IUT2
IUT2
Pemetaan : - Terrestris
- Non Terrestris
Reduksi
Proyeksi peta
Bidang proyeksi
Kartografi
Peta
PENGUKURAN YANG DILAKUKAN PADA PEMETAAN SECARA TERRESTRIS
Sedang
Besar
Informasi Tepi
( antara lain )
Skala Orientasi
Simbol
Pernyataan -Titik :
( 1 cm = 1 km ) * piktorial Utara Sejati
* geometrik/abstrak Utara Peta / Grid
Perbandingan * huruf Utara Magnetis
( 1:25.000 ) -Garis :
Ug m
* deskriptif U Us
Grafis * abstrak γ
- Bidang/Area :
* deskriptif
δ
* abstrak
- Warna
PERENCANAAN PEMETAAN
DIAGRAM PEMETAAN TERRESTRIS
SECARA MANUAL METODA TACIMETRI PENYULUHAN LAPANGAN
PEMASANGAN TITIK
KEANGKA DASAR
HORIZONTAL VERTIKAL
PENARIKAN
KONTUR
MANUSKRIP
KARTOGRAFI
PETA
PENYELENGGARAAN KERANGKA DASAR PEMETAAN
KERANGKA DASAR ADALAH :
Pada pemetaan yang mencakup daerah yang luas, penyelenggaraan kerangka dasar
dilakukan secara bertingkat, sehingga untuk kerangka dasar horizontal dikenal :
titik-titik Primer, Sekunder, Tersier dan Kuarter
Sebagai gambaran di P. Jawa : - titik-titik Primer berjarak sekitar : 20-40 km
- titik-titik Sekunder berjarak sekitar : 10-20 km
- titik-titik Tersier berjarak sekitar : 3-10 km
- titik-titik Kuarter berjarak sekitar : 1-3 km
Untuk pemetaan daerah yang relatif kecil, dilakukan lagi perapatan titik dengan
jarak yang lebih kecil dan metoda yang digunakan biasanya adalah metoda poligon
Syarat poligon dapat dihitung :
- harus ada titik awal
atau :
Titik kerangka dasar, selain mempunyai nilai koordinat juga mempunyai nilai tinggi
Tinggi dapat dinyatakan dalam sistem yang berlaku umum (terhadap muka laut)
dan dapat juga dinyatakan secara lokal
Bila diminta pada sistem yang berlaku umum maka harus diikatkan pada titik NWP
(Nauwkeuregheid Waterpas Peil = Titik Tinggi Teliti) atau diikatkan pada titik TTG
(Titik Tinggi Geodesi)
Pengukuran titik kerangka dasar mengikuti ketentuan yang ditetapkan yang tertuang
dalam spesifikasi teknik pengukuran
Materi untuk kerangka dasar telah dipelajari pada matakuliah Ilmu Ukur Tanah I,
baik kerangka dasar horizontal maupun kerangka dasar vertikal
Namun pada kerangka dasar horizontalnya, orientasi awal berdasarkan dari nilai
koordinat atau ditentukan secara lokal.
Seperti telah diterangkan sebelumnya bahwa penentuan orientasi awal selain dengan
kedua cara di atas, masih terdapat berbagai cara lain yang antara lain adalah dengan
pengamatan benda langit (astronomis)
Dalam kuliah ini penentuan orientasi awal dengan pengamatan astonomis yang akan
diberikan adalah dengan pengamatan matahari.
Untuk keperluan tersebut diperlukan bantuan bola langit dan hal yang terkait dengannya
DEFINISI - DEFINISI
1. Bola Langit : bola dengan jari-jari tak hingga dan berpusat di pusat bumi
DEFINISI - DEFINISI
2. Ekuator Langit : perpotongan bidang datar dengan bola langit melalui pusat
bola langit dan tegak lurus kutub utara dan selatan bola langit
KU
Ekuator
KS
DEFINISI - DEFINISI
3. Zenit/Nadir : titik potong antara perpanjangan garis gaya berat di suatu tempat
dengan bola langit di bagian atas/bagian bawah
Z
KU
Ekuator
KS
N
DEFINISI - DEFINISI
4. Horizon : lingkaran besar yang merupakan perpotongan bidang datar yang
melalui pusat bola langit dan tegak lurus terhadap zenit dan nadir
Z
KU
S U
Horizon
Ekuator
KS
N
DEFINISI - DEFINISI
5. Lingkaran Vertikal : lingkaran besar yang melalui zenit dan nadir.
Lingkaran Vertikal Utama : lingkaran vertikal yang melalui titik Timur dan Barat
serta membentuk sudut siku-siku dengan meredian
Z
KU
S U
Horizon
Ekuator
KS
KU
S U
Horizon
Ekuator
KS
KU
S U
M
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
Ω
S U
M
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
Ω
S U
M h
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
A
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
Ω
S U
M h
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
φ Z
A
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
Ω
S U
M h
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
A
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
δ Ω
S U
M h
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
φ Z
A
-t
23,5o KU
Lingkaran ekliptika
B
δ Ω
S U
M h
γ
Horizon
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
Sistem koordinat bola langit yang akan diberikan dalam kuliah ini hanyalah sistem
koordinat yang terkait dengan penentuan azimut matahari (menggunakan metoda
tinggi dan sudut waktu).
Pada sistem ini posisi benda langit dinyatakan dalam azimut dan tinggi
Sistem ini berdasarkan pada fakta bahwa sudut mendatar dan sudut vertikal dapat
diukur.
Azimut juga merupakan jarak busur pada horizon diukur dari Utara sampai ke kaki
lingkaran vertikal yang melalui benda langit (dalam hal ini matahari).
Posisi benda langit ditentukan dari azimut (A) dan tinggi (h) atau dari azimut (A) dan
jarak zenit (z)
Sistem Koordinat Horizon
Z
A
M
z
h
S U
N
2. Sistem Deklinasi dan Sudut Waktu
Posisi benda langit dalam sistem ini dinyatakan dalam deklinasi dan sudut waktu
Z
-t KU
Ekuator
Lingkaran deklinasi
KS
Lingkaran vertikal N
SEGITIGA ASTRONOMIS
Segitiga astronomis adalah segitiga bola langit yang dibatasi oleh lingkaran besar
dan yang dibentuk oleh titik zenit (Z), benda langit yang diamati (dalam hal ini
matahari/M) dan kutub bola langit (dalam hal ini KU).
φ Z
A KU
M
δ
S h U
Horizon
A
Lingkaran deklinasi
KS Ekuator
N
Lingkaran vertikal
Unsur-unsur dalam segitiga astronomis : - sisi KU - Z = 90o - φ
- sisi Z – M = 90o – h = z
- sisi KU – M = 90o – δ
Salah satu sudut dalam segitiga astronomis tersebut (di titik Z) adalah : A
KU
90o - h M
Rumus dasar penentuan asimut matahari dengan metoda tinggi matahari
Catatan :
1. Koreksi indeks
2. Koreksi refraksi ( r = rm.cp.ct )
3. Koreksi paralaks ( p )
4. Koreksi setengah diameter matahari ke arah vertikal ( 1/2 ) d
Koreksi ke empat hanya ada bila yang diamati bukan pusat matahari
- nilai : ( 1/2 ) d diperoleh dari almanak matahari tabel 1 kolom terakhir dengan
pedoman tanggal , bulan dan tahun pengamatan
Pengamatan matahari dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang teropongnya
dilengkapi dengan lingkaran matahari, dan bayangan matahari dimasukkan ke dalam
lingkaran matahari tersebut.
Bentuk lingkaran matahari dapat berupa lingkaran dan dapat pula berupa garis
pendek yang memotong benang mendatar diafragma dan benang tegak diafragma
secara simetris
Hati-hati, bila alat tidak dilengkapi dengan filter maka matahari jangan dibidik
langsung tetapi bayangannya ditampung di kertas tadah
Lingkaran matahari
Lingkaran matahari
Selain itu, pengamatan juga dapat dilakukan menggunakan prisma Roelofs yang dipasang
di depan teropong (pasangan untuk alat ukur sudut/teodolit Wild T2)
Dengan prisma Roelofs, bayangan matahari diurai menjadi empat bayangan yang simetris
dan perpotongannya membentuk wajik dan wajik tersebut titik-titik sudutnya ditepatkan
pada benang mendatar diafragma dan benang tegak diafragma.
Catatan :
Pengamatan menggunakan lingkaran matahari dan/atau prisma Roelofs berarti yang
dibidik adalah pusat matahari.
Bila alat yang digunakan, teropongnya tidak dilengkapi dengan lingkaran matahari
dan pengamatan tidak menggunakan prisma Roelofs, maka pengamatan dilakukan
dengan mengimpitkan tepi bayangan matahari ke garis mendatar diafragma dan
garis tegak diafragma
Pengamatan dengan cara ini harus dilakukan dengan 2 kedudukan yang saling
berseberangan (artinya yang dibidik bukan pusat matahari)
Hati-hati, bila alat tidak dilengkapi dengan filter maka matahari jangan dibidik
langsung tetapi bayangannya ditampung di kertas tadah
JALANNYA SINAR KARENA MELALUI LAPISAN
UDARA YANG TIDAK HOMOGEN
zs
zu r
u
hs
h
z : positip
h : negatip
PARALAKS
zu
zu = zs + p
zs
zs = zu - p
zu
zs ( 1/2 ) d
hs
hu
AT = Am + β
Am
( 1/2) d’
Am ( 1/2) d’
’ β' AT = Am + { β + ( 1/2) d’ }
β atau :
AT = Am + { β’ - ( 1/2) d’ }
T
Am
AT = Am - { β + ( 1/2) d’ }
atau :
’
β β' AT = Am - { β’ - ( 1/2) d’ }
( 1/2) d’
( 1/2) d’
d/2
Am
d’/2
Peralatan utama pada pengamatan matahari :
-Filter
-Prisma Roelofs
Bila tidak menggunakan prisma Roelofs atau tidak menggunakan
filter maka pengamatan tidak boleh dibidik secara langsung ke
matahari, tetapi dengan cara ditadah (dapat menggunakan kertas)
Pengamatan bisa langsung ke pusat matahari, bila menggunakan
prisma Roelofs atau bila alat dilengkapi dengan lingkaran matahari
Langkah pengukuran :
Dari almanak matahari tabel I diperoleh untuk pukul 07.00 WIB tanggal 26 - 4 - 1996
60 cm
6o 30’ S
7o 00’ S
Lintang titik P dihitung dengan cara :
= - 6o 40’ + ( 1 / 3 ) ( - 10’ )
= - 6o 40’ + ( - 3’ 20” )
= - 6o 43’ 20”
Cara menentukan rm :
Catatan :
Bila menggunakan sudut zenit maka untuk mencari rm , harus diubah terlebih
dahulu ke sudut miring ( m = 90o - z )
Menentukan cp :
Dapat dilakukan dengan 2 ( dua ) cara , tergantung dari data yang ada yaitu :
apakah diukur tekanan udara saat pengamatan ataukah diketahui tinggi tempat
pengamat .
694 0,913
696 0,916
750 0,917
800 0,911
Menentukan ct :
28 0,940
29 0,937
Untuk menentukan p cukup diambil pembulatan nilai h tersebut ; bila lebih besar
dari 30’ dibulatkan ke atas dan sebaliknya .
Contoh di atas menjadi : 41o , kemudian ambil dari tabel IX nilai p untuk 41o
huo p”
41o 6,6”
Jadi : p = 6,6”
Catatan : bila diukur sudut zenit maka harus diubah terlebih dahulu menjadi sudut
miring
Mencari nilai : ( 1/2 ) d , adalah dari tabel I kolom terakhir dengan pedoman tanggal ,
bulan dan tahun pengamatan
Untuk tanggal 26 April 1996 , diperoleh dari tabel besarnya adalah : 15’ 55”
Contoh :
B Q 290°01’02.0”
LB Q 110°00’56.0”
t = UT + E + λ - 24 t = UT + E + λ - 24
t = - 3h 33m 35,7s = - 53o 23’ 55,5” t = - 3h 27m 25,6s = - 51o 51’ 24,0”
B Q 290°01’02.0”
LB Q 110°00’56.0”
α1 + α 2
α = = 236°44'14.7"
2
Jadi Azimuth ke target rata rata dan titik A ke titik B adalah 236°44' 14.7"
Pemetaan Detail Planimetris
Alat bantunya antara lain prisma (untuk membuat sudut siku-siku, jalon
dan pen ukur)
Cara pengukurannya :
- metoda siku-siku
- metoda trilaterasi
Pada metoda siku-siku, titik detail diproyeksikan ke garis ukur (mis: garis
yangmenghubungkan titik kerangka dasar) dan kemudian diukur jaraknya,
baik pada garis ukur tersebut maupun terhadap titik-titik detailnya
(lihat gambar)
d
a’ b’ c’
A B
Yalon di c
Bayangan Yalon dI B
Unting-unting
jalon
A B
q
45o
c
cermin
‹ abc = 180o - 2α
mi
n
a’ a” b’ b” c’ c”
A B
Titik a’, a”, b’, b”, c’, c” ditentukan pada garis ukur
Kedua metoda tersebut selain untuk mendapatkan titik detail, juga dapat
digunakan untuk penentuan garis ukur
Diskusi
Bagaimana membuat garis tegak lurus pada garis ukur dari titik detail, bila
hanya menggunakan pita ukur ?
Bagaimana membuat garis tegak lurus di satu titik yang terletak pada garis
ukur bila hanya menggunakan pita ukur ?
R=4 m
R=5 m
P C
A B
3m
P’ Q’
a a
P Q
A B
A B
Contoh cara pembuatan format peta
Interval antara garis tepi luar dan dalam biasanya 2,5 cm dan tebal garis disesuaikan dengan
ukuran pena menurut kebutuhan
Grid ditentukan dengan tanda silang ukuran 1 cm dimana setiap perpotongan garis putus-putus
adalah (10 x 10) cm
Harga koordinat untuk absis (X) dan Ordinal (Y) merupakan bilangan bulat kelipatan besaran
skala, contoh untuk skala 1 : 1000 ; maka 10 cm = 100m
Legenda berisi ; simbol-simbol dan keterangan simbol, arah utara peta, skala numerik dan skala
grafis, sistem proyeksi dan harga koordinat titik kerangka, serta indek petunjuk lembar peta
Keterangan berisi; judul gambar, pembuat dan pemeriksa gambar, daerah administratip gambar,
waktu pembuatan dan sebagainya
Pembuatan Garis Grid & Plotting Titik cara Numerik
Diketahui :
Pengolahan :
2. PENGUKURAN DETAIL
3. PENGGAMBARAN
Hitungan pada kerangka yang berbentuk jaring dapat dilakukan dengan cara
kuadrat terkecil dan dapat juga dengan cara pendekatan.
Dalam kuliah ini yang akan diberikan adalah cara pendekatan sedangkan cara
kuadrat terkecil akan diberikan dalam matakuliah Hitung Perataan.
Untuk cara pendekatan terdapat beberapa metoda yang antara lain adalah
Metoda Dell.
Sebelum membahas masalah pemetaan metoda tacimetri, akan
dibahas terlebih dahulu kerangka dasar yang berbentuk jaring
menggunakan hitungan metoda Dell.
Metoda Dell
Prinsip dasar dari metoda Dell yaitu melakukan hitungan dengan cara
pengulangan (iterasi), sehingga hasil akhirnya akan memenuhi syarat
geometris dari jaring, baik untuk poligon maupun sipat datar.
Perataan metoda Dell untuk jaring poligon.
Pada jaring poligon tahapan hitungannya adalah sebagai berikut :
1. Hitungan perataan sudut
2. Hitungan perataan absis
3. Hitungan perataan ordinat
Dalam melakukan hitungannya, Dell membuat ketentuan sebagai berikut :
1. Hitungan dilakukan searah perputaran jarum jam
2. Setiap kring dalam jaringan tersebut dibagi dalam seksi-seksi yang
dibatasi oleh pertemuan kring
3. Untuk sudut, berat/bobot titik pertemuan kring/batas seksi adalah
setengah dari berat titik lainnya yang terdapat pada seksi tersebut
sehingga koreksi sudut yang terdapat pada suatu seksi sama besar
kecuali pada titik pertemuan antar seksi diberi koreksi setengahnya
4. Koreksi pada seksi yang merupakan batas antar kring sama besar
tapi mempunyai tanda yang berbeda
5. Koreksi untuk selisih absis dan selisih ordinat berbanding lurus dengan
jarak
6. Jumlah sudut di titik sentral harus tetap 360o
Tahapan hitungan jaring poligon
Sebelum melakukan perataan sudut, gambarkan terlebih dahulu jaringnya
sehingga jelas batas seksinya.
Bila jaring mempunyai titik sentral maka koreksi yang pertama adalah pada
titik sentral
Tahapan hitungan perataan sudut
1. Hitung salah penutup sudut setiap kring
2. Hitung jumlah sudut dari masing-masing seksi (ingat bahwa sudut di batas
seksi bernilai ½)
3. Hitung persentase seksi dalam setiap kring yaitu (jumlah titik seksi dibagi
jumlah titik kringny) dikali 100%; dengan pembulatan ke bawah pada seksi
batas dan sebaliknya
4. Hitung koreksi sudut dimulai dari salah penutup kring yang terbesar nilai
atau angkanya (ingat bahwa koreksi sudut berbanding terbalik terhadap
jarak)
5. Ulangi hitungan dimulai dari sisa salah penutup yang terbesar nilai atau
angkanya sampai semua sisa salah penutup kring menjadi nol
6. Jumlahkan koreksi dari setiap tahapan hitungan
7. Kontrol : - jumlah koreksi seksi setiap kring = - salah penutup kringnya
- koreksi di seksi batas sama besar tapi berbeda tanda
8. Tiap sudut mendapat koreksi sebesar nilai koreksi sudut seksi tersebut
dibagi banyaknya sudut di seksi tersebut (ingat bahwa sudut di batas
seksi mendapat nilai ½ dari setiap seksinya)
9. Lakukan kontrol syarat geometris untuk sudut segibanyak (ingat : bila
jaring mempunyai titik sentral, jumlah sudut di titik sentral harus 360o)
Tahapan hitungan perataan absis dan perataan ordinat
Untuk jaring sipat datar hampir sama dengan cara perataan absis/ordinat
dimana salah penutup absis/ordinat diganti dengan salah penutup beda
tinggi dan koreksi absis/ordinat diganti dengan koreksi beda tinggi
Contoh jaring poligon
b
J A 2
11 13
k
h 10 12 3 C
g 7
9 8 6 4
i F d
5
e
FJ 3 43 + 13 + 2 + 15
I JA 2 29 + 9 + 2 + 11
AF 2 28 + 8 - 6 + 2 0 + 4
Σ 7 100 -30 + 30 0 - 6 - 6 + 6 0 0 0 + 30
FA 2 28 - 8 + 6 - 2 0 - 4
II AC 2 29 + 7 + 1 + 8
CF 3 43 + 10 + 1 + 11
Σ 7 100 -15 - 8 - 23 + 23 0 - 2 - 2 + 2 0 + 15
Koreksi Sudut
2 7’ (+4/2) x 1 =+2 +2
FJ 8 (+15/3)x1/2 = + 2,5 +2
9 (+15/3)x1 =+5 +5
I
3 10 (+15/3)x1 =+5 +5
JA 11 (+11/2)x1/2 = + 2,7 +3
2 12 (+11/2)x1 = + 5,5 +5
2 7 (-4/2) x 1 =-2 -2
AC 1 (+8/2)x1/2 = + 2 +2
2 2 (+8/2)x1 =+4 +4
II
V=+ 8 3 (+8/2)x1/2 = + 2 +2
CF 3 (+11/3)x1/2 = + 1,8 +2
4 (+11/3)x1 = + 3,6 +4
3 5 (+11/3)x1 = + 3,6 +4
27 43 49
g Σ + 0,128 + 0,046
Titik Sudut Koreksi Sudut Jur Jarak ∆X ∆Y
F
82 06 25
e Σ + 0,098 + 0,062
Perataan Absis
Kring Sek Jarak % SP K SPP K SPP K SPP K SPP K SPP K SPP K SPP Kor.
si
150,80 32 - 41 +46 - 15 + 5 - 2 +1 0 - 6
F
A
101,70 21 - 27 - 10 - 1 0 - 38
I A
J
225,44 47 - 60 - 21 - 2 -1 - 84
J
F
477,94 100 +128 -128 0 +46 +46 - 46 0 + 5 + 5 - 5 0 + 1 + 1 -1 0 - 128
Σ
157,22 43 - 60 - 6 - 1 - 67
F
C
109,18 24 - 33 - 4 0 - 37
II C
A
Kring Seksi Jarak % SP K SPP K SPP K SPP K SPP K SPP K SPP Kor
150,80 32 +20 - 21 +7 - 2 +1 0 + 5
FA
101,70 21 - 14 - 2 0 - 16
I AJ
225,44 47 - 31 - 3 -1 - 35
JF
197,22 43 - 27 - 9 - 1 - 37
FC
109,18 24 - 15 - 5 0 - 20
II CA
150,80 33 - 20 +21 - 7 + 2 - 1 0 - 5
AF
Kx1 = - 6 Σ 150,80
Kx2 = - 38 Σ 101,70
Kx3 = - 84 Σ 225,44
Pembagian Koreksi Absis
Kx4 = - 67 Σ 197,22
Kx5 = - 37 Σ 109,18
Kx6 = + 6 Σ 150,80
Pembagian Koreksi Ordinat
Kring Seksi Sisi Jarak Cara Pembagian Koreksi Koreksi
Ky1 = + 5 Σ 150,80
Ky2 = - 16 Σ 101,70
Ky3 = - 35 Σ 225,44
Pembagian Koreksi Absis
Ky4 = - 37 Σ 197,22
Ky5 = - 20 Σ 109,18
Ky6 = - 5 Σ 150,80
Laboratorium Pemetaan Sistematik & Rekyasa Jurusan Teknik Geodesi FTSP - ITB
Hal. : ..........
FORMULIR HITUNGAN KOORDINAT TITIK POLIGON
Dihitung Oleh : ................................. Nrp. : .................................... Alat Hitung : .................................................... Tanggal : ................................................
Nama Sudut Horizontal Koreksi Sudut Jurusan Jarak Selisih Absis Koreksi Selisih Ordinat Koreksi Ko o rd in a t Nama
Titik (β ) Sudut ( α ) Horizontal ∆X = D sin α ∆X ∆Y = D Cos α ∆Y X ( Absis ) Y ( Ordinat ) Titik
o o
( --- -- ' --.-- " ) ( --.-- " ) ( --- -- ' --.-- " ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter )
F 0 0 F
27 43 49 84,00 39,086 -0.003 74.352 0.003
g 133 22 06 2 39.083 20228.94 g
341 05 57 66,80 -21.639 -0.003 63.198 0,002
A 94 50 12 4 17.441 20328.76 A
255 56 13 49,48 -47.997 -0.018 -12.023 -0.008
k 206 30 18 5 -30.574 20294.41 k
282 26 36 52,22 -50.993 -0.02 11.252 -0.008
J 131 11 30 6 -81.587 20331.02 J
233 38 12 45,26 -36.447 -0.017 -26.835 -0.007
h 105 17 57 5 -118.041 20363.01 h
158 56 14 91,48 32.877 -0.034 -85.368 -0.014
i 127 06 57 5 -85.208 20396.89 i
106 03 16 88,70 85.241 -0.033 -24.53 -0.014
F 101 40 30 3 0 0 F
27 43 49
g g
Laboratorium Pemetaan Sistematik & Rekyasa Jurusan Teknik Geodesi FTSP - ITB
Hal. : ..........
FORMULIR HITUNGAN KOORDINAT TITIK POLIGON
Dihitung Oleh : ................................. Nrp. : .................................... Alat Hitung : .................................................... Tanggal : ................................................
Nama Sudut Horizontal Koreksi Sudut Jurusan Jarak Selisih Absis Koreksi Selisih Ordinat Koreksi Ko o rd in a t Nama
Titik (β ) Sudut ( α ) Horizontal ∆X = D sin α ∆X ∆Y = D Cos α ∆Y X ( Absis ) Y ( Ordinat ) Titik
o o
( --- -- ' --.-- " ) ( --.-- " ) ( --- -- ' --.-- " ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter ) ( meter )
F 0 0 F
82 06 25 61,14 60.56 -0.021 8.396 -0.012
e 153 02 30 4 60.539 8.384 e
55 08 59 75,02 61.565 -0.025 42.869 -0.014
d 124 58 12 4 122.079 51.239 d
0 07 15 61,06 0.129 -0.021 61.06 -0.011
C 110 39 24 4 122.187 112.288 C
290 46 43 68,58 -64.119 -0.023 24.329 -0.013
b 160 34 21 4 58.045 136.604 b
271 21 08 40,60 -40.589 -0.014 0.958 -0.007
A 69 44 48 1 17.442 137.555 A
161 05 57 66,80 21.638 0.003 -63.198 -0.002
g 226 37 54 -2 39.083 74.355 g
207 43 49 84,00 -39.086 0.003 -74.352 -0.003
F 54 22 36 0 0 0 F
82 06 25
e e
PRINSIP PENGUKURAN CARA TACIMETRI
Z
Um
zPa APa
detail
ta
a
P
Alat pada titik kerangka dasar
zTa ATa
zTP
detail
ATP
a
T
Alat di luar titik kerangka dasar
P
Di a ditegakkan rambu dan dicatat bacaan
ketiga benang diafragma alat .
Titik Kerangka Dasar Selain itu hal yang sama juga dilakukan ke
titik kerangka dasar .
Pada alat selain dicatat asimut ke titik detail dan
titik kerangka dasar , juga dicatat bacaan sudut
tegaknya serta tinggi alat .
Alat yang umum digunakan untuk pemetaan metoda tacimetri adalah alat
teodolit kompas misalnya wild T0.
Bagian alat dan fungsinya umumnya sama saja dengan teodolit biasa (lihat
bahan kuliah Ilmu Ukur Tanah I), tetapi sesuai dengan namanya maka alat
teodolit kompas dilengkapi dengan kompas.
Sistem pembacaan juga mempunyai prinsip yang sama dengan sistem
pembacaan yang telah diterangkan dalam kuliah Ilmu Ukur Tanah I.
Di bawah ini akan ditunjukkan contoh bacaan salah satu alat teodolit kompas
yaitu wild T0.
Tombol mikrometer
54o 38,0’
50 60 35
Hampir sama dengan sistem pembacaan alat wild T2 yang telah diberikan
pada kuliah Ilmu Ukur Tanah I bahwa pembacaan dengan sistem koinsidensi
dengan mengimpitkan garis skala atas dan bawah menggunakan tombol
mikrometernya.
16 15 14
14 15 16
d’ b b’ t
x
m
h
i
A
d
PRINSIP TACIMETRI
d’ = 100 ( a’ - b’ )
karena : ( m + z ) = 90o
atau : h = 50 ( a - b ) sin 2m + ( i - t )
atau : h = 50 ( a - b ) sin 2z + ( i - t )
Tempat
Alat di atas
Horisontal
Alat
Magnit )
( Asimut
( meter )
( meter )
( meter )
( meter )
Vertikal
( Zenit )
Bidikan
Tengah
Bawah
Atas
titik
B A 1,51 1,735 2,347 1,123 250°00’ 90°00’
C 1,500 1,840 1,160 91°21’ 89°01’
Deklinasi magnit adalah penyimpangan arah utara magnit terhadap arah utara geografi
Ug Ug
Um Um
δT
δB
Positif Negatif
Ug = Um + δ Ug= Um - δ
δ = f (φ)
Garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai deklinasi magnit yang sama disebut : garis isogon
ATRAKSI LOKAL
Atraksi lokal adalah penyimpangan arah utara magnit akibat gangguan benda logam
Untuk mengetahui adanya atraksi lokal di suatu tempat dapat dideteksi dengan cara pengukuran azimut
magnit bolak balik pada suatu garis
Bila selisih pengukuran tersebut tidak sama dengan 180o berarti di daerah tersebut terdapat atraksi lokal
Contoh
SISI AZIMUT KOREKSI AZIMUT
UKURAN YANG
BENAR
AB 45O 45’ 0 di titik A 45O 45’
BA 226O 10’ -25’ di titik B 225O 45’
BC 96O 55’ -25’ di titik B 96O 30’
CB 277O 05’ -35’ di titik C 276O 30’
CD 29O 45’ -35’ di titik C 29O 10’
DC 209O 10’ 0 di titik D 209O 10’
DE 324O 48’ 0 di titik D 324O 48’
ED 144O 48’ 0 di titik E 144O 48’
Umumnya kesalahan karena alam seperti deklinasi magnit dan atraksi lokal serta
kesalahan alat akan menimbulkan suatu besaran koreksi yang dikenal dengan
koreksi Bousolle yaitu besaran yang harus diberikan pada azimut magnit ukuran
agar diperoleh azimut geografi
2. C = A – A mg
dimana : A = α + γ
α = sudut jurusan
γ = konvergensi meredian
KONTUR
Proyeksi inilah
yang diperkecil
digambar di peta
2. Di daerah yang curam, kontur lebih rapat dan sebaliknya
curam
landai
3. Di daerah yang sangat curam (terjal), kontur seakan segaris (saling berimpit)
4. Kontur pada jalan yang tidak datar, cembung ke arah menurunnya jalan ; sedangkan
kontur pada aliran air, cembung ke arah datangnya air
sungai
jalan
aliran air
menurun
5. Kontur selalu menutup kecuali pada tepi peta; dengan demikian maka :
- kontur tidak mungkin saling berpotongan
- kontur tidak mungkin bercabang atau sebaliknya
6. Kontur pada bukit dan lembah, bentuknya hampir sama dan yang
membedakannya adalah tinggi konturnya; pada bukit, yang di dalam
lebih tinggi dan sebaliknya pada lembah
Kontur gradien (β) adalah sudut antara permukaan tanah dengan garis mendatar
1. Cara profil
2. Cara radial
3. Cara kisi
Interpolasi kontur dapat dilakukan dengan beberapa cara
A = 603,2 m D = 604,8
B = 598,4 m C = 601,6 m
600,0
Kedua : dengan cara numeris
A = 603,2 m D = 604,8
P Q
B = 598,4 m C = 601,6 m
600,0
∆hBA
∆hBP
B P A
BP : BA = ∆hBP : ∆hBA
BP = (∆hBP : ∆hBA) x BA
= (1,6 : 4,8) x BA
= (1/3) x BA
Cara ini dilakukan dengan bantuan garis-garis yang sejajar dengan interval yang sama
yang dibuat pada kertas yang transparan
Garis-garis yang sejajar tersebut diberi nilai tinggi sedemikian rupa agar nilai tinggi titik
yang ada, berada di antaranya
Misal untuk titik A dan B, titik A dan B sudah diplot di kertas gambar.
Pada kertas transparan tersebut, tentukan titik B sesuai dengan keadaan sebenarnya
Impitkan titik B yang di kertas transparan dan yang di kertas gambar, kemudian
dengan berpusat pada titik B, putar kertas transparan tersebut sehingga titik A
berada pada posisi sebenarnya di antara garis-garis yang sejajar tersebut.
Pada posisi tersebut, garis hubung antara titik A dan B akan berpotongan salah
satunya dengan garis yang sejajar yang mempunyai nilai tinggi sebesar 600,0 m
Tandai titik tersebut di kertas gambar sebagai titik yang akan dilalui kontur dengan
nilai tinggi 600,0 m
604,0
603,0
A
602,0
601,0
600,0
P
599,0
B 598,0
Titik yang lain (pada contoh yaitu titik Q dan R) dilakukan dengan cara yang sama
PENGGAMBARAN
Bila nilai garis grid telah ditentukan, maka dipilih/dicari garis grid yang menjadi
batas bagi seluruh daerah pemetaan.
Jarak dari titik kerangka dasar terhadap garis grid terdekat adalah :
(X A − X O ) (YA − YO )
dx = IG dy = IG
SNG SNG
dimana :
Penggambaran titik detail berdasarkan besaran azimut magnetik atau sudut serta
jarak mendatar yang mengacu pada titik kerangka dasar
Bila menggunakan acuan arah utara magnetik, maka pada setiap tempat alat
berdiri ditarik garis sejajar sumbu Y positif, di mana dianggap bahwa arah
utara magnetik searah dengan sumbu Y positif.
Selanjutnya, skala 0° busur derajat ditempatkan pada arah tersebut, dengan
pusat busur derajat pada titik yang dimaksud (misal titik A).
Bila menggunakan acuan arah titik kerangka lainnya, maka garis ke titik
yang dimaksud bisa/boleh dibuat menjadi arah 0° skala busur derajat, dan
penggambarannya berdasarkan sudut yang dibentuknya
B //sb.Y B
0° 0°
1 1
2 2
A 3 A 3
(a) (b)
Acuan utara magnetik Acuan arah titik lain
Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesalahan penggambaran kembali obyek muka
bumi, mengingat titik yang digambarkan akan berjumlah banyak
BEBERAPA ILUSTRASI PENGGAMBARAN
Diketahui :
Pengolahan :
Orientasi Orientasi
arah arah
utara magnetik titik kerangka
Catatan :
1. Jarak tersebut sudah hasil olahan dari metoda tacimetri
2. Metoda yang digunakan adalah salah satu saja
(bisa hanya dengan orientasi arah utara magnit atau
bisa hanya dengan orientasi arah titik kerangka)
Biasanya yang dipakai adalah dengan orientasi arah
utara karena umumnya yang dipakai teodolit kompas
Orientasi utara magnetik
1. Buat garis dari titik BPN 10 ke arah titik kerangka yang menjadi acuan (d.h.i. BPN 09)
2. Letakkan busur derajat dengan pusat di titik BPN 10 dan bacaan sebesar bacaan
skala lingkaran mendatar ke titik acuan (contoh: 218° 56’) tepat pada garis tersebut
3. Tandai semua arah ke titik detail sesuai dengan bacaan skala lingkaran mendatar
4. Ukurkan jarak pada garis ke arah setiap titik detail sesuai dengan skalanya
5. Tarik garis penghubung titik-titik detail sesuai dengan keterangan data dan sketsa
6. Lengkapi garis-garis yang belum terbentuk sesuai dengan obyek ukuran
Cara seperti ini lebih cepat dari pada cara mempergunakan sudut mendatar
Dari kedua cara akan diperoleh hasil yang diinginkan sebagai gambar
kasar ( Manuskrip )
Tata Letak ( Lay Out ) Peta
(antara lain )
Muka Peta
Informasi Tepi
- Arah utara
- Skala peta
- Legenda ; yang menerangkan arti setiap simbol yang digunakan
- Sistem proyeksi peta
- Tanggal pembuatan
- Dan lain-lain
PENENTUAN LUAS
1. Cara numeris
Angka ukur dapat pula berupa koordinat dari titik batas daerah yang
bersangkutan
2. Cara grafis
Luas ditentukan dari peta dengan bantuan alat kertas transparan yang
berkotak-kotak atau bergaris sejajar
Biasanya digunakan planimeter dan cara ini disebut cara grafis mekanis
DASAR PENENTUAN LUAS
Suatu daerah yang akan ditentukan luasnya, dapat merupakan daerah yang
beraturan (dibatasi garis-garis lurus) dan dapat pula berupa daerah yang tak
beraturan (dibatasi garis-garis lengkung)
Bila dibatasi oleh garis-garis lurus maka bentuk yang dipakai sebagai dasar
hitungan luas adalah bentuk segitiga dan/atau trapesium
Contoh :
Untuk menentukan luas suatu daerah dengan metoda segitiga maka daerah
tersebut dibagi menjadi bentuk-bentuk segitiga, kemudian dijumlahkan luas
segitiga yang terbentuk tersebut
Bila diukur semua sisi-sisi segitiga tersebut maka masing-masing segitiga
ditentukan luasnya dengan rumus :
E D
β2
β1 β3
T
β5 β4
A
C
B
Daerah tersebut dapat juga ditentukan luasnya dengan metoda segitiga yang
lain, misalnya dengan mengukur jarak mendatar TA, TB, TC, TD dan TE serta
sudut mendatar yang diapitnya ( β1, β2, β3, β4 dan β5 )
Luas masing-masing segitiga ditentukan dengan rumus :
2L = ac sin β
A B’
F’ C’
E’ D
B
C
Diukur jarak mendatar AF’, F’E’, E’D, AB’, B’C’, C’D, BB’, CC’, EE’ dan FF’
Luas daerah tersebut akan diperoleh dengan menjumlahkan luas segitiga dan
luas trapesium berikut :
2 x luas segitiga AB’B = AB’ x BB’
2 x luas trapesium BCC’B’ = ( BB’ + CC’ ) x B’C’
2 x luas segitiga CDC’ = DC’ x CC’
2 x luas segitiga DEE’ = DE’ x EE’
2 x luas trapesium EE’F’F = ( EE’ + FF’ ) x E’F’
2 x luas segitiga AFF’ = AF’ x FF’
Metoda yang mana yang dipilih tergantung dari peralatan yang tersedia dan
keadaan lapangan
Yang penting adalah diusahakan agar jumlah ukuran sesedikit mungkin
Metoda koordinat
Y
B
X
A’ B’ C’
Bila sumbu Y yang menjadi basis trapesium maka akan diperoleh rumus umum :
Rumus di atas berlaku bila urutan koordinat secara geometrik dimasukkan searah
dengan perputaran jarum jam
Bila kedua rumus di atas diuraikan lebih lanjut maka akan menghasilkan
rumus yang sama yaitu :
2L = Σ(XiYi+1) – Σ(Xi+1Yi)
3. Perputaran bebas
Contoh :
A B
XA YA
XB YB
YA.XB XA.YB
C D XD YD
YB.XD XB.YD
XC YC
YD.XC XD.YC
XA YA
Luas = Σkanan - Σkiri : 2 YC.XA XC.YA
Σkiri Σkanan
Penentuan luas untuk daerah yang tidak beraturan dilakukan secara grafis
Pada cara kisi, luas daerah yang akan ditentukan diukur dengan banyaknya
kotak/bujur sangkar yang melingkupi daerah tersebut.
Bila satu kotak ukurannya 1 cm x 1 cm maka luasnya 1 cm2 untuk skala 1:1
Bila skala petanya 1: 500 maka nilai 1 kotak tersebut adalah 1 cm2 x 5002
atau 25 m2
Pada cara lajur, prinsip pemakaiannya sama dengan cara kisi tetapi disini
yang digunakan adalah rumus trapesium
Planimeter biasanya dipakai untuk penentuan luas terutama pada daerah yang
bentuknya tidak beraturan.
Bagian yang penting pada Planimeter adalah roda ukurnya, karena luasnya
suatu gambar bergantung pada banyaknya perputaran roda ukurnya yang
dibaca pada piringan skala, skala roda ukur dan noniusnya.
Yang umum digunakan adalah Planimeter Kutub, sehingga yang akan dibahas
lebih lanjut adalah Planimeter Kutub.
Planimeter Kutub dan bagian-bagiannya
3
4
7
5 1
11
10
9
6
8
Keterangan Gambar
2 Tangkai kutub
3 Kutub
5 Kunci lengan edar A ( bila A terkunci, penggerak halus bisa berfungsi untuk
penepatan setelan lengan edar)
9. Piringan skala
E1
E2
C
K
Untuk mengukur luas daerah ABCDA, jarum/lensa edar digerakkan sepanjang batas
daerah dari A ke B, C, D dan kembali ke A.
Pembacaan planimeter
1. Angka 0 s/d 9 pada piringan skala, menunjukkan berapa kali roda ukur berputar
2. Angka 0 s/d 9 pada roda ukur, masing-masing menunjukkan 1/10 putaran roda ukur
3. Masing-masing jarak antara 2 angka yang berdekatan pada roda ukur dibagi atas
10 bagian lagi, sehingga 1 garis menunjukkan 1/100 putaran roda ukur
4. Nonius menambah ketelitian pembacaan roda ukur sampai 1/1000 putaran roda ukur
1:1000 15,50 cm 1 ha
1:2500 9,92 cm 4 ha
1:4000 9,69 cm 10 ha
1. Stel lengan edar pada angka 15,50 cm (berdasarkan daftar lengan edar)
2. Letakkan kutub sedemikian agar gambar dapat dijalani jarum/lensa edar dengan bebas
3. Letakkan jarum/lensa edar di satu titik pada gambar dan tandai titik tersebut
4. Catat bacaan awal (atau nolkan bacaan awal bila alat dilengkapi tombol menolkan bacaan)
5. Jalankan jarum/lensa edar mengelilingi daerah tersebut sampai kembali ke titik semula
(putaran searah dengan perputaran jarum jam)
6. Catat bacaan akhir
7. Misal, selisih bacaan akhir dan awal adalah 6133 berarti roda ukur berputar 6,133 putaran
8. Maka luas gambar adalah 6,133 x 1 ha = 6,133 ha (faktor pengali dari daftar lengan edar)
Menghitung luas tanpa daftar lengan edar
1. Ambil/pilih kotak grid pada peta terkait atau buat kotak di peta tersebut
3. Letakkan jarum/lensa edar pada titik tersebut dan catat bacaannya sebagai bacaan awal
4. Kelilingi kotak tersebut sampai kembali ke titik semula, dan catat bacaan akhirnya
8. Daerah yang akan ditentukan luasnya dikelilingi, dan dicatat bacaan awal dan akhirnya
10. Bila skala petanya 1;5000, maka luas daerah tersebut adalah :
- Bila gambar terlalu luas sehingga tidak terjangkau dengan satu kedudukan kutub
maka hitungan dilakukan dengan membagi daerah tersebut atas beberapa bagian
Keuntungan dan kerugian menggunakan daftar lengan edar dan tanpa daftar lengan edar
-Jangkauan maksimal
1
1 2
9
3
8
4
7
5 6
10
nonius
Bacaan : 4 1 5 5
roda ukur
Volume
Metoda ini dapat dan biasa digunakan untuk hitungan volume daerah
yang dibatasi oleh kontur ataupun yang dibatasi oleh penampang/profil
melintang
B
A
A D
C
B
A
Karena biasanya tidak hanya dibatasi oleh 2 kontur atau 2 profil melintang yang
berdekatan, maka berlaku rumus umum sebagai berikut :
V = { 1/2 ( LA + LD ) + LB + LC } x I
10 12 13
11
12 19 13 12 21
6 10
7
Tentukanlah volume daerah yang dibatasi oleh kedua profil melintang di atas
bila jarak antar kedua profil tersebut adalah 50 meter dan angka yang tertulis
pada skets di atas adalah dalam satuan meter .
Selain dari kontur dan penampang/profil melintang, volume juga dapat ditentukan
dari jaringan kisi
Jaringan kisi dapat berupa bentuk empat persegi panjang, bujur sangkar ataupun
segitiga.
Setiap titik sudutnya ditentukan tingginya, biasanya dengan metoda tinggi garis
bidik menggunakan alat sipat datar
Ilustrasi Bila tinggi tiap titik = ti dan tinggi dasar yang dijadikan acuan
adalah t, maka volume kisi A adalah :
vA = [¼{(t1 – t) + (t2 – t) + (t6 – t) + (t5 – t)}][LA]
Bila bagian dasar dari rencana galian tanah tersebut akan dibuat
mendatar pada tinggi 100 meter, tentukanlah volume tanah yang
digali (panjang sisi bujur sangkar tersebut adalah 20 meter)
Σ 175,02
V = (202 x 175,02) : 4 = 17502 m3
Pemetaan Cara Grafis
Peralatan :
- Meja Gambar + Statip (untuk menggambar)
- Garpu Penegak + Unting-Unting (untuk sentering)
- Nivo Tabung (untuk mendatarkan meja)
- Kompas (untuk orientasi meja)
- Alidade + Mistar Berskala (untuk membidik)
-Target/Rambu (sebagai bidikan)
Alidade :
- Sederhana
- Berteropong
Alidade Sederhana :
- Dengan Pembidik Tetap
- Dengan Pembidik Belakang Yang Bisa Digeser
Untuk pembuatan kerangka dan pemetaan detail planimetrisnya dapat dilakukan dengan
antara lain metoda poligon (untuk kerangka dasar) dan ikatan ke muka (untuk detail)
e
a d
b c e
a
d
E b c
A A D
a a d
b c b c
B C
e
a d
b c e
a
d
E b c
1 2
A A D
a a
1’ 2’ d
b c b c
B C
pembidik muka
tar
is
m
pembidik belakang
kawat pembidik
pembidik belakang
(berskala)
lubang pengintai
tar
is
m
15
Pembidik Berskala
Prinsip Mengukur Tinggi atau Beda Tinggi Dengan Alidade Sederhana Berskala :
b
i B
A HB = HA + i - b
HB
HA
MSL
a b
∆hAB = a - b
∆hAB
A
B
HB = HA + a- b
- Tidak Langsung (Garis Bidik Miring) :
- Menggunakan Target
t
X
B
n
i
A HB
HA
MSL
D
HB = HA + i + X – t = HA + i + (n/L)D – t
b’
s
n’ b X’
n B X
∆hAB
i
A HB
HA
MSL
D
HB = HA + ∆hAB
Untuk menentukan jarak dari persamaan 1 dan 2 :
(n/L)D + i – b = (n’/L)D + i – b’
{(n’ – n)/L}D = b’ – b
D = {L(b’ – b} : (n’ – n)
atau :
D = Ls : (n’ – n)
Contoh
PI CT
TC
O
Pematokan titik utama pada lingkaran
∆
PI CT
D C
M
∆/2
TC ∆/2
R O
B
∆ = αDC - αAB
αDC = arc tan {(XC – XD):(YC – YD)}
αAB = arc tan {(XB – XA):(YB – YA)}
A
PI-TC = PI-CT = R tan (∆/2)
TC X’ X”
Ke PI
s Y’
Y”
s
δ∆
δ∆
δ∆ = (s x 360o) : 2 π R
X’ = R sin (δ∆) Y’ = R – R cos (δ∆)
dst
Pematokan titik detail pada lingkaran dengan metoda selisih absis sama panjang
TC s X’ s X”
Ke PI
Y’
Y”
dst
Pematokan titik detail pada lingkaran dengan metoda perpanjangan tali busur
δ∆/2
TC I’
δ∆
Ke PI
s I
II’
s
II
δ∆/2 δ∆/2
δ∆ δ∆ 90o - δ∆/2
dst
Pematokan titik detail pada lingkaran dengan metoda koordinat polar
(perhatikan metoda perpanjangan tali busur)
PI
III
II s
s
I
3δ∆/2
δ∆
s
δ∆/2
TC P
Pematokan titik detail pada lingkaran dengan metoda poligon
(perhatikan metoda perpanjangan tali busur)
PI
III
II s
s
I
180o - δ∆
s
90o - δ∆/2
TC P
Bila koordinat A, B, C , D dan jari-jari lingkaran diketahui
Bagaimana langkah hitungan menentukan koordinat titik-titik utama lingkaran ?
PI CT
C D
TC O
A
Pematokan titik yang hilang
Titik A dan B diketahui koordinatnya
Titik A masih ada di lapangan tetapi titik B telah hilang
Untuk menentukan titik B di lapangan , caranya adalah :
Tentukan jarak AB ( D ) dan sudut jurusan AB ( α )
Tempatkan teodolit kompas di titik A & arahkan teropong
pada bacaan sebesar α , kemudian tarik pita ukur dari titik
A sebesar D . Dengan demikian diperoleh posisi titik B .
B
α D
A
( XA ; YA )
Cara yang lebih baik / lebih teliti
Titik A , P dan B diketahui koordinatnya
Y
D
A
Tentukan jarak AB ( D ) dan sudut jurusan AB ( αAB ) serta sudut
jurusan AP (αAP )