Anda di halaman 1dari 2

Dongen kabayan

ersebutlah seorang lelaki di tanah Pasundan pada masa lampau. Si Kabayan namanya. Ia
lelaki yang pemalas namun memiliki banyak akal. Banyak akal pula dirinya meski akalnya
itu kerap digunakannya untuk mendukung kemalasannya. Si Kabayan telah beristri. Nyi
Iteung nama istrinya.

Pada suatu hari Si Kabayan disuruh mertuanya untuk mengambil siput-siput sawah. Si
Kabayan melakukannya dengan malas-malasan. Setibanya di sawah, ia tidak segera
mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu, melainkan hanya duduk-
duduk di pematang sawah.

Lama ditunggu tidak kembali, mertua Si Kabayan pun menyusul ke sawah. Terperanjatlah ia
mendapati Si Kabayan hanya duduk di pematang sawah. “Kabayan! Apa yang engkau
lakukan? Mengapa engkau tidak segera turun ke sawah dan mengambil tutut-tutut (Siput)
itu?”

“Abah-abah (Bapak), aku takut turun ke sawah karena sawah ini sangat dalam. Lihatlah, Bah,
begitu dalamnya sawah ini hingga langit pun terlihat di dalamnya,” jawab Si Kabayan.

Mertua Si Kabayan menjadi geram. Didorongnya tubuh Si Kabayan hingga menantunya itu
terjatuh ke sawah.

Si Kabayan hanya tersenyum-senyum sendiri seolah tidak bersalah. “Ternyata sawah ini
dangkal ya, Bah?” katanya dengan senyum menyebalkannya. Ia pun lantas mengambil siput-
siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu.

Pada hari yang lain mertua Si Kabayan menyuruh Si Kabayan untuk memetik buah nangka
yang telah matang. Pohon nangka itu tumbuh di pinggir sungai dan batangnya menjorok di
atas sungai. Si Kabayan sesungguhnya malas untuk melakukannya. Hanya setelah mertuanya
terlihat marah, Si Kabayan akhirnya menurut. Ia memanjat batang pohon. Dipetiknya satu
buah nangka yang telah masak. Sayang, buah nangka itu terjatuh ke sungai. Si Kabayan tidak
buru-buru turun ke sungai untuk mengambil buah nangka yang terjatuh. Dibiarkannya buah
nangka itu hanyut.

Mertua Si Kabayan terheran-heran melihat Si Kabayan pulang tanpa membawa buah nangka.
“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah jengkel. “Mana buah nangka yang
kuperintahkan untuk dipetik?”

Dengan wajah polos seolah tanpa berdosa, Si Kabayan menukas, “Lho? Bukankah buah
nangka itu tadi telah kuminta untuk berjalan duluan? Apakah buah nangka itu belum juga
tiba?”

“Bagaimana maksudmu, Kabayan?”

“Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai. Rupanya ia ingin berjalan sendirian. Maka,
kubiarkan ia berjalan dan kusebutkan agar ia lekas pulang ke rumah. Kuperingatkan pula agar
ia segera membelok ke rumah ini. Dasar nangka tua tak tahu diri, tidak menuruti perintahku
pula!”
“Ah, itu hanya alasanmu yang mengada-ada saja, Kabayan!” mertua Si Kabayan bersungut-
sungut. “Bilang saja kalau kamu itu malas membawa nangka itu ke rumah!”

Si Kabayan hanya tertawa-tawa meski dimarahi mertuanya.

Pada waktu yang lain mertua Si Kabayan mengajak menantunya yang malas lagi bodoh itu
untuk memetik kacang koro di kebun. Mereka membawa karung untuk tempat kacang koro
yang mereka petik. Baru beberapa buah kacang koro yang dipetiknya, Si Kabayan telah
malas untuk melanjutkannya. Si Kabayan mengantuk. Ia pun lantas tidur di dalam karung.

Ketika azan Dhuhur terdengar, mertua Si Kabayan menyelesaikan pekerjaannya. Ia sangat


keheranan karena tidak mendapati Si Kabayan bersamanya. “Dasar pemalas!” gerutunya. “Ia
tentu telah pulang duluan karena malas membawa karung berisi kacang koro yang berat!”

Mertua Si Kabayan terpaksa menggotong karung berisi Si Kabayan itu kembali ke rumah.
Betapa terperanjatnya ia saat mengetahui isi karung yang dipanggulnya itu bukan kacang
koro, melainkan Si Kabayan!

Anda mungkin juga menyukai