Anda di halaman 1dari 16

Konferensi Pers

DPP APKASINDO
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Terkait RPP-UUCK pada Sektor
Kehutanan & Perkebunan

Jakarta, 23 Desember 2020


20 Tahun APKASINDO
MENUJU PETANI SAWIT SETARA
DAN BERKELANJUTAN PAGE 2
PAGE 4
PAGE 5
Perkebunan Sawit Rakyat memiliki luas 6,7 Juta Ha (41%) dari total 16,3 Juta Ha, dengan
+/- 10 juta anggota keluarga dan 13 juta anggota keluarga buruh tani sawit yang
1 menggantungkan hidupnya di sektor ini, Sumbangan Produksi Nasional Kebun Sawit
Rakyat mencapai 20 Juta Ton CPO/Tahun;

Perkebunan Sawit Rakyat telah terbukti ikut mensukseskan pembangunan berkelanjutan (SDGS),
antara lain Pengentasan Kemiskinan, Menghapus kelaparan dan kekurangan Gizi, Ketahanan
2 Pangan, Kesehatan yang baik, Lapangan Kerja, Pendidikan, serta pembangunan pedesaan). Dan
Kepada Negara, Perkebunan Sawit Rakyat telah menyumbangkan Pajak Ekspor, Bea Keluar
Pungutan Ekspor BPDP KS dan Devisa Negara.

APKASINDO merupakan organisasi kemasyarakatan petani kelapa sawit terbesar di Indonesia, yang
dfasilitasi pendiriannya oleh Kementerian Pertanian Cq.Ditjenbun pada tangggal 28 Oktober 2000.Terdaftar
3 pada Kementerian Dalam Negeri dan Disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, serta mewakili
kepentingan +/- 10 juta anggota keluarga petani sawit dan 13 juta anggota keluarga buruh tani sawit, yang
menggantungkan hidupnya secara langsung pada perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 22 Provinsi
DPW APKASINDO dan 134 DPD APKASINDO Kabupaten di wilayah Republik Indonesia.
APKASINDO merasa sangat beruntung memiliki Kepala Negara yang senantiasa memberikan perhatian sangat
4 besar terhadap kemajuan komoditi dan industri kelapa sawit seperti program B30, Peremajaan Sawit Rakyat,
Peningkatan SDM serta Beasiswa Anak/buruh tani. Terbukti di masa Pandemi Covid ini, Kelapa Sawit menjadi
penolong bagi kehidupan masyarakat di wilayah pedesaan, khususnya di 134 Kabupaten di seluruh Indonesia.
Mereka semua terhindar dari kemiskinan, kehilangan pekerjaan serta pendapatan di masa yang sulit ini.

5 Program Kemandirian Energi, yang sat ini sudah B30, terbukti menjaga harga TBS Petani, dimana sejak diberlakukannya
B30 akhir tahun 2019, Harga TBS Petani terus mengalami kenaikan secara signifikan.

APKASINDO mendukung penuh kebijakan Pemerintah terkait UU CIPTA KERJA sebagai upaya solusi untuk memberikan
6 kepastian usaha, lapangan pekerjaan, kesejahteraan bangsa dan hasil akhirnya adalah membawa Indonesia Maju sebagaimana
Amanat UUD 1945.

PAGE 6
Poin-poin masukan APKASINDO
1. Perkebunan Sawit Rakyat yang terindikasi dalam Kawasan Hutan seluas 3,2 Juta Ha (48%) dari 6,7 juta Ha;
2. Provinsi yang paling banyak sawit di klaim dalam Kawasan hutan adalah Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan
Tengah. Di Riau, terdapat 4.058 juta hektar (Data P3ES KLHK, Oktober 2020), 2,6 juta ha dikelola oleh Pekebun atau
Petani (66%) dan 1,6 juta ha dikelola oleh Korporasi. Dari 2,6 juta ha kebun sawit Petani ternyata 1,62 juta ha
masuk dalam Kawasan hutan (62,61%), sedangkan Sawit milik korporasi dari 1,457 juta ha, hanya 33.242 ha
(2,28%) yang masuk dalam Kawasan hutan (P3ES, KLHK, 2020).
3. Pada umumnya Perkebunan Sawit Rakyat yang terindikasi dalam Kawasan hutan yang berusia kebun 5 (lima) tahun
sampai dengan 37 (tiga puluh tujuh) tahun dilengkapi legalitas surat jual beli yang dibuat di hadapan Kepala Desa,
surat camat, bukti pembayaran PBB, berbentuk kelompok tani maupun koperasi dan sebagian ada yang sudah
memiliki STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) dan bahkan SHM (Sertifikat Hak Milik);
4. Karena terindikasi masuk dalam Kawasan hutan, Perkebunan Sawit Rakyat tidak bisa mengikuti program Presiden,
Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
5. Pekebun Sawit Rakyat tidak memahami regulasi-regulasi terkait kehutanan dan tidak punya pengetahuan dan akses
tentang status lahan yang mereka tanami dan melakukan pengecekan koordinat memakai alat GPS, berbeda
dengan korporasi.
6. Pekebun Sawit Rakyat tidak mempunyai kemampuan seperti Perusahaan dalam melakukan pengurusan legalitas
lahan ke Instansi/Kementerian terkait secara parsial.

PAGE 7
Poin-poin masukan APKASINDO
7. Kebijakan Mengenai Sanksi Administrasi dalam RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) dinilai masih Merugikan
Petani:

a) TENTANG PENYELESAIAN KEBUN PETANI YANG DIKLAIM DALAM KAWASAN HUTAN YANG BELUM MENCAPAI
TAHAP PENETAPAN KAWASAN HUTAN
RPP Sanksi Administratif tersebut dibuat hanya untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam
Kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan, sebab defenisi Kawasan Hutan yang diatur dalam RPP adalah
“Kawasan Hutan yang telah ditetapkan”. Sebelum ke tahap Penetapan (Pengukuhan), harus melalui Penunjukan,
Penataan batas (BATB), Pemetaan, dan terakahir Penetapan (Pengukuhan) Kawasan hutan, ini semua di atur dalam UU
Nomor 19/2004. Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas maka Kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal
banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam Kawasan hutan yang belum mencapai tahap penetapan Kawasan
hutan. Hal ini berarti klaim Kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan Kawasan hutan, penataan batas dan
pemetaan belum dapat diselesaikan melalui RPP tersebut. Sementara di sisi lain UU Cipta Kerja hanya memberikan
waktu 3 (tiga) tahun guna menyelesaikan persoalan klaim Kawasan hutan dalam perkebunan sawit. Jika proses
pengukuhan Kawasan hutan harus menunggu sampai tahap penetapan dilakukan, maka hampir dapat dipastikan
jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut akan terlampaui, dan petani sawit tetap akan terjebak selamanya dalam klaim
Kawasan hutan.

PAGE 9
Poin-poin masukan APKASINDO
b) TENTANG KEBUN PETANI YANG HARUS MEMILIKI IZIN
RPP tersebut telah mengunci definisi Perizinan Berusaha terbatas pada Izin Lokasi dan Izin Usaha di bidang
Perkebunan, padahal petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh
undang-undang sebelumnya demikian juga dengan Permentan.

c) LUAS KEBUN PETANI SAWIT YANG DIAKOMODIR DALAM RPP


RPP Sanksi Administrasi tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 Ha untuk memperoleh
pelepasan Kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit
untuk mengelola lahannya maksimal 25 Ha.

d) PETANI HARUS TINGGAL DI KEBUN BERTURUT-TURUT SELAMA MINIMUM 5 TAHUN (yang terindikasi dalam
Kawasan hutan)
Untuk yang luas lahannya 5 ha ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal dikebun atau
berdomisili sekitarnya. Ini sangat tidak masuk akal, karena Petani terbagi tiga tipologi. Pertama Petani sekaligus sebagai
Pekerja, Kedua Petani hanya sebagai pemilik, dan ketiga Petani sebagai Mitra. Oleh karena itu saat ini banyak sekali
Pemilik kebun sawit itu pekerjaan utamanya sebagai ASN, TNI, POLRI, Wartawan, Pegawai Swasta, Wiraswasta dan
berbagai Bidang pekerjaan lainnya yang kelompok Tipologi dua dan tiga ini tidak mungkin (tidak selalu) tinggal atau
berdomisili di kebun atau sekitar kebun.

PAGE 11
Poin-poin masukan APKASINDO
e) TENTANG DENDA ADMINISTRATIF
Solusi yang ditawarkan dalam RPP Sanksi Administrasi berupa “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan” bagi petani
sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.
Membaca rumus denda yang dimuat dalam RPP tersebut maka mustahil petani dapat membayarnya, sebab denda
dihitung dengan rumus : keuntungan bersih per tahun dikali luas lahan dikali jangka waktu dikali Tarif denda atas
penggunaan volume kayu. Jika disimulasikan dengan asumsi keuntungan terendah sekalipun, maka hitungan denda
tersebut akan mencapai angka yang sangat fantastis karena petani mustahil dapat membayar denda puluhan bahkan
ratusan milyar Rupiah. Petani itu tumbuh dan berkembang sendiri, membuka lowongan pekerjaan, yang jika dihitung
sawit dalam Kawasan hutan yang mencapai 3,4 juta hektar berarti terdapat nilai investasi sebesar 289 Triliun, jika
dikalikan dengan Lahan Petani dalam Kawasan hutan sebesar 78% maka nilai investasi Petani sawit tersebut sebesar
Rp. 225 Triliun.
f) TENTANG KETENTUAN PERALIHAN PASAL 55 YANG MELANJUTKAN PROSES PENYIDIKAN KEGIATAN PERKEBUNAN
DALAM KAWASAN HUTAN
RPP Sanksi Administrasi tersebut bertentangan dengan UU Cipta Kerja karena membuka ruang untuk tetap
melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam Kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya
UU Cipta Kerja. Padahal ketentuan dalam UU Cipta Kerja telah dengan tegas menentukan sanksi terhadap kegiatan
perkebunan dalam Kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja adalah sanksi administratif,
bukan sanksi pidana. OIeh karena itu melanjutkan proses penyidikan tersebut adalah bertentangan dengan UU Cipta
Kerja dan menciptakan ketidakpastian hUkum.
PAGE 13
Usulan APKASINDO
a) Mengeluarkan seluruh areal kebun sawit (eksisting) dari Kawasan Hutan yang masih dalam tahap
penunjukan, tahap penataan batas, tahap pemetaan berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda
Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang
diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
b) Memperluas defenisi Perizinan Berusaha termasuk diantaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak
Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum
adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
c) Memasukkan Hak dan Kepentingan Rakyat yang terindikasi dalam Kawasan hutan kedalam penyusunan
RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian Kepemilikan Lahan Pekebun Sawit.
d) Melakukan fasilitasi dan mempermudah proses penyelesaian klaim Kawasan hutan.
e) Denda administrasi yang dibebankan kepada Petani Sawit yang lahannya berada dalam Kawasan hutan
yang telah melalui proses penetapan maksimal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah) per Hektar.
f) Pasal 55 tersebut dihapus.

PAGE 15
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai