kuliah kita Hukum Bisnis pada hari ini, Sabtu, 17 Oktober 2020,
pukul 08.00 – 10.00 WIB dengan pembahasan materi sesuai RPS
Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Hukum Pembuktian. Materi dan
bahan kuliah dapat dipelajari seperti di bawah ini.
1. PENGANTAR
2. PERKEMBANGAN PENYELESAIAN SENGKETA
3. PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA ATAU ALTERNATIVE DESPUTE
RESOLUTION
4. SIFAT APS
5. JALUR LIGITASI
6. JALUR ARBITRASE
7. JALUR NEGOSIASI
8. JALUR MEDIASI
9. JALUR KONSILIASI
10. APS DI INDONESIA
11. KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN ARBITRASE DAN
KESEPAKATAN APS
12. PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN,
ARBITRASE DAN LIGITASI
13. HUKUM PEMBUKTIAN
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
1. Pengantar
Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian
dari kehidupan manusia. Sumber sengketa antar manusia dapat
muncul dari keluarga, teman dan hubungan bisnis. Dalam
masyarakat industri modern, sengketa yang muncul dari
hubungan bisnis sering terjadi. Mengingat dalam hukum perdata
subyek hukum adalah manusia dan badan hukum, maka
sengketa dapat terjadi pada manusia dan juga pada badan
hukum.
Permasalahannya bagaimanakah sengketa yang muncul
tersebut harus diselesaikan. Pada dasarnya penyelesaian sengketa
di bidang hukum perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
sendiri atau pihak ketiga baik yang disediakan oleh negara atau
para pihak sendiri.
4. Sifat APS
Para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa lebih cocok
menggunakan APS, karena mempunyai beberapa keuntungan
yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dilakukan secara cepat dan tidak terlalu
memakan waktu.
2.
Penyelesaian sengketa dilakukan oleh orang yang ahli.
3. Fleksibilitas.
Maksudnya dalam hal aturan proses penyelesaian sengketa,
atau lebih dikenal dengan istilah hukum acara, mulai dari
penunjukan para arbiter hingga proses pemriksaan perkara.
Sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan menurut
kebanyakan pelaku bisnis tidak memenuhi kriteria fleksibel
(Pengadilan mempunyai hukum acara yang tidak dapat
dikesampingkan).
4. Kerahasiaan para pihak yang bersengketa tetap terjamin.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak,
sangat sesuai dengan kebutuhan para pelaku bisnis. Hanya saja
syaratnya harus ada kesukarelaan para pihak. Tanpa adanya
kesukarelaan tidak mungkin berjalan.
Sementara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga melalui
arbitrase masih diinginkan oleh pelaku bisnis, karena masih
dianggap cepat mengingat tidak ada lembaga banding.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan oleh para ahli
yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Bahkan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dianggap fleksibel karena
hukum acara bisa dipilih oleh para pihak, arbiter bisa dipilih oleh
pihak-pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian sengketa-
pun bias diatur.
Asangat formal
Aturan pembuktian Tidak perlu Agak informal
Dan teknis
Terbuka untuk
Publikasi konfidensial konfidensial
Umum
Hubungan para
kooperatif antagonistis antagonistis
pihak
Suasana Emosi
Bebas emosi emosional
Emosional bergejolak
HUKUM PEMBUKTIAN
1. HUKUM PEMBUKTIAN
5. BUKTI TULISAN
7. PERSANGKAAN-PERSANGKAAN
8. PENGAKUAN
9. SUMPAH
10. PUTUSAN HAKIM
HUKUM PEMBUKTIAN
Menurut Pasal 1866 KUPerdata atau Pasal 164 RIB (Pasal 283
RDS), alat-alat bukti dalam perkara perdata, terdiri atas:
1. Tulisan;
2. Saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.
BUKTI TULISAN
1.
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang
utama, karena hal ini memang disengaja dibuat oleh para pihak
untuk dijadikan sebagai alat bukti apabila nanti terjadi
perselisihan.
2.
Bukti tulisan dinamakan akte yaitu suatu tulisan yang sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani.
3.
Dalam hukum perdata dikenal akte otentik dan akte di bawah
tangan.
Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di
mana akte itu dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 RIB
atau Pasal 285 RDS)
Akte di bawah tanggan adalah suatu akte yang dibuat diluar dari
ketentuan tersebut di atas. Dengan kata lain dibuat oleh para
pihak sendiri.
4.
Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, Pasal 165 RIB atau Pasal
285 RDS suatu akte otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna. Dalam arti mengikat, bahwa apa yang ditulis
dalam akte tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu dianggap
benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Di samping
itu juga tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian.
5.
Dalam akte otentik ada tiga macam kekuatan:
a.
Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut (kekuatan
pembuktian formil)
b.
Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa
sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan tersebut telah
terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau kekuatan
pemuktian mengikat)
c. Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan,
tetapi juga terhadap pihak ketiga (kekuatan pembuktian keluar
artinya terhadap pihak ketiga atau dunia luar).
6.
Akte di bawah sepanjang sudah diakui tandatangannya oleh
pihak lawan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
seperti akte otentik. Akan tetapi kekuatan pembuktian sempurna
tersebut hanya untuk kekuatan pembuktian butir a dan b angka 5
tersebut di atas. Tidak mencakup kekuatan pembuktian butir c
(pihak ketiga).
Pengecualiannya ada yaitu apabila:
a. akte di bawah tangan itu dibubuhi pernyataan oleh seorang
notaris atau pegawai lain yang ditunjuk undang-undang dan
dibukukan menurut aturan-aturan yang diadakan oleh
undang-undang (legalisasi);
b.
si penanda tangan meninggal, hari meninggalnya penanda
tangan ini dianggap sebagai tanggal dibuatnya akte yang
berlaku terhadap pihak ketiga;
c.
tentang adanya akte di bawah tangan tersebut ternyata dari
suatu akte otentik yang dibuat kemudian; tanggal daripada
akte otentik ini berlaku sebagai tanggal daripada akte di bawah
tangan tersebut yang berlaku terhadap pihak ketiga;
d. tanggal dari akte di bawah tangan tersebut diakui secara
tertulis oleh pihak ketiga terhadap siapa akte tersebut
dipergunakan.
7.
Karena bukti tulisan merupakan bukti yang paling pasti dan
paling mudah dipakainya, maka undang-undang mensyaratkan
untuk berbagai perbuatan hukum yang penting, bentuknya harus
tertulis. Hal ini dapat menjadi syarat mutlak ataupun sebagai
alat bukti. Dalam pendirian Perseroan Terbatas dibuat dalam
bentuk tertulis merupakan syarat mutlak. Mendirikan Firma,
mengadakan perjanjian asuransi sebagai alat bukti.
PERSANGKAAN-PERSANGKAAN
PENGAKUAN
1.
Sebenarnya dimasukkannya pengakuan sebagai alat bukti adalah
kurang tepat. Karena dalil-dalil yang sudah diakui dalam hukum
perdata dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan.
2.
Berdasarkan Pasal 1925 KUHPerdata, 176 RIB dan 311 RDS
pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu
bukti yang sempurna.
3. Pengakuan yang diberikan di luar sidang merupakan bukti
bebas.
4.
Pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya. Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan
sempurna adalah pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak
lawan, yang mengandung pula pengakuan terhadap tuntutan yang
didasarkan pada dalil-dalil tersebut (pengakuan murni).
5.
Ada pula pengakuan yang disertai tambahan, yaitu pengakuan
dengan klausul dan pengakuan dengan kualifikasi.
Misalnya, si A menjual barang kepada B dan B mengakui membeli
barang tersebut, tetapi B mengatakan bahwa ia telah membayar
(pengakuan dengan klausul). Apabila B mengatakan bahwa ia
membeli barang dari A tersebut dilakukan dengan sistem
percobaan, maka B dapat mengatakan setelah ia mencoba barang
tersebut dan senang baru dibeli. Pengakuan dalam hal ini
dinamakan pengkuan dengan kualifikasi.
SUMPAH
1.
Dalam perkara perdata dikenal dua macam sumpah, yaitu:
a.
Sumpah decissoir atau pemutus adalah sumpah yang oleh
pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk
menggantungkan putusan perkara padanya;
b.
Sumpah suppletoir atau tambahan adalah Sumpah yang oleh
Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu
pihak (Pasal 1929 KUHPerdata).
2.
Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan
perkaranya, bahkan juga apabila tiada upaya lain yang manapun
untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang diperintahkan
penyumpahannya itu. (Pasal 1930 KUHPerdata). Di samping itu
sumpah pemutus dapat diperintahkan, meskipun tiada
pembuktian sama sekali.
3.
Sumpah pemutus merupakan senjata pamungkas (senjata
terakhir) bagi suatu pihak yang tidak mengajukan pembuktian.
4.
Perintah untuk melakukan suatu sumpah pemutus dapat
dikembalikan, artinya pihak yang menerima perintah dapat
menuntut supaya si pemberi perintah itu sendiri melakukan
sumpah. Kalau pemberi perintah ini, setelah sumpah
dikembalikan, tidak berani bersumpah, maka dialah yang
dikalahkan.
5.
Pasal 1932 KUHPerdata mengatur “ Barangsiapa diperintahkan
mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya atau menolak
mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan
sumpah dan, setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu,
menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan
maupun tangkisannya.
6.
Sumpah pemutus dilakukan dalam suatu pemeriksaan perkara
perdata yang sedang berlangsung di muka Hakim dan harus
mengenai hal atau peristiwa yang menjadi perselisihan serta
hanya dapat diperintahkan tentang suatu perbuatan pribadi dari
orang yang kepada sumpahnya digantungkan pemutusannya
perkara tersebut (Pasal 1913 KUHPerdata, Pasal 156 (1) RIB, Pasal
183 (2) RDS).
7.
Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan apabila:
a.
tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna;
b. tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali
terbukti.
Pasal 1941 KUHPerdata, Pasal 155 (1) RIB, Pasal 182 (1) RDS.
Untuk memerintahkan sumpah tambahan ditetapkan harus
terpenuhi syarat-syarat tersebut diatas, yaitu harus sudah ada
sementara pembuktian (permulaan pembuktian). Misalnya, berupa
satu kesaksian, atau tullisan atau pengakuan.
8.
Mengenai suatu perkara, apakah sudah ada bukti permulaan
atau belum sepenuhnya berada dalam wewenang Pengadilan
untuk mempertimbangkannya.
9.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sumpah tambahan
tidak terikat pada syarat bahwa sumpah tersebut harus mengenai
perbuatan pribadi dari orang yang bersumpah sepanjang
mengenai hal-hal yang diketahuinya.
10.
Tiada sumpah yang boleh diambil selainnya dengan hadirnya
pihak lawan atau setelah pihak ini dipanggil untuk itu secara sah.
PUTUSAN HAKIM
1.
Putusan Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara dapat
berbeda-beda antara perkara yang satu dengan perkara yang lain.
Hal ini tergantung bagaimana Hakim memperoleh keyakinan atas
penyelesaian perkara tersebut.
2. Macam keputusan Hakim, antara lain:
a.
Putusan condemnatoir yaitu putusan yang dalam amarnya
mengandung suatu penghukuman; Misalnya menghukum
tergugat dengan menyerahkan sebidang tanah kepada
penggugat.
b.
Putusan declaratoir yaitu putusan yang menyatakan suatu
keadaan sebagai suatu keadaan yang sah; Misalnya
menyatakan penggugat sebagai pemilik yang sah atas sebidang
tanah sengketa.
c.
Putusan constitutip yaitu putusan yang dalam amarnya
menciptakan suuatu keadaan yang baru; Misalnya putusan
yang menyatakan pailitnya seorang pengusaha.
3.
Dapat saja dalam suatu putusan mengandung, baik declaratoir
maupun condemnatoir.
4.
Putusan yang memerlukan eksekusi hanyalah putusan yang
condemnatoir, yaitu mengandung suatu penghukuman.
5.
Putusan declaratoir itu berlaku surut, sedangkan Putusan
constitutip berlaku untuk hari depan.
6. Dalam hukum pembuktian putusan Hakim merupakan akte
otentik.
7.
Putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu dapat
dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (TNI) dan
mengkikat dalam arti bahwa tidak boleh perkara yang sudah
diputus itu diajukan lagi di muka Hakim, sehingga tiap-tiap
gugatan baru dapat ditangkis dengan menunjukkan kepada
penggugat putusan tersebut (Ne bis in idem).