Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/347133689

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku dalam Organisasi

Chapter · September 2020

CITATIONS READS
0 707

1 author:

Nopriadi Saputra
Binus University
98 PUBLICATIONS   50 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Personal Resilience View project

PENGARUH SERVANT LEADERSHIP DAN TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA HOTEL CIPUTRA JAKARTA View project

All content following this page was uploaded by Nopriadi Saputra on 15 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer : Teori,
Perspektif dan Aplikasi
Penulis: Aria Mulyapradana, Chichi Andriani, Dewa Gede Satriawan,
Enggal Sriwardiningsih, Gede Agus Siswadi, Julisar,
Karyaningsih, Khristian Edi Nugroho Soebandrija,
Mohammad Ichsan, Muhammad Arif Surana,
Muhammad Jamil, Ni Desak Made Santi Diwyarthi,
Nopriadi Saputra, Nurul Aziza, Ramon Arthur Ferry Tumiwa,
Refika, T. M. Haekal, Tutik, Vidyarini Dwita,
Wenefrida Ardhian Ayu Hardiani, Yuli Agustina.

Editor: GCAINDO

Tata letak: GCAINDO


Desain sampul: GCAINDO

Diterbitkan melalui:
Diandra Kreatif/Mirra Buana Media
(Imprint Grup Penerbitan CV. Diandra Primamitra Media)
Anggota IKAPI No. 062/DIY/08)
Jl. Melati No. 171, Sambilegi Baru Kidul
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta
Telepon: (0274) 2801996 , Fax: (0274) 485222
Email: diandracreative@gmail.com
Website: www.diandracreative.com

Cetakan Pertama: 2020


Yogyakarta, Diandra Kreatif 2020
xxi+385 halaman, 150 mm x 230 mm
ISBN: 978-623-6571-97-2

Hak cipta © 2020 pada penulis.


Hak cipta dilindungi undang-undang.
Gambar pada sampul depan dan belakang: undrop79 (Pixabay).

Disclaimer: Sebagai Editor, GCAINDO sebatas melakukan proof-


reading, cek kesalahan tulis, format tulisan, dan layout setting untuk
tujuan kerapian dan artistik buku. Isi tulisan sepenuhnya adalah
tanggung jawab setiap Penulis Bab. GCAINDO dan Penerbit tidak
bertanggung jawab atas isi tulisan setiap Penulis.
12
12 MANAJEMEN FAKTOR INDIVIDU
DAN PERILAKU DALAM ORGANISASI

Dr. Nopriadi Saputra, S.T., M.M.

Two ways to influence human behavior: you can manipulate it or you can
inspire it.

— Simon Sinek

12.1 PERILAKU DALAM ORGANISASI: APA, MENGAPA, DAN


BAGAIMANA
Setidaknya ada lima alasan utama mengapa perilaku orang-orang yang
berada dalam suatu organisasi bisnis itu penting untuk dipelajari dan
dikelola dengan baik. Alasan pertama, karena perilaku adalah sumber
terhulu bisnis dari suatu perusahaan. Berkembangtidaknya bisnis suatu
organisasi sangat tergantung pada banyak-sedikitnya pelanggan atau
pengguna. Banyak sedikit pengguna sangat tergantung pada berkualitas
atau tidak produk atau jasa yang dihasilkan. Berkualitas atas tidak produk
sangat tergantung pada konsisten atau tidak proses produksi. Konsisten
atau tidak proses produksi sangat tergantung dari kualitas orang-orang
yang melakukannya. Kualitas orang-orang sangat ditentukan oleh perilaku
mereka dalam organisasi. Jadi perilaku merupakan sumber terhulu yang
harus diperhatikan agar menghasilkan bisnis yang bertumbuh bagi
organisasi.

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 161


Alasan kedua, karena perilaku adalah basis tata kelola terhadap
orang-orang dalam organisasi. Organisasi tidak bisa mengelola pikiran
maupun perasaan seseorang terhadap pekerjaan dan pun terhadap
perusahaan. Selama pikiran dan/atau perasaan tersebut tersembunyi di
dalam diri mereka. Organisasi baru dapat mengelola atau mengaturnya,
setelah pikiran dan/atau perasaan tersebut ditampilkan menjadi perilaku.
Apakah itu lewat perbuatan maupun lewat perkataan. Perbuatan dan
perkataanlah yang bisa dikelola agar sejalan dan mendukung organisasi
dalam menjalankan bisnisnya untuk mencapai tujuan utama. Pemilik
maupun pengelola bisnis mengelola bisnis lewat mengenali,
mengelompokkan, mengembangkan, mengarahkan, memelihara, dan
menghilangkan perilaku dari orang-orang yang berada di dalam
organsiasi.

Alasan ketiga, karena perilaku adalah ukuran efektivitas peran.


Efektivitas organsiasi terbangun atas efektivitas dari seluruh unit atau
bagian atau departemen atau divisi yang ada di dalamnya. Bila seluruh
divisi atau unit atau bagian atau departemen tersebut efektif berperan
maka efektiflah organisasi tersebut mencapai tujuannya. Efektivitas divisi
atau unit atau bagian atau departemen sangat tergantung dari efektivitas
semua kelompok yang ada di dalamnnya. Bila semua kelompok yang ada
tersebut efektif berperan, maka efektiflah divisi atau unit atau bagian atau
departemen tersebut mencapai tujuannya. Dan akhirnya, efektivitas
kelompok, sangat tergantung pada berperan atau tidaknya orang-orang
yang ada di dalam kelompok tersebut. Semakin semua orang berperan,
berkontribusi secara selaras, maka akan semakin efektif kelompok
tersebut mencapai tujuan atau sasarannya. Peran atau tidaknya individu
dalam suatu kelompok diukur dari seberapa banyak perilaku produktif
yang ditampilkan untuk mendukung pencapaian tujuan kelompok. Atau
perilaku kontra-produktif apa saja yang dihilangkan dari menghalangi
kelompok dalam mencapai tujuan. Karena itu perilaku merupakan ukuran
dari efektivitas peran yang akan menentukan efektivitas kelompok, unit
atau divisi atau departemen, dan organsiasi secara keseluruhan.

162 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Alasan keempat, karena perilaku adalah indikator budaya
perusahaan. Budaya perusahaan dikembangkan untuk bukan hanya
memudahkan atau mendukung organisasi untuk mencapai sasaran dalam
jangka pendek, tetapi juga menjamin keberlanjutan bisnis organisasi
dalam jangka panjang. Menurut buku Organizational Culture and
Leadership (Schein, 2010), budaya perusahaan dapat dilihat dari empat
perspektif, yaitu: ketersebarluasan (breadth), kedalaman (depth),
kestabilan struktural (structural stability), dan keterpaduan secara sistem
(integrated). Ketersebarluasan berarti perilaku-perilaku yang relevan
dengan tujuan organisasi dan berdampak terhadap keberlangsungan
bisnis telah diterapkan seluruh orang dalam organisasi. Mulai dari
manajemen puncak sampai dengan petugas operasional yang paling
terdepan. Mulai dari kantor pusat sampai dengan cabang terpelosok sekali
pun. Sementara kedalaman berarti perilaku-perilaku yang relevan dengn
tujuan organisasi dan keberlangsungan bisnis tersebut tumbuh
berkembang tidak hanya pada level perilaku semata, tapi lebih dalam lagi
sudah menjadi kebiasaan bahkan karakter dari orang-orang dalam
organisasi. Karena itu perilaku merupakan indikator dari perkembangan
budaya dalam organisasi.

Gambar 12.1 Perilaku dalam organisasi

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 163


Mengingat betapa pentingnya perilaku berperan dalam pengelolaan
bisnis suatu organisasi, maka penting bagi kita untuk menyamakan
persepsi terlebih dahulu mengenai definisi atau batasan dari perilaku.
Apakah perilaku itu sebenarnya? Berdasarkan defnisi berbagai referensi,
perilaku itu secara sederhana dapat dijelaskan dalam tiga hal, yaitu:
Pertama, perilaku itu dapat diamati atau observable. Perilaku
adalah dinamika yang terjadi pada seseorang yang dapat diamati secara
inderawi. Tidak membutuhkan peralatan atau teknologi tertentu untuk
untuk mengetahui perilaku seseorang dalam organisasi. Jika sesuatu tidak
dapat diamati secara indrawi—menggunakan panca indera, maka sesuatu
itu bukanlah perilaku. Pikiran, perasaan, sikap, emosi, persepsi, atau pun
asumsi bukanlah perilaku. Karena hal-hal tersebut terdapat dan terjadi di
dalam diri seseorang. Selama pikiran, perasaan, sikap, emosi, persepsi,
atau pun asumsi tidak ungkapkan atau dikomunikasikan oleh orang
tersebut kepada orang lain, maka selama itu pula hal-hal tersebut
bukanlah perilaku.

Kedua, perilaku dapat berupa perkataan dan/atau perbuatan.


Perilaku adalah sesuatu yang dapat ditemukenali atau diamati dengan
menggunakan panca indera. Apakah itu berupa bunyi maupun visual yang
diwahanakan dalam perkataan dan perbuatan seseorang. Perkataan atau
pun perbuatan yang ditampilkan seseorang dapat merupakan inisiatif yang
timbul atas pikiran atau perasaan orang tersebut maupun juga merupakan
respon dari seseorang terhadap stimulus yang dimunculkan oleh orang
lain atau oleh lingkungannya. Tidak berkata-kata atau tidak berbuat apa
pun ketika seseorang merespon sesuatu, maka hal tersebut juga
merupakan perilaku.

Ketiga, perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun


faktor internal. Perilaku mempunyai anteseden atau faktor-faktor yang
berpengaruh yang berupa faktor-faktor eksternal—pengaruh dari
lingkungan sekitar, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Selain itu perilaku juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal—yang
berupa hal-hal yang tak-teramati, yang ada dalam diri orang tersebut—
seperti persepsi, sikap, motivasi, emosi, dan juga nilai-nilai yang diyakini
oleh orang tersebut. Ambil contoh perilaku disiplin. Apakah orang

164 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Singapura ataukah orang di Singapura yang berperilaku disiplin?
Sebagian besar menjawab bahwa orang-orang di Singapura-lah yang
berperilaku disiplin bukan orang Singapura. Orang Indonesia atau dari
negara lain pun ketika berada di Singapura juga berperilaku disiplin.
Artinya perilaku disiplin itu dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor
lingkungan karena berada di Singapura. Mayoritas orang-orang
berperilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal. Namun ada juga orang-
orang berperilaku disiplin di mana pun mereka berada. Baik di Singapura
maupun di tempat lain pun di muka bumi ini. Orang-orang tersebut
berperilaku disiplin dipengaruhi oleh faktor internal yang ada di dalam
dirinya, bukan oleh faktor eksternal yang berada di luar dirinya.

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana perilaku itu tersebut


dikelola agar mendukung organisasi dalam mencapai tujuannya? Secara
umum terdapat dua pendekatan, yaitu: modifikasi eksternal dan/atau
pengembangan internal. Seperti pada bagian terdahulu sudah
dikemukakan bahwa sebagian besar orang-orang berperilaku dipengaruhi
oleh lingkungan atau faktor eksternal, maka karenanya mempengaruhi
atau mengelola perilaku orang-orang dalam organisasi dengan cara
modifikasi faktor eksternal, baik itu yang terjadi sebelum perilaku
ditampilkan (antecedent) maupun yang terjadi sesudah perilaku itu
ditampilkan (consequence). Leslie Wilk Braksick dalam bukunya Unlock
Behavior Unleash Profits (Braksick, 2000) menjelaskan bahwa beberapa
hal berikut ini:
Pertama, sebuah perilaku itu terjadi karena adanya serangkaian
kondisi yang memungkinkan perilaku itu ditampilkan. Serangkaian kondisi
tersebut dikenal dengan istilah antecedence. Kondisi merupakan keadaan
yang terjadi sebelum terjadinya perilaku. Antecedent memiliki pengaruh
jangka pendek, tidak begitu kuat pengaruhnya terhadap perilaku
dibandingkan dengan konsekuensi. Antecedent sering kali digunakan
secara berlebihan dalam mempengaruhi perilaku. Ketika seseorang dosen
berdiri di hadapan mahasiswa dalam kelas, maka sangat mustahil bagi
sang dosen untuk menampilkan perilaku mandi. Karena untuk berperilaku
mandi dibutuhkan antecedence—seperti kamar mandi yang terjamin
cukup privasi, alat mandi, pakaian ganti untuk salin, air bersih yang
memadai, dan adanya kondisi panas-kotor pada sekujur tubuh yang

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 165


membuat tidak nyaman. Tanpa adanya serangkaian antecedence tersebut di
atas, maka perilaku mandi sulit ditampilkan di hadapan mahasiswa dalam
suatu kelas.
Kedua, setelah suatu perilaku tersebut ditampilkan, maka beberapa
waktu kemudian akan terjadi serangkaian konsekuensi. Konsekuensi
adalah kejadian yang timbul setelah perilaku. Konsekuensi tersebut dapat
bersifat menyenangkan (positive) atau menyusahkan (negative), bersifat
segera (immediate) atau kemudian (future), dan bersifat pasti (certain)
atau tidak pasti (uncertain). Konsekuensi dapat meningkatkan,
mempertahankan, atau pun menurunkan perilaku. Konsekuensi memiliki
pengaruh yang lebih kuat daripada antecedent dalam mempengaruhi
perilaku. Konsekuensi dapat berupa tangibel, umpan balik, aktivitas,
ataupun proses. Perusahaan-perusahaan Jepang mengembangkan
sistem poke-yoke (anti-salah) yang menghasilkan konsekuensi negatif
terhadap perilaku kesalahan, sehingga siapa pun orang yang mengerjakan
proses dalam sistem manufaktur dapat terhindar dari perilaku salah yang
tidak perlu. Jika dengan berperilaku mandi kemudian muncul konsekuensi
kesegaran, kesenangan, dan kebahagiaan. Maka di lain waktu, jika
mendapati antecedent serupa sang dosen akan perilaku mandi kembali.
Tetapi jika dengan berperilaku mandi tersebut menimbulkan konsekuensi
keperihan, kesusahan, dan memalukan; maka di lain waktu jika mendapati
antecedent serupa sanf dosen menghindari perilaku mandi.
Dengan demikian memodifikasi faktor eksternal merupakan upaya
untuk mempengaruhi perilaku orang-orang dalam organisasi dengan
mengendalikan antecedent maupun consequence dari perilaku tersebut,
sehingga perilaku yang positif, relevan, produk dan mendukung
tercapainnya tujuan organisasilah yang tumbuh berkembang sementara
perilaku yang negatif, tidak relevan, kontra-produktif dan menghambat
tercapainya tujuan orgnisasi dapat diminimalisasi atau dihilangkan dari
organisasi.

Ambil contoh misalnya, “Bagaimana menghilangkan perilaku


korupsi di suatu organisasi?”. Ya jika kita menggunakan pendekatan
modifikasi faktor eksternal maka kita dapat memodifikasi antecedent dan
konsekuensi dari perilaku korupsi. Antecedent apa saja yang terjadi di

166 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


organisasi tersebut sehingga orang-orang menampilkan perilaku korupsi?
Kondisi tidak terpantaunya semua transaksi yang terjadi oleh sistem yang
ada, kondisi adanya otoritas atau kewenangan yang luas untuk
menggunakan uang, serta kondisi mudahnya mekanisme pengeluaran
uang dari organisasi merupakan beberapa antecedent yang perlu
dimodifikasi atau dihilangkan. Jika kondisi tersebut berhasil dihilangkan
maka perilaku korupsi jadi mustahil untuk ditampilkan. Dan yang lebih
penting lagi adalah bagaimana memodifikasi konsekuensi. Karena
konsekuensi jauh lebih efektif daripada kondisi dalam mempengaruhi
perilaku. Konsekuensi selama ini bersifat positif terhadap perilaku korupsi
seperti menjadi kaya dengan cara mudah. Pelaku tidak mendapatkan
sangsi tetapi justru mendapatkan promosi karena dianggap bisa bekerja
sama dengan baik oleh atasan. Hal tersebutlah yang menjadikan perilaku
korupsi marak dan terus diulangi. Untuk menghilangkan korupsi makan
perlu adanya inisiatif untuk memunculkan konsekuensi yang bersifat
negative, immediate, dan certain bagi siapa pun yang menampilkan
perilaku korupsi. Bahkan konsekuensi itu bukan hanya bisa mengenai diri
si pelaku korupsi tapi juga kepada istri, anak, bahkan keluarga besar si
pelaku. Sehingga kalau kita bisa memodifikasi antecedent dan
consequence seperti itu maka orang-orang yang bekerja pada organisasi
pun akan menjadi mustahil untuk menampilkan perilaku korupsi.

Sementara itu, pendekatan lain dari pengelolaan perilaku dengan


cara mengembangkan faktor-faktor internal. Pengembangan faktor
internal merupakan proses pembentukan dan pengembangan pola
perilaku sehinga menjadi karakter yang diinginkan pada setiap orang
dalam organisasi. Ada dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu: membeli
(buying) ataukah membuat (making). Cara membeli adalah organisasi
selektif dalam merekrut orang-orang untuk bergabung. Hanya orang-orang
yang sudah memiliki karakter yang diinginkanlah yang diajak bergabung
ke dalam organisasi. Sedangkan cara membuat adalah organisasi
melakukan pembinaan terus menerus kepada orang-orang yang sudah
bergabung dalam organisasi ada sehingga terbentuk dan terkembangkan
karakter yang diinginkan.

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 167


Cara membuat ini dilakukan dengan menerapkan prinsip tabur tuai
seperti yang dikemukakan oleh Stephen R. Covey dalam buku The Seven
Habits of Highly Effective People (Covey, 2020):

“Apa yang ditabur dalam pikiran, maka itulah yang akan dituai dalam
perasaan. Apa yang tanam dalam perasaan, maka itulah yang akan
dituai dalam perbuatan. Apa yang ditabur dalam perbuatan, maka
itulah yang akan akan dituai dalam kebiasaaan. Apa yang ditabur
dalam kebiasaan, maka itulah yang akan dituai dalam karakter. Dan
apa yang ditabur dalam karakter, maka itulah yang akan dituai
dalam arah hidup atau nasib.”

Pikiran yang terus menerus diaktifkan akan menghasilkan


perasaan. Perasaan yang terus menerus diaktifkan akan menghasilkan
perbuatan. Perbuatan yang terus menerus dilakukan akan menghasilkan
kebiasaan. Perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan akan menyebabkan
orang yang melakukannya merasa nyaman dan jika tidak melakukannya
merasa tidak-nyaman. Sehingga cenderung untuk terus melakukannya.
Kemudian kebiasaan yang terus diaktifkan sehingga tidak bisa lagi
ditinggalkan, maka itu akan menjadi karakter.

Ambil contoh, misalnya: “Bagaimana menghilangkan perilaku


korupsi dari orang-orang yang bekerja di suatu organisasi?” Ya, kalau
dengan pendekatan pengembangan faktor internal adalah dengan cara
menyeleksi dan merekrut orang-orang yang memang sudah berkarakter
jujur atau berintegritas tinggi saja untuk bergabung di organisasi
pemerintahan. Atau secara terus menerus membina semua orang yang
bekerja di organisasi untuk memiliki karakter jujur atau berintegritas tinggi.
Sebuah program yang tidak boleh kenal lelah, terus menerus
mengaktifkan pikiran dan perasaan orang-orang bahwa berperilaku jujur
itu mulia, bermanfaat, dan penting. Perilaku korupsi itu hina, merugikan,
dan berbahaya. Kemudian terus-menerus memdorong orang-orang untuk
menjalankan kejujuran dan menghindari korupsi sehingga menjadi
kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter. Sampai pada kondisi kalo
mereka tidak berperilaku jujur terjadi “guncangan psiklogis” dan
ketidaknyamanan yang kuat dalam diri mereka.

168 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


12.2 FAKTOR INDIVIDU YANG MEMBENTUK PERILAKU DI
ORGANISASI
Pada umumnya berbagai referensi atau literatur yang membahas
mengenai perilaku orang-orang dalam organisasi atau organizational
behavior, membagi pembahasan mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku dalam tiga kelompok besar, yaitu: satu
kelompok yang berkaitan dengan faktor internal dan dua kelompok yang
berkaitan dengan faktor eksternal. Faktor internal berupa faktor individual
atau faktor personal yang berada di dalam diri orang-orang yang
berperilaku tersebut. Faktor eksternal berupa faktor eksternal terdekat,
yaitu faktor kelompok dan faktor eksternal yang lebih luas, yaitu faktor
organisasional. Gambar 12.2 menjelaskan ketiga faktor tersebut secara
ilustratif diambil dari buku Fundamentals of Organizational Behavior
(DuBrin, 2019).

Gambar 12.2 Faktor individual, kelompok dan organisasional (DuBrin,


2019)

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 169


Faktor individual merupakan faktor esensial. Keberadaan ataupun
ketidak apa faktor ini bersifat mutlak. Sementara faktor kelompok dan
faktor organisasional bersifat pengungkit, pendongkrak atau memperkuat.
Keberadaan atau pun ketidakadanya akan memperkuat atau
memperlemah faktor individual. Ambil perumpamaan, seorang individu
yang hebat ditempatkan pada dalam tim kerja yang buruk dan dalam
organisasi yang buruk pula. Maka berapa kekuatan individu tersebut untuk
membawa perubahan perilaku yang baik? Ya tentulah tidak banyak. Paling
banyak ya 1%. Tetapi kemudian individu yang hebat itu didukung oleh tim
kerja yang solid. Atasan, rekan kerja, dan bawahann yang mendukung;
maka kemampuan orang tersebut memberi pengaruh positif meningkat
menjadi 10%. Kehebatan dirinya yang 1% diperkuat oleh faktor kelompok
yang mendongkrak 10x lebih baik. Di tambah lagi, bila orang hebat dan
didukung oleh tim kerja yang hebat itu mendapat dukungan dari faktor
organisasi, maka kemampuannya berkembang menjadi 100%. Individu
yang hebat (1%) diperkuat oleh tim kerja yang mendukung (x10) dan
didukung oleh organisasi yang mendukung (x10); maka kemampuan
orang hebat tersebut berkembang menjadi 100% untuk membawa kepada
perubahan yang positif terhadap organisasi.

Namun bila sebaliknya, faktor individual itu sendiri tidak ada. Orang
tersebut bukanlah orang yang berperilaku positif, produktif, dan relevan
dengan tujuan organisasi, maka kemampuan orang tersebut membawa
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik adalah 0%. Walaupun
disokong orang tim yang mendukung (x10) dan juga organisasi yang
mendukung (x10), maka kemampuan untuk membawa kepada perubahan
yang positif adalah tetap 0%. Karena itu faktor individual merupakan faktor
esensial yang menentukan terjadinya perubahan perilaku ataukah tidak di
dalam organisasi. Dengan demikian, memahami dan memberikan
perhatian yang memadai terhadap faktor individual merupakan kunci dari
pengelolaan bisnis perusahaan secara lebih mendasar.

Lalu apa saja yang termasuk atau termaktub sebagai faktor


individual? Beberapa buku teks mengenai organizational behavior seperti
Fundamentals of Organizational Behavior (DuBrin, 2019), Essentials of
Organizational Behavior (Scandura, 2019) atau Organizational Behavior
(Robbins dan Judge, 2017), pada umumnya membahas mengenai enam

170 Pengantar Manajemen Or ganisasi Kontemporer


tema utama terkait dengan faktor individual, yaitu: persepsi (perception),
sikap mental (attitude), emosi (emotion), sistem nilai (values),
pengambilan keputusan (decision making), dan motivasi (motivation).
Keenam tema tersebut tidaklah semuanya mutually exclussive, namun
juga terdapat tumpang-tindih juga ranah bahasannya satu dengan yang
lain. Mari kita ulas satu per satu secara umum dari keenam tema tersebut:
Perception merupakan proses di mana sesorang
mengorganisasikan informasi yang mereka dapatkan dari panca indera
(sensory information)—apa yang dia liat dan apa yang dia dengar,
kemudian menginterpretasikan dan memberi makna atas informasi
tersebut sehingga menjadi pemahamannya mengenai realita (Scandura,
2019). Persepsi memainkan peranan yang sangat luas dalam bagaimana
seseorang memandang pekerjaan, rekan kerja, atasan dan keseluruhan
organisasi di mana dia berkarya. Seringkali terjadi bias persepsi atau
kesenjangan antara apa yang individu persepsikan dengan apa yang
realita sebenarnya terjadi. Karena itu setiap individu dalam organisasi,
memiliki dorongan dan kebutuhan untuk senantiasa melakukan check and
balance antara realita yang terjadi di alam nyata dengan yang tertanam
pada alam pikiran.

Gambar 12.3 Basic OB model (Robbins dan Judge, 2017)

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 171


Attitude merupakan suatu kecenderungan psikologis
(psychological tendency) terhadap sesuatu hal—apakah itu orang, benda,
ataukah kondisi tertentu; yang merupakan ekspresi dari proses evaluasi
dengan derajat kesukaan atau pun ketidaksukaan tertentu (Scandura,
2019). Sikap ini memiliki tiga komponen utama, yaitu: aspek kognitif (apa
yang diketahui), aspek afektif (apa yang dirasakan) dan aspek perilaku
(apa yang ingin dilakukan). Sikap berpengaruh pada respon seseorang
terhadap orang lain, benda, ide, maupun situasi. Sikap ini merupakan
bagian penting dari organizational behavior karena terkait langsung
dengan perception, learning, emotions, dan motivation (DuBrin, 2019).
Emotion merupakan suatu perasaan tertentu yang dialami oleh
individu dalam kurun waktu tertentu yang menyertai suatu perilaku tertentu
(DuBrin, 2019). Emosi dapat mengarahkan seseorang untuk terus
menerus penasaran menyelesaikan suatu permasalahan yang
menyebabkan dia berteriak “Yes! Berhasil!” ketika masalah tersebut
berhasi diatasi. Emosi yang negatif yang intensif juga dapat memicu
seorang pegawai menikam pegawai lain dengan sebilah pisau. Emosi
merupakan bagian dari afeksi yang mencakupi beragam jenis perasaan
atau pun suasana hati (mood). Hanya saja emosi merupakan perasaan
yang intensif terhadap seseorang atau sesuatu tertentu, sedangkan
suasana hati (mood) seringkali muncul tanpa kejadian spesifik yang
menjadi pemicu (Robbins dan Judge, 2017).
Values merupakan ide-ide individual yang merepresentasikan
mengenai kesimpulan pribadi mengenai baik atau buruk seseorang,
sesuatu, sebuah ide, ataupun suatu kondisi. Nilai-nilai mengandung
judgmental element terhadap suatu yang diketahui seseorang baik yang
pernah dialaminya maupun tidak (Robbins dan Judge, 2017). Nilai-nilai
juga menjelaskan mengenai seberapa penting sesuatu itu menurut orang
tersebut yang menjadi panduan bagi orang tersebut dalam membuat
keputusan ataupun bertindak (DuBrin, 2019).

172 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Individual decision making merupakan proses atau pola
seseorang dalam membuat pilihan atas beberapa alternatif yang tersedia
dalam bertindak untuk menyelesaikan suatu masalah (DuBrin, 2019).
Secara umum kemampuan individu dalam membuat keputusan ada tiga
tingkatan, yaitu: (1) tidak membuat keputusan (indecisive), yaitu ragu-ragu
atau takut untuk membuat keputusan dan membiarkan orang lain untuk
membuatkan keputusan untuknya, (2) membuat keputusan salah (bad
decision). Sudah berani membuat keputusan, namun keputusan yang
diambil tidak menghantarkan individu tersebut kepada keadaan atau
kondisi yang diinginkan, dan (3) membuat keputusan tepat (right
decision)—keputusan yang dipilih membawa hasil yang banyak atau
optimal sesuai dengan yang diharapkan. Sama halnya dengan persepsi,
membuat keputusan pun memiliki banyak bias. Terjadi perbedaan yang
mendasar antara apa yang ada di alam pikiran sebelum membuat
keputusan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada realita yang ada.
Dalam membuat keputusan, seseorang dapat menggunakan pendekatan:
rational, bounded rational atau pun intuition decision making (Robbins dan
Judge, 2019).

Motivation merupakan alasan mengapa seseoran melakukan


sesuatu (motive for action) yang terbangun melalui proses yang mengatur
arah, intensitas, dan persistensi individu untuk mencapai tujuan tertentu
(Robbins dan Judge, 2017). Arah dari motivasi adalah mengejar sesuatu
yang disukai atau diinginkan (go forward) ataupun menghindari sesuatu
yang tidak ditakuti (away from). Intesitas motivasi adalah berintensitas
tinggi atau kuat, ada pun yang berintensitas rendah atau lemah,
Sedangkan persistensi dari motivasi berupa menyelesaikan sampai tuntas
ataukah berhenti di tengah jalan. Jadi seseorang yang memiliki motivasi
kerja yang tinggi adalah bila dia mendapatkan tugas atau perintah, maka
orang tersebut akan mengerjakan tugas tersebut karena ingin
mendapatkan yang disukainya (go forward), melakukannya dengan
intensitas tinggi, dan menyelesaikannya sampai tuntas. Pada konteks
organisasi, maka motivasi merupakan proses untuk menyelaraskan tujuan
individu dengan tujuan organiasi (DuBrin, 2019). Semakin seseorang
melihat bahwa tujuan individunya akan semakin besar terwujud bila tujuan
organisasi tercapai, maka individu tersebut akan termotivasi. Bila

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 173


terpersepsi sebaiknya, bahwa tujuan individu mustahil untuk dicapai
melalui tercapainya tujuan organisasi, maka individu itu akan mengalami
demotivasi atau bahkan hilang motivasi bekerjanya di organisasi.

12.3 PERBEDAAN INDIVIDU SEBAGAI PREDIKTOR DARI FAKTOR


INDIVIDUAL

Mengingat pentingnya untuk memahami faktor individual, di satu sisi.


Namun di sisi lain, faktor indiviudal tersebut tidak mudah untuk
ditemukenali dan juga sangat beragam. Setiap orang memiliki
kekhasannya tersendiri dalam hal persepsi, sikap mental, emosi, nilai-nilai,
pengambilan keputusan, maupun motivasi. Karena itu dibutuhkan
prediktor untuk mengenali dan memahami faktor internal dari orang-orang
di dalam organisasi. Prediktor tersebut berupa perbedaan individual atau
individual difference. Berdasarkan karakteristik tertentu yang ada pada diri
seseorang, maka kita berupaya untuk memprediksi atau menebak seperti
apakah kira-kira pola orang tersebut dalam persepsi, sikap, emosi, nilai-
nilai, pengambilan keputusan, dan motivasi.

Secara holistik, perbedaan individual dapat dilihat dalam dua hal,


yaitu: Level Muka dan Level Dalam. Perbedaan individual pada Level
Muka adalah “bungkus” dari orang-orang yang berada dalam organisasi.
Hal ini dapat dengan mudah diketahui melalui observasi sederhana
ataupun komunikasi ringan dengan orang tersebut. Sedangkan perbedaan
individual pada Level Dalam adalah “isi” dari orang-orang yang berada
dalam organisasi. Untuk mengetahuinya diperlukan pengamatan yang
lebih intensif dan komunikasi yang ekstensif. Bahkan membutuh alat uji
atau tes untuk dapat mengetahui perbedaan Level Dalam tersebut secara
lebih akurat. Karena perbedaan Level Dalam ini sering kali tidak disadari
atau tidak dimengerti bahkan oleh individu yang bersangkutan seperti
apakah “isi” mereka yang setepatnya.

174 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Gambar 12.4 Perbedaan individual pada Level Muka dan Dalam

Perbedaan individual pada Level Muka berkenaan dengan hal-


hal yang dapat dilihat dan diketahui secara langsung yang mencakupi
aspek biologis maupun demografis. Ketika seseorang masuk ke dalam
suatu organisasi, Level Muka ini dapat diketahui lewat tes administrasi
pada tahap awal rekrutmen. Sebenarnya banyak aspek yang terdapat
pada keragaman Level Muka ini, tetapi namun kali ini hanya membahas
lima aspek saja, yaitu: perbedaan umur (age), perbedaan jenis kelamin
(gender), perbedaan lama kerja (tenure), perbedaan agama-etnis (religion
and ethnicity) dan perbedaan lainnya.
Perbedaan umur pada orang-orang yang bekerja dalam organisasi
dapat penyebab keragaman perilaku. Perbedaan umur dapat dilihat dari
dua konteks. Konteks pertama, perbedaan umur mengakibat perbedaan
dalam fase di mana mereka saat ini berada dalam siklus hidup keluarga
(family life cycle). Konteks kedua, perbedaan umur mengakibatkan
perbedaan generasi dari mana mereka ditumbuhkan (generational cohort).

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 175


Perbedaan Level Muka selanjutnya adalah perbedaan jenis
kelamin. Karena dibentuk oleh kromosom yang berbeda, yaitu: kromosom
X membentuk seorang wanita dan kromosom Y membentuk seorang pria.
Perbedaan kromosom pembentuk tersebut mengakibatkan terjadinya
perbedaan hormonal, perberdaan karakteristik otak, dan perbedaan aspek
biologis lainnya antara pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebutlah
yang pada muaranya mengakibatkan perbedaan pola perilaku antara pria
dan wanita belakangan berkembang fenomena baru, di mana perbedaan
berkaitan dengan gender tidak hanya sebatas di jenis kelamin saja. Tapi
juga bisa dikupas hingga perbedaan di level orientasi (sexual orientation)
ataupun identitas (sexual identity).

Perbedaan lama bekerja atau tenure atau year of service dari


seseorang dalam organisasi akan membawa perbedaan kemampuan,
sikap mereka terhadap perusahaan, dan daya adaptasi mereka terhadap
perubahan yang diusulkan organisasi. Berkaitan dengan lama kerja,
orang-orang dalam organisasi dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
kelompok pengalaman kerja pertama, terlama, dan antara. Kelompok
pengalaman kerja pertama adalah orang-orang yang belum pernah
bekerja di mana pun, dan perusahaan saat ini adalah perusahaan pertama
dalam riwayat karir mereka. Kelompok pengalaman terlama adalah orang-
orang yang pernah bekerja di beberapa perusahaan sebelumnya dan
perusahaan saat ini adalah organisasi terlama dalam riwayat karir mereka.
Sedangkan kelompok pengalaman kerja antara adalah orang-orang yang
pernah bekerja di beberapa perusahaan sebelumnya dan perusahaan
sekarang bukan merupakan masa kerja terlama dalam riwayat karir
mereka

Perbedaan pada Level Muka yang juga berpengaruh terhadap


perilaku adalah perbedaan agama atau etnis. Perbedaan agama atau etnis
ini dapat juga dikategorikan sebagai perbedaan Level Dalam. Hal ini
sangat tergantung pada kedalaman penghayatan dan pengamalan nilai-
nilai agama atau etnis yang dijalani seseorang dalam kehidupannya
sehari-hari. Semakin dalam penghayatan dan pengalaman seseorang,
semakin kuat agama atau etnis membentuk pola perilaku, pola pikir, dan
pola rasa orang tersebut.

176 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Selain perbedaan umur, jenis kelamin, dan lama kerja masih banyak
lagi perbedaan lain di Level Muka yang dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan dan memprediksi perilaku orang-orang dalam
organiasi. Beberapa diantaranya adalah golongan darah (blood type),
urutan lahir (birth order), karakteristik tulisan tangan (hand writing), atau
juga pola garis tangan (palmistry). Dengan berkembangnya budaya digital
yang mengakibatkan orang-orang semakin jarang menulis secara manual,
sehingga perbedaan karakteristik tulis tangan kurang begitu relevan lagi
untuk dibahas lebih lanjut. Sedangkan untuk pola garis tangan, terdapat
banyak aspek yang perlu diperhatikan agar dapat membedakan pola garis
tangan seseorang. Tidak memadai untuk dibahas secara sederhana pada
kesempatan ini.
Perbedaan individual pada Level Dalam. Selain dipengaruhi
perbedaan di Level Muka, keragaman organiasi juga dibangun oleh
perbedaan di Level Dalam, yaitu level yang lebih tersamarkan. di mana
untuk mengetahuinya secara lebih baik, kita perlu melakukan observasi
dan komunikasi yang intensif bahkan menggunakan bantu tes. Perbedaan
Level Dalam berkenaan dengan kapasitas, preferensi, atau aspek
psikologis individu untuk melakukan pekerjaan atau menjalan peran
tertentu dalam organisasi. Ketika sesoerang masuk ke dalam suatu
organisasi, keragaman Level Dalam ini dapat diketahui lewat tes lanjutan
seperti tes kesehatan, tes psikologi, wawancara, maupun masa percobaan
(probation period) pada proses rekrutmen. Buku ini membahas perbedaan
Level Dalam berdasarkan konsep whole-person paradigm seperti yang
dikemukakan oleh Stephen R. Covey dalam buku The 8 th Habit: from
Effectiveness to Greatness. Covey (2013) mengemukakan bahwa
seseorang itu setidaknya memiliki empat dimensi yang digunakan dalam
bekerja, yaitu: dimensi fisik, dimensi intelektual, dimensi emosional, dan
dimensi spiritual. Efektivitas atau prestasi yang dihasilkan oleh individu
dalam bekerja seringkali tidak ditentukan oleh Level Muka. Tetapi lebih
ditentukan oleh Level Dalam, yaitu seberapa tinggi derajat person-job
fitness dari orang tersebut terhadap pekerjaan atau peran yang
dipercayakan kepada mereka. Setiap pekerjaan menuntut kapasitas
tertentu dari masing-masing dimensi fisik, intelektual, emosional, maupun
spiritual. Ketidaksesuaian keempat dimensi itu dengan tuntutan pekerjaan

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 177


atau peran mengakibatkan orang tersebut tidak dapat efektif atau
berprestasi rendah dalam organisasi.
Perbedaan daya tahan fisik. Robbins dan Judge (2017) dalam
buku mereka, Buku Organizational Behavior, menjelaskan bahwa daya
tahan fisik seseorang dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu: aspek
kekuatan, faktor fleksibilitas, dan aspek lainnya. Dan ketiga aspek tersebut
diuraikan lagi dalam sembilan faktor, yaitu: kekuatan dinamis, kekuatan
rangka, kekuatan statis, kekuatan eksplosif, fleksbilitas ekstensif,
fleksibilitas dinamis, koordinasi tubuh, keseimbangan, dan stamina. Dari
sembilan faktor daya tahan fisik tersebut, stamina merupakan faktor yang
paling dibutuhkan oleh orang-orang untuk melakukan pekerjaan.
Persaingan dan kompleksitas pekerjaan yang semakin meningkat
mengakibatkan organisasi membutuhkan orang-orang yang kuat bekerja
kerja dalam kurun waktu yang lama. Hal yang mempengaruhi faktor
stamina bukan hanya kesehatan tetapi juga kebugaran. Kebugaran adalah
kemampuan tubuh untuk tetap penuh konsentrasi dan bertenaga dalam
menjalankan pekerjaan yang banyak dalam kurun waktu yang relatif lama
tanpa menimbulkan penyakit.

Perbedaan kapasitas intelektual. Kapasitas intelektual adalah


kemampuan individu untuk menggunakan kekuatan berpikir rasional yang
meliputi lima kemampuan utama, yaitu: kemampuan verbal, kuantitatif,
logika, visualisasi ruang, dan daya ingat. Pekerjaan-pekerjan administratif
maupun manajerial yang berurusan dengan masalah-masalah insidental
dan tidak-terstruktur serta membutuhkan pengambilan keputusan yang
tepat dan cepat; sangat mempersyaratkan kapasitas intelektual bagi
orang-orang yang mengerjakannya Ketidak-memadainya kapasitas
intelektual seseorang untuk melakukan pekerjaan-pekerjan tersebut
mengakibatkan terjadinya kesalahan ataupun keterlambatan yang
menimbulkan konsekuensi kerugian atau kehilangan besar bagi
organisasi.

Perbedaan preferensi emosional. Perbedaan Level Dalam yang


juga berpengaruh terhadap keragaman perilaku orang-orang dalam
organisasi adalah Preferensi Emosional atau juga disebut dengan isitilah

178 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


personalitas atau tipologi. Menurut Weiss (2001) dalam bukunya,
Organizational Behavior and Change,
“Personalitas adalah serangkaian karakteristik yang menetap pada
seseorang yang dipengaruhi oleh faktor genetik (hereditas), budaya,
sosial, maupun lingkungan. Personalitas juga mempengaruhi pola
seseorang dalam bertindak atau berinteraksi.”

Berdasarkan definisi ini, kita memahami bahwa personality is a stable set


of behavior. Personalitas adalah sekumpulan perilaku yang menetap
dalam diri seseorang. Personalitas adalah kecenderungan seseorang
dalam berperilaku yang cenderung atau lebih suka atau lebih nyaman
untuk menampilkan satu perilaku tertentu. Jika terjadi 10 kali situasi yang
sama dihadapi seseorang, maka lebih dari enam kali orang tersebut
merespon dengan perilaku yang sama. Demikianlah personalitas, sebuah
pendekatan yang menarik untuk memahami perilaku seseorang
berdasarkan kecenderungan atau preferensi emosional orang tersebut.
Satu hal yang perlu diingat dan diwaspada adalah personalitas berpotensi
menimbulkan halo effect, yaitu kesalahan persepsi dalam menilai orang
lain. Karena hanya dengan menggunakan satu atau beberapa
kecenderungan saja, kita membuat kesimpulan mengenali orang lain
secara keseluruhan. Padahal manusia itu sangat beragam dan sangat
unik. Bisa jadi pendekatan personalitas tidak bisa memprediksi 100 persen
benar mengenai orang tersebut. Karena itu perlu kebijaksaaan dan kehati-
hatian dalam menggunakan pendekatan personalitas untuk kepentingan
mengevaluasi orang lain.

Perbedaan kesadaran spiritualitas. Gallup Organization


melakukan survei kepada ribuan orang dengan mengajukan pertanyaan:
“Apakah anda pernah disadarkan atau dipengaruhi oleh sebuah kehadiran
atau kekuatan—apakah anda sebut sebagai Tuhan atau bukan—yang
berbeda dengan pengalaman atau perasaan anda sehari-hari?” Dari
survei tersebut didapatkan fakta menarik. Pada tahun 1973 ada 27%
responden yang menjawab: “Ya”. Pada tahun 1984 terdapat 42%
responden lalu pada tahun 1990 ada 54% responden. Hal ini
mengindikasikan bahwa kesadaran dan kebutuhan akan spiritualitas
semakin berkembang dan akan terus meningkat. Tantangan dan
permasalah dalam pekerjaan dan kehidupan sering membuat manusia

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 179


terjebak dalam kelelahan dan ketidakberdayaan jiwa. Pada saat inilah
berpeluang untuk timbul dorongan kuat untuk mencari tahu adakah
kekuatan lain yang bisa diandalkan sebagai penolong. Adakah sumber
semangat yang sejati yang dapat memberi kekuatan dalam menghadapi
tantangan dan kesulitan yang ada. Dorongan inilah menghantarkan
manusia pada ranah spiritualitas. Ranah yang menyediakan jawaban
bahwa ada kekuatan yang maha hebat di luar diri manusia yang terdapat
pada semesta yang dapat digunakan untuk menjadi sumber spirit dalam
mengalahkan permasalahan dan kesulitan dalam kehidupan.

Melalui perbedaan individual inilah, kita dapat melalukan prediksi


terhadap faktor internal yang berpengaruh terhadap pembentukan perilaku
orang-orang di dalam organisasi. Perbedaan individual baik pada Level
Muka maupun pada Level Dalam ini pun membutuhkan pengelolaan dan
penanganan secara terencana dari organisasi. Bila tidak dikelola dengan
baik perbedaan ini bukan menjadi aset bagi organisasi, namun justru
menjadi beban yang memberatkan organisasi untuk tumbuh berkembang
menjadi organisasi yang efektif dalam mencapai tujuan

12.4 U-S-A-H-A S-E-M-U-A SEBAGAI KIAT UNTUK MENGELOLA


PERBEDAAN INDIVIDUAL

Memahami pentingnya intervensi untuk mendorong agar perbedaan


individual dan keragaman memberikan manfat sebesar-besarnya dan
menimbulkan resiko sekecil-kecilnya bagi organisasi maupun individu,
maka untuk itu perlu direncanakan dan diimplementasikan mekanisme
pengaturan baik di level individual maupun organisasi. Untuk
memudahkan diingat, intervensi tersebut dijargonkan dengan U-S-A-H-A
S-E-M-U-A. Ada pun U-S-A-H-A adalah mekanisme pengelolaam yang
direkomendasikan untuk dilakukan oleh setiap orang pada level individual,
sedangkan S-E-M-U-A adalah mekanisme yang dilakukan pada level
organisasi. Berikut penjelasan mengenai apa saja yang dapat dilakukan
dalam diversity management pada level individual dan pada level
organisasi.

180 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Gambar 12.5 Rekomendasi mengelola perbedaan individual

Utamakan persamaan, syukuri perbedaan. Berdasarkan teori


biologi genetika mengenai DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)—yang
merupakan zat pembawa informasi atau kode mengenai sifat-sifat pada
manusia dan pada makhluk hidup lainnya—menjelaskan bahwa mahkluk
hidup dalam spesies yang sama hanya memiliki perbedaan sebanyak 1 %.
Sedangkan 99% lainnya adalah sama. Jika terdapat perbedaan 2 % atau
lebih antara makhluk hidup yang satu dengan yang lain, maka kedua

Manajemen Faktor Individu dan Perilaku 181


makhluk hidup tersebut adalah spesies yang berbeda. Begitu pun juga
halnya antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, walaupun
pada pembahasan sebelum ini terlihat banyak sekali dimensi untuk
membeda-bedakannya, ternyata perbedaan tersebut tidaklah lebih dari 1%.
Masih ada 99 % hal lainnya yang sama. Dan jika terdapat lebih dari 2%
perbedaan di antara keduanya, maka salah satu dari kedua makhluk
tersebut spesies yang berbeda dari manusia.
Saling menghormati dan menghargai. Wujud dari sikap
“mensyukuri perbedaan” adalah perilaku saling menghormati dan
menghargai (mutual respect and appreciation) di antara orang-orang
dalam organisasi. Menghormati dan menghargai adalah dua perilaku yang
serupa dalam konsep tapi tidak sama konteks. Seseorang dikatakan
menghormati orang lain jika dia berbuat baik di hadapan sesorang
tersebut. Sedangkan sesorang dikatakan menghargai oranglain jika dia
tetap berbuat baik meskipun tidak berhadapan dengan orang tersebut.
Jadi cerminan dari sikap “mensyukuri perbedaan” adalah setiap orang
dalam organisasi berbuat baik satu sama lain apakah ketika mereka saling
berhadapan ataukah tidak.

Asertif dan empati. Selain perilaku menghormati dan menghargai,


perilaku yang juga perlu dibiasakan sebagai wujud “bersyukur atas
perbedaan” adalah asertif dan empati. Empati adalah perilaku yang
mampu menempatkan cara kita berpikir, merasa, dan bertindak pada
posisi orang lain. Jika kita mengalami situasi yang dialami orang lain
tersebut, maka kira-kira kita kemungkinan besar akan berpikir, merasakan,
dan bertindak seperti apa. Dengan memposisikan diri kita sebagaimana
posisi orang lain, maka kita akan mendapatkan perspektif yang berbeda.
Sedangkan asertif adalah kemampuan untuk bersikap tegas melindungi
kepentingan pribadi tetapi tidak merugikan hak orang lain. Perilaku asertif
dilakukan dengan cara berempati, kemudian berani mengemukakan
kepentingan pribadi dan akhirnya bersama-sama berpikir untuk
menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

182 Pengantar Manajemen Organisasi Kontemporer


Hindari stereotyping dan halo effect. Stereotyping adalah
memberikan label negatif kepada orang lain berdasarkan kecenderungan
umum dari kelompok mana orang berasal. Stereotyping adalah salah satu
bentuk kesalahan persepsi di mana seseorang menyamaratakan persepsi
terhadap seseorang dengan persepsi terhadap kelompok dari mana
mereka berasal. Sedangkan halo effect adalah mengambil kesimpulan
mengenai seorang berdasarkan satu atau beberapa perilaku saja. Kedua
perilaku ini—stereotyping maupun halo effect - sangat tidak adil bagi siapa
pun juga. Mereka yang menjadi objek kedua perilaku tersebut akan
merasa diperlakukan dengan tidak adil; sehingga akan memicu terjadinya
ketidakpuasan yang kemudian berdampak terhadap motivasi kerja,
efektivitas individual, maupun organisasi.
Arahkan kepada sasaran organisasi. Selain stereotyping dan halo
effect, perilaku yang juga dapat menjadi “gulma” dalam diversity
management adalah kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan
pribadi atau kepentingan kelompok daripada kepentingan organisasi
secara bersama. Setiap saat terjadi pertentangan kepentingan atau
perselisihan di antara orang-orang dalam organisasi baik karena peran-
fungsi mereka dalam organisasi ataukah karena latar belakang pribadi,
maka pertentangan itu haruslah diarahkan dan dievaluasi dari perspektif
tujuan atau sasaran organisasi.

Sepakati equal employement opportunity. Hal yang paling


mendasar yang organisasi harus lakukan dan jaga adalah komitmen untuk
menjalankan equal employment opportunity. Pemilik dan pimpinan puncak
perusahaan sepakat bahwa setiap orang dalam organisasi memiliki
kesempatan yang sama untuk berkarya, berperan, dan bertumbuh dalam
organisasi tanpa dibatasi oleh kekhasan individualnya.
Ethical decision making. Untuk mengaplikasikan kebijakan equal
employment opportunity membutuhkan aksi nyata. Salah satu tindakan
konkrit yang penting adalah bagaimana pemilik atau pengelola organisasi
memakai pertimbangan etika dalam membuat keputusan-keputusan
dengan mengindahkan lima prinsip, yaitu: kesetaraan (right), keadilan
(justice), penghargaan terhadap kekhasan (universalism), manfaat
(utilitarianism), dan kontekstual (relativism).

Manajemen Faktor Individu dan P erilaku 183


Melaksanakan program pelatihan diversity management.
Program atau pun materi mengenai diversity management adalah salah
satu materi wajib yang diberikan kepada seluruh orang dalam organisasi,
baik untuk mereka yang baru bergabung maupun untuk mereka yang
sudah lama berada dalam organisasi. Terutama sekali untuk para calon
supervisor dan manajer yang akan menjadi komandan unit kerja.

Upayakan adanya badan konsultasi dan mediasi. Salah satu


komitmen organisasi terhadap pengelolaan keragaman dapat dilihat dari
tersedianya unit atau badan yang berfungsi memberikan konsultasi
ataupun mediasi bila terjadi permasalahan yang bertalian dengan
keragaman atau perbedaan individual. Terutama sekali yang terkait
dengan perbedaan agama, suku, maupun pendekatan dalam memaknai
aspek spiritualitas.

Awasi dan hilangkan praktek-praktek diskriminasi. Menurut


Robbins dan Judge (2017) dalam buku mereka, Organizational Behavior,
terdapat setidaknya enam macam praktek diskriminasi yang umumnya
terjadi dalam organisasi, yaitu: (1) discriminatory policies yang tidak
memberikan equal employment opportunity, (2) sexual harassment, yaitu
perkataan maupun perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan
terhinakan secara seksual, (3) intimidation, yaitu ancaman atau tindakan
pengrusakan yang dilakukan kepada seseorang atau kelompok dengan
perbedaan individual tertentu, (4) mockery and insult, yaitu gurauan yang
memuat stereotyping atau pun halo effect yang memicu ketersinggungan
dari pihak yang menjadi objek gurauan, (5) exclusion, yaitu tindakan
mengeluarkan atau mengucilkan orang-orang dengan perbedaan
individual tertentu, dan (6) incivility, yaitu perlakuan tidak hormat kepada
orang lain termasuk perilaku “menyerang”, memotong pembicaraan
maupun mengabaikan pendapat orang lain karena yang bersangkutan
memiliki perbedaan individual tertentu.

Diharapkan melalui rekomendasi U-S-A-H-A S-E-M-U-A ini orang-


orang di dalam organisasi dapat berkontribusi secara efektif untuk
pencapaian tujuan organisasi dengan menjaga perbedaaan individual dan
menjadikan keragaman sebagai aset yang menjadi sumber pertumbuhan
dan perkembangan organisasi dalam mencapai tujuannya.

184 Pengantar Manajemen Organisasi Konte mporer

381
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai