Anda di halaman 1dari 21

Departemen Keperawatan Anak

 
1.    Sistem Pernapasan
1.1. Materi
A.    Bronkhopneumonia / Pneumonia
1. Pengertian: bronkhopneumonia adalah inflamasi akut pada bronkiolus
respiratorius. Pneumonia adalah inflamasi akut pada parenkim paru bagian
bawah dan alveoli. Penyebab: virus, bakteri atau jamur.
2. Mekanisme: kuman menyebabkan peradangan pada bronkus
(bronkhopneumonia) atau paru (pneumonia) menimbulkan konsolidasi jaringan
paru, sehingga dapat mengganggu pola napas, bersihan jalan napas, dan
pertukaran gas.
3. Manifestasi klinis: demam, menggigil, berkeringat, batuk produktif/ non
produktif, adanya sputum, edema mucosa, napas cuping hidung, retraksi
dinding dada, takipnea, kenaikan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak,
ronkhi, suara pernapasan bronkial.
4. Penanganan: pemberian oksigen, pemberian cairan untuk mengatasi
demam, istirahat, kompres hangat, pemberian posisi, anjurkan untuk minum
hangat, peningkatan asupan nutrisi, fisioterapi dada, inhalasi/ nebulizer,
pengencer dahak, bronkhodilator, antibiotic
 
B.   Tuberculosis (TBC)
1. Pengertian: TBC adalah infeksi Mycobacterium Tuberculosis pada paru.
2. Mekanisme: kuman TB menginfeksi paru melalui droplet dari penderita TB
yang lain. Kuman menyerang parenkim paru.
3. Manifestasi klinis: batuk >3 minggu, demam tidak terlalu tinggi berlangsung
lama, berkeringat pada malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat
badan, malaise, nyeri dada.
4. Penanganan: kepatuhan minum obat, pencegahan penularan dengan cara
batuk yang benar, tempat ludah ditutup dan diberi desinfektan, serta nutrisi
yang adekuat.
 
C.   Asfiksia
1. Pengertian: kegagalan proses bernapas secara spontan pada bayi baru lahir.
2. Mekanisme: saat setelah lahir, paru harus segera terisi oksigen untuk
memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk diedarkan ke
seluruh tubuh.
3. Manifestasi klinis dengan menilai APGAR skor: Asfiksia berat 0-3, Asfiksia
sedang 4-6 dan Asfiksia ringan 7-9
4. Penanganan: resusitasi bayi baru lahir: hangatkan badan, posisi kepala
sedikit ekstensi, bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir dari mulut
kemudian hidung, rangsang taktil, nilai kembali bayi (usaha napas, warna kulit,
dan denyut jantung). Apabila bayi belum bernapas: berikan ventilasi tekanan
positif (VTP) dengan memakai balon dan sungkup selama 30 detik, kemudian
nilai bayi kembali. Apabila belum bernapas juga, lanjutkan VTP dengan kompresi
dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Apabila denyut jantung mencapai
60x/menit, hentikan kompresi dada lanjutkan VTP. Jika denyut jantung lebih
dari 100x/menit lakukan perawatan pasca resusitasi.
 
D.   Asthma
1. Pengertian: peradangan dan penyempitan pada saluran napas yang
menyebabkan sesak atau sulit bernapas. Penyebab atau pemicu terjadinya asma
adalah agen alergen seperti debu, tungau, perubahan cuaca dan lainnya.
2. Mekanisme: proses inflamasi kronik saluran napas atas menyebabkan
obstruksi jalan napas yang menghambat aliran udara. Obstruksi dapat berupa
bronkospasme, edema dan hipersekresi.
3. Manifestasi klinis: bunyi napas wheezing, batuk, sesak napas, napas
tersengal-sengal.
4. Penanganan: inhalasi, menghindari faktor pemicu, pemberian oksigen,
pemberian bronchodilator melalui inhalasi.
 
1.2. Proses Keperawatan
A.    Fokus Pengkajian
1. Peningkatan frekuensi napas (frekuensi napas normal, bayi: 0-2 bulan: 30-
60x/menit, 2-12 bulan: 30-50x/menit, 12-59 bulan: 20-40x/menit), kedalaman
inspirasi napas yang memanjang menunjukan obstruksi jalan napas atas, batuk,
sputum, dispneu, takipneu,  suara napas abnormal, bentuk dada abnormal,
penggunaan otot bantu pernapasan. Hipertermi menunjukan adanya proses
infeksi.
2. Pada kasus asfiksia diperlukan pengkajian: riwayat perinatal: mekonium,
prematuritas, APGAR skor.
3. Pada kasus TBC diperlukan pengkajian riwayat imunisasi BCG, kondisi
lingkungan, sumber terpapar penyakit, adanya bunyi redup, penurunan suara
paru pada saat perkusi, hasil tes mantoux positif.
4. Pada kasus asthma: riwayat keluarga dengan asthma, ekspirasi yang
memanjang dapat menunjukan gangguan obstruksi yang ditandai dengan
terdengar bunyi wheezing, sumber alergen.
5. Pada kasus pneumonia: batuk produktif, sputum kental, terdengar bunyi
ronkhi, adanya retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.
6. Hasil laboratorium: perubahan nilai AGD, peningkatan leukosit, peningkatan
LED.
7. Hasil pemeriksaan diagnostik: X-ray adanya infiltrat pada lapang paru.
 
B.   Fokus Masalah
      Masalah keperawatan yang sering muncul pada kasus sistem pernapasan:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan kondisi jalan nafas yang tidak
normal akibat adanya penumpukan sputum yang kental atau berlebihan yang
sulit untuk dikeluarkan. Data mayor: batuk tidak efektif/ tidak mampu batuk,
sputum berlebih atau obstruksi jalan napas, mekonium di jalan napas (pada
neonatus), wheezing dan atau ronkhi.
2. Pola napas tidak efektif adalah kondisi inspirasi dan atau ekspirasi yang
tidak memberikan ventilasi adekuat. Data mayor: penggunaan otot bantu napas,
fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal.
3. Gangguan pertukaran gas adalah kondisi kelebihan atau kekurangan
oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus kapiler.
Data mayor: PCO2 meningkat atau menurun, PO2 menurun, PH arteri
meningkat atau menurun, terdapat bunyi napas tambahan, disapneu.
4. Hipertermia adalah suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh.
Data mayor: suhu tubuh di atas normal (>37,5°C)
 
C.   Fokus intervensi dan implementasi
Pada gangguan sistem pernapasan, intervensi berfokus pada SOP prosedur
nebulizer/ inhalasi, suction, resusitasi neonatus, fisioterapi dada, pemberian oksigen,
kompres hangat, pemberian posisi. Kolaborasi pemberian obat pengencer dahak,
bronkhodilator, antibiotik. Pendidikan kesehatan: menganjurkan untuk minum
hangat, meningkatan asupan nutrisi dan pencegahan penularan TBC, menghindari
allergen.
 
D.   Fokus evaluasi
1. Bersihan jalan nafas efektif ditandai dengan tidak ada batuk, tidak ada
sputum, tidak ada mekonium di jalan napas (neonatus), suara napas vesikuler,
tidak ada wheezing dan/ronkhi.
2. Pola napas efektif ditandai dengan ventilasi adekuat, tidak ada penggunaan
otot bantu napas, pola napas normal, frekuensi napas dalam batas normal.
3. Tidak terjadi gangguan pertukaran gas ditandai dengan nilai AGD dalam
batas normal, tidak terdapat bunyi napas tambahan.
4. Hipertermia tidak terjadi ditandai dengan suhu tubuh normal (36,5°C-
37,5°C).
 
2.    Sistem Kardiovaskular
2.1. Materi
A.    Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
1. Pengertian: PJB merupakan kelainan pada struktur jantung dan fungsi
sirkulasi jantung yang didapat sejak lahir. PJB memiliki dua klasifikasi yaitu PJB
non sianotik dan sianotik.
2. Mekanisme: PJB sianotik ditandai dengan ada sianosis akibat adanya pirau
kanan ke kiri sehingga darah dari vena sistemik yang mengandung rendah
oksigen akan kembali ke sirkulasi. Paling banyak PJB sianotik adalah Tetralogi of
Fallot.
3. PJB asianotik adalah PJB tanpa gejala sianosis. Kasus terbanyak adalah
Paten Ductus Arteriosus (PDA). Pada PJB asianotik, terjadi percampuran darah
dari aorta yang banyak mengandung O2 dengan darah dari arteri pulmonal yang
mengandung CO2.
4. Manifestasi klinis: PJB memiliki gejala terdapat peningkatan atau
penurunan tekanan darah, cardiomegali, hepatomegali, jari tabuh terdengar
bunyi murmur jantung, Capillary Refill Time >3 detik, nadi perifer teraba lemah,
tampak pucat, gelisah. PJB sianosis memiliki gejala: kebiruan pada mucosa,
sesak napas terutama setelah beraktifiktas, napas cepat dan dalam, lemah,
dapat mengalami kejang/sinkop.  Sianosis tidak berkurang dengan pemberian
oksigen, mengalami gangguan pertumbuhan yang kronis (pengurangan lemak
sub cutan, otot mengecil, BB dan TB tidak optimal), mengalami gangguan
perkembangan.
PJB asianotik memiliki gejala sesak napas, napas tersengal-sengal, takikardi,
mudah lelah, tidak napsu makan, gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
5. Penanganan: pemberian oksigen, pemberian posisi knee chest pada bayi
usia kurang dari 1 tahun, pemberian posisi squating pada usia lebih dari 1 tahun,
pembatasan aktivitas, pemantauan tumbuh kembang.
 
2.2. Pendekatan Proses Keperawatan
A.    Fokus pengkajian
1. Riwayat kelahiran, riwayat keluarga dengan kelainan bawaan, tampak
sianosis, cardiomegali, terdengar bunyi murmur jantung, frekuensi nadi
meningkat atau menurun (bayi baru lahir: 140-160x/mnt bayi: 100-160x/menit,
anak: 70-12x/menit, remaja: 60-100x/menit). Capillary Refill Time >3 detik, nadi
perifer teraba lemah, tampak pucat, gelisah, sesak napas terutama setelah
beraktifitas seperti bayi saat menyusu, anak saat bermain, napas cepat dan
dalam, lemah, dapat mengalami kejang/sinkop, BB dan TB tidak optimal,
perkembangan tidak sesuai usia, riwayat infeksi pernapasan berulang, adanya
jari tabuh, hepatomegali, demam (menunjukan adanya infeksi).
2. Hasil laboratorium: AGD, hasil pemeriksaan diagnostik: X ray terdapat
hepatomegali, cardiomegali, ekhokardiografi, EKG, kateter jantung
 
B.    Fokus masalah
1. Penurunan curah jantung adalah ketidakadekuatan jantung memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Data mayor: perubahan
irama jantung, perubahan tekanan darah, nadi perifer teraba lemah, gelisah,
suara murmur.
2. Intoleransi aktifitas adalah ketidakcukupan energi untuk melakukan aktifitas
sehari-hari. Data mayor: frekuensi jantung meningkat, mengeluh lelah.
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Kondisi individu mengalami
ganguan kemampuan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kelompok
usia. Data mayor: tidak mampu melakukan ketrampilan atau prilaku khas sesuai
usia, pertumbuhan fisik terganggu.
 
C.   Fokus intervensi dan impelementasi
Pemberian oksigen, pemberian posisi knee chest pada bayi usia kurang dari 1 tahun,
pemberian posisi squating pada usia lebih dari 1 tahun, pembatasan aktivitas,
pemantauan tumbuh kembang. Pemberian entering feeding (ASI melalui OGT), diet
seimbang, stimulasi (pada bayi)
 
D.   Fokus Evaluasi
1. Penurunan curah jantung: curah jantung tidak mengalami penurunan
ditandai dengan irama jantung normal, tekanan darah normal sesuai usia, nadi
perifer teraba kuat.
2. Intoleransi aktifitas: dapat mentoleransi aktifitas dengan frekuensi jantung
normal, tidak mengeluh lelah.
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan: anak tumbuh dan kembang
optimal sesuai dengan kelompok usia.
 
3.    Sistem Pencernaan
3.1. Materi
A.    Diare
1. Pengertian: invasi bakteri pada mucosa usus menyebabkan peradangan.
2. Mekanisme: bakteri masuk usus mengalami peradangan dan mengganggu
motilitas usus, menyebabkan berak cair >3x sehari dengan konsistensi encer.
Pengeluaran cairan berlebihan akan menyebabkan dehidrasi. Apabila
peradangan disebabkan oleh kuman disentri akan menyebabkan ulserasi yang
ditandai dengan berak darah.
3. Manifestasi klinis: berak cair >3x/hari dengan konsistensi encer, turgor kulit
kembali lambat/sangat lambat, mata cekung, membran mukosa kering,
kemerahan pada perianal.
4. Penanganan: perbaikan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit melalui
rehidrasi secara oral dan atau parenteral. Perhitungan kebutuhan cairan pada
anak :
BB ≤10 Kg :100 cc/Kg/BB/Hari
BB 10-20  : 1000 cc + 50 cc x (BB-10)/Kg/BB/hari
BB >20      : 1500 cc + 20 cc x (BB-20)/Kg/BB/hari
Contoh : Seorang anak dengan BB 23 kg maka kebutuhan cairannya adalah
1500 + 20 x (23-20) = 1500 + 60 = 1560 cc/hari
 
B.   Hirschprung
1. Pengertian: anomali kongenital dengan karekteristik tidak adanya saraf-
saraf pada satu bagian usus yang mengakibatkan adanya obstruksi.
2. Mekanisme: tidak adanya sel ganglion parasimpatik otonom pada satu
segmen kolon menyebabkan kurangnya persarafan di segmen tersebut
berdampak tidak adanya gerakan mendorong yang menyebabkan akumulasi isi
usus dan distensi usus proksimal
3. Manifestasi Klinis: konstipasi, pembesaran abdomen, muntah, BAB seperti
pita
4. Penanganan: pembedahan dengan tujuan membuang sel aganglion serta
pembuatan kolostomi untuk membantu defekasi
 
C.   Hyperbilirubin atau Icterus neonatus
1. Pengertian hiperbilirubinemia adalah peningkatan bilirubin dalam darah.
Ikterik pada bayi diklasifikasikan sebagai berikut: Icterus fisiologis mulai timbul
hari ke 1-2 dan menghilang mulai hari 5-10 dengan kadar bilirubin pada bayi
cukup bulan < 12 mg/dl dan BBLR < 10mg/dl. Icterus patologis: mulai timbul <
24 jam dan bilirubin total >15 mg/dl.
2. Mekanisme: bayi setelah lahir akan mengkonjungasi bilirubin yang larut
dalam lemak menjadi yang larut dalam air. Proses ini terjadi di dalam hati.
Bilirubin merupakan produk pemecahan Hb yang berasal dari sel darah merah.
Peningkatan kadar bilirubin indirek pada bayi baru lahir karena adanya
gangguan pemecahan bilirubin.
3. Manifestasi Klinis: Kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa mulut,
bilirubin serum >2 mg/dL.
4. Penanganan: fototerapi, transfusi tukar, pemberian ASI eksklusif, terapi
sinar matahari, pemberian cairan/nutrisi
Cara menghitung derajat icterus dengan Kramer
Derajat I = kepala leher = kadar bilirubin 5.0 mg%. Derajat II = kepala leher
sampai badan (atas umbilicus) = 9.0mg%. Derajat III = kepala leher sampai
badan (bawah umbilicus hingga atas lutut) = 11.4mg %. Derajat IV = kepala leher
sampai badan, serta tungkai atas dan bawah = 12.4mg%. Derajat V = kepala
leher sampai badan, serta   tungkai atas dan bawah sampai telapak, tangan dan
kaki = 16.0mg%.
 
D.   Gizi Buruk
1. Pengertian: gizi buruk adalah kekurangan asupan yang mengandung energi
dan protein.
2. Mekanisme: kurangnya asupan energi dan protein akan menyebabkan sel
tubuh kekurangan nutrisi. Pada anak kekurangan nutrisi akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan.
3. Manifestasi Klinis: pucat, kurus, perut buncit, edema, muka tampak tua,
kehilangan massa otot, BB dan TB tidak sesuai, rambut mudah patah, kusam,
kering berwarna merah. Kulit bersisik, anemia, konjunctiva pucat.
4. Penanganan: pemberian nutrisi makro dan mikro, pendidikan kesehatan
pada orang tua tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi pada anak.
 
3.2. Pendekatan Proses Keperawatan
A.    Fokus pengkajian
1. Antropometri: BB, TB, LK, lingkar lengan, lingkar dada disesuaikan dengan
usia.
2. Keluhan adanya mual, muntah, tidak nafsu makan, keadaan lemah, lemas,
pucat, kurus, penurunan BB > 10 %.
3. Peningkatan suhu tubuh sebagai tanda adanya infeksi dan atau dehidrasi.
Perubahan bising usus, konstipasi, keluhan kembung (tidak nyaman di perut),
diare. Hasil laboratorium: protein, albumin, Hb, elektrolit, kimia darah, AGD
4. Pada kasus Diare:
Frekuensi BAB >3x/hari, konsistensi feces cair, kemerahan pada daerah perianal,
derajat dehidrasi: ringan, sedang, berat. Hasil pemeriksaan tinja ditemukan
adanya bakteri atau darah. Tanda dehidrasi ringan: penurunan BB 2-5%, turgor
kembali segera, mucosa bibir kering, ubun-ubun datar (usia < dari 24 bulan), 
haus minum dengan lahap, mata cekung. Tanda dehidrasi sedang: penurunan
BB 5-8%, turgor kulit kembali lambat, ubun-ubun cekung, mata cekung. Tanda
dehidrasi berat: letargi, kesadaran menurun penurunan BB >10 %, turgor
kembali sangat lambat, cubitan kulit perut kembali lambat, membran mukosa
kering, mata cekung, dan tidak mau minum.
5. Pada kasus Hirschprung:
Adanya riwayat kelainan genetik, distensi abdomen, BAB seperti pita, konstipasi,
muntah, bayi rewel, tidak adanya pengeluran mekonium 24-48 jam kelahiran.
Observasi ostomi: warna ostomi, ada tidaknya iritasi pada ostomi dan kulit
sekitarnya, penuh tidaknya kantong kolostomi. Hasil pemeriksaan diagnostik:
hasil USG/X-ray ditemukan mega kolon. Pemeriksaan dengan barium enema,
biopsy rektal
6. Pada kasus Hiperbilirubinemia:
Prematuritas, Ikterik, derajat kramer, kadar Bilirubin total >15mg/dl,
pemeriksaan tinja, Hb, pemeriksaan resus.
7. Pada kasus gizi buruk:
Pucat, kurus, muka tampak tua, kulit kering berisisik, rambut merah dan mudah
patah, edema pada kaki, perut buncit.
 
B.   Fokus masalah
1. Defisit volume cairan/Hipovolemia/gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
Adalah penurunan volume cairan intravaskuler, intertstitiel dan atau intraseluler
ditandai dengan nadi teraba lemah, tekanan darah menurun/ meningkat, turgor kulit
menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, dan tanda-tanda
dehidrasi, suhu tubuh meningkat, BB turun, tersa lemah, mengeluh haus, CRT >3
detik
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan/ defisit nutrisi
Adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Ditandai dengan penurunan BB minimal 10%. Membran mukosa pucat, rambut
rontok, nafsu makan menurun, serum albumin menurun.
3. Gangguan integritas kulit
Adalah kerusakan kulit dan jaringan ditandai dengan kerusakan jaringan atau lapisan
kulit, nyeri, kemerahan, lecet.
4. Konstipasi
Adalah penurunan defekasi normal disertai pengeluaran feces sulit dan tidak tuntas,
serta feces kering dan banyak, Ditandai:  defekasi berkurang/ tidak bisa, pengeluaran
feces lama dan sulit, feces keras, peristaltik menurun, distensi abdomen, teraba
massa pada rektal.
5. Ikterik Neonatus
Adalah kulit dan membran mukosa neonatus kuning. Ditandai dengan peningkatan
kadar bilirubin, membran mukosa, kulit, dan sklera kuning, riwayat prematur.
 
C.   Fokus intervensi dan implementasi
1. Tingkatkan hidrasi yang adekuat: pantau status hidrasi (catat asupan dan
haluran cairan, timbang berat badan, evaluasi karakteristik urine (warna,
jumlah, frekuensi), monitor dehidrasi, pemberian oralit.
2. Pemberian cairan intravena sesuai indikasi.
3. Perawatan kolostomi sesuai dengan SOP.
4. Perawatan fototerapi.
5. Perawatan kebersihan kulit daerah perianal pada diare: membersihkan
menggunakan air kemudian dikeringkan, mengganti diaper setiap kali diare,
hindari penggunaan tisue basah.
 
D.   Fokus evaluasi
1. Tidak terjadi defisit volume cairan/Hipovolemia/gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit: nadi teraba normal, tekanan darah normal, turgor kulit
kembali segera, membran mukosa lembab, volume urin sesuai, tidak ada tanda-
tanda dehidrasi, suhu tubuh normal.
2. Tidak terjadi gangguan nutrisi, ditandai dengan kenaikan BB, membran
mukosa tidak pucat, nafsu makan meningkat.
3. Integritas kulit baik: tidak ada kemerahan, iritasi, lecet dan nyeri.
4. Tidak ada keluhan konstipasi: BAB lancar, bising usus normal, tidak ada
distensi abdomen.
5. Tidak terjadi Ikterik Neonatus, ditandai dengan kadar bilirubin dalam batas
normal, tidak ada kuning pada seluruh tubuh.
 
4.    Sistem integument
4.1. Materi
A.   Campak
1. Pengertian
Campak/morbili adalah infeksi yang disebabkan oleh paramyxovirus.
2. Mekanisme: virus campak masuk ke dalam tubuh melalui udara, kontak
langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan.
3. Manifestasi klinis: demam, mata merah/konjunctivitis, bercak keabu-abuan
pada mulut dan tenggorokan, timbul bercak kolpik’s pada mucosa pipi / daerah
mulut, timbul ruam pada kulit dimulai dari belakang telinga menyebar ke
seluruh tubuh.
4. Penanganan: pemberian nutrisi yang adekuat, imunisasi, isolasi untuk
mencegah penularan, mempertahankan kebersihan diri.
 
4.2. Pendekatan Proses Keperawatan
A.    Fokus pengkajian
Timbul ruam pada kulit dimulai dari belakang telinga menyebar ke seluruh tubuh,
disertai dengan keluhan gatal, adanya lecet bekas garukan, kulit kering, tampak
kotor, melaporkan kekawatiran jika mandi.
 
B.    Fokus masalah
1. Gangguan integritas kulit: adalah kerusakan kulit dan jaringan ditandai
dengan kerusakan jaringan atau lapisan kulit, nyeri, kemerahan, lecet, dan gatal.
2. Defisit perawatan diri: adalah tidak mampu melakukan atau menyelesaikan
aktifitas perawatan diri ditandai dengan tidak mampu mandi, minat melakukan
perawatan diri kurang, menolak melakukan perawatan diri.
 
C.    Fokus intervensi dan Implementasi
       Perawatan kulit: mandi, menyeka tubuh dengan washlap basah.
 
D.    Fokus evaluasi
1. Tidak terjadi gangguan integritas kulit ditandai dengan tidak ada
kemerahan, kulit lembab, kulit tampak bersih.
2. Kebersihan diri terjaga ditandai dengan mandi teratur, kulit bersih.
 
5.    Sistem Persarafan
5.1. Materi
A.    Kejang Demam
1. Pengertian: kejang yang disebabkan karena kenaikan suhu tubuh > 38,4°C
tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit.
2. Mekanisme: peningkatan suhu tubuh menyebabkan neuron sel otak
menjadi hipersensitif dan aktif secara berlebihan yang memicu aliran listrik
berlebihan sehingga kejang.
3. Manifestasi klinis: demam lebih dari 38,4°C, kejang menyentak dan atau
kaku otot, gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas),
penurunan kesadaran, kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus,
dan muntah.
4. Penanganan: terapi farmakologi: antipiretik dan terapi kejang (diazepam
secara rektal/IV), di rumah diazepam rektal. Terapi non farmakologi: Baringkan
pasien di tempat rata, singkirkan benda yang ada di sekitar pasien,
melonggarkan pakaian, tidak memasukkan sesuatu ke mulut anak, jangan
memaksa membuka mulut anak, kompres, posisi kepala miring untuk mencegah
aspirasi. Pendidikan kesehatan penanganan kejang di rumah.
 
B.   Meningitis
1. Pengertian: infeksi pada selaput otak (meningen) yang disebabkan karena
bakteri dan virus atau jamur.
2. Mekanisme: organisme masuk ke dalam otak melalui aliran darah yang
berasal dari sekret hidung dan sekret telinga. Invasi kuman menyebabkan TIK
meningkat, sehingga mengakibatkan gangguan perfusi jaringan serebral. Invasi
kuman juga dapat menyebabkan gangguan fungsi sistem regulasi berupa
hipertemia yang menyebabkan gangguan metabolisme otak dan gangguan
keseimbangan ion kalium dan natrium sehingga terjadi kejang.
3. Manifestasi klinis: peningkatan TIK (kejang, sakit kepala, perubahan tingkat
kesadaran), kaku kuduk, tanda Kernig positif, tanda Bruzinzki positif, dan
fotopobia.
4. Penanganan: perawatan waktu kejang: hisap lendir, cegah cidera, dan
longgarkan baju.
5. Pengobatan simptomatik: untuk kejang dan panas.
6. Pengobatan suportif: pemberian cairan intravena, isolasi, mempertahankan
hidrasi maksimal, mencegah dan mengatasi komplikasi, mempertahankan
ventilasi, mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat, penanganan syok.
 
C.    Hidrosepalus
1. Pengertian: suatu keadaan patologi otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinalis yang disebabkan baik oleh produksi yang
berlebih maupun gangguan absorbs dengan atau tidak disertai TIK yang
meninggi sehingga terjadi pelebaran ruang tempat aliran CSS.
2. Mekanisme: kondisi CSS yang abnormal dapat disebabkan karena produksi
likuor yang berlebih, peningkatan resistensi aliran likuor, dan peningkatan
tekanan sinus venosa, yang berdampak pada peningkatan TIK.
3. Manifestasi klinis: pembesaran kepala abnormal (LK > 40 cm), sunken eyes,
fontanel terbuka dan tegang, tulang kepala sangat tipis dan vena-vena
menonjol, dan perkembangan mengalami keterlambatan.
4. Penanganan: tata laksana dengan mengurangi produksi cairan melalui
pembedahan (pembuatan VP shunt).
 
5.2. Pendekatan Proses Keperawatan
A.    Fokus Pengkajian
1. Menentukan karakteristik kejang yang merupakan gangguan pada fungsi
otak yang normal sebagai akibat dari aliran elektrik yang abnormal yang
berdampak hilangnya kesadaran, gerakan tubuh tidak terkendali, perubahan
perilaku dan sensasi, perubahan sistem otonom.
2. Menentukan fungsi saraf kranial dengan melihat respon pupil, menentukan
perubahan suhu, adanya kaku kuduk, reflex Babinski, Kernig, dan Bruzinzki.
3. Menentukan peningkatan tekanan intrakranial (fontanel cembung, muntah
proyektil, dan kesadaran menurun).
4. Pemeriksaan penunjang: lumbal pungsi, EEG, serum elektrolit dan glukosa,
kultur darah.
 
B.    Fokus Diagnosis
1. Hipertemia terjadi karena proses inflamasi dan infeksi.
2. Risiko gangguan perfusi jaringan serebral yang disebabkan adanya
penurunan sirkulasi darah ke otak yang ditandai dengan adanya peningkatan
tekanan intracranial.
3. Risiko cedera yang terjadi karena adanya kejang, perubahan status mental
dan penurunan tingkat kesadaran.
4. Nyeri yang terjadi karena adanya iritasi lapisan otak.
 
C.    Fokus Intervensi dan Implementasi
1. Mempertahankan suhu stabil (kompres hangat/water sponging, antipiretik,
antibiotik)
2. Mencegah cedera dan kejang berulang
3. Kolaborasi pemberian antikonvulsan
4. Pendidikan kesehatan pada orang tua cara penanganan kejang di rumah
5. Pemberian obat per rectal
6. Perawatan VP shunt
7. Perawatan integritas kulit
8. Pemberian posisi saat kejang
9. Stimulasi tumbuh kembang
 
D.    Fokus Evaluasi
1. Tidak terjadi kejang berulang
2. Anak terbebas dari demam/cedera
3. Orang tua memahami cara penanganan kejang di rumah
4. Orang tua memahami perawatan VP shunt yang dapat dilakukan oleh orang
tua di rumah
 
6.    Sistem Perkemihan
6.1. Materi
A.    Infeksi Saluran Kemih (ISK)
1. Pengertian: infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih.
2. Mekanisme: adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam saluran kemih
mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih,
sehingga menjadi media pertumbuhan mikroorganisme yang selanjutnya akan
menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Mikroorganisme yang naik dari kandung
kemih ke ginjal, karena seringnya air kemih tertahan di kandung kemih akan
menyebabkan distensi berlebihan sehingga menimbulkan nyeri.
3. Manifestasi klinis: sakit saat berkemih, berkemih tidak sampai tuntas, ada
riwayat kurang bersih saat berkemih, hematuria, demam, dan nyeri punggung
dan pinggang.
4. Penanganan: pemberian antibiotik dan antipiretik, meningkatkan asupan
cairan 2-3 lt/hari, penggunaan pakaian dalam terbuat dari bahan katun,
membersihkan perineum dari arah depan ke belakang.
 
B.    Sindrom Nefrotik
1. Pengertian: kondisi yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas
membrane glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan kehilangan
protein plasma yang menyebabkan hypoalbuminemia.
2. Mekanisme: menurunnya albumin menyebabkan tekanan osmotik plasma
menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke dalam interstisial.
Perpindahan cairan menjadikan volume cairan intravaskular berkurang sehingga
akan menurunkan jumlah aliran darah ke renal. Akibat hipovolemia akan
berdampak pada ginjal yang akan melakukan kompensasi dengan merangsang
renin angiotensin, peningkatan sekresi antidiuretik (ADH) dan sekresi aldosteron
sehingga terjadi retensi natrium dan air menyebabkan edema.
3. Manifestasi klinis: edema di sekitar mata (periorbital), edema di ekstrimitas,
edema anasarka, asites, malaise, sakit kepala.
4. Penanganan: penatalaksanaan farmakologi: terapi kortikosteroid, terapi
immunosupresan, dan terapi diuretik. Penatalaksanaan non farmakologi:
pencegahan infeksi, mencegah kerusakan kulit, nutrisi (diet sindrom nefrotik)
dan kebutuhan cairan (pembatasan asupan cairan), istirahat, dan dukungan bagi
anak.
 
6.2. Pendekatan Proses Keperawatan
A.    Fokus Pengkajian
1. Anamnesis: menentukan faktor resiko infeksi saluran kemih, menentukan
tanda kongesti, iritasi/ketidaknyamanan genital, darah dalam urin, sering
merasakan dorongan untuk berkemih namun urin yang keluar sedikit, urin
berwarna pekat (kadang berdarah), ketidaknyamanan pada daerah pervis, rasa
sakit pada daerah pubis, perasaan tertekan pada daerah perut bagian bawah,
demam rasa terbakar dan perih saat berkemih, nyeri di daerah punggung dan
pinggang, mual, muntah, berat badan meningkat, mudah lelah, dan demam.
2. Inspeksi: edema periorbital, ekstrimitas, anasarka, asites, hematuria,
adanya pruritus, keletihan, perubahan warna kulit pada sindrom nefrotik,
pernapasan cepat, keterlambatan perkembangan, wajah tampak sembab,
kenaikan berat badan.
3. Palpasi: distensi kandung kemih, edema labia/srotum.
4. Pemeriksaan laboratorium: leukosuria, hematuria, kultur urin, hitung
koloni, bakteriologi, urinalisis, dan protein urin.
 
B.   Fokus Masalah
1. Kelebihan volume cairan diakibatkan kerusakan pada glomerulus yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus dan hilangnya protein
plasma, penurunan albumin dalam darah, penurunan tekanan osmotik,
perpindahan cairan intravaskuler ke instersisial yang menyebabkan edema.
2. Nyeri dikarenakan adanya proses inflamasi pada kandung kemih
menyebabkan obstruksi saluran kemih yang bermuara pada vesika urinaria yang
mengakibatkan kontraksi di dinding vesika urinaria.
3. Perubahan pola eliminasi disebabkan karena adanya obstruksi mekanik
pada kandung kemih atau struktur traktus urinarius lain yang menyebabkan
iritasi uretra sehingga mengalami oliguria.
 
C.   Fokus Intervensi dan Implementasi
1. Monitor balance cairan.
2. Monitor hasil laboratorium.
3. Monitor karakteristik urin.
4. Diet rendah natrium.
5. Istirahat dan aktivitas seimbang.
6. Tehnik relaksasi.
7. Pendidikan kesehatan tentang perineal hygiene yang tepat.
 
D.   Fokus Evaluasi
1. Anak mengalami haluaran urin yang adekuat sesuai usia
2. Edema berkurang
3. Pola eliminasi normal
4. Warna urin: jernih
5. Orang tua melakukan perineal hygiene dengan tepat
6. Sistem Hematologi dan Imunologi
 
7.   Sistem Hematologi dan Imunologi
7.1.Materi
A.   Thalasemia
1. Pengertian: suatu kelompok anemia hemolitik kongenital yang diturunkan
secara autosomal disebabkan karena kekurangan sintesis rantai polipeptida
yang menyusun molekul globin dan haemoglobin.
2. Mekanisme: sumsum tulang tidak mampu membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya sehingga
eritrosit mudah rusak (umur eritrosit lebih pendek/kurang dari 100 hari)
akibatnya terjadi anemia.
3. Manifestasi klinis: pucat, lemah, berat badan kurang, memerlukan transfusi
rutin, splenomegali, hepatomegaly, perut membuncit, konjungtiva anemis,
bentuk wajah khas thalassemia.
4. Penanganan: transfusi rutin, dengan tambahan pemberian asam folat,
vitamin E, splenektomi, stimulasi pertumbuhan dan perkembangan. Observasi
efek samping kelasi besi seperti demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar
bernapas, observasi gangguan fungsi jantung (gagal jantung).
 
B.   Demam Berdarah Dangue
1. Pengertian: demam yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.
2. Mekanisme: infeksi virus Dengue menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding kapiler, sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke vaskuler yang
mengakibatkan terjadinya pengurangan volume plasma yang menyebabkan
hipovolemia, penurunan tekanan darah, hemokonsentrasi, dan renjatan
demam.
3. Manifestasi klinis: demam disertai sakit kepala, mual, dan nyeri otot seluruh
tubuh.
4. Penanganan: tanpa renjatan: pemberian cairan oral bila anak masih mau
minum dan tidak muntah, berikan antipiretik, dan kompres hangat. Jika disertai
renjatan: pemberian cairan parenteral untuk mengatasi dan mengurangi risiko
syok.
 
7.2. Proses Keperawatan
A.    Fokus Pengkajian
1. Pada thalasemia: mudah lelah, letargis, anoreksia, sesak napas, penebalan
tulang kranial, pembesaran limpa dan hepar, serta menipisnya tulang kartilago,
konjungtiva pucat, kulit pucat dan berwarna keabuan (hemosiderosis), anemia
(Hb rendah), gangguan tumbuh kembang dan riwayat transfusi darah rutin.
2. Pada DHF: demam terus menerus 2-7 hari, hepatomegali, tanda presyok
(nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun, tekanan darah menurun, dan
kulit teraba dingin), terdapat petekhie, uji tourniquet positif, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, nyeri sendi dan nyeri kepala terjadi karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang berdampak adanya kebocoran plasma.
3. Pemeriksaan laboratorium: darah tepi (HB minimal 8 g/dl- 9,5 g/dl,
hematrokit 33-38%, trombosit 200.000/m-400.000/m, lekosit 9.000-
12.000/mm3), dan foto rontgen
4. Klasifikasi DHF: Derajat I : demam disertai gejala tidak khas, uji touniqut +,
Derajat II : derajat I ditambah perdarahan spontan (perdarahan di
hidung/epistaksis, hematemesis, melena), Derajat III : jika ditemukan kegagalan
sirkulasi darah dengan nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun, hipotensi
disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah,  Derajat IV :  terdapat renjatan
berat, nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur.
 
B.    Fokus Masalah
1. Pada Thalasemia
1. Perfusi perifer tidak efektif disebabkan karena penurunan
komponen sel darah (eritrosit) yang diperlukan untuk pengangkutan
oksigen
2. Intoleransi aktivitas disebabkan karena tidak seimbang antara
suplai O2 dan kebutuhan
2. Pada kasus DHF
1. Hipertemia karena proses inflamasi, peningkatan laju
metabolisme, dan dehidrasi
2. Risiko perdarahan disebabkan karena trombositopenia.
3. Defisit volume cairan disebabkan kehilangan volume cairan aktif,
dan kegagalan mekanisme regulasi.
 
C.    Fokus Intervensi dan Implementasi
1. Terapi rehidrasi oral/parenteral, monitor hasil laboratorium, manajemen
nyeri.
2. Tingkatkan oksigenasi jaringan, cegah atau minimalkan perdarahan.
3. Istirahat dan kompres.
4. Observasi tanda vital tiap jam.
5. Observasi Ht, Hb dan trombosit secara periodik.
6. Kolabori pemberian transfusi, monitor reaksi transfusi.
7. Pengambilan sampel darah, uji tourniquet, transfusi darah.
8. Rujuk ke komunitas talasemia.
 
D.    Fokus Evaluasi
1. Tidak ada tanda dehidrasi dan perdarahan, hasil laboratorium dalam
rentang normal.
2. Perfusi perifer efektif: suhu normal, akral hangat, CRT < 3 detik, Hb optimal
10 mg/dl.
 
8.    Sistem Penginderaan
8.1. Materi
A.    Konjungtivitis
1. Pengertian: infeksi atau inflamasi pada konjungtiva mata (akut maupun
kronis).
2. Mekanisme: mikroorganisme atau allergen menyebabkan iritasi pada
kelopak mata sehingga kelopak mata sukar membuka dan menutup secara
sempurna. Kelopak mata menjadi kering sehingga menyebabkan konjungtivitis.
3. Manifestasi klinis: pelebaran pembuluh darah menyebabkan peradangan
yang ditandai dengan sklera dan konjungtiva yang merah, edema, rasa nyeri,
dan adanya sekret mukopurulen.
4. Penanganan: dapat hilang/sembuh sendiri tergantung penyebab. Antibiotik
salep dan pembersihan kelopak mata dapat dilakukan.
 
B.    Infeksi Telinga (Otitis Media Akut dan Otitis Media Supuratif Kronis)
1. Pengertian: OMA dan OMSK terjadi karena invasi mikroorganisme ke dalam
telinga tengah. Pada OMA terjadi kurang dari 14 hari sedangkan OMSK terjadi
lebih dari 14 hari.
2. Mekanisme: mikroorganisme masuk ke cavum nasi dan telinga
menyebabkan peradangan yang menyebabkan terbentuknya eksudat yang
terakumulasi. Infeksi dapat menjalar ke tulang mastoid dan terjadi mastoiditis.
3. Manifestasi klinis: keluar cairan eksudat dari telinga, anak mengeluh sakit
dan tidak nyaman, kadang menyebabkan penurunan fungsi pendengaran. Bila
terjadi mastoiditis ditemukan adanya pembengkakan di belakang telinga.
4. Penanganan: Pemberian antibiotik, tetes telinga, pembersihan telinga, dan
edukasi cara membersihkan telinga yang terdapat eksudat.
 
8.2 Pendekatan Proses Keperawatan
A.   Fokus Pengkajian
1. Pada konjungtivitis: hiperemia di mata, adanya cairan yang keluar di mata,
edema kelopak mata, dan nyeri.
2. Pada OMA/OMSK: adanya cairan eksudat yang keluar dari telinga,
kemerahan pada membrane timpani.
3. Mastoiditis: nyeri belakang telinga, pembengkakan belakang telinga,
adanya cairan keluar dari telinga.
 
B.   Fokus Masalah
1. Gangguan persepsi sensoris: penglihatan: gangguan penurunan penglihatan
yang disebabkan karena adanya proses infeksi pada konjungtiva yang ditandai
dengan adanya kemerahan/eksudat pada konjungtiva.
2. Nyeri disebabkan proses peradangan.
3. Gangguan persepsi pendengaran disebabkan karena adanya proses
infeksi/imflamasi pada telinga dalam.
 
C.   Fokus Intervensi dan Implementasi
1. Membersihkan kelopak mata.
2. Membersihkan telinga.
3. Memberikan posisi yang nyaman.
4. Memberikan antibiotik dan analgesic.
 
D.   Fokus Evaluasi
1. Persepsi sensorik tidak terganggu.
2. Nyeri berkurang dan hilang.
3. Suhu dalam batas normal.
4. Tidak ada sekret pada mata atau telinga.
5. Pelayanan Kesehatan
 
9.   Pelayanan Kesehatan
9.1.Materi
A.   Imunisasi Dasar
1. BCG diberikan pada usia 0-1 bulan (masih dapat diberikan sampai usia 2
bulan). Vaksin ini ditujukan untuk mencegah TBC, dengan dosis pemberian 0,05
ml dan route pemberian di intrakutan.
2. DPT diberikan pada usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Vaksin ini ditujukan
untuk mencegah Difteri, Pertusis, dan Tetanus dengan dosis pemberian 0,5 ml
dan route pemberian intramuskuler.
3. Polio diberikan pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Vaksin ini
ditujukan untuk mencegah polio yang diberikan secara oral sebanyak 2 tetes
sekali pemberian.
4. Hepatitis diberikan mulai dari bayi baru lahir dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskuler. Vaksin ini diberikan sebanyak 4 kali pada usia saat lahir, 2 bulan,
3 bulan dan 4 bulan. Diberikan sebagai upaya untuk mencegah penyakit
hepatitis.
5. Campak diberikan pada usia 9 bulan dengan dosis 0,5 ml dan diberikan
secara intramuskuler. Diberikan sebagai upaya untuk mencegah penyakit
campak, dan kejadian pneumonia akibat infeksi Rubeola.
6. Beberapa vaksin diberikan bersamaan dengan istilah yang biasa digunakan
yaitu pemberian vaksin Combo (DPT dan Hepatitis). Berikut jadwal pemberian
imunisasi dasar:
 
B.   Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1. Menentukan usia kronologis
Cara menentukan usia kronologis anak yaitu tanggal pemeriksaan dikurangi dengan
tanggal lahir. Contoh: tanggal pemeriksaan 21 Januari 2018 dan tanggal lahir 30
Oktober 2016,          
21 – 01 – 2018
30 – 10 – 2016
21 – 02 – 1
Jadi usia anak 21 hari 2 bulan 1 tahun atau 1 tahun 2 bulan 21 hari, dan dijadikan
bulan maka usia anak 15 bulan. Pada anak yang lahir prematur maka penentuan usia
kronologisnya dikurangi selisih usia matur (40 minggu) dengan usia minggu
prematurnya. Misalnya pada hitungan di atas jika anak lahir prematur usia 36 minggu
maka usia kronologis anak akan dikurangi 4 minggu sehingga anak berusia 14 bulan.
Umur Jenis Vaksin
0-7
HB 0
Hari
1 Bulan BCG, Polio 1*
Jadwal
Imunisas Imunisasi 2 Bulan DPT-HB-Hib
i Dasar** 1, Polio 2
  DPT-HB-Hib
3 Bulan
2, Polio 3
DPT-HB-Hib
4 Bulan
3, Polio 4 IPV
9 Bulan Campak
18
DPT-HB-Hib
Imunisasi Bulan
Lanjutan 24
Campak
Bulan
  
2. Menentukan perkembangan dengan KPSP
Pada pemeriksaan perkembangan, dilakukan dengan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP). Hasil pemeriksaan diinterpretasikan sebagai berikut:
           a. Bila hasil Ya 9 - 10 maka diinterpretasikan sesuai
           b. Bila hasil Ya 7 - 8 maka diinterpretasikan meragukan
           c. Bila hasil Ya < 7 maka diinterpretasikan risiko penyimpangan
 
C.   Bayi Berat Lahir Rendah
1. Pengertian: bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr tanpa
memperhatikan usia gestasi.
2. Mekanisme: bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr sering
mengalami hipotermia disebabkan karena sedikitnya lemak coklat dan tingginya
perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badannya. Sebagian BBLR
terjadi pada bayi yang lahir kurang bulan (prematur) sehingga sering ditemukan
masalah prematuritas organ seperti reflek hisap yang lemah. Selain itu, jika bayi
lahir pada usia gestasi kurang dari 32 minggu, bayi sering mengalami masalah
pernapasan karena defisiensi surfaktan.
3. Manifestasi klinis: berat badan kurang dari 2500 gram, bayi tampak kecil,
risiko mengalami masalah pernapasan dan termoregulasi, lanugo banyak, lemak
subkutan   sedikit, banyak tidur, tangisan lemah. Sebagian BBLR memiliki reflek
hisap dan menelan yang lemah serta masalah pernapasan.
4. Penanganan: menentukan usia kehamilan, menilai reflek primitif pada
BBLR, mengidentifikasi berat lahir serta tanda-tanda vital. Selain itu diperlukan
tindakan mempertahankan suhu stabil (rawat dalam inkubator atau perawatan
metode kanguru), pemberian oksigen, perawatan suportif: pemberian cairan,
nutrisi yang adekuat (nutrisi parenteral dan pemberian ASI).
 
D.   Proses Keperawatan Bayi Berat Lahir Rendah

      1. Fokus Pengkajian
   Berat badan kurang dari 2500 gram, reflek hisap dan menelan lemah, lemak
subkutan tipis, suhu kurang dari 36,4°C, gerakan bayi kurang aktif dan usia
kehamilan/gestasi.
      2. Fokus Masalah Keperawatan
          a. Hipotermia yang disebabkan karena gangguan termoregulasi.
          b. Kekurangan nutrisi dikarenakan lemahnya reflek hisap dan menelan.
          c. Gangguan pertukaran gas dikarenakan prematuritas organ pernapasan.
          d. Cemas orang tua disebabkan karena kondisi bayinya.
      3. Fokus Intervensi dan Implementasi
  a. Hangatkan bayi dengan meletakkan dalam radian warmer, incubator atau
perawatan metode kanguru.
  b. Pemberian nutrisi parenteral jika tidak dapat diberikan secara oral
  c. Pemberian ASI melalui OGT
  d. Pemberian ASI dengan menyusu langsung jika reflex hisap dan menelan adekuat.
  e. Perawatan di ruang intensif untuk mendapatkan dukungan ventilasi mekanik. 
  f. Edukasi kepada orang tua tentang keadaan bayinya serta edukasi pemberian ASI
      4. Fokus Evaluasi
  a. Suhu dalam batas normal (36,5 s.d. 37,5°C).
  b. Penurunan berat badan tidak lebih dari 10% BBL (pada minggu pertama).
  c. Tanda-tanda vital dalam batas normal (Frekuensi napas 30-60x/menit, frekuensi
nadi 140-160x/menit).
  d. Orang tua berperan aktif dalam perawatan.
 
E.   Hospitalisasi
1. Pengertian: hospitalisasi adalah masuknya seorang anak ke dalam rumah
sakit atau masa saat anak dirawat di rumah sakit.
2. Sumber stressor hospitalisasi: sumber stressor yaitu lingkungan baru,
berpisah dengan keluarga atau teman sebaya, kehilangan kontrol, dan
kurangnya informasi pada anak mulai usia pra sekolah.
3. Respon penerimaan hospitalisasi: diawali dengan tahap protes (menangis
kuat, menjerit, memanggil orang terdekat, menendang, tidak mau ditinggal oleh
orang tua dan agresif terhadap orang baru), tahap putus asa (tampak tenang,
menangis berkurang, tidak aktif, tidak berminat bermain, tidak nafsu makan,
membina hubungan yang dangkal dengan orang lain), tahap menerima (mulai
tertarik dengan lingkungan yang baru).
4. Intervensi dampak hospitalisasi: rooming in, partisipasi orang tua dan
keluarga, ruang perawatan seperti suasana rumah, meminimalkan tindakan
invasif, penjelasan secara konkrit mulai anak usia pra sekolah, fasilitasi teman
sebaya untuk berkunjung dan memberikan kesempatan sosialisasi.
CONTOH SOAL PENGKAJIAN DAN PEMBAHASAN
Balita laki-laki usia 2 tahun dibawa ibu ke Puskesmas dengan keluhan mencret  5x
sehari dan anak tampak lemas. Hasil pengkajian: rewel, mata cekung dan mukosa
bibir kering. Perawat akan menentukan derajat dehidrasi dengan pendekatan MTBS.
Apakah data yang perlu dikaji lebih lanjut pada kasus tersebut?
A. Capillary Refill Time
B. Cubitan kulit perut
C. Konsistensi feses
D. Berat badan
E. Suhu 
Pembahasan:
Berdasarkan pendekatan MTBS, data penting yang perlu dikaji untuk menentukan
derajat dehidrasi adalah cubitan kulit perut kembali lambat atau sangat lambat,
malas minum atau minum dengan lahap, mata cekung, dan gelisah atau rewel.
Strategi:
Lakukan scanning untuk fokus pada data-data hasil pengkajian dehidrasi berdasarkan
pendekatan MTBS. Capillary Refill Time, konsistensi feces, suhu, dan berat badan
bukan merupakan indikator derajat dehidrasi berdasarkan MTBS.
Jawaban: B
 
CONTOH SOAL MASALAH & DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PEMBAHASAN
Anak laki-laki usia 5 tahun dirawat di ruang anak dengan keluhan batuk disertai
demam. Hasil pengkajian: tidak nafsu makan, rewel, sulit tidur pada malam hari,
sputum kental, terdengar ronchi di kedua lapang paru, frekuensi napas 30x/menit,
frekuensi nadi 90x/menit, suhu 37,9⁰C.
Apakah masalah keperawatan utama pada kasus tersebut?
A. Bersihan jalan napas tidak efektif
B. Gangguan pertukaran gas
C. Risiko defisit nutrisi
D. Gangguan pola tidur
E. Hipertermia
Pembahasan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan kondisi jalan nafas yang tidak normal
akibat adanya penumpukan sputum yang kental atau berlebihan yang sulit untuk
dikeluarkan. Bersihan jalan nafas efektif ditandai dengan tidak ada batuk, tidak ada
sputum dan bunyi nafas vesikuler.
Strategi:
Hasil scanning data abnormal pada kasus diatas didapatkan data menonjol pada
gangguan sistem pernapasan yaitu sputum kental, ronkhi dikedua lapang paru dan
batuk. Pada option jawaban terdapat 2 masalah sistem pernapasan. Data abnormal
(sputum kental, ronkhi dikedua lapang paru dan batuk) pada kasus merupakan data
mayor pada masalah bersihan jalan nafas tidak efektif yang merupakan masalah
prioritas. Pada option jawaban pertukaran gas (b) tidak cukup data untuk
menegakkan masalah tersebut.
Jawaban: A
 
CONTOH SOAL INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI KEPERAWAN DAN PEMBAHASAN
Balita perempuan usia 2 tahun dibawa ibunya ke UGD karena sesak napas dan batuk.
Hasil pengkajian: anak tidak bisa mengeluarkan sekret, terdengar bunyi wheezing,
frekuensi napas 46x/menit. Keluarga tampak khawatir dengan anaknya.
Apakah tindakan keperawatan utama pada kasus tersebut?
A. Atur posisi semi fowler atau fowler
B. Pemberian oksigen pada anak
C. Anjurkan batuk efektif
D. Lakukan inhalasi
E. Lakukan suction
Pembahasan:
Pada kasus tersebut terjadi penyempitan bronchus yang ditunjang oleh data adanya
bunyi wheezing. Melonggarkan bronchus diperlukan broncodilator yang diberikan
per inhalasi. Inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas
melalui penghisapan yang mempunyai keuntungan yaitu obat bekerja langsung pada
saluran napas.
Strategi:
Fokuskan pada usia anak. Usia anak pada kasus tersebut adalah 2 tahun.  Pilihan (a
dan c) tidak efektif dilakukan pada anak usia tersebut. Pilihan (b) tidak
memungkinkan dilakukan karena tidak mengatasi masalah. Pilihan (e) merupakan
kelanjutan dari prioritas intervensi yaitu pemberian inhalasi. 
Jawaban: D
 
Referensi:
1. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan  pediatri
volume 1. Jakarta: EGC
2. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan  pediatri
volume 2. Jakarta: EGC
3. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan  pediatri
volume 3. Jakarta: EGC
4. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan  pediatri
volume 4. Jakarta: EGC
5. Pillitteri, A. (1999). Maternal & child health nursing: Care of the
childbearing & childrearing family (3rd edition). Philadelpia: JB Lippincot.
6. PPNI (2016). Standar diagnosis keperawatan Indonesia: Definisi dan
indicator diagnostik (Ed 1). Jakarta: DPP PPNI.
7. WHO (2013). Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the
management of common childhood ilnesses  (2nd edition). Geneva: WHO

Anda mungkin juga menyukai