Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH AKHLAQ TASAWUFAL-AHWAL, AL-

GHALABAH, AS-SAKR, ASY-SYUHUD, AT-TAJALLI, AL-FANA' WA-


AL BAQA, AL-MA'RIFAH, AT-TAUHID

Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Tasawuf

Di Buat Oleh :

1. INDAH LESTARI NAPITUPULU


Nim : 202113003
2. WAHYUNI MAHARA
Nim : 202113005
3. SYAHRI RAMADHAN
Nim : 202113006

Dosen Pengampuh :
RASYIDIN MUHAMMAD, LC., M.A.

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan makalah ini tidak


terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Siti Rakhmah S.HI selaku dosen pembina matakuliah Studi Hadits.

2. Orangtua kami yang senantiasa memberikan motivasi, fasilitas dan segala


sesuatunya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Terakhir kepada semua pihak yang tak sempat disebutkan namanya, yang
juga telah berjasa terhadap penulis dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,


sehingga kritik serta saran yang membangun penulis harapkan dari pembaca.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 5 Okober 2015

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak
mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang
dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara
menyeluruh.
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state)
digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam
prespektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan
atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu
merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa
dipahami bahwa seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara
berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan
memanivestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Apa saja macam-macam al-ahwal dalam tasawuf ? 

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1      GHALABAH
Ghalabah adalah suatu keadaan yang dialami oleh para Sufi yang
didalamnya ia tidak mampu melihat penyebabnya atau menjaga sikapnya, dan
sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa mengenai keadaan yang
menimpanya, bahkan dia mungkin akan melakukan sesuatu yang akan
menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh ereka yang tidak mengerti
keadaan dirinya. Tapi kalau ghalabah itu telah lewat maka dia akan kembali
kepada keadaan dirinya yang normal. Kekuatan-kekuatan ini mungkin merupakan
rasa takut, rasa terpesona, rasa hormat, rasa malu atau yang semacam itu. (As
Asmaran, 2002)
Seperti dalam cerita Abu Lababah bin Mundzir. Banu Quraizhah
bermaksud berunding dengannya, ketika nabi menghendaki mereka tunduk
kepada wewenang sa’id ibn Mu’adz, dan Said mengisaratkan hukum bunuh. Lalu
ia bertobat atas yang telah dilakukannya, karena ia sadar telah bersikap tidak setia
kepada Tuhannya dan Rasulnya. Maka ia pun dengan bingung dan mengikat
dirinya sendiri pada salah satu tiang masjid, sambil berkata “aku tidak akan
meninggalkan tempatku ini sampai tuhan mengampuni apa yang telah aku
lakukan”. Dia bertindak seperti itu karena takut kepada Tuhan Azzawajalla, dan
tidak pergi kepada Nabi seperti yang seharusnya dilakukan, Allah azzawajalla
berfirman: “kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri, lalu datang kepadamu
sambil memohon ampunan kepada Allah, maka Rasul pun ikut memohon
ampunan”. Dan tidak tertulis dalam hukum bahwa seseorang mesti diikat pada
tembok atau tiang. Nabi berkata “kalau saja dia datang kepadaku, maka aku pasti
telah memohonkan ampun untuknya, tapi karena dia telah melakukannya apa yang
dilakukan sekarang (dia tidak datang kepada Nabi), maka bukan aku yang harus
membebaskannya dari tempat itu, sampai Tuhan mengampuninya”. Ketika Allah
melihat bahwa Abu Lubabab memang tulus, dan apa yang terjadi merupakan

4
akibat dari rasa takut yang menguasainya, maka Ia pun mengampuninya,
kemudian Nabi membebaskannya. (Abi Bakar Sayyid, 2003)
Umar ra pun pernah mengalami keterkuasaan (ghalabah) sehingga dia
menentang Nabi ketika beliau hendak mengadakan gencatan senjata dengan
orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah. Umar datang kepada Abu Bakar dan
berkata “Wahai Abu Bakar, tidakkah beliau itu Rasul Allah?”, abu Bakar
menjawab “Iya”, Umar berkata “tidakkah mereka itu orang-orang kafir?”, Dia
berkaya “Iya”, Umar Berkata “tidakkah kita ini orang-orang muslim?”, Dia
berkata “Iya”, Umar berkata “lalu, mengapa kita membawa pertimbangan-
pertimbangan duniawi ke dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata “Wahai Umar,
berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau, sebab aku bersaksi bahwa beliau
utusan Allah”, dan Umarpun berkata “dan akupun bersaksi bahwa beliau utusan
Allah”. Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, sampai ia datang kepada Nabi dan
berkata kepada beliau sebagaimana yang dikatakannya kepada Abu Bakar, dan
Nabi pun menjawab seperti apa yang dikatakan Abu Bakar, sampai akhirnya
berkata “aku adalah hamba Tuhan dan Rasulnya, aku tidak akan menentang
perintahnya dan Dia tidak akan meninggalkanku”. Dan umarpun berkata “aku tak
henti-hentinya berpuasa, bersedekah, membebaskan para tawanan serta berdoa.
Untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata yang
telah kuucapkan, sampai akhirnya aku berharap segala sesuatu berjalan dengan
baik. (Abi Bakar Sayyid, 2003)

2.2      AS-SAKR
Sakr adalah keadaan seseorang yang tidak sadar sementara dia tidak
sepenuhnya tidak sadar akan hal-hal di sekelilingnya, yakni tidak bisa
membedakan hal-hal yang dapat diterima dan menyenangkan dan kebalikannya.
Hal ini dikarenakan hubungannya dengan Tuhan. Rasa keterkuasaan oleh wujud
Tuhan menghilangkan kemampuannya untuk menbedakan apa yang menyakiti
dirinya dan apa yang mendatangkan kesenangan baginya. (Solikhin, 2002)
Amaka Abdullah ibn Mas’ud berkata “aku tidak peduli, ke dalam keadaan
mana diantara yang dua itu akan jatuh, entah kekayaan atau kemiskinan sebab,
bila jatuh kedalam kemiskinan aku akan sabar, dan jika kedalam kekayaan, aku

5
akan bersyukur”.Dia tidak bisa membedakan mana yang menyenangkan dan mana
yang sebaliknya, sebab dia telah dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya
dari tuhan, yaitu kesabaran dan Syukur. Abu Darada berkata “aku mencintai mati,
sebab aku rindu kepada tuhanku, aku mencintai sakit sebab aku tunduk karena
dosa-dosaku, aku mencintai melarat, sebab aku tunduk pada tuhanku”. Salah
seorang sahabat berkata “betapa berharganya dua hal itu kematian dan
kemelaratan”. (Abi Bakar Sayyid, 2003)
Orang yang mabuk jatuh dalam suatu yang mndatangkan kebencian tanpa
menyadarinya, sehingga dia tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci,
sedang yang lain lebih menyukai yang menyakitkan daripada yang
menyenangkan, dan kemudian menemukan kesenangan dalam kesekitan. Seorang
yang waras, dapat mengatasi kemabukan, kadang-kadang akan menyukai
kesakitan daripada kesenangan tanpa mempertimbangkan pahala atau
pengharapan balas jasa, orang seperti itu merasakan sakit dalam kesakitan dan
senang dalam kesenangan. Dan yang dimiliki hanyalah kesabaran dan rasa syukur.
(Abi Bakar Sayyid, 2003)

2.3       SYUHUD
Syuhud berarti hadir. Bersama apa saja hati hadir, maka hati menjadi saksi
(syahid) atasnya; dan sesuatu ini adalah yang disaksikan (masyhud) oleh hati. Jika
hati hadir bersama Allah, maka ia adalah saksi (syahid) atas Allah; jika hati hadir
bersama manusia, maka ia adalah saksi (syahid) atas manusia. Jalan kaum sufi
ialah menyebut yang disaksikan (masyhud) sebagai saksi syahid; sebab bersama
apa saja hati hadir, maka sesuatu ini juga hadir bersama hati. Demi keesaan Allah
dan kemajemukan manusia, menurut mereka syahid (bentuk tunggal) adalah
Allah; Syawahid (bentuk jamak) adalah manusia; Syuhud (bentuk tunggal) berarti
hadir bersama Allah, sebab hati mereka adalah saksi (syahid) atas, dan selalu
hadir bersama Allah. (As Asmaran, 2002)
Ada dua golongan manusia dalam Syuhud
a)      Orag-orang yang melakukan kontemplasi disertai rasa takut (ashhab al-
muraqabah)
b)      Orang-orang yang menguasai menifestasi (ashhab al-musyahidah)

6
Sedangkan ghaybah adalah bebalikan dari syuhud, dan gaibah sendiri adalah
hal seseorang yang belum membebaskan dirinya dari tempat sempit eksistensi; ia
belum mencapai keluasan eksistensi mutlak (Allah) dan juga belum tiba di atas
ketersembunyian (ghaybah) dan kehadiran (syahadah). (Al-Kalabazi, 1969)
Mengamalkan berbagai aturan dan mengikuti syuhud dan gaybah berlaku
bagi para penempuh jalan sufi dan mereka yang memiliki talwin. Bagi mereka
yang sudah bergabung dengan Allah dan telah mencapai ketenangan, tidak ada
hal, kecuali syuhud al-haq terus menerus. Bagi mereka tidka ada lagu ghaybah,
terpuji atau tercela. (Al-Kalabazi, 1969)
Keadaan orang-orang peringkat awal adalah ketersembunyian (ghaybah)
dari manusia dalam syuhud kekasih. Keadaan ini dilewati oleh orang-orang
peringkat terakhir. Kisah Zulaykha, yang lantaran jatuh cinta kepada nabi Yusuf
berada dalam derajat tamkin dan dalam syuhudnya menjadi tak tersembunyi
(gha’ib) dari kesadaran segenap kaumnya dan para pencelanya (tapi orang-orang
peringkat awal dalam hal kecintaan pada nabi yusuf dan dalam syuhud
ketampanannya). Yang dengan kekuatan hal syuhud kepadanya, tersembunyi
(gha’ib) dari kesadarannya; dan tak sadar memotongi jari-jari tangan mereka
sendiri (karena hasrat cinta kepadanya). (Al-Kalabazi, 1969)

2.4       AT-TAJALLI
Tindakan manusia yang dikendali oleh hawa nafsu dalam mengejar
kehidupan duniawi, merupakan tabir penghalang antara manusia dan tuhan.
Sebagai usaha penyikapan tabir yang membatasi manusia dengan tuhan, ahli
tasawuf membuat suatu sistem yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang
dinamakan Takhalli, Tahalli dan  Tajalli. (Moh. Saifullah al-Aziz. 1998: 93)
a. Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat tercela, dari maksiat lahir dan
maksiat batin. Diantara sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia
ialah hasad (dengki), hiqd  (rasa mendongkol), su’u al-zann  (buruk sangka),
takabbur (sombong), ‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), al-bukhl(kikir),
dan gadab (pemarah). Dalam hal ini Allah SWT berfirman; “sesungguhnya

7
berbahagialah orang-orang yang mmensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang
mengotorinya”
Takhalli juga berarti mengosongkan diri sikap ketergantungan terhadap
kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan memjauhkan
diri dari kemaksiatan dalam segala bentuk-nya dan berusaha melenyapkan
dorongan hawa nafsu jahat. (Moh. Saifullah al-Aziz. 1998: 93)
b. Tahalli
Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan
taat batin. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap
gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang
bersifat luar atau ketaatan lahir (shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya).
Maupun yang bersifat dalam atau ketaatan batin (iman, ikhlas, dan lain
sebagainya). Jadi Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah
dikosongkan pada tahap Takhalli. (Moh. Saifullah al-Aziz. 1998: 94)
c. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase Tajalli.
Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi
mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT: “Allah adalah nur (cahaya)
langit dan bumi”.  (QS. 24: 35).

Amatullah Armstrong dalam bukunya Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf:


Khazanah Istilah Sufi merumuskan Tajalli sebagai berikut: “Penyingkapan diri.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-nya sendiri kepada makhluknya.
Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pula pernah
berakhir. Penyingkapan-penyingkapan diri tuhan itu berupa cahaya batiniah yang
merasuk ke hati. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan di dalam
diri manusia supaya ia dapat disaksikan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi
cahaya sehingga oarang yang menerimanya bakal tenggelam pada keabadian.
Perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan
adanya perselisihan di antara masing-masing para guru sufi. Masing-masing

8
manusia unik; oleh karena itu, masing-masing tajalli juga unik, tidak ada dua orag
yang merasakan pengalaman tajalli yang sama. Akan tetapi, hanyalah mereka
yang telah “merasakan” yang mengetahuinya dan mereka yang tidak merasakan
tidak bakal mengetahui. Tajalli melampaui ungkapan kkata-kata. Tajalli adalah
ketakjuban (hayrah)”. (Moh. Saifullah al-Aziz. 1998: 95)
Imam al-Gazali pernah mengatakan bahwa “tersingkapnya hal-hal yang
gaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena nur yang dipancarkan
Allah ke dalam dada (hati) seseorang”. Tegasnya beliau berkata: “hal itu tidaklah
didapat dengan menyusun dalail dan menata argumentasi, tetapi karena nur yang
dipancarkan Allah SWT ke dalam hati; dan nur ini merupakan kunci untuk sekian
banyak pengetahuan. Maka barang siapa yang mengira bahwa tersingkapnya itu
tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan
rahmat Allah yang luas”.
Kerena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa
(riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela,
mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut
dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji, segala
tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak zikr, menghindari diri
dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik lahir maupun batin. Seluruh
jiwa (hati) hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima
pancaran nur ilahi.
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur-nya, maka
berlimpah rualah rahmat dan karunianya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu
bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir
rahasia alam malakut.  dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah segala
hakikat ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kotoran jiwanya.

2.5       AL-FANA' WA BAQA’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda
dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Adapun arti fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau

9
dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan
dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela. (Abuddin Nata, 2006: 231)
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal,
sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji,
dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat
basyariyah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana
dan baqa dating beriringan. (Abuddin Nata, 2006: 231)
Fana’ adalah akhir dari perjalanan menuju Allah. Sementara itu, baqa’
adalah awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalanan menuju Allah berakhir
ketika, dengan ketulusan sang penempuh jalan sufi mengarungi gurun psir
eksistensi. Perjalanan didalam Allah bias diuji ketika, sesudah fana’ mutlak,
mereka member sang hamba eksistensi yang suci dan bersih dari kotoran
sehingga, dialam deskripsi (alam materi), ia meraih kemajuan dalam berbagai sifat
ilahi. (Suhrawardi, 1998: 197)
Fana’ dan baqa’ merupakan pintu masuk untuk “bertemu” Allah bagi
yang benar-benar mempunyai keinginan dan keyakinan yang kuat untuk bertemu
Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi: 110
“barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannyya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada tuhannya”.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa untuk bertemu dengan Allah
terdapat dua syarat: mengerjakan amal shaleh, dengan menghilangkan sifat-sifat
tercela dan menetapkan sifat-sifat yang terpuji, yakni takhalli dan tahalli. Selain
itu, harus meniadakan atau menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga
yang ada (itsbat) hanya Allah semata-mata dalam beribadah, yakni memfana-kan
diri. (Suhrawardi, 1998: 197)
Pencipta doktrin fana’ dan baqa’ Abu Sa’id al-Kharraz mengatakan: “fana
adalah sirnanya kesadaran tentang manusia (‘ubudiyyat), dan baqa’ adalah
kelanggengan dalam tafakkur tentang tuhan (ilahiyat). Al-Hujwiri menafsirkan
pernyataan Abu Sa’id ini bahwa fana’ dan baqa’ adalah suatu ketidak sempurnaan
bila sadar akan tindakan-tindakannya sendiri bahwa dia adalah manusia, dan

10
orang sampai pada kemanusiaannya yang sesungguhnya (bandaqi) bilamana tidak
menyadari tindakannya, tetapi sirna sedemikian rupa sehingga tidak melihat
tindakan-tindakan itu, dan menjadi baqa’ melalui melihat tindakan Tuhan.
(Suhrawardi, 1998: 198)
Menurut al-Taftazani, perbincangan tentang fana di kalangan sufi muncul
ke permukaan baru mulai abad ke-tiga dan ke-empat hijriyah. Karena itu, uraian
tentang masalah tersebut seyogyanya dimulai dengan pengertian umum fana
menurut para sufi pada abad-abad tersebut. Fana bagi mereka mempunyai banyak
pengertian. Fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur, hal ini
tampak jelas dalam definisi mereka bahwa fana adalah “fana’-nya sifat jiwa” atau
“sirnanya sifat-sifat yang tercela”. Jadi barang siapa fana’ dari sifat-sifatnya yang
tercela maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat yang terpuji. Dikatakan pula,
bahwa fana’ mempunyai makna “terbebas dari hal-hal yang duniawi”
Al-Tusi mengartikan “Fana’ berarti sirnanya pandangan seseorang
terhadap tindakan-tindakannya, karena Allah menghendaki itu terhadapnya".
Sementara al-Qusyairi mengatakan “barang siapa menyaksikan adanya
kemampuan di luar batas kondisi normal, maka dikatakan bahwa dia fana’ dari
apa yang terjadi pada makhluk”. Fana yang seperti ini, oleh para sufi mutakhir,
disebut dengan fana’ dari kehendak yang normal. (Suhrawardi, 1998: 198)
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat suatu karakteristik fana’ yang
merupakan pendapat umum di kalangan kaum sufi, yaitu hilangnya perasaan dan
kesadaran dimana seorang sufi tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada dirinya
dan alam sekitarnya. Sehubungan dengan itu al-Qusyairi mendefinisikan fana
sebagai berikut: “fananya seseorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain... sebenarnya
dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi
pada mereka dan pada dirinya” (Suhrawardi, 1998: 198)
Dr. Ibrahim Basyuni merumuskan pengertian fana’ sebagai berikut;
“fana ialah kondisi batin yang merasakan hilangnya hubungan seseorang dengan
alam dan bahkan dengan dirinya sendiri, tanpa hilangnya sifat-sifat
kemanusiaannya”.

11
Kemudian menurut para sufi, fana adalah karunia Allah SWT sebagai
pemberian kepada hamba-nya; ia tidak bisa diperoleh lewat usaha dan latihan, Al-
Kalabazi juga menegaskan: “seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah
disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan
pula karena sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi
malaikat atau seorang spiritualis, tetapi dia fana’ dari penyaksian akan hal-hal
yang berkenaan dengan dirinya”. Dengan demikian, keadaan fana yang dialami
seseorang tidaklah menyebabkan dapat meninggalkan kewajiban-kewajiban
agama, karena itu dapatlah dipahami mengapa al-Tusi di dalam kitabnya Al-
Luma’ memperingatkan bahaya-bahaya yang mungkin timbul dari keadaan fana’,
yaitu antara lain adanya anggapan bahwa kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat
kemanusiaan dan dia bersifatkan dengan sifat-sifat ketuhanan; padahal sifat-sifat
kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia. (Suhrawardi, 1998: 198)
Menurut Amatullah Armstrong dalam bukunya Kunci Memasuki Dunia
Tasawwuf: Khazanah Istilah Sufi (1998) merumuskan Baqa sebagai berikut:
“Menetap dalam Allah untuk selamanya. Sesudah tahap Fana dalam Allah (fana’
fi Allah), Allah menetapkan hamba-nya ini dalam kedudukan segala kedudukan
(maqam al-maqamat) atau dia menyuruhnya kembali ke dunia untuk
menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Baqa adalah kembalinya sang
hamba pada manusia dalam jubah kehormatan, kini dia melihat Allah ada dalam
segala sesuatu dan pada setiap saat.
Menurut al-Jailani, maqamat dah ahwal fana’ dan baqa’ ini dapat dicapai
oleh seorang salik, setelah ia berhasil membawa dirinya ppada wujud diri yang
paling halus, yang disebut dengan sir al-Sir, rahasia dari rahasia dalam bentuk
perasaan ruhani dalam batin, sehingga seseorang berkesempatan untuk menyelami
samudra al-haqq. Ini adalah gambaram Musa ketika mata lahirnya melihat api
(nar), maka mata batinnya terkesiap dan terserap melihat (musyahadah) Maha-
Cahaya (nur). Hal yang kerap kali menghalangi seseorang mencapai fana’ adalah
dusta dan kemunafikan, sehingga memunculkan amal buruk. Lisannya
mengagungkan Tuhan, tetapi di dalam hatinya justru terdapat tuhan lain. Dalam
hatinya masi bersandar pada selain Allah. Sehingga disinilah kenikmatan dari
Allah berubah menjadi bencana karena menyibukkan dirinya dari mengingat

12
Allah. Maka al-jailani menasihatkan agar manusia mematikan hawa nafsunya
sebelum ruh keluar dari jasad. Cara mematikannya adalah dengan kesabaran dan
pengingkaran atas hawa nafsu itu. Akibatnya menurut al-Jailani adalah
penguasaan dirinya bersama Allah. Al-Jailani sendiri telah mencapai derajad
kefana-an seperti ini, dan lahirlah ucapannya, ‘saya lenyap, kemudian dia
mengadakan saya dari kelenyapan itu. Saya binasa karenanya dan saya menguasai
karenanya”. (Amstrong Amatullah, 1998)

2.6       AL-MA’RIFAT
Al-Ma’rifat dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan
pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Di tinjau dari segi bahasa
Ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah ma’rifat, dan semua ma’rifat adalah
ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah SWT berarti
seorang yang arif dan siapa yang ‘arif berarti berilmu. Tetapi di kalangan sufi,
ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT, melalui nama-nama
serta sifat-sifatnya dan berlaku tulus kepada Alllah. Dengan muamalatnya,
kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku
lama di pintu (ruhani), yang senantiasa i’tikaf dalam hatinya. Kemudian dia
menikmati keindahan dekat khadiratnya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam
semua keadaannya. Memutus segala kotoran jiwanya,dan dia tidak
mencondongkan hatinya kepada pikiran apapun selain Allah SWT, sehingga ia
menjadi orang asing di kalangan makhluk, ia menjadi bebas dari bencana dirinya,
bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam sukacita bersama Allah SWT.
(Suhrawardi, 1998: 105)
Para Syaik, masing-masing berbicara tentang ma’rifat, sesuai dengan
pengalamannya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada
waktunya.
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata.  “salah satu tanda Ma’rifat adalah
munculnya haibah dari Allah SWT. Barang siapa bertatambah ma’rifatnya,
bertambah pula haibahnya.”Saya mendengar beliau juga mengatakan, “ma’rifat
membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa

13
kedamaian, jadi orang yang ma’rifatnya bertambah, maka bertambah pula
ketentramannya”.
Sedangkan Haibah adalah ketakjuban dan ketakutan penuh ketakziman
dalam diri sang hamba ketika dihadapkan kepada kemutlakan Allah, keagungan
dan transendensi-nya, ketakterjangkauan, kebesaran dan kekuasaannya. Keadaan
takut seperti ini memastikan bahwa sang hamba akan menjaga dirinya berada
dalam batasan-batasan tata krama dan sopan santun sempurna (adab) kepada
tuhannya dengan berpegang pada penghambaan (ubudah)-nya sendiri.
(Suhrawardi, 1998: 105)
Asy-Sibly berkata, “Awalnya adalah Ma’rifat anya bagi Allah SWT, dan
akhirnya adalah sesuatu yang tiada hingga”
Abu Hafs berkata, “sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran
ataupun kebatilan yang memasuli hatiku.”
Muhammad al-Wasithy berkata, “ma’rifat tidak dibenarkan jika dalam diri
hamba masih ada rasa kepuasan dengan Allah SWT dan kebutuhan terhadapnya”.
Al-Junaid ketika ditanya tentang arti Ma’rifatmengatakan “ma’rifah adalah
hadirnya hati diantara pernyataan kebesaran tuhan yang tidak bisa dipahami dan
prnyataan kehebatannya yang tak bisa di utarakan”.
Menurut orang sufi, ma’rifat adalah sifat orang yang mengenal nama-nama
dari sifat Allah. Sebagai bukti pengenalannya adalah ketaatannya kepadanya
dengan menjalankan amal shaleh dan meninggalkan perbuatan yang tercela; selalu
ingat kepadanya, dengan demikian Allah akan mencintainya dan memberinya
karunia, taufik dan hidayahnya sehingga dia tidak dapat dipalingkan oleh siapapun
ke arah yang tidak di ridhai-nya.
Sesungguhnya yang diharapkan oleh orang sufi dari ma’rifah kepada Allah
itu adalah hidup Ikhlas tanpa atas ridha Allah tanpa ada pamrih yang
mengakibatkan jiwanya berada jauh dari Allah SWT. Padahal hidup ini hanya
untuk mengabdi kepada Allah dan ikhlas karenanya.
Dzu Nun al-Mishri (Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim) adalah pelopor
paham ma’rifat. Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang Ma’rifat
dalam bidang sufisme islam. Pertama, ia membedakan antara “ma’rifat shufiyah”
dengan “ma’rifat ‘qliyah”. Yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang

14
biasa digunakan para sufi, sedangkan yang kedua menggunakan pendekatan akal
yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menutut Al-Misri Ma’rifat merupakan
fitrah dalam hati manusia sejak azali. (Mustafa Abd. Raziq. 1959: 93)
Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat Ma’rifat.
1.      Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan tuhan
sebagaimana yang dipahami orang-orang mukmin umumnya, melainkan ilmu
keesaan tuhan yang khusus dimiliki para Wali Allah. Sebab mereka adalah orang
yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang
tidak dibukakan untuk hamba-hamba-nya yang lain.
2.      Ma’rifat sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
ma’rifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya.
Kedua pandangan Al-Misri diatas mmenjelaskan bahwa ma’rifat kepada
Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan ma’rifat
batin, yakni tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan,
sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. (Mustafa Abd.
Raziq. 1959: 93)
Imam Al-Qusayairiy mengatakan; “Ma’rifatullah adalah sifat orang yang
mengenal Allah dari bentuk dirinya sendiri, bertanya tentang dirinya sendiri
dengan selalu menyegarkan amaliah dari waktu ke waktu. Ia buktikan tingkah
lakunya dalam amal shaleh dan kemuliaan akhlaknya. Ia mengerjakan semua
perintah dan disiplin yang kokoh. Ia bermujahadah atas semua rintangan dan
godaan setan. Ia juga bermuhasabah untuk dirinya. Membersihkan semua kotoran
jiwa dan mengobati semua penyakit hati terus menerus tanpa henti. Seperti yang
disebut dalam riwayat bahwa berma’rifat itu adalah mengenal Allah SWT melalui
pengenalan dirinya lebih dahulu. (barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan
mengenal Rab-nya)”. (Mustafa Abd. Raziq. 1959: 93)
Sampai dimana tingkat ma’rifat manusia tentang Tuhan, terdapat perbedaan
interpretasi dikalangan sufi. Al-Gazali misalnya berpendapat, bahwa ma’rifat itu
tidak menyebabkan seseorang itu menjadi padu atau bersatu dengan Tuhan.
Menurutnya, pengertian ma’rifat adalah mengetahui mata hati. Karenna jelas dan
terangnya pengetahuan itu, ia mengungkapkannya dalam kalimat “nazhoru ila
wajh Allah”, memandang atau melihat wajah Allah. Ia melihat Tuhan dengan

15
mata hatinya, bukan dengan mata inderanya. Oleh karena itu, kata al-Ghazali,
orang ‘arif atau yang sudah mencapai ma’rifat, tidak lagi menyeru Tuhan dengan
kalimat ya Allah karena ucapan seperti itu menunjukkan pengertian, bahwa Allah
masih berada dibelakang tabir, padahal bagi orang ‘ariftabir itu sudah tiada, mak
tidak perlu saling memanggil. Dan menurut al-Ghazali inilah maqom tertinggi
yang dapat dicapai oleh sufi. Akan tetapi menurut beberapa sufi, seperti Abu
Yazid al-bstomi, al-Hallaj, al-Faridh dan sufi sealiran lainnya, tingkatan itu masih
dapat dilampaui oleh manusia, yaitu sampai pada tingkat fana fi’l Allah. (Rivay
Siregar, 1999: 130)
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia
memperbanyak amal kebaikan itu hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri,
bukan untuk Allah. Dengan ma’rifatullah manusia akan selalu terdorong untuk
mendekatkan dirinya kepada Allah yaitu dengan mengamalkan amal-amal shaleh.
Namun Allah tidaklah merasa beruntung mendapat pengabdian dari manusia, juga
idak merasa rugi kareana pengabdian itu hhanya untuk menciptakan kebahagiaan,
kemakmuran, keselamatan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Sebaliknya
kkalau manusia itu sudah berlomba-lomba berbuat maksiat di muka bumi seperti
mencuri, berbuat zina, minum-minuman keras, berdusta, bermain judi, tidak
menepati janji, khianat, dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, maka yang
menjadi binasa adalah manusia itu sendiri. (Rivay Siregar, 1999: 130)
Dengan demikian Ma’rifah itu dapat dicapai dengan melalui syari’ah,
menempuh tariqah dan memperoleh haqiqah. Apabila tariqah itu sudah dapat
dikuasai maka timbulllah haqiqah yang tidak lain daripada perbaikan keadaan
(ahwal), sedangkan tujuan terakhir adalah ma’rifah yaitu mengenal Allah dan
mencintainya dengan sesungguhnya. Ma’rifat (mengenal) kepada Allah adalah
puncak keuntungan seorang hamba, maka apabila Tuhan telah membukakan
bagimu suatu jalan untuk mengenal kepadanya, maka tidak usah kau hiraukan
berapa banyak amal perbuatanmu meskipun hanya sedikit amal kebaikanmu sebab
ma’rifat itu suatu pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak
bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. (Rivay Siregar, 1999:
130)

16
Sejak berkembangnya ma’rifat dan hakikat dikalangan sufi, konsepsi ini
menjadi salah satu ajaran pokok dalam tasawuf. Bahkan kemampuan seseorang
untuk mencapai tingkatan ini, menjadi tolak ukur bagi seseorang apakah ia sudah
berhak disebut sufi atau belum. Dengan kata lain, bahwa seorang zahid atau salik
disebut sufi apabila ia telah mencapai kedekatan dan keakraban dengan Tuhan
tanpa tabir. Makin tinggi kelas seorang salik makin tinggi pula ma’rifatnya.
(Rivay Siregar, 1999: 130)

2.7       AT-TAUHID
“Tauhid adalah keputusan bahwa Allah yang maha agung itu satu (esa)”.
Dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu juga dinamakan tauhid.
Dikatakan bahwa mengesakan Allah adalah mensifati-nya dengan tunggal
atau maha esa. Jika dikatakan, “saya mendorong seseoran untuk berani.
Maksudnya adalah menjadikan berani. Menurut bahasa, kata wahdaniya (tunggal)
berasal dari kata wahada yahidu yang kata subjeknya adalah wahid, wahdun, dan
wahiid, seperti halnya kata faridda yang bentuk subyeknya adalah faridun, fardun,
dan fariidun. Adapun asal kata ahad (esa) adalah wahdun lalu diubah huruf waw-
nya dengan hamzah, waw itu bisa di ubah menjadi hamzah sebagaimana
diubahnya huruf yang di kasrah menjadi didhammah. (Sholikhin Muhammad,
2009)
Hakikat Allah terbebas dan bersih dari segala sesuatu yang ada dalam
penalaran, pemahaman, dan makna. Sebab, semuanya ini hanyalah sekedar
kumpulan aksiden (muhdasat); aksiden mukdasat tidak bisa berbuat apa-apa tanpa
memahami darinya. Argumen atas wujudnya adalah wujudnya itu sendiri; bukti
dari penyaksiannya adalah penyaksiannya itu sendiri. Panji keindahan keabadian
tanpa awal, tak lain dan tak  bukan, adalah dirinya sendiri. Di dalm tahap ini, batas
pemahaman adalah kelemahan. Tidak ada seorang ahli tauhid (muwahid) pun
yang mampu mencapai subtansi pemahaman tentang keesaan Allah (wahid)
kecuali sang wahid (yakni, Allah) sendiri. Jika pemahamannya berakhir, maka
disitulah batas pemahamannya bukan tentang sang wahid. Sungguh, benar-benar
tertipu dan sombong orang-orang yang mengaku amat memahami sang wahid.

17
Tauhid adalah penafian adanya keterpisahan; dan penegasan di batas kebersatuan.
(Sholikhin Muhammad, 2009)
Syaikh berkata “tauhid ini ada tiga macam; pertama, tauhid orang awam,
yang menjadikan benar dengan kesaksiannya. Kedua, tauhid orang khusus, yang
ditetapkan dengan hakikat-hakikat. Ketiga, tauhid  orang khusus yang paing
khusus. (Abul Qasim al-Qusyairy an-Naisabury, 1999)
Pertama, Tauhid orang awam yang menjadi benar kesaksiannya, telah
dijelaskan bahwa ini adalah tauhidnya orang-orang yang lebih khusus dari orang-
orang yang khusus, dan tidak ada yang lebih khusus dari orang-orang yang
khusus, dan tidak ada yang lebih darinya atau lebih khusus lagi. Al-Khalilani
adalah orang yang paling sempurna tauhidnya. Perkataannya “menjadi benar
dengan kesaksiannya”, artinya dengan dalil-dalil, ayat dan bukti keterangan. Hal
ini menunjukkan pada kesempurnaan dan kemuliaan tauhid ini, yang didukung
dengan dalil-dalil dan kesaksian, serta diperjelas dengan ayat dan bukti eterangan.
Setiap tauhid yang tidak benar dengan kesaksian, maka bukanlah tauhid.
Syaikh berkata “Tauhid kedua yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat ialah
tauhidnya orang khusus, yaitu menggugurkan sebab-sebab yang zahir, naik
meninggalkan pertentangan-pertentangan akal dan tidak bergantung pada
kesaksian. Artinya tidak memberikan kesaksian dalil dalam tauhidnya, tidak
memberikan kesaksian sebab dalam tawakkal, tidak memberikan kesaksian sarana
dalam keselamatan. Inilah tauhidnya orang khusus yang menjadi benar dengan
ilmu kefana’an, yang menjadi jernih dalam ilmu kebersamaan dan menarik ke
tauhid orang-orang yang memiliki kebersamaan”.
Tauhid yang ketiga menurut Syaikh adalah tauhid yang dikhususkan Allah
bagi dirinya dan yang dimiliki sesuai dengan hakikatnya, yang sedikit
diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hamba-hambanya, yang tidak
mampu mensifatinya dan yang paling lemah untuk menggambarkannya.
Jika yang dimaksudkan tauhid ini berasal darii hamba kepada rabb-nya
berarti itu merupakan tauhid yang ditegakkan hamba, bukan berarti tauhid Allah
terhadap dirinya sendiri, yaitu sifat-sifat dan kesempurnaan yang ditegakkannya.
Jika yang dimaksud adalah tauhid Allah terhadap dirinya sendiri, maka itu berarti
ilmu, kalam dan pengabarannya tentang diri-nya, seperti firmannya.

18
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, yang tiada ilahi selain aku, maka
sembahlah aku” (Thahah: 14).
Perkataannya, “yang sedikit diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hamba-
hambanya”, mereka adalah orang-orang yang dipilihnya.
Tidak diragukan bahwa memang ahli tauhid itu berbeda-beda dalam
tauhidnya, baik ilmu, ma’rifat maupun keadaannya. Perbedaan ini amat banyak
dan hanya Allah lah yang bisa mrnghitungnya. Orang yang paling sempurna
tauhidnya adalah para nabi. Para Rasul lebih sempurna lagi. Ulul Azmi lebih
sempurna lagi. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad. Yang paling
sempurna di antara ulul azmi ini adalah Al-Khalilani, Ibrahim dan Muhammad.
Beliau berdua menegakkan tauhid, tidak seperti yang ditegakkan selainnya, baik
ilmu, ma’rifat, keadaan maupun amal. Tidak ada tauhid yang lebih sempurna
daripadayang ditegakkan para Rasul, yang diserukan dan yang karenanya mereka
berjihad memerangi berbagai umat.
Tauhid memiliki berbagai tingkat: a) tauhid keimanan (at-tauhid al-imani);
b) tauhid pengetahuan (at-tauhid al-ilmi); c) tauhid ketuhanan (at-tauhid al-alahi).
(Abul Qasim al-Qusyairy an-Naisabury, 1999)
Tauhid keimanan (at-tauhid al-imani) adalah ketika (sesuai dengan urgensi
perintah dalam ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi) seseorang membenarkan dalam
hatinya, mengakui dengan lisannya, soal ketunggalan deskripsi ihwal ketuhannan
dan kesatuan hak-hak kepada Tuhan yang disembahnya. Tauhid ini adalah
pembawa kabar (mukhbir), dan keyakinan tulus adalah kabar (khabar).
Tauhid ilmu (at-tauhid al-ilmi) adalah deskripsi dari anggur tauhid ini,
sekalipun merupakan bagian lebih rendah dari tauhid hal (at-tauhid al-hali).
“tabiatnya adalah bagian dari tasmin, mata air tempat minum orang- orang yang
didekatkan kepada Allah (al-muqarrabun)”. Karena itu, pemilik tauhid jenis ini
sering berada dalam keadaan dzauq dan gembira; sebab, dengan berbagai efek
dari tabiat hal, sebagian kegelapan dalam kesempurnaan pun terangkat. Seperti
dalam beberapa perubahan ia bekerja sesuai dengan tuntutan ilmunya sendiri dan
mengikatkan diri kuat-kuat pada eksistensi berbagai segala sebab yang merupakan
mata-rantai dari perbuatan Allah. Hanya saja oleh sisa kegelapan eksistensi, ia pun

19
terhijab dari tuntutan ilmunya sendiri. Dalam tauhid ini, sebagian kemusyrikan
atau syirik tersembunyipun menghilang.
Tauhid ketuhanan (at-tauhid al-ilahi) adalah bahwa Allah senantiasa disifati
dengan ketunggalan dan pujian oleh nafs-nya sendiri dan bukan bukan tauhid atas
yang lainnya. Dia maha esa (wahid) dan tunggal dalam pujian keazalian dan juga
kebakaan. Kini diketahui bahwa, dalam wujud-nya sendiri, segala wujud
keindahan segala sesuatupun lenyap.
Kepada orang-orang yang berhijab dijanjikan bahwa mereka akan
menyaksikan hal (Allah) di akhirat nanti. Namun bagi orang yang menpuyai visi
dan kaum ahli yang mengalami penyaksian (yang telah terbebas dari ruang dan
waktu), janji inipun segera terpenuhi secara langsung. Kemuliaan dalam
ketunggalannya dan kemurkaan dalam keesaannya tidak memberikan kesuaan
dalam wujudnya kepada wujud lain. Demikianlah hak tauhid: inilah tauhid yang
terbebas dari ketidak sempurnaan wujud, tauhid malaikat dan manusia tidaklah
sempurna. Demikianlah kata Syaikh Abu Abdullah Anshari.
Empat pasal di dalam kitab al-Durr al-Nafis berisi tentang penjabaran
Syaikh Nafis al-Banjari tentang tauhid. Syaikh Nafis membahas konsep tauhid
menjadi 4 kategori. Keempat konsep Tauhid tersebut dielaborasikan oleh Syaikh
dengan nuansa sufistik.
Pertama, Tawhid al-af’al. secara harafiah berarti mengesakan Allah dalam
segala perbuatan. Menurut Syaikh Nafis al-Banjari, segala apapun yang terjadi di
alam ini pada hakikatnya adalah af‘al (perbuatan) Allah.
Kedua, Tauhid Asma (mengesakan Tuhan dengan asma-Nya) yang
dimaksud oleh Syaikh Nafis al-Banjari pada intinya menyatakan bahwa semua
asma yang ada di dalam alam ini pada hakikatnya kembali kepada sumbernya
yaitu Allah SWT.
Syaikh Nafis melihat bahwa semua nama yang ada di alam ini tentu
diberikan kepada yang diberi nama (wujud musamma). Dalam arti hakiki sudah
barang tentu sesuatu yang diadakan itu sesungguhnya tidak ada karena yang ada
hanyalah Allah. Karena itu, segala yang ada karena diadakan, yakni wujud alam
ini diadakan pada hakikatnya adalah khayal dan wahm (dugaan belaka), bila
dinisbatkan kepada Allah. Dengan demikian, maka kembalilah semua asma

20
kepada wujud yang sebenarnya yaitu Allah, dan wujud Allah itu qa‘im (tetap)
pada segala asma. Dengan kata lain, kita katakan dan kita pandang bahwa segala
nama apapun kembali kepada asma Allah sebagai sumbernya.
Ketiga, Tauhid sifat (mengesakan Allah dengan sifat) dalam pandangan
Syaikh Nafis tidak lain hanyalah ungkapan tentang fana‘-nya seluruh sifat
makhluk termasuk dirinya sendiri di dalam sifat Allah. Menurut Syaikh Nafis, jika
seorang arif memandang sifat-sifat Allah, maka sifat-sifat yang ada pada dzat-Nya
seperti qudrah, iradah, ilmu, bashar, kalam dan lain-lain pada hakikatnya adalah
sifat-sifat Allah semata.
Keempat, Tauhid Dzat, menurut Nafis al-Banjari merupakan tingkatan
tertinggi dari semua tingkatan tauhid. Inilah puncak pengetahuan makhluk tentang
Tuhan sebagai tujuan akhir perjalanan spiritual seorang sufi. Pada saat mencapai
tingkatan ini seorang arif akan merasakan kelezatan yang tidak dapat digambarkan
dengan kata-kata dan suara, dengan huruf ataupun dengan angka. Tidak ada yang
dapat mencapai maqam ini kecuali Nabi Muhammad SAW karena tidak ada yang
dijadikan oleh Allah dari Dzat-Nya, kecuali Nabi Muhammad SAW.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Pengertian dari al-Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan


atau persetujuan para kaum sufi, semua itu tidak lain adalah hasil ijtihad dan juga
bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal
itu, bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar
materi tasawuf, bahkan para sufi masing – masing berbeda-beda dalam
perinciannya. Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang
diantaranya: al-Yaqin, adz-Dzikr, al-Uns, al-Qurb, al-Ittishal, al-Mahabbah, at-
Tajrid, al-Wajd, al-Ghalabah,As- Sukr, As-Syuhud, At-Tajalli, Al-Fana' wa Al-
Baqa', Al-Ma'rifah, At-Tauhid yang dimana pada setiap macamnya memiliki
tingkatan masing-masing.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abi Bakar Sayyid. 2003. Missi Suci Para Sufi. Yogyakarta : Mitra Pustaka
Abuddin Nata. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Abul Qasim al-Qusyairy an-Naisabury. 1999. Risalatul Qusairiyah. Surabaya :
Risalah Gusti
Al-Kalabazi. 1969. Al-Ta’arruf Limazhabi Ahli al-Tasawwuf.  maktabah al-
Kulliyah al-Azhariyah, Cairo
Amstrong Amatullah. 1998. Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf: Khazanah Istilah
Sufi. Bandung : MIZAN
As Asmaran. 2002. pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Mustafa Abd. Raziq. 1959. Tasmhid li Tarikh al-Falsafah al-islamiyah. Cairo
Moh. Saifullah al-Aziz. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit
Terang
Rivay Siregar. 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Sholikhin Muhammad. 2009. 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi; Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Jakarta :Mutiara Media
Solihin M. 2002. Kamus Tasawuf . PT  Remaja  Rosdakarya, Bandung
Suhrawardi. Syaik Syihabudin Umar. 1998.‘Awarif al-Ma’arif sebuah buku daras
klasik Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah

23

Anda mungkin juga menyukai