Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN EFUSI PLEURA

A. Pengertian Efusi Pleura


Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Nurarif et
al, 2015).
Efusi pleura adalah kondisi paru bila terdapat kehadiran dan peningkatan cairan
yang luar biasa di antara ruang pleura. Pleura adalah selaput tipis yang melapisi
permukaan paru-paru dan bagian dalam dinding dada di luar paru-paru. Di
pleura, cairan terakumulasi di ruang antara lapisan pleura. Biasanya, jumlah
cairan yang tidak terdeteksi hadir dalam ruang pleura yang memungkinkan
paru-paru untuk bergerak dengan lancer dalam rongga dada selama pernapasan
(Philip, 2017).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan viceralis dan parietalis. Proses penyakit primer jarang
terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain
(Nurarif & Kusuma, 2015).
Efusi pleura adalah kondisi dimana udara atau cairan berkumpul dirongga
pleura yang dapat menyebabkan paru kolaps sebagian atau seluruhnya (Nair &
Peate, 2015).

B. Etiologi Efusi Pleura


Efusi pleura adalah akumulasi cairan pleura akibat peningkatan kecepatan
produksi cairan, penurunan kecepatan pengeluaran cairan atau keduanya, ini
disebabkan oleh satu dari lima mekanisme berikut (Morton 2012) :
1. Peningkatan tekanan pada kapiler sub pleura atau limfatik
2. Peningkatan permeabilitas kapiler
3. Penurunan tekanan osmotic koloid darah
4. Peningkatan tekakanan negative intrapleura
5. Kerusakan drainase limfatik ruang pleura
Penyebab efusi pleura:
1. Infeksi
a. Tuberkulosis
b. Pneumonitis
c. Abses paru
d. Perforasi esophagus
e. Abses sufrenik
2. Non infeksi
a. Karsinoma paru
b. Karsinoma pleura: primer, sekunder
c. Karsinoma mediastinum
d. Tumor ovarium
e. Bendungan jantung: gagal jantung, perikarditiskonstriktiva
f. Gagal hati
g. Gagal ginjal
h. Hipotiroidisme
i. Kilotoraks
j. Emboli paru.

Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk :


1. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongesif (gagal jantung
kiri), sindrom nefrotik, asites (karena sirosis hati), sindrom vena kava
superior, tumor dan sindrom meigs.
2. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi
dan penyakit kolagen.
3. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru
dan tuberculosis.
C. Anatomi Fisiologi Efusi Pleura

1. Trakea
Trakea juga dikenal sebagai tenggorokan. Trakea adalah tulang tabung yang
menghubungkan hidung dan mulut ke paru-paru. Ini adalah tabung berotot
kaku terletak di depan kerongkongan yang sekitar 4,5 inci panjang dan lebar
1 inci.
2. Bronkus
Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-kira
veterbrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh jenis sel yang sama. Trakea bercabang menjadi bronkus utama
(primer) kiri dan kanan. Bronkus kanan lebih pendek lebih lebar dan lebih
vertikal dari pada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan
mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri disebut lobus
bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan
berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa
cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
3. Bronkioli
Bronkioli membentuk percabangan menjadi bronkioli terminalis yang tidak
mempunyai kelenjar lender dan silia. Bronkioli terminalis ini kemudian
menjadi bronkioli respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional
antara udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai titik ini, jalan
udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan
trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas.
4. Pleura Parietal dan Pleura Visceral
Pleura yang bagiannya menempel dengan dinding dalam rongga dada
disebut pleura parietalis dan bagian yang melekat dengan paru-paru disebut
pleura visceralis. Sebetulnya pleura ini merupakan kantung yang dindingnya
berisi cairan serosa yang berguna sebagai pelumas sehingga tidak
menimbulkan sakit bila antara dinding rongga dada dan paru-paru terjadi
gesekan pada waktu respirasi.
5. Lobus
Lobus merupakan jalur dari paru-paru yang terdiri dari beberapa bagian
yaitu paru kiri terdiri dari dua lobus (lobus superior dan lobus inferior) dan
paru kanan terdiri dari tiga lobus yaitu (lobus superior, lobus medius dan
lobus inferior).

Pleura merupakan lapisan pembungkus paru. Di mana antara pleura yang


membungkus pulmo dekstra et sinistra dipisahkan oleh adanya mediastinum.
Pleura dari interna ke eksterna terbagi atas 2 bagian :
1. Pleura Viscelaris/Pulmonis yaitu pleura yang langsung melekat pada
permukaan pulmo.
2. Pleura Parietalis yaitu bagian pleura yang berbatasan dengan dinding
thoraks.
Kedua lapisan pleura ini saling berhubungan pada hilus pulmonis sebagai
ligamen Pulmonal (pleura penghubung). Di antara kedua lapisan pleura ini
terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cairan pleura. Dimana di dalam
cairan pleura ini terdapat sedikit cairan pleura yang berfungsi agar tidak terjadi
gesekan antara pleura ketika proses pernapasan (Wijaya & Putri, 2013).
Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru kanan yang terdiri tiga
lobus terdiri dari bagian atas, tengah dan bawah sedangkan paru-paru kiri
terdiri dari 2 lobus yaitu lobus atas dan bawah. Bagian atas puncak paru disebut
apeks yang menjorok ke atas arah leher pada bagian bawah disebut basal. Paru-
paru dilapisi oleh selaput pleura. Dari segi anatomisnya, permukaan rongga
pleura berbatasan dengan paru sehingga cairan pleura mudah bergerak dari satu
rongga ke rongga yang lainnya. Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada
rongga kosong diantara kedua pleura, karena biasanya sekitar 10-20 cc cairan
yang merupakan lapisan tipis serosa yang selalu bergerak secara teratur. Cairan
ini berfungsi untuk pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut
mudah bergeser satu sama lain.
Setiap saat, jumlah cairan dalam rongga pleura bisa menjadi lebih dari cukup
untuk memisahkan kedua pleura. Jika terjadi, maka kelebihan tersebut akan
dipompa keluar oleh pembuluh limfatik dari rongga pleura ke mediastinum.
Permukaan superior diafragma dan permukaan lateral pleura parietalis,
memerlukan adanya keseimbangan antara produksi cairan pleura oleh pleura
parietalis dan absorbs oleh cairan viseralis. Oleh karena itu, rongga pleura
disebut sebagai ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit,
sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas (Muttaqin, 2011).

D. Klasifikasi Efusi Pleura


Efusi pleura di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Efusi pleura transudate
Merupakan ultra filtrat plasma, yang menandakan bahwa membran pleura tidak
terkena penyakit. Akumulasi cairan di sebabkan oleh faktor sistemik yang
mempengaruhi produksi dan absorbsi cairan pleura.
2. Efusi pleura eksudat
Efusi pleura ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler
yang rusak dan masuk kedalam paru terdekat (Morton, 2012).

E. Patofisiologi Efusi Pleura


Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura
parietalis dan pleura viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan
antara 10 cc - 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak
teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura,
sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa
cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut
dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan
tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi
oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler
pulmonal.
Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah
terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam
rongga pleura tetap karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi.
Keadaan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic
koloid.
Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya
adalah infeksi tuberkulosa paru. Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama
basil Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli,
terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas
membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat
menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya
efusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek
atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robekkan kearah
saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat,
yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan
aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bisa
juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit
antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear,
tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman
tubukolusa. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri
tubukolosis, tapi karena akibat adanya efusi pleura dapat menimbulkan
beberapa perubahan fisik antara lain: Irama pernapasan tidak teratur, frekuensi
pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang lebih cembung,
fremitus raba melemah, perkusi redup.
Selain hal - hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh efusi pleura
yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan
berat badan menurun (Nair & Peate, 2015).

F. Manifestasi Klinis Efusi Pleura


Adapun manifestasi klinik dari efusi pleura yaitu :
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,
setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita
akan sesak nafas.
2. Adanya gejala penyakita seperti demam, menggigil,dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), banyak
keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan berkurang
bergerak dalam pernafasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).
5. Didapati segi tiga garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskulasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

G. Pemeriksaan Penunjang Efusi Pleura


1. Rontgen dada, biasanya dilakukan untuk memastikan adanya efusi pleura,
dimana hasil pemeriksaan akan menunjukkan adanya cairan.
2. CT scan dada. CT scan bisa memperlihatkan paru-paru dan cairan efusi
dengan lebih jelas, serta bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru
atau tumor.
3. USG dada, bisa membantu mengidentifikasi adanya akumulasi cairan dalam
jumlah kecil.
4. Torakosentesis, yaitu tindakan untuk mengambil contoh cairan untuk
diperiksa menggunakan jarum. Pemeriksaan analisa cairan pleura bisa
membantu untuk menentukan penyebabnya.
5. Biopsi. Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya,
maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil
untuk dianalisa.
6. Bronkoskopi, pemeriksaan untuk melihat jalan nafas secara langsung untuk
membantu menemukan penyebab efusi pleura.
7. Torakotomi, biasanya dilakukan untuk membantu menemukan penyebab
efusi pleura, yaitu dengan pembedahan untuk membuka rongga dada.
Namun, pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.

H. Penatalaksanaan Efusi Pleura


Penatalaksanaan pada efusi pleura yaitu: (Nurarif et al, 2015)
1. Tirah baring
Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena
peningkatan aktifitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga
dispneu akan semakin meningkat pula.
2. Thoraksentesis
Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri,
dispneu dan lain lain. Cairan efusi sebanyak 1 - 1,5 liter perlu dikeluarkan
untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika jumlah cairan efusi pleura
lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru dapat dikalkukan 1
jam kemudian.
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terbukti terdapat adanya infeksi.
Antibiotik diberi sesuai hasil kultur kuman.
4. Pleurodesis
Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberi obat melalui
selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah
cairan terakumulasi kembali.
5. Water seal drainage (WSD)
Water seal drainage (WSD) adalah suatu system drainase yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum
pleura atau rongga pleura.

I. Komplikasi Efusi Pleura


1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang
baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura
viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas
dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan- jaringan
yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasa (dekortikasi) perlu
dilakukan untuk memisahkan membran- membran pleura tersebut.
2. Atalektasis
Lektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan
oleh penekanan akibat efusi pleura.
3. Fibrosis Paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat
paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan
jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan
peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat
menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan
fibrosis.

4. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan
ektrinsik pada sebagian/semua bagian paru akan mendorong udara keluar
dan mengakibatkan kolaps paru.
5. Empiema
Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang
mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang
menyebar dari paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga
pleura. Cairan yang terinfeksi dapat mencapai satu gelas bir atau lebih, yang
menyebabkan tekanan pada paru-paru, sesak napas dan rasa sakit (Morton,
2012).

J. Pathway Efusi Pleura


K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi situasi kesehatan klien.
Dasar utama memberikan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan individu
merupakan tahap pengkajian (nursalam, 2008).
a. Data umum
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, nomor register,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, pendidikan, tanggal MRS, diagnosa medis (Wahid, 2013).
b. Alasan masuk rumah sakit/ keluhan utama
Klien dengan effusi pleura akan merasakan sesak nafas, batuk dan nyeri
pada dada saat bernapas. Kebanyakan effusi pleura bersifat
asimptomatik, gejala yang timbul sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritic, ketika effusi sudah menyebar memungkinkan timbul
dyspnea dan batuk. Effusi pleura yang besar akan
mengakibatkan napas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trakea
menjauhi sisi yang terkena, dullness pada perkusi, dan penurunan bunyi
pernapasan pada sisi yang terkena (Somantri, 2012).
c. Riwayat Kejadian/Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan effusi pleura akan diawali dengan keluhan batuk, sesak
nafas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan menurun
(Muttaqin, 2012). Agar mempermudah perawat mengkaji keluhan sesak
napas, maka dapat di bedakan sesuai tingkat klasifikasi sesak. Pengkajian
ringkas dengan menggunakan PQRST dapat lebih mempermudah
perawat dalam melengkapi pengkajian.
Provoking Incidente: apakah ada peritiwa yang menjadi factor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila istirahat?
Quality of Point: seperti apa sesak napas yang di rasakan atau
digambarkan klien. Sifat keluhan (karakter), dalam halm ini perlu
ditanyakan kepada klien apa maksud dari keluhan-keluhanya. Apakah
rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau
kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
Region: radiation, relief: dimana rasa berat dalam melakukan
pernapasan? Harus di tunjukan dengan tepat oleh klien.
Serevity (Scale) of Point: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala sesak sesuai klasifikasi sesak napas dan klien
menerangkan seberapa jauh sesak napas mempengaruhi aktivitas sehari-
harinya.
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah,
bertambah burukpada malam hari atau siang hari. Sifat mula timbulnya
(onset), tentukan apakah gejala timbul mendadak, perlahanlahan atau
seketika itu juga.Tanyakan apakah timbul gejala secara terus menerus
atau hilang timbul (ntermiten). Tanyakan apa yang sedang dilakukan
klien pada gejala timbul. Lama timbulnya (Durasi), tentukan kapan gejala
tersebut pertama kali di rasakan sebagai “Tidak Biasa” atau “tidak enak”.
Tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit yang lama
sebelumnya (Muttaqin, 2012).
d. Riwayat Kesehatan Terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya
Klien dengan effusi pleura terutama akibat adanya infeksi
nonpleurabiasanya mempunyai riwayat penyakit tuberculosis paru
(Somantri, 2012).
2) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ditemukan data penyakit yang sama ataupun diturunkan dari
anggota keluarganya yang lain, terkecuali penularan infeksi
tuberculosis yang menjadi faktor penyebab timbulnya effuse pleura
(Somantri, 2012).
3) Riwayat Pengobatan
Mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu
seperti. Pengobatan untuk effusi pleura malignan termasuk radiasi
dinding dada bedah plerektomi, dan terapi diuretik (Padila, 2012).
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data
hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat
ini.data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-
sosio-spiritual yang seksama (Muttaqin, 2012).
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
a) Kesadaran
Klien dengan effusi pleura biasanya akan mengalami keluhan
batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat
badan menurun (Muttaqin, 2012).
b) Tanda- tanda Vital
RR cenderung mengikat dank lien biasanya dispneu, suara perkusi
redup sampai pekak vocal premitus menurun, bergantung pada
jumlah cairannya, auskultasi suara napas menurut sampai
menghilang (Somantri, 2012).
2) Mata
I : konjungtiva pucat (karena anemia), konjungtiva sianosis
(karena hipoksemia) (Andarmoyo, Sulistyo. 2012).
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
3) Hidung
I : adanya pernafasan cuping hidung (megap-megap,
dyspnea), (Andarmoyo, Sulistyo. 2012).
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

4) Mulut dan Bibir


I : Membrane mukosa sianpsis (karena penurunan oksigen), bernapas
dengan dengan mengerutkan mulut (dikaitkan dengan penyakit paru
kronik), tidak ada stomatitis (Andarmoyo, Sulistyo. 2012).
P : Tidak ada pmbesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
5) Telinga
I : Simetris, tidak ada serumen, tidak ada alat bantu
pendengaran.
P : tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
6) Leher
I : Tidak ada lesi, warna kulit sawo matang, warna kulit
merata.
P : Tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak ada
pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada nyeri tekan.
7) Paru-paru
I : Peningkatan frekuensi/takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, leher, retraksi
intercostals, ekspirasi abdominal akut, gerakan dada tidak sama
(paradoksik) bila trauma, penurunan pengembangan thorak (area yang
sakit)
P : Terjadi ketertinggalan gerak antara area yang sakit dengan area
yang sehat. Fremitus menurun (sisi yang terlihat).
Pemeriksaan fremitus dilakukan dengan ucapan :
- Anjurkan klien mengatakan “Tujuh Puluh Tujuh” atau “Sembilan
Puluh Sembilan” secara berulang-ulang dengan intonasi sama kuat.
- Menggunakan dua tangan, pemeriksa menempelkan kedua
tangannya kepunggung klien, dan rasakan getaran dari paru kanan
dan kiri. Apakah bergetar sama atau tidak.
P : Bunyi pekak diantara area yang terisi cairan.
A: Bunyi nafas menghilang atau tidak terdengar diatas bagian yang
terkena.
Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah/trauma
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada,
retraksi interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada
sisi terlibat) (Padila, 2012).
8) Abdomen
I : Tidak ada lesi, warna kulit merata.
A : Terdengar bising usus 12x/menit.
P : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.
P : tympani
9) Genetalia
I : Tidak ada lesi, rambut pubis merata, tidak ada jaringan parut.
P : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran abnormal.
10) Kulit
I : pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan (Padila, 2012).
g. Pengkajian Nutrisi
1) A (antropometri) meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan atas, IMT (Indeks Massa Tubuh).
Indeks masa tubuh (IMT) mengukur berat badan yang sesuai dengan
tinggi badan dan memberikan alternatif hubungan antara tinggi badan
dan berat badan klien. Hitung IMT dengan rumus. Klien dikatakan
memiliki berat badan yang berlebihan jika skor IMT berada antara 25-
30.
2) B (Biochemical) meliputi data laboratorium yang abnormal.
3) C (Chemical) meliputi tanda-tanda klinis, turgor kulit, mukosa bibir,
konjungtiva anemis/tidak.
4) D (Diet) meliputi :
a) Nafsu makan,
b) Jenis makanan yang dikonsumsi
c) Frekuensi makanan yang diberikan selama di rumah sakit.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X dada : menyatakan akumulasi cairan pada area pleural, dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
2) GDA : variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaCO2 mungkin normal menurun,
saturasi O2 biasanya menurun.
3) Torakosintesis : menyatakan cairan serisanguinosa (Saferi & Mariza,
2013).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual ataupun potensial. Diagnosa keperawatan merupakan
dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan (Dinarti &
Mulyanti, 2017).
Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan tindakan
infasif adalah:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas
(kelemahan otot nafas) (D.0005)
b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi,
iskemia, neoplasma) (D.0077)
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)
d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019)
f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
(D.0111) (PPNI, 2017).
Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan tindakan
infasif adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
(D.0077).
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)
(PPNI, 2017).

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dapat dilaksanakan perawat berdasarkan
standard intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas.
(D.0005)
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola
nafas membaik.
2) Kriteria hasil
a) Dyspnea menurun
b) Penggunaan otot bantu nafas menurun
c) Pemanjangan fase ekspirasi menurun
d) Otopnea menurun
e) Pernapasan pursed-lip menurun
f) Frekuensi nafas membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronchi kering)
Terapeutik
a) Pertahankan kepatenan jalan nafas head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma sevikal).
b) Posisikan semi-fowler atau fowler.
c) Berikan oksigen jika perlu.
Edukasi
Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.
b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi,
iskemia, neoplasma) (D.0077)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Keluhan nyeri menurun
b) Melaporkan nyeri terkontrol meningkat
c) Meringis menurun
d) Penggunaan analgetik menurun
e) Tekanan darah membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi skala nyeri
b) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
b) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemiihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
c. Intoleransi aktifitas (D.0056)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan akitifitas
pasien meningkat.
2) Kriteria hasil
a) Kemudahan melakukan aktifitas
b) Dyspnea saat beraktifitas menurun
c) Dspnea setelah beraktifitas menurun
d) Perasaan lemah menurun
e) Tekanan darah membaik
f) Frekueni nadi membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan.
b) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktifitas.

Terapeutik
Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
suara, kunjungan).
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring
b) Melakukan aktvitas secara bertahap
d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
kembali membaik.
2) Kriteria hasil :
a) Mengigil menurun
b) Kulit merah menurun
c) Takikardia menurun
d) Takipnea menurun
e) Tekanan darah membaik
f) Suhu tubuh membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi penyebab hipertermia (misal dehidrasi, terpapar
lingkungan panas).
b) Monitor suhu tubuh.
c) Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang dingin (atur suhu ruangan).
b) Longgarkan atau lepas pakaian.
c) Berikan cairan oral.
Edukasi
Anjurkan tirah baring
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi
membaik.
2) Kriteria hasil
a) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
b) Berat badan membaik
c) Nafsu makan membaik
d) Indeks masa tubuh (IMT) membaik
e) Frekuensi makan membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
b) Monitor asupan makanan
c) Identifikasi perubahan berat badan
d) Monitor berat badan
e) Timbang berat badan
Terapeutik
Berikan makanan tinggi kalori dan protein
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
(D.0111).
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
pengetahuan meningkat.
2) Kriteria hasil
a) Perilaku sesuai anjuran meningkat.
b) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik
meningkat.
c) Pertanyaan tentang masalah dihadapi menurun
d) Persepsi keliru terhadap masalah menurun
3) Intervensi
Observasi
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
Terapeutik
a) Sediakan materi dan media pendidikan Kesehatan.
b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
c) Berikan kesempatan untuk bertanya.
d) Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi Kesehatan.
Adapun intervensi dari diagnosa setelah dilakukan tindakan
invasif tersebut adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
(D.0077)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
menurun.
2) Kriteria hasil :
a) keluhan nyeri menurun
b) kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat
c) gelisah menurun
d) frekuensi nadi membaik
e) tekanan darah membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi respon nyeri non verbal
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
Terapeutik
Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek tindakan invasif. (D.0142)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko
infeksi menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Demam menurun
b) Kebersihan badan meningkat
c) Bengkak menurun
d) Kemerahan menurun
e) Kultur sputum membaik\kultur area luka membaik.
3) Intervensi
Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik
Terapeutik
a) Batasi jumlah pengunjung.
b) Berikan perawatan kulit pada area edema.
c) Cuci tangan sesudah atau sebelum kontak dengan pasien.
d) Pertahankan tekhnik aseptik.
Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
b) Ajarkan mencuci tangan dengan benar.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah berkesinambungan dan interaktif dengan komponen
lain dari proses keperawatan. Selama implementasi, perawat mengkaji
kembali pasien, modifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil
yang diharapkan sesuai kebutuhan. Untuk implementasi yang efektif,
perawat harus berpengetahuan banyak tentang tipe-tipe intervensi, proses
implementasi dan metode implementasi. Ada tiga fase implementasi
keperawatan yaitu:
a. Fase persiapan, meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana,
pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan
pasien dan lingkungan.
b. Fase operasional, merupakan puncak implementasi dengan berorientasi
tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen,
dependen atau interdependen.
c. Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan pasien setelah
implementasi dilakukan (potter and pery, 2005).

5. Evaluasi Keperawatan
Fase terakhir proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. Hal yang dievaluasi adalah keakuratan dan
kualitas data, teratasi atau tidaknya maslah pasien, serta pencapaian tujuan
serta ketepatan ntervensi keperawatan.
Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana
keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
melalui perbandingan pelayanan keperawatan mutu pelayanan keperawatan
yang diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah ditentukan terebih
dahulu.

Anda mungkin juga menyukai