Anda di halaman 1dari 8

Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

Evaluasi Keefektifan Penggelolaan Obat di Rumah Sakit


Niken Dyahariesti*, Richa Yuswantina
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
Jl. Diponegoro , Ungaran, Kabupaten Semarang
Email: nikenariesti09@gmail.com

ABSTRAK
Pengelolaan obat yang efektif sangat membantu peningkatan kualitas pelayanan
fasilitas kesehatan kepada masyarakat. Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas kesehatan
yang menjadi rujukan utama masyarakat. Kerenanya diperlukan pengelolaan obat yang
efektif di semua tahap untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevalusi efektivitas pengelolaan obat di RS X pada tahun 2017. Penelitian ini merupakan
penelitian non-eksperimental menggunakan data retrospektif. Hasil penelitian didapatkan
bahwa pada tahap seleksi 100% penggunaan obat sesuai dengan formularium. Pada tahap
pengadaan menunjukkan dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang sesungguhnya
103,65%, alokasi dana pengadaan obat 10,56%, kesesuaian pengadaan dengan kenyataan
pakai 96,33%, frekuensi pengadaan obat pertahun <12 kali, frekuensi kesalahan faktur 0%,
dan frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit adalah 0%. Pengelolaan obat pada
pada tahap distribusi di dapatkan Turn over ratio sebesar 8,6 kali, tingkat ketersediaan obat
27,4 bulan, nilai obat yang kadaluarsa dan rusak yaitu 0,5%, stock mati yaitu 2,7%.
Sedangakan pengelolaan obat pada pada tahap penggunaan: jumlah rata-rata obat tiap resep
yaitu 3,11; obat generik yang diresepkan 41,80%, antibiotik yang diresepkan 10 %, injeksi
yang diresepkan 3,9%.

Kata kunci : evaluasi , pengelolaan obat, rumah sakit.

PENDAHULUAN yang tepat dalam pengadaan, penempatan


dan sistem yang tepat dalam
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar pendistribusian obat, serta penggunaan
manusia untuk hidup layak dan produktif. obat yang sesuai kondisi pasien akan
Salah satu upaya menjaga kesehatan sangat manfaat untuk rumah sakit.
adalah dengan memanfaatkan fasilitas Manfaat dari pengelolaan obat yang baik
kesehatan seperti rumah sakit. Rumah antara lain tidak ada kekosongan obat,
sakit merupakan salah satu fasilitas tidak ada penumpukan obat yang berakibat
kesehatan yang melakukan pelayanan akan menyebabkan banyak obat yang
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian rusak ataupun kadaluarsa, serta
adalah suatu pelayanan langsung dan penggunaan yang tepat akan sangat
bertanggung jawab kepada pasien yang berdampak positif untuk pengobatan
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan pasien. Adanya kekosongan obat akan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk berpengaruh terhadap banyak aspek baik
meningkatkan mutu kehidupan pasien dari aspek ekonomi,klinik maupun
Pengadaan sediaan farmasi memerlukan kepuasan masyarakat.
perhatian yang besar karena memakan Pengelolaan obat melalui berbagai
anggaran paling besar dari rumah sakit. tahap yaitu perencanaan, pengadaan,
Pemilihan sediaan farmasi terutama obat distribusi dan pemakaian. Masing –
yang tepat dalam perencanaan, jumlah masing tahap tersebut saling terkait satu

1485
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

dengan yang lainnya. Oleh karena itu x = jumlah item obat yang digunakan
untuk mengetahui efektivitas pengelolaan y = jumlah item obat yang tersedia
obat harus dilihat dari ke empat tahap b. Tahap pengadaan :
tersebut. Jika ke empat tahap tersebut 1. Persentase modal dana yang
memenuhi persyaratan dari masing- tersedia dengan keseluruhan obat
masing indikator, dapat dikatakan yang dibutuhkan
pengelolaan obat di rumah sakit tersebut z = x/y x 100 %
sudah bagus. x = dana yang tersedia
Sistem pengelolaan obat yang y = kebutuhan dana yang
efektif perlu dilakukan karena merupakan dibutuhkan
sistem pelayanan kesehatan yang 2. Presentase alokasi dana pengadaan
memberikan pelayanan berdasarkan aspek obat
keamanan, efektif dan ekonomis untuk z = x/y x 100 %
mencapai efektivitas dan efisiensi x = dana yang tersedia
pengelolaan obat. Mengingat besarnya y = kebutuhan dana yang
pengaruh persediaan farmasi terutama obat sesungguhnya
untuk kelancaran pelayanan di rumah 3. Kesesuaian pengadaan dengan
sakit, maka perlu adanya perhatian khusus kenyataan npakai masing –masing
untuk mengelolanya. Penelitian tentang obat
pengelolaan obat ini sangat bermanfaat z = x/y x 100 %
untuk masyarakat maupun rumah sakit, x =jumlah item obat yang ada
maka dari itu peneliti sangat tertarik untuk diperencanaan
meneliti tentang keefektivan pengelolaan y = jumlah item obat dengan
sediaan farmasi. kenyataan pakai
4. Frekuensi pengadaan tiap obat
METODE PENELITIAN pertahun
Penelitian ini termasuk dalam Ambil kartu stok obat secara acak
penelitian non-eksperimental dan kemudian diamati berapa kali obat
merupakan penelitian deskriptif. Dalam dipesan tiap tahunnya
penelitian deskriptif, kegiatannya hanya 5. Persentase kesalahan faktur
sebatas pengumpulan data, pengolahan z = x/y x 100 %
data, penyajian data, dan analisis x : jumlah faktur yang salah
sederhana seperti mencari nilai tengah, y : jumlah seluruh faktur
variasi, rata-rata, rasio atau proporsi dan 6. Frekuensi tertundanya pembayaran
persentase (Notoatmodjo, 2010). oleh rumah sakit terhadap waktu
Penelitian ini mengambil data secara yang disepakati
retrospektif. Data yang diambil adalah Amati daftar utang dan cocokkan
data primer dan seunder. Data primer dengan daftar pembayaran (x hari).
diambil dengan melakukan wawancara c. Tahap Distribusi
kepada staf instalasi farmasi rumah sakit 1. Turn Over Ratio
dan bagian keuangan. Untuk data sekunder Hitung omset dalam satu tahun
diambil dari lembar resep, faktur, dan HPP rata – rata nilai persediaan
keuangan, dan kartu stok tahun 2017. obat
Perhitungan indikator efisiensi 2. Tingkat ketersediaan obat
pengelolaan obat sebagai berikut: (Satibi, Hitung jumlah stock obat (x)
2016 ) ditambah pemakaian obat selama 1
a. Tahap seleksi : tahun (y) kemudian dibagi dengan
kesesuaian item obat yang tersedia rata – rata pemakaian obat per bulan
dengan formularium 3. Persentase dan nilai obat yang
z = x/y x 100 % kadaluwarsa dan atau rusak

1486
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

Dari catatan obat kadaluarsa dalam 1 pengadaan obat


tahun, hitung nilai (X) dan nilai  Kesesuaian pengadaan 96,33 %
stock opname (y) dengan kenyataan
4. Persentase stok mati pakai
Hitung jumlah item obat selama 3  Frekuensi pengadaan < 12 x
bulan tidak terpakai (x) dan jumlah obat pertahun
 Frekuensi kesalahan 0%
item obat yang ada stoknya (y)
faktur
d. Tahap penggunaan :
 Frekuensi tertundanya 0%
1. Jumlah item obat perlembar resep
pembayaran oleh
C = B/A rumah sakit
C: jumlah rata-rata obat tiap resep 3 Distribusi
B : jumlah total produk obat yang  TOR 8,6 x
diresepkan  Tingkat ketersediaan 27,4
A: jumlah resep yang disurvei obat bulan
2. Presentasi obat dengan nama generik  Obat kadaluarsa dan 0,5 %
E= (D/B) X 100 % rusak
E: presentase obat generik yang  Stock mati 2,7 %
diresepkan 4 Penggunaan
D: total item obat generik yang  Jumlah rata-rata obat 3,11
diresepkan tiap resep
B: total item obat yang diresepkan  Obat generik yang 41,80 %
3. Persentase peresepan obat diresepkan
antibiotik  Antibiotik yang 10 %
G = ( F/A) X 100 % diresepkan
 Injeksi yang 3,9 %
G: presentase antibiotik yang
diresepkan
diresepkan
F: total pasien yang menerima
satu/lebih antibiotik 1. Seleksi ( 100 % )
A: total jumlah obat Semua obat sesuai dengan
4. Persentase peresepan injeksi formurium, hal ini menandakan
I = ( H/A) x 100 % bahwa pemilihan obat sudah efektif
I : presentase obat injeksi sesuai dengan standart 100%
diresepkan (Depkes, 2008 )
H : total pasien yang menerima
satu/lebih injeksi 2. Pengadaan
A: total jumlah obat a. Dana yang tersedia dengan
keseluruhan dana yang dibutuhkan
( 103, 65% )
Hasil ini sesuai indikator menurut
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pudjaningsih ( 1996 ) yaitu sebesar
Tabel 1. Hasil indikator pengelolaan obat 100%. Tercukupinya dana untuk
No Indikator Hasil pengadaan obat sangat membantu
1 Seleksi instalasi farmasi dapat menjamin
 Penggunaan obat 100 % ketersediaan obat untuk pasien.
sesuai formularium Adanya buffer dana yang diberikan
2 Pengadaan dimanfaatkan pihak instalasi farmasi
 Dana yang tersedia 103,56 % untuk pengadaan obat secara just in
dengan keseluruhan time. Penelitian yang serupa pernah
dana sesungguhnya dilakukan oleh Sasongko dan
 Alokasi dana 10,56 %

1487
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

Octadevi (2016) di RSUD Sukoharjo jumlah besar dapat meminimalkan


di dapatkan sebesar 96,16%. biaya pemesanan tetapi meningkatkan
b. Alokasi dana pengadaan obat (10, biaya penyimpanan. Rendahnya
56%). frekuensi pengadaan obat juga pernah
Untuk indikator alokasi dana diteliti pada oleh Mahdiyani dkk
pengadaan obat dikatakan kurang (2018) di Muntilah dimana rata-rata
efisien karena standar yang frekuensi pengadaan item obat di
ditetapkan adalah 30-40% (DepKes, RSUD Muntilan pada tahun 2015
2008). Walaupun alokasi dana untuk sebesar 4,16 kali dan 3,54 kali pada
pengadaan obat tidak sesuai standar, tahun 2016.
tetapi anggaran yang ada sudah e. Frekuensi tertundanya pembayaran
mencukupi kebutuhan dana oleh rumah sakit terhadap waktu yang
pengadaan obat, hal ini dibuktikan telah disepakati = 0%
dengan tidak adanya pembayaran Hal ini telah sesuai dengan indikator
obat yang melewati batas kesepakatan Pudjaningsih (1996) yaitu nilai
pembayaran. Penelitian lain tentang standar sebesar 0%, maka
persentase alokasi dana yang lebih pengelolaan obat pada indikator ini
kecil dari standar juga dilaporkan sudah efektif. Hal ini menunjukkan
Suyanti 2016 di RSUD Gambiran bahwa anggaran yang diberikan dari
Kota sebesar 16, 53%. rumah sakit sudah baik sehingga
c. Kesesuaian pengadaan dengan meningkatkan kepercayaan pihak
kenyataan pakai ( 96,33%). pemasok kepada rumah sakit dan
Hal ini tidak sesuai dengan standar dapat melancarkan suplai obat di
yang ditetapkan oleh Pudjaningsih kemudian hari. Pembayaran yang
(1996) yaitu 100%. Hal ini terjadi dilakukan di RS X yaitu
karena ada penyakit tertentu, yang menggunakan sistem langsung (LS)
membutuhkan penanganan segera. Ini untuk pembayaran diatas 50 juta dan
terjadi dikarenakan ada beberapa sistem ganti uang (GU) untuk
kebutuhan tertentu seperti adanya pembayaran dibawah 50 juta.
kasus penyakit yang memerlukan f. Kesalahan faktur = 0%
penanganan segera sehingga Tidak terjadinya kesalahan faktur ini
menyebabkan ketidaksesuaian dengan telah sesuai dengan indikator
perencanaan. Sistem pengadaan obat Pudjaningsih (1996) yaitu nilai
untuk obat kondisi seperti ini adalah standar sebesar 0%, maka
just in time . Penelitian serupa yang pengelolaan obat pada indikator ini
pernah dilakukan di RSUD Karel sudah efektif. Indikator kesalahan
Sudsuitubun Kabupaten Maluku faktur meliputi ketidaksesuaian
Tenggara terkait penilaian kesesuaian antara jenis obat dan jumlah obat
pengadaan dengan kenyataan pakai dalam faktur terhadap surat pesanan.
untuk masing-masing item obat Berdasarkan wawancara dengan
sebesar 72,73% (Wirdah , 2013). bagian gudang, kesalahan faktur
d. Frekuensi pengadaan tiap obat per sangat dihindari sehingga dalam
tahun = rendah (<12x/tahun) penerimaan barang harus benar-benar
Frekuensi pengadaan yang rendah teliti, karena apabila terdapat
menunjukkanketidak mampuan IFRS kesalahan faktur maka dapat
dalam merespon obat saat itu. mengakibatkan permasalahan dalam
Frekuensi pengadaan di rumah sakit proses pembayaran. Penelitian serupa
X rendah karena pemesanan obat juga pernah dilakukan di RSUD
dalam sekali pengadaan dalam Ambarawa terkait frekuensi kesalahan
jumlah banyak. Pemesanan dalam

1488
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

faktur dengan persentase 0% meminta obat yang tidak sesuai dengan


(Lahwida, 2017). kondisi medisnya pasien meminta obat
lain yang biasa digunakan dan pasien
3. Distribusi meminta obat merek lain karena
a. Turn Over Ratio (TOR) = 8,6 kali pengaruh promosi atau iklan. Dampak
TOR yang dihasilkan sebesar 8,6 kali jika ketersediaan obat tinggi adalah
sudah sesuai standar Pudjaningsih kerugian untuk rumah sakit karena
(1996) menunjukkan 8-12 kali dalam perputaran modal yang tidak lancar,
setahun, maka perputaran modal pada penumpukan obat yang bisa berdampak
indikator ini sudah memenuhi standar pada kerusakan obat atau obat
dan dapat dikatakan efektif. TOR mengalami kadarluarsa yang nantinya
adalah tingkat perputaran persediaan tetap menjadi kerugian bgai rumah
menunjukkan berapa kali persediaan sakit. Hal yang dapat dilakukan untuk
tersebut diganti dalam arti dibeli dan menangani tingginya tingkat
dijual kembali. Semakin tinggi TOR ketersediaan obat yaitu mengevaluasi
maka semakin efisien pengelolaan obat. dan melakukan sistem perencanaan dan
Apabila TOR rendah, berarti masih pengadaan obat dengan selektif
banyak stok obat yang belum terjual disesuaikan dengan kebutuhan rumah
sehingga mengakibatkan obat sakit serta mengacu pada prinsip
menumpuk dan berpengaruh terhadap efektif, aman, ekonomis, dan rasional
keuntungan (Satibi, 2016). Semakin (Risqi et al, 2016).
tinggi nilai TOR, maka semakin efisien c. Nilai obat kadaluarsa atau rusak =
pengelolaan obat yang akan menambah 0,5%
keuntungan bagi rumah sakit dari Untuk indikator ini dikatakan belum
penjualan persediaan obat (Fakhriadi et efektif karena nilai standar pada
al, 2011). indikator ini menurut Pudjaningsih
b. Tingkat ketersediaan obat= 27,4 (1996) adalah 0%. Adanya obat
Nilai standar tingkat ketersediaan obat yang rusak atau kadaluarsa
menurut WHO (1993) adalah 12-18 merupakan kerugian bagi rumah sakit.
bulan , maka untuk indikator ini Besarnya persentase nilai obat
dikatakan belum efektif. Faktor yang kadaluarsa mencerminkan kurangnya
mempengaruhi ketersediaan obat adalah pengawasan dalam penyimpanan
pola peresepan dokter berubah-ubah (Purwidyaningrum et al, 2012). Upaya
yang menyebabkan obat-obat yang yang dilakukan pihak rumah sakit
digunakan juga berubah, akibatnya dalam menangani obat yang hampir
banyak obat tidak digunakan dan kadaluarsa dari pihak instalasi farmasi
akhirnya menumpuk. Setiap obat yang rumah sakit akan memberikan
tersedia di rumah sakit memiliki nilai rekomendasi kepada para dokter untuk
investasi dan suatu jenis pesediaan meresepkan daftar obat hampir
farmasi dapat mengahabiskan sejumlah kadaluarsa terlebih dahulu. Obat yang
anggaran baik itu banyak maupun kadaluarsa dan rusak dapat disebabkan
sedikit jadi masalah pembayaran dapat oleh penggunaannya cenderung lebih
mempengaruhi ketersediaan suatu obat kecil sehingga obat menumpuk dan
(Suryantini et al, 2016). Penyebab lain menjadi kadaluarsa Terjadinya obat
karena adanya pengadaan obat oleh yang kadaluarsa dan rusak
dokter yang tidak untuk kebutuhan mencerminkan ketidaktepatan
pasien misalnya karena tergiur bonus perencanaan, kurang baiknya sistem
dan discount. Penyebab lainnya seperti distribusi dan kurangnya pengamatan
pasien juga dapat mempengaruhi mutu dalam penyimpanan obat.
tingkat ketersediaan obat yaitu pasien Adanya obat yang mengalami

1489
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

kadaluarsa mencerminkan kurang Hasil penelitian indikator jumlah rata-


baiknya pengelolaan obat (Razak et al, rata obat tiap resep yaitu 3,11 belum
2012). Faktor-faktor yang efisien sesuai standar yang diberikan
menyebabkan obat rusak adalah faktor oleh WHO (1993) dengan nilai 1,8-2,2
internal yaitu proses peruraian obat itu item obat tiap lembar resep. Indikator
sendiri seperti perubahan fisika yang rata-rata jumlah obat perlembar resep
meliputi perubahan bentuk bila berupa biasanya dihubungkan dengan derajat
syirup atau suspensi bila obat dikocok polifarmasi. Peresepan polifarmasi
tidak tercampur, menjadi keruh, adalah mengkonsumsi lebih dari satu
terbentuk endapan dan perubahan macam obat untuk kondisi yang sama
warna. Atau ada partikel asing. Dan (Quick et al, 1997)., Semakin
faktor eksternal seperti ruang meningkatderajat polifarmasi maka
penyimpanan yang tidak sesuai, sistem kemungkinan adanya interaksi obat
penataan sediaan obat yang tidak baik. juga semakin besar. Persepsi dokter
d. Stok mati = 2,7 % bahwa dari obat yang diberikan
Untuk indikator persentase stok mati beberapa diantaranya memberikan efek
dikatakan belum efektif, sesuai yang diharapkan. Dalam penulisan
standart 0 % ( Depkes, 2008 ). Sediaan resep sebaiknya dokter selaku penulis
obat dikatakan stok mati jika obat resep tidak langsung menuliskan obat
tersebut tidak bergerak sama sekali berdasarkan yang ada, karena penulisan
selama 3 bulan. Stok mati dapat obat yang rasional harus didukung
disebabkan karena pengadaan obat dengan hasil laboratorium klinik untuk
yang tidak sesuai dengan kebutuhan menjamin ketepatan dan ketajaman
dan juga karena perubahan pola diagnosis pada pasien (Razak et al,
penyakit atau pola peresepan dokter 2012).
(Razak et al, 2012). Adanya stok mati b. Obat generik yang diresepkan = 41,80%
merupakan kerugian bagi rumah sakit, Hasil penelitian indikator persentase
karena perputaran modal yang tidak obat generik yang diresepkan yaitu
lancar, jika ini berlangsung lama maka 41,80% belum efisien dengan standar
obat dapat rusak dan kadaluarsa. Pada nilai yang diberikan oleh Quick et al
saat perencanaan pengadaan obat (1997) sebesar 82%-94%. Hasil
seharusnya berdasarkan pada tersebut masih sangat rendah hal
kebutuhan, pemilihan jenis, jumlah tersebut dapat disebabkan oleh para
dan harga perbekalan farmasi yang dokter yang merasa lebih mudah
sesuai dengan kebutuhan dan anggaran mengingat nama dagang dari pada
yang tersedia sehingga dapat nama generik dan untuk pasien tertentu
meminimalisir obat menumpuk dan yang sudah merasa cocok pada suatu
terjadinya stock mati obat. Upaya obat merk akan lebih memilih obat
evaluasi yang dilakukan rumah sakit tersebut daripada obat generik. Dan
terhadap adanya stok mati juga dapat disebabkan oleh rendahnya
menginformasikan kepada dokter agar pengetahuan masyarakat tentang obat
obat-obat tersebut diresepkan terlebih generik itu sendiri (Handayani, 2010).
dahulu dan juga selalu dievaluasi Tingginya kepercayaan masyarakat
tanggal kadaluarsa dengan cara dicatat terhadap obat branded disebabkan
di kartu stock obat agar mempermudah karena sugesti mereka bahwa obat
pengecekkan. yang mahal memiliki efektivitas yang
lebih bagus.
4. Penggunaan c. Peresepan obat antibiotik = 10%
a. Jumlah rata-rata obat perlembar resep = Hasil penelitian indikator persentase
3,11 antibiotik yang diresepkan yaitu sebesar

1490
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

10% sudah efisien dengan standar nilai KESIMPULAN


maksimal dari Quick et al (1997) yang Pengelolaan obat pada tahap seleksi di
memberikan nilai sebesar 63%. Rumah Sakit X pada tahun 2017
Indikator ini untuk mengatahui berdasarkan indikator kesesuaian
kecenderungan penggunaan antibiotik. perencanaan item obat dengan formularium
Peresepan antibiotik hanya dilakukan rumah sakit sudah efektif dengan
jika terjadi infeksi. Penggunaan persentase yaitu sebesar 100%. Pengelolaan
antibiotik yang berlebihan akan obat pada tahap pengadaan di Rumah Sakit
menyebabkan tingkat resistensi yang X tahun 2017 menunjukkan persentase
tinggi. Resistensi dapat terjadi jika dana yang tersedia dengan keseluruhan
pengunaan antibiotik yang tidak tepat dana yang sesungguhnya 103,65%,
indikasi dan tidak ada indikasi infeksi persentase alokasi dana pengadaan obat
tetapi diberikan antibiotik. Penelitian 10,56%, Persentase kesesuaian pengadaan
yang sama pernah dilakukan Rahma dengan kenyataan pakai untuk masing-
( 2017 ) yang dilakukan di RS masing item obat 96,33%, frekuensi
Ambarawa dan diperoleh hasil sebesar pengadaan tiap item obat pertahun <12 kali,
11,7%. frekuensi kesalahan faktur 0%, dan
d. Peresepan injeksi = 3,9% frekuensi tertundanya pembayaran oleh
Hasil penelitian indikator persentase rumah sakit terhadap waktu yang disepakati
injeksi yang diresepkan yaitu sebesar adalah 0%. Pengelolaan obat pada pada
3,9% sudah efisien dengan standar tahap distribusi di Rumah Sakit X tahun
nilai WHO (1997) yang memberikan 2017 berdasarkan indikator Turn over ratio
nilai sebesar 0,2%-48%. Indikator ini yaitu 8,6 kali, tingkat ketersediaan obat
digunakan untuk mengukur yaitu 27,4 bulan, persentase nilai obat yang
penggunaan injeksi. Penggunaan kadaluarsa dan rusak yaitu 0,5%, persentase
injeksi untuk pengobatan harus stock mati pada penelitian yaitu 2,7%.
dilakukan oleh ahlinya. Penggunaan Pengelolaan obat pada pada tahap
injeksi dapat menyebabkan penggunaan di Rumah Sakit X tahun 2017
peningkatan resiko sepsis, iritasi, berdasarkan indikator jumlah rata-rata obat
infeksi melalui rute parenteral dan tiap resep yaitu 3,11, persentase obat
biaya terapi yang mahal dan sulit generik yang diresepkan yaitu 41,80% ,
terjangkau (Angamo et al, 2011). persentase antibiotik yang diresepkan yaitu
Penggunaan injeksi sebaiknya lebih 10% ,persentase injeksi yang diresepkan
diminimumkan untuk mengindari yaitu 3,9% .
infeksi melalui parenteral dan
menurunkan biaya obat perlembar DAFTAR PUSTAKA
resep agar lebih terjangkau. Selain itu Abd. Razak. Gunawan P. Muji H. 2012.
juga untuk meminimalkan biaya Analisis Efisiensi Pengelolaan Obat
pengadaan obat injeksi sehingga biaya Pada Tahap Distribusi Dan
yang ada dapat digunakan untuk Penggunaan Di Puskesmas. Jurnal
mengadakan obat-obat lain yang lebih Managemen Dan Pelayanan
dibutuhkan. Penggunaan injeksi yang Farmasi. Fakultas Farmasi
tinggi disebabkan karena banyaknya Univeritas Setia Budi. Surakarta.
pasien yang meminta dokter untuk Angamo, M.T. Wabe, N.T. Raju, N.J.
memberikan obat injeksi, hal ini sudah 2011. Assesmens Of Patterns Of
menjadi kebiasaan msyarakat jika Drug Use By Using World Health
belum disuntik belum sembuh. Sugesti Organization’s Prescribing, Patien
inilah yang masih ada sampai Care and Health Facility Indicators
sekarang. In Selected Health Facilities In
Southwest Ethiopia. Jurnal of

1491
Media Farmasi Indonesia Vol 14 No 1

applied pharmaceutical science. Dan Pelayanan Farmasi.


University Jimma Oromia Ethiopia. Universitas Muhammadiyah Solo
Depkes RI.2008. Undang-Undang No.44 Quick,J.P., Ranklin,J.P., Laing
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, R.O.,O’Cornor,R.W.,1997.
Jakarta: Departemen Kesehatan Managing Drug Supply, the
Republik Indonesia. selection, procurement, distribution
Fakhriadi Akhmad, Marchaban, Dwi and use of Pharmaceutical, second
Pudjaningsih. 2011. Analisis edition,USA: Kumarin Press,
Pengelolaan Obat Di Instalasi Conectius
Farmasi Rumah Sakit PKU Risqi Hasanor, Diesti A.N. Dian M. 2016.
Muhammadiyah Temanggung Analisis Ketersedian Obat Public
Tahun 2006, 2007, Dan 2008. Pada Era Jaminan Kesehatan
Jurnal manajemen dan pelayanan Nasional Di Dinas Kesehatan
farmasi. Universitas Gadjah Mada. Kabupaten Seleman Tahun 2015.
Yogyakarata Jurnal Ilmiah Farmasi. Universeitas
Handayani R.S. 2010. Ketersediaan Dan Islam Indonesia. Yogyakarta.
Peresepan Obat Generic Dan Obat Sasongko, S dan Octadevi, O.M. 2016.
Esensial Di Fasilitas Pelayanan Overview Of Drug Procurement
Kedokteran di 10 Kabupaten/Kota Management Indicators In
Di Indonesia. Bulletin penelitian Sukoharjo Central Java Hospital.
sistem kesehatan. Journal of Pharmaceutical Science
Lahwida, Ayu. 2017. Efisiensi and Clinical Research, Surakarta
Pengendalian Persediaan Obat Pada Satibi. 2016. Manajemen Obat di Rumah
Tahap Pengadaan (Procurement) di Sakit. Gadjah Mada University
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Press. Yogyakarta
Umum Daerah Ambarawa Tahun Suyanti, T. 2016. Analisis Pengelolaan
2015 Dan 2016. Skripsi. Fakultas Obat Pada Tahap Pengadaan Di
Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Instalasi Farmasi RSUD Gambiran
Waluyo, Ungaran. Kota Kediri Tahun 2016. Jurnal
Mahdiyani, U., Wiedyaningsih, C., Endarti, Farmasi Indonesia, Surakarta.
D. 2018. Evaluasi Pengelolaan Obat Suryantini Ni Luh. Gayatri Citraningtyas.
Tahap Perencanaan dan Pengadaan Sri Sudewi. 2016. Evaluasi
di RSUD Muntilan Kabupaten Perecanaan dan Pengadaan Obat
Magelang Tahun 2015 – 2016. Antibiotik dengan Menggunakan
JMPF, Yogyakarta. Analisis ABC Terhadap Nilai
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Persediaan di Instalasi Farmasi
Penelitian kesehatan. PT. Rineka RSUP Prop. Dr.R.D.Kandou
cipta. Jakarta Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi.
Pudjaningsih. D. 1996. Pengembangan Program Studi Farmasi UNSRAT.
Indikator Efisiensi Pengelolaan Manado.
Obat di Farmasi Rumah Sakit. Wirdah. 2013. Evaluasi Pengelolaan Obat
Tesis. Magister Manajemen Rumah Dan Strategi Perbaikan Dengan
Sakit. Yogyakarta. Universitas Metode Hanlon Di Instalasi Farmasi
Gadjah Mada. Rumah Sakit Tahun 2012. Jurnal
Purwidyaningrum, Ika. Lukman Hakim. Sri Manajemen dan Pelayanan
Wahyuni P. 2012. Evaluasi Efisiensi Farmasi, Surakarta.
Distribusi Obat Rawat Inap Di
Instalasi Farmasi RSUD Tarakan
Jakarta Pusat. Jurnal Manajemen

1492

Anda mungkin juga menyukai