Anda di halaman 1dari 24

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............

Lazuardi 135

KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN


DALAM KARYA KLASIK ISLAM

Oleh:

Lazuardi1

Abstract

Science classification in the category of religious sciences and


non-religion is not new, Islam has known the science of classification
tradition of more than a thousand years ago. In the Islamic intellectual
treasures discovered classical works that explores the science of
classification. However, this classification is experiencing a shift in
meaning that lead to dichotomy that separation, conflict and hostility. The
shift was getting stronger since Western secular education system
(positivistic) was introduced to the Islamic world through imperialism and
colonialism, there was a very strict dichotomy between the sciences of
religion and non-religion. Although initially this dichotomizing not pose
too many problems in the educational system of Islam.
So how exactly works of classical Islamic sciences introduce
classification into two categories mentioned (the sciences of religion and
non-religion) whether classical scholars of Islam leaning on one or regard
them as legitimate science? Are scientists propose two poles of classical
Islamic scholarship that is dikhotomis or just Penjenisan and job
descriptions alone? This paper-like study books focusing on three classic
works of Islamic science genre classification. These entries are Ihshau 'al-
Ulum al-Farabi works, Ihya' Ulumiddin al-Ghazali and Ibn Khaldun
Muqaddimah.

Keywords: Science classification, religious sciences, non-religion

1
Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
136

Pendahuluan

Pengklasifikasian ilmu pengetahuan dalam kategori ilmu-ilmu agama dan


non agama bukanlah hal yang baru, Islam telah mengenal tradisi pengklasifikasian
ilmu lebih dari seribu tahun silam. Dalam khazanah intelektual Islam ditemukan
karya-karya klasik yang mengupas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan. Namun
klasifikasi ini mengalami pergeseran makna yang menjurus kepada pen-dikhotomi-
an yaitu pemisahan, pertentangan dan permusuhan. Pergeseran itu semakin kuat
sejak sistem pendidikan sekuler Barat (positivistic) diperkenalkan ke Dunia Islam
melalui imperialism dan kolonialisme, terjadilah dikhotomi yang sangat ketat antara
ilmu-ilmu agama dan non agama. Meskipun awalnya pendikhotomian ini tidak
menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam.
Dikhotomi ini semakin memuncak tatkala terjadi pengingkaran terhadap
validitas dan status keilmiahan satu ilmu atas ilmu lain. Kalangan agamawan
tradisional memandang bahwa ilmu-ilmu non agama itu sebagai bid’ah, atau
haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir. Sedangkan pendukung
ilmu-ilmu non agama menganggap ilmu-ilmu agama sebagai pseudo-ilmiah atau
quasi- ilmiah, dipandang sebagai mitologi, dan nonsens karena tidak berbicara
fakta empirik. Bahkan problema dikhotomi ini, telah menimbulkan kesenjangan
berkenaan dengan sumber ilmu, objek-objek ilmu yang dianggap sah, disintegrasi
pada tatanan klasifikasi ilmu, menyangkut metodologi ilmiah, dan sulitnya
pengintegrasian pengalaman manusia (indra, intelektual, dan intuisi).
Di era peradaban Islam klasik, para ulama telah mengklasifikasikan ilmu-
ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok besar, yaitu, ilmu pengetahuan agama
dan ilmu pengetahuan non agama. Mereka menamakan ilmu pengetahuan agama
dengan berbagai term, seperti, al-ulum al-diniyah, al-ulum al-naqliyah, al-ulum
al—syari’ah, al-ulum al-Islamiyah dan al-ulum al-Araby. Ilmu-ilmu agama meliputi
tafsir, hadis, ilmu kalam, fiqh, dan tasawuf. Sedangkan Ilmu-ilmu non agama
mereka menyebutnya dengan istilah, al-ulum al-dunyawiyah, al-ulum al-aqliyah,
al-ulum al-dakhilah, al-ulum al-ajam dan al-ulum al-awail. Ilmu-ilmu ini meliputi,
Bahasa Arab, sejarah, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, optika, al-
kimiya’, fiziya’, kosmografi, dan lain sebagainya.2
Lantas bagaimana sebenarnya karya-karya klasik Islam memperkenalkan
klasifikasi ilmu ke dalam dua kategori dimaksud (ilmu-ilmu agama dan non
agama,) apakah ilmuan klasik Islam condong ke pada salah satu atau menganggap

2
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: t.p. 1964), bab 21 dan 27
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 137

keduanya sebagai bidang ilmu yang sah ? Apakah para ilmuan klasik Islam
mengajukan dua kutub keilmuan itu secara dikhotomis atau sekedar penjenisan
dan pembidangan saja? Tulisan ini mirip kajian buku yang memfokuskan pada tiga
karya klasik Islam yang ber-genre klasifikasi ilmu. Ketiga karya tersebut adalah
Ihshau’ al-Ulum karya al-Farabi, Ihya’ Ulumiddin al-Ghazali, dan Muqaddimah
karya Ibn Khaldun.

Mengenal al-Farabi

Para sejarawan bebeda pandangan tentang asal usul keturunan al-Farabi.


Ibn Abi Ushaiba’ah dalam Kitabnya ‚Uyun al-Anba’ mengatakan nama lengkap al-
Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Uzlagh bin Tharkhan. Ibn
Khalkan menyebut dalam kitab Wafayat al-‘A’ayan nama lengkap al-Farabi adalah
Abu Nasr Muhammad bin Tharkhan bin ‘Uzlagh. Sedangkan al-Qifthiy
menyebutnya dengan Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan, nama
ini disetujui oleh al-Baihaqy. Sementara itu Ibn Nadhim dalam kitab al-Fihrasat
menyebut dengan Abu Nasr Muhammad bin Muhammad ibn Tharkhan. Sha’id
dalama kitab Thabaqat al-Umam menyebut Abu Nasr Muhammad bin Muhammad
ibn Nasr, dan dalam kitab yang sama juga disebut seperti itu. Akan tetapi mereka
tetap sepakat namanya adalah Muhammad meskipun mereka tetap berbeda
pandangan tentang nasabnya.3
Para penterjemah karya-karya al-Farabi umumnya sepakat bahwa al-
farabi berdarah asli Persi dan lahir di Turki. Ayahnya adalah seorang panglima
perang berdarah Persi.4
Penamaan al-Farabi dinisbahkan kepada daerah Faraba yaitu daerah
perkampungan di Turki. Akan tetapi ada yang menyebut penisbahan tersebut
berasal dari Farabaya yaitu daerah Khurasan hanya saja pandangan ini dipandang
lemah karena namanya al-Farabi bukan Farayabi.5
Ibn Khalkan menyebut bahwa al-Farabi wafat pada tahun 339 H di
Damaskus dalam usia 80 tahun sehingga dapat diperkirakan al-Farabi lahir sekitar
tahun 259 H. Tidak banyak informasi yang bengisahkan masa mudanya sehingga
kehidupan al-Farabi dipandang misterius akan tetapi yang banyak diungkap adalah
periode perjalanan dan pengembaraannya dari satu negeri ke negeri yang lain
setelah beliau berusia 50 tahun. Suatu hal yang sangat menonjol dalam kehidupan

3
Said Zayid, al-Farabi, (Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1962), hlm.14.
4
Ibid.,
5
Ibid.,
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
138

al-Farabi adalah mengajar, menulis dan sangat gemar melakukan pengembaraan.


Ia beberapa kali mengunjungi kota Aleppo (Halb), kemudian Mesir, Damaskus,
Muscat, dan Baghdad kemudian menuju Haran dan kembali lagi.6
Al-Farabi tumbuh dan berkembang secara kultural, budaya, bahasa dan
agama. Ia menekuni ilmu-ilmu keislaman seperti fiqh, hadis dan tafsir, Ia belajar
bahasa arab, Bahasa Turki, dan Bahasa Persia. Bahkan diduga beliau juga
mengetahui bahasa lain. Ibn Khalkan mayakini bahwa al-Farabi memahami 70
bahasa termasuk mitos-mitosnya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu rasional seperti
matematika dan filsafat. Al-Farabi juga mendalami Ilmu Mantik, untuk tujuan itu Ia
bersengaja berangkat ke Baghdad berguru kepada Abu Basyr Mata bin Yunus.
Al-Farabi merupakan sosok yang gemar meneliti dan mengamati bahkan
sangat gemar mengasingkan diri. Masa mudanya diawali dengan gemar berfilsafat,
masa produktifnya dihabiskan untuk menimba ilmu, dan akhir hidupnya sebagai
seorang sufi. Intensitas akademik al-Farabi tumbuh subur, banyak mengarang dan
menulis buku selama di Baghdad. Informasi menyebut bahwa mayoritas karya-
karyanya hilang. Para penulis Arab menduga al-Farabi merupakan ilmuan terbesar
setelah Aristo yang diberi gelar sebagai al-Mu’allim al-awwal atau guru pertama
sedangkan al-Farabi sebagai al-mu’allim al-tsani atau guru kedua. Pemberian gelar
ini tidak terlepas dari kepopulerannya sebagai filosof muslim dengan kitab Ihsau’
yang menghimpun ilmu-ilmu populer pada zamannya demikian halnya Aristo yang
populer dengan karya-karya keilmuan pada zamannya. Meskipun al-Farabi populer
sebagai pensarah atau komentator karya filsafat Aristo akan tetapi al-Farabi tidak
berhenti sebagai pensarah saja, justur beliau mengarang berbagai risalah-risalah
filsafat yang menjelaskan filsafatnya yang khas sebagaimana Ia jelaskan dalam
kitab Fushush al-Hikam, Ihshau’ al-‘Ulum, al-Jam’u baina Ra’yi al-Hakimain
Aflatun wa Aristhu, Ara’u Ahli al-Madinah al-Fadhilah, dan Tahshi al-Sa’adah dan
lain-lain.7
Ketika menginjak jelang usia 50-an, yaitu usia kematangan, al-Farabi
berangkat lagi ke Baghdad yang dipandang sebagai awal tahap kedua
kehidupannya yang banyak memberikan pengaruh terhadap orang-orang yang
menjalin komunikasi dengannya. Di Kota Baghdad beliau bertemu dengan para
ilmuan mantiq dan terus menimba ilmu mantiq kepada gurunya. Bahkan al-Farabi
juga berangkat ke Haran untuk mempelajari ilmu mantiq kepada Yuhana bin

6
Ibid., hlm. 15.
7
‘Usman Amin, Ihshau’ al-‘Ulum, (Misr: Dar al-Fikr al-Araby Mathba’ah al-I’timad, Al-
Thab’ah al-Tsaniyah, 1949), hlm.32.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 139

Hailan. Pada saat inilah al-Farabi mendapat gelar sebagai al-Muallim al-tsani ‚guru
kedua‛ karena penguasaan ilmunya sehingga seorang ilmuan mantiq terkenal
Yahya bin ‘Ady belajar kepadanya.8
Untuk ketiga kalinya al-Farabi kembali lagi ke Baghdad sebagaimana
disebut Ibn Khalkan beliau membaca ilmu-ilmu ke filsafatan. Pada saat inilah al-
Farabi bersentuhan langsung dengan karya-karya Aristoteles setelah membacanya
berkali-kali sehingga beliau mampu memahami pemikiran Aristo secara utuh.
Bahkan dikisahkan bahwa Kitab al-Nafs karya Aristoteles dibacanya sebanyak
seratus kali dan Kitab al-Simau’ al-Thabi’iy dibacanya sebanyak empat puluh kali
dan masih terus membaca dan mengulanginya. Masih menurut Ibn Khalkan bahwa
al-Farabi mengarang sebahagian besar karyanya di Baghdad karena hampir 20
tahun beliau menghabiskan waktunya di kota ini dalam usia yang matang secara
akademik.9

Kitab Ihshau’ al-‘Ulum

Al-Farabi banyak mengulas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam karya


monumentalnya yaitu buku Ihshau’ al-Ulum. Buku ihsha’yang ada di tangan
penulis merupakan tahqiq terhadap karya al-Farabi yang ditulis oleh Dr. Usman
Amin Guru besar sejarah Filsafat pada fakultas Sastra universitas Fuad I, sebagai
cetakan kedua yang diterbitkan pada tahun 1943 oleh Dar al-fikri al-Arabi
Mathba’ah al-I’timad Mesir.
Di dalam kitab ini, Usman Amin telah berupaya membandingkan
berbagai naskah Ihshau’, mulai dari naskah Kairo, I’Escurial Istanbul dan Najf serta
naskah yang ada pada kitab Ibn Thamlus (al-Madkhal li Shina’ah al-Manthiq) dan
naskah Kobrolo Istanbul akan tetapi Usman sangat menyayangkan karena naskah
terakhir ini pun tidak ditemukan secara utuh hanya beberapa copy-an. Sehingga
Usman mencoba membandingkan naskah Kairo dengan naskah Arab dan
membandingkannya dengan terjemahan Dikrimona yang ditulis berbahasa Latin
yang dipandang sebagai terjemahan paling sempurna. Usman akhirnya
menggunakan naskah arab sebagai pegangan setelah di tashhih dari kesalahan dan
perubahan.10

8
Said Zayid, Ibid., hlm. 16.
9
Ibid., hlm. 17.
10
Usman Amin, Ibid., hlm. 30.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
140

Kitab ini memuat tiga kelompok pembahasan, yang pertama


pembahasan tentang pengenalan kitab Ihshau’ al-Ulum yang dimulai pada
halaman 4 sampai dengan halaman 43 berisi tentang objek kajian, pengaruh
Ihshau’ di dunia Islam dan dunia Barat dan beberapa perdebatan apakah Ihshau’
murni karya al-Farabi? Yang kedua pembahasan tentang klsifikasi ilmu dalam
pandangan al-Farabi, dalam hal ini Usman Amin tidak menambahi dan tidak
mengurangi muatan klasifikasi ilmu al-Farabi yang ‚dilampirkan‛ mulai pada
halaman 45 sampai dengan halaman 108. Hal ini berarti bahwa Ihshu’ al-Ulum
hanya berisi 71 halaman beserta dengan catatan kaki yang ada pada setiap
halaman. Yang ketiga berisi tentang komentar-komentar para ilmuan Barat dan
Islam seputar klasifikasi ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Farabi dan
klasifikasi di dunia arab dan barat.
Kitab Ihshau’ al-Ulum dikarang al-Farabi pada abad 10 Masehi atau
pertengahan abad keempat Hijriyah.11 Kitab ini mendapat penghargaan dan
tanggapan positif para ilmuan di dunia Islam dan dunia barat. Mereka memuji dan
memperkirakan bahwa kitab Ihshau’ sangat penting bagi peminat dan menelaah
ilmu pengetahuan.
Pada abad ke 11 Masehi Sha’id ibn Ahmad al-Andalusi (W. 463 H/1070
M) berbicara tentang al-Farabi dan karya-karyanya serta mengemukakan
kekagumannya terhadap kitab tersebut sebagai berikut: ‚…..setelah ini al-Farabi
mememiliki kitab yang sangat bagus tentang klasifikasi, depenisi dan tujuan ilmu
pengetahuan, belum ada orang yang memiliki pandangan seperti ini yang sangat
bermanfaat bagi para penuntut ilmu untuk mempelajarinya …..‛. Para penulis
Arab seperti al-Qibthi dan Ibn Abi Usaiba’ah juga memberikan penghargaan dan
apresiasi terhadap kitab ini.12
Pada akhir abad ke 12 dan awal abad ke 13 Ibn Thamlus (murid Ibn
Rusyd) mencoba menukil satu pasal tentang klasifikasi ilmu yaitu pasal tentang
ilmu mantiq. Ibn Thamlus mengajukan pandangannya sebagai berikut : ‚saya
belum pernah melihat uraian yang bagus dan sistematis dalam mediskripsikan
ilmu, saya mangambilnya tanpa menambahi dan menguranginya‛.13
Bahkan kitab Ihshau’ sangat berpengaruh di kalangan ilmuan Barat pada
abad pertengahan yang dibuktikan dengan munculnya terjemahan kitab Ihshau’
lebih dari satu kali ke dalam Bahasa Latin selama abad ke 12 Masehi. Dua

11
Ibid., hlm. 2.
12
Ibid.,
13
Ibid.,
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 141

terjemahan penting adalah terjemahan yang dinisbahkan kepada Dominicus


Gundissalinus yang diterbitkan Camerarius dengan judul terjemahan ‚alpharabi
Philosophi opusculum de scientiis‛ yang diterbitkan di Paris tahun 1838. Namun
terjemahan ini dipandang tidak sempurna karena Dominicus membuang satu pasal
dari kitab Ihshau’ yaitu pasal ‘Ilmu Kalam. Dan sebagian tema-temanya berubah,
ada yang dibuang dan ada yang diringkas. Sedangkan terjemahan kedua adalah
terjemahan yang dinisbahkan kepada Gerard de Cremona yaitu terjemahan yang
sangat sempurna sesuai dengan naskah asli Ihshau’ yang ditulis berbahasa Arab.
Kitab Ihshau’ juga sangat populer di kalangan skolastik Yahudi dengan
ditemukannya terjemahan ringkasan berbahasa Ibrani yang ditulis oleh Kalonymos
ben Kalonymos (w.1328 M).
Dalam masa yang panjang para ilmuan masih menduga kalau kitab
Ihshau’ merupakan enciklopedia. Dugaan ini muncul pertama kali dari Michail
Casiri dan diikuti para ilmuan barat dan Timur seperti Steinschneider, Farmer, al-
Bustany, jurji Zaidan, Ahmad Zaki Basya, Farid Wajdi, Iskandar Ma’luf akan tetapi
ilmuan lain menyanggah pandangan tersebut.
Al-Farabi sesungguhnya tidak bermaksud kitab Ihshau’ sebagai
ensiklopedia dalam pengertian yang akurat akan tetapi yang Ia maksudkan adalah
Ihshau’ merupakan ringkasan terhadap ilmu-ilmu yang berkembang pada
zamannya dan menjadi petunjuk ringkas terhadap orang yang ingin mendalami
ilmu. Memaparkan kepada para pembaca sebuah pemikiran yang jelas dan
menyeluruh tetang objek dan manfaat ilmu secara teoritis dan praktis serta
mencoba menyajikan kepada penggiat ilmu pengetahuan yang membutuhkan dan
berpartisipasi dalam melihat ilmu-ilmu terpenting pada zamannya. Dengan jelas al-
Farabi mengungkapkan dalam kata pengantar bukunya dengan judul Maqalah fi
‚Ihshai al-Ulum‛ sebagai berikut :
‫مقالة فى "اح‬
:‫ قال‬. ‫كتاب ابى نصر محمد بن محمد الفارابى فى مراتب العلوم‬
"‫قصدنا صاء العلوم‬
‫ اجزاء كل‬,‫ ونعرف جمل ما يشتمل عليو كل واحد منها‬,‫فى ىذا الكتاب ان نحصى العلوم المشهورة علما علما‬
.................‫ ونجعلو فى خمسة فصول‬.‫ وجمل ما فى كل واحد من اجزائو‬.‫مالو منها اجزاء‬
,‫وينتفع بما فى ىذا الكتاب الن االنسان اذا اراد ان يتعلم علما من ىذه العلوم وينظر فيو علم على ماذا يقدم‬
‫ ليكون اقدامو على ما يقدم عليو من‬,‫ وماغناء ذالك واى فضيلة تنال بو‬,‫ واى شىء سيفيد بنظره‬,‫وفى ماذا ينظر‬
.‫العلوم على معرفة وبصيرة ال على عمى وغرر‬
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
142

, ‫ وايها اتقن واوثق واقوى‬, ‫ ايها انفع‬,‫ فيعلم ايها افضل‬, ‫وبهذا الكتاب يقدر االنسان على ان يقايس بين العلوم‬
. ‫وايها اوىن واوىى واضعف‬
‫ فانو اذا طولب باالخبار عن‬: ‫وينتفع بو ايضا فى تكش يف من ادعى البصر بعلم من ىذه العلوم ولم يكن كذلك‬
.‫ ويجمل ما فى كل جزء منو فلم يضطلع بو تبين كذب دعواه وتكثف تمويهو‬,‫جملة ما فيو وباحصاء اجزائو‬
. ‫ وكم مقدارما يحسنو‬,‫وبو يتبين ايضا فيمن يحسن علما منها ىل يحسن جميعو او بعض اجزائو‬
‫وي نتفع بو المتادب المتفنن الذى قصده ان يشدو جمل مافى كل علم ومن احب ان يتشبو باىل العلم ليظن بو انو‬
14
.‫منهم‬
‛Ini karya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad al-Farabi tentang
rangking, tingkatan ilmu (maratib al-ulum) berkata : ‚yang kami
maksudkan dengan buku ini adalah nuhshiya (menggolongkan ilmu
menurut jenisnya, menyusun sampai bagian terkecil, memilah,
menklasifikasikan, membuat cakupan, dan menghitung) jumlah ilmu-ilmu
yang populer pada zamannya satu persatu, memperkenalkan dan
mendepinisikan kandungan setiap ilmu secara global, membagi setiap
kandungan ilmu dengan bagian-bagian yang lebih kecil, dan
menghimpun setiap kandungan ilmu dengan bagian-bagiannya dan
selanjutnya kami buat lima pasal………‛. Dalam paragraph selanjutnya
al-Farabi mengungkapkan manfaat bukunya sebagai berikut:
Dengan demikian buku ini akan bermanfaat bagi orang yang ingin
mempelajari dan meneliti sebuah ilmu secara ontologism dan
epistomologis serta sejauh mana ilmu itu bermanfaat, apa kegunaanya
dan apa keutamaan yang diperoleh (aksiologis), agar dasar pijakan ilmu
yang diajukan memiliki landasan epistemologis dan argumentatif bukan
belandaskan kebutaan dan kesia-siaan. Dengan begitu melalui buku ini
orang akan mampu untuk membandingkan(comparasi) antara berbagai
ilmu, dengan begitu akan diketahui mana yang lebih utama, paling
bermanfaat dan paling pasti dan meyakinkan, paling kokoh dan kuat
serta orang akan tahu mana yang paling lemah. Buku ini juga bermanfaat
dalam menyingkap dan membuka dugaan orang terhadap sebuah ilmu,
dan tidak akan terbebani pada saat menyampaikannya sehingga jelas
terungkap mana yang diduga kebohongan dan tersingkap mana yang
palsu.

14
Lihat kata pengantar kitab dengan judul ( Maqalah fi Ihsha’I al-Ulum) dalam buku Ihshau’
yang ditahqiq oleh Usman Amin pada halaman 43
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 143

Dengan buku ini juga akan jelas kepada siapa ilmu itu baik dan apakah
keseluruhan atau sebagian atau bagian kecil dari ilmu itu baik, dan
berapa kadar baiknya. Dan akan bermanfaat begi pecinta ilmu yang
bermaksud menguasai ruang lingkup(skop) setiap ilmu, dan barang siapa
meniru-niru (memplagiasi) niscaya mereka bagian dari yang ditiru‛.
Oleh karena itu kitab Ihshau’ bukanlah sebuah ensiklopedia sebagaimana
ensiklopedi yang kita pahami sekarang. Akan tetapi sebenarnya kitab
Ihsha’ dimaksudkan sebagai kitab yang memuat dan menghimpun
berbagai ilmu-ilmu yang berkembang pada zamannya. Kendatipun
demikian, al-Farabi tetap dipandang sebagai peletak pertama klasifikasi
ilmu yang memberikan pengaruh besar dan akan mendorong para
penulis ensiklopedia Arab untuk membuat tulisan-tulisan sejenis.

Menurut Usman Amin memang terjadi perbedaan pendapat apakah buku


Ihshau’ hanya sebagai himpunan terhadap keanekaragaman (ta’did) ilmu yang
berkembang pada zamannya bersama dengan penjelasan masalah-masalah dan
ruang lingkupnya secara global, atau yang diharapkannya adalah pembagian
(taqsim), atau membuat karangan (tashnif) tersendiri secara tersusun yang
menghasilkan aliran tertentu? Sebagaimana risalah Ibn Sina dengan kitab Aqsamu
al-Ulum al-Aqliyah, Ibn Hazm dengan kitab Maratib al-Ulum wa Kayfiyatu
Thalabiha, dan sebagaimana ditemukan dalam tulisan para pemikir barat modern
seperti Prancis Bacon, agust Comte, dan H. Spencer.15
Namun yang tampak jelas menurutnya adalah Ihshau’ bukan urutan dan
susunan ilmu secara hirarkis (tartib) dan bukan membuat aliran baru (tashnif) akan
tetapi menggambarkan secara gamblang pengklasifikasian ilmu (Ihshau’). Demikian
pun menurut Ustman Amin bukan menjadi penghalang untuk tetap mengobservasi
buku ini yang justru hadir dalam bentuk yang tersusun secara runtut, sistematis dan
logis (wifqan li tartibi aqliyin muayyanin). Karena memang al-Farabi tidak
menguraikan dan menjelaskan persoalan di atas dalam kitab Ihshau’nya. Hirarki
ilmu (tartib) yang dibuat al-Farabi dalam kitab ihshau’ muncul dalam bentuk
penerapan praktis terhadap teori umumnya dalam pembagian ilmu.16
Al-Farabi (w. 950) membagi ilmu pengetahuan kepada lima pasal
(khamsata fushulin), yaitu:

15
Usman Amin, Ibid., hlm.27.
16
Ibid., hlm. 28.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
144

Pasal Pertama, Ilmu Bahasa ( Fi Ilmi al-lisan ), meliputi tujuh bagaian:


a. lafal sederhana (al-fazh al-mufradah), b. lafal tersusun (al-fazh al-murakkabah),
c. kaedah-kaedah yang mengatur lafal sederhana (qawanin al-fazh al-mufradah), d.
kaedah-kaedah yang mengatur lafal tersusun, e. penulisan yang benar, f. kaedah-
kaedah bacaan (qira’ah) yang benar, g. kaedah-kaedah puisi (syi’r)
Ilmu al-fadz Mufradah secara spesipik mempokuskan kajian pada jenis-
jenis, macam-macam, pelestarian, dan pengungkapan lafadz demi lafadz.
Termasuk dalam kajian ini adalah lafadz serapan(al-dakhil), dan lafadz asing
(lafadz al-gharib) yang popular di kalangan masyarakat. Sedangkan ilmu al-Fadz
al-Murakkabah mengkaji tentang pernyataan yang disampaikan para orator,
penyair dan sastrawan terkemuka di kalangan mereka, baik ungkapan yang
panjang maupun pendek dan baik disyairkan maupun tidak disyairkan.
Sementara ilmu qawanini al-fadz al-mufradah pertama membahas
jumlah huruf berdasarkan kamus, cara pengucapan satu persatu, sarana pengucap,
penutur, kalimat terstruktur maupun tidak terstruktur, huruf konsonan, tatsniyah,
jamak, muzdakkar, muannas dan Isytiqaq (pecahan kata/morfologi), termasuk
dalam kajian huruf yang tadh’if, tasydid atau ber- idhgham.
Adapun ilmu qawanini al-fadz murakkabah terbagi kepada dua bagian,
yang pertama, mengkaji akhir dan awal kata benda dan kalimat pada saat
terstruktur dan tersusun(I’rab, tanwin, mutasharrif, mabniy). Yang kedua,
menjelaskan bagaimana lafadz-lafadz itu tersusun dan terstruktur, berapa
bagiannya sehingga menjadi sebuah kalimat dan mana susunan yang paling fashih.
Selanjutnya ilmu kaedah bacaan (qawanini al-Qira’ah), memperkenalkan
tentang penggunaan titik, dan tanda pemberhentian pada sebuah kalimat.
Sedangkan yang terakhir adalah ilmu al-Asy’ar sebagai bagian dari ilmu
lisan terbagi kepada tiga bagian, yang pertama, menghitung wazan/timbangan
yang dipakai dalam syair baik wazan sederhana maupun wazan tersusun,
kemudian menghitung komposisi huruf berdasarkan kamus yang menghasilkan
bagian demi bagian dan wazan demi wazan yang dalam Ilmu Arudh dikenal
dengan al-asbab dan al-autad. Kemudian membahas jumlah bait, terdiri dari
berapa huruf secara sehinga sempurna bait demi bait dan wazan demi wazan,
dengan demikian akan dibedakan mana wazan sempurna dan wazan tidak
sempurna dan wazan paling indah didengar dan mana wazan yang tidak indah.
Bagian kedua adalah meneliti akhir bait-bait syair dengan wazannya , mana yang
satu wazan atau lebih, mana yang sempurna, tambahan dan mana yang kurang,
mana yang satu huruf, lebih dari satu huruf, dan mana huruf yang sama pada saat
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 145

diucapkan. Bagian ketiga membahas tentang lafadz yang baik digunakan dalam
syair dan yang tidak baik yang dianggap tidak syair,
Pasal Kedua, Ilmu Logika (Fi ‚Ilm al-Manthiq). Al-Farabi mengawali
pasal ini dengan uraian manfaat ilmu manthiq. Menurutnya ilmu mantik akan
memberikan kaedah berpikir dan meluruskan seseorang dengan cara yang baik
untuk mendapatkan kebenaran dan tidak salah dalam penalaran. Kaedah-kaedah
itu akan memelihara seseorang dari kesalahan dalam bernalar dan berpikir dan
kaedah itu juga akan menguji penalaran sampai seseorang mendapatkan
pengetahuan secara pasti, mana kebenaran dan mana yang bukan kebenaran.
Melalui Ilmu manthiq seseorang juga akan memperoleh cara berpikir dan
menganalisis secara analogis (qiyasy) dan argumentative (istdhlaly). Tanpa seperti
ini seseorang tidak akan sampai pada kebenaran yang pasti (al-haqq al-yaqin)
karena itu dibutuhkan kaedah berpikir (Qawaninu al-Manthiq).
Menurutnya Ilmu Manthiq sangat sesuai dengan Ilmu Nahwu (grammer).
Hubungan ilmu manthiq dengan penalaran seperti hubungan Ilmu Nahwu dengan
berbahasa. Ilmu Nahwu memberikan kaedah berbahasa sedangkan Ilmu Manthiq
memberikan kaedah berpikir dan bernalar. Bahkan sesuai dengan Ilmu ‘Arudh
yang sangat berhubungan dengan wazan syair.
Bagian dari Ilmu Manthiq yang paling penting terdiri dari delapan bagian,
yaitu, a. kaedah-kaedah tentang satu pernyataan kategoris sederhana yang dalam
Bahasa Arab disebut al-ma’qulat sedangkan dalam bahasa Yunani disebut
kategoris, b. kaedah-kaedah silogisme atau pernyataan sederhana yaitu kategoris
yang tersusun dari dua kategoris tunggal yang dalam bahasa arab dikenal dengan
istilah al-‘Ibarah sedangkan dalam Bahasa Yunani dikenal dengan ‚Hermenik‛ 17 c.
pernyataan-pernyataan yang memberikan norma peng-analogi-an yang dimiliki
kelima ilmu, Bahasa Arab menyebut dengan qiyas dan dalam Bahasa Yunani
dikenal dengan istilah analogi I. d. Kaedah-kaedah yang menguji pernyataan-
pernyataan argumentative, kaedah-kaedah yang sesuai dengan persoalan-
persoalan filsafat. Bahasa arab mengistilahkan dengan Burhan dan Bahasa Yunani
menyebut dengan analogy ke II. e. Pernyataan-pernyataan yang akan menguji
pernyataan polemik dan perdebatan, metode bertanyak dan menjawab dan
kaedah-kaedah yang sesuai dengan keahlian berdebat agar lebih sempurna,
mantap dan berpengaruh yang dikenal dengan istilah al-Mawadhi’ al-Jadaliyah‛
dalam bahasa yunani disebut dengan topika. f. Kaedah-kaedah tentang seuatu

17
Sampai tulisan ini selesai , penulis belum menemukan terjemahan yang pasti menurut
bahasa Indonesia terlebih dalam ilmu logika sehingga penulis membuat tanda petik.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
146

yang keadaanya yang menyimpang dari kebenaran, bercampur atau


membingungkan. Dilakukan dengan menghimpun seluruh persoalan yang
digunakan orang yang bermaksud membelokkan dan memalsukan pernyataan,
kemudian menghimpun seluruh pernyataan yang salah yang digunakan para
pemalsu, dan bagaimana membatalkan dan membantah dan dengan apa ditolak,
dan bagaimana cara menjaga dan memelihara diri dari kesalahan dan disalahkan
orang. Kitab ini menyebut dengan al-Hikmah al-Mumawwihah (kearifan semu dan
palsu), di Yunani dikenal dengan istilah sofistika. g. Kaedah-kaedah yang menguji
pernyataan retorik, bagian-bagian retorika, pernyataan yan disampaikan para
orator-orator dan para ahli balaghah maka akan diketahui apakah bagian dari
retorika atau tidak. Di dalamnya akan dihimpun seluruh masalah-masalah yang
sesuai dengan keahlian berretorika, dan akan diperkenalkan membuat pernyataan
retorik. Buku ini menamakan dengan al-Khitabah dan di Yunani dikenal dengan
Retorika.
Pasal Ketiga, Ilmu Numerikal (fi‘Ilmi al-ta’alim), terdiri dari tujuh
bagian besar meliputi: 1. aritmatika (ilm al-‘adad) baik yang bersifat teoritis
maupun yang bersifat praktis, 2. geometri (ilm al-handasah) teoritis dan praktis.
Yang bersifat praktis membahas tentang bilangan yang digunakan masyarakat di
pasar dan bermuamalah untuk memastikan jumlah benda-benda seperti
menghitung orang, binatang dan uang. Yang bersifat praktis ini juga meneliti garis
pertikal dan horizontal ketika mengukur tembok, tanah, sawah dan juga
menggambarkan benda yang sama sisi, bujur sangkar, bundar, segi tiga. Adapun
yang bersifat teortis aritmatika mengkaji bilangan secara mutlak sebagai abstraksi
yang ada dalam pikiran terhadap benda-benda yang dihitung. Ilmu ini juga
meneliti tentang nilai bersih dari sesuatu benda baik yang indrawi maupun yang
non indrawi, bilangan ganjil dan genap, persamaan, kelebihan, pengurangan, dan
penambahan. Ilmu ini juga membahas tentang ukuran penjang, luas dan
kedalaman benda dan hasil perkaliannya, garis pertikal dan horizontal, titik dan
pengukuran sudut, pasangan, rancangan dan desain. 3. Ilmu optika (‘ ilm al-
manazir,Ilmu al-Bashariyah), Ilmu ini hampir sama dengan ilmu handasah, hanya
saja handasah lebih umum. 4. Ilmu Perbintangan (‘ilm al-nujum), terbagi dua, yang
pertama ilmu hukum-hukum perbintangan mengupas tentang planet, berapa
jumlahnya, yang kedua ilmu al-nujum al-ta’limy yang digunakan untuk memeriksa
benda-benda di langit dan di bumi. Ilmu ini terbagi tiga, a. ilmu yang mengupas
bentuk, letak dan tingkatannya di alam semesta, b. pergerakan benda-benda langit,
berapa jumlah, planet dan non planet, pergeseran, arah gerakan dan bimasakti, c.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 147

ilmu ini meneliti tentang planet bumi yang dihuni dan yang tidak dihuni, iklim,
jumlah penduduk, tempat perumahan, perputaran siang dan malam, kondisi bumi
pada saat terbit dan terbenam matahari, serta panjang dan pendeknya siang hari
dan malam. 5. Ilmu Musik (‘ilm musiqa), mencakup tentang pendepinisian bagian-
bagian nada, susunan apa yang dimiliki nada bagaimana menyusun nada, dalam
situasi bagaimana nada itu muncul sehingga indah. Ilmu ini terbagi dua, yang
pertama ilmu music praktis yaitu menemukan bagaian-bagian nada melalui alat
music yang ada baik yang alami seperti kerongkongan, anak lidah, dan hidung
maupun yang buatan seperti seruling dan gambus. Sedangkan ilmu music teoritis
memaparkan tentang sebab-tersusunnya nada yang lahir dari alat dan materi,
pendengaran serta alat music apa yang tepat,dan benda apa yang paling tepat. 6.
Ilmu Berat (‘ilm al-astqal) berbicara tentang asal usul timbangan dan takaran,
kemudian meneliti berat sesuatu ketika menggerakkan dan digerakkan, membahas
alat pengangkat sesuatu yang berat dan pemindah dari satu yempat ke tempat lain.
7. Ilmu Mekanika Terapan (‘ilm al-hiyal/ al-mikanikiya al-tathbiqi).
Pasal Keempat, Ilmu Fisika atau ilmu-ilmu kealaman (al-ilm al-thabi’i)
dan Ilmu al-Ilahy. Ilmu Fisika meneliti benda-benda fisik baiak yag bersifat natural
seperti langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya, tumbuh-tumbuhan dan
hewan maupun buatan manusia seperti kaca, pedang, tempat tidur dan pakaian
sesuai dengan keinginan manusia. Ilmu ini mencakup delapan bagian, yang
pertama, mengkaji benda-benda fisika sederhana terdiri dari prinsif-prinsif dan
sifat-sifat yang dimilikinya disebut dengan al-simau’ al-Thabi’I (benda-benda), yang
kedua, meneliti eksistensi benda-benda sederhana, benda apa, berapa jumlahnya,
apakah dapat diamati di alam, apa bagian-bagian pertamanya, apakah ia tiga atau
lima, apakah dapat diamati di langit dari seluruh bagian-bagian alam, apakah ia
satu materi, meneliti tentang unsure-unsur benda tersusun, apakah ia menjelaskan
wujudnya sebagai wujud sederhana, apakah ia benda lain di luar dirinya jika tidak,
apakah keseluruhan atau sebahagian jika sebagian terdiri dari unsure apa dia,
apakah ia dapat disaksikan atau tidak, apakah unsure benda sederhana sebagai
unsur asli bagi benda-benda tersusun. Ilmu ini dibahas dalam kitab al-sama’ wa al-
‘alam (langit dan alam). Ketiga, meneliti ke-ada-an dan kehancuran benda-benda
fisika, bagaimana kehancuran dan eksistensi unsur-unsurnya, bagaimana terjadi
dari unsur-unsur itu benda tersusun, ini dibahas dalam kitab al-kaun wa al-fasad
(eksistensi dan kehancuran). Keempat, ilmu yang membahas tentang prinsif-prinsif
sifat dan berreaksi dengan unsurnya saja tanpa tersusun. Bagian ini dibahas dalam
kitab al-astar al-‘alawiyah(fosil-fosil). Kelima, mengupas tentang benda-benda
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
148

tersusundari unsur, mana bagian unsur yang sama, dan mana bagian unsur yang
berbeda, apakah bagian yang tersusun itu terdiri dari bagian unsur yang berbeda
seperti daging dan tulang, mana yang bukan bagian unsur asli benda fisika yang
bagian-bagian unsurnya berbeda seperti garam, emas dan perak. Ini dibahas
dalam kitab al-Atsar al-Alawiyah.Keenam, membahas tentang kitab Ma’adin
(mineral) membahas tentang benda-benda mineral, sifat, jenis dan bagian-
bagiannya. Ketujuh, adalah kitab Tumbuhan (al-Nabat) mambahas tentang
keanekaragaman tumbuhan. Kedelapan, adalah kitab hewan ( al-Hayawan)
membicarakan tentang jenis-jenis hewan.
Sedangkan (ilm al-ilahi) atau metafisika mengupas semua yang bersifat
metafisis terbagi kepada tiga bagian, pertama, membahas wujud-wujud dan sifat-
sifat esensial, kedua, membahas prinsip-prinsip argumentasi dalam ilmu-ilmu
teoritis particular, ketiga, membahas wujud-wujud non-fisik mutlak.
Pasal Kelima, Ilmu politik dan moral (’ilm al-madani), Ilmu ini terbagi
dua, yang pertama mencakup depenisi kebahagiaan, yang kedua mencakup
tentang kepemimpinan dan kekuasaan, syarat-syarat kemakmuran kota, kebajikan
manusia, etika dan teori politik. Yurisprudensi(Ilmu al-Fiqh), membahas tentang
cara pengambilan kesimpulan apa yang tidak dijelaskan syari’ah berisi tentang
keimanan, ritus-ritus. Ilmu Fiqh terbagi dua bagian, yang pertama, berbicara
tentang pendapat-pendapat(ara’), yang kedua berbicara tentang ritual dan praktek
keagamaan (af’al). Teologi (Ilm al-Kalam) adalah ilmu yang membantu manusia
agar mampu mempertahankan pendapat-pendapat dari serangan lain.18

Kitab kedua Ihyau’ Ulumiddin karya al-Gazhali

1. Mengenal al-Ghazali
Imam Abu Hamid Muhammad yang dikenal dengan al-Ghazali dengan
nama lengkap Imam Zainuddin Hujjatu al-Islam Bu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin al-Ghazali- at-Tusy-al-Naisabury-al-Faqih-al-Mutasawwify-al-
Syafii’y-al-Asy’ary.19 Lahir pada tahun 450 H di kota Tus yaitu kota terbesar kedua

18
Uraian tentang pembagian ilmu kepada lima pasal dalam tulisan ini dikutip langsung dari
kitab Ihshau’ al-Ulum, tahqiq ‘Usman Amin mulai dari halaman 46 s/d 113.Lihat ‘Usman Amin,
Ihshau’ al-‘Ulum, (Misr: Dar al-Fikr al-Araby Mathba’ah al-I’timad, Al-Thab’ah al-Tsaniyah, 1949),
Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu menurut al-Farabi, al-
Ghazali, Qutb al-Din al-Syirazi,(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 147-148.
19
Mukhtasyar Ihya’I ‘Ulumiddin, (Beirut, Lubnan: Dar al-Fikr li-al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa
al-tauzii’, 1993), hlm. 7.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 149

di Khurasan setelah kota Naisabur. Denga nama dan laqb yang disandarkan
kepadanya dapat diketahui kalau al-Ghazali adalah seorang ahli fiqh, teolog, sufi
dan bermazdhab Syafii’ serta berfaham teologi Asy’ary.
Al-Ghazali mengawali karir akademiknya dengan belajar ilmu fiqh di
Naisabur kepada Imam Haramain ( al-Juhaini ), kemudian mengajar di Madrasah
Nizhamiyah Baghdad. Pada tahun 598 H beliau berangkat dan menetap sebentar
di Damaskus. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Baitul Maqdis, di sini al-
Ghazali memulai kehidupan sufi, dan memfokuskan diri mengarang kitab Ihya’
Ulumiddin. Menurut Ibn Asyakir sebagaimana dikutip dalam kitab Mukhtasyar al-
Ghazali meninggal pada hari Senin 14 Jumadil al-Akhir tahun 505 H.20
Menurut para sejarawan buku ini ditulisnya setelah kembali ke Baghdad
yang sebelumnya melakukan perjalanan ke Negeri Syam. Diterbitkan pertama kali
tahun 1269 M, dan secara berturut-turut pada tahun 1279, 1282,1289, 1289, di
Istanbul diterbitkan pada tahun 1321, di Teheran pada tahun 1293, dan Penerbit
Dar al-Qalam Beirut tidak menuliskan tahun terbitnya.21
Sebenarnya tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui karya-karya
al-Ghazali mengingat karya-karyanya yang sangat banyak. Menurut Kitab
Mukhtasyar ada yang menyebut jumlah karyanya sebanyak 58 buah, 80 buah,
bahkan ada yang menyebut 98 buah.22 Mehdi Nakosteen menyebut kurang lebih
70-an karya al-Ghazali dan menempatkan Kitab Fatihat al-‘Ulum (Introduction to
the Sciences ), sebagai kitab terbesarnya.23 Diantara karya-karya besarnya sebagai
berikut : Ihya’ ‘Ulumiddin, Tahafut al-Falasifah, Kitab al-Iqtisyad fi-al-I’tiqad, Kitab
al-Munqiz min al-Dhalal, Kitab Mizan al-‘Amal, Kitab Misykatu al-Anwar, dan lain-
lain. Hanya saja tidak semua karya al-Ghazali memenuhi standar sebagaimana
sebuah buku akan tetapi lebih tepat disebut sebagai makalah-makalah yang belum
terintegrasi dalam sebuah buku.24
AI-Ghazali membagi buku Ihya’nya kepada empat bagian yang diberi
nama arba’atu arba’ karena seperampat pertama membahas tentang ibadah,
seperampat kedua tentang etika, seperampat ketiga membicarakan hal-hal yang

20
Ibid., hlm. 16.
21
Ibid., hlm. 8.
22
Ibid., hlm. 8.
23
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 1996), hlm. 126.
24
Badawi Thabanah, Ihya’ ‘Ulumiddin li Imam al-Ghazali, (Semarang: Maktabah wa
Mathba’ah Karya Thaha Putra, t.th.), Juz I, hlm. 22-23.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
150

mencelakakan manusia, seperampat keempat mengupas tentang hal-hal yang


menyelamatkan manusia.
Al-Ghazali mengupas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan pada kitab
pertama rubu’ ‘ibadat yang diawali dengan sub topic kitab al-‘llmi, yang berisi tujuh
bab topik pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, tentang keutamaan ilmu
pengetahuan, dan pembelajaran. Bab kedua, klasifikasi ilmu kepada fardu ‘Ain
(wajib individual )dan fardu Kifayah (wajib kolektif ), dan penjelasan tentang
batasan ilmu fiqh dan ilmu kalam serta penjelasan ilm al-akhirat dan ‘ilm al-dunya.
Bab ketiga, berbicara tentang pandangan orang terhadap ilmu agama dan
penjelasan seputar ilmu yang dicela. Bab keempat, berbicara tentang bahaya
perdebatan dan mengapa orang gemar berpolemik. Bab kelima, berisi tentang
kode etik pengajar dan pelajar, bab keenam berbicara tentang bahaya ilmu
pengetahuan dan ilmuwan serta criteria yang membedakan ilmuwan yang
berorientasi dunia dan ilmuwan yang berorientasi akhirat. Sedang bab terakhir
membahas tentang keutamaan aql dan pembagiannya serta landasannya menurut
hadis.
Al-Ghazali (Algazel) menguraikan klasifikasi ilmu dalam karya besarnya
Ihya’ Ulumiddin (The Vivification of Faith), pada bab kedua (kitab al-‘Ilmi) dalam
persi cetakan Indonesia yang diterbitkan Mathba’ah wa maktabah Thaha Putra
Surabaya dimulai pada halaman 13-24, karena secara teknis terdapat pebedaan
halaman dengan terbitan yang lain.25
Al-Ghazali mengawali urain tentang ontology ilmu (fadhilah, hakikat, dan
sifat ilmu pengetahuan. Seseorang akan tersesat manakala tidak memahami
hakikat ilmu dan fadhilahnya. Oleh karena itu fadhilah ilmu menurutnya terletak
pada esensinya secara mutlak (al-ilmu fadhilatun fi zhatihi ‘ala al-ithlaq). Sesuatu
yang berharga yang akan diraih terbagi kepada dua bagian, yang pertama esensi
atau non-esensinya (ma yathlubu li ghayrihi ila ma yathlubu li zdatihi? Dirham dan
dinar hanyalah dua batu yang tidak bernilai apa-apa, kebahagiaan dan kelezatan
dalam pandangan Allah adalah esensi di balik sesuatu yang akan diraih. Demikian
pun al-Ghazali tidak mengabaikan hal yang bersifat non-esensial, ini tetap
dipandang sebagai pengantar dan sarana menuju yang bersifat esensial sebagai
puncak terakhir yang diraih yaitu kebenaran hakiki dan kebahagiaan abadi. Sarana
untuk mencapai itu adalah ilmu dan amal. Amal tidak akan terlaksana tanpa ilmu

25
Dalam makalah ini kutipan tentang klasifikasi ilmu menurut al-Ghazali yang disadur dari
kitab Ihya’ Ulumiddin karya al-Ghazali mulai dari halaman 13-24 , Badawy Thabanah, Ihya’
‘Ulumiddin, (Semarang : Thaha Putra) tt, hlm. 13.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 151

sehingga dibutuhkan ilmu tentang tata cara melaksanakanya (al-ilm bi kayfiyah al-
‘amal). Ilmu memiliki keutamaan (fadhilah, bermakna ziyadah atau nilai lebih)
maka mempelajarinya juga menuntut keutaamaan demikian juga mengajarkannya
baik untuk tujuan duniawi maupun ukhrawi. Aturan agama mencakup aturan
duniawi karena dunia mazra’ah al-akhirah yaitu sarana yang mengantarkan
menuju kaabadian.
Al-Ghazali membagi keterampilan (shina’ah) manusia kepada tiga
bagian, yang ia sebut dengan keterampilan yang bersifat asasi (ushul) mencakup,
pertama pertanian yang menghasilkan makanan, kedua pertenunan (tekstil) untuk
pakaian, ketiga, politik untuk pengaturan masyarakat dan kerja sama. Keterampilan
kedua adalah sifatnya penunjang bagi yang ushul seperti tukang besi yang akan
membantu keterampilan pertanian dan keterampilan lainnya. Setiap keterampilan
membutuhkan sarana penunjang, penggiling alat tenun alat pemintal. Keterampilan
ketiga bersifat penyempurna agar yang bersifat ushul lebih indah seperti tepung
dan roti dari pertanian, tukang dobi dan penjahit untuk pertenunan.
Beranjak dari banyaknya keterampilan itu, al-Ghazali melihat terjadi
perbedaan pendapat tentang ke-fardhu-an ilmu pengetahuan yang mesti dipelajari
umat Islam, menurutnya lebih dari 20 kelompok, masing-masing kelompok
mengklaim ilmunya yang fardhu. Penggunaan kata fardhu bukan untuk
membedakan-bedakan satu jenis ilmu dengan yang lain akan tetapi hanya
menyebut pembagian bukan pemisahan. Pernyataan ini tertuang dalam ungkapan
al-Ghazali sendiri dengan redaksi sebagai berikut:
26
"‫بيان العلم الذى هو فرض كفاية اعلم ان الفرض اليتميز عن غريه اال بذكر اقسام العلوم‬
Ungkapan ini memberikan pandangan bahwa al-Ghazali tidak membeda-
bedakan dan tidak melakukan diskriminasi (al-tamayyuz) terhadap satu ilmu
dengan ilmu yang lain. Kefardhuan dimaksud berdasarkan pada tujuan dan
sasaran( al-ghard) ilmu-ilmu yang ada. Al-Ghazali menggunakan istilah ‚aqsam,
yanqasim‛ yang diterjemahkan dengan pembagian dan penjenisan sesuai dengan
urgensi dan kegunaannya baik untuk kepentingan dunia yang bersifat instrumen
maupun kepentingan akhirat yang bersifat syar’iyah.
Dengan menggunakan kata tersebut Al-Ghazali membagi ilmu
pengetahuan kepada ilm fard ‘ain dan fard kifayah yang didasarkan pada
perbedaan dua macam kewajiban yang berhubungan dengan pencapaiaan ilmu.
Fard ain adalah perintah terhadap manusia secara individu dan mengikat ( wajib

26
Ibid., hlm. 9.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
152

Individual ). Sedang ilmu fard kifayah adalah perintah Tuhan tidak mengikat bagi
setiap individu akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama secara kolektif.
Al-Ghazali juga membagi ilmu berdasarkan tujuannya kepada dua
bagian, yang pertama ilmu syar’iyah dan yang kedua ilmu ghayru syar’iyah. Ilmu
Syar’iyah adalah ilmu yang dengannya diutus para Nabi, jenis ilmu ini tidak
membutuhkan bimbingan rasio seperti matematika, dan tidak menggunakan
eksprimen seperti medis dan juga tidak menggunakan pendengaran seperti bahasa.
Al-Ulum al-Syari’ah ini besifat terpuji akan tetapi sering bercampur maka ia
dipandang ilmu yang tercela. Ilmu-ilmu syari’ah ini terbagi kepada dua bagian
yaitu mahmudah dan mazdmumah. Mahmudah memiliki empat tingkatan sebagai
berikut:
a. Al-ushul, terbagi kepada empat bagian yaitu, Alquran, hadis, ijma’ dan atsar
sahahabat.
b. Al-furu’, yaitu cabang dari ushul yang menggunakan rasio yang menyebabkan
pemahaman semakin berkembang. Ilmu ini terbagi kepada dua bagian, yang
pertama terkait dengan kepentingan dunia yang menjadi tanggungjawab
ulama fiqh dan ulama dunia sebagaimana termuat dalam kitab fiqh, yang
kedua adalah ilmu yang terkait dengan kepentingan akhirat saja seperti ilmu
tentang keadaan jiwa, akhlaq yang baik dan buruk, mana yang diridhai dan
mana yang dibencii.
c. Al-Muqaddimat, yaitu Ilmu-yang bersifat pengantar, alat dan instrument seperti
ilmu bahasa, nahwu, karena itu secara substansial keduanya tidak termasuk
ilmu syari’ah, akan tetapi masuk dalam lingkup syariah karena syariah turun
dalam bahasa arab. Karena itu ilmu bahasa adalah ilmu alat (instrumen)
seperti ilmu menulis yang tidak penting (laisa dharuriyan).
d. Al-Mutammimat, sifatnya penyempurna seperti ilmu Alquran, mempelajari
lafazd, qira’ah, makhariji al-hurf, maknanya seperti tafsir, hukum-hukumnya
seperti pengetahuan tentang nasikh mansukh, al-‘am dan khassah,
pengetahuan musthalah hadis. Semua ilmu-ilmu ini termasuk dalam ilmu
syari’ah, mahmudah akan tetapi tergolong fardhu kifayah.
Sedangkan ilmu ghairu syar’iyah terbagai kepada tiga bagian:
a. Ilm al-mahmudah yaitu ilmu yang terkait dengan urusan-urusan duniawi
seperti kedokteran dan matematika. Ilmu ini terbagi kepada dua bagian, a.
yang pertama, fard kifayah, b. yang kedua fadhilah laisa bi faridhah bersifat
tambahan. Fardhu kifayah adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk
menopang urusan duniawi seperti kedokteran, karena sifatnya sangat urgen
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 153

dalam kebutuhan manusia agar tetap survive, dan seperti ilmu matematika
yang digunakan dalam bermuamalah, wasiat, dan pembagian warisan. Jika
ilmu ini tidak dimiliki satu orang saja dalam satu daerah maka berdosa semua
penduduk, akan tetapi satu orang saja yang melakukan dan melaksanakan, hal
ini dipandang cukup dan gugurlah kewajiban semua penduduk. Oleh karena
itu, propesi atau keterampilan yang bersifat asasi (ushuli), juga dipandang
fardhu kifayah adalah pertania, pertenunan, politik bahkan perbekaman dan
menjahit. Jika tidak ada tukang bekam dalam satu daerah semua masyarakat
bersalah karena mereka mendekatkan diri kepada kecelakaan karena tidak
dibenarkan menyerempet bahaya. Sedangkan ilmu Fadhilah yaitu ilmu yang
tidak wajib, hanya sekedar kebutuhan dan tambahan seperti dasar-dasar
berhitung dan hakikat-hakikat pengobatan dan medis yang tidah terlalu
dibutuhkan.
b. Al-mazdmum yaitu ilmu yang dicela seperti, ilmu syihir, azimat-azimat,dan
sunglap serta ilmu-ilmu yang bercampur.
c. Mubah yaitu ilmu yang sifatnya dibolehkan seperti syair, sejarah para perawi.
Dalam pandangan al-Ghazali ilmu kalam dan filsafat, keduanya
mengandung hal yang mazdmumah dan juga mengandung yang mahmudah. Jika
landasannya Alquran dan sunnah ia tergolong mahmudah akan tetapi jika
landasanya adalah ‚debat‛ itu tergolong mazdmumah dan dipandang bid’ah. Al-
Ghazali melihat, secara asasi bahwa filsafat bukan ilmu akan tetapi terdiri dari
empat bagian, yang pertama adalah ilmu teknik (handasah), matematika (al-hisab)
keduanya bersifat mubah dan tidak dilarang mempelajarinya kecuali ada
kekhawatiran membahayakan orang Islam. Yang kedua Ilmu Logika (Mantiq) yaitu
ilmu yang membahas tentang syarat-syarat argumentasi dan syarat-syarat
pendepinisian tetapi dua topik ini masuk dalam ilmu kalam. Yang ketiga adalah
metafisika (al-Ilahiyyat) yaitu ilmu yang membahas tentang wujud, zat dan sifat
Allah, yang juga masuk dalam lingkup Ilmu Kalam. Sedangkan yang keempat
adalah Ilmu Fisika (al-Thabi’iyyat) yang sebagiannya membahas tentang lingkup
sifat-sifat materi, kualitas mutasi dan perubahan, dan sebagian ilmu ini
bertentangan dengan syari’ah, agama dan kebenaran.27 Ilmu-ilmu diatas tergolong
kepada ilmu kifayah.
Al-Ghazali juga sering menyebut ilmu laduni, ilmu al-mukasyafah dan
ilmu bathin yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi, ilham atau wahyu
yang bersifat langsung, supra-rasional, dan kontemplatif. Sebagaimana juga al-

27
Ibid., hlm. 13.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
154

Ghazali sering menyebut istilah ilmu al-zhahir sebagai penghias bumi dan ilmu
bathin sebagai penghias langit. Konsekuensinya al-Ghazali juga membagi ilmuan
kepada Ulamau’ al-zhahir atau ulama al-dunya’ dan ulamau’ al-bathin atau
ulamau’ al-akhirah.28 Pembagian ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari
pembagian ilmu yang diajukan al-Ghazali yaitu syar’iyah dan ghairu syar’iyah.29
Lektur Klasik Islam lainnya yang berbicara tentang klasifikasi ilmu
ditemukan dalam Muqaddimah karya Ibn Khaldun.30 Semula kitab ini merupakan
pengantar (jilid pertama) terhadap buku Tarikh Ibn Khaldun: yang berjudul Kitab
al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyami al-Arab wa al-‘Ajm wa al-
Barbar wa man ‘Asyarahum min zawi al-Sulthani al-Akbar (Kitab Pelajaran dan
Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir, mencakup Peristiwa Politik
orang-orang Arab, Non-Arab (Ajm), dan Bangsa Barbar, serta Raja-raja Besar yang
semasa dengan mereka). Akan tetapi kemudian buku pengantar ini lebih popular
dibanding dengan kitab al-‘Ibar yang diterbitkan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut,
Libanon . Kitab Muqaddimah dirampungkan Ibn Khaldun saat berusia 43 Tahun.
Selain dua kitab di atas Ibn Khaldun juga menulis buku At Ta’rif bi Ibn Khaldun wa
Rihlatuhu Syarqan wa Gharban yang dikenal dengan sebutan At-Ta’rif yang
merupakan jilid terakhir dari kitab al-‘Ibar-nya.
Muqaddimah diinterpretasikan sebagai gambaran perenungan Ibn
Khaldun tentang kondisi social politik di negara-negara Arab-Islam yang senantiasa
dililit konflik anta relit kekuasaan. Dalam tesisnya Ibn Khaldun berkesimpulan
bahwa kekuasaan terbentuk melalui kemenangan yang diraih melalui kompetisi-
kompetisi. Hal inilah yang menjadi awal bagi justifikasi kekuasaan. Kompetisi
kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari sikap-sikap arogan dan macam-macam
maneuver. Padahal menurutnya politik memiliki tujuan substansial untuk
kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu paparan dalam buku banyak
merekam jejak berbagai peristiwa politik meskipun settingnya di Negara-negara
muslim sehingga buku ini tepatnya disebut sebagai buku sejarah yang mengupas
persoalan-persoalan politik, ekonomi dan peradaban. Abad 14 Miladiyah
merupakan periode kebudayaan Arab Islam mengalami kemunduran. Kemunduran
ini meluas keberbagai bidang kehidupan termasuk jaringan-jaringan politik yang

28
Ibid., hlm. 13.
29
Ibid.,
30
Ibn Khaldun hidup antara abad ke-14 dan 15 M (1332-1406 M) Bertepatan abad ke-8
dan 9 HLM. Ibn Khaldun dilahirkan di Tunis pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 155

mengakibatkan pecahnya imperium Islam menjadi Negara-negara kecil yang


dipimpin penguasa yang tidak memeiliki wawasan kerakyatan.
Buku Muqaddimah ini telah diterjemahkan pertama kali ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Ahmadie Thoha dan diterbitkan Pustaka Firdaus Jakarta pada
tahun 1986. Kemudian diterjemahkan ulang oleh Masturi Irham, Malik Supar, dan
Abidun Zuhri, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur pada tahun 2011.
Ibn Khaldun membagi kitab Muqaddimahnya ke dalam 6 pasal pasal
besar yang berisi pasal-pasal kecil. Muqaddimah diawali dengan pengantar dan
muqaddimah tentang pentingnya kajian ilmu sejarah dan kekeliruan para
sejarawan. Pasal pertama dan kedua berisi uraian tentang kajian sosiologis
masyarakat. Pasal ketiga berbicara tentang kepemimpinan dan kekuasaan,
sedangkan pasal keempat berisi tentang ulasan pembangunan (ekonomi).
Sementara pasal kelima berbicara tentang mata pencaharian, usaha, dan
keterampilan masyarakat. Pada pasal keenam diakhiri dengan pembicaraan
mengenai ilmu pengetahuan dan jenisnya.
Dalam kitab terjemahan Ahmadi Thaha, Ibn Khaldun mengurai klasifikasi
ilmu sangat panjang yang dimulai pada halaman 543-837.31 Sedangkan dalam
buku aslinya pembahasan ini dimulai dari halaman 435 Pasal keempat dengan
judul fi Asynafi al-Ulum al-Waki’ah fi al-‘Umran li hazda al-Ahdi ( Disiplin ilmu
yang berkembang dalam peradaban kontemporer) sampai halaman 480 pasal ke
tiga belas dengan judul fi al-Ulum al-‘Aqliyah wa Asynafiha (cabang-cabang ilmu
rasional), namun uraian tentang ilmu pengetahuan dibahas sampai pasal 23 ( fi
Ilmi al-Mantiq ). Ibn Khaldun secara sederhana mengklasifikasi ilmu kepada dua
bagian yaitu:
1. Al-Ulum al-Akliyah yaitu ilmu-ilmu Rasional (natural Science), yaitu ilmu yang
dapat dipelajari lewat akal pikiran manusia secara alami, obek kajian,
permasalahan, argumentasi, dan aspek pengajarannya. Ilum ini tidak terbatas
untuk siapa saja, dan telah ada sejak peradaban umat manusia. Ilmu-ilmu
Aqliyah mencakup:
a. filsafat terdiri dari:
1) logika (ilmu Mantiq), yaitu ilmu yang memelihara pikiran dari kesalahan
penelaran. Manfaat ilmu ini adalah membedakan mana yang salah dan
benar eksistensi sesuatu objek.

31
Dalam makalah ini klasifikasi ilmu pengetahuan sepenuhnya dikutip dari buku
Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang dimulai pembahasannya pada pasal empat sampai pasal ke
tiga belas.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
156

2) Fisika (al’Ilmu al-Thabii’) yaitu ilmu yang mengamati benda-benda


empirik, unsure, dan strukturnya. Diantara benda-benda itu adalah
barang tambang, tumbuh-tumbuhan, hewan, tata surya beserta gerak
fisik dan psikologisnya.
3) Metafisika (Ma Waraa’ al-Thabii’yah) yaitu yang mengamati entitas-
entitas yang berada di balik alam fisik (immateri, ruhaniyah). Para
filosof menyebutnya al-‘ilmu al-‘Ilahiyah (ilmu al-Kalam, teologi).
b. Ilmu Ukur mencakup : ilmu teknik, yaitu ilmu yang mempelajari ukuran
secara umum, aritmatika,yaitu ilmu yang mengamati tentang kuantitas
(angka-angka dan operasional bilangan) disebut dengan ilmu hitung
(matamatika), ilmu music yaitu ilmu yang mempelajari tentang nada dan
kesesuaiannya dengan irama, astrologi/ astronomi, yaitu ilmu yang
mengamati tentang posisi orbit, jumlah planet, bintang-bintang dan
gerak-gerik langit yang dapat disaksikan.
Inilah dasar-dasar ilmu filsafat berjumlah tujuh bagian yaitu, ilmu mantiq,
fisika, metafisika, astronomi, music, matamatika( aritmatika), dan teknik.32
2. Al-Ulum al-Naqliyah al-Wadh’iyah (ilmu pindahan)yaitu ilmu-ilmu tradisional
yang bersandar kepada informasi berdasarkan otoritas syariah ( tidak ada
campur tangan akal kecuali terhadap hal-hal yang rinci dan detail. Ilmu ini
bersandarkan pada informasi dari para nabi, bersifat universal bersumber dari
syariah yaitu, Alquran dan hadis. Untuk memahami dua sumber itu diperlukan
ilmu alat yang besifat juziyat yang akan menggali hukum-hukumnya. Menurut
Ibn Khaldun wajib bagi seorang mukallaf mempelajari hukum-hukum Allah
sehinnga mewajibkan menggalinya dengan Ilmu-ilmu alat yang termasuk
dalam lingkup al-Ulum al-Naqliyah. Ilmu-ilmu alat tersebut yaitu Tafsir, ilmu
qira’ah, ilmu hadis, ilmu ushul al-fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, dan ilmu
bahasa.33
Jika ilmu-ilmu akliyah tidak memberikan batasan sebaliknya ilmu-ilmu
nakliyah hanya dikhususkan bagi orang muslim meskipun ilmu-ilmu secara umum
tetap milik bersama. Demikian rincian dan pembagian ilmu yang diuraikan al-
Farabi dalam kitab Ihshau’ al-Ulum yang beliau selesaikan penulisannya pada
akhir Bulan Ramadhan tahun 640 H.

32
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Ibid., hlm. 478-479.
33
Ibid., hlm. 436-437.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Karya Klasik...............Lazuardi 157

Penutup

Demikian beberapa uraian tentang klasifikasi ilmu yang dimunculkan


para ilmuan klasik Islam. Menarik untuk dicatat bahwa secara redaksional karya-
karya para ilmuan tersebut di atas tidak menyatakan adanya pembedaan apalagi
redaksi yang mempertentangkan atau mendikhotomikan ilmu-ilmu yang mereka
paparkan. Mereka hanya mencoba malakukan pembidangan atau penjenisan ilmu
baik secara ontologism, epistemologis maupun aksiologisnya.
Perlu dicatat bahwa Al-Farabi dalam kitabnya menyebut berbagai istilah
yang hampir sama akan tetapi secara semantik memuat makna hirarkis. Istilah
tersebut adalah taqsim/aqsam atau pembagian, shinfun/ashnaf atau bagian dan
juz’un/ajzaun atau bagian terkecil. Hal ini menggambarkan bahwa yang dilakukan
al-Farabi adalah menghimpun dan menghitung (Ihshau’) keanekaragaman (ta’did)
ilmu pada masanya kemudian merincikan (tafsil) ilmu-ilmu tersebut sampai kepada
bagian terkecil sehingga orang akan mengetahui tingkatan-tingkatan (maratib)
ilmu pengetahuan. Dalam kitab Ihshau’ al-Farabi membagi ilmu kepada dua
bagian yang pertama, Ilmu-ilmu Teortis (al-Ulum al-Nadzoriyah), yang kedua,
Ilmu-ilmu Praktis (al-Ulum al-‘Amaliyah wa al-Falsafatu al-Madaniyah). Pembagian
ini dapat dilihat dari pembagian ilmu kepada lima pasal yang menguraikan ilmu-
ilmu tersebut kepada teoritis dan praktis. Selanjutnya tidak ditemukan dalam kitab
Ihshau’ lafadz yang bermuatan makna pendikhotomian semisal kata tafriq.
Hal yang sama juga Al-Ghazali mengawali uraian klasifikasinya dengan
menyebut bahwa urusan agama dan dunia adalah kembar tidak dipisah-pisahkan
karena itu tidak ada pemisahan dan pembeda-bedaan ilmu-ilmu di atas. Justru
beliau ingin memposisikan keutamaan masing-masing ilmu itu sesuai dengan
kepentingan mempelajarinya. Kedua bidang ilmu tersebut tidak terpisahkan
dengan landasan bahwa menurutnya persoalan dunia sangat terkait dengan urusan
agama. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan urusan dunia. Hanya saja
agama adalah asas (asl), sesuatu yang tanpa asas akan binasa. Semua ilmu-ilmu di
atas dipandang sebagai ilmu yang sah dan mereka tidak condong kepada salah
satunya. Ibn khaldun juga dalam uraiannya juga tidak pernah membeda-bedakan
ilmu-ilmu tersebut. Beliau hanya menjeniskan dua sumber bidang ilmu
sebagaimana dalam uraiannya yaitu al-ulum al-naqliyah dan al-ulum al-aqliyah.
Menurutnya, ilmu naqliyah merupakan pengetahuan yang dipelajari karena
manfaat ilmu itu sendiri sedangkan ilmu kedua (ilmu aqliyah) merupakan ilmu-ilmu
alat sebagai penopang untuk mempelajari ilmu golongan pertama.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
158

Referensi

Amin, Usman, Ihshau’ al-Ulum, Mesir: Dar al-Fikri al-Araby), 1949.


Al-Mawardi, Adabu al-Dunya wa al-Din, Surabaya: tt.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu menurut al-
Farabi, al-Ghazali, Qutb al-Din al-Syirazi, Bandung: Mizan, 1997.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th.
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, London: t.p. 1964.
Mukhtasyar Ihya’ Ulumiddin, Beirut, Lubnan: Dar al-Fikr wa al Thiba’ah wa al-
Tauzii’, 1993.
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Thabanah, Badawy, Ihya’ ‘Ulumiddin, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Thaha
Putra, t.th. juz, I.
Zaid, Said, Al-Farabi, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1962.

Anda mungkin juga menyukai