Anda di halaman 1dari 22

Selamat pagi saudara-saudara sekalian, marilah kita lanjutkan

kuliah kita Hukum Bisnis pada hari ini, Sabtu, 17 Oktober 2020,
pukul 08.00 – 10.00 WIB dengan pembahasan materi sesuai RPS
Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Hukum Pembuktian. Materi dan
bahan kuliah dapat dipelajari seperti di bawah ini.

Selamat belajar, semoga kita semua diberikan kesehatan.

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DAN HUKUM


PEMBUKTIAN

1. PENGANTAR
2. PERKEMBANGAN PENYELESAIAN SENGKETA
3. PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA ATAU ALTERNATIVE DESPUTE
RESOLUTION
4. SIFAT APS
5. JALUR LIGITASI
6. JALUR ARBITRASE
7. JALUR NEGOSIASI
8. JALUR MEDIASI
9. JALUR KONSILIASI
10. APS DI INDONESIA
11. KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN ARBITRASE DAN
KESEPAKATAN APS
12. PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN,
ARBITRASE DAN LIGITASI
13. HUKUM PEMBUKTIAN
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

1. Pengantar
Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian
dari kehidupan manusia. Sumber sengketa antar manusia dapat
muncul dari keluarga, teman dan hubungan bisnis. Dalam
masyarakat industri modern, sengketa yang muncul dari
hubungan bisnis sering terjadi. Mengingat dalam hukum perdata
subyek hukum adalah manusia dan badan hukum, maka
sengketa dapat terjadi pada manusia dan juga pada badan
hukum.
Permasalahannya bagaimanakah sengketa yang muncul
tersebut harus diselesaikan. Pada dasarnya penyelesaian sengketa
di bidang hukum perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
sendiri atau pihak ketiga baik yang disediakan oleh negara atau
para pihak sendiri.

2. Perkembangan Penyelesaian Sengketa


Sebelum masyarakat mengenal negara atau pengadilan,
secara tradisional mereka menyelesaikan sengketa antar mereka
sendiri yang terkadang tidak dilakukan secara damai melainkan
dengan menggunakan kekerasan.
Dalam masyarakat modern dalam menyelesaikan sengketa
tersebut forum resmi yang disediakan oleh negara adalah
Pengadilan (jalur ligitasi).
Selanjutnya di samping forum resmi pengadilan, dalam
masyarakat modern juga berkembang penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, baik yang sifatnya non-ligitasi maupun semi
ligitasi, yang disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau
Alternative Dispute Resolution (ADR). Jalur APS tersebut, misalnya
melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi dan Konsiliasi.

3. Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)


atau Alternative Dispute Resolution (ADR)
Pada saat ini banyak dibicarakan tentang APS atau ADR di
Indonesia. Ada beberapa pengertian APS, Pertama adalah
pengertian tentang penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Artinya, kata alternatif dalam istilah APS dimaksudkan sebagai
alternatif dari pengadilan. Dalam pengertian pertama ini
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa
penyelesaian melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi,
termasuk juga penyelesaian sengketa melalui forum-forum
yang diatur oleh peraturan perundang-undangan tetapi berada
di luar kekuasaan kehakiman, seperti Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP), Mahkamah Pelayaran dan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). BPSP dan KPPU berwengan
untuk menyelesaikan sengketa, hanya saja mereka secara khusus
menangani sengketa yang diamanatkan oleh undang-undang.
Kedua, ada yang berpendapat bahwa APS adalah forum
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetapi tidak termasuk
lembaga penyelesai sengketa secara khusus. Disini APS hanya
mencakup dua cara penyelesaian sengketa. Pertama adalah
penyelesaian sengketa yang dilakukan antar para pihak di mana
bentuknya dapat berupa negosiasi, konsiliasi dan mediasi. Kedua
adalah penyelesaian sengketa oleh para pihak ketiga yang
dipercayai oleh mereka, yaitu arbitrase. Perlu dikemukakan
perbedaan mendasar dari kedua cara ini adalah penyelesaian
antar pihak menghasilkan kesepakatan, sementara
penyelesaian oleh pihak ketiga menghasilkan putusan. Dalam
konteks demikian arbitrase dan pengadilan mempunyai sifat
yang sama, yaitu pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai
kewenangan untuk memutus sengketa.
Ketiga, APS adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan
oleh para pihak tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai pemutus.
Dengan demikian APS diartikan sebagai negosiasi, konsiliasi atau
mediasi. Adapun keterlibatan pihak ketiga dalam konsiliasi atau
mediasi terbatas pada turut membantu pihak yang bersengketa
pada suatu kesepakatan penyelesaian.
Dalam dunia bisnis pengertian yang umum diberikan
terhadap APS adalah pengertian yang kedua yaitu penyelesaian
sengketa yang dilakukan antar para pihak dan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.

4. Sifat APS
Para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa lebih cocok
menggunakan APS, karena mempunyai beberapa keuntungan
yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dilakukan secara cepat dan tidak terlalu
memakan waktu.
2.
Penyelesaian sengketa dilakukan oleh orang yang ahli.
3. Fleksibilitas.
Maksudnya dalam hal aturan proses penyelesaian sengketa,
atau lebih dikenal dengan istilah hukum acara, mulai dari
penunjukan para arbiter hingga proses pemriksaan perkara.
Sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan menurut
kebanyakan pelaku bisnis tidak memenuhi kriteria fleksibel
(Pengadilan mempunyai hukum acara yang tidak dapat
dikesampingkan).
4. Kerahasiaan para pihak yang bersengketa tetap terjamin.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak,
sangat sesuai dengan kebutuhan para pelaku bisnis. Hanya saja
syaratnya harus ada kesukarelaan para pihak. Tanpa adanya
kesukarelaan tidak mungkin berjalan.
Sementara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga melalui
arbitrase masih diinginkan oleh pelaku bisnis, karena masih
dianggap cepat mengingat tidak ada lembaga banding.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan oleh para ahli
yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Bahkan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dianggap fleksibel karena
hukum acara bisa dipilih oleh para pihak, arbiter bisa dipilih oleh
pihak-pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian sengketa-
pun bias diatur.

5. Jalur Ligitasi (Litigation)


Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang
diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungkuhnya, di
mana para pihak memberikan kepada seorang pengambil
keputusan dua pilihan yang bertentangan. Ligitasi merupakan
proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para lawyer dengan
karekteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan
untuk memutuskan (to impose) solusi di antara para pihak yang
bersengketa.
Dalam mengambil alaih keputusan dari para pihak, dalam
batas tertentu ligitasi sekurang-kurangnya menjamin bahwa
kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan menjamin
ketentraman social. Sebagai suatu ketentuan umum dan proses
gugatan, ligitasi sangat baik untuk menemukan kesalahan-
kesalahan dan masalah-masalah posisi pihak lawan. Ligitasi juga
memberikan suatu standar prosedur yang adil dan memberikan
peluangan yang luas kepada para pihak untuk didengar
keterangannya sebelum diambil keputusan.
Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrem
dan memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang
dapat mempengaruhi keputusan.
Namun ligitasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat
polisentris atau sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak
persoalan, dan beberapa kemungkinan alternatf penyelesaian.
Proses-proses ligitasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan
persoalan-persoalan, sehingga para hakim atau pengambil
keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.
Pihak yang berperkara seringkali dapat membuat ligitasi
nerjalan semata-mata untuk merugikan pihak lain dan membuat
proses perkara menjadi lebih mahal. Tujuan utama dari upaya
tersebut adalah memaksa pihak yang tidak meiliki sumber daya
yang sama untuk menyerahkan dan menyelesaikan masalah
menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak lain.
6. Jalur Arbitrase (Arbitration)
Melalui arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk mebuat
keputusan. Arbitrase adalah salah satu bentuk ajudikasi privat.
Dalam beberapa hal, arbitrase mirip dengan adjukasi public dan
sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan.
Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah
dilibatkannya ligitasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat
pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan
melebihi adjukasi melalui pengadilan. Arbitrase pada dasarnya
menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini, dibandingkan dengan
adjudikasi public, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan,
otonomi, dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.
Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka
inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah
menetapkan hakim yang akan berperan. Hal ini dapat menjamin
kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam
sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hokum yang
akan diterapkan pada sengketa tersebut, sehingga akan
melindungi pihak yang merasa takut atau tidak yakin dengan
hukum substantif dari yurisdiksi tertentu. Kerahasiaan arbitrase
mebantu melindungi para pihak dari penyingkapan kepada umum
yang merugikan mereka atau pengungkapan informasi dalam
proses adjudikasi.
Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan
adjudikasi publik, karena para pihak secara efektif memilih hakim
mereka. Mereka tidak perlu antri menunggu pemeriksaan
perkaranya oleh pengadilan.
Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan dengan
proses ligitasi, prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat
menyesuaikan serta biayanya lebih murah, karena prosedurnya
sederhana dan tidak perlu adanya penundaan penyesesaian
sengketa.
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian
arbirase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan pengertian ini, hanya perkara perdata saja yang
dapat diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga arbitrase.
Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di tas
adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Jenis Arbitrase, ada Arbitarse Ad-Hoc dan Arbitrase
Institusional. Menurut Pasal 615 ayat (1), Reglement Rechvordering
(Rv), Arbitrase Ad-Hoc atau juga disebut Arbitrase Volunter adalah
arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau
memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain arbitrase
Ad-Hoc yang bersifat insidentil.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999, pengertian Arbitarse Ad-Hoc diadakan dalam hal
terdapat kesepakatan para pihak dengan mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk
seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa
para pihak. Akan tetapi, pengajuan permohonan kepada
pengadilan negeri bukan sebagai syarat mutlak untuk para pihak
dalam menentukan arbiter yang akan menyelesaikan sengketanya.
Dengan melihat klausulnya, yaitu kata kompromis (pactum
compromittendo), kita dapat mengetahui apakah perselisihan
tersebut diselesaikan dengan Arbitrase Ad-Hoc atau melalui
Arbitrase Institusional. Ciri pokok Arbitrase Ad-Hoc adalah
penunjukan para arbiternya secara perseorangan.
Pada prinsipnya, Arbitarse Ad-Hoc tidak terikat atau terkait
dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan
sendiri dengan kesepakatan para pihak.
Selanjutnya mengenai Arbitrase Institusional (Institutional
Arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanent, sehingga didirikan untuk menangani sengketa yang
mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di
luar pengadilan. Arbitrase ini merupakan wadah yang sengaja
didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari
perjanjian.
Arbitrase Institusional tetap berdiri meskipun perselisihan
yang ditangani telah selesai diputus. Sebaliknya Arbitarse Ad-Hoc
akan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani
selesai diputus.
Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksi Arbitrase
Institusional yang bersifat nasional, hanya meliputi kawasan
Negara yang bersangkutan. Arbitrase Institusional di Indonesia
misalnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Di samping itu terdapat Arbitrase Institusional yang bersifat
internasional, misalnya Court of Arbitration of The International
Chamber of Commerce (ICC), dan The International Centre for
Settlement of Invesment Disputes (ICSID).
7. Jalur Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi adalah proses consensus yang digunakan para pihak
untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka. Negosiasi
menurut Fisher dan Ury (1991) adalah komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah
pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.
Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami
sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan
pihak ketiga sebagai penengah yang tidak berwenang mengambil
keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan
(arbitrase dan litigasi).
Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak
terlalu pelik, di mana para pihak masih beritikad baik untuk
duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan
apabila komunikasi antarpihak yang bersengketa masih terjalin
dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan
untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan
hubungan baik.

8. Jalur Mediadi (Mediation)


Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana
pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan
pihak yang bersengketa untuk mebantu memperoleh kesepakatan
perjanjian dengan memuaskan.
Berbeda dengan hakim atau arbiter mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya
membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dikuasai kepadanya.
Dalam sengekta di mana salah satu pihak lebih kuat dan
cenderung menunjukkan kekuasaanya, pihak ketiga memegang
peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat
tercapai dengan mediasi karena pihak yang bersengketa berhasil
menxcapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan
penyelesaian sengketa tanpa arahan dari pihak ketiga.

9. Jalur konsiliasi (Conciliation)


Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan
suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan
keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini yang
menyebabkan istilah konsiliasi sering diartikan dengan mediasi.
Bagaimanapun juga penyelesaian sengketa model konsiliasi
mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara
consensus antarpihak, di mana pihak netral dapat berperan
secara aktif maupun tidak aktif. Pihak-pihak yang bersengketa
harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut
dab menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.

10. APS di Indonesia


APS di Indonesia diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 1999.
APS dalam UU Nomor 30/1999 tidak termasuk arbitrase
melainkan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak.
Pengaturan APS ini diatur dalam Pasal 6.
Di Indonesia ada beberapa lembaga arbitrase yang telah
berdiri. Dua diantaranya adalah Badan Arbritase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI). Pada saat ini sedang dibahas pendirian badan arbitrase
pasar modal, yaitu Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia.
Selanjutnya perkembangan baru yang patut diperhatikan
adalah berkaitan surat edaran dari Mahkamah Agung (2002) yang
intinya meminta kepada pengadilan, melalui para hakimnya,
untuk mengefektikan penyelesaian sengketa antar para pihak.
Hakim diminta untuk berperan sebagai fasilitator.

11. Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase dan


Kesepakatan
Putusan Arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan. Putusan arbitrase dapat diseksekusi.
Sama seperti putusan pengadilan, eksekusi putusan arbitrase
harus dimintakan penetapan ke pengadilan di mana barang atau
aset yang akan diseksekusi berada. Bahkan untuk putusan
arbitrase asing (putusan dilakukan di luar negeri), bisa dilakukan
di Indonesia mengingat Indonesia sudah meratifikasi Convention
on the recognition and Enforcement of Foraign Arbitral Awards atau
lebih dikenal dengan nama New York Covention 1958.
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
suatu putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah
memenuhi persyaratan seperti berikut:
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase di suatu Negara yang dengan Negara
Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multirateral mengenai pengakuan dan pelaksnaan putusan
arbitrase internasional;
b. Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Berbeda dengan Arbitrase ataupun pengadilan di mana ada
pihak ketiga yang akan mengambil putusan, maka dalam APS
tidak ada pihak yang mengambil putusan. Penekanan dalam
penyelesaian sengketa antar para pihak adalah adanya
kesepakatan. Kesepakatan inilah yang hendak dicari dalam APS.
Permasalahannya adalah sejauh mana kesepakatan ini
mempunyai kekuatan hukum ? Apabila sudah ada kesepakatan
ternyata salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka
bagaimana agar yang wanprestasi tersebut dituntut untuk
melakukan apa yang menjadi prestasinya. Dalam kaitan tersebut
dirasakan perlu adanya kekuatan mengikat kesepakatan APS.
Dengan demikian tidak perlu lagi diulang atau diperiksa oleh
pengadilan. Oleh karenanya kesepakatan APS harus mendapat
pengakuan dan dapat dilaksanakan sama dengan suatu putusan
pengadilan atau putusan arbitrase yang mempunyai kekuatan
eksekutorial. Hal ini sebenarnya bukan hal yang aneh mengingat
dalam hukum acara perdata, akta perdaimaian-pun dapat
dimintakan penetapan.
12. PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN, ARBITRASE, DAN
LIGITASI

Proses Perundingan Arbitrase Litigasi

Pengatur Para pihak arbiter Hakim

Agak formal sesuai dengan Sangat format dan teknis


Prosedur informal
rule

Segera Agak cepat Lama


Jangka waktu
(3-6 minggu) (3-6 bulan) (2 tahun lebih)

Murah Terkadang Sangat mahal


Biaya
(low cost) Sangat mahal (expensive)

Asangat formal
Aturan pembuktian Tidak perlu Agak informal
Dan teknis

Terbuka untuk
Publikasi konfidensial konfidensial
Umum

Hubungan para
kooperatif antagonistis antagonistis
pihak

Masa lalu Masa lalu


Fokus penyelesaian For the future
(the past) (the past)

Sama keras pada Sama keras pada


Metoda negoisasi kompromis
Prinsip hukum Prinsip hukum

Komunikasi Memperbaiki yang Jalan buntu Jalan buntu

Sudah lalu (blocked) (blocked)

Result Win-sin Win-lose Win-lose

Pemenuhan Sukarela Selalu ditolak dan Ditolak dan

Mengajukan oposisi Mencari dalih

Suasana Emosi
Bebas emosi emosional
Emosional bergejolak
HUKUM PEMBUKTIAN

1. HUKUM PEMBUKTIAN

2. PERKARA PIDANA DAN PERKARA PERDATA

3. HAL-HAL YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN

4. TENTANG HAL BEBAN PEMBUKTIAN

5. BUKTI TULISAN

6. BUKTI SAKSI (KESAKSIAN)

7. PERSANGKAAN-PERSANGKAAN

8. PENGAKUAN

9. SUMPAH
10. PUTUSAN HAKIM

HUKUM PEMBUKTIAN

1. Membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil


atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan.
Jadi pembuktian hanya diperlukan kalau terjadi persengketaan
atau perkara di muka Hakim atau Pengadilan.
2. Tugas Hakim atau Pengadilan adalah menetapkan hukum suatu
keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang.
Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim, masing-masing
pihak memajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan.
Di sini Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan yang tidak benar, setelah
mempertimbangkan bagaimana duduk perkara yang sebenarnya.
Hakim dalam amar atau dictum putusannya, memutuskan
siapakah yang dimenangkan dan yang dikalahkan.
3. Dalam melaksanakan pemeriksaan, Hakim terikat dengan
aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan hukum
pembuktian.
Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-
wenangan (willekeur) akan timbul, apabila Hakim dalam
melaksanakan tugasnya, diperbolehkan menyandarkan
putusannya hanya atas keyakinannya.
Keyakinan hakim tersebut harus didasarkan pada sesuatu, yang
oleh undang-undang disebut alat bukti.
Alat bukti tersebut oleh masing-masing pihak yang bersengketa
dapat dijadikan sebagai pembuktian dari dalil-dalil yang
dikemukakan kepada Hakim. Hakim dalam meletakan beban
pembuktian harus menjamin adanya unsur keseimbangan bagi
para pihak yang bersengketa.
4. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa hukum pembuktian
adalah merupakan suatu rangkaian peraturan tata tertib yang
harus diindahkan dalam melangsungkan penyelesaian sengketa di
muka Hakim, antara kedua belah pihak yang mencari keadilan.
5. Hukum pembuktian juga merupakan suatu bagian dari pada
Hukum Acara, karena memmberikan aturan-aturan tentang
bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka Hakim (Law of
Procedure).
Dasar hukum pembuktian:
a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
b. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB);
c. Reglemen Daerah Seberang (RDS);
d. Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
6. Berdasarkan Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 RIB serta
Pasal 283, yang dapat dibuktikan dimuka Hakim adalah suatu
peristiwa dan suatu hak.
“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak,
atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak
orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Di samping itu para pihak yang bersengketa juga diwajibkan
membuktikan tentang “duduk perkaranya”.
Tentang bagaimana hukumnya, adalah kewajiban Hakim untuk
mengetahui hukum itu, dan menerapkan hukum tersebut sesudah
ia mengetahui tentang duduk perkaranya tersebut.

PERKARA PIDANA DAN PERKARA PERDATA

1. Dalam perkara pidana maupun perkara perdata, Hakim selalu


memerlukan pembuktian.
2.
Perbedaannya menyangkut Hukum Pidana merupakan Hukum
Publik sedangkan Hukum Perdata adalah Hukum Privat.
3.
Dalam Hukum Acara Pidana dipakai sistem negatif menurut
undang-undang “ Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika
Hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa
terdakwa telah bersalah melakukannya” (Pasal 294 ayat 1 RIB).
Jadi keyakinan Hakim sangat berperan dalam menilai alat bukti
dan bebas sepenuhnya dalam menjalankan pembuktian.
4.
Dalam Hukum Pidana dicari kebenaran materiel, meskipun
misalnya terdakwa mengaku sekaligus, hakim harus tetap mencari
kebenaran hakiki (materiel) nya.
5.
Dalam hukum perdata cukup kebenaran formil. Kalau dalam
sengketa, misalnya salah satu pihak sudah mengakui, maka
Hakim berdasarkan pengakuan tersebut tidak perlu menyelediki
pengakuan tersebut.

HAL-HAL YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN

1. Hal-hal yang dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi


perselisihan, yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu
tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak yang lain.
2. Hal-hal yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak
lawan tidak perlu dibuktikan, karena tentang hal tersebut tidak
ada perselisihan, termasuk juga hal-hal yang tidak disangkal oleh
pihak lawan. Karena tidak menyangkal dianggap mengakui.
3. Segala apa yang dilihat sendiri oleh Hakim di muka sidang.
4. Segala apa yang dapat dianggap diketahui oleh umum (fakta-
fakta notoir).
5. Sesuatu hal atas pengetahuannya Hakim sendiri.

TENTANG HAL BEBAN PEMBUKTIAN


1.
Pembagian beban pembuktian harus dilakukan dengan adil dan
tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian
yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan yang menerima
beban yang terlampau berat dan akan mengakibatkan kekalahan.
2.
Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil
dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-
undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan yang bersangkutan.
3.
Peristiwa-peristiwa yang menerbitkan atau menimbulkan sesuatu
hak, harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut hak tersebut.
Sedangkan peristiwa-peristiwa yang mematikan atau
menghapuskan hak tersebut, harus dibuktikan oleh pihak yang
membantah hak itu.
4.
Hakim dalam membagi beban pembuktian, dalam tingkat
terakhir menitikberatkan pada pertimbangan keadilan dan
jangan memerintahkan pembuktian sesuatu yang negatif.
5.
Beban pembuktian yang sudah diatur, antara lain:
a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur
Pasal 1244 KHUPdt);
b.
Siapa yang menuntuk penggantian kerugian yang disebabkan
suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan
adanya kesalahan (Pasal 1365 KUHPdt);
c. Siapa yang menunjukkan tiga kuitansi yang terakhir, dianggap
telah membayar semua cicilan (Pasal 1994 KUPdt);
d.
Barangsiapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap
sebagai pemiliknya (Pasal 1977 KUPdt).
TENTANG ALAT-ALAT BUKTI

Menurut Pasal 1866 KUPerdata atau Pasal 164 RIB (Pasal 283
RDS), alat-alat bukti dalam perkara perdata, terdiri atas:
1. Tulisan;
2. Saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.

Dalam hukum pidana, terdiri atas:


1.
Kesaksian;
2. Surat-surat;
3.
Pengakuan;
4. Petunjuk-petunjuk.

BUKTI TULISAN
1.
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang
utama, karena hal ini memang disengaja dibuat oleh para pihak
untuk dijadikan sebagai alat bukti apabila nanti terjadi
perselisihan.
2.
Bukti tulisan dinamakan akte yaitu suatu tulisan yang sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani.
3.
Dalam hukum perdata dikenal akte otentik dan akte di bawah
tangan.
Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di
mana akte itu dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 RIB
atau Pasal 285 RDS)
Akte di bawah tanggan adalah suatu akte yang dibuat diluar dari
ketentuan tersebut di atas. Dengan kata lain dibuat oleh para
pihak sendiri.
4.
Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, Pasal 165 RIB atau Pasal
285 RDS suatu akte otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna. Dalam arti mengikat, bahwa apa yang ditulis
dalam akte tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu dianggap
benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Di samping
itu juga tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian.
5.
Dalam akte otentik ada tiga macam kekuatan:
a.
Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut (kekuatan
pembuktian formil)
b.
Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa
sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan tersebut telah
terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau kekuatan
pemuktian mengikat)
c. Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan,
tetapi juga terhadap pihak ketiga (kekuatan pembuktian keluar
artinya terhadap pihak ketiga atau dunia luar).
6.
Akte di bawah sepanjang sudah diakui tandatangannya oleh
pihak lawan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
seperti akte otentik. Akan tetapi kekuatan pembuktian sempurna
tersebut hanya untuk kekuatan pembuktian butir a dan b angka 5
tersebut di atas. Tidak mencakup kekuatan pembuktian butir c
(pihak ketiga).
Pengecualiannya ada yaitu apabila:
a. akte di bawah tangan itu dibubuhi pernyataan oleh seorang
notaris atau pegawai lain yang ditunjuk undang-undang dan
dibukukan menurut aturan-aturan yang diadakan oleh
undang-undang (legalisasi);
b.
si penanda tangan meninggal, hari meninggalnya penanda
tangan ini dianggap sebagai tanggal dibuatnya akte yang
berlaku terhadap pihak ketiga;
c.
tentang adanya akte di bawah tangan tersebut ternyata dari
suatu akte otentik yang dibuat kemudian; tanggal daripada
akte otentik ini berlaku sebagai tanggal daripada akte di bawah
tangan tersebut yang berlaku terhadap pihak ketiga;
d. tanggal dari akte di bawah tangan tersebut diakui secara
tertulis oleh pihak ketiga terhadap siapa akte tersebut
dipergunakan.
7.
Karena bukti tulisan merupakan bukti yang paling pasti dan
paling mudah dipakainya, maka undang-undang mensyaratkan
untuk berbagai perbuatan hukum yang penting, bentuknya harus
tertulis. Hal ini dapat menjadi syarat mutlak ataupun sebagai
alat bukti. Dalam pendirian Perseroan Terbatas dibuat dalam
bentuk tertulis merupakan syarat mutlak. Mendirikan Firma,
mengadakan perjanjian asuransi sebagai alat bukti.

BUKTI SAKSI (KESAKSIAN)


1.
Apabila bukti tulisan tidak ada, bukti selanjutnya adalah saksi.
Saksi tersebut diperlukan untuk menguatkan dalil-dalil yang
diajukan di muka sidang.
2.
Saksi ada 2, yaitu : Pertama, saksi yang secara kebetulan melihat
atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka
Hakim; dan Kedua, saksi yang dengan sengaja diminta
menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan.
3.
Seorang saksi akan menerangkan tentang apa yang dilihat atau
dialaminya sendiri. Saksi dilarang menerangkan perkiraaan-
perkiraaan yang diperoleh dengan jalan pikiran dan hal ini bukan
suatu kesaksian.
4.
Saksi diwajibkan, menurut cara agamanya bersumpah atau
berjanji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Oleh
karena itu menjadi saksi ti muka Hakim tidak boleh dianggap
suatu hal yang enteng saja. Terhadap siapa yang dengan sengaja
memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah, diancam
sutau pidana, sebagai yang melakukan tindak pidana sumpah
palsu ( Pasal 242 KUHPidana).
5. Hakim dalam memberikan penilaian atas suatu kesaksian harus
memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-
kesaksian satu sama lain.
6.
Keterangan saksi tersebut oleh Hakim dapat dipakai sebagai
pedoman dan ia bebas menilai kesaksian tersebut.
7.
Kedudukan sebagai saksi adalah wajib, yaitu semua orang yang
cakap dalam hukum diwajibkan untuk menjadi saksi. Tidak
memenuhi panggilan sebagai saksi dapat dikenakan sanksi, yaitu:
a.
dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan
untuk memanggi saksi;
b. secara paksa dibawa ke Pangadilan;
c. dimasukkan dalam penyanderaan.
(Pasal 140, 141 dan 148 RIB).
Seorang saksi sudah mencapai usia lima belas tahun dan
berpikiran sehat. Orang yang belum berumur 15 tahun dapat
didengar keterangannya oleh Hakim tanpa penyumpahan.
Keterangannya dianggap sebagai penjelasan bukan sebagai
kesaksian.
8.
Dapat dibebaskan sebagai saksi, yaitu:
a.
siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis samping
dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak;
b. siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak
terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan
suami atau isteri salah satu pihak;
c.
segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaanatau
jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan
sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian
(Pasal 1909 KUHPerdata atau Pasal 146 RIB, Pasal 174 RDS).
9.
Terhadap orang-orang tersebut pada butir a dan b nomor 8 di atas
boleh didengar sebagai saksi, tetapi juga diberikan hak untuk
meminta pembebasan sebagai saksi.
10.
Tidak boleh menjadi saksi, kerena hubungannya terlalu sangat
dekat dengan salah satu pihak, yaitu para anggota keluarga dan
semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak dan suami atau
isteri sekalipun setelah cerai.
11.
Pengecualian, dapat menjadi saksi untuk perkara khusus, yaitu:
a. perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
b.
perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan
dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
c. perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan
orang tua atau wali;
d. perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan.
Dalam perkara ini orang-orang yang mempunyai hubungan darah
yang dekat dilarang untuk meminta pembebasan sebagai saksi.
12.
Berdasarkan Pasal 1905 KUHPerdata atau Pasal 169 RIB atau
Pasal 306 RDS, keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat
bukti lain, tidak boleh dipercaya di muka Pengadilan. Akan tetapi
aturan tersebut, tidak melarang Hakim untuk menganggap
sesuatu peristiwa, yang tidak didalilkan, terbukti dengan
keterangan seorang saksi. Adanya kemungkinan membuktikan
suatu dalil dengan persangkaan-persangkaan dan adanya
pembuktian berantai (Pasal 1906 KUHPerdata/170 RIB/307RDS),
menunjukkan bahwa diperbolehkan untuk membuktikan
peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri, dengan keterangan satu
orang saksi.
13.
Larangan untuk mempercayai keterangan satu orang saksi
dimaksudkan sebagai suatu larangan untuk mengabulkan suatu
gugatan, jika dalil-dalil penggugat itu disangkal dan hanya
dikuatkan oleh satu orang saksi saja.
14. Kesaksian de auditu artinya kesaksian dari pendengaran
(hearsay), yaitu suatu kesaksian dimana saksi tersebut
menerangkan bahwa ia mendengar dari orang lain tentang
sesuatu. Berbagai kesaksian de auditu dapat dipergunakan
sebagai persangkaan-persangkaan dari mana disimpulkan
terbuktinya sesuatu hal.

PERSANGKAAN-PERSANGKAAN

1. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu


peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu
peristiwa yang tidak terkenal, artinya belum terbukti. Sehubungan
dengan hal tersebut, sebetulnya persangkaan itu dinamakan alat
bukti adalah kurang tepat.
2. Ada 2 macam persangkaan, yaitu:
a. Persangkaan Hakim, apabila yang menarik kesimpulan
tersebut adalah Hakim;
b. Persangkaan undang-undang, apabila yang menarik
kesimpulan tersebut adalah undang-undang.
3. Persangkaan ini dilakukan apabila sukar didapatnya saksi-
saksi.
4. Persangkaan merupakan suatu peristiwa dibuktikan secara
tak langsung, artinya dengan melalui atau perantaraan
pembuktian peristiwa-peristiwa lain. Hal ini berbeda, misalnya
dengan alat bukti tulisan yang merupakan pembuktian secara
langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain.
5. Beberapa contoh penafsiran undang-undang:
a. Pasal 1394 KUHPerdata, yang menafsirkan pembayaran
tiga angsuran berturut-turut, dianggap bahwa angsuran yang
terdahulu telah dibayar lunas, kecuali jika dibuktikan
sebaliknya.
b. Pasal 1977 ayat 1, barang siapa menguasai benda
bergerak, maka dianggap sebagai pemiliknya.
c. Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Jadi sebagai anak
bapaknya. (Pasal 250 KUHPerdata).
6. Meskipun tidak diatur bahwa satu persangkaan akan dapat
mengabulkan suatu gugatan, akan tetapi biasanya Hakim masih
memerlukan lebih dari satu persangkaan.

PENGAKUAN
1.
Sebenarnya dimasukkannya pengakuan sebagai alat bukti adalah
kurang tepat. Karena dalil-dalil yang sudah diakui dalam hukum
perdata dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan.
2.
Berdasarkan Pasal 1925 KUHPerdata, 176 RIB dan 311 RDS
pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu
bukti yang sempurna.
3. Pengakuan yang diberikan di luar sidang merupakan bukti
bebas.
4.
Pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya. Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan
sempurna adalah pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak
lawan, yang mengandung pula pengakuan terhadap tuntutan yang
didasarkan pada dalil-dalil tersebut (pengakuan murni).
5.
Ada pula pengakuan yang disertai tambahan, yaitu pengakuan
dengan klausul dan pengakuan dengan kualifikasi.
Misalnya, si A menjual barang kepada B dan B mengakui membeli
barang tersebut, tetapi B mengatakan bahwa ia telah membayar
(pengakuan dengan klausul). Apabila B mengatakan bahwa ia
membeli barang dari A tersebut dilakukan dengan sistem
percobaan, maka B dapat mengatakan setelah ia mencoba barang
tersebut dan senang baru dibeli. Pengakuan dalam hal ini
dinamakan pengkuan dengan kualifikasi.

SUMPAH
1.
Dalam perkara perdata dikenal dua macam sumpah, yaitu:
a.
Sumpah decissoir atau pemutus adalah sumpah yang oleh
pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk
menggantungkan putusan perkara padanya;
b.
Sumpah suppletoir atau tambahan adalah Sumpah yang oleh
Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu
pihak (Pasal 1929 KUHPerdata).
2.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan
perkaranya, bahkan juga apabila tiada upaya lain yang manapun
untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang diperintahkan
penyumpahannya itu. (Pasal 1930 KUHPerdata). Di samping itu
sumpah pemutus dapat diperintahkan, meskipun tiada
pembuktian sama sekali.
3.
Sumpah pemutus merupakan senjata pamungkas (senjata
terakhir) bagi suatu pihak yang tidak mengajukan pembuktian.
4.
Perintah untuk melakukan suatu sumpah pemutus dapat
dikembalikan, artinya pihak yang menerima perintah dapat
menuntut supaya si pemberi perintah itu sendiri melakukan
sumpah. Kalau pemberi perintah ini, setelah sumpah
dikembalikan, tidak berani bersumpah, maka dialah yang
dikalahkan.
5.
Pasal 1932 KUHPerdata mengatur “ Barangsiapa diperintahkan
mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya atau menolak
mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan
sumpah dan, setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu,
menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan
maupun tangkisannya.
6.
Sumpah pemutus dilakukan dalam suatu pemeriksaan perkara
perdata yang sedang berlangsung di muka Hakim dan harus
mengenai hal atau peristiwa yang menjadi perselisihan serta
hanya dapat diperintahkan tentang suatu perbuatan pribadi dari
orang yang kepada sumpahnya digantungkan pemutusannya
perkara tersebut (Pasal 1913 KUHPerdata, Pasal 156 (1) RIB, Pasal
183 (2) RDS).
7.
Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan apabila:
a.
tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna;
b. tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali
terbukti.
Pasal 1941 KUHPerdata, Pasal 155 (1) RIB, Pasal 182 (1) RDS.
Untuk memerintahkan sumpah tambahan ditetapkan harus
terpenuhi syarat-syarat tersebut diatas, yaitu harus sudah ada
sementara pembuktian (permulaan pembuktian). Misalnya, berupa
satu kesaksian, atau tullisan atau pengakuan.
8.
Mengenai suatu perkara, apakah sudah ada bukti permulaan
atau belum sepenuhnya berada dalam wewenang Pengadilan
untuk mempertimbangkannya.
9.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sumpah tambahan
tidak terikat pada syarat bahwa sumpah tersebut harus mengenai
perbuatan pribadi dari orang yang bersumpah sepanjang
mengenai hal-hal yang diketahuinya.
10.
Tiada sumpah yang boleh diambil selainnya dengan hadirnya
pihak lawan atau setelah pihak ini dipanggil untuk itu secara sah.

PUTUSAN HAKIM
1.
Putusan Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara dapat
berbeda-beda antara perkara yang satu dengan perkara yang lain.
Hal ini tergantung bagaimana Hakim memperoleh keyakinan atas
penyelesaian perkara tersebut.
2. Macam keputusan Hakim, antara lain:
a.
Putusan condemnatoir yaitu putusan yang dalam amarnya
mengandung suatu penghukuman; Misalnya menghukum
tergugat dengan menyerahkan sebidang tanah kepada
penggugat.
b.
Putusan declaratoir yaitu putusan yang menyatakan suatu
keadaan sebagai suatu keadaan yang sah; Misalnya
menyatakan penggugat sebagai pemilik yang sah atas sebidang
tanah sengketa.
c.
Putusan constitutip yaitu putusan yang dalam amarnya
menciptakan suuatu keadaan yang baru; Misalnya putusan
yang menyatakan pailitnya seorang pengusaha.
3.
Dapat saja dalam suatu putusan mengandung, baik declaratoir
maupun condemnatoir.
4.
Putusan yang memerlukan eksekusi hanyalah putusan yang
condemnatoir, yaitu mengandung suatu penghukuman.
5.
Putusan declaratoir itu berlaku surut, sedangkan Putusan
constitutip berlaku untuk hari depan.
6. Dalam hukum pembuktian putusan Hakim merupakan akte
otentik.
7.
Putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu dapat
dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (TNI) dan
mengkikat dalam arti bahwa tidak boleh perkara yang sudah
diputus itu diajukan lagi di muka Hakim, sehingga tiap-tiap
gugatan baru dapat ditangkis dengan menunjukkan kepada
penggugat putusan tersebut (Ne bis in idem).

Jakarta, 17 Oktober 2020

Dr. Wiratno, SH, MH

Anda mungkin juga menyukai