang menyatukan negara dengan seluruh rakyat, sesuai dengan pengertian
negara sebagai suatu keluarga besar, yang mengatasi segala faham golongan dan
86
Risalah Rapat Panitia Perantjang Undang-undang Dasar tanggal 11 Juli 1945, Lihat dalam:
Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia. Djilid Pertama,
Jajasan Prapantja, Jakarta, hlm. 268.

54
faham perseorangan (kollektivisme) sebagaimana pikiran Soepomo (negara
integralistik).
Selanjutnya Soekarno pada sidang pertama Dokuritu Zyunbi Tyoosakai juga
membicarakan dasar kekeluargaan atau yang disebutnya gotong-royong yang
merupakan dasar sistem, dan falsafah yang terkadung dalam Rancangan UUD.
Setelah Rancangan UUD ini dibagikan dikalangan anggota, panitia penyusun
Rancangan UUD ini banyak mendapat pertanyaan seputar dasar dan falsafah dari
rancangan UUD tesebut. Misalnya, pertanyan-pertanyaan apa sebab undang-undang
dasar yang kita rancang tidak memasukkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak
warga-negara, bahwa kitapun menghendaki di dalam UUD itu apa yang dinamakan
“droits de l’homme et du citoyen” atau “rights of the citizen”.87 Hal ini kemudian
dijawab oleh Soekarno dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, lewat pidatonya
yang menerangkan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
“…Undang-undang Dasar dari pada negara-negara (Eropa dan Amérika)
didasarkan atas dasar falsafah pikiran jang dikemukakan oléh revolutie
Perantjis, jaitu individualisme dan liberalisme... Inilah jang mendjadi sumber
malapetaka-malapetaka didunia ini…Tuan-tuan dan njonja-njonja jang
terhormat! Kita semua mengetahui bahwa faham atau dasar individulisme telah
mendjadi sumber économisch liberalisme Adam Smith…jang sebenarnja tidak
lain tidak bukan mendjalankan téori-téori ékonomi diatas dasar-dasar falsafah
jang individualistis…Dengan adanja ékonomisch liberalisme, jang
bersembojan: “laissez faire, laissez fasser”…, timbullah kapitalisme jang
sehébat-hébatnja di negeri-negeri jang merdéka. Timbulah itu oléh karena
ékonomisch liberalisme itu sistim jang memberi hak sepenuh-penuhnja kepada
beberapa orang manusia sadja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama
manusia jang lain. Inilah sebabnja suburnja kapitalisme dan imperialisme di
Eropa dan Amérika itu”.…Dengan adanja imperialisme itulah, tuan-tuan dan
njonja-njonja jang terhormat, kita 350 tahun tidak merdéka…Nyata tuan-tuan
njonja-njonja jang terhormat, bahwa dasar falsafah negara-negara Eropa dan
Amérika itu adalah benar falsafah jang salah. Apakah kita hendak menuliskan
dasar jang demikian itu dalam Undang-undang Dasar kita?88.

Setelah Rancangan Undang-Undang Dasar di atas ditetapkan menjadi Undang-


Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945), terdapat beberapa perubahan dan
penambahan. Misalnya, Pasal 33 ayat (2), semula dirumuskan “Tjabang-tjabang
produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak

87
Risalah Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945. Muhammad Yamin. Ibid., hlm. 287.
88
Ibid, hlm. 287-294.

55
dikuasai oléh Pemerintah”, kata “dikuasai oleh Pemerintah” kemudian dirubah
dengan “dikuasai oleh Negara”.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, banyak bermunculan pendapat-pendapat yang
berupaya memaknai rumusan dari Pasal 33. Misalnya, Lemaire dalam bukunya“Het
Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah
suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang
bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia
yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Dikaji dari
tempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat
hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat
Indonesia89.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa di dalam rumusan Pasal 33 UUD
1945 terkandung nilai-nilai dan falsafah Negara. Jika dikonversikan dengan konsep-
konsep yang diutarakan di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan sari dari
tiga ayat yang dinaungi oleh Pasal 33. Pertama, yaitu; Kollektivitas atau dasar
kesatuan dalam sebuah keluarga besar, konsep ini dirumuskan pada ayat (1) yaitu:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
Kedua adalah Sosialisme yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kekeluargaan
dan antitesa daripada kapitalisme, dirumuskan dalam ayat (2) “cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara”, dan Ketiga adalah Politik Agraria Nasional yang bertujuan
menciptakan keadilan sosial lewat jalan meningkatkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hal ini adalah sintesa dari ayat (1) dan (2), yang dirumuskan
sebagai berikut: ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.

2. Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), secara umum erat
sekali hubungannya dengan teori “integralistik” atau “negara integralistik” yang
89
Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve,
S’Gravenhage, Bandung, hlm. 120, dalam: Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum
Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36.

56
dilontarkan oleh Soepomo dalam pidatonya pada sidang-sidang BPUPKI antara
bulan Mei–Juni 1945 yang padat dengan agenda sidang BPUPKI untuk membahas
dasar-dasar (falsafah) dan tujuan pembentukan negara.
Menurut Soepomo staatside dari UUD 1945 tidak didasarkan pada teori Trias
Politica yang dikemukakan oleh Motesquieu. Soepomo tidak mau terjebak antara
staatside yang didasarkan pada “Teori Individualistik” dan “Teori Golongan”.
Pilihan Soepomo jatuh pada “Teori Integralistik”,90 sebagaimana dikemukakan oleh
Spinoza, Adam Muller, dan Hegel (filsuf abad 18 dan 19). Menurut Spinoza,91
negara (the state) mestilah dibayangkan sebagai sebuah individu. Lebih tepatnya
lagi, individu dari individu-individu (individual of indivduals) yang memiliki
“tubuh” dan “jiwa” atau pikiran. Sebagaimana ditekankan olehnya, “in the political
order the whole body of citizens must be thoughts of as equivalent or an individual in
the state of nature”. Jadi, keseluruhan warga negara haruslah dilihat sebagai satu
individu yang tidak terpisah, tetapi satu kesatuan yang bersatu jiwa, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Soepomo:
“…struktur kerochanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita
persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar
dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakjat dan
pemimpin-pemimpinnya…Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa
Indonesia, yang berwujud dalam susunan tatanegaranya jang asli”92.
Dengan demikian, inti dari teori integralistik adalah, negara bukan
dimaksudkan untuk menjamin kepentingan orang perorang atau golongan tertentu,
akan tetapi negara harus menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan
sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, menurut teori integralistik negara diartikan
sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala
anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat
organis yang harmonis.
Secara khusus makna dari kalimat “usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan” adalah sebuah bangunan perusahaan yang berbentuk “koperasi”,

90
Teori Individualistik, mendasarkan pendirian negara pada teori perseorangan yang diajarkan
oleh Hobbes, Spencer, dan H.J. Laski. Inti dari teori ini menyatakan bahwa negara merupakan
masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat dengan susunan
hukum negara yang berdasar individualisme, teori ini dipraktekkan di Eropa Barat dan Amerika.
Sedangkan Teori Golongan (teori kelas), teori ini menganggap bahwa negara sebagai alat dari sesuatu
golongan (kelas) untuk menindas kelas lainnya. Negara adalah alat dari golongan yang kuat secara
ekonomis, untuk menghisap golongan yang lemah secara ekonomi. Untuk itulah negara dijadikan alat
bagi kaum kapitalis untuk menindas kaum buruh. Ajaran ini mennganjurkan revolusi politik dari
kaum buruh untuk merebut kekuasaan. Ajaran ini berasal dari Karl Marx, F. Engels, dan V. Lenin,
dan ajarannya disebut “Marxisme”. Lihat dalam: Pidato Soepomo dalam Rapat BPUPKI tanggal 31
Mei 1945, dalam: Ibid, Muhammad Yamin, hlm. 110-111.
91
Spinoza yang dikutip oleh Etienne Balibar, “Spinoza and Politics”, (London: Verso, 1998),
hlm. 64, dalam: Daniel Hutagalung. “Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara
Indonesia”, Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta, hlm. 129.
92
Muhammad Yamin. Op.cit, khususnya hlm. 109-121.

57
sebagaimana yang disebutkan juga dalam Penjelasan Pasal 33 paragraf pertama.
Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilaksanakan di Jakarta pada
tahun 1957, hal ini ditegaskan kembali oleh Mohammad Hatta, bahwa “buah pikiran
yang tertanam di dalam Pasal 33 UUD 1945 sekarang ini berasal dari saya sendiri,
Sebab itu terimalah pernyataan saya, bahwa memang koperasilah yang dimaksud
dengan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.93
Dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat penafsiran “limitatief” dan
penafsiran “enunciative”. Penafsiran limitatief, menganggap hal-hal yang
disebutkan sebagai “gelimiteerd” atau terbatas pada hal itu saja, sedangkan
penafsiran enunciative menganggap hal-hal yang disebutkan sebagai “enunciated”
atau sekedar menerangkan, bahwa hal itulah yang dimaksudkan.
Dengan demikian, berdasarkan penafsiran limitatief, bahwa yang sesuai
dengan azas kekeluargaan ialah hanya koperasi saja. Sedangkan menurut penafsiran
enunciative, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan paling utama adalah
koperasi, artinya koperasi hanya sebagai contoh tetapi sebagai contoh sebagai utama.
Dengan demikian berdasarkan penafsiran enunciative, tetap dimungkinkan bangunan
perusahaan selain koperasi yang juga sesuai dengan azas kekeluargaan ini.94
Berkaitan dengan penafsiran terhadap azas kekeluargaan sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, Asikin Kusuma Atmadja memaknai azas kekeluargaan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1), adalah:
“menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan totaliterisme”.
Menurutnya, jika liberalisme tidak dikendalikan, maka akan menjurus kepada
anarchie, dan jika kekuasaan Pemerintah terlalu besar maka akan melahirkan
totaliterisme95.

3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara

Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai ideologi politik ekonomi Indonesia [ayat
(1) dan (2)], dengan “hak menguasai negara” sebagai konsep politik hukumnya

93
Abdurrahman. Op.cit, hlm
94
Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat,
Jakarta, hlm. 195.
95
Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara &
Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung,
hlm. 38.

58
(political legal concept). Sedangkan rumusan ayat (3)-nya merupakan arah dan
tujuan politik ekonomi Indonesia yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan
kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak
Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumber-
sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara.
Secara teoritik kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria bersumber dari
rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Dalam hal ini negara dipandang sebagai
yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan
wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi
pemanfaatan seluruh potensi sumber daya agraria yang ada dalam wilayahnya secara
intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia.
Adapun kaitan hak penguasaan negara dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, melahirkan kewajiban Negara untuk mengatur:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam
atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat
dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.96

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak


penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman
bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan
(bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukannya sendiri
(eigensdaad).
Pembahasan mengenai makna kata-kata “dikuasai oleh negara” secara lebih
mendalam dapat didekati dengan memahami pengertian-pengertian yang diberikan
para ahli, antara lain:

96
Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konasep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD
1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/.

59
a. Mohammad Hatta, dalam bukunya “Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
Pasal 33” memaknai dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi
penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa
kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan
ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh
orang yang bermodal.97
b. Muhammad Yamin, baginya perkataan “dikuasai oleh negara” tidaklah berarti
dimiliki, diselenggarakan, atau diawasi, melainkan berarti diperlakukan dengan
tindakan-tindakan yang berdasarkan pada kekuasaan tertinggi dalam tangan
negara. Selain itu, menurutnya Pasal 33 ayat (3) melarang organisasi-organisasi
yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi nasional. Walaupun
“Sosialisme Indonesia” mengenal milik swasta perseorangan (privaatbezit;
privaat eigendom) karena sesuai dengan kepribadian Indonesia dan tidak
dilarang Pasal 33.98
c. Notonagoro, adalah salah seorang konseptor dari Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA), dan UUPA merupakan
aturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Notonagoro menyatakan
pendapatnya tentang kata-kata “dikuasai oleh negara” dalam tema pokok “hak
menguasai daripada negara” sebagai dasar baru hukum agraria di Indonesia.
Menurut Notonagoro “untuk menentukan hakekat sifat hak menguasai tanah, kita
harus mendasarkan diri menurut kedudukan hak menguasai tanah oleh negara itu
dalam rangkaian kekuasaan negara pada umumnya”. Ia mendasarkan
argumentasinya ini pada pandangan Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa,
sebenarnya hak negara terhadap tanah ialah untuk mengatur dan sebagainya itu,
tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu. Tanah merupakan
suatu spesmen (hal khusus), jika dalam hal ini perlu diberi bentuk lain, maka
sudah tentu tidak boleh mengurangi dan mengubah kedudukan negara terhadap
segala sesuatu itu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa untuk menentukan hakikat
sifat hak menguasai tanah, kita melihat kepada kekuasaan negara, yang tidak lain
ialah membangun, mengusahakan memelihara dan mengatur hidup bersama.
Khusus mengenai tanah berarti membangun mengusahakan, memelihara dan

97
Abdurrahman, Op.cit, hlm. 37
98
Ibid, hlm. 38.

60
mengatur segala sesuatu mengenai tanah. Dengan demikian dapatlah kita
rumuskan hakikat dan sifat hak menguasai tanah itu, ialah: “dalam membangun,
mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah untuk kepentingan negara
kepentingan umum, kepentingan rakyat sama dan membantu kepentingan
perseorangan”.99
d. Sudargo Gautama, dalam menafsirkan hak menguasai negara mendasarkan
argumentasinya pada pandangan yang melihat negara sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa). Oleh karenanya berdasarkan kwalitasnya
itu, negara bertindak selaku Badan Penguasa. Pikirannya ini dipararelkan dengan
susunan kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3), yang diadopsi dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPA “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Dengan adanya pendirian semacam ini
tidaklah diperlukan bagi negara untuk bekerja dengan pengertian milik, seperti
halnya dengan teori domein. Artinya istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan
berarti “dimiliki”. Istilah dikuasai ini berarti bahwa negara sebagai organisasi
kekuasaan daripada bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk mengatur
sesuatu yang berkenaan dengan tanah.100
Pada perkembangan selanjutnya, perubahan ke empat UUD 1945 (2002)
khususnya mengenai Pasal 33 telah mengalami pengembangan makna dari yang
sebelumnya, walaupun tidak merubah tiga ayat yang asli, penambahan dua ayat
terakhir pada Pasal 33 berimplikasi pada perubahan makna Pasal 33 secara
keseluruhan. Belum lagi masalah Penjelasan dari UUD 1945 yang tidak lagi menjadi
Penjelasan Otentik.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani
perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, juga berfungsi mengawal konstitusi (the
guardian of costitution) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
samping untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, juga

99
Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara,
Jakarta, hlm. 117-119.
100
Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung,
hlm. 47-48.

61
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu
yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dengan tidak adanya lagi penjelasan otentik terhadap UUD 1945,
mengharuskan Mahkamah Konstitusi berperan untuk menafsirkan UUD 1945
apabila munculnya pertentangan norma antara undang-undang dengan UUD 1945.
Dalam salah satu putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian
atau makna dari kalimat “dikuasai oleh negara”, sebagai berikut:
“Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan
konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang
dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun
ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah
yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut,
tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
…Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh
Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum
Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q.
Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula
fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara
c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat101.

Perlu dicermati kembali dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas


yang menyatakan, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD
1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan

101
Mahkamah Konstitusi, Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-
I/2003, hlm. 332-334.

62
dalam konsepsi hukum perdata (konsepsi eigendom-pen), …”. Pendapat dari
Mahkamah Konstitusi tersebut, telah mempersamakan pengertian negara dengan
bangsa. Pemaknaan yang demikian merupakan pemaknaan yang keliru, karena
pengertian negara tidak sama dengan pengertian bangsa. Negara itu sendiri adalah
organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh bangsa agar tujuan berbangsa dapat
dicapai. Selain itu, konsep eigendom tidak lahir dari struktur masyarakat yang
komunalis, tetapi lahir dari masyarakat dengan tatatan individualis, liberalis, dan
materialis.
Dilihat dari sudut sejarah, negara adalah produk dari budaya dari bangsa,
dengan demikian, tidak secara otomatis hak-hak bangsa beralih menjadi hak negara.
Dalam teori kenegaraan dikenal teori kontrak sosial yang terdiri dari perjanjian
umum (volente de generalle) dan perjanjian khusus (volente de tour). Pada volente
de generalle, perjanjian dibuat berbentuk perjanjian antar sesama (rakyat) untuk
membentuk negara, sedangkan pada volente de tour adalah perjanjian yang
berisikan seberapa besar kedaulatan/kekuasaan yang ada pada rakyat akan
diserahkan kepada negara agar pemerintah sebagai organ negara dapat
menyelenggarakan kewajibannya untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus
akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama Indonesia102. Dengan
demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak agraria, termasuk hak atas
tanah bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan
Indonesia (sebagai peculiar form of social life). Tatanan tersebut tidak mengenal
konsepsi eigendom, namun mengenal konsepsi komunal yang dikenal dengan hak
ulayat/hak ulaya, atau dengan sebutan lain.
Namun demikian, secara normatif tidak pernah ada kontrak sosial yang berisi
penyerahan kekuasaan atas agraria/tanah dari rakyat kepada negara/pemerintah, yang
sekarang dengan hak menguasai negara. Dalam praktiknya, hak menguasai negara
cenderung ditafsirkan sebagai hak milik negara. Bahkan apabila dikaji dari sudut
Pancasila, terutama sila ketiga: Persatuan Indonesia; dan semboyan Bhinnika

102
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakkui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

63
Tunggal Ika, dapat ditafsirkan bahwa konsep kesatuan adalah konsep politik,
sedangkan konsep pelaksanaan pemerintahan adalah konsep persatuan. Dengan
demikian, konsep eigendom yang dijadikan dasar dari hak menguasai negara oleh
Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan dalam konsepsi
masyarakat (hak menguasai masyarakat adat), penguasa adat yang dapat disamakan
dengan negara/pemerintah, tidak berkedudukan sebagai sebagai pemilik agraria.
Penguasa adat adalah sebagai pemegang mandat untuk memanfaatkan agraria untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seangkan secara abstrak umum, pemilikan
agraria tersebut tetap menjadi hak rakyat.
Benar bahwa negara adalah organisasi seluruh rakyat Indonesia, namun tidak
berarti bahwa negara memperoleh seluruh asset yang dimiliki Bangsa Indonesia,
karena negara hanya merupakan salah satu unsur dari bangsa. Dengan demikian,
konsep hak ulayat lebih tepat digunakan untuk menjadi acuan penafsiran bagi Hak
Menguasai Negara, dibandingkan dengan hak eigendom. Faham individualis yang
menghasilkan konsep eigendom menempatkan negara dan rakyat pada dua posisi
yang berhadapan dengan kedudukan yang sama, oleh karena itu lahir konsep
“Staatdomein” untuk eigendom yang dimiliki oleh negara, dan konsep “eigendom”
untuk hak yang dapat dimiliki oleh individu/rakyat. Dengan demikian, menggunakan
konsep eigendom sebagai acuan untuk menafsirkan makna Hak Menguasai Negara
adalah tidak tepat, dengan alasan:
a. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya eigendom yaitu faham individualis,
liberalis, dan materialis, tidak sesuai dengan faham yang dianut Bangsa
Indonesia, yaitu manusia sebagai mahkluk mono-dualis, komunal, dan gotong
royong, serta magisch religius.
b. (Perlu ada ditegaskan) negara hanya berkedudukan sebagai lembaga yang
memperoleh mandat untuk menguasai pada tingkatan tertinggi, namun tidak
berkedudukan sebagai pemilik. Oleh karena itu, pemberian suatu hak atas
agraria oleh negara/pemerintah kepada subjek hukum tertentu, harus
dimaknakan sebagai pelaksanaan peran negara/pemerintah sebagai
penerima/pemegang kuasa dari bangsa sebagai pemilik agraria, untuk
memberikan suatu hak kepada subjek hukum tertentu.
c. Menafsirkan Menguasai Negara sebagai lembaga hukum yang lebih tinggi dari
eigendom adalah bersifat destruktif, terlebih apabila yang berkuasa adalah

64
rezim kapitalis. Pemaknaan “Hak Menguasai Negara” bukan berarti “Negara
adalah pemilik agraria” saja sebagaimana pengertian-pengertian yang
diberikan para ahli dapat memberikan dampak destruktif apabila pemerintah
dikuasai oleh rezim kapitalis. Tentu akan lebih merusak lagi apabila “Hak
Menguasai Negara” dimaknakan sebagai hak yang lebih tinggi dari eigendom.

Walaupun harus diakui, bahwa konsep “Hak Menguasai Negara” mengacu


pada pemikiran bahwa negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang
populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”. Namun, tidak pernah
dapat dipastikan bahwa rezim yang muncul dan berkuasa untuk melaksanakan
pemerintahan adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan dibawah rezim
yang populis, maka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tetapi jika penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang kapitalistik, maka
penguasaan oleh negara akan didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat
secara ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial mempengaruhi rumusan
berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan
berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran lebih lanjut
dari Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 UUD 45, terutama peraturan perundang-
undangan di bidang agraria/pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.

F. Konflik Peraturan Perundang-undangan Bidang Pertanahan


Terhadap Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945

1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 UUD 1945

Pengkajian terhadap konflik peraturan perundang-undangan (aturan hukum) di


bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nilai-
nilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu UUD 45. Kajian atas
nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang
menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria,
khususnya di bidang pertanahan.
Pengkajian nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat
konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya

65
perubahan nilai dan asas dari amandemen UUD 1945. Perubahan nilai dan asas
tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut,
terutama kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan,
bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang
pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk
dapat mengakses hak atas tanah.

a. Sebelum Amandemen UUD 1945

Pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan tujuan pembentukan


Negara Indonesia dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:
(1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan
(3) Ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tanah adalah modal dasar yang strategis dan vital dalam rangka menciptakan
masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan (mayarakat adil dan makmur), oleh
karena itu pembahasan terhadap pengaturan hukum di bidang pertanahan dalam
rangka menentukan taraf sinkronisasi dan konsistensinya tidak dapat lepas dari
pembahasan karena politik agraria/pertanahan yang secara konkrit dituangkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 merupakan bagian dari
pengembanan politik kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dalam Penjelasan Umum UUD 1945, masalah kesejahteraan umum dan
keadilan sosial tidak dijelaskan secara panjang lebar, hanya dinyatakan bahwa:
“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Solly Lubis
menafsirkan, bahwa aspirasi akan terciptanya kesejahteraan umum, berarti aspirasi
akan terciptanya suatu tata bina negara dan tata pemerintahannya yang mampu
mencerminkan, mengemban dan mengejewantah suatu negara kesejahteraan (welfare
state), yang sekaligus merupakan suatu tekad perlawanan terhadap tata kehidupan
kolonial dan tekad bulat (ekaprasetia) untuk menata pemerintahan dan masyarakat

66
yang merdeka, berdaulat, berhak menetukan nasib sendiri (self determination), dan
membina kemakmuran yang merata adil dan makmur.103

Sebagai negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka


bidang ekonomi menjadi faktor utama dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
bidang ekonomi diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XIV
yang sebelum perubahan berjudul Kesejahteraan Sosial. Di bawah Bab XIV tersebut
tercantum Pasal 33 yang sebelum perubahan terdiri dari ayat (1), (2), dan (3).
Rumusan Pasal tersebut berdasarkan ejaan lama, sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas


kekeluargaan.
(2) Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan jang menguasai
hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran
rakjat”.
Penjelasan Pasal 33:
Dalam pasal 33 tertjantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerdjakan
oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggauta-anggauta
masjarakat. Kemakmuran masjarakatlah jang diutamakan bukan kemakmuran
orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan jang sesuai dengan itu
ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala
orang. Sebab itu tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang
menguasai hidup orang banjak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak,
tampuk produksi djatuh ketangan orang seorang jang berkuasa dan rakjat jang
banjak ditindasnja.
Hanja perusahaan jang tidak menguasai hadjat hidup orang banjak boleh
ditangan orang seorang.
Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam bumi adalah pokok-
pokok kemakmuran rakjat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat.

Makna kata-kata produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua...yang


diutamakan bukan kemakmuran orang perorang, adalah lawan daripada sistem
ekonomi kapitalisme yang mengutamakan perseorangan/individu (individualism).
Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang sangat
tajam atau hanya memakmurkan segelintir orang saja, oleh karena itu, secara tegas
Pasal 33 UUD 1945, melarang adanya penguasaan cabang-cabang produksi yang

103
M. Solly Lubis. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung, hlm. 25 dan 63.

67
penting bagi negara oleh orang perorang (individu) secara terpusat (monopoli dan
oligopoli) maupun praktek-praktek cartel dalam hal pengelolannya. Dan bentuk
perusahaan yang sesuai bagi prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 33 adalah koperasi.

b. Setelah Amandemen UUD 1945


UUD 1945 mengalami perubahan sebagaimana tuntutan reformasi tahun 1998.
Pembahasan rancangan peruabahannya dilakukan oleh Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2002 yang
menghasilkan empat kali perubahan.
Setelah perubahan, judul BAB XIV dirubah dari Kesejahteraan Sosial, menjadi
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, dengan pasal yang diliputinya
yaitu: Pasal 33, Pasal 34 danPasal 37. Pasal 33 yang semula terdiri dari tiga ayat
diubah menjadi 5 (lima) ayat.
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Perubahan penting lainnya adalah Penjelasan UUD 1945 tidak lagi ditempatkan
sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945. Rumusan Pasal 33 UUD 1945 setelah
diamandemen selengkapnya adalah:

Secara umum amandemen UUD 1945 perubahan pertama sampai dengan


perubahan ke empat menimbulkan ‘kontroversi’ di kalangan cendekiawan
(intellectual) maupun dari masyarakat sipil lainnya, yaitu berkisar pada materi
perubahan (substansial) maupun dari segi proses amandemen. Ridwan Saidi,104
menyatakan, adanya keinginan sebagian masyarakat untuk kembali ke UUD 1945,

104
Berpengalaman sebagai legal drafter mewakili F-PPP di DPR Rl pada Badan Pekerja MPR
Rl dan Pansus pelbagai RUU dalam periode DPR/MPR Rl periode 1977-1982 dan 1982-1987.

68
terutama tdisebabkan, masyarakat menyakini bahwa UUD 1945 hasil amandemen
MPR tahun 1999–2002 membawa semangat ‘(Neo) Liberalisme’ dalam kehidupan
kenegaraan.

Pendapat lain yang muncul berkaitan dengan penambahan ayat pada Pasal 28,
yaitu Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F dan, Pasal 33, yaitu penambahan Pasal 33 ayat
(4).105 Perubahan Pasal 28 mengakibatkan aspek ideologi dan keamanan nasional
menjadi tidak jelas kedudukannya (vide: pasal 28E ayat (4) dan pasal 28F).
Konsekwensi penambahan ayat pada Pasal 28 tersebut adalah, faham ekonomi
kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia juga menjadi tidak jelas kedudukannya.
Sedangkan penambahan ayat pada Pasal 33 dengan Pasal 33 ayat (4) yang intinya
mengedepankan prinsip demokrasi ekonomi, menimbulkan pertanyaan: demokrasi
ekonomi yang bagaimana yang menjadi faham ekonomi Indonesia sekarang setelah
terjadi penambahan ayat tersebut?.

Jika merujuk pada pengertian asasi demokrasi politik, esensinya adalah


mayoritas suara yang menentukan. Jika makna demikian dijadikan patokan untuk
memahami makna demokrasi ekonomi, maka tafsir yang didapat adalah mayoritas
(kekuatan) kapital yang menentukan. Hal ini berarti, Indonesia Pasca Reformasi
menganut sistem ekonomi kapitalis.
Mubyarto menyatakan, perubahan Judul BAB XIV UUD 1945 tentang
“Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”
adalah perubahan yang menyesatkan. Mubyarto menyatakan, perubahan tersebut
terjadi karena (anggota MPR) menganggap bahwa perekonomian nasional bisa
dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial, oleh karena itu perubahan BAB
XIV dirumuskan dalam 2 (dua) variable, yaitu “Perekonomian Nasional” dan
“Kesejahteraan Sosial”. Perumusan demikian bertentangan dengan pendirian
founding fathers, karena pada saat disahkannya UUD 1945, para pendiri negara tidak
pernah ragu dalam pendiriannya, bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan
ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial.

105
Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

69
Lebih jauh Mubyarto menyatakan, amandemen Pasal 33 dengan menambahkan
ayat (4) tentang “penyelenggaraan perekonomian nasional” yang dibedakan dari
“penyusunan perekonomian” pada ayat (1) adalah sekedar mencari kompromi antara
mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan
pada ayat (1). Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan mengira asas
kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi. Padahal,
perekonomian yang berasaskan kekeluargaan (ekonomi Pancasila) tidak berarti
sistem ekonomi “bukan pasar”. Berkaitan dengan penghapusan Penjelasan UUD
1945, Mubyarto berpendapat sebagai kekeliruan fatal dan dapat dianggap sebagai
“pengkhianatan” terhadap ikrar para pendiri negara. Penghapusan penjelasan Pasal
33, berarti hilangnya pengertian ‘demokrasi ekonomi’ dan hilangnya kata ‘koperasi’
sebagai bangunan perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.106

2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (1967 – 1998)

Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Orde Baru terdiri: (i)
Undang-Undang, (ii) Peraturan Pemerintah, (iii) Keputusan Presiden, (iv) Instruksi
Presiden, dan (v) Peraturan Menteri Dalam Negeri. Terdapat 12 (dua belas)
Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan, yaitu:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing.
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan.
(4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan
Landreform.
(5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan Pokok
Transmigrasi

106
Mubyarto adalah salah satu pakar ekonomi yang awalnya terlibat dalam perumusan
perubahan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian mengundurkan diri karena ada perbedaan pandangan
dengan anggota tim pakar ekonomi lainnya. Argumentasinya mengenai Perubahan BAB IXV UUD
1945 secara lengkap dapat dilihat dalam:Mubyarto,“Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam
Ekonomi Pancasila“, Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003,
www.ekonomirakyat.org.

70
(6) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.
(7) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.
(8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
(9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 Tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah
Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
(10) Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan
Nasional.
(11) Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri.
(12) Keputusan Pesiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum.
Kajian terhadap kedua belas peraturan perundang-undangan tersebut akan
dibagi menjadi 3 (tiga) periodesasi, yaitu:
(1) Periode stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi
(2) Periode produktivitas dengan sistem modernisasi dan
(3) Periode deregulasi pertanahan.
Untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat konflik peraturan perundang-
undangan di bidang pertanahan pada era Pemerintahan Orde Baru dalam rangka
menentukan keselarasannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, pendekatan yang
dipakai ialah dengan cara mengukur taraf sinkronisasi dan konsistensi Peraturan
Perundang-undangan yang dimaksud dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan
mendalami karakteristiknya berdasarkan periodesasi diterbitkannya aturan hukum
tersebut, yaitu:

a. Periode Stabilitas Politik Demi Pertumbuhan Ekonomi (1967 – 1973)

Produk hukum mengenai penguasaan tanah yang dikaji pada periode stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi adalah:

71
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing,
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan
(UUPK),
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan,
(4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan
Landreform, dan,
(5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok
Transmigrasi.
Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji pada bagian ini seluruhnya
berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria, tetapi di dalam konsiderans mengingat
masing-masing peraturan-peraturan ini tidak sama sekali mencantumkan UUPA.
Padahal di dalam Penjelasan Umum UUPA telah ditetapkan bahwa UUPA
merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan
dengan dengan agraria. Mengingat akan sifatnya (UUPA) sebagai peraturan dasar
bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat hanyalah azas-azas serta soal-soal
garis besarnya saja, oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun
pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan
Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.
Beranjak dari hal ini, artinya Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan
dengan agraria yang ditetapkan setelah lahirnya UUPA berlaku asas “lex specialis
derogat legi generali”. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan
yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup
materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu
yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.
Dengan demikian, peraturan-peraturan yang tersebut di atas materi muatannya
merupakan pengaturan secara khusus dari UUPA, untuk itulah materi muatan yang
diaturnya tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang telah ditetapkan oleh
UUPA. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, bagaimanakah jika peraturan-
peraturan yang dimaksud di atas bertentangan dengan asas-asas yang tecantum
dalam UUPA, apakah dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangan-undangan
tersebut tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ?

72
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-pertama harus dilihat apakah
UUPA merupakan delegasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, jika disimak dari
Konsiderans Berpendapat huruf d dari UUPA dinyatakan secara tegas bahwa UUPA
merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, yang mewajibkan Negara untuk mengatur
pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh
wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di adopsi oleh Pasal 2 ayat (1) UUPA,
artinya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan agraria yang ditetapkan setelah
lahirnya UUPA harus sejalan dengan asas-asas yang tercantum dalam UUPA.
Namun, jika peraturan-peraturan tersebut tidak di dasarkan pada asas-asas yang ada
di dalam UUPA maka peraturan tersebut akan tidak selaras dengan UUPA yang
otomatis juga tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Bagaimanakah karakteristik dari kedua belas aturan hukum tersebut. Jika
dilihat dari muatannnya, dapat ditarik pengertian bahwa, kedua belas aturan hukum
tersebut berkarakter:
(1) Sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam.
(2) Sangat berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal), baik
modal asing maupun dalam negeri.
(3) Konservatif/Ortodoks, hukum menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan
ideologi dan program negara (Positivis Instrumentalis) yang dalam hal
ini diposisikan sebagai alat peningkatan pendapatan dan devisa negara
demi tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan jika kita merujuk pada karakteristik dari Pasal 33 ayat (3), Pertama,
berkaitan dengan ayat (1) menekankan pada asas kollektivitas atau dasar
kekeluargaan yang dimaksudkan bahwa corak perusahaan yang nantinya akan
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang sesuai adalah
koperasi. Kedua, sistem sosialisme yang merupakan turunan dari asas kekeluargaan
di atas merupakan antitesis dari sistem perekonomian kapitalistik. Ketiga, seluruh
asas tersebut bermuara pada peningkatan kemakmuran rakyat.
Jadi jelaslah bahwa semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) adalah
sosialisme Indonesia (populisme) yang mementingkan dan memperjuangkan rakyat

73
kecil yang lemah. Politik populis berarti menonjolkan prinsip-prinsip partisipasi atau
mengikutsertakan kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat dalam
melaksanakan program-program agraria. Hal ini terlihat jelas pada saat pemerintahan
Orde Lama melaksanakan program landreform (1960-1965), yang mana seluruh
ormas petani diikut sertakan untuk mengontrol program tersebut. Dengan demikian
dapat disimpulkan Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada periode ini tidak
selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

b. Periode Produktivitas dengan Sistem Modernisasi (1973 – 1984)

Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada empat,


yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,
2. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah
Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.
Seluruh Peraturan Perundang-undangan di atas berkaitan erat pada Undang-
Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang ada di Atasnya. Undang-undang ini merupakan peraturan pelaksana dari
Pasal 18 UUPA107 sebagaimana yang rumusan dari Konsiderans Menimbang huruf a
peraturan tersebut: 197
“bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai yang dimaksud dalam pasal
18 Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
Lembaran-Negara Tahun 1966 Nomor 104), terutama dalam rangka
melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara”.

107
Pasal 18, UUPA: “Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai
pemberian ganti-kerugian yang layak”.

74
Rumusan Pasal 18 UUPA dan materi muatan UU No. 20 Tahun 1961, memuat
prinsip, apabila pihak lain, penguasa maupun pengusaha, memerlukan tanah untuk
keperluan pembangunan, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus
ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kata
mufakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah pihak.
Artinya proses pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum, hanya dapat
dilakukan melalui pencabutan hak berdasarkan ketentuan yang dituangkan ke dalam
undang-undang. Argumentasi ini didasari pada prinsip bahwa peraturan yang sangat
menyentuh kehidupan vital dimasyarakat (tanah) pembuatannya harus dilakukan
secara partisipatif dengan melibatkan DPR, atau tidak secara sepihak ditetapkan oleh
pemerintah.
Jika disimak dari penjelasan Pasal 6 UU No. 20 tahun 1961, secara tegas
dinyatakan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan mengenai acara pencabutan hak
yang khusus sebagai yang telah diuraikan di dalam Penjelasan Umum…”. Artinya
prosedur pencabutan hak itu telah pula diatur dalam peraturan ini. Namun pada era
pemerintahan Orde Baru, Pasal 5 dan 6 UU No. 20 Tahun 1961 dibuatkan peraturan
pelaksananya lewat PP No. 39 tahun 1973 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15
Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976, yang pada
intinya mereduksi prosedur pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan
pembangunan pada saat itu.
Menurut Ali Sofwan Husein, tercium itikad yang kurang baik dalam
pembentukan peraturan-peraturan pelaksana itu, karena terlihat hanya sekedar ingin
melegalisasi perbuatannya agar kelihatan konstitusional dan tidak melanggar hukum.
Peraturan-peraturan yang lebih operasional ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk
merekayasa atau melicinkan program-program pembangunan yang telah ditargetkan
pemerintah. Berkaitan dengan alasan-alasan inilah, pemerintah Orde Baru
menganggap undang-undang pencabutan hak atas tanah dirasakan bertele-tele—tidak
efisien, dan tidak menguntungkan pihak “pencabut” hak yang ingin menguasai tanah
dengan cepat dan murah. Oleh karena itulah dibuat deregulasi dalam hal pencabutan
hak atas tanah.108 Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah pada periode tahun

108
Kontroversi masalah ini telah diangkat oleh kalangan pakar hukum, ketika diadakan
Seminar Nasional di Ambon tahun 1977 oleh BPHN. Mereka menilai Permendagri No. 15 tahun 1975

75
1973-1983 yaitu memacu produktivitas di pedesaan dengan proyek-proyek
pembangunan yang dipicu dengan meningkatnya penerimaan negara dari sektor
migas (oil boom). Semangat inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan
peraturan pelaksana (yang dilepaskan kaitannya) dari UU No. 20 tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah dalam upaya memfasilitasi proyek-proyek
pembangunan yang akan dilaksanakannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan karakteristik Peraturan Perundang-
undangan pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Konservatif/Ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam
pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum
masyarakat.
2. Represif, terutama terhadap rakyat miskin di pedesaan maupun di
perkotaan.
3. Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism),
terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-
lembaga keuangan Internasional.
Dampak yang sangat terasa dari karakter hukum yang refresif ialah “ketidak
adilan yang tegas” atau keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi
keadilan substantif. Karena tatanan hukum refresif sangat terikat pada status quo
dengan otoritas yang sangat kuat kepada penguasa, sehingga membuat kekuasaan
semakin efektif.
Pada periode orde baru tingkat refresifitas hukum diperlihatkan secara
mencolok, misalnya penggunaan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan
(tentara) dalam melakukan pembebasan tanah. Tetapi adakalanya represi diterapkan
dengan sangat halus dan dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan
mendorong dan mengorganisir persetujuan pasif dalam rangka musyawarah
penetapan ganti rugi dalam hal pencabutan hak atas tanah.
Secara umum potensi represif dimunculkan ketika tugas yang mendesak harus
dihadapi dengan kondisi adanya kekuasaan yang cukup namun kekurangan sumber
daya, sebagaimana argumentasi Hannah Arendt yang dikutip Philippe Nonet; “In
general, a repressive potential is generated when urgent task must be met under

sebagai peraturan yang cacat yuridis dan menyalahi jenjang hierarkis peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur oleh TAP MPR. Dalam: Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan
(Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 38-40.

76
conditions of adequate power but scarce resources”109. Argumentasi ini menjadi
sejalan dengan alasan ditetapkannya peraturan perundang-undangan di atas.
Sebagaimana yang dinyatakan di dalam penjelasan maupun konsideransnya, sebagai
berikut:
a. Penjelasan Umum PP No. 39 tahun 1973: “tujuan utama dari acara ini
adalah untuk mendapatkan putusan secara cepat, karena semua pihak
berkepentingan terhadap putusan yang cepat tersebut”.
b. Konsiderans Menimbang huruf a, Permendagri No. 15 tahun 1975:
“bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha
Pembangunan…dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan
tanah dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang
diperlukan secara teratur, tertib dan seragam”.
c. Konsiderans Menimang huruf b Permendagri No. 2 tahun 1976:
“bahwa untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan
pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah
yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka
penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat
menunjang kepentingan umum…”.
Berdasarkan paparan di atas, maka tidak mengherankan jika pada periode ini
(1974-1983) atau katakanlah selama 32 tahun masa pemerintahan orde baru
bermunculan sengketa tanah disetiap proses pembebasannya, antara rakyat dengan
pemerintah atau rakyat dengan investor yang diwakili oleh pemerintah. Dan hampir
disetiap konflik tanah yang ada, peran pemerintah lebih mengutamakan kepentingan
investor demi mensukseskan program pembangunannya, hal ini makin diperparah
dengan peranan pemerintah (daerah) sebagai negosiator dan penyedia tanah murah
bagi investor. Sengketa-sengketa yang timbul ini, apabila dicermati secara apriori
orang awam pun akan menuding pada masalah besaran ganti kerugian yang tidak
disepakati. Sedangkan dari tinjauan yang lebih mendalam akan bermuara pada

109
Hannah Arendt. 1972. “On Violence” in Crisis of Republic (New York: Harcourt Brace
Jovanovich, 1972), hlm. 134-155. Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law and Society in
Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York,
Hagerstown, San Fransisco, London, hlm.36.

77
kondisi dimana warganegara/rakyat dihadapkan pada pilihan menerima ganti
kerugian (diganti tapi rugi) yang ditetapkan oleh penguasa.110
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa produk hukum yang
berkaitan dengan penguasaan tanah pada era pemerintahan orde baru periode tahun
1974–1983 cenderung berkarakter represif dan bersifat positivis-instrumentalis.
Artinya hukum hanya menjadi alat (instrumen) untuk memaksakan program-program
pemerintah, dan menentukan arah perkembangan hukum dimasyarakat. Sifat dan
karakter represif produk hukum pada periode ini merupakan konsekuensi logis dari
paradigma “modernisasi/pembangunanisme” (ekonomi) yang dianut pemerintah orde
baru.
Kesimpulan di atas membawa impliksi bahwa produk hukum mengenai
penguasaan tanah pada periode ini, nyata-nyata telah bertentangan dengan semangat
dan makna yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Undang-
Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), yang mana justru sangat melindungi
keberadaan petani kecil dan petani tak bertanah dari penghisapan yang sangat
potensial dilakukan oleh kelompok berekonomi kuat (investor).

c. Periode Derugulasi Pertanahan (1984 – 1990-an)


Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada tiga, yaitu:
1. Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan
Nasional,
2. Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dan;
3. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum.
Kebijakan-kebijakan pada periode ini sebenarnya lebih kepada upaya-upaya
menanggulangi dan meminimalisasi dampak, dari kebijakan masa sebelumnya.
Karena pemerintahan Orde Baru pada masa ini, banyak mendapat pelajaran dari
akibat yang ditimbulkan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Misalnya,
merebaknya konflik pertanahan yang memicu aksi-aksi protes petani pada tahun
1980-an hingga tahun 1990-an dan menjadi salah satu issu politik nasional yang
paling menonjol pada saat itu.

110
Arie S.Hutagalung. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 174.

78
Munculnya konflik-konflik pertanahan pada periode ini, selain disebabkan
karena meningkatnya pertumbuhan penduduk, terjadi juga pergeseran fokus
pembangunan ke sektor agro-industri khususnya ekspor non migas. Pembiayaan
pembangunan pada sektor agro-industri ini ternyata tidak mampu ditopang oleh
RAPBN pada masa itu (1986/1987) karena turunnya harga minyak di pasaran
Internasional. Pada sisi lain, pemerintah tetap ingin mempertahankan pertumbuhan
ekonomi, maka salah satu jalannya adalah mendorong pihak swasta untuk
menanamkan modalnya disektor agro-industri. Upaya untuk meningkatkan
penanaman modal ini tentunya harus disertai dengan deregulasi beberapa paket
kebijakan untuk melancarkan jalan pihak swasta dalam menanamkan modalnya.
Kaitannya dengan bidang agro-industri adalah masalah pengadaan tanah harus
menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan mengenai penguasaan
tanah pada periode ini tujuannya semata-mata untuk mempermudah perusahaan-
perusahaan swasta asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) untuk mendapatkan
hak atas tanah.
Mula-mula dikeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kedudukan dan fungsi
Derektorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Badan Pertanahan
Nasional lewat Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Setelah itu, untuk merangsang investasi dalam kaitannya dengan pembiayaan
pembangunan, pemerintah perlu menyediakan kawasan industri dengan berbagai
kemudahannya lewat Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Pada
perkembangan selanjutnya penyediaan kawasan industri ini menemui hambatan-
hambatan terutama mengenai penyediaan lahan sebagai kawasan industri. Selain itu
peraturan-peraturan yang ada mengenai pembebasan hak atas tanah111 memunculkan
reaksi dari berbagai pihak sehingga dapat menghambat proses pembangunan. Untuk
menjawab permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Ketiga keputusan presiden di atas mewakili kebijakan mengenai penguasaan
tanah pada periode tahun 1984-1990-an. Adapun karateristik atau watak dari ketiga

111
Permendagri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah, Permendagri No. 2 Tahun 1976 tentang Pengunaan Acara Pembebasan Tanah
Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta, dan Permendagri No. 2
Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah
Kecamatan.

79
aturan hukum ini, dipetakan menjadi dua karakter, yaitu: Pertama, bersifat defensif-
reaktif, artinya peraturan yang dikeluarkan bersifat reaksioner terhadap berbagai
sengketa agraria yang muncul. Kasus-kasus pertanahan semata-mata hanya dianggap
sebagai persoalan administratif belaka. Kedua, sebagaimana periode sebelumnya,
pada periode ini sifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal
tetap bertahan.
Karateristik tersebut terlihat jelas dari rumusan-rumusan di dalam konsiderans
maupun materi muatannya. Misalnya, di dalam Konsiderans Menimbang Keppres
No. 26 Tahun 1988 disebutkan: ”bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
adanya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan tanah...dirasakan makin
meningkat; bahwa dengan meningkatnya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan
tanah...meningkat pula permasalahan yang timbul di bidang pertanahan. Dalam
Konsiderans Menimbang Keppres No. 53 Tahun 1989 disebutkan: ”bahwa dalam
rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri maupun untuk ekspor, dipandang perlu untuk mengatur pengusahaan
kawasan industri secara produktif dan efisien, kemudian dalam Pasal 2 disebutkan
tujuan dari pembangunan kawasan industri, yaitu: (a) mempercepat pertumbuhan
industri, (b) memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, (c) mendorong kegiatan
industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, dan (c) menyediakan fasilitas lokasi
industri yang berwawasan lingkungan.
Sedangkan di dalam Keppres No. 55 tahun 1993, rumusan mengenai
kepentingan umum tetap menjadi issu krusial. Menurut Michail G. Kitay, dalam
bukunya ”Land Acquisition in Developing Countries”, pada umumnya terdapat dua
cara untuk mengungkapkan tentang doktrin kepentingan umum itu, yaitu: Pertama,
pedoman umum, yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah harus
berdasarkan kepentingan umum. Istilah kepentingan umum yang dipakai dapat
bervariasi, dan sesuai dengan sifatnya sebagai pedoman, maka hal ini mudah
menyebabkan kebebasan eksekutif untuk menyatakan suatu proyek memenuhi
kepentingan umum dimasyarakat dengan menafsirkan pedoman tersebut. Kedua,
penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas
mengidentifikasikan tujuannya (list provitions).112

112
Michael G Kitay. Land Acquisition In Developing Countries. Lincoln Institute of Land
Policy, Boston, dikutip oleh Maria S.W. Sumardjono. Anatomi Keppres 55 Tahun 1993

80
Pada Pasal 1 angka 3 kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan
seluruh lapisan masyarakat, sedangkan pembangunan untuk kepentingan umum di
dibatasi pada: (i) kegiatan pembangunan yang dilakukan dan (ii) selanjutnya dimiliki
Pemerintah serta (iii) tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Selanjutnya
batasan ini disertai dengan penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar
kegiatan (list provision).113 Tetapi rumusan norma ini menjadi kabur dengan
dirumuskannya Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam daftar kegiatan sebagaimana
diatur pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Dengan demikian, semua Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan
mengenai penguasaan tanah pada periode ini ditujukan untuk mempermudah
perolehan tanah dalam hal penanaman modal demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Hal ini tidak selaras dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan
totaliterisme.

3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (1998–2006)


Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Reformasi berjumlah 6
peraturan, yang dibagi dalam dua periodesasi, yaitu: (1) Periode desentralisasi
kewenangan pertanahan, dan (2) Periode resentralisasi kewenangan pertanahan.
Adapun Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji adalah sebagai berikut:
1. Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Kebijaksanaan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan
Landreform.

TentangPengadaan Tanah. Dalam Untoro Hariadi & Masruchah (editor). 1995. Tanah, Rakyat dan
Dmokrasi. Forum LSM-LPSM DIY, Yogyakarta, hlm. 105.
113
Daftar kegiatan kepentingan umum tersebut adalah: (a) Jalan umum, saluran pembuangan
air; (b) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; (c) Rumah Sakit
Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; (d) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal; (e)
Peribadatan; (f) Pendidikan atau sekolahan; (g) Pasar Umum atau Pasar INPRES; (h) Fasilitas
pemakaman umum; (i) Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar lain-lain bencana; (j) Pos dan Telekomunikasi; (k) Sarana Olah Raga; (l) Stasiun
penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; (m) Kantor Pemerintah; (n) Fasilitas Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 3, dan Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 tahun
1993.

81
2. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Bidang Pertanahan.
3. Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
5. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Peraturan Perundang-undangan mengenai penguasaan tanah pada era
Reformasi dibagi atas dua periodesasi yaitu periode tahun 1998–2003 dan periode
tahun 2004–2006, namun analisisnya akan ditulis dalam satu kerangka, mengingat
issu yang muncul pada era pemerintahan reformasi masih dalam satu issu pokok
yaitu apakah desentralisasi atau sentralisasi di bidang pertanahan selaras dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

a. Periode Desentralisasi Kewenangan Pertanahan (1998 – 2003)


Pada periode ini Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah,
1. Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Kebijaksanaan Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka
Pelaksanaan Landreform,
2. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan
Otonomi Daerah dibidang Pertanahan, dan;
3. Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan.
Satu tahun setelah Reformasi Mei 1998, tepatnya tanggal 7 Mei 1999
ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan
memberikan kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Aturan hukum ini sangat berbeda dengan aturan hukum sebelumnya tentang
pemerintahan daerah. Perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan ini

82
membawa implikasi pada perubahan pranata dan struktur pemerintahan daerah, yang
salah satunya adalah perubahan-perubahan kewenangan di bidang pertanahan. Hal
ini merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, sebagai
berikut:
a. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam
Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
b. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga
kerja.
Dalam rangka merespon perubahan-perubahan yang menjadi tuntuan reformasi
di bidang pertanahan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 48 Tahun 1999 yang mengamanatkan pembentukan Tim Pengkajian
Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan
Landreform. Keppres ini di dasari pada kondisi Peraturan Perundang-undangan di
bidang pertanahan yang berlaku belum sepenuhnya sejalan dengan UUPA dan belum
mendukung terciptanya penguasaan dan pemanfaatan tanah yang sesuai dengan
nilai-nilai kerakyatan dan norma-norma yang berkeadilan sosial. Tim ini selanjutnya
disebut Tim Landreform dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 3 Keppres tersebut, yakni:
a. Melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan;
b. Melakukan pengkajian dan penelaahan terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
landreform;
c. Menyusun dan merumuskan kebijaksanaan dan rancangan peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk terlaksananya Landreform.
Secara tersirat Keppres tersebut di atas menginginkan dilaksanakannya
landreform dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi seluruh peraturan
perundang-undangan bidang pertanahan dengan UUPA, sekaligus merumuskan

83
kebijaksanaan dan rancangan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan
landreform.
Pada level kelembagaan penyesuaian dilakukan dengan merubah Keppres No.
26 Tahun 1988 tentang BPN dengan Keppres No. 154 Tahun 1999 tentang
Perubahan Keppres No. 26 Tahun 1988. Perubahan ini berkaitan dengan Pasal 11
UU No. 22 tahun 1999, yang menetapkan kewenangan di bidang pertanahan ada
pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka dari itulah materi muatan pasal
perubahan dari Keppres No. 154 adalah mengembalikan pimpinan Badan Pertanahan
kepada Menteri Dalam Negeri, seperti yang dirumuskan dalam Pasal I dan Pasal II.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang
Badan Pertanahan Nasional diubah sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai


berikut:
(1) Badan Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden ini selanjutnya
disebut Badan Pertanahan adalah Lembaga Pemerintah Non-departemen
yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
(2) Badan Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala, yang dijabat oleh
Menteri Dalam Negeri.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala dibantu oleh seorang Wakil
Kepala."

Pasal II
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, Menteri Dalam Negeri selaku
Kepala Badan Pertanahan segera mengambil langkah-langkah penyesuaian
tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam kaitannya dengan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.

Seharusnya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang telah diuraikan


di atas, penyerahan dan peralihan kewenangan di bidang pertanahan dari pemerintah
kepada daerah Kabupaten/Kota sudah dapat dilaksanakan, apalagi jika merujuk pada
penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
“Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan
sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu,
penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui
pengakuan oleh Pemerintah”. Selanjutnya penjelasan ayat (2) menegaskan pula
bahwa: “…untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan

84
pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib
melaksanakan kewenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini,
sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing…”.
Arti dari kata-kata “melalui pengakuan oleh pemerintah” menurut hemat
penulis merupakan syarat terjadinya peralihan kewenangan, jadi tidak adanya
pengakuan berarti tidak adanya penyerahan atau peralihan kewenangan, dan wujud
pengakuan tersebut berkaitan erat dengan norma hukum pada Pasal 8 ayat (1) yang
menyatakan bahwa: “Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah
dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan
kewenangan yang diserahkan tersebut”. Dengan demikian, penyerahan dan peralihan
kewenangan pemerintah kepada daerah melalui pengakuan yang dilakksanakan
dalam bentuk penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan.114
Persoalan lain muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom yang secara tidak langsung justru mengaburkan pelaksanaan
otonomi daerah khususnya kewenangan di bidang pertanahan yang menjadi tidak
jelas oleh rumusan Pasal 2 ayat (3) angka 14 PP No. 25 Tahun 2000. Pasal 2 ayat (3)
angka 14 PP No.25 Tahun 2000 yang mengatur tentang kewenangan pemerintah
pusat dibidang pertanahan, meliputi:
1. Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah
2. Penetapan persyaratan landreform
3. Penetapan standar administrasi pertanahan
4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan
5. Penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan
pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Orde I dan II

.
114
Pada kenyataannya, pengakuan dalam bentuk pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia tidak pernah dilaksanakan oleh Kepala BPN. Fakta tersebut mengandung
kenyataan bahwa penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota tidak ada pengakuan dari pemerintah. Artinya kewenangan di bidang pertanahan masih
tetap ada pada pemerintah, yang dilaksanakan oleh BPN baik dipusat maupun di daerah, dengan
kantor wilayah ditiap Propinsi dan ditingkat Kabupaten/Kota. Hal ini semakin rancu dengan
munculnya pembentukan Dinas Agraria/Pertanahan ditingkat Kabupaten/Kota. Lihat dalam: Boedi
Harsono. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.
Djambatan, Jakarta, hlm. XXXVI–XXXVIII.

85
PP No. 25 Tahun 2000 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dibidang
Pertanahan. Keppres ini hanya terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 1 dan 2, adapun
materi inti dari Keppres ini dirumuskan pada Pasal 1 sebagai berikut:
Sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang
pertanahan, berlaku Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada.

Keppres ini sebenarnya diposisikan sebagai jawaban pemerintah atas sikap


pesimistik yang ditunjukkan beberapa kalangan dalam kaitannya dengan
desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan. Karena proses otonomi daerah yang
telah berjalan dua tahun dan telah melahirkan landasan hukum yang penting bagi
penyelenggaraan otonomi di bidang pertanahan ternyata belum mampu memenuhi
tuntutan masyarakat, terutama tuntutan-tuntutan penyelesaian sengketa pertanahan.
Hal ini diakibatkan karena masih adanya tarik ulur kewenangan pertanahan
(inconsistence).
Tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyerahan kewenangan
pertanahan kepada daerah semakin jelas dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 62 Tahun 2001, yang mana salah satu ketentuannya menyatakan bahwa:
”Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap
dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya 2 (dua) tahun”.115
Dengan demikian sampai pada titik ini terjadi ambivalensi kebijakan mengenai
kewenangan bidang pertanahan yang berpangkal tolak pada UU No. 22 Tahun 1999,
yang mengakibatkan instabilitas pelayanan di bidang pertanahan. Kesimpulannya,
apa yang ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai penyerahan
kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten/Kota belum terlaksana
terlaksana namun telah keluar peraturan perundang-undangan baru yang muatannya
bertentangan dengan semangat otonomi daerah di bidang pertanahan yang
diamanatkan oleh UU No.22/99.

115
Pasal I "Pasal 109 Ayat (6).

86
Kebekuan terhadap aturan hukum mengenai penyerahan kewenangan
pertanahan, dipecahkan dengan kemunculan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini merupakan
pelaksanaan dari TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Jika kita hubungkan dengan ketentuan Pasal I jo “Pasal 109 ayat (6) Keppres
No. 62 Tahun 2001, maka terkesan bahwa lahirnya Keppres No. 34 Tahun 2003
merupakan jawaban dari pelaksanaan penyerahan kewenangan bidang pertanahan
kepada daerah, hal ini dapat disimak dari Pasal 2 ayat (1) dan (2) Kepres No. 34
Tahun 2003:
(1) Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten /Kota.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. pemberian ijin lokasi;
b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
c. penyelesaian sengketa tanah garapan;
d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan;
e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
h. pemberian ijin membuka tanah; dan
i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Meskipun demikian, Keppres No. 34 Tahun 2003 tetap menyisakan pekerjaan


rumah, yaitu mengamanatkan kepada BPN untuk melakukan langkah-langkah
percepatan dalam hal penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan
UUPA dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta Peraturan
Perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan dan pelaksanaan paling lambat
tanggal 1 Agustus 2004 (Pasal 1 dan 4 Keppres No. 34 tahun 2003). Seharusnya
pekerjaan rumah ini sudah dapat diselesaikan oleh pemerintah dalam kurun waktu
dua tahun (2001-2003), sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal I jo ”Pasal
109 ayat (6) Keppres No. 62 Tahun 2001. Artinya, pemerintah dalam hal ini BPN
telah gagal menyusun seluruh Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan
dalam rangka desentralisasi di bidang pertanahan.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa karateristik Peraturan Perundang-undangan
pada periode tahun 1998–2003 bersifat pragmatis-reaktif, dan parsial. Artinya

87
peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu
yang secara integral berkesinambungan dan sistematis.
Dampak dari karakter hukum sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan
tatanan hukum yang disharmoni atau tidak ada kesinkronan diantara produk hukum
yang dihasilkan. Hal tersebut mencerminkan tidak adanya konsistensi (ambivalence)
pemerintah, sehingga terkesan pembentukannya sarat dengan kepentingan jangka
pendek. Dalam bidang pertanahan hal ini menjadi faktor yang menghambat proses
penyelesaian sengketa pertanahan karena prosedurnya dan kewenangannya menjadi
tidak jelas.

b. Periode Resentralisasi Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006)


Pada periodesasi Resentralisme Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006),
Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah:
1. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
2. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
3. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Kajian Peraturan Perundang-undangan pada periode ini meliputi dua issu
pokok yang dominan pada saat itu, yaitu, Pertama, mengenai ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang mendapat sorotan tajam dan ditolak
dari berbagai kalangan melalui aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indoensia,
bahkan Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Sekretaris Kabinet
meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut. Peraturan ini kemudian dirubah
dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Kedua, mengenai ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang BPN yang aromanya sangat kental
sekali ingin mengembalikan kewenangan bidang pertanahan secara sentralisme,
berkaitan dengan perubahan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004.
Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 merupakan peraturan
pengganti dari Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1993. Jika ditelusuri

88
secara vertikal Perpres No. 36 Tahun 2005 merupakan turunan dari UU No. 20
Tahun 1961 tentang Pecabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di
atasnya yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 18 UUPA. Dilihat dari
semangatnya Perpres No. 36 Tahun 2005 sebenarnya hanya merupakan kelanjutan
dari Keppres No. 55 Tahun 1993 yang tujuannya semata-mata untuk mempermudah
dan melancarkan para investor dalam mendapatkan hak atas tanah. Apalagi disinyalir
keluarnya Perpres ini adalah sebagai komitmen pemerintah untuk memfasilitasi hasil
infrastructure summit (Januari 2005). Pada pertemuan tersebut, pemerintah
mengundang investor luar negeri untuk mencari sumber pembiayaan yang dapat
menutupi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Pada Konsiderans Perpres No. 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa,
penetapannya (Perpres No. 36 Tahun 2005-pen) didasarkan pada realitas
meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang berjalan pararel dengan
kebutuhan akan tanah, maka dari itu pengadaan akan tanah perlu dilakukan secara
cepat dan transparan. Juga dinyatakan, bahwa Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah
tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan
untuk kepentingan umum.
Beberapa kalangan menganggap bahwa, alasan penggantian Keppres No.
55/1993 sebagaimana yang dinyatakan dalam pertimbangan Perpres No. 36/2005,
adalah karena Keppres No. 55/1993 terlalu lunak, alias kurang represif ditengah
kondisi masyarakat yang mulai kritis akan hak-haknya. Hal ini diprediksi akan
menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kedepan, oleh karena itu
Keppres tersebut perlu diganti dengan peraturan yang lebih represif.116 Hal ini dapat
dibaca pada Pasal 2 ayat (1) Keppres tersebut :”...semata-mata hanya digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum”. Namun, batasan pengadaan tanah yang di atur dalam Perpres
sangat luas sekali, serta tidak jelas batasannya. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 1
angka 3 Perpres, yaitu;
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,

116
Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”. Harian
Kompas, tanggal 25 Juni 2005.

89
bangunan, tanaman, dan .benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau
dengan pencabutan hak atas tanah”.
Makna kata ”pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah” dapat ditasirkan pengadaan tanah tidak semata-mata untuk pembangunan,
tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum.
Selain itu, watak represif dari Perpres ini juga dapat dilihat dari cara
merumuskan ketentuan yang mengatur tata cara pengadaan tanah. Tata cara
pengadaan tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres, dirumuskan sebagai berikut:
“”Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara: a. pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah, atau; b. pencabutan hak atas tanah.
Khusus mengenai tata cara pencabutan hak atas tanah (Pasal 2 ayat (1) huruf b)
dilakukan berdasarkan UU No. 20 tahun 1961.117 Dalam hal ini, rumusan di dalam
Keppres sedikit lebih lunak, yaitu: ”pengadan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.118 Walaupun kemudian Keppres juga
mengadopsi cara pencabutan hak atas tanah yang dirumuskan pada Pasal 21. Tetapi
menurut hemat penulis ada semangat yang berbeda dilihat dari strategi (seni)
perumusannya. Perpres lebih menonjolkan semangat represif, hal ini dapat telihat
dari penempatan ketentuan tersebut pada pasal awal (Pasal 2). Sedangkan Keppres
menempatkan ketentuan tersebut dipasal akhir (Pasal 21), ini dapat diartikan bahwa
pelaksanaan pengadaan tanah dengan cara pencabutan hak atas tanah merupakan
pilihan terakhir dan dalam kondisi yang sangat terpaksa, sesuai dengan peraturan
induknya yaitu UU No. 20 Tahun 1961 yang merumuskan syarat pencabutan hak
atas tanah pada Pasal 1, dengan rumusan sebagai berikut:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Inilah yang disebut dengan seni membuat peraturan, sebagaimana yang pernah
diungkapkan oleh Opzoomer (Nederland) di tahun 1873:”Er is geen kunst, die ment

117
Lihat: Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 18 Perpres No. 36 Tahun 2005.
118
Lihat: Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 55 Tahun 1993.

90
bij ons minder veerstaat dan den kunst van wetgeving” (di negara kita tidak ada
suatu kesenian yang kurang kita pahami selain seni membuat undang-undang).119
Selanjutnya jika diperhatikan benar-benar apa yang diuraikan di atas ini, maka
merancang undang-undang itu tidak hanya merupakan soal pengetahuan saja, akan
tetapi ada pula soal seninya. Disamping harus mengetahui secara mendalam masalah
yang akan diatur (soal pengetahuan), kecakapan menguraikan bagian-bagian yang
essensiil adalah soal seni meng-ikhtisarkan (samenvatten), sehingga peraturan itu
tidak hanya cukup memberi kepastian, tetapi juga membuka peluang bagi
perkembangan dimasa yang akan datang, sebagaimana yang diinginkan oleh
praktek.120
Materi lainnya yang menjadi issu krusial dalam Perpres ini adalah masalah
rumusan kepentingan umum.121 Keppres 55/1993 membatasi arti kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum yang boleh dilakukan adalah yang
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari
keuntungan. Sedangkan Perpres 36/2005 pada Pasal 5, hanya menyebutkan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah, tidak
disebutkan apakah bangunan yang dibangun tersebut untuk selanjutnya akan dimiliki
oleh pemerintah atau tidak, serta digunakan untuk mencari keuntungan. Artinya bisa
saja pembangunan yang dimaksud selanjutnya tidak dimiliki oleh pemerintah
(swasta) dan digunakan untuk mencari keuntungan.122
Selain itu, masalah ganti rugi yang diselesaikan melalui musyawarah yang
dibatasi waktunya paling lama 90 hari jelas akan berbenturan dengan rasa keadilan
yang ada dimasyarakat. Karena jika lewat dari jangka waktu ini, maka panitia
pengadaan tanah akan menetapkan besaran ganti rugi dan dititipkan kepada
pengadilan negeri sementara pelepasan atau pencabutan hak akan tanah akan terus
berlangsung. Penitipan ganti kerugian di pengadilan sebelum adanya kesepakatan

119
Irawan Soejito. 1988. Teknik Membuat Undang-Undang. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.
13.
120
Ibid., hlm. 17.
121
Rumusan Kepentingan Umum dalam Keppres maupun Perpres disertai dengan penyebutan
kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya (list
provitions). Keppres menyebutkan 14 (empat belas) kegiatan, sedangkan Perpres mengidentifikasi 21
(dua puuh satu) kegiatan. Untuk lebih jelasnya dapat dibandingkan dengan melihat Pasal 5 Keppres
No. 55 Tahun 1993 dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 20065.
122
Fajrimei A Gofar. Op.cit.

91
kedua belah pihak nyata-nyata merupakan bentuk pemaksaan oleh pemerintah
terhadap warganegaranya.123
Pada perkembangan selanjutnya, setelah ditolak dari berbagai kalangan melalui
aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indonesia, Perpres Nomor 36 Tahun 2005
diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Perubahan-perubahan Perpres
36/2005 yang dituangkan ke dalam Perpres 65/2006 mencakup 11 (sebelas) poin
dengan dua pasal penambahan yaitu Pasal 7A dan Pasal 18A. Perubahan-perubahan
di maksud langsung mendapat respon dari berbagai pihak, dan sebagian besar
memandang Perpres 65/2006 secara substansi tetap berpihak pada kepentingan
modal (capital), khususnya bidang infrastruktur.
Sebagai contoh, perubahan pada ”Pasal 1 angka 3 yang sebenarnya hanya
mengembalikan ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Keppres 55/1993. Secara
umum perubahan-perubahan pada Perpres 65/2006 sebatas pada tampilannya saja
(appearance), dibuat terkesan agak lunak atau terlihat tidak se-represif dari
sebelumnya. Namun, pasal-pasal yang bermasalah masih tetap dipertahankan, seperti
pembatasan waktu musyawarah hanya diubah kuantitasnya dari 90 (sembilan puluh)
hari menjadi 120 (seratus dua puluh) hari. Jika dalam waktu yang telah ditentukan
tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka panitia pengadaan tanah tetap dapat
langsung menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya lokasi tanah yang bersangkutan.124 Selain
itu, secara kualitas proses musyawarahnya sendiri tetap tidak seimbang, walaupun
pasal yang mengatur tentang panitia pengadaan tanah telah diubah. Perubahan pasal
ini hanya menambahkan unsur Badan Pertanahan Nasional ke dalam panitia
pengadaan tanah, artinya peserta musyawarah tetap didominasi oleh pihak yang
menginginkan tanah, yaitu: (i) pemegang hak atas tanah, (ii) pihak yang
menginginkan tanah (pemerintah) dan (iii) mediator yaitu panitia pengadaan tanah
yang terdiri dari perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional
(Pemerintah).125 Prakteknya, proses musyawarah dengan kondisi di atas menjadi bias
dan cenderung manipulatif, dikarenakan lemahnya posisi tawar rakyat (pemegang
hak atas tanah) yang tanahnya terkena proyek pengadaan tanah untuk pembangunan
terhadap keinginan pemerintah.
123
Pasal 10 Perpres No. 36 Tahun 2005.
124
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 36 Tahun 2006.
125
Pasal 6 ayat (5) Perpres No. 65 Tahun 2006.

92
Pembahasan mengenai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004. Uraian
selanjutnya berkaitan erat dengan peralihan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32
Tahun 2004. Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa periode tahun 1998– 2003
telah terjadi inkonsistensi terhadap aturan hukum yang mengatur desentralisasi
kewenangan di bidang pertahanan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22
Tahun 1999. Inkonsistensi ini relatif dapat dicairkan dengan ditetapkannya
Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan pada bulan Mei 2003, yang memberikan sembilan kewenangan
pemerintah di bidang pertanahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah
Kabupaten/Kota.126
Pada periode 2004–2006 muncul permasalahan, yaitu ditetapkannya Perpres
No. 10 Tahun 2006 yang mengembalikan kewenangan di bidang pertanahan
sepenuhnya menjadi urusan pemerintahan pusat (resentralisme). Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 Perpres tersebut: ”Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan
sektoral”. Pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak mempunyai
kewenangan lagi atas bidang pertanahan, karena semua tugas yang berhubungan
dengan bidang pertanahan diatur dari pusat lewat Badan Pertanahan Nasional secara
nasional, regional maupun sektoral. Dari sisi lain, peraturan perundang-undangan
mengenai penguasaan tanah pada periode tahun 2004–2006 berkarakter represif.
Terdapat perbedaan dalam pengaturan penyerahan kewenangan di bidang
pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan yang menjadi
urusan wajib Pemerintahan Propinsi dalam skala Propinsi meliputi: ”k. pelayanan
pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota”.127 kewenangan yang menjadi urusan
wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota yang berskala Kabupaten/Kota meliputi: ”k.
pelayanan pertanahan”.128 Sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menyatakan, bahwa
bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota meliputi: ”...pertanahan..”, tanpa disertai dengan kata pelayanan.129 Ketentuan

126
Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 34 Tahun 2003.
127
Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
128
Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
129
Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999.

93
ini diberikan penjelasan bahwa: ”Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa
Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya
kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-
masing. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota tidak dapat
dialihkan ke Propinsi.”
Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada Kabupaten dan Kota
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, dipandang sebagai suatu perubahan yang besar
dalam pelaksanaan hukum tanah nasional dan menjadi bagian dari urusan
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Meskipun demikian,
perubahan yang diusung oleh UU No. 22 Tahun 1999 tersebut masih bersifat
kedaerahan, tidak bersifat nasional secara utuh. Dari segi lingkup kewenangan,
sebenarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam hal penyerahan kewenangan di bidang
pertanahan kepada pemerintah daerah (Pemerintah Kabupaten/ Kota), lebih luas jika
dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sebaliknya, UU No. 32 Tahun 2004
telah mereduksi kewenangan bidang pertanahan menjadi sebatas pelayanan
pertanahan.

94
BAB IV
ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN

A. Aturan Hukum Sektor Kesehatan

Aturan pokok bidang kesehatan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 23


Tahun 1992 tentang Kesehatan (LNRI Tahun 1992 Nomor 100), mulai berlaku pada
17 September 1992, selanjutnya disingkat UU No. 23/1992. UU kesehatan ini
menyempurnakan dan mengintegrasikan perangkat hukum yang sudah ada, yang
pengaturan hukumnya mencakup:
1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan
kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa
membedakan status sosialnya;
2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang
optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan;
3. Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah mengatur,
membina, dan mengawasai penyelenggaraan upaya kesehatan serta
menggerakkan peran serta masyarakat;
4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan;
5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaran upaya
kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya,
dengan pengertian bahwa sarana pelayanan kesehatan harus tetap
memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak
semata-mata mencari keuntungan;
6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan
kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
Berdasarkan Penjelasan Umum, UU No. 23/1992 hanya mengatur hal-hal yang
bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis operasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Sejumlah pasal memerlukan
Aturan pelaksanaan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:

1. Pasal 15, mengenai tindakan medis tertentu yang boleh dilakukan dalam
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil atau
janinnya.
2. Pasal 16, mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alami sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat
keturunan.

95
3. Pasal 21, mengenai pengamanan makanan dan minuman untuk melindungi
masyarakat dari manakan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan.
4. Pasal 22, mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan untuk
mewujudkan kualitas hidup yang sehat.
5. Pasal 23, mengenai penyelenggaraan kesehatan kerja untuk mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal;
6. Pasal 27, mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya untuk
mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal, baik intelektual maupun
emosional.
7. Pasal 34, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi
organ atau jaringan tubuh oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
8. Pasal 35, mengenai syarat dan tata cara transfusi darah oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
9. Pasal 36, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaran implan obat atau
alat kesehatan ke dalam tubuh manusia oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana
kesehatan tertentu.
10. Pasal 37, mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
11. Pasal 38, mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat guna meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk
hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan.
12. Pasal 43, mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
13. Pasal 44, mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungannya.
14. Pasal 45, mengenai kesehatan sekolah untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat,
sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara
optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
15. Pasal 46, mengenai kesehatan olah raga untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olah raga.
16. Pasal 47, mengenai pengobatan tradisional sebagai upaya pengobatan dan
atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan.
17. Pasal 48, mengenai kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya
kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam
lingkungan matra yang selalu berubah.
18. Pasal 50, mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan yang
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai

96
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
19. Pasal 52, mengenai penempatan tenaga kesehatan dalam rangka
pemerataan pelayanan kesehatan.
20. Pasal 53, mengenai standar profesi tenaga kesehatan dan hak-hak pasien
sebagai bentuk perlindungan hukum tenaga kesehatan dan pasien.
21. Pasal 58, mengenai sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang harus berbentuk badan hukum.
22. Pasal 59, mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraan
sarana kesehatan.
23. Pasal 63, mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan,
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu.
24. Pasal 64, mengenai perbekalan kesehatan yang dilakukan agar dapat
terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
perbekalan lainnya terjangkau oleh masyarakat.
25. Pasal 66, mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat yang dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha bersama
dan kekeluargaan.
26. Pasal 69, mengenai penelitian, pengembangan, dan penerapan
hasil penelitian yang harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan
dan keselamatan serta norma yang berlaku dalam masyarakat dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
27. Pasal 70, mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan yang
dilakukan dengan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan
atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.
28. Pasal 71, mengenai syarat dan tata cara peran serta masyarakat di bidang
kesehatan.
29. Pasal 75, mengenai kewenangan Pemerintah dalam pembinaan terhadap
semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.
30. Pasal 78, mengenai kewenangan Pemerintah melakukan pengawasan
terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya
kesehatan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta.

Selain Peraturan Pemerintah, UU No. 23/1992 juga memerintahkan pengaturan


di bidang kesehatan lebih lanjut dalam bentuk Keputusan Presiden, yaitu:
1. Pasal 55, mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan yang berwenang menentukan ada tidaknya
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan
profesinya;
2. Pasal 72, mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja
Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional.

Selanjutnya, UU No. 23/1992 juga merujuk pengaturan di bidang kesehatan


kepada aturan hukum positif lainnya, yaitu:

97
1. Pasal 31, mengenai pemberantasan penyakit menular dengan upaya
penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, penghilangan sumber dan
perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.
2. Pasal 41, mengenai penyitaan dan pemusnahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak
memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
3. Pasal 51, mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
4. Pasal 55, mengenai ganti rugi kepada setiap orang akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

Dalam melakukan inventarisasi terhadap aturan hukum positif di bidang


kesehatan, perlu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU No.
10/2004). Berdasarkan hasil inventarisasi, ditemukan aturan hukum positif di bidang
kesehatan, antara lain:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1. Pembukaan alinea keempat, yaitu:
”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa,...keadilan sosial...”.
2. Pasal 28 H ayat (1), yaitu:
“Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
3. Pasal 34 ayat (3), yaitu:
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan untuk
setiap orang yang berhak memperoleh pelayanan kesehatan tersebut”.

Undang-Undang, meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah;
7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional;

Peraturan Pemerintah, meliputi:


1. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah
Dokter Indonesia;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan;

98
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah.

Peraturan Menteri, meliputi:


1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ MENKES/PER/XII/1986
tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/ MENKES/PER/II/1988
tentang Rumah Sakit;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84/ MenKes/II/Per/1990 tentang
Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta Pemodal;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang
Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/ MENKES/PER/IV/1993
tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat-alat Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1173/ MENKES/PER/X/2004
tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/ MENKES/PER/IV/2007
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/ MENKES/PER/III/2008 tentang
Rekam Medis.

Keputusan Menteri, meliputi:


1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/ MenKes/SK/XII/1987
tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/ MenKes/SK/XI/1992 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum;
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/ MENKES/SK/III/1993 tentang
Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 595/ MenKes/SK/VII/1993 tentang
Standar Pelayanan Kesehatan.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/SK/XII/1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 772/ MENKES/SK/VI/2002 tentang
Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaw);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 004/ MENKES/SK/I/2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/ Menkes/SK/II/2004 tentang
Sistem Kesehatan Nasional;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 756/ MENKES/SK/VI/2004 tentang
Tim Persiapan Liberalisasi Perdagangan Jasa di Bidang Kesehatan;

99
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/ MENKES/SK/X/2004
tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631/ MENKES/IV/2005 tentang
Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis;
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/ Men.Kes/SK/VIII/2005
tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas,
Rujukan Rawat Jalan dan Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit yang
Dijamin Pemerintah;
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/ Menkes/SK/II/2006 tentang
Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Label Obat;
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 332/ Men.Kes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin;
16. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang
Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit;
17. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 720/ MENKES/SK/IX/2006 tentang
Harga Obat Generik;
18. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/SK/II/2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.

B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan


Secara leksikografi, desentralisasi adalah pembalikan dari konsekuensi
administrasi pada satu pusat sekaligus ”pemberian” kekuasaan kepada daerah. Oleh
karena itu, desentralisasi menunjuk pada distribusi kekuasaan secara teritorial
(spatial), yang umumnya menjadi fokus dalam suatu negara kesatuan. Konsekuensi
hukum desentralisasi, pelaksanaannya dapat dilakukan dengan penyerahan
kewenangan dan/atau urusan kepada Pemerintah Daerah yang lebih rendah
tingkatannya. Pada sisi hukum positif, Pasal 1 UU No. 32/2004 memaknai
desentralisasi kesehatan sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan oleh
Pemerintah (Pusat) kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Berdasarkan hukumk positif, NKRI telah ”memilih” untuk menyerahkan
sebagian kewenangannya kepada daerah otonom. Kewenangan yang didelegasikan
tersebut sangat luas, sebab UU No. 32/2004 menggunakan sistem residu ketika
menentukan apa saja yang menjadi kewenangan daerah. Dengan sistem residu,
kewenangan-kewenangan pusat telah ditentukan secara jelas terlebih dahulu,
sedangkan sisanya merupakan kewenangan daerah otonom. Oleh sebab itu,

100
kewenangan di bidang kesehatan telah dijadikan kewenangan pemerintah daerah
otonom karena kewenangan itu tidak ditentukan sebgai kewenangan pemerintah
pusat. Hal ini pada satu sisi menguntungkan pemerintah daerah sebab dengan
menggunakan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengatur bidang kesehatan
sesuai aspirasi dan kemampuan yang dimilikinnya. Namun, di sisi lain pemberian
kewenangan yang didasarkan pada teritori ini telah mengakibatkan ”pengkotak-
kotakan” wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Akibatnya,
pelaksanaannya cenderung parsial dan hanya dilakukan pada teritori yang menjadi
wilayah kerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Padahal pelaksanaan pelayanan
dibidang kesehatan tidak mengenal batas wilayah (borderless), sehingga perlu
dilakukan secara komprehensif dan lintas batas wilayah. Satu contoh yang
menunjukkan borderless-nya kewenangan di bidang kesehatan adalah masalah
polusi, baik air, suara, maupun limbah. Ketika suara suatu industri yang terletak di
salah satu daerah mengeluarkan limbah yang mempengaruhi kondisi kesehatan di
daerah-daerah lain, pihak pemerintah daerah yang terkena dampak tidak mempunyai
kewenangan untuk menindak industri tersebut karena industri tersebut berkedudukan
di luar yurisdiksinya.130
Selain konflik dalam pengendalian dampak polusi industri lintas batas daerah
sebagaimana ditengarai di atas, ternyata juga terjadi konflik dalam pengawasan
rumah sakit di daerah sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantono merujuk
hasil penelitian mengenai reformasi sistem kesehatan yang dilakukan oleh Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM, sebagai berikut:
Kasus 1:
Di Kota S, seorang staf di dinas kesehatan kota mengeluh karena puskesmas
meminta otonomi. Dalam kenyataan memang sudah terjadi adanya pemberian
dana langsung dari pemerintah kota ke puskesma tanpa melalui dinas
kesehatan kota. Staf dinas kesehatan Kota S tersebut dengan nada pesimistis
menyatakan bahwa apa jadinya dinas kesehatan kota apabila puskesmas
menjadi otonom? Apa tugas dinas kesehatan kota di masa depan?

130
Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan Perundang-
undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih
baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.

101
Kasus 2:
Dalam suatu kegiatan penelitian ke Kabupaten X, ditemukan kepala dinas
kesehatan dan direktur rumah sakit daerah dalam rangka berdiskusi mengenai
perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah.

Berikut ini kutipan pernyataan dari kepala dinas kesehatan Kabupaten X


tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah:

”Setelah rumah sakit menjadi Lembaga Teknis Daerah, kami sulit masuk ke
rumah sakit. Sepertinya direject. Jadi, kami jalan sendiri-sendiri. Seksi rumah
sakit di Dinas sulit memeriksa rumah sakit dan kaim tidak tahu memeriksanya
dengan dasar apa?”

Adapun kutipan pernyataan dari Direktur rumah sakit daerah Kabupaten X


tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah, sebagai
berikut:

”Setelah kami menjadi Lembaga Teknis Daerah, Kepala Dinas mengacuhkan


kami. Proyek-proyek pengembangan kelembagaan tidak pernah masuk ke
rumah sakit. Peralatan radiologi Puskesmas saat ini malah lebih canggih
dibanding rumah sakit karena ada dana dari pusat. Kami tidak kebagian.
Rumah sakit seperti tempat pembuangan sampah tenaga kerja manusia. Ya
kami sama-sama tahu diri, jangan sampai konflik. Tetap menjaga perasaan
masing-masing”.

Kasus 3:
Dalam suatu pertemuan antar direktur rumah sakit swasta di Kota M, ada
pertanyaan menggelitik mengenai fungsi dinas kesehatan kota dan propinsi.
Sebenarnya apa fungsi mereka? Pada intinya direktur rumah sakit swasta
berharap bahwa dinas kesehatan dapat membantu mereka dalam
pengembangan sumber daya manusia, memberi subsidi, dan meningkatkan
mutu pelayanan. Akan tetapi harapan ini terlihat sulit dipenuhi. Salah satu
tandanya adalah perhatian dinas kesehatan terhadap rumah sakit tidaklah besar.
Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa sudah 4 bulan ini seksi pelayanan
di dinas kesehatan kosong karena pejabat lama, seorang perawat senior,
pensiun dan belum ada orang yang siap menggantikan”131.

Selain itu, berdasarkan laporan hasil Seminar Nasional Desentralisasi


Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin,
Universitas Gajah Mada, Unit Desentralisasi Departemen Kesehatan RI, dan World
Health Organization, di Makassar, pada 2005, dijelaskan ada beberapa hambatan
pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia, yaitu:

131
Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI,
Yogyakarta, hlm. 176.

102
1. Ada problem serius dalam kemampuan dan keterlambatan DEPKES dan
DINKES untuk menyusun peraturan yang mendukung desentralisasi;
2. Komitmen pemerintah pusat untuk mengembangkan peraturan dan standar
yang mendukung desentralisasi terlihat lemah;
3. Belum dilakukan pembagian urusan secara jelas dalam hubungan
pemerintah pusat dan propinsi/kabupaten/kota.
4. Kebijakan kesehatan di Indonesia cenderung menganggap semua daerah
sama. 132

Memperhatikan adanya kasus-kasus sebagaimana diungkapkan oleh Laksono


Trisnantoro dan adanya hambatan-hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di
Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh laporan hasil ”Seminar Nasional
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia” di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada
banyak konflik yang terjadi di dinas kesehatan dan rumah sakit di daerah yang perlu
segera diatasi agar pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan dapat terwujud
sesuai arahan normatif UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004.

C. Isu Hukum Aktual dalam Konflik Aturan Hukum Sektor


Kesehatan
Pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan berdasarkan UU No. 32/2004
dan UU No. 33/2004 hanyalah suatu konsep yang sangat ideal. Idealnya, konsep ini
disebabkan tidak adanya kesiapan Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan
maupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan ”hasil kesepakatan nasional” dalam
pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan. Pada tingkat nasional, Pemerintah
Pusat c.q. Departemen Kesehatan terlihat telah berupaya untuk mempertahankan
watak sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan.
Memperhatikan PP yang menjabarkan desentralisasi, dapat diuraikan bahwa
dalam kurun waktu lebih dari 2 (dua) tahun, terhitung sejak pembentukan UU No.
32/2004 sampai dengan tahun 2007 desentralisasi kesehatan masih mendasarkan
pada PP No. 25/2000 dan PP No. 8/2003 yang pembentukannya masih mengacu
kepada UU No. 22/1999, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
ketatanegaraan dan otonomi daerah. Saat ini, pascatahun 2007, ternyata Menkes

132
Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai Tingkat
Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Laporan, “Seminar Nasional 4 Tahun
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”, Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi
DEPKES RI, dan WHO, Makassar, 7-8-9 Juni 2005, hlm. 5-6.

103
belum juga menerapkan kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan
kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi di bidang kesehatan yang
diperintahkan oleh Pasal 1 UU No. 32/2004 jo. Pasal 2 ayat (4) huruf b dan Pasal 11
PP No. 38/2007 jo. Pasal 4 PERMENKES No. 1575/2005,133 sehingga menjadi
hambatan normatif bagi pemerintahan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam
menyusun Perda dan Kepkada yang substansinya secara teknis (untuk Perda
Propinsi) dan sangat teknis (untuk Perda Kota) menjabarkan fungsi dan
wewenangnya di bidang kesehatan.

Upaya Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan mempertahankan watak


sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan itu dilakukan
melalui beberapa aturan kebijakan sebagai aturan pelaksana desentralisasi di bidang
kesehatan yang secara tidak langsung mengurangi kewenangan Pemerintah Daerah,
antara lain, yaitu:

1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan


Pola Tarif Pelayanan Kesehatan

Pasal 2 angka 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/


MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan
fungsi sosial dalam bentuk pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan
rumah sakit diatur oleh direktur rumah sakit swasta sampai saat ini ketentuan atau
pedomannya ternyata belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI.

2. Ketidakkonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan


Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan

Terdapat ketidakkonsistenan aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksana


pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan, karena Pasal 71 UU No. 29/2004
jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang
Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit tidak memuat sanksi hukum yang tegas
terhadap rumah sakit yang tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan

133
Keharusan bagi PEMPUS untuk menetapkan kebijakan pengawasan dalam bentuk NSPK
perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi pelayanan kesehatan RSS-BHPT sebenarnya sudah
diperintahkan oleh PP yang lama, yaitu Pasal 9 ayat (2) PP No. 25/2000, yang seharusnya sudah
ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak pembentukan PP No. 25/2000
tersebut.

104
kesehatan. Selain itu, belum ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
yang menjabarkan Pasal 71 UU No. 29/2004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit
sebagai acuan bagi aparatur hukum pada Direktur Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, serta
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) setempat
dalam melakukan audit medis eksternal terhadap rumah sakit.

3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan


Kesehatan

Bentuk-bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan rumah sakit swasta yang


dijabarkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/
MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta,
ternyata mengandung kelemahan normatif jo. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1173/ MENKES/PER/X/2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut jis. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota jis. UU No.
32/2004 telah memberikan wewenang kepada Kepala Dinas Kesehtan Propinsi
setempat untuk menetapkan ketentuan besaran tarif pelayanan kelas III/kelas
terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, setelah berkonsultasi dengan
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) setempat, tetapi dalam
praktiknya tidak pernah direalisasikan.
Selanjutnya, terkait dengan Pasal 5 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit
Swasta yang mengharuskan RSS, termasuk RSS-BHPT, dalam melaksanakan
pembebasan atau keringanan biaya pelayanan kesehatan dalam rangka fungsi
sosialnya berdasarkan Surat Keterangan Kurang dan Tidak Mampu (SKTM) atau
bukti lain yang mendukung, juga terdapat kelemahan normatif, karena tidak ada
pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan pejabat/badan
berwenang dan mekanisme pemberian dan penggunaan SKTM atau bukti lain yang
mendukung tersebut.

105
4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan
Perizinan

Berdasarkan Pasal 4 huruf g Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/


MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan,
yang diperkuat oleh Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, Menteri Kesehatan mempunyai wewenang
menetapkan standar perizinan rumah sakit yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah. Namun, standar perizinan rumah sakit, ternyata belum ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
Menteri Kesehatan justru menerbitkan Surat Edaran Nomor
725/MENKES/E/VI/2004 yang isi pokoknya menyatakan bahwa sambil menunggu
proses penyelesaian Revisi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/
MENKES/PER/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang
Medik, maka perizinan rumah sakit ditentukan sebagai berikut: izin mendirikan
adalah wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, izin penyelenggaraan sementara
adalah wewenang Pemerintah Propinsi, dan izin penyelenggaraan adalah wewenang
Pemerintah Pusat. “Semangat resentralisasi” dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan
ini mengandung ketidakkonsistenan, ketidaksinkronan, dan menimbulkan konflik
kewenangan, karena menyimpangi asas desentralisasi kesehatan dalam UU No.
32/2004.

5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi

Secara yuridis pembentukan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/


MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit (selanjutnya
disingkat KEPMENKES No. 1165A/2004) tidak mengacu kepada UU No. 22/1999
dan PP No. 25/2000 (yang masih berlaku saat itu). Ini berarti bahwa Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES No.
1165A/2004, memang mengabaikan ”semangat desentralisasi”, yang menghendaki
agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota.

106
Menurut buku Pedoman Akreditasi Rumah Sakit (PARSI),134 keterlibatan
Dinas Kesehatan Propinsi dalam pembinaan praakreditasi rumah sakit hanya bersifat
”fakultatif”, sedangkan keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam pembinaan pascaakreditasi rumah sakit meskipun bersifat
”imperatif” tetapi fungsinya hanya ”asistensi” saja terhadap tugas pokok KARS.
Selain itu, pelibatan Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pembinaan
pra dan pascaakreditasi rumah sakit tidak berdasar hukum yang kuat, tetapi hanya
berdasarkan buku PARSI.

6. Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit


Medis Rumah Sakit

Ketidakjelasan ruang lingkup dan rincian fungsi dan tugas Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dalam pelaksanaan audit medis
eksternal di rumah sakit yang diatur dalam Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 74 UU No.
29/2004, ternyata tidak dijelaskan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Selain itu,
audit medis eksternal sifatnya hanya ”fakultatif”, yang pelaksanaannya tergantung
kepada sikap normatif Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI, IDI dan PDGI.

Selanjutnya, monitoring dan evaluasi pelaksanaan audit medis eksternal yang


diintegrasikan dengan akreditasi rumah sakit oleh KARS berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit
Medis di Rumah Sakit, telah menyimpangi ”asas desentralisasi” dalam UU No.
32/2004, yang menghendaki agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit
diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.

7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan


Sanksi Administrasi

Menurut Pasal 22 jis Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/


MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran jo. Pasal

134
Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi
Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta, hlm. 4, 5 dan 29.

107
77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota baru dapat mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter jika
pelanggaran kewajiban-kewajiban hukumnya dalam UU No. 23/1992 dan UU No.
29/2004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, telah terbukti
berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Artinya, pencabutan SIP dokter oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota hanya
bersifat ”deklaratif”, tidak konstitutif.

Jika MKDKI belum terbentuk baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi,
atau MKDKI telah terbentuk di tingkat pusat tetapi belum terbentuk di tingkat
propinsi, maka berdasarkan Pasal 83 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi di Tingkat Pertama dan Menteri Kesehatan di Tingkat Banding berwenang
memeriksa dan memutus kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter
berdasarkan pertimbangan Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi yang dibentuk
oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan. Namun, kelemahan
normatif timbul, karena: pertama, terdapat ketidakjelasan fungsi dan tugas para
pihak dalam proses pembuktian pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter dan
pengenaan sanksi administrasinya; kedua, Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi
itu sifatnya ”aksidental”, dan ”pasif”, yang hanya (akan) dibentuk oleh Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan jika ada pengaduan dari setiap orang
yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan karena pelanggaran kewajiban
hukum oleh dokter.

Selanjutnya, terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban-kewajiban


hukum dalam UU No. 23/1992 dan UU No. 29/2004 berikut aturan kebijakan
sebagai peraturan pelaksananya, maka berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992, dapat
dikenakan sanksi administrasi oleh Pemerintah. Namun, sanksi administrasi yang
diatur dalam menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/
MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di
Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993
tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, dan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi
di Rumah Sakit, adalah wewenang Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal

108
Pelayanan Medik untuk mengenakannya, mengandung ketidakkonsistenan dengan
”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 yang menghendaki agar wewenang
melaksanakan pengawasan berikut pengenaan sanksi administrasinya diserahkan
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah


Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah

Terdapat keterlambatan Pemerintah Daerah Propinsi/Kota/Kabupaten


membentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan
fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan dikarenakan norma, standar, prosedur
dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan
yang menjadi acuan hukumnya ternyata belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q.
Menteri Kesehatan, disebabkan oleh ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat
menegakkan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan PERMENKES No. 1575/2005, yang kemudian diperkuat
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Pemerintah Kota.

9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah)


Sektor Kesehatan

Fungsi steering dan regulating Depkes, dalam arti mengarahkan dan


menetapkan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK mengacu asas desentralisasi,
dalam UU No. 32/2004 ternyata belum tercermin dalam struktur organisasi Depkes
yang ditetapkan dalam Pasal 5 Permenkes No. 1575/2005. Meskipun ada Staf Ahli
Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, namun
perubahan yang bermakna belum terjadi. Hingga kini, direktorat jenderal khusus
yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebijakan dan strategi desentralisasi
kesehatan belum dibentuk dalam struktur organisasi Depkes. Padahal, ada 2 (dua)
fungsi penting Depkes yang memerlukan perubahan struktur Depkes terkait dengan

109
kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, yaitu: 1) pembinaan dan pengawasan
atas penyelenggaraan OTODA yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan, dan supervisi di bidang kesehatan; dan 2) penyelesaian
perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan.

Azrul Azwar, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Kesmas Depkes-RI,


menjelaskan bahwa sebenarnya sudah ada wacana mengubah struktur Depkes terkait
dengan desentralisasi kesehatan, namun hingga kini belum ada action yang nyata.
Satu-satunya perubahan struktur Depkes terkait dengan desentralisasi kesehatan,
adalah pembentukan Unit Desentralisasi untuk mendukung keberhasilan
desentralisasi kesehatan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota.135 Namun,
kelemahannya, kedudukan Unit Desentralisasi hanya sebagai unit nonstruktural dan
bersifat ad-hoc (untuk periode 1 tahun saja), yang dibentuk berdasarkan
KEPMENKES, sehingga perlu terus dipantau dan dievaluasi oleh Menkes, guna
ditetapkan tindak lanjut untuk tahun berikutnya.
Selain itu, terdapat temuan beberapa kelemahan struktur dan kapasitas (daya
dukung) kelembagaan hukum (pemerintah) di bidang kesehatan dalam rangka
otonomi daerah, di Indonesia, yaitu:
1. Terjadi perubahan radikal di propinsi dan kabupaten/kota dengan ditandai
merger Kanwil dan DINKES Propinsi, serta Kandep dan Dinkes
Kabupaten-Kota. Namun, tidak ada perubahan bermakna dalam struktur
DEPKES, sehingga tidak mendukung pelaksanaan kebijakan
desentralisasi.
2. Kapasitas DepKes RI untuk mengelola anggaran pusat menjadi terbatas
karena sudah tidak ada lagi Kanwil.
3. Belum ada pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf
DINKES propinsi dan Kab/Kota agar mampu menjalankan urusannya
dalam konteks desentralisasi. Yang terjadi adalah situasi saling curiga,
komunikasi yang sedikit mengenai masalah pembagian urusan, bahkan
kompetisi yang menimbulkan konflik.
4. Ada pihak dan individu yang mendukung kebijakan desentralisasi, ada
yang netral, dan ada yang menentang kebijakan ini.136

Sampai kini, struktur pemerintahan yang sangat sentralistik masih tercermin di


sektor kesehatan yang masih didominasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Departemen Dalam

135
Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume
III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses tanggal 15 Januari
2005.
136
Tim Perumus. Op. cit.

110
Negeri. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan nasional, dengan segala keterbatasan
sumber dayanya, tidak ada saling keterkaitan antarprogram dan unit dalam
Departemen Kesehatan sendiri, dan antarunit di pusat dan daerah, sehingga tidak
berkerja sebagai suatu sistem, tetapi justru saling berkompetisi untuk mempengaruhi
daerah.137
Struktur organisasi dinas kesehatan-dinas kesehatan ternyata memiliki
kelemahan supratruktural, yaitu tidak/belum dibentuknya Bagian atau Subbagian
Hukum, yang tentunya dapat menghambat upaya hukum Pemerintah Daerah dalam
merancang, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah di bidang kesehatan. Kelemahan supratruktural itu, juga
terkait dengan keterbatasan jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia di bidang
hukum kesehatan serta ilmu dan teknologi kesehatan, termasuk segi-segi teknis
perumahsakitan, sehingga menemui kesulitan dalam menetapkan persyaratan teknis
dalam Peraturan Daerah apalagi Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi
dan wewenang pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota di bidang
perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan.138
Dwidjo Susono, dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Menkes Bidang
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, menegaskan bahwa
hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan dan strategi desentralisasi
kesehatan, adalah:
1. Komitmen dari semua pihak terkait;
2. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan;
3. Ketersediaan dan pemerataan SDM yang berkualitas;
4. Kecukupan pembiayaan kesehatan;
5. Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan;
6. Kejelasan pembagian kewenangan dan pengaturan kelembagaan;
7. Kemampuan manajemen kesehatan dalam penerapan desentralisasi.139

Selain itu, Dwidjo Susono menjelaskan bahwa rendahnya wewenang antara


pusat dan daerah, rendahnya kerja sama antara pusat dan daerah, rendahnya

137
Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim. 2002. Reformasi Perumahsakitan
Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 191.
138
Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya
Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang, hlm. 197.
139
Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Desentralisasi), “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”, Makalah,
Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di
Surabaya, hlm. 32.

111
kapasitas aparatur pemerintah, terbatasnya keuangan, dan otonomi menjadi masalah
yang harus dihadapi oleh desentralisasi di Indonesia.140
Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Bachtiar Oesman, dalam
kapasitasnya sebagai Direktur Usaha dan Pemasaran Lembaga Asosiasi Dinkes
Indonesia, yang menjelaskan bahwa perubahan dari sentralistik ke desentralistik
membawa perubahan yang mendasar kepada Dinkes. Untuk itu, perlu adanya
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi kepada kepala Dinkes dan
staf agar dapat meningkatkan kinerja Dinkes.141

Jadi, perubahan fungsi dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah
belum ditindaklanjuti dengan perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana, sarana
dan prasarana pada Depkes di pusat dan Dinkes Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah,
sehingga menjadi kendala strultur dan kapasitas kelembagaan hukum (pemerintah) di
bidang kesehatan, yang dapat menghambat upaya hukum melindungi hak setiap
warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.

D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah


dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan

Fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan


terikat pada asas-asas hukum dalam UU No. 32/2004 yang memberikan otonomi
daerah seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)
UUD NRI Tahun 1945.

Pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah, menurut Penjelasan Umum


angka 1 huruf a UU No. 32/2004 didasarkan alasan fundamental, yaitu:
”...mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat....daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

140
Ibid.
141
Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya
Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada
Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di
Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006.

112
Asas otonomi daerah dalam UU No, 32/2004, menurut Penjelasan Umumnya,
adalah ”prinsip otonomi seluas-luasnya”, dalam arti daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU No. 32/2004.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU
No. 32/2004, ditentukan bahwa kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional. serta agama sebagai urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”,
sehingga ada keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan. Adapun
makna “asas otonomi dan tugas pembantuan” menurut Pasal 2 ayat (2) UU No.
32/2004 adalah “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat
diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula
penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah
Kota dan Desa atau penugasan dari Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota ke
Desa”.
Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) jis. Pasal 11 ayat (3) UU No.
32/2004, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan “asas
desentralisasi”, yang maknanya menurut pasal 1 angka 7 UU No. 32/2004, yaitu
“penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Kini, desentralisasi, khususnya desentralisasi di bidang kesehatan, secara tegas
telah dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan
“penanganan bidang kesehatan” sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi, dan Pasal 14 ayat
(2) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan”
sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Kemudian, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004
penyelenggaraan penanganan bidang kesehatan oleh Pemerintah Daerah didasarkan

113
pada asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah
kabupaten/kota.
Penanganan bidang kesehatan sebagai urusan wajib pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi/kabupaten/kota, menurut Pasal
11 ayat (1) UU No. 32/2004 dan Penjelasannya, harus memperhatikan “keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan”, dalam arti keserasian hubungan antar
propinsi dengan propinsi, kabupaten/kota dengan kabupaten/kota, atau propinsi
dengan kabupaten/kota.

Jadi, asas otonomi, asas desentralisasi, dan asas keserasian, adalah asas-asas
hukum yang menjadi landasan filosofis fungsi dan wewenang pemerintah dalam
otonomi daerah di bidang kesehatan.

E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah


Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan

Berdasarkan Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, “Pemerintah” berwenang


melakukan pengawasan dan pembinaan di bidang kesehatan. “Pemerintah” yang
dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, adalah “Pemerintah Pusat”
menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 238 (yang memuat asas hukum peralihan) UU No.
32/2004 jis. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disingkat PP No. 38/2007),
yaitu “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia beserta para Menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI
Tahun 1945”.

Khusus di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan sebagai unsur pelaksana


Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, berdasarkan Pasal 2 ayat (4) huruf b jo. Pasal
5 ayat (3) PP No. 38/2007, mempunyai wewenang berdasarkan fungsi mengatur
(regulating) dan mengarahkan (steering), dalam arti menetapkan kebijakan di bidang
kesehatan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (selanjutnya disingkat
NSPK) yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang antara lain,
mencakup:

114
1. registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan;
2. pemberian izin sarana kesehatan tertentu;
3. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional;
4. pemberian izin tenaga kesehatan asing;
5. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi komoditi kesehatan; dan
6. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1575/MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan (selanjutnya disingkat Permenkes No. 1575/2005) Departemen Kesehatan
tidak memiliki wewenang di bidang kesehatan yang bersifat operasional, dalam arti
Departemen Kesehatan tidak berfungsi sebagai pelaksana (operating), tetapi
berfungsi sebagai pengatur dan pengarah, sehingga Depertemen Kesehatan hanya
memiliki wewenang menetapkan:
1. persyaratan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di
bidang kesehatan;
2. standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;
3. persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;
4. pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;
5. pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;
6. pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan;
7. pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; dan

8. standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.

Selanjutnya, Pemerintah Propinsi sebagai daerah otonom menurut Pasal 2 ayat


(4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007, memiliki wewenang di
bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai dengan kebijakan
kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain,
yaitu:
5. registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan
perundang-undangan;
6. pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat;

115
7. pemberian izin sarana kesehatan rumah sakit swasta khusus dan rumah
sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B
nonpendidikan;
8. registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala propinsi
sesuai peraturan perundang-undangan;
9. pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing;
10. sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan; dan

11. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala propinsi.

Kemudian, Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota sebagai daerah otonom


menurut Pasal 2 ayat (4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007,
memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai
dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat, antara lain, yaitu: 1) registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana
kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan; 2) pemberian rekomendasi izin
sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Propinsi; 3) pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit swasta yang setara
dengan rumah sakit pemerintah Kelas C dan Kelas D; 4) registrasi, akreditasi,
sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan
perundang-undangan; 5) pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu; 6)
sertifikasi alat kesehatan; dan 7) pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan
skala kabupaten/kota.

Jika rumusan Pasal 7 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun


2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (selanjutnya disingkat PP No. 41/2007)
dikaji dalam hubungannya dengan fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di
bidang kesehatan, maka Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai organisasi perangkat daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota
di bidang kesehatan, mempunyai wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi
melaksanakan saja yang berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan selaku unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, sesuai
dengan PP No. 38/2007 dan Permenkes No. 1575/2005. Dinas Kesehatan Propinsi
dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi mengatur tetapi “terbatas”, dalam arti hanya merumuskan

116
kebijakan yang bersifat teknis sebagai penjabaran dari kebijakan di bidang kesehatan
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pembagian wewenang Pemerintah di bidang kesehatan berdasarkan fungsi


mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat
ditabulasikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Pembagian Wewenang Pemerintah Sektor Kesehatan


Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan

No. Pemerintah Fungsi dan Wewenang di Bidang Kesehatan


1. Pusat Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi mengatur dan mengarahkan, yaitu
hanya menetapkan kebijakan di bidang kesehatan saja
dalam bentuk NSPK.
2. Propinsi Pada dasarnya hanya memiliki wewenang di bidang
kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam
arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai
dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk
NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Juga memiliki wewenang di bidang berdasarkan fungsi
mengatur, tetapi terbatas pada perumusan kebijakan di
bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai
penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan
dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
3. Kabupaten/ Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan
Kota berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti
melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai
dengan kebijakan di kesehatan dalam bentuk NSPK yang
ditetapkan Pemerintah Pusat, kecuali perizinan rumah
sakit swasta khusus dan rumah sakit swasta yang
(kelasnya) setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B
nonpendidikan.
Juga memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi mengatur, tetapi hanya terbatas pada
perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat
“teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di
bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.
Sumber: Bahan hukum primer, diolah.

Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah


Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan yang dijabarkan dalam beberapa
Permenkes dan Kepmenkes sebagai aturan pelaksana dari UU No. 23/1992 dan UU
No. 29/2004 yang secara yuridis, sesuai dengan asas hukum peralihan, masih

117
berlaku, karena belum atau tidak direvisi (dalam arti belum dicabut, diganti, dan
dinyatakan tidak berlaku).

Berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004 jo.


Permenkes No. 512/2007, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota
setempat sebagai unsur pelaksana otonomi daerah Pemerintah
Kabupetan/Pemerintah Kota di bidang kesehatan, memiliki fungsi dan wewenang
pengawasan terhadap pelaksanaan praktik kedokteran, yang merupakan inti dari
pelayanan kesehatan, dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Penanganan penderita gawat darurat medik atas dasar perikemanusiaan
sebagaimana diharuskan dalam Pasal 51 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No.
29/2004 dan PP No. 26/1960, khususnya alinea 5 dan 6;
2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada pasien secara bermutu dan
manusiawi, yang meliputi:
a. penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit
yang berorientasi hak pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 32 ayat (4)
UU No. 23/1992, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan
Kepmenkes No. 1333/1999;
b. persetujuan tindsakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib
sendiri dan memperoleh informasi sebagaimana diharuskan dalam Pasal 45
ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (6) UU No. 29/2004, dan Permenkes No.
585/1989;
c. penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien
sebagaimana diharuskan dalam Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan
Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan Permenkes No.
269/2008;
d. penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien sebagaimana
diharuskan dalam Pasal 48 UU No. 29/2004, dan PP No. 10/1960;
Khusus terhadap penetapan pola tarif pelayanan kesehatan rumah sakit swasta
sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat sebagaimana diharuskan dalam
Pasal 8 UU No. 23/1992, Kepmenkes No. 282/1993, dan Permenkes No. 1173/2004
jis. PP 38/2007 jis. UUPD No. 32/2004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No.
23/1992 jo. Pasal 13 dan Pasal 14 Kepmenkes No. 282/1993 jo. UU No. 32/2004,
maka Dinas Kesehatan Propinsi setempat yang berwenang melakukan pengawasan,

118
sedangkan Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik hanya
berwenang melakukan pembinaan.
Kemudian, khusus terhadap pengendalian mutu dan biaya pelayanan
kesehatan rumah sakit sesuai kebutuhan medis pasien sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 29/2004, Pasal 57 ayat (2) UU
No. 23/1992, Pasal 58 jis. Pasal 43 Kepmenkes No. 983/1992, dan Kepmenkes No.
631/2005, jika merujuk kepada Pasal 71 UU No. 29/2004 dan Kepmenkes No.
426/2006, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Danas
Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota setempat
yang berwenang melakukan pengawasan, dengan/tanpa mengikutsertakan IDI dan
PDGI setempat.
Berikutnya, khusus terhadap penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi sosial
pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sebagaimana diharuskan dalam Pasal 57
ayat (2) UU No. 23/1992, Pasal 25 Permenkes No. 159b/1988, Permenkes No.
378/1993, Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis. UU No. 32/2004, jika
merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 8 dan Pasal 9 Permenkes No.
378/1993 jis. UU No. 32/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal
Pelayanan Medik yang berwenang melakukan pengawasan, dengan
mengikutsertakan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dan unit-unit lain
dalam satu Tim Pembina.
Selanjutnya, khusus terhadap pengelolaan perbekalan kesehatan rumah sakit
yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 61 UU No. 23/1992, Pasal 2 s.d. Pasal 16 PP No. 72/1998, Kepmenkes
No. 363/1998, Kepmenkes No. 1197/2004, dan Kepmenkes No. 720/2006, jika
merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Permenkes No. 363/1998 dan
Kepmenkes No. 1197/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal
Pelayanan Medik, Danas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas
Kesehatan Kota yang berwenang melakukan pengawasan.
Secara lebih konkrit, fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota terhadap
pelayanan kesehatan rumah sakit sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditabulasikan
pada tabel 8.

119
Tabel 8. Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap
Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
No. Bentuk Pelayanan Kesehatan Pengawas
Rumah Sakit
1. Penanganan penderita gawat darurat medik Menkes cq. Dirjen
atas dasar perikemanusiaan. Yanmedik, Dinkes
2. Penggunaan standar pelayanan kedokteran Propinsi/Kabupaten/
dan standar pelayanan rumah sakit yang Kota setempat.
berorientasi hak pasien.
3. Persetujuan tindakan kedokteran
berdasarkan hak pasien menentukan
nasib sendiri dan memperoleh informasi.
4. Penggunaan rekam medis untuk
kepentingan pengobatan dan perawatan
pasien.
5. Penyimpanan rahasia kedokteran
berdasarkan kepercayaan pasien.
6. Penetapan pola tarif pelayanan kesehatan Dinkes Propinsi
sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat (khusus
setempat. pengawasan) dan
Menkes c.q. Dirjen
Yanmedik (khusus
pembinaan).
7. Pengendalian mutu dan biaya pelayanan Menkes c.q. Dirjen
kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien. Yanmedik, Dinkes
Propinsi/Kabupaten/
Kota dengan/ tanpa
IDI dan PDGI
setempat.
8. Penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi Menkes c.q. Dirjen
sosial pelayanan kesehatan. Yanmedik
mengikutsertakan
Kepala Dinkes
Propinsi setempat
dan unit terkait
dalam satu Tim
Pembina.
9. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang Menkes c.q. Dirjen
bermutu, merata dan terjangkau oleh Yanmedik, Dinkes
masyarakat. Propinsi/Kabupaten/
Kota.
Sumber: Bahan hukum primer, diolah.

120
F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan
dalam Peraturan Daerah

Fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di bidang kesehatan yang diatur


dalam UU No. 32/2004, PP No. 38/2007, PP No. 41/2007, dan Pemenkes No.
1575/2005, serta UU No. 23/1992, UU No. 29/2004, dan sejumlah Permenkes dan
Kepmenkes, sebagaimana telah diuraikan di atas, harus dijabarkan di tingkat daerah
propinsi/kabupaten/kota dalam bentuk Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat
PERDA), sesuai dengan Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004, yang secara
konstitusional mengacu kepada Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 7 UU No. 10/2004, dengan tegas menyatakan bahwa PERDA adalah


bagian integral dari peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia.
Keberadaan PERDA, menurut Suko Wiyono, adalah conditio sine quanon dalam
rangka melaksanakan kewenangan OTODA. Atas dasar itu, PERDA harus dapat
memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah,142 termasuk perlindungan
hukum di bidang kesehatan.

G. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


dalam Otonomi Sektor Kesehatan

UU No. 33/2004 pada hakikatnya mengatur tentang keuangan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Isu mengenai perimbangan keuangan
antara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehubungan pembiayaan
kebijakan kesehatan dan implementasinya di daerah adalah berkenaan dengan
apakah kebijakan kesehatan dan implementasinya tersebut termasuk ranah otonomi
daerah atau kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasi atau tugas
pembantuan.

Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan


pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah

142
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan
Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta, hlm. 80.

121
serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (vide
Pasal 1 angka 3 UU No. 33/2004). Sedasar dengan itu, undang-undang menetapkan
suatu dana perimbangan. Yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah dana
yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1 angka 19) UU No. 33/2004).
Sehubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah ini terdapat beberapa konsep penting dalam UU No. 33/2004, yaitu:
1) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1
angka 20).
2) Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antardaerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi (Pasal 1 angka 21).
3) Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
prioritas nasional (Pasal 1 angka 23)
4) Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat dan daerah (Pasal 1 angka 26).
5) Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (Pasal 1 angka
27).
6) Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa
dan/atau krisis solvabilitas (Pasal 1nagka 29).

Sehubungan isu desentralisasi dan perimbangan keuangan pusat-daerah, maka


dapat dijelaskan bahwa tugas pemerintah pusat yang utama adalah melakukan
pengaturan dalam rangka melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Tugas
pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota yang utama
adalah melakukan tugas-tugas mengurus sehubungan asas otonomi daerah dan dalam
rangka tugas mengatur melakukan pengawasan/penegakan hukum sesuai
kewenangannya (vide Surat Edaran Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000). Untuk
daerah yang secara keuangan masih belum dapat melaksanakan otonominya secara

122
memadai, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang dapat digunakan oleh
pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kewajiban mewujdkan hak setiap warga
negara atas derajat kesehatan yang optimal.

H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan


Tarif Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi dan kejelasan pengaturan hukum dan kebijakan


pola tarif pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam Kepmenkes No.
282/1993 yang perlu segera direvisi, yang mencakup:

(1) “Kemampuan membayar masyarakat setempat”, yang menurut Pasal 2 angka


1 Kepmenkes No. 282/1993 harus diperhatikan dalam menetapkan pola tarif
pelayanan kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya parameternya ditentukan
dengan jelas.
(2) “Tingkat kecanggihan teknologi”, yang menurut Pasal 2 angka 1
Kepmenkes No. 282/1993 merupakan dasar penetapan tarif pelayanan
kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya kriterianya juga dijabarkan dengan
jelas.
(3) Pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan kesehatan bagi pasien
kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal 2 angka 3 Kepmenkes No.
282/1993 harus diatur oleh direktur RSS, seharusnya pedomannya ditetapkan
oleh Dirjen Yanmedik Depkes-RI segera setelah dilakukannya revisi
Kepmenkes No. 282/1993.
(4) “Tarif khusus” bagi masyarakat kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 dan Pasal 11 Kepmenkes No. 282/1993 harus
ditetapkan oleh direktur rumah sakit swasta, seharusnya tidak hanya terbatas
pada tarif tempat tidur pasien rawat inap kelas III, tetapi juga tarif untuk jenis
pelayanan kesehatan lainnya, termasuk jasa dokter, agar konsisten dengan “spirit
hukum” Pasal 57 ayat (2) UU No. 23/1992.

123
I. Penguatan Asas Konsistensi dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan
Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijakan


pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam
hal-hal, sebagai berikut:

(1) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan wewenang IDI dan PDGI dalam
membina dan mengawasi dokter dalam melakukan praktik kedokteran di rumah
sakit sebagai tindaklanjut dari Pasal 49 ayat (3) UU No. 29/2004. Mengingat
audit medis bersifat konfidensial, maka substansi hukumnya seharusnya juga
memuat sanksi bagi IDI dan PDGI (sebagai pihak eksternal rumah sakit) yang
mempubikasikan audit medis tanpa persetujuan dari pihak internal rumah sakit.

(2) Hasil audit medis internal yang dilakukan Komite Medis Rumah Sakit menurut
Kepmenkes No. 496/2006 seharusnya bersifat mengikat, sehingga tindak
lanjutnya tidak hanya tergantung kepada kehendak dan sikap normatif direktur
rumah sakit saja.

(3) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan wewenang Menkes cq. Dirjen


Yanmedik dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten untuk mengawasi dan
mengaudit medis eksternal rumah sakit, mengikutsertakan IDI dan PDGI
setempat, sebagai tindak lanjut dari Pasal 71 jis. Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 29/2004 jo. Kepmenkes No. 496/2006. Permenkes ini seharusnya juga
memuat sanksi administratif yang jelas dan dan tegas kepada rumah sakit, yang
terbukti tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan sesuai
kebutuhan medis pasien.

J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan


Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas kejelasan dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijkan


fungsi sosial pelayanan kesehatan harus tercermin dalam Permenkes No. 159b/1988
dan Permenkes No. 378/1993 yang perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya
jelas, mencakup:

124
(1) Pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang dan
tidak mampu, yang menurut Pasal 5 angka 5 Permenkes No. 378/1993 harus
dilaksanakan oleh rumah sakit swasta dalam rangka fungsi sosialnya, seharusnya
juga didukung oleh adanya pedoman yang jelas dalam Permenkes mengenai
pejabat/badan yang berwenang dan mekanisme hukum pemberian dan
penggunaan SKTM atau bukti lain yang mendukung sebagai syarat untuk
memperoleh pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan.

(2) Penetapan ketentuan besaran tarif pelayanan kesehatan kelas III/kelas


terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, yang menurut Pasal 4
Permenkes No. 378/1993 jo. Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis.
UU No. 32/2004 merupakan wewenang Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
setempat (setelah berkonsultasi dengan PERSI setempat), harus dilaksanakan
dengan konsisten segera setelah (sesuai dengan) revisi Permenkes No.
159b/1988 dan Permenkes No. 378/1993.

K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan


Pengelolaan Perbekalan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi pengaturn hukum dan kebijakan pengelolaan


perbekalan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam hal-hal, sebagai berikut:

(1) Permenkes No. 085/1989 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya dengan
jelas membebankan kewajiban menulis resep dan/atau menggunakan obat
generik yang harganya terjangkau masyarakat kurang dan tidak mampu tidak
hanya kepada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi juga fasilitas
pelayanan kesehatan swasta, sehingga konsisten dengan Pasal 61 UUK No.
23/1992 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 29/2004 yang telah mengharuskan ”setiap
rumah sakit dan dokternya” mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan
agar dapat terjangkau oleh masyarakat kurang dan tidak mampu.

(2) Permenkes No. 363/1998 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya tidak
hanya mengatur penggunaan alat kesehatan yang harus memenuhi persyaratan
mutu, keamanan dan kemanfaatan, tetapi juga mengatur persyaratan
keterjangkauan biayanya untuk mengendalikan overutilisasi alat kesehatan di

125
rumah sakit, yang harus didukung oleh adanya sanksi dan diperkuat oleh
struktur kelembagaan hukum kesehatan dengan wewenang pengawasan yang
jelas, sehingga konsisten dengan spirit hukum Pasal 61 UU No. 23/1992 jo. PP
No. 72/1998.

L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan Aturan Hukum


dan Kebijakan Perizinan

Perlu pembentukan aturan hukum dan kebijakan perizinan di bidang kesehatan


dalam bentuk PP sebagai penjabaran dari Pasal 59 UU No. 23/1992, yang harus
segera ditindaklanjuti dengan pembentukan Permenkes yang substansi hukumnya
mengatur tentang standar perizinan di bidang kesehatan sebagai penjabaran yang
konsisten dan sinkron dari Pasal 4 huruf g Permenkes No. 1575/2005 dan diperkuat
oleh Pasal 9 PP No. 38/2007, yang secara formal mencabut/menggantikan
Permenkes No. 920/1986 dan Surat Edaran Menkes No. 725/2004, sesuai dengan
asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004, yang
menghendaki agar perizinan di bidang kesehatan didasarkan atas asas desentralisasi
dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kota/kabupaten.

M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi

Konsistensi aturan hukum dan kebijakan akreditasi di bidang kesehatan harus


diwujudkan dengan pembentukan PP yang substansi hukumnya antara lain mengatur
akreditasi rumah sakit, yang harus segera diikuti dengan upaya merevisi Kepmenkes
No. 1165A/2004 yang mengatur tentang akreditasi rumah sakit sesuai dengan asas
desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan
Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP No. 38/2007, agar secara substantif
memberikan wewenang mengakreditasi rumah sakit kepada Pemkab/Pemkot, yang
sifatnya imperatif bukan fakultatif, dan fungsinya sebagai tugas pokoknya sendiri
bukan ”asistensi” terhadap tugas pokok KARS.

126
N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Peraturan Hukum Audit Medis

Pembentukan Permenkes yang mengatur tentang audit medis eksternal sebagai


penjabaran yang jelas dari Pasal 71 jo. Pasal 72 UU No. 29/2004, perlu segera
diwujudkan, agar secara substantif:

(1) Memberikan wewenang mengaudit medis eksternals rumah sakit kepada


pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama dengan KKI, IDI dan PDGI
setempat, yang sifatnya imperatif bukan fakultatif, yang jelas ruang lingkup dan
rincian fungsi dan tugas masing-masing.
(2) Konsisten dan sinkron dengan asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda
berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat
oleh PP No. 38/2007, yang menghendaki agar audit medis eksternal rumah sakit
oleh pemerintah didasarkan atas asas desentralisasi dengan peletakan titik berat
otonomi di daerah kota/kabupaten.

O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan


Sanksi Administrasi

Aturan hukum dan kebijakan yang substansi hukumnya mengatur tentang


sanksi administrasi, perlu segera diwujudkan, dengan cara:

a) Pembentukan MKDKI di tingkat propinsi dan penyusunan pedoman tata cara


penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter oleh KKI, mengingat pencabutan
SIP oleh Kepala Dinkes Kabupaten/Kota terhadap dokter yang melanggar
kewajiban hukumnya harus didasarkan atas putusan MKDKI.

b) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan bentuk-bentuk sanksi administrasi


terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban hukumnya dan menegaskan
badan/pejabat pemerintah berwenang serta mekanisme pengenaan sanksi
administrasinya, yang konsisten dengan asas desentralisasi dalam rangka otoda
berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP
No. 38/2007.

127
P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor
Kesehatan dalam Peraturan Daerah

Percepatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang


kesehatan, yang mencakup perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi
administrasi, harus ditata dalam Perda dan Kepkada, yang jelas, segera, sinkron dan
konsisten dengan asas otonomi daerah.

Secara konkrit, perlu penataan (normatif), berupa pembentukan Perda dan


Kepkada yang menjabarkan secara “teknis” (untuk tingkat propinsi) dan ”sangat
teknis” (untuk tingkat kabupaten/kota) perizinan, standarisasi, akreditasi dan
sertifikasi di bidang kesehatan, segera setelah Menkes selaku unsur pelaksana
wewenang pemerintah pusat di bidang kesehatan menetapkan kebijakan dalam
bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai acuan hukumnya (dalam
bentuk Permenkes). Secara formil, pembentukan Perda dan Kepkada itu harus
mengacu kepada UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat
oleh PP No. 38/2007 dan secara substantif harus menjadikan perizinan, standarisasi,
akreditasi dan sertifikasi sebagai instrumen hukum melindungi hak setiap warga
negara atas derajat kesehatan yang optimal, bukan sebagai sarana hukum
memperoleh retribusi daerah.

Q. Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah)


Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good Governance

Lembaga Administrasi Negara (LAN) menjelaskan bahwa good governance


(selanjutnya disingkat GG) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan
bertanggung jawab secara efektif dan efisien, dengan menjaga “kesinergian”
interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan
masyarakat (society). GG pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan
pemerintahan yang baik, dalam arti mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar GG.143
Asas-asas GG yang dikemukakan UNDP sebagaimana dikutip oleh LAN,
yaitu:

143
Lembaga Administrasi Negara, dalam Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari
Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia,
Surabaya, hlm. 24.

128
1. Partisipasi: Setiap warganegara berpartisipsi dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili
kepentingannya, atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara
konstruktif.
2. Taat hukum (rule of law): kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan
tanpa diskriminasi, terutama untuk perlindungan HAM.
3. Transparansi: Dibangun atas dasar kebebasan arus informasi mengenai
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja lembaga-lembaga
dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsif: Lembaga-lembaga negara/badan usaha harus berusaha untuk
melayani stakeholdersnya. Responsif terhadap aspirasi masyarakat.
5. Berorientasi kesepakatan (consessus orientation): GG menjadi perantara
kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas, dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur-prosedur kerja.
6. Kesetaraan (equity): Semua warga negara mempunyai kesempatan yang
sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan.
7. Effektif dan efisien: proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan
sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-
sumber yang tersedia.
8. Akuntabilitas (accountability): Para pembuat keputusan dalam
pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung
jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
9. Visi strategis (strategic vision): Para pemimpin dan publik harus
mempunyai perspektif GG dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke
depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.144

Secara umum ada konsensus tentang faktor-faktor kunci GG, yaitu:


kemampuan teknis dan manajerial, kapasitas organisasi, kepastian hukum,
pertanggungjawaban, transparansi dan sistem informasi yang terbuka, dan
partisipasi.145
G.H. Addink memaknai asas-asas GG sama dengan asas-asas good
administration (selanjutnya disingkat GA) dan merumuskan secara detail menjadi
delapan asas yang mencakup karakter positif maupun negatif, yaitu: asas larangan
bertindak sewenang-wenang, asas keadilan atau asas kewajaran, asas kepastian
hukum, asas kepercayaan, asas kesamaan, asas proporsionalitas atau asas
keseimbangan, asas kehati-hatian, dan asas pertimbangan.146

144
Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance
dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, hlm. 133-136.
145
Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam
http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12 Januari 2008.
146
G.H. Addink, dalam Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 173 dan 176.

129
Pemberian makna yang sama antara asas-asas GG dan asas-asas GA, menurut
Sadjijono, merupakan suatu suatu pemikiran dan onovasi baru dalam hukum
administrasi. Walaupun Kuntjoro Purbopranoto pernah menulis ”asas-asas umum
untuk pemerintahan yang baik”,147 akan tetapi tidak diberi penjelasan persamaan
makna dari asas dimaksud. Selanjutnya, Sadjijono mendukung pendapat G.H.
Addink dengan argumentasi bahwa istilah GG berarti penggunaan atau pelaksanaan
kewenangan bidang administrasi oleh organ pemerintah dan menimbulkan akibat-
akibat hukum bidang administrasi negara, sehingga indikasi suatu pemerintahan
yang baik apabila administrasinya baik.148
Jadi, GG pada dasarnya adalah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa, oleh karena itu tindak lanjut untuk
menjadikan pemerintahan yang baik dan bersih dengan mengaktualisasikan secara
efektif ”asas-asas umum pemerintahan yang baik”, yang digunakan sebagai hukum
tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan penerapan hukum serta
pembentukan hukum.149
Dengan mengacu konsep good governance GG, maka dapat dipahami bahwa
struktur kelembagaan hukum (pemerintah) secara internal dan eksternal harus
mempunyai keterkaitan sistemik dan didukung oleh kapasitas atau daya dukung
kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada konsistensi
struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari pembentukannya,
sehingga dapat mengkonkritisasi asas-asas hukum ke dalam wujud norma-norma
hukum dalam aturan hukum dan kebijakan, agar pemerintah dapat melakukan
tindakan pemerintahan yang baik tentang perizinan, akreditasi, audit medis, dan
sanksi administrasi d bidang kesehatan yang memadai (adekuat), guna melindungi
hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
Kemudian, kelemahan struktur dan kapasitas kelembagaan hukum
(pemerintah) di bidang kesehatan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka
perlu penataan (normatif), sebagai berikut:

147
Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara. Alumni, Bandung, hlm. 28.
148
Sadjijono. Op. Cit., hlm. 173-174.
149
S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi, UNPAD, Bandung,
2001, hlm. 13.

130
1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan Daerah

Sistem pelayanan kesehatan nasional yang terwujud dalam SKN harus


mempunyai keterkaitan secara internal dan eksternal, baik antarprogram dan unit
dalam Depkes pusat maupun antarunit dalam Depkes di pusat dengan Dinkes
Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah.

Selanjutnya, pengkaitan sistem pelayanan kesehatan nasional dan daerah perlu


didukung dengan pengaturan wewenang yang jelas, peningkatan kerjasama, dan
penguatan kapasitas aparatur hukum antara pemerintah pusat (Depkes) dan Pemda
(Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten), termasuk penggalian sumber keuangannya,
dengan mengacu kepada asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda
berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP
No. 38/2007.

2. Perubahan Struktur dan Fungsi Departemen Kesehatan di Pusat dan


Dinas Kesehatan di Daerah

Perubahan struktur organisasi Depkes perlu diwujudkan, dengan mengacu


kepada fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas
desentralisasi dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No.
1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 41/2007. Selain itu, perubahan struktur
pemerintahan yang lebih desentralistik, juga perlu dilakukan, guna mengurangi
dominasi Depkes, Bappenas, Depkeu, dan Depdagri di sektor kesehatan.

Kemudian, pesnegasan komitmen pemerintah pusat melaksanakan fungsi


regulatif di bidang kesehatan diperlukan guna mendukung Pemda dalam membentuk
Perda dan Kepkada yang tidak hanya terfokus pada tugas pokok dan fungsi
organisasi perangkat daerah di bidang kesehatan, tetapi juga menekankan pada
perlindungan hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
Berikutnya, implementasi fungsi Depkes dalam membentuk aturan hukum dan
kebijakan tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang
kesehatan, harus segera direalisasikan, guna menjadi rujukan bagi PEMDA dalam
membentuk Perda dan Kepkada.

131
Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan evaluasi
Perda dan Kepkada di bidang kesehatan, maka perlu segera pembentukan
bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten
di daerah, disertai peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM. Selain itu, tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM pada Dinkes
Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah yang menguasai IPTEK kesehatan, termasuk
segi-segi teknis perumahsakitan, guna mendukung upaya perumusan persyaratan
teknis dalam Perda dan Kepkada tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan
sertifikasi di bidang kesehatan.

3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian Kesehatan di Pusat dan


Dinas Kesehatan di Daerah

Penguatan kapasitas kelembagaan Kementerian Kesehatan di pusat dan Dinkes


Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus dilakukan dalam rangka pembenahan
birokrasi sebagai langkah strategis dalam pengembangan GG, dengan merujuk
kepada pandangan Agus Dwiyanto, bahwa keberhasilan menyelesaikan masalah
mendasar dalam birokrasi pemerintah seperti inefisiensi, rigiditas dan daya tanggap
yang buruk, kuatnya budaya KKN serta akuntabilitas birokrasi yang rendah dapat
menuntaskan sebagian besar masalah dalam pengembangan GG. Karena itu,
keberhasilan dalam mereformasi birokrasi dapat mempercepat terwujudnya GG.150

Penguatan kapasitas kelembagaan Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/


Kabupaten perlu dilakukan dalam bentuk peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM
disertai pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan dalam konteks
desentralisasi dalam semangat otoda, guna menghilangkan situasi saling curiga,
meningkatkan komunikasi yang intens dan transparan, bahkan mencegah dan
menyelesaikan konflik, misalnya kasus perizinan.
Pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf Depkes di pusat dan
staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus bertujuan menyeimbangkan

150
Agus Dwiyanto. “Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi Pelayanan Publik”,
dalam Suparto Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University
Press, Surabaya, hlm. 52.

132
kebutuhan SDM secara materil dan spiritual, dengan dua orientasi dasar dan dua
dimensi kemampuan, yaitu:
1. Kualitas kinerja staf atau aparatur pemerintah atau pegawai yang erat kaitannya
dengan upaya pencapaian produktivitas dan kinerja birokrasi;
2. Kesiapan kondisi mental dan fisik staf atau aparatur pemerintah atau pegawai
yang erat kaitannya dengan tingkat penghargaan secara utuh terhadap harkat dan
martabat kemanusiaannya.
Selain itu, pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan aparatur
pemerintah Depkes di pusat dan staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah,
juga harus dapat mengembangkan dua dimensi kemampuan, yaitu:
1. Dimensi teknis, yakni keahlian yang harus dimiliki aparatur pemerintah untuk
menjalankan wewenang dan tugas mereka dengan baik;
2. Dimensi budaya, yakni seperangkat nilai yang harus menjadi pegangan setiap
aparatur pemerintah dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, sehingga
kemampuan teknisnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Daerah dan


Alokasi Subsidi dari Pemerintah Pusat di Bidang Kesehatan

Pemerintah daerah pascadesentralisasi mempunyai sumber-sumber


pembiayaan yang juga telah diatur dalam UU No. 33/2004, antara lain: 1)
Pendapatan Asli Daerah yang mencakup pajak setempat, retribusi lokal, perusahaan
pemerintah daerah dan aset manajemen lainnya, giral dan aset penjualan; 2) Dana
perimbangan yang merupakan dana desentralisasi, terdiri dari Dana Bagi Hasil
beberapa sektor seperti Pajak Bumi dan Bangunan, minyak dan gas, hutan, tambang
dan periknan, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus; 3) Pinjaman; dan 4)
Penerimaan lain (sumbangan Dana Darurat). Memperhatikan hal ini, terdapat
kemungkinan beberapa pemerintah daerah di Indonesia menjadi kaya, seperti di
Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur, Kabupaten Aceh Utara di Nangroe Aceh
Darussalam, dan Kabupaten Bengkalis di Riau. Akan tetapi, sebagian besar
kabupaten di Indonesia tidak mendapat manfaat berarti dari desentralisasi.
Desentralisasi memicu perkembangan daerah menjadi beberapa lingkungan
ekonomi yang mempengaruhi potensi pembiayaan daerah di bidang kesehatan. Ada

133
dua faktor penting yang mempengaruhi bidang kesehatan, yaitu kekuatan ekonomi
pemerintah daerah dan kekuatan ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan dua
variabel ini, menurut Laksono Trisnantoro, ada 4 tipe daerah yang mungkin terjadi
dengan prospek sumber pembiayaannya sebagai berikut:
1) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang besar
dan kekuatan ekonomi masyarakat yang besar pula.
Daerah ini merupakan daerah di mana sebagian pembiayaan kesehatan
dapat diserahkan ke mekanisme pasar. Sumber pembiayaan dari
masyarakat perlu ditingkatkan. Peran pemerintah daerah yang kuat dapat
difokuskan kepada penyediaan pelayanan kesehatan dan pembiayaan
kesehatan keluarga miskin serta pelayanan yang bersifat public good
(khususnya promotif dan preventif kesehatan). Bagi masyarakat yang
berada dalam garis kemiskinan, pemerintah daerah dapat memberikan
jaminan pelayanan kesehatan melalui asuransi kesehatan (misalnya
kontrak ke PT. Asuransi Kesehatan).

2) Daerah yang mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah kecil, namun


kekuatan ekonomi masyarakat besar.
Ada kemungkinan di daerah ini peran pemerintah daerah lebih banyak
pada regulator. Dalam hal pembiayaan, peran pemerintah daerah tidak
begitu kuat. Peran pemerintah (diharapkan pemerintah pusat) pada
pembiayaan diharapkan untuk menjamin akses pelayanan kesehatan,
khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Bagi masyarakat miskin, peran
pemerintah pusat untuk membiayai pelayanan kesehatan menjadi penting.

3) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kuat,


namun kekuatan ekonomi masyarakat kecil.
Di daerah ini peran pemerintah daerah sangat kuat dalam pembiayaan
kesehatan, mengigat kemampuan masyarakat di daerah ini rendah. Dalam
kondisi ini, peran pemerintah pusat dalam pembiayaan kesehatan tetap
diperlukan, walaupun dari sisi ”jumlah dana” yang dialokasikan dapat
diminimalkan. Sebaliknya, pemerintah daerah dituntut lebih kuat
peranannya. Pemerintah daerah dapat mengkontrak lembaga
penyelenggaraan pelayanan kesehatan swasta dan asuransi kesehatan
untuk menjamin pelayanan bagi masyarakat miskin, atau seluruh
masyarakat di wilayahnya.

4) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kecil


dan kekuatan ekonomi masyarakat yang kecil pula.
Daerah ini sangat membutuhkan dana dan subsidi dari pemerintah pusat.
Daerah ini membutuhkan perhatian besar dari pemerintah pusat dan
bantuan asing (block grant, hibah, dll) dan dana kemanusiaan lain untuk
pembiayaan kesehatan di daerah tersebut.151

151
Laksono Trisnantoro. Op. cit., hlm. 257-268.

134
Dalam konsep desentralisasi, pemerintah pusat masih mempunyai peran
sebagai pemberi anggaran malalui anggaran dekonsentrasi yang akan diterima
propinsi (vide Pasal 1 angka 26 UU No. 33/2004). Akan tetapi, dana dekonsentrasi
ini akan semakin menurun seiring semakin meningkatnya dana desentralisasi.
Berkaitan dengan anggaran kesehatan pemerintah pusat yang masih tinggi,
timbul pertanyaan penting, bagaimanakah teknik alokasi anggarannya? Apakah
aspek keadilan perlu diperhatikan untuk daerah-daerah yang relatif miskin? Teknik
alokasi anggaran menjadi hal penting karena pengaliran dana dari pusat ke daerah
untuk masyarakat atau daerah yang tidak berhak mendapatkannya jangan sampai
terjadi kesalahan. Sebagai catatan, bidang kesehatan, konsep alokasi dann
perimbangan melalui Dana Alokasi Umum adalah cara baru untuk membiayai
pelayanan kesehatan di daerah. Karena merupakan hal baru, dikhawatirkan kriteria
transfer keuangan dari pusat ke daerah belum baik.
Sehubungan dengan transfer keuangan dari pusat ke daerah, terdapat berbagai
kriteria yang dapat digunakan mengacu kepada pendapat Shah A., yaitu:
1) Otonomi (Authonomy), artinya pemerintah daerah dapat fleksibel dan otonom
menetapkan prioritas kegiatan yang diberi dana. Kriteria ini menunjukkan bahwa
dana ditransfer ke daerah dalam bentuk block grant yang dan tidak dibatasi
dengan kategori-kategori setta ketidakpastian dari pemerintah pusat. Agar
pemerintah daerah mempunyai sumber biaya cukup, sehingga mampu
mengerjakan tugas yang diberikan, pemerintah daerah perlu diberi kriteria yang
disebut revenue adequacy. Dengn demikian, semakin banyak junmlah penduduk,
maka akan semakin besar pula transfer dana yang diberikan.
2) Adil dan Merata (Equity), artinya dana yang dialokasikan pemerintah pusat harus
adil bagi mereka yang membutuhkan dan berhubungan terbalik dengan
kemampuan ekonomi propinsi. Dengan demikian, semakin besar pendapatan asli
daerah, kemungkinan transfer dana dari pusat akan lebih kecil.
3) Dapat Diprediksi (Predictablitiy), artinya bantuan yang diterima oleh daerah
diharapkan dapat dijamin kelanggengannya, misalnya dalam kurun waktu lima
tahun.
4) Efisiensi (Efficiency), artinya berusaha menjamin agar alokasi dana bersifat
netral terhadap pilihan berbagai sektor.
5) Kesederhanaan (Simplicity), artinya perlu kesederhanaan untuk menyusun
formula.
6) Insentif (Incentive), artinya upaya mendorong mengurangi praktik-praktik
inefisiensi dalam penganggaran daerah.152

152
Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and
Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank, Washington DC.

135
BAB V
ANALISIS ATURAN HUKUM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN

A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah

Sumber daya alam di darat makin terbatas sedangkan tuntutan kebutuhan


pembangunan nasional sudah mendesak, maka pemanfaatan sumber daya alam di
laut menjadi alternatif yang harus dipilih. Sudah saatnya pembangunan nasional di
sektor kelautan mendapat perhatian besar pula, sebagaimana di wilayah darat. Di laut
tersedia berbagai potensi untuk membawa bangsa dan negara ini menjadi makmur,
adil dan sejahtera, termasuk pesisirnya yang melimpah sumber daya. Semuanya
memiliki arti penting bagi pembangunan nasional, baik dari aspek ekonomi, ekologi,
pertahanan dan keamanan, sosiologis maupun pendidikan dengan segala hasil yang
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan
yang jauh lebih besar daripada sumber daya alam yang ada di darat. Namun, potensi
tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi antara lain
karena masih kuatnya paradigma pembangunan Indonesia yang masih berorientasi di
darat. Akibatnya produktivitas nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong
rendah. 153
Sumber daya kelautan meliputi juga berbagai macam jasa lingkungan lautan
yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan, seperti
pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa angkutan, serta penelitian kelautan.
Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti transportasi dan
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi
dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan limbah. Dalam
hal ini termasuk pula sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan nasional untuk

153
Ganjar Kurnia, Rektor Unpad, sambutan tertulis pada Seminar Nasional “Strategi
Peningkatan Keunggulan dan Komparatif Komoditas dan Kelautan Dalam Rangka Perkuatan Posisi
Sektor Perikanan dan Kelautan Sebagai Pilar Penting Pembangunan Nasional”. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjajaran, Jatinangor, 11 Maret 2009. Ratih Anbarini. Sumber
Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan. http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-daya-
kelautan-indonesia-belum-optimal-dimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009.

136
melindungi pesisir pulau-pulau terdepan wilayah NKRI.
Memang upaya membangun sektor kelauatan memerlukan penguasaan
teknologi rekayasa maritim yang sarat dengan high-tech dan high-cost. Untuk
mengadopsi dan mengaplikasikan teknologi yang dimaksud, dibutuhkan sumber
daya manusia yang cerdas, profesional dan berdedikasi tinggi serta memiliki disiplin
ilmu berbasis kemaritiman yang dibarengi kerjasama transfer of knowledge melalui
peran aktif semua komponen bangsa. Tidak cukup hanya dengan tekad dan semangat
saja, tetapi juga adanya komitmen yang kuat serta keseriusan dari berbagai pihak
untuk melakukan percepatan penguasaan rekayasa teknologi maritim, diantaranya
melalui penerbitan aturan hukum dan ditindaklanjuti dengan kerjasama di bidang
pendidikan dan pelatihan serta penelitian.154

B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan

Tata kelola sumberdaya laut harus dalam konteks keterkaitan dengan


ekosistem wilaya pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Ketentuan mengenai
pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, dapat merujuk kepada hasil
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de
Janeiro tahun 1992155. UNCED merumuskan tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan laut secara terpadu (integrated coastal management) dalam Agenda 21 Chapter
17, sebagai rencana aksi di Abad 21 dengan judul: “Protection of Oceans, All Kinds
of Seas, including Enclosed and Semi-enclosed Seas, and Coastal Areas, and the
Protection, Rational use and Development of Their Living Resources”.
Salah satu program dalam Chapter 17, yaitu pada program (a) dirumuskan:
“Integrated management and sustainable development of coastal areas, including
exclusive economic zones”. Bagi negara-negara yang mempunyai wilayah laut yang
luas, maka program Integrated management tersebut harus menjadi fokus utama
perhatian. Pengelolaan pesisir dan laut secara integral dan berkelanjutan, tidak hanya
mengelola pesisir dan laut dengan sebagian lautnya, melainkan juga mengelola

154
Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar
Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya.
http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.aspx. Diakses tanggal
22 Agustus 2009.
155
UNCED dikenal juga dengan nama Earth Summit, menghasilkan: a) Convention on
Biological Diversity; b) Convention on Climate Change; c) Agenda 21; d) The Forrest principles; dan
e) Rio Declaration on Environment and Development.

137
wilayah laut secara keseluruhan, mulai dari perairan pedalaman, laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, kawasan dan laut bebas.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated
coastal management), lingkungan laut (The Marine Environment) merupakan
komponen penting sistem penyangga kehidupan global156.
Perlunya pengaturan mengenai wilayah pesisir dan laut secara terpadu oleh
Indonesia, muncul setelah ditungkannya Agenda 21 dalam Agenda 21 Indonesia
Tahun 1996. Diakui bahwa, di satu sisi wilayah pesisir dan laut Indonesia, memiliki
makna yang penting bagi pembangunan ekonomi, namun di sisi lain wilayah pesisir
dan laut juga memiliki sejumlah persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-
ekonomi, dan kelembagaan. Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut selama ini
tidak optimal dan berkelanjutan, salah satu penyebabnya adalah perencanaan dan
pelaksanaannya dijalankan secara sektoral dan tidak tertata sesuai dengan penataan
ruang yang baik. Sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir
dan laut, secara ekologis terkait satu sama lain, maka pengelolaan secara optimal
hanya dapat diwujudkan dengan pendekatan holistik dan teritegrasi.
Integrated coastal management, berhubungan dengan integrasi undang-
undang terkait dan integrasi antar sektor. Tata kelola kelautan dibangun secara
sistemik melalui pembangunan dan pemahaman keterpaduan antar pengelola di
wilayah pesisir dan laut dengan pihak-pihak terkait, adanya tujuan dan sasaran, nilai
dan etika dalam pembangunan, serta upaya penyelesaian sengketa dan kerjasama di
antara masyarakat pesisir, pemerintah, dan stakehlders.157 Tata kelola wilayah pesisir
dan laut bertumpu pada prinsip integrated coastal management, dirumuskan dalam
bentuk aturan hukum.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, harus menjadi acuan bagi pembentukan aturan hukum
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terintegrasi. Pengelolaan
wilayah pesisir dan laut membutuhkan perangkat aturan hukum, sehingga memiliki
dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban, kepastian, dan

156
J.C. Sorensen and McCreary. “Coast, Institutional Arrangement for Managing Coastal
Resources”, Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 5.
157
Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management. Proceeding
of International Symposium. Malang, hlm. 17.

138
keadilan. Untuk itu, prinsip-prinsip integrated coastal management perlu dituangkan
ke dalam produk aturan hukum nasional dan daerah secara sinkron yang mengatur
mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Menuju tata kelola kelautan yang baik (good ocean governance), maka
kebijakan kelautan Indonesia hendaklah mengakomodasi kepentingan nasional
terhadap wilayah kedaulatan dan yurisdiksi, serta kepentingan dan keterkaitan
Indonesia terhadap aturan global di perairan laut internasional. Untuk itu diperlukan
pula suatu instrumen kebijakan kelautan berupa tata ruang laut beserta sumberdaya
yang terdapat di dalamnya.
Salah satu elemen penting dalam program integrated coastal management
adalah penyusunan suatu rencana zonasi yang merujuk pada penetapan wilayah
administratif. Penetapan zonasi wilayah administratif tersebut dapat merujuk kepada
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Penetapan zonasi laut lebih sulit untuk dilakukan karena kurangnya data
ruang yang konsisten, sifat multi dimensional lingkungan laut, dan kurangnya data
sumberdaya laut yang akurat, lengkap dan terkini. Jacub Rais, mengemukakan tiga
konsep penataan ruang laut:158
1. keterpaduan menata ruang laut dan daratan melalui pendekatan Daerah
Aliran Sungai (DAS);
2. keterpaduan menata ruang pulau-pulau kecil dan laut dengan pendekatan
bioregionism yang mengkaitkan karakter fisik oseanografi, atmosfer,
perubahan iklim dengan karakter demografi, sosial, ekonomi, budaya
yang hidup di pulau-pulau kecil; dan
3. Zona Ekonomi Eksklusif.
Pada hakikatnya penataan ruang laut adalah suatu kebijakan publik yang
bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang laut bagi semua kepentingan

158
Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang Laut- Darat
Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. 2005.
Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan Coastal Resources Management Project. Jakarta, hlm. 113.

139
para pelaku pembangunan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, selaras,
seimbang, dan berkelanjutan. Undang-undang penataan ruang (UU No. 26 Tahun
2007), baru terfokus pada tata ruang daratan, oleh karena itu penataan dan
pengelolaan ruang laut dan udara diatur dengan undang-undang tersendiri (Pasal 6
ayat (5)). Secara aktual penataan ruang laut dan ruang udara hampir tidak pernah
dilakukan.

C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan Laut oleh Daerah

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 32


Tahun 2004, kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut
(paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai dan sepertiga (1/3) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota, antara lain pengaturan tata ruang. Oleh
karena itu, Pemerintah daerah harus pula melakukan pembangunan di daerah dan
kelautan secara seimbang. Peran pemerintah daerah dapat menggerakkan potensi
masyarakat di daerahnya untuk menggali potensi laut, baik melalui eksploitasi yang
bertanggung jawab maupun budidaya dengan tetap memelihara kearifan lokal,
sehingga ketersediaan pangan yang bersumber pada laut tetap lestari.
Dengan kewenangan di wilayah laut tersebut, Daerah berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut tersebut. Konsekwensi dari kewenangan
tersebut, Daerah berkewajiban pula untuk ikut melindungi dan mengamankan
wilayah laut dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan wilayah laut
dan sumber daya alamnya. Sebagai contoh, selama ini nelayan tradisional seringkali
kehilangan lahan untuk penangkapan ikan karena sudah dikuasai oleh nelayan asing
yang menggunakan perlengkapan modern, maka sekarang Daerah mempunyai
kewenangan untuk melindungi nelayan setempat.
Memang sempat terjadi konflik horizontal di masyarakat dan mengarah pada
ego-kedaerahan sehubungan dengan implementasi kewenangan daerah di wilayah
laut, seperti pelarangan bagi nelayan dari Daerah lain untuk melaut dalam suatu
Daerah. Hal tersebut bukanlah disebabkan oleh kesalahan kebijakan Otonomi
Daerah, namun lebih merupakan dinamika transisi implementasi Otonomi Daerah.
Pada tahap awal suatu undang-undang sangat mungkin timbul keragaman
pemahaman dan interpretasi dari banyak kalangan terhadap suatu ketentuan aturan,

140
dalam hal ini otonomi Daerah di wilayah laut. Oleh karena itu, antara pemerintah
Pusat, pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi dibutuhkan pemahaman
dan persepsi yang sama terhadap kewenangan Daerah di wilayah laut, antara lain
sehubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.
Pengaturan wewenang dan hubungan antara Pemerintah dan pemerintah
daerah dalam tata kelola sumber daya alam sektor kelauatan (wilayah pesisir dan
laut), tidak sekedar difokuskan pada pengaturan terhadap objeknya saja (sumberdaya
alam), tapi ditekankan pula kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan
daerah) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

D. Penegakan Hukum dan Kebijakan Sektor Kelautan Multi Dimensi

Dalam hal penegakan hukum di laut, Indonesia sangat dirugikan akibat


sumberdaya perikanan banyak “dicuri’ (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan (kapal-
kapal) asing. Akibat “pencurian” tersebut Indonesia justru dituduh oleh banyak
negara sebagai 'pelaku' “pencurian” ikan terbesar di dunia.159 Sungguh ironis,
nelayan Indonesia dituduh telah menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya
melebihi kuota (ditetapkan sepihak oleh negara-negara tertentu), sehingga dituduh
sebagai pencuri ikan terbesar. Padahal penangkapan jenis ikan tersebut dilakukan
oleh nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.
Sebagai perbandingan tentang manajemen dan penegakan hukum
sehubungan dengan pengelolaan sumber daya laut (hidup), dapat merujuk kepada
upaya-upaya yang dilakukan secara baik oleh negara lain, misalnya Negara
160
Norwegia (Norway). Bagi Norwegia, industri perikanan merupakan tulang
punggung daerah pesisir pantai dan menempatkannya sebagai salah satu sektor
ekspor terbesar Norwegia. Oleh karena itu sangat penting bagi Norwegia untuk
menerapkan manajemen sumber daya laut hidup yang sangat baik. Tujuan
pengelolaan sumber daya laut hidup Norwegia adalah memastikan penggunaan yang
berkelanjutan, sebagai contoh, untuk memastikan bahwa panen disesuaikan dengan
kapasitas ternak untuk berkembang biak.

159
Mustopa, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009.
160
Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup.
http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli 2009.

141
Di Norwegia, aturan hukum bidang perikanan ditegakkan baik di laut dan
ketika ikan ditangkap. Di laut, penjaga pantai bertanggung jawab untuk memeriksa
kapal yang memancing dan tangkapannya. Kapal asing yang memancing di perairan
di bawah kekuasaan Norwegia juga diperiksa. Direktorat Perikanan bertanggung
jawab untuk mengkontrol jumlah ikan yang ditangkap dan menjaga statistik
perikanan. Kasus pemalsuan laporan atau ketidaksamaan dirujuk ke pengadilan.
Sejak 1 Juli 2000, pemerintah Norwegia mengharuskan kapal yang berlayar
di laut untuk memasang dan menggunakan peralatan berbasis satelit, sehingga
memungkinkan para pejabat memonitor kegiatan mereka secara berkala. Norwegia
juga memiliki perjanjian tentang penelusuran jejak melalui satelit dengan beberapa
negara dimana sumber ikan mereka berada di bawah daerah hukum perikanan
Norwegia.
Dari aspek kebijakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah
merumuskan rencana pembangunan jangka panjang di bidang kelautan, diarahkan
untuk mengelola wilayah laut dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan
kemakmuran negara. Secara spesifik, juga membangun ekonomi kelautan secara
terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara
berkelanjutan. Namun proyek besar pembangunan kelautan tersebut tidak semata
milik DKP, melainkan kait-mengkait secara integral dari seluruh komponen bangsa.
Perlu keterkaitan secara sinergis dengan berbagai instansi, termasuk pemerintah
daerah yang memiliki wilayah pantai dan laut.
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta wilayah pesisir di masa
datang, akan menghadapi sejumlah tantangan. Perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan juga dapat menganggu kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.
Selain itu, tuntutan terhadap pembangunan kelautan dan perikanan secara efisien,
efektif, dan dengan pelayanan prima, menjadikan tantangan tersebut makin berat.
Namun seberat apapun tantangan itu, pembangunan tetap harus berjalan dengan
menggunakan berbagai sumberdaya dan memanfaatkan peluang yang ada.

142
BAB VI
ANALISIS ATURAN HUKUM
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dalam rangka menjalankan organisasi negara melalui sistem pemerintahan


sampai ke daerah-daerah, disamping tetap mendasarkan pada asas sentralisasi untuk
sebagian urusan pemerintahan, dapat dilakukan dalam pelbagai bentuk desentralisasi.
Implikasi langsung dari pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut adalah kebutuhan
dana (keuangan) yang cukup besar, baik untuk pembiayaan urusan pemerintah pusat
(nasional) maupun untuk menjalankan urusan pemerintahan pada tingkat lokal
(daerah). Oleh karena itu diadakan pengaturan mengenai keuangan negara dan
keuangan daerah dalam bentuk aturan hukum, yaitu undang-undang dan aturan
hukum penjabarannya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi (Pasal 18 A ayat (2)
UUD 1945), hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang161.
mempunyai

Beberapa aturan hukum mengenai keuangan negara dan hubungan keuangan


antara pusat dan daerah, yaitu:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan


dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

4. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
5. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah
Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif
Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

161
Periksa teks lengkap ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

143
6. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah
9. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah
10. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah
11. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang
Negara/Daerah
12. Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana
Alokasi Umum.

Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dapat dilakukan


secara desentralisasi fiskal, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan pinjaman
daerah.

1. Desentralisasi Fiskal

Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah penyerahan oleh pemerintah
pusat atas sumber penerimaan tertentu kepada daerah dari sektor pajak dan retribusi,
yaitu dengan nama pajak daerah dan retribusi daerah. Dari kedua sumber
penerimaan yang diserahkan kepada daerah tersebut, daerah dapat menggali dan
menggunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing.

Terdapat sejumlah jenis pajak daerah dan jenis retribusi daerah yang menjadi
lapangan masing-masing dari propinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut dapat
ditelusuri dari aturan dasarnya, terutama dalam undang-undang pemerintahan daerah,
undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah, dan undang-undang perimbangan
keuangan, serta undang-undang keuangan negara.

Secara substansial terjadi ketimpangan wewenang di bidang pajak dan retribusi


antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal tersebut tercermin dari sumber-
sumber pajak dan retribusi daerah yang sangat terbatas lapangan dan potensinya.
Pajak dan retribusi daerah menjadi andalan dalam kontribusi pendapatan asli daerah,
namun masih relatif kecil persentasenya dari total keseluruhan penerimaan daerah.

144
2. Dana Perimbangan

Dalam konteks desentralisasi fiskal dikenal pula dana perimbangan keuangan


antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu dana bagi hasil, Dana Alokasi
Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Perimbangan adalah suatu sistem pembagian
keuangan dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Bagi hasil penerimaan (revenue sharing) berasal dari penerimaan pajak dan
penerimaan dari sumber daya alam (SDA). Dari dana bagi hasil penerimaan negara
tersebut, dapat mengurangi sebagian ketimpangan hubungan keuangan antara pusat
daerah, khususnya dari aspek fiskal.

Bagi hasil penerimaan tersebut di atas dilakukan dengan persentase tertentu


yang didasarkan atas daerah penghasil. Bagi hasil penerimaan negara tersebut
meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari
sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Di samping itu, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2000, yaitu UU Pajak Penghasilan
(PPh) sebagai perubahan UU sebelumnya, Daerah memperoleh bagi hasil dari PPh
orang pribadi yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29
Orang Pribadi.

Sistem bagi hasil tersebut di atas, baik dari sektor pajak maupun SDA dapat
menimbulkan ketimpangan horizontal antar daerah sejenis. Hal ini disebabkan potensi
subjek dan objek pajak yang tidak sama antar daerah, di samping itu, hanya beberapa
daerah yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas
alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Terhadap lapangan pajak yang sudah
menjadi lapangan pajak pemerintah pusat tidak dapat dikenakan pajak lagi oleh
daerah. Meskipun demikian, dimungkinkan dilakukan opsen atau penetapan
tambahan atas pajak pusat, misalnya terhdap PPh Orang Pribadi.

145
3. Dekonsentrasi

Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada


Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di propinsi. Sifat urusan yang dilimpahkan
tersebut tetap sebagai urusan pemerintah pusat, namun pelaksanaannya di daerah
dilakukan oleh dinas Daerah dan instansi vertikal di daerah. Pendanaan atas
pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah
pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Apabila dari pelaksanaan urusan
dekonsentrasi tersebut menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu menjadi
penerimaan pemerintah pusat.

Urusan dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama dan penyelesaian


perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

4. Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan juga diadakan dalam rangka memperlancar pelaksanaan


urusan pemerintah pusat di daerah. Perbedaan dengan dekonsentrasi, pada tugas
pembantuan dalam pelaksanaannya dapat ditugaskan kepada propinsi, kabupaten,
kota, dan desa. Disamping itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak
terbatas dari Pemerintah Pusat saja, tapi juga dapat berasal dari pemerintah propinsi
kepada kabupaten/kota, atau dari kabupaten/kota ke desa.

Dalam hal urusan yang dilaksanakan berdasarkan tugas pembantuan tersebut


berasal dari pemerintah pusat, maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan
dimaksud berasal dari APBN. Dalam hubungan ini, apabila kegiatan tersebut
menghasilkan pendapatan, maka pendapatan tersebut menjadi penerimaan negara
(pemerintah pusat).

146
5. Pinjaman Daerah

Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana


yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), maka daerah dapat melakukan
pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan)
maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui pemerintah pusat. Dengan
demikian sumber pinjaman daerah dapat berasal dari sumber di luar keuangan
negara, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung.

Pinjaman daerah yang bersifat jangka panjang, digunakan untuk membiayai


pembangunan prasarana yang akan menjadi aset daerah. Selain memberikan manfaat
bagi pelayanan umum, diharapkan dari pengelolaan aset tersebut nantinya dapat
menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. Adapun pinjaman daerah
yang bersifat jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas
daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.

Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman)


dalam kerangka desentralisasi fiscal, belum diikuti dengan aturan hukum yang jelas
dari segi mekanisme penyaluran, mekanisme pembayaran kembali, jaminan dan
akuntabilitas. Akibat dari semua itu, sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri
untuk pemerintah paerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena
persoalan aturan hukum yang disebutkan tadi tidak jelas.

B. Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor Keuangan Pusat
dan Daerah

Konflik aturan hukum dan disharmoni mengenai tata kelola sektor keuangan
antara pusat dan daerah diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, Departemen


Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya realisasi
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sehingga penyalurannya
terlambat.

147
2. Peluang terjadinya penyalahgunaan kebijakan Pemerintah Pusat yang
memberikan perintah untuk segera mencairkan Dana Alokasi Khusus
tanpa melihat kesiapan Pemerintah Daerah untuk merealisasikannya.
3. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat 3
Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi
DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah
mendapat alokasi DAU lebih daripada seharusnya.
4. Penghitungan alokasi DAK tidak mengikuti kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tersebut
tidak mempunyai dasar.

5. Penerimaan Dana Perimbangan oleh banyak Pemerintah Daerah


dilakukan tanpa melalui kas daerah, di antaranya digunakan secara
langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan ada yang belum disetorkan
ke daerah.

C. Isu Hukum Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan Pusat dan
Daerah Serta Solusinya

Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam


mengimplementasikan ketentuan Dana Perimbangan (Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005) berakibat pada adanya
pertentangan pada kedua ketentuan tersebut dalam hal penetapan Dana Perimbangan
sehingga berpotensi pada ketidakadilan dan ketidakselarasan dalam pengalokasian
dana tersebut.

Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa pengaturan hubungan keuangan
tersebut harus memberikan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia, meskipun
proses pendistribusian tidak secara merata atau sama besarnya antara daerah yang
satu dengan daerah yang lainnya.
Pengaturan hubungan keuangan tersebut harus memberikan jaminan
terciptanya kesesuaian antara besarnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah

148
dengan sumber-sumber keuangan yang dapat dikelola oleh daerah, serta sesuai
dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Penggunaan istilah ”perimbangan keuangan” dalam UU Nomor 33 Tahun 2004,
dapat dikatakan merupakan upaya untuk memenuhi jiwa dan semangat Pasal 18A
ayat (2) UUD 1945 , khususnya kata-kata adil dan selaras.
Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu dapat
berlangsung dengan adil dan selaras jika dipenuhi beberapa aspek:
1. Apakah Pemerintah Pusat telah menyerahkan sumber-sumber keuangan yang
cukup terutama yang berhubungan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan
bagi hasil pajak dan SDA. Pemberian sumber-sumber penerimaan tersebut
akan mencerminkan kemampuan atau potensi di bidang keuangan dari suatu
daerah. Hal ini dikarenakan kemampuan keuangan daerah sangat ditentukan
oleh ketersediaan sumber-sumber pajak dan dan retribusi serta hasil dari
objek pajak dan retribusi tersebut. Adapun tingkat hasil sangat dipengaruhi
oleh sejauh mana sumber pajak responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi objek pengeluaran seperti inflasi, pertambahan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi. Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki
Daerah akan menentukan juga tingkat kemampuan keuangannya. Setiap
daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan
kondisi ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran,
dan besaran penduduk.
2. Sejauh mana pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk
menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk
menyediakan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah.
3. Sejauh mana pemerintah pusat memberikan subsidi yang adil dan terukur
kepada masing-masing daerah untuk membiayai kekurangan dana.
Penyerahan sumber-sumber keuangan kepada daerah oleh pemerintah pusat
sangat erat kaitannya dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah
sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi. Oleh karena itu, sumber-sumber
keuangan yang diserahkan kepada daerah mestinya sebanding dengan tugas dan
tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan. Dengan perkataan lain, perimbangan keuangan harus
menunjukkan, bahwa penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah

149
mencerminkan adanya keseimbangan dengan penyerahan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber-sumber keuangan yang ada di daerah.
Penyerahan sumber-sumber keuangan oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah belum mencerminkan besarnya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Luasnya urusan pemerintah daerah, tidak dibarengi
dengan penyerahan sumber-sumber keuangan potensial yang berada di wilayah
daerah otonom sebagai pemasok utama PAD, khususnya yang berkaitan dengan
pajak dan retribusi daerah.
Masih ada keengganan pemerintah pusat untuk memberikan dana bagi hasil
yang lebih besar kepada daerah, khususnya dari sektor pertambangan minyak dan
gas bumi. Hasil sektor pertambangan minyak bumi 84,5% untuk pemerintah pusat
dan sisanya dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota, dan hasil sektor
pertambangan gas bumi 69,5% untuk pemerintah pusat dan sisanya untuk daerah.
Memang perimbangan keuangan tidak berarti pemberian sumber-sumber keuangan
dibagi secara secara sama rata (sama besar) antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, karena perimbangan keuangan hakikatnya merupakan subsidi dari pusat
kepada daerah.
Pemerintah daerah harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara
objektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk membiayai
penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah. Pemerintah daerah
juga harus dapat melakukan perhitungan secara matang dan rasional mengenai
rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sehubungan dengan penyerahan urusan
pemerintahan kepada daerah. Berdasarkan rencana kegiatan itu, akan dapat diketahui
kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.

D. Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah

Beberapa hal yang harus dicermati dan dijadikan sebagai langkah


penyempurnaan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah,
adalah:
1. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal perlu dipikirkan adanya semacam
pedoman dari pemerintah pusat sebagai sarana pengawasan.

150
2. Prinsip money follow function harus dilaksanakan secara konsisten sehingga
kewenangan harus ditetapkan lebih dahulu baru kemudian ditetapkan dan
ditransfer dana yang dibutuhkan.
3. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, agar pemerintah pusat senantiasa
mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah, antara lain dengan DAK.
4. Dari gambaran consolidated revenues (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi +
Penerimaan Dana Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sekitar
3,45% tergolong sangat sentaralistis. Untuk itu perlu peningkatan taxing
powers Daerah, antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat dan
Daerah, dan penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah. Kebijakan ini
sekaligus untuk menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-
sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian dan
lingkungan.
5. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
pengelolaan pajak dan retribusi Daerah, sehingga penyimpangan penggunaan
anggaran daerah dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan.

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa hal perlu ditegaskan:


1. Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber pendapatan Daerah
dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
2. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang menyangkut dana
perimbangan belum memberikan peran kepada Daerah untuk terlibat
langsung dalam menentukan kriteria, variabel, maupun jumlah prosentase
pembagian antara Pusat dan Daerah.
3. Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah terutama yang berkaitan
dengan pencairan DAU dan DAK dalam pelaksanaannya kurang transparan.
4. Agar diperoleh suatu pemahaman yang sama, maka dalam menentukan
besaran persentase yang akan dicantumkan dalam peraturan yang mengatur
tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dilibatkan
masyarakat Daerah baik yang berasal dari LSM, perguruan tinggi, dan

151
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar terjamin keadilan, transparansi dan
akuntabilitas.
5. Untuk meningkatkan kemampuan Daerah dalam membiayai atau
membelanjai kegiatan pemerintahan, maka objek pajak yang potensial
hendaknya diserahkan hak pemungutan dan pengelolaannya kepada Daerah.
6. Pemberian subsidi atau bantuan hendaknya tetap dapat menjamin
kemandirian Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah
sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah.

152
BAB VII
PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN HUBUNGAN
PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN MASYARAKAT ADAT

A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan Daerah


Penyusunan daerah otonom ke tingkatan propinsi-propinsi (atau sejenisnya)
dan dibagi lagi dalam kabupaten-kabupaten dan kota-kota, menimbulkan persoalan
pembagian urusan pemerintahan dan ruang lingkup kewenangannya. Urusan-urusan
pemerintahan yang dapat dibagi dan diselenggarakan bersama-sama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hingga sekarang belum terselesaikan
dengan tuntas, terutama tentang ruang lingkup masing-masing urusan tersebut dan
mengintegrasikan secara sinergis dalam tataran normatif dan pelaksanaannya.

Sebagian pihak bersikukuh agar propinsi tetap sebagai daerah yang memiliki
urusan otonom, baik jenis maupun ruang lingkup yang besar. Pada sisi lain,
kabupaten atau kota, sebagai daerah otonom yang berbasis langsung pada rakyat,
juga memiliki urusan sebagai daerah otonom. Namun urusan kabupaten dan kota
lebih merupakan urusan residu (sisa), karena terlebih dahulu ditentukan dan diatur
apa saja lingkup urusan Pemerintah pusat dan urusan propinsi.

Pembagian pengelolaan sumber daya yang ada di daerah, terutama sumber


daya yang bernilai ekonomi tinggi (banyak menghasilkan uang), kabupaten atau kota
hanya mendapat sisa. Pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah berkisar pada
sumber-sumber yang sangat terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber yang
ditetapkan untuk pemerintah pusat. Apakah itu dari sumber daya alam, sumber daya
pajak dan retribusi, maupun sumber daya dari bukan pajak dan bukan retribusi yang
bernilai uang.

Padahal, penyelenggaraan otonomi yang berbasis langsung dengan rakyat,


menuntut tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Akibat keterbatasan sumber daya keuangan pada
kabupaten dan kota, menunjukkan realitas bahwa otonomi pada dua jenis daerah
tersebut belum berarti banyak bagi kesejahteraan masyarakat. Relatif kecilnya

153
pendapat asli daerah bila dibandingkan dengan penerimaan APBD, mencerminkan
bahwa otonomi itu masih jauh dari yang diharapkan. Faktor kunci ukuran
keberhasilan otonomi daerah ditentukan oleh kekuatan pendapatan asli daerah yang
bersangkutan untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
pembangunan. Kenyataan sekarang, Daerah masih sangat bergantung kepada dana
alokasi dan bagi hasil penerimaan dari Pemerintah Pusat. Sutau kebijakan yang tidak
populer di masyarakat. Terdapat banyak kecendeungan bahwa upaya peningkatan
penerimaan daerah lebih banyak bersifat beban bagi masyarakat, hal tersebut
diwujudkan dalam bentuk pungutan (pajak, retribusi, iuran, sumbangan) dan
eksploitasi sumber daya alam.

Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang
besar, menjadi andalan utama dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah.
Berbagai eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan, seperti penebangan hutan,
kegiatan pertambangan, dan perkebunan oleh berbagai perusahaan baik dalam skala
kecil maupun skala besar, telah menimbulkan dampak kemerosotan daya dukung dan
keberlanjutan fungsinya bagi lingkungan hidup. Kemerosotan fungsi lingkungan,
bahkan terjadinya kerusakan lingkungan sangat mengancam bagi kehidupan
masyarakat setempat dan sekitarnya, bagi dari aspek kesehatan, keberlanjutan mata
pencarian, dan tatanan sosial kemasyarakatan.

Sisi lain dari eksploitasi sumber daya alam di daerah adalah makin terdesaknya
hak-hak masyarakat setempat atas akses terhadap hutan dan hasilnya serta akses hak
atas tanah. Untuk keperlukan lahan yang luas bagi usaha perkebunan besar, banyak
tanah-tanah warga masyarakat yang diambil alih, baik dengan proses pembebasan
yang sesuai prosedur maupun dengan proses yang tidak sesuai dengan prosedur.
Itulah sebabnya dapat dikatakan sengketa pertanahan antara warga dengan pihak
perusahaan, termasuk pemerintah, terjadi di tiap propinsi. Penetapan luas wilayah
atau areal lahan secara sepihak oleh pemerintah bagi suatu perusahaan yang
membutuh lahan yang luas, bahkan tidak diikuti dengan pengecekan secara objektif
di lapangan, sangat rawan terjadinya tumpang tindih dan sengkta kepemilikan lahan.
Berlarutnya penyelesaian dan tidak jelas akhir penyelesaian sengketa pertanahan,
rawan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga, baik dalam bentuk

154
pengrusakan, pembakaran terhadap asset, maupun kekerasan fisik lainnya, termasuk
terhadap fisik manusia.

Konflik batas lahan dan kepemilikan lahan, tidak hanya terjadi pada tataran
sesama warga masyarakat, antar warga dengan perusahaan, dan antar warga dengan
pemerintah, melainkan juga terjadi antar sesama pemerintah daerah. Pada tataran
antar sesama pemerintah daerah dikenal dengan sengketa wilayah administrasi yaitu
mengenai batas wilayah administratif masing-masing daerah yang berbatasan
langsung. Sengketa batas wilayah dapat terjadi antar provinsi, antar kabupaten, dan
antar kabupaten dan kota, serta kemungkinan dengan negara lain yang berbatasan
langsung terutama wilayah daratan, seperti dengan Malaysia di Pulau Kalimantan
dan di Propinsi Papua dengan Papua New Guinea (Papua Nugini).

Sengketa wilayah perbatasan antar pemerintah daerah di Indonesia tidak akan


menimbulkan kekerasan atau bentrokan di masyarakat, namun dapat menyebabkan
macet atau terabaikan pelayanan kepada masyarakat yang berada di daerah
perbatasan tersebut. Konflik (administrasi) perbatasan antar pemerintah daerah akan
makin mencuat jika di wilayah tersebut dan sekitarnya kaya sumber daya alam,
misalnya bahan tambang dan mineral, serta terdapatnya perusahaan yang
menanamkaan modal di kawasan tersebut, misalnya di bidang pertambangan dan
perkebunan. Persoalan menjadi bertambah krusial oleh karena kawasan potensi
sumber daya tambang dan mineral, tidak persis sama batas wilayahnya dengan
wilayah administratif daerah yang ditentukan berdasarkan peta tertulis, sebagai
miniatur dari permukaan bumi.

Potensi sumber daya tambang dan mineral, demikian juga sumber daya biotik
lainnya mempunyai karakter ekologik, oleh karena itu secara ekologik dapat meliputi
sejumlah wilayah atau daerah yang berbatasan langsung. Karakter ekologik dari
sumber daya alam tersebut, baik yang bersifat biotik maupun non biotik, tidak cukup
dipandang dan dipaksa diselesaikan secara pemetaan wilayah administratif,
melainkan juga harus didekati dari sisi bio-region dan nature region. Seperti halnya
bahan tambang (mineral, batubara, atau jenis lainnya), memiliki kawasan tersendiri
secara alami yang kadangkala tidak mudah ditentukan dari atas permukaan bumi.

Jika sumber daya alam yang terdapat di kawasan perbatasan wilayah daerah
tersebut potensial dan bernilai tinggi, maka persoalan kepentingan ekonomi menjadi

155
motif pertarungan dari daerah masing-masing yang perbatasannya persis di kawasan
tersebut. Kedua daerah atau lebih, saling klaim dan menyatakan diri sebagai pihak
yang berhak dan berwenang mengambil keputusan, termasuk terhadap pihak ketiga
yang akan melakukan investasi atas sumber daya alam tersebut.

B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif


Desentralisasi

Secara singkat dapat dideskripsikan pemaknaan tentang masyarakat adat itu


sebagai berikut:
1. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah
leluhur dan secara fisik berdomisili dan menggunakannya;
2. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai wilayah
leluhurnya tetapi tidak berdomisili di sana secara fisik serta tidak
memanfaatkan tanah adat tersebut karena suatu kesukarelaan atau suatu
keterpaksaan;
3. Masyarakat heterogen (campuran antara masyarakat adat dan pendatang).
Ada pula masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis (berdasarkan asas
keturunan), ialah masyarakat hukum adat yang para anggotanya terikat berdasarkan
keyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Dalam masyarakat
hukum adat yang genealogis dikenal tiga pertalian keturunan, yaitu:
1. keturunan menurut garis laki-laki, seperti terdapat dalam masyarakat hukum
adat orang Batak, Bali, dan Ambon.
2. keturunan menurut garis perempuan, seperti terdapat dalam masyarakat
hukum adat orang Minangkabau (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), dan
Semendo (Sumatera Selatan).
3. keturunan menurut garis ibu dan bapak, seperti pada masyarakat hukum adat
orang Bugis (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), dan Jawa.
Masyarakat adat (masyarakat hukum adat) yang dimaksud di sini lebih
ditekankan pada masyarakat adat yang secara fisik berdomisili dan memanfaatkan
tanah dalam ikatan wilayah adat mereka. Tidak dipersoalkan apakah anggota
masyarakat tersebut mengikatkan diri secara sukarela atau karena terpaksa. Tentu
saja dalam ikatan yang demikian bercampur pula ikatan yang bersifat genealogis dan

156
ikatan yang bersifat kewilayahan. Di samping hukum adat yang mereka gunakan
dalam kehidupan bermasyarakat, juga berlaku hukum (aturan hukum tertulis) yang
dibuat oleh negara, baik aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun
yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Karakter hukum yang dibentuk oleh negara cenderung dirumuskan dalam
aturan hukum dan norma hukum yang bersifat general (umum), tidak didasarkan
pada kekhasan dan kearifan lokal. Ketika hukum yang dibuat oleh negara itu
diterapkan di masyarakat (termasuk masyarakat adat) sering kali menimbulkan
goncangan terhadap tertib hukum dan budaya lokal, oleh hukum negara (nasional)
tidak selalu compatible dengan budaya lokal. Padahal, manusia tidak bisa hidup di
luar ketertiban, sebaliknya manusia tetap bisa hidup tanpa harus menggunakan
hukum modern (negara) dan tiap komunitas sesuai dengan kearifannya, akan
membangun ketertibannya sendiri.

Dalam kebijakan otonomi daerah, seperti pembentukan daerah, pemekaran


daerah, dan pembagian urusan pemerintahan, ternyata masyarakat adat beserta hak
komunalnya, tidak dijadi komponen yang menentukan dalam pembentukan daerah
dan pembagian urusan pemerintahan, juga dalam pembagian wilayah administratif
daerah. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,
lambat-laun akan terpinggirkan, sebab pengakuan dan penghormatan atas kesatuan
masyarakat adat dan hak tradisionalnya harus menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Pembagian wilayah-wilayah daerah otonom, mengakibatkan struktur
masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah (fragmented) dalam
beberapa daerah otonom.

Komunitas masyarakat adat dalam perjalanannya lambat laun akan berinteraksi


dengan masyarakat lain (luar), hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat luar yang
dinamis dan terus mengembangkan aktivitas kehidupan, sekalipun harus menjelajah
jauh ke daerah pelosok. Dengan demikian, proses terjadinya interaksi antara
masyarakat hukum adat dengan segala tatanan kemasyarakatan dan hak-hak
komunalnya dengan penduduk atau masyarakat lain, terjadi karena masuknya orang
luar tersebut ke dalam wilayah atau kesatuan masyarakat adat tersebut. Berbagai
alasan alasan atau kepentingan yang melatarbelakangi kedatangan orang luar
sehingga memasuki komunitas dan wilayah masyarakat adat, terutama:

157
- perpindahan penduduk dari daerah lain ke dalam wilayah suatu masyarakat
hukum;
- melakukan aktivitas perdagangan antar daerah;
- kegiatan sosial;
- kegiatan politik;
- pembukaan jalan;
- pembukaan area pertanian (oleh pemerintah); dan
- eksploitasi kekayaan sumber daya alam oleh korporasi, seperti kegiatan
penebangan kayu melalui hak penguhaan hutan (HPH), pertambangan, dan
perkebunan, serta pengusahaan tanaman industri untuk bahan kertas
misalnya.

Cikal bakal persoalan (konflik) pertanahan berskala besar dan berkepanjangan


yang menyangkut hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hak atas tanah masyarakat
lokal lainnya, yakni karena adanya aktivitas yang langsung berhubungan dengan
tanah, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertambangan, penebangan
hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu, dan
pembukaan ruas jalan untuk kelancaran mobilitas kegiatan investasi perusahan-
perusahaan besar.

Konflik tersebut di atas diakibatkan oleh perampasan hak atas tanah (teritori)
tanah adat baik oleh negara (pemerintah) dengan dalih “untuk kepentingan umum”
maupun oleh swasta (perusahaan). Perampasan teritori (territory violence) terhadap
masyarakat adat dengan mengatasnamakan undang-undang, peraturan atau kebijakan
pemerintah, seringkali menimbulkan friksi antara pihak yang diuntungkan (the
winner) dengan pihak yang kalah (the looser). Pihak yang diuntungkan biasanya
adalah pemerintah atau pihak lain yang mendapat “legitimasi” negara untuk
menguasai kawasan tertentu, sedangkan masyarakat adat (pemilik asli) hampir selalu
menjadi pihak yang dipinggirkan. Hal inilah yang menjadi benih konflik ketika
masyarakat sebagai pemilik awal melakukan tindakan penguasaan kembali atas
haknya yang dirampas.

Dampak eksploitasi sumber daya alam yang tidak selaras dengan prinsif Pasal
33 UUD 1945, tidak hanya membuat masyarakat adat dan masyarakat lokal
sekitarnya yang terdesak dan terjepit, melainkan berdampak secara kawasan,

158
regional bahkan global. Berbagai dampak terhadap lingkungan telah terjadi, sepertin
penurunan kualitas sumberdaya air, perubahan iklim secara ekstrem, menurunnya
fungsi dan daya dukung lingkungan dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan
ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Terancamnya kelestarian keragaman
jenis dan kekhasan sumberdaya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing
serta modal bagi pembangunan nasional.

Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah


melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan
permasalahan di bidang kehutanan. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan
nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam
belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi.

Praktik penebangan liar dan konversi lahan juga telah menimbulkan dampak
yang luas, yaitu kerusakan ekosistem di kawasan tersebut dan merambah ke dalam
tatanan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan pada DAS makin parah disebabkan
oleh lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS dan kurangnya koordinasi
antara kegiatan di hulu dan hilir, telah menyebabkan banjir pada musim hujan,
sebaliknya terjadi kekeringan pada musim kemarau di beberapa daerah.

C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip


Otonomi yang Luas

Tidak ada sistem yang sempurna, melainkan ada banyak inkonsistensi dan
inkoherensi (ketidaksesuaian) antara aturan yang satu dengan yang lainnya.
Inkonsistensi menunjukkan adanya kontraksi dalam sistem aturan hukum, sehingga
temuan adanya inkonsistensi mengindikasikan adanya kelemahan suatu sistem aturan
hukum. Terdapat ketidaksesuaian antara berbagai aturan hukum yang bersifat
sektoral dan aturan hukum yang bersifat sentralistik, dan antara aturan hukum yang
bersifat payung dengan aturan hukum yang bersifat implementing regulations.
Terbentuknya suatu UU baru tanpa diikuti pembentukan aturan penjabaran,
menyebabkan tetap memberlakukan aturan hukum yang bersifat implementing
regulations yang dibentuk berdasarkan UU yang lama. Cara demikian dapat

159
mencegah kevakuman hukum, namun di sisi lain, perubahan yang ingin dicapai oleh
UU baru, sulit dicapai.

Adanya UU sentralistik dan UU sektoral, seperti UU No. 23 Tahun 1997


tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-
pokok Pertambangan (telah dicabut dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), serta aturan hukum penjabarannya,
seperti PP, dan Perpres, tidak dapat berjalan secara bersamaan dengan UU
desentralisasi, dalam hal ini UU pemerintahan daerah (UU No. 32 Tahun 2004 dan
perubahannya).
Ketentuan Pasal 237 UU No. 32 Tahun 2004 menjadi titik tolak sinkronisiasi
aturan hukum sektoral dan sentralistik dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pasal
237 tersebut menegaskan, semua peraturan perundang-undangan (aturan hukum –
pen) yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom, wajib didasarkan dan
disesuaikan pengaturannya pada UU ini.

Asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas medebewind tidak dinyatakan


secara proporsional dalam UU No. 32 Tahun 2004, sehingga susbstansi Negara
Kesatuan yang terkandung di dalamnya menjadi bias. Bahkan ada pula asas otonomi
daerah, padahal sesungguhnya otonomi daerah adalah penjelmaan konkrit dari asas
desentralisasi. Juga asas pembantuan yang sesungguhnya wujud dari asas
medebewind, sedangkan asas dekonsentrasi tidak disebut secara tegas. Hal ini
menyebabkan ketidakkonsistenan dan ketidakharmonisan antara semangat negara
kesatuan dengan praktek pengaturan wewenang pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, hanya


dirumuskan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pada hal, masih ada lagi
urusan pembantuan sebagai konsekwensi digunakan asas medebewind. Seharusnya
dirumuskan “Urusan pemerintahan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib,
urusan pilihan, serta urusan pembantuan”.
Sesungguhnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan itu selalu dilakukan
secara bersamaan antara sentralisasi dan desentralisasi. Negara sebagai suatu
organisasi yang besar dan rumit, pasti menerapkan desentralisasi, baik secara penuh
maupun secara tidak penuh. Desentralisasi secara penuh, melahirkan suatu otonomi
bagi suatu pemerintahan lokal. Desentralisasi secara tidak penuh memiliki varian-

160
varian yaitu dekonsentrasi, medebewind, dan delegasi seperti BUMN dan otorita.
Sentralisasi dan desentralisasi selama ini dibangun atas dasar kemampuan pusat
memaksakan kepentingan dengan justifikasi-justifikasi yuridis yang cenderung
sepihak dan sulit dikontrol, dalam pengertian diverifikasi dan diarahkan pada upaya
pencapaian tujuan bernegara.

161
BAB VIII
PENUTUP

A. Umum

Di masa mendatang, penataan wewenang pemerintahan, terutama


penyelenggaraan sentralisasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara,
haruslah berdasarkan dan diarahkan pada:

1. Semangat negara kesatuan RI harus menjadi pengikat penataan substansi


yang mengatur wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah.
2. Asas desentralisasi diletakkan secara proporsional sehingga, pembentukan
organ-organ pemerintahan daerah berikut wewenangnya dapat efektif dan
efisien selaras dengan pemerintahan tingkat atasnya.
3. Pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli, oleh
karena itu tidak seharusnya membongkar susunan dan struktur asli
pemerintahan adat, tapi sebaliknya dikembangkan agar tetap aktual dalam
penyelenggaraan negara moderen.
4. Kebhinikaan (heterogenitas); menghormati, mengakui, dan mengembangkan
susunan asli pemerintahan Bangsa Indonesia. Di samping itu, akses yang
paling kokoh atau secara tradisional dengan memberi pengakuan terhadap
eksistensi budaya.
5. Pengaturan sumber-sumber pendapatan daerah ditata berdasarkan asas-asas
desentralisasi sedemikian rupa, baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas
secara seimbang, sinergis, dan harmonis.
6. Pengaturan wewenang dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam tata kelola sumber daya alam, tidak sekedar difokuskan pada
pengaturan terhadap objeknya saja, tapi ditekankan pula kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
7. Pada akhirnya, sejumlah undang-undang sektoral yang ada, perlu dilakukan
revisi.

162
B. Khusus

1. Sudah disepakati bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia ditujukan


kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu prinsif-prinsif
konstitusional pengelolaan sumber daya alam harus dijabarkan secara normatif
dalam aturan hukum sebagai dasar pelaksanaannya. Problematik yang terjadi
pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi
berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki
variasi karakter hukumnya.

2. Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam,
khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan
melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”)
dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf
kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:

a. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron


dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter:
eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi
kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum
menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis
instrumentalis).

b. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah


memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat
dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan
hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif
terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat
negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan
demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron
dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

c. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan


tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh
karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif

163
terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif,
artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul
pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan
hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan
semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3. Pada Era Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006), secara periodik juga memiliki
karakteristik:

a. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di


bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum
(ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan
aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-
undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya
peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format
tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun
peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya
lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.

b. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali


kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga
wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah
(pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun
2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan
Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter
represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan
dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu,
menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi
pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada
periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945.

4. Berkenaan dengan hal itu, beberapa saran yang digunakan sebagai rekomendasi
dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

164
a. Penyempurnaan peraturan di bidang agraria hendaklah didasarkan pada
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
sebagai aturan dasar dan pangkal tolak pembentukan aturan hukum di
bidang agraria. Prinsip yang dimaksud adalah menempatkan rakyat sebagai
arus utama, bukan aspek ekonomi atau modal (capital) sebagaimana yang
pernah diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru.

b. Dalam rangka penyempurnaan UUPA, pengkajian pada tahap awal minimal


dapat merumuskan tentang kedudukan UUPA di dalam peraturan
perundang-undangan agraria Indonesia. Upaya tersebut agar UUUPA betul-
betul ditempatkan sebagai aturan payung bidang pertanahan, sehingga
kebijakan-kebijakan operasionalnya tidak saling tumpang tindih satu sama
lain.

c. Setelah UUPA telah disempurnakan, dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi


seluruh peraturan yang berkaitan dengan agraria, yaitu menyelaraskan dan
menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dengan UUPA.

5. Dari segi aturan hukum dan kebijakan, serta lingkup wewenang pemerintah
daerah yang mendukung otonomi daerah di bidang kesehatan, terdapat
ketidakjelasan, ketidakkonsistenan, dan ketidaksinkronan. Akibat lebih lanjut,
keterlambatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang
kesehatan dalam peraturan daerah.
6. Di samping itu, belum adanya perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana,
sarana dan prasarana pada Departemen Kesehatan di pusat dan daerah, termasuk
dinas kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota. Keadaan demikian telah menghambat
upaya hukum melindungi hak warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
Pada akhirnya, berbagai persoalan hukum bidang kesehatan, kelembagaan, dan
birokrasi Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten, telah menghambat
pencapaian good governance di bidang kesehatan.
7. Memperhatikan kelemahan normatif dan kendala struktural dalam pelaksanaan
otonomi daerah di bidang kesehatan, maka perlu pengembangan hukum secara
normatif dan penataan struktur kelembagaan, dengan mengacu kepada
desentralsiasi urusan pemerintahan, sebagai berikut:

165
a. Secara folosofis, perlu konsistensi menegakkan asas otonomi, asas
desentralisasi, dan asas keserasian sebagai landasan filosofis fungsi dan
wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan.
b. Secara normatif, perlu kejelasan, konsistensi, sinkronisasi, dan kesegeraan
aturan hukum dan kebijakan, termasuk norma, standar, prosedur, dan
kriteria tentang pola tarif pelayanan kesehatan, pengendalian mutu dan
biaya pelayanan kesehatan, fungsi sosial pelayanan kesehatan, pengelolaan
perbekalan kesehatan, perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi
administrasi. Selain itu, juga perlu percepatan penjabaran fungsi dan
wewenang pemerintah daerah di bidang kesehatan dalam peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah.
c. Secara kelembagaan, perlu penataan struktur dan kapasitas kelembagaan
hukum (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) di bidang kesehatan,
supaya dapat mengembangkan struktur kelembagaan hukum secara internal
dan eksternal yang mempunyai keterkaitan sistemik. Memiliki daya dukung
kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada
konsistensi struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari
pembentukannya.
d. Penataan fungsi dan struktur organisasi Depkes dengan mengacu kepada
fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas
desentralisasi dalam rangka otonomi daerah di sektor kesehatan.
e. Komitmen pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi regulatif di bidang
kesehatan, guna mendukung pemerintah daerah dalam membentuk
peraturan daerah yang lebih berorientasi pada pemenuhan hak warga negara
atas derajat kesehatan yang optimal.
f. Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan
evaluasi peraturan daerah di bidang kesehatan, maka perlu segera
pembentukan bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinas
Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, disertai peningkatan jumlah dan
kualifikasi SDM.

8. Dari segi aset dan potensi kelautan, Indonesia memiliki luas laut lebih kurang
5,8 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai 95.181 kilometer, namun
dari segi penataan hukum dan penegakan hukum banyak mengandung

166
kelemahan dan permasalahan. Kesemua itu sekaligus menjadi tantangan dan
memerlukan penanganan segera mungkin guna mendapatkan solusi terbaik.
Terdapat sejumlah aktivitas yang banyak merugikan negara dan bangsa
Indonesia, baik yang berdampak dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang, yaitu:

a. praktek illegal fishing terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

b. penambangan pasir laut secara illegal.

c. Kegiatan industri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan pada ekosistem


pesisir dan laut, berupa kerusakan fisik dan pencemaran di beberapa
kawasan pesisir dan laut.

d. terjadinya deforestrasi hutan mangrove dan degradasi terumbu karang di


kawasan pesisir dan laut, mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya
keanekaragaman hayati laut.

e. Penataan ruang dan pengembangan wilayah pesisir dan laut belum


diupayakan secara tepat.

f. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga, terutama


dengan Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Filipina.

g. Pengelolaan terhadap pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan (+92 buah)


belum dilakukan secara optimal.

h. Pengembangan sumber daya di wilayah laut dalam, terkendala permodalan


dan teknologi, yang jika diatasi dapat menjadi salah satu keunggulan
komparatif sumber daya kelautan.

i. Di wilayah laut Indonesia masih banyak barang muatan kapal tenggelam


yang belum diupayakan pemanfaatannya secara optimal. Pengelolaan aset
tersebut dapat didayagunakan sebagai tambahan modal dalam
pengembangan sumber daya kelautan.

9. Berlakunya UU sektoral dan UU sentralistik di satu sisi, dan di sisi lain berlaku
pula secara bersamaan UU yang bersifat desentralisasi, tidak bisa berjalan secara
bersamaan, jika tidak disusun secara sinergis. Pengaturan wewenang

167
pengelolaan sumber daya kelautan masih tersebar dalam sejumlah UU sektoral.
Wewenang pemerintah pusat didasarkan pada aturan hukum sektoral dan
sentralistik, sedangkan wewenang daerah didasarkan pada aturan hukum yang
desentralistik. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi aturan hukum sebagai
landasan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumber daya kelautan.

168
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G Nusantara dan Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran


Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung.
---------------------------------. 1988. Politik Hukum Indonesia. YLBHI, Jakarta.
Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta.
Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung.
Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a
comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book
Company, Suffolk, Great Britain.
Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan (Dimensi Keadilan dan Kepentingan
Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya.
Penerbit Bina Aksara.
Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan
Perundang-undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah,
Disampaikan dalam Seminar Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang
Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal
17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.
Arendt, Hannah. 1972. On Violence” in Crisis of Republic. Harcourt Brace Jovanovich.
New York.
Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume
III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses
tanggal 15 Januari 2005.
Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya
Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah,
Disampaikan pada Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor
Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006.
Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta.
Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance
dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Peaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional.
Djambatan, Jakarta.
--------------------. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta.
Bonnie Setiawan. At The End of Globalisation, We are All Dead.
http://www.globaljust.org/file-global/GLOBALISASI%20lengkap.pdf. Diakses
tanggal 5 Desember 2009.
Christodoulou, Demitrius. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict
Worldwide. Zed Books, London and New Jersey.
Dianto Bachriadi, et.al (ed).1997. Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan
Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus
Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul.
----------------------. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal
Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada
pertemuan: Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan
dalam Rangka Promosi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang,
Juni 2004.
Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Desentralisasi). “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”.
Makalah, Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya.
Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”.
Harian Kompas, tanggal 25 Juni 2005.
Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Firman Muntaqo. 2006. “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan
Penelitian Disertasi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002.
G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan
Pertanian. Kanisius, Yogyakarta.
Gunawan Wiradi. Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009.
Makalah Semiloka Reforma Agraria. YLBHI, Jakarta, September 2004.
Gustam Idris. Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel
tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan Diklat Provinsi Sumatera
Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus 2001.
Hutagalung, Daniel. Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara Indonesia.
Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta.
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas
Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta.
Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management.
Proceeding of International Symposium. Malang.
Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang Laut-
Darat Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia. 2005. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management
Project. Jakarta.
Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di
Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia, Surabaya.
Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam
http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12
Januari 2008.
Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York.
-----------------. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori
Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif-Empirik). Bee Media Indonesia, Jakarta.
Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara. Alumni, Bandung.
Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI,
Yogyakarta.
Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve,
S’Gravenhage, Bandung.
Lijphart, Arend. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale
University Press.
Lubis, M. Solly. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung.
M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom.
EndaNG, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003.
Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup.
http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli
2009.
Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press &
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas
Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-
110.
Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta.
Mubyarto. Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi
Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003, www.ekonomirakyat.org.
Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya
Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan
Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu
Media, Malang.
Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia.
Djilid Pertama, Jajasan Prapantja, Jakarta.
Mustopa. Merebut` Hak Indonesia atas Tuna Sirip Biru,
http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009.
Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. 1998. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan
Sejarah yang Harus Diselesaikan, dalam: Usulan Revisi UUPA 1960: Menuju
Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria. KRHN & KPA, Jakarta.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip. 1978. Law and Society in Transition-Toward
Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York, Hagerstown,
San Fransisco, London.
Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara,
Jakarta.
Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD
1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/.
Diakses tanggal 26 Nopember 2009.
Parlindungan, A.P. 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung.
------------------------. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar
Maju, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta.
Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di
DPRGR tahun 1960.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan &
Yurisprudensi. Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit,
hlm. 48.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 mengenai pengujian undang-undang Sumber Daya Air.
Ratih Anbarini. Sumber Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan.
http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-daya-kelautan-indonesia-belum-optimal-
dimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009.
Ridwan.. Makalah pada Seminar Bagian “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan
Kedua UUD 1945”Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Sriwiijaya dengan Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006.
Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan
Departemen Penerangan, Bandung.
Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita.
S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi,
UNPAD, Bandung.
S.Hutagalung, Arie. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.
Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung.
----------------------. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Muhammadiyah University Press, Surakarta.
-----------------------. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian
Kompas, tanggal 3 Januari 2001.
S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and
Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank,
Washington DC.
Soedarmono Soejitno, et al.2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. PT. Grasindo,
Jakarta.
Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakart.
Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung.
Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan
Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari.
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan
Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta.
Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan
Negara”. Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara
Kesatuan RI. Sekretariat Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992.
Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar
Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut
Surabaya.
http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.asp
x. Diakses tanggal 22 Agustus 2009.
Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai
Tingkat Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”. Laporan,
“Seminar Nasional 4 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”.
Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi DEPKES RI, dan WHO,
Makassar, 7-8-9 Juni 2005.
Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi
Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta.
Untoro Hariadi & Masruchah, (ed). 1995. Tanah, Rakyat dan Dmokrasi. Forum LSM-
LPSM DIY, Yogyakarta.
Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University
Press, Surabaya.
Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat,
Jakarta.
Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara &
Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia.
Alumni, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai