Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease Disertai Anemia Dengan Hemodialisa


Ruang Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik 3

Disusun Oleh :

Ariandi Gunawan
PO .6220119402

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN REGULER V


JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES
PALANGKA RAYA
2021
A. Chronic Kidney Disease

1. Definisi

Chronic kidney disease(CKD) adalah suatu penurunan progresif fungsi


ginjal yang berlangsung ≥3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama minimal 3
bulan (KDIGO,2012).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik) di dalam darah. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu
mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulasinya. Suatu
bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit
sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai peyakit urinary tract
dan ginjal (Arif Muttaqin, 2011)

2. Etiologi

Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal


kronis bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin,
2011):

 Penyakit dari Ginjal

 Glomerulonefritis, adalah salah satu jenis penyakit ginjal berupa kerusakan


yang terjadi pada glomeruli. Glomeruli adalah penyaring kecil di dalam
ginjal yang berfungsi membuang cairan berlebih, elektrolit, dan sampah
dari aliran darah. Kerusakan ini akan menyebabkan terbuangnya darah serta
protein melalaui urin.
 Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis. Infeksi ginjal atau pielonefritis
terjadi karena berpindahnya bakteri dari kandung kemih ke ginjal, yang
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau nyeri, Adanya darah atau nanah
dalam urine dan bau urine yang tidak seperti biasanya.
 Batu ginjal: nefrolitiasis
 Trauma langsung pada ginjal

 Keganasan pada ginjal

 Polycystic Kidney Disease

Polycystic Kidney Disease merupakan penyakit kongenital atau genetik


yang dapat ditemukan pada fetus, bayi, dan anak kecil. Terbentuknya
kumpulan kista pada kedua ginjal (korteks dan medulla) yang berkembang
secara progresif dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal.
 Batu Ginjal (Nefrolitiasis)

Nefrolitiasis merupakan sumbatan yang terjadi di sepanjang saluran kemih.


Adanya Nefrolitiasis akan menyebabkan kerja ginjal berlebih dalam proses
filtrasi.
 Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik,
keracunan logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
 Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri
ginjal, hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
 Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat striktur
uretra, dan tumor.
 Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya:
Penyakit ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport
(terkait kromosom X ditandai dengan penipisan dan pemisahan membrane
basal glomerulus).

 Penyakit dari Luar Ginjal

 DM, . Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Kelainan yang terjadi pada ginjal
penyandang diabetes melitus dimulai dengan adanya mikroalbuminuria.
Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih
dari 30 mg per hari dan dianggap penting untuk timbulnya
nefropatidiabetik yang jika tidak terkontrol kemudian akan berkembang
menjadi proteinuria secara klinis dan berlanjut denganpenurunan fungsi
laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal.
Diperkirakan 30-40% penderita DM tipe 1 dan 20-30% penderita DM tipe
2 akan menderita nefropati diabetik suatu saat yang dapat berakhir dengan
keadaan gagal ginjal (Rivandi, 2015).
 Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah. Jika pembuluh
darahnya ada pada ginjal, tentu ginjalnya yang mengalami kerusakan.
Belum lagi salah satu kerja ginjal adalah memproduksi enzim angio
tension. Selanjutnya diubah menjadi angio tension II yang menyebabkan
pembuluh darah mengkerut atau menjadi keras. Pada saat seperti inilah
terjadi hipertensi.
Hipertensi bisa berakibat gagal ginjal. Sedangkan bila sudah menderita
gagal ginjal sudah pasti terkena hipertensi. Bahkan hipertensi pada
gilirannya menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya kematian pada
pasien hemodialisis (pasien ginjal yang menjalani terapi pengganti ginjal
dengan cara cuci darah/hemodialisis di rumah sakit).

3. Manifestasi Klinis

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
• Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
• Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal

Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:

a. Kardiovaskuler: Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal


kronik sangat kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan
kegagalan faal jantung.
b. Dermatologi : Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost
c. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul. Dapat terjadi karena penumpukan cairan dalam tubuh karena
komplikasi ckd sudah sampai ke sistem kardiovaskular, sehingga regulasi
cairan terganggu.
d. Gastrointestinal Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung
dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
e. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan
tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki,
perubahan perilaku
f. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga selalu
digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor,
miopati (kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
g. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak dan
vitamin D
h. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang

i. Kelainan mata : Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada


sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,
miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.Azotemia ameurosis,
retinopati, nistagmus, miosis dan pupil asimetris, red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi, Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien gagal ginjal kronis akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
j. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer
dan normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh. Perdarahan karena mekanisme
pembekuan darah yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi
karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
k. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya retensi
garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesia, hipokalsemia. Anemia normokrom normositer dan normositer
(MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia
yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit
l. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-gatal,
gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot mengecil,
Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan confusion, Perubahan
berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria

4. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai laju glomerulus, yaitu


stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih
rendah. (Parazella, 2005)
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E.
Chang (2010):

Std Deskripsi LFG (ml/mnt/1,73m2)


0 Risiko meningkat >90 dengan faktor risiko
1 Kerusakan ginjal dengan LFG >90

normal/meningkat
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15 dan dialisis
Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)

Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan
ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak
lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi
ginjalnya dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)

Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )

Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti :

1) Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

2) Kelebihan cairan

3) Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila
bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering terbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
4) Rasa sakit pada ginjal : Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
5) Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)

Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

5. Komplikasi

 Kelebihan Cairan

Seseorang dengan penyakit ginjal kronis, memiliki dengan pembuangan


cairan yang ada di dalam tubuhnya. Sehingga ketika ia minum air dalam
jumlah yang banyak, tidak semua air yang ia minum keluar dan malah
menumpuk di pembuluh darah, dan membuat jantung menjadi bekerja lebih
keras. Jika seseorang dalam kondisi memiliki gejala penyakit ginjal minum 5-6
liter dalam sehari, hal tersebut bisa berbahaya. Karena bisa menyebabkan
kadar garam di dalam tubuh berkurang, dan bisa membuat seseorang lemah
atau bahkan kejang-kejang

 Hiperkalemia

Komplikasi ini merupakan keadaan di mana kalium yang ada di dalam


darah seseorang tinggi. Kalium yang tinggi ini, akan membuat jantung bekerja
dengan tidak sempurna. Sehingga menyebabkan gangguan pada jantung, yang
bisa berujung pada kematian mendadak. Pada orang dengan gangguan fungsi
ginjal kronis, kemampuannya untuk membuang kalium sangatlah rendah.
Sumber kalium bisa didapatkan dari buah-buahan dan juga sayuran,
sehingga dokter menyarankan kepada orang dengan penyakit ginjak kronis
untuk tidak mengonsumsi buah-buahan dalam jumlah yang banyak.

 Metabolik Asidosis

Salah satu fungsi ginjal adalah mengatur elektrolit, cairan, dan juga asam
basa di dalam darah. Jika fungsi tersebut terganggu, maka darah akan asam
dan pH darah akan turun. Jika pH darah turun, maka akan membuat pembuluh
 Gangguan Mineral dan Tulang

Penyakit ginjal kronik yang sudah lama dibiarkan, bisa menganggu


mineral dan juga tulang. Asupan kalsium yang kurang, bisa menyebabkan
tulang menjadi mudah patah. Orang dengan penyakit ginjal kronis, memiliki
tulang yang tidak kuat dan mudah patah, karena gangguan tulang yang
dialaminya.

 Hipertensi

Hipertensi bisa membuat seseorang terkena penyakit ginjal, tetapi


penyakit ginjal kronis juga bisa menyebabkan hipertensi. Karena gangguan
glomeruler, seseorang bisa mengalami hipertensi. Hipertensi juga bisa
disebabkan karena terlalu banyak cairan atau tekanan darah yang naik.

 Anemia

Anemia disebabkan karena kurangnya hormon eritrokosit, sehingga


kemampuan sum-sum tulang untuk membentuk darah juga akan berkurang.
Defisiensi hormone eritropoitin, defisiensi zat besi, kehilangan darah
(perdarahan saluran cerna dan hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek
akibat hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut atau kronik.

 Dislipidemia

Gangguan kolesterol ternyata juga bisa mengganggu. Pada orang dengan


gangguan ginjal kronik bisa mengalami kolesterol yang tinggi.

 Disfungsi Seksual

Untuk seseorang yang berusia muda dan memiliki penyakit ginjal kronis,
terutama pria, terkadang sering merasakan cepat lelah saat melakukan
hubungan intim.
6. Pemeriksaan Diagnostic

 Pemeriksaan Laboratorium

 Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
 Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan

 Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan


menurunnya diuresis
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein
 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan
retensi asam- basa organik pada gagal ginjal.
 Hb : menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl

 BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.


Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
 GDA: asidosis metabolic, PH <7,2

 Protein albumin : menurun (< 3,4-4,8 gr/dl)

 Natrium serum : rendah. (< 1135-153 mEq/L)

 Kalium, magnesium : meningkat (Cl: >3,5-5,1 mEq/L, Mg: > 1,5-2,5


mEq/L)
 Kalsium : menurun (< 8,5-10,5 mEq/L)

 Pemeriksaan Urin

 Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin (anuria)

 Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat


yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak,
fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin.
 Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular

 Klirens kreatinin : mungkin menurun.


 Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.

 Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan


kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada

 Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1

 Pemeriksaan Radiologi:

Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat dari komplikasi
yang terjadi.
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram
memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan memperburuk
keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan,
tanda- tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
f. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.

 Pemeriksaan Patologi Anatomi

Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik atau
perlu diketahui etiologi daru penyakit ini
7. Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara


progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.4)Mencegah atau
mengurangi progresifitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju
filtrasi glomerulus (Almatsier, 2006). Terapi diet rendah protein (DRP)
menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi
untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen. Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus
bernilai biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total
energi, diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria, atau
anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium dibatasi (60-70
mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau
anuria.

 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan


utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu
sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin
C, vitamin D.
b. Terapi Simtomatik

 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium


(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari


kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi Medis

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
1. Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan
membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut
dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen
cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik yang digunakan
dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan atau produk limbah karena dalam tubuh penderita gagal ginjal tidak
mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002).
Menurut corwin (2000), hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh dializer
darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-
shunt). Tindakan terapi dialisis tidak

boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi.


Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat.

 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada penanganan


gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang dipakai untuk jangka
panjang. Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

2. Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien


GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan
program transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal ginjal

 Kualitas hidup normal kembali

 Survival rate meningkat

 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan


obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis
berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis beranastomosis
dengan vena iliaca komunis atau eksterna.

B. Konsep Anemia

1. Definisi

Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin


(protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun.
Anemia dapat didefinisikan sebagai nilai hemoglobin, hematokrit, atau
jumlah eritrosit per milimeter kubik lebih rendah dari normal (Dallman dan
Mentzer, 2006)

2. Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

a. Gangguan pembentukan eritrosit

Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi


tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino,
serta gangguan pada sumsum tulang.
b. Perdarahan

Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah
merah dalam sirkulasi.
c. Hemolisis

Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

Anemia pada Gagal Ginjal Kronis terutama diakibatkan oleh berkurangnya


produksi Eritropoietin. Eritropoetin merupakan hormon yang dapat merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia yang terjadi pada
gagal ginjal kronis biasanya jenis normokrom normositer dan non regeneratif.
Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan
kualitas hidup pasien GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah
aktifitas fisiologis sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.

3. Tanda Gejala

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindroma anemia yang dijumpai
pada ADB apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl, badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan

fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah
kuku.Sedangkan gejala khas pada ADB adalah: Koilonychia, Atropi papil , dan
Stomatitis angularis (cheilosis),

4. Klasifikasi

Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis


anemia:
 Anemia normositik normokrom.

Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,


hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 –
31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
 Anemia makrositik hiperkrom

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada
anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada
anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia
makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
 Anemia mikrositik hipokrom

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73
fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
- Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.

- Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.

- Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

5. Pemeriksaan Diagnostic

Kriteria diagnosis ADB menurut


WHO dan Lanzkowsky:
1) Kadar Hb kurang dari normal
sesuai usia
2) Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal : 32 –35 %)

3) Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)

4) Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)

5) Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan


kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6) Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

6. Komplikasi

Jika anemia defisiensi besi tidak ditangani dengan tepat, pada akhirnya bisa
menyebabkan komplikasi penyakit lain. Kekurangan zat besi berdampak buruk
kepada sistem kekebalan tubuh manusia. Inilah yang membuat Anda lebih mudah
terserang penyakit lainnya.
Anemia defisiensi besi juga bisa berakibat kepada terjadinya gagal jantung,
yaitu saat kinerja jantung menurun dan tidak bisa memompa darah ke seluruh
bagian tubuh dengan baik.
Bagi ibu hamil, anemia meningkatkan risiko komplikasi pada ibu dan
janinnya. Komplikasi yang bisa terjadi contohnya adalah keguguran, pertumbuhan
janin yang lambat atau tidak normal dan lahir prematur.

7. Penatalaksanaan

Secara umum, anemia dapat diatasi dengan:

a. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis


diberikan antelmintik yang sesuai.
b. Pemberian preparat Fe: Pemberian preparat besi (ferosulfat/
ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi
dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan
sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
c. Bedah : Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti
perdarahan karena diverticulum Meckel.
d. Suportif : Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-
kacangan).
Pada prinsipnya penatalaksanaan Terdiri dari tiga tahap :

a. Penatalaksanaan konservatif : Pengaturan diet protein, kalium, natrium, cairan

b. Terapi simptomatik : Suplemen alkali, transfusi, obat-obat local&sistemik,


anti hipertensi
c. Terapi pengganti : HD, CAPD, transplantasi

Terdapat variasi terapi untuk penderita CKD

a. Suplementasi eritropoetin (EPO)

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan


recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup.

Terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:

o Anemia dengan status besi cukup

o Anemia defisiensi besi:

o Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

o Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L

b. Mengurangi iatrogenic blood loss

Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga


termasuk pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang
memperberat. Kehilangan darah ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari
pengambilan yang berlebihan haruslah dalam kadar yang sekecil mungkin
c. Suplementasi besi

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada


usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum
satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak
dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi
defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi,
penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan
iron dextran atau interferon.
d. Transfusi darah

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi


darah adalah:
1) Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

2) Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL

3) Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik

4) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara
preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah
dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak
sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara
bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun
pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang
direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat
mungkin dihindari.

a. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5


mmol/l )
b. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

c. Uremia ( BUN >150 mg/dL)

d. Ensefalopati uremikum

e. Neuropati/miopati uremikum12

f. Perikarditis uremikum

g. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

h. Hipertermia (suhu >380C)

2. Keracunan akut (alcohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialysis


 HD persiapan (preparative)

 HD kronik (regular)

HD kronik merupakan hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur


hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut The Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) (2013) dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al., 2007):
a) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

c) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

d) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e) Komplikasi metabolik yang refrakter.

4. Frekuensi Hemodialisa

Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi


sebagian besar penderita menjalani dalisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa
dikatakan berhasil jika :
1. Penderita kembali menjalani hidup normal

2. Penderita kembali menjalani diet yang normal

3. Jumlah sel darah merah sulit ditoleransi

4. Tekanan darah normal

5. Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif

Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal
kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan
ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau
beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.
6. Komplikasi Hemodialisa

Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1. Kram otot

Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya


dialysate natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan cairan.
3. Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan


kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa

Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan


dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradient osmotic diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradient osmotic ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan edema serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
5. Hipoksemia

Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor


pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6. Perdarahan

Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai


dengan mengukur waktu perdarahan. Pengguanaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan factor resiko terjadinya perdarahan.
7. Gangguan pencernaan

Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemi. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
8. Pembekuan darah

Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Data yang perlu dikaji

a. Biodata

Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan Utama

Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah dan lemas, pusing, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit, sesak nafas.
c. Riwayat Penyakit

 Sekarang

Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik,


hipertensi, anemia
 Dahulu

Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi, hipertensi.
 Keluarga

Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

d. Tanda Vital

Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :

1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala

Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)

Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala :
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda :

Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)

Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan


Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala :
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda :

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang

lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme

Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan
(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia),
Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi

Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat,
merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat

Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan

Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot,
kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran

Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi


peran).
7) Pola sensori dan kognitif

Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri

Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita


mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan
dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi

Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi


sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan
libido, amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping

Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,


perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor
stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien.

2. Diagnosa Keperawatan

 Pre Hemodialisa

1. Keletihan b.d kelesuan fisiologis (anemia, penyakit), malnutrisi d.d tidak mampu
mempertahankan aktivitas fisik pada tingkat biasanya, peningkatan kelelahan
fisik
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
perikarditis
3. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang
inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
5. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d kurangnya
informasi kesehatan.
6. Kerusakan integritas kulit b.d kondisi gangguan metabolic

7. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d disfungsi ginjal, kekurangan atau


kelebihan volume caian, program pengobatan

8. Resiko harga diri rendah situasional b.d penyakit fisik, gangguan peran sosial dan
fungsi.
9. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan yang akan
dialkukan
10. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal b.d gangguan metabolis, penyakit ginjal,
hipertnsi, lanjut usia, program pengobatan
11. Risiko jatuh b.d anemia

 Intra hemodialisa

1. Resiko Perdarahan b.d efek samping terkait terapi seperti hemodialisa,


kemoterapi
2. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive

3. Nyeri akut b.d agen cedera di daerah insersi

4. Gangguan rasa nyaman b.d ansietas, merasa kurang senang dengan situasi,

5. Risiko kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi (mekanisme


peredaran darah/cairan tidak efektif saat proses dialisis berlangsung)

 Post hemodialisa

1. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive

2. Kerusakan integritas kulit b.d kondisi gangguan metabolic, benda asing yang
menusuk permukaan kulit
3. Nyeri akut b.d agen cedera di daerah insersi
3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi


1 Keletihan Setelah dilakukan askep NIC: Energy Management
1X24 jam Klien merasa
- Koreksi status fisiologis (missal:
keletihannya berkurang
sedang menjalankan kemoterapi,
Kriteria Hasil:
anemia, HD)
 Menyeimbangkan - Monitor intake nutrisi
kegiatan dengan istirahat
- Bantu klien menentukan aktifitas
 Mengadaptasikan
yang bisa dilakukannya
kegiatan sehari-hari - Anjurkan psien untuk duduk jika
dengan tingkat kekuatan meraa lelah, jangan memaksakan
 Pastikan asupan nutrisi diri
yang adekuat - Konsultasikan dengan ahli gizi diet

yang dapat meningkkatkan energy


2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan askep Monitor Pernafasan:
Pola nafas 1x24 jam pola nafas klien
- Monitor irama, kedalaman dan
menunjukkan ventilasi yg
frekuensi pernafasan.
adekuat dg kriteria :
- Perhatikan pergerakan dada.
 Tidak ada dispnea
- Auskultasi bunyi nafas
 Kedalaman nafas normal
- Monitor peningkatan ketdkmampuan
 Tidak ada retraksi dada / istirahat, kecemasan dan seseg nafas.
penggunaan otot bantuan Airway Management
pernafasan
- Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu

- Monitor status pernafasan dan


oksigenasi sesuai kebutuhan
- Auskultasi bunyi nafas
- Bersihhkan skret jika ada dengan
batuk efektif / suction jika perlu.
3 Kelebihan Setelah dilakukan askep Fluit manajemen:
volume cairan 1x24 jam keseimbangan - Monitor status hidrasi (kelembaban
b.d. mekanisme cairan pasien membaik. membran mukosa, nadi adekuat)
Pengaturan Kriteria hasil: - Monitor tnada vital
Melemah - Monitor adanya indikasi
 Bebas dari edema
overload/retraksi
anasarka, efusi
- Kaji daerah edema jika ada
 Suara paru bersih

 Tanda vital dalam batas


Fluit monitoring:
normal - Monitor intake/output cairan
- Monitor serum albumin dan protein
total
- Monitor RR, HR

- Monitor turgor kulit dan adanya


kehausan
- Monitor warna, kualitas dan BJ urine
4 Ketidakseimbang Setelah dilakukan askep 1- Manajemen Nutrisi
an nutrisi kurang 3x24jam klien menunjukan
- kaji pola makan klien
dari kebutuhan status nutrisi adekuat
- Kaji makanan yang disukai oleh klien.
tubuh Kriteria Hasil:
 BB stabil - Kolaborasi dg ahli gizi untuk
penyediaan nutrisi terpilih sesuai
 tidak terjadi mal nutrisi,
dengan kebutuhan klien.
 tingkat energi adekuat, - Anjurkan klien untuk meningkatkan

 masukan nutrisi adekuat asupan nutrisinya.


- Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi dan pentingnya bagi tubuh
klien
Monitor Nutrisi

- Monitor BB setiap hari jika


memungkinkan.
- Monitor respon klien terhadap situasi
yang mengharuskan klien makan.
- jadwalkan pengobatan dan tindakan
tidak bersamaan dengan waktu klien
makan.
- Monitor adanya mual muntah.

- Monitor adanya gangguan dalam


proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak dsb.
- Monitor intake nutrisi dan kalori.
5 Kurang Setelah dilakukan askep … Pendidikan : proses penyakit
pengetahuan jam Pengetahuan klien /
- Kaji pengetahuan klien tentang
tentang penyakit keluarga meningkat dg KH:
penyakitnya
dan Pasien mampu:
- Jelaskan tentang proses penyakit
pengobatannya  Menjelaskan kembali (tanda dan gejala), identifikasi
penjelasan yang kemungkinan penyebab.
diberikan
- Jelaskan kondisi klien
 Mengenal kebutuhan
- Jelaskan tentang program
perawatan dan
pengobatan dan alternatif
pengobatan tanpa cemas
pengobantan
 Klien / keluarga
- Diskusikan perubahan gaya hidup
kooperatif saat dilakukan
yang mungkin digunakan untuk
tindakan
mencegah komplikasi
- Diskusikan tentang terapi dan
pilihannya
- Eksplorasi kemungkinan sumber
yang bisa digunakan/ mendukung
- instruksikan kapan harus ke
pelayanan
- Tanyakan kembali pengetahuan
klien tentang penyakit, prosedur
perawatan dan pengobatan
6 Resiko infeksi Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
jam risiko infeksi terkontrol
- Ajarkan tehnik mencuci tangan
dg KH:
- Ajarkan tanda-tanda infeksi
 Bebas dari tanda-tanda
infeksi - laporkan dokter segera bila ada tanda
 Angka leukosit normal infeksi
- Tingkatkan masukan gizi yang cukup
 Pasien mengatakan tahu
tentang tanda-tanda dan - Anjurkan istirahat cukup
gejala infeksi - Berikan PEN-KES tentang risk infeksi

Proteksi Infeksi:

- monitor tanda dan gejala infeksi

- Pantau hasil laboratorium


- Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
7 risiko Setalah dilakukan askep
ketidakefektifan selama 1x24 jam, keluhan
perfusi ginjal pasien berkurang
Daftar Pustaka

Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr., et al, 2003.
The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA;289:2560-72.

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn, dan Alice C. Geissler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.


Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal. FindArticles.com.

Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing Third Edition.

Philadelphia: FA Davis Company

Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter M. Hipertensi dan
pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med Bull 1994; 50:356-70.

Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI.

NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC). the
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).

Rivandi, Janis. Dkk. 2015. Hubungan Diabetes MelitusDengan Kejadian Gagal Ginjal
Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.

Purnomo, B. Basuki.2000.Dasar-dasar Urolog , cetakan I. Jakarta : CV. Infomedika


Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’ guide.
(http://www.kidney.org.uk).

Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.

Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.


Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG

Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing
10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.

Susanne, C Smelzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi VIII, Volume 2.

Jakarta: EGC

Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.

Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Buku 1. Jakarta: Salemba Medika

Universitas Sumatera Utara. 2011. Bab 2 Tinjuan Pustaka.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter%20II.pdf. diakses

pada tanggal 09 Juli 2015

Anda mungkin juga menyukai