Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surveilans
A. Pengertian Surveilans
Ada banyak definisi surveilans yang dijabarkan oleh para ahli. Namun pada
dasarnya mereka setuju bahwa kata “surveilans” mengandung empat unsur yaitu :
koleksi, analisis, interpretasi dan diseminasi data. WHO mendefiniskan surveilans
sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya
dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan
evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, di dalam suatu
sistem surveilans, hal yang perlu digaris bawahi adalah :
a. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara
berkesinambungan, bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu
waktu.
b. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data,
namun yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis, interpretasi
data serta pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut, sampai kepada
evaluasinya.
c. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas
yang baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam menghasilkan
kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien.
Runge-ranzinger et al (2008) menyebutkan bahwa Surveilans terdiri dari
beberapa metode yaitu surveilans aktif dan surveilans pasif, selain metode lingkup
surveilans meliputi surveilans berdasar masyarakat, surveilans penduduk, surveilans
rumah sakit. Metode yang digunakan dalam system surveilans meliputi surveilans
sindromik dan surveilans laboratory. Surveilans sindromik menekankan pada aspek
tanda dan gejala sedangkan surveilans laboratories menekankan pada aspek
pemeriksaan laborat.
Runge-ranzinger et al (2008) menyebutkan bahwa terdapat tiga langkah untuk
memperbaiki system surveilans antara lain :

1
1. pertama, memperbaiki pelaporan rutin dan pengunaan sistem yang lebih
simpel dan mengunakan standart klasifikasi kasus.
2. Kedua, memperbaiki dukungan laboratorium sesuai standar prosedur
pemeriksaan untuk meningkatkan kualitas sistem.
3. Ketiga, meningkatkan surveilans aktif yang dapat terukur.
Pemanfaatan sistem surveilans penting diperhatikan dalam hal analisis dan feedback
pada setiap level system.
Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola
dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan,
kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah
terlayani dengan baik (DCP2, 2008 dalam Murti, 2010). Gambar berikut menyajikan
skema sistem surveilans:

Fasilitas Pelayanan K e s e h a t a n Dinas K e s e h a t a n


(Puskesmas, RS, Dokter p r a k t i k ) , Kabupaten/ Kota, P r o v i n s i ,
K o m u n it a s Pusat
Peristiwa penyakit, Pelaporan
D a ta
kesehatan populasi

Perubahan Analisis &


yang diharapkan Interpretasi
K e p u tu sa n
Intervensi Informasi
(Umpan B a lik )

Gambar 2.1. Skema Sistem Surveilans. (Sumber: DCP2, 2008 dalam Murti, 2010)

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan


secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedangkan pemantauan dilakukan
intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka
perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat
diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan
pengendalian penyakit dengan tepat.
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat

2
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans
diantaranya:
1. Memonitor kecenderungan (trend) penyakit;
2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)
pada populasi;
4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
6. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001 dalam Murti, 2010).
B. Jenis-jenis Surveilans
Sistem surveilans sendiri, walaupun pada dasarnya terdiri dari empat proses,
yaitu pengumpulan data, analisis, interpretasi, serta diseminasi dan feedback,
memiliki fleksibilitas dalam penerapannya. Berdasarkan cara pengumpulan data,
sistem surveilans dapat dibagi menjadi:
1) Surveilans aktif
Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas surveilans
dalam mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-unit
pelayanan kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling
akurat serta sesuai dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya,
sistem ini memerlukan biaya lebih besar dibandingkan surveilans pasif.
2) Surveilans pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu sistem
kesehatan ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit pelayanan
kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan. Pelaporan
ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin manajerial
yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program (laporan manajerial
program). Penyakit menular fungsi surveilans yang paling mendasar ada 2
yaitu: deteksi dini kejadian luar biasa dan fungsi monitoring program untuk
penyakit-penyakit spesifik maupun penyakit yang umum di masyarakat.
Sistem surveilans tidak saja konsentrasi dengan penyakit-penyakit menular

3
saja melaikan menaruh perhatian yang besar terhadap penyakit-penyakit tidak
menular

Skema 2.1. Kedudukan Unit Struktural Surveilans dalam Struktur


Organisasi di Dinas Kesehatan
Dasar operasional system surveilans meliputi keputusan mentri Kesehatan
yaitu (KepMenKes No 1479/Menkes/SK/X/2003 dan KepMenKes No
1116/Menkes/SK/VIII/2003) . KepMenkes menjadi petunjuk teknis operasional di
lapangan.
Operasional KepMenkes, menekankan mengenai keaktifan daerah dalam
melakukan surveilans. Pada SK MenKes tersebut dijabarkan bahwa tujuan
dibentuknya sistem surveilans epidemiologi adalah tersedianya data dan informasi
epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan
peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat
secara nasional, propinsi dan kabupaten/ kota dalam menuju Indonesia Sehat.
Jejaring system surveilans

4
Skema 2.2 Jejaring Surveilans Epidemiologi Kesehatan dengan pemerintah
pusat
Suatu sistem surveillance epidemiologi perlu dibentuk jejaring surveilans
epidemiologi yang terdiri dari :
a. Jaringan kerjasama antara antara unit-unit surveilans dengan
penyelenggara pelayanan kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan
pusat-pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-
unit surveilans lainnya
c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara
Kabupaten/ Kota, Propinsi dan Nasional Jaringan kerjasama unit surveilans
dengan berbagai sektor terkait nasional, bilateral negara, regional dan
internasional.

5
C. Fungsi Surveilans
Pada dasarnya data yang dihasilkan dalam suatu sistem surveilans, digunakan
untuk :
a. Mengetahui gambaran kesehatan suatu populasi masyarakat
b. Mengambil kebijakan yang dapat diterapkan dalam populasi
tersebut, baik mengenai pola perilaku maupun pencegahan suatu
penyakit.
c. Monitor dan evaluasi program kesehatan yang dijalankan
di masyarakat
d. Melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan data surveilans
e. Identifikasi masalah yang ada di populasi
Cakupan kegiatan surveilans sendiri cukup luas, mulai dari deteksi
dini kejadian luar biasa/ wabah, pencegahan penyakit menular, sampai kepada
pencegahan penyakit kronik (tidak menular) yang dapat dilakukan dalam jangka
waktu perubahan pola perilaku sampai kepada timbulnya penyakit tersebut.
Surveilans dapat digunakan untuk mengumpulkan data berbagai elemen
rantai penyakit, mulai dati faktor resiko perilaku, tindakan preventif, maupun
evaluasi program dan cost unit. Dengan kata lain, sistem surveilans diperlikan
untuk mendapatkan gambaran beban penyakit suatu komunitas, termasuk jumlah
kasus, insidensi, prevalensi, case-fatality rate, rate mortalitas dan morbiditas,
biaya pengobatan, pencegahan, potensi epidemik dan informasi mengenai
timbulnya penyakit baru.
D. Atribut surveilans
Atribut surveilans adalah karakteristik-karakteristik yang melekat pada suatu
kegiatan surveilans, yang digunakan sebagai parameter/ keberhasilan suatu surveilans.
Menurut WHO (1999), atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut:
1. Simplicity (Kesederhanaan)
Surveilans yang sederhana adalah kegiatan surveilans yang memiliki
struktur dan sistem pengoperasian yang sederhana tanpa mengurangi tujuan yang
ditetapkan. Sebaiknya sistem surveilans disusun dengan sifat demikian.
Hal ini berkaitan dengan ketepatan waktu dan dapat mempengaruhi
besarnya biaya operasional yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem tersebut
(CDC, 2001). Alur pelaporan : Petugas menyatakan bahwa alur pelaporan

6
sederhana. Sebuah sistem dapat dikatakan sederhana dimana definisi kasus mudah
diterapkan dan seseorang yang mengidentifikasi kasus adalah orang yang
menganalisis dan menggunakan informasi tersebut, sedangkan sebuah sistem
dikatakan kompleks bila membutuhkan uji laboratorium untuk konfirmasi
kasusnya, kontak telepon atau kunjungan rumah oleh petugas untuk
mengumpulkan data tambahan, laporan dengan level yang bertingkat dan/atau
banyaknya sumber data. (Romaguera, German & Klaucke, 2000).
2. Flexibility (Fleksibel atau tidak kaku)
Surveilans yang fleksibel adalah kegiatan surveilans yang dapat
menyesuaikan dengan perubahan informasi dan/atau situasi tanpa
menyebabkan penambahan yang berati pada sumberdaya antara lain biaya, tenaga,
dan waktu. Perubahan tersebut misalnya perubahan definisi kasus, variasi
sumber laporan, dan sebagainya. Sebagai contoh pelaksanaan surveilance dengan
merubah format laporan W2 mingguan penyakit campak menjadi EWARS
(Early Warning And Response System) melalui pesan singkat/SMS (Short
Messaging Service) di puskesmas Surabaya (Maharani & Arief, 2014).
3. Acceptability (akseptabilitas)
Surveilans yang akseptabel adalah kegiatan surveilans yang para pelaksana
atau organisasinya mau secara aktif berpartisipasi untuk mencapai tujuan surveilans
yaitu menghasilkan data/informasi yang akurat, konsisten, lengkap, dan tepat waktu.
Beberapa indikator dapat termasuk jumlah pihak yang berpartisipasi dalam sistem
surveilans, kelengkapan wawancara atau angka penolakan jawaban, kelengkapan
laporan, angka pelaporan dari dokter/laboratorium/rumah sakit/fasilitas kesehatan,
dan ketepatan waktu pelaporan (CDC, 2001).
Pihak yang menggunakan hasil dari surveilans di tingkat puskesmas yaitu
lintas program dan lintas sektor. Menurut Murti (2011), manfaat sistem surveilans
ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans digunakan oleh pembuat
kebijakan, pengambil keputusan, serta pemangku surveilans pada berbagai level.
Salah satu cara mengatasi rendahnya pemanfaatan data adalah membangun jejaring
dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil
keputusan.
4. Sensitivity (sensitifitas)
Surveilans yang sensitif adalah kegiatan surveilans yang mampu mendeteksi
Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan cepat. Sensitifitas suatu surveilans dapat dinilai

7
pada dua tingkatan, yaitu pada tingkat pengumpulan data, dan pada tingkat
pendeteksian proporsi suatukasus penyakit. Beberapa faktor mempengaruhi
sensitivitas suatu surveilans, antara lain:
a. Orang-orang yang mencari upaya kesehatan dengan masalah kesehatan
atau penyakit khusus tertentu;
b. Penyakit atau keadaan yang akan didiagnosa; dan
c. Kasus yang akan dilaporkan dalam sistem, untuk diagnosis tertentu.
Menurut Romaguera, dkk (2000), pengukuran sensitivitas memerlukan
validitas dari data yang telah dikumpulkan. Menurut Nelson dan Sifakis (2007),
sebuah sistem surveilans yang memiliki sensitivitas baik sangat penting untuk
mengontrol terjadinya KLB atau untuk mengevaluasi sebuah intervensi tidak
hanya untuk memonitor tren penyakit.
5. Predictive value positif (memiliki nilai prediksi positif)
Surveilans yang memiliki nilai prediktif positif adalah kegiatan surveilans yang
mampu mengidentifikasi suatu populasi (sebagai kasus) yang kenyataannya
memang kasus. Kesalahan dalam mengidentifikasi KLB disebabkan oleh kegiatan
surveilans yang memiliki predictive value positif (PVP) rendah.
Suatu sistem surveilans dengan NPP rendah, akan banyak menjaring dan
melaporkan kasus dengan “positif palsu” dan hal ini merupakan pemborosan sumber
daya, baik untuk penemuan kasus maupun untuk pengobatan (Noor, 2008).
6. Representativeness (Keterwakilan)
Surveilans yang representatif adalah kegiatan surveilans yang mampu
menggambarkan secara akurat kejadian kesehatan dalam periode waktu tertentu
dan distribusinya menurut tempat dan orang. Studi kasus merupakan sarana yang
dapat digunakan untuk menilai representativeness suatu surveilans. Untuk
mendapatkan surveilans yang representatif dibutuhkan data yang berkualitas, yang
diperoleh dari formulir surveilans yang jelas dan penatalaksanaan data yang teliti.
7. Timeliness (Ketepatan waktu)
Ketepatan waktu berarti tingkat kecepatan atau keterlambatan di antara langkah-
langkah yang harus ditempuh dalam suatu sistem surveilans. Selain itu pula waktu
yang dibutuhkan untuk mengetahui kecenderungan (trend), outbreak, atau menilai
pengaruh dari upaya penanggulangan (CDC, 2001). Surveilans yang tepat waktu
adalah kegaiatan surveilans yang mampu menghasilkan informasi yang sesuai

8
dengan waktu yang tepat sehingga dapat digunakan untuk mengontrol sebuah KLB
dari penyakit yang akut (Nelson dan Sifakis, 2007).
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1116/Menkes/SK/VII/2003 tentang
surveilans epidemiologi, indikator kerja surveilans meliputi:
1. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 90%;
2. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 80%;
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator epidemiologi STP
sebesar 80%;
4. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 100%;
5. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 90%;
6. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM&PL Depkes sebesar 100%;
7. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM&PL Depkes sebesar 90%;
8. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, Propinsi dan
Nasional sebesar 100%;
9. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional
sebesar 100%;
10. Penerbitan buletin epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali
setahun;
11. Penerbitan buletin epidemiologi di Propinsi dan Nasional adalah
sebesar 12 kali setahun;
12. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.

9
A. Program Penanggulangan HIV/AIDS
.: Pengetahuan Komprehensif

upaya komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) perubahan perilaku mencakup hak memperoleh
informasi HIV/AIDS, meningkatkan jangkauan pelayanan berkualitas dan kualitas hidup ODHA.
Pesan KIE disesuaikan dengan sasaran massal, kelompok atau individual menggunakan metode yang
efektif seperti life skill education, peer group, dan konseling melalui berbagai media. Upaya promosi
dilakukan melalui strategi primer, sekunder, dan tertier. Strategi primer meliputi komunikasi
perubahan perilaku, life skill education, dan peer education. Strategi sekunder meliputi peningkatan
kesadaran, partner notification, penyuluhan personal/kelompok. Kewapadaan universal meliputi
keamanan darah /poduk darah dan jaringan transparansi organ dari HIV. Diagnosis HIV/AIDS
ditegakkan melalui konseling sukarela, informed consent, prinsip kerahasiaan, kesetaraan gender, dan
pemberdayaan perempuan
Komisi Penanggulangan AIDS mencatat bahwa remaja yang berpengetahuan memadai tentang HIV
dan pencegahannya (<15%) sangat rendah. Remaja berusia 15-24 tahun berpengetahuan komprehensif
(16,8%)jauh di bawah target MDG tahun 2015 (90%).Pengetahuan risiko penularan HIV dari ibu ke
anak (<40%), sikap terkait stigma/diskriminasi (8,2%) dan pengetahuan VCT (6,2%) juga tergolong
rendah. Target Kementerian Kesehatan tahun 2011, sekitar 75% penduduk berusia 15-24 tahun
berpengetahuan komprehensif. Oleh sebab itu, Kementrian Pendidikan Nasional melakukan review
dan penajaman kurikulum sekolah untuk memberikan pendidikan HIV/AIDS kepada anak secara
berkelanjutan, mengingat tingkat penularan di kalangan remaja tergolong tinggi. Pendidikan pada
remaja merupakan kunci penting pengendalian penularan HIV, mengingat remaja di Indonesia
berjumlah 62 juta orang.

Antiretroviral
Obat Anti Retroviral (ARV) yang telah tersedia mampu menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi
dari 25 45% menjadi 2%. Di Indonesia, ARV yang digunakan untuk pengendali HIV/AIDS adalah
duviral, neviral, staviral, dan reviral. Pemerintah memenuhi hak penderita HIV/AIDS untuk mendapat
pelayanan, pengobatan perawatan, dan dukungan tanpa diskriminasi. Kementerian Kesehatan
berkomitmen menyediakan obat subsidi secara sinambung dan diberikan secara penuh berdasarkan
surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1237/MENKES/SK/XI/2004 menunjuk PT Kimia Farma
untuk atas nama pemerintah melaksanakan paten dan menyalurkan obat antiretroviral ke rumah sakit
yang ditunjuk mengobati penderita HIV/AIDS.5 Perawatan HIV baru dimulai pada tahun 2005
dengan penerima ARV berjumlah 2.381 kasus. Sampai 30 Juni 2010, ODHA penerima ARV
berjumlah 16.982 atau 603%. ODHA yang masih dapat pengobatan ARV dilaporkan tertinggi di DKI
Jakarta (7.242), Jawa Barat (2.001), Jawa Timur (1.517), Bali (984), Papua (685), Jawa Tengah (575),
Sumatera Utara (570), Kalimantan Barat (463), Kepulauan Riau (426), dan Sulawesi Selatan (343).
Tren kematian ODHA anak tahun 2006 (46%) dan tahun 2009 (18%).
Percepatan MDGs
Target MDGs 2015 meliputi aspek kesehatan AIDS, tuberkulosis, dan malaria dengan indikator
prevalensi HIV pada penduduk usia 15-49 tahun, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko,
proporsi remaja usia 15-24 tahun yang berpengetahuan komprehensif HIV/AIDS serta proporsi
ODHA yang terakses pada ART. Data Riskesdas menunjukkan tahun 2010 penduduk berusia 15 yang
pernah mendengar HIV/AIDS hanya 57,5% dan yang mempunyai pengetahuan komprehensif pada
level cukup hanya 14,3%. Prevalensi HIV <0,2%; penggunaan kondom pada hubungan berisiko 30%
dan proporsi ODHA terakses ART 45%. Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan upaya
pencegahan (137) dan penduduk usia 15 yang ikut VCT (480.000).
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengadopsi strategi UNAIDS dan WHO yang bertanggung
jawab menanggulangi HIV/AIDS di dunia dengan beberapa area prioritas. Strategi nasional
penanggulangan

10
HIV/AIDS meliputi kondomisasi, substitusi metadon, dan pembagian jarum suntik steril. Upaya
tersebut menjadi kebijakan nasional di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.6
Untuk mempercepat pencapaian MDGs, ditetapkan Inpres No. 1 Tahun 2010 dan Inpres No. 3 Tahun
2010. Kemajuan dipantau ketat oleh UKP4 secara berkala setiap dua bulan. Pengendalian HIV/AIDS
dituntut mencapai kondisi Universal Access dalam berbagai intervensi pencegahan, pengobatan dan
dukungan menyeluruh. Semua program tersedia, terjangkau dan dimanfaatkan oleh individu,
keluarga, dan masyarakat yang membutuhkan. Sektor pemerintah dan masyarakat yang terlibat
meliputi swasta dan LSM generasi muda dan perempuan. Program pengendalian HIV/AIDS sektor
kesehatan meliputi upaya peningkatan pemahaman masyarakat, pengendalian penyakit menular
seksual, pengurangan dampak buruk, layanan konseling dan testing HIV, pengamanan donor darah
dan produk darah, kolaborasi tuberkulosis-HIV, pencegahan infeksi HIV dari ibu ke anak. Selain itu,
dilakukan upaya kewaspadaan universal,perawatan/pengobatan AIDS, pelayanan farmasi,
diagnostikpenunjang, dukungan gizi ODHA, pencegahan penyakit gigi dan mulut terkait HIV/AIDS,
penguatan informasi strategis, pengembangan SDM kesehatan. Juga disusun rencana dan anggaran
informasi dasar HIV/AIDS dan PMS, metode penularan dan pencegahan, mengurangi stigma dan
diskriminasi.4 Target pengendalian dan penyebaran kasus baru HIV/AIDS

11
BAB III

12
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Variable dalam penelitian ini sesuai dengan kerangka konsep yang terdiri dari Atribut
Surveilens (simplicity, Flexibility, Acceptibility, Sensitifity, Positif Predictive Value,
Representatifness, Timeliness) terhadap Sistem Surveilend Epidemiologi Demam Berdarah
Dangue (DBD)

Simplicity

Flexibility

Acceptibility Sistem Surveilend Epidemiologi


HIV/AIDS literatur Review
Sensitifity

Positive Predictive Value

Representativeness

Timeliness

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan Literatur Review.
Literatur review berisi uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari
bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian.Uraian dalam literatur review diarahkan
untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas tentang pemecahan masalah yang sudah diuraikan
pada perumusan masalahTeknik Pengumpulan Data.

3.3 Evaluasi
Evaluasi sistem surveilans HIV/AIDS kami ukur berdasarkan atribut surveilans
epidemiologi, yakni sebagai berikut:
Atribut Sistem Pertanyaan

13
Simplicity ( Kesederhanaan ) Dari segi struktur (rancangan dan
besarnya):
- Berapa banyak kasus HIV/Aids yang
terjadi di Puskesmas ini ?
Sistem pengoprasiannya :
- Apakah sistem penganggulangan
HIV/Aids di Puskesmas ini berjalan ?
- Bagaimana sistem pengumpulan data
untuk kasus HIV/Aids ?
- Berapa banyak intistusi atau
organisasi yang terlibat dalam
penanggulangan kasus HIV/aids ini ?
- Setiap berapa lama data HIV/Aids ini
disatukan, apakah setiap seminggu
sekali ataupun sebulan sekali atau
yang lainnya ?
Flexibility ( Fleksibeliti ) Penyesuaian diri dengan perubahan kasus
HIV/Aids :
- Dari mana asal biaya yang
didapatkan dalam penanggulangan
HIV/Aids di puskesmas ini ?
- Kira-kira berapa bayak orang yang
dibutuhkan untuk menangani
masalah HIV/Aids ini, di puskesmas
atauppun ketika terjun kesuatu
populasi ?
Acceptability (aceptability) Kelengkapan laporan :
- Apakah laporan yang terkait
HIV/Aids di puskesmas ini sudah
lengkap ?
- Berapa instansi atau organisasi yang
ikut serta dalam pelaksaan program
HIV/Aids di puskesmas ini ?
- Bagaimana ketepatan waktu
instansi/organisasi dalam melaporkan
tentang masalah HIV/Aids di
tempatnya, apakah tepat waktu, atau
lambat sesuai dengan kesepakatan
waktu yang telah ditentukan ?
Sensitifity ( sensitifitas ) Kemapuan dalam deteksi KLB HIV/Aids
- Bagaimana kemampuan puskesmas
dalam mendeteksi KLB di suatu
populasi ?
- Bagaimana cara memonitoring kasus
tersebut dalam perubahan jumlah
kasus yang terjadi ?
- Apakah di setiap pelaporan lansung
diberikan upaya kesehatan/tindakan
langsung dipopulasi tersebut ?

14
Positive Predective Value Menggambarkan sensitivitas dan
spesifitas definisi kasus serta prevelensi
- Bagaimana cara puskesmas melacak
untuk menentukan bahwa pelaporan
KLB HIV/Aids di suatu populasi
tersebut kasus atau bukan kasus ?
Kepresentatifan Menggambarkan sistem yang representif
akan menggambarkan secara akurat :
- Sudah berapa banyak kasus
HIV/AIDS dalam periode tahun
2018-2019 ?
- Di daerah mana saja kasus
HIV/AIDS yang ditemukan dalam
periode 2018-2019 ? populasi
tertinggi ?
- Mana yang lebih tinggi kasus
HIV/AIDS yang ditemukan dalam
periode 2018-2019, menurut jenis
kelamin , laki-laki/perempuan ?
Ketepatan waktu Menggambarkan kecepatan atau
kelambatan diantara langkah-langkah
dalam sistem surveilans :
- Bagaimana kecepatan puskesmas
dari sistem surveilans HIV/AIDS
dalam menangani masalah tersebut ?
langkah-langkah sistem surveilans
dalam menangani masalah dari segi
pengumpulan data sampai pelaporan
ke dinas kesehatan pusat.
(cepat/lambat)
Kualitas data Kelengakapan dan validitas data
surveilans:
- Bagaimana cara/metode apa yang
dilakukan puskesmas dalam
memvalidasi data surveilans
HIV/AIDS untuk melengkapi data
tentang masalah tersebut ?
Stabilitas Kemampuan untuk pengumpulan,
manajemen dan menyediakan data secara
benar, serta kemampuan untuk
melaksanakan surveilans jika dibutuhkan
?
- Dalam periode 2018-2019, berapa
banyak masalah HIV/AIDS yang
telah ditemukan ?
- Bagaimana pemasukan dari dinas
kesehatan pusat dalam menindak
lanjuti laporan HIV/AIDS (dalam
segi biaya) ?

15
- Berapa lama waktu yang dibutuhkan
dalam mengumpulkan data
HIV/AIDS, menerima data
HIV/AIDS, serta mengeluarkan data
HIV/AIDS ?

BAB IV

16
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisis Sistem Surveilans HIV/AIDS berdasarkan jurnal “Analisis


perilaku gay dalam upaya pencegahan infeksi HIV/AIDS di Kabupaten
Bandung Barat Tahun 2016”
.

1) Gambaran Penyakit HIV/AIDS di KABUPATEN BANDUNG BARAT

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Kasus HIV dan AIDS di
Kabupaten bandung terdapat jumlah kasus hiv sebanyak 178 kasus 34% diantaranya
komunitas gay yang dilaporkan oleh komisi penanggulangan AIDS (KPA) pada tahun
2007-2015. Populasi gay sudah diberikan pembinaan oleh KPA yaitu sekitar 200
orang dari 700 gay sudah terjaring.

a. Atribut Simplicity Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS di KABUPATEN


BANDUNG BARAT
Alur pelaporan kasus HIV/AIDS di kabupaten bandung barat pertama pengambilan
data melalui wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD).
b. Fleksibility (Fleksibilitas) Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS di Kabupaten
Bandung barat.
Surveilans yang fleksibel adalah kegiatan surveilans yang dapat menyesuaikan
dengan perubahan informasi dan/atau situasi tanpa menyebabkan penambahan yang
berati pada sumberdaya antara lain biaya, tenaga, dan waktu. Perubahan tersebut
misalnya perubahan definisi kasus, variasi sumber laporan, dan sebagainya.
Kebijakan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat di komunitas yang
menjaring gay pelajar sekolah menengah untuk dilakukan edukasi terkait pencegahan
HIV/AIDS baik melalui media sosial ataupun ke sekolah-sekolah .

c. Atribut Acceptability Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS di Kabupaten


Bandung Barat
Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi, baik
bidang kesehatan maupun luar kesehatan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan

17
dan memanfaatkan hasil pemantauan kegiatan survailens kasus (CDC,2001). Indikator
akseptabilitas dapat dilihat dari keikutsertaan.
Di kabupaten Bandung Barat telah di bentuk kelompok kerja yang langsung di
pimpin oleh KPA, kelompok kerja terdiri dari tokoh masyarakat, LSM, dan badan
pemerintah daerah.
d. Sensitivitas (sensitivity) Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS di Kabupaten
Bandung Barat
Sensitivitas dari sistem surveilans dapat dilihat pada dua tingkatan yaitu
pertama, pada tingkat pengumpulan data, proporsi kasus dari suatu penyakit/ masalah
kesehatan yang dideteksi oleh sistem surveilans, dan kedua sistem dapat dinilai akan
kemampuannya untuk mendeteksi kejadian luar biasa (KLB) (Nur, 2016).
Capaian rujukan yang sudah dilakukan tidak mencapai setengah dari jumlah
capaian gay yang sudah dijangkau, dikarenakan factor stigma masyarakat sehingga
membuat komunitas tertutup dan tidak mau untuk dilakukan rujukan.
B. Pembahasan Analisis Perilaku Gay Upaya Pencegahan HIV dan AIDS di
Kabupaten Bandung Barat

1) Kekurangan Sistem Surveilans HIV di kabupateb Bandung Barat


Jurnal tersebut tidak secara rinci menjelaskan berapa kasus yang ada di kabupaten
tersebut. Dan tidak terdapatnya ke terbatasan waktu.

2) Ancaman HIV/AIDS di Kabupaten Bandung Barat


Kasus HIV/AIDS terbukti menyerang siapa saja dan tidak mengenal usia, status
sosial, maupun jenis kelamin yang tidak mudah di prediksi . jumlah gay di
Kabupaten Bandung Barat yang sudah mencapai ribuan yang mengikuti group
khusus komunitas di aplikasi sosial media. Halini mengkhawatirkan mengingat
jumlah gay yang semakin bertambah dan meningkatkan risiko penularan
HIV/AIDS melalui perilaku seks berganti-ganti pasangan dan tanpa menggunakan
kondom.

18
19
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesmipulan
Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis bulanan terhadap penyakit
potensial KLB di daerahnya dalam bentuk tabel menurut desa/kelurahan dan grafik
kecenderungan penyakit mingguan, kemudian menginformasikan hasilnya kepada
Kepala Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS) atau
sistem kewaspadaan dini penyakit potensial KLB di Puskesmas. Apabila ditemukan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita penyakit potensial KLB
tertentu, maka Kepala Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi dan
menginformasikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis tahunan perkembangan


penyakit dan menghubungkannya dengan faktor risiko, perubahan lingkungan, serta
perencanaan dan keberhasilan program. Puskesmas memanfaatkan hasilnya sebagai
bahan profil tahunan, bahan perencanaan Puskesmas, informasi program dan sektor
terkait serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

5.2 Saran
Sebaiknya sebelum kita melakulan surveilans epidemiologi penyakit DBD, kita harus
benar-benar memahami konsep dan dasar-dasar surveilans itu sendiri agar pada saat
penerapannya nanti kita bisa mendapatkan hasil.maksimal dan dapat bermanfaat.sebagaimana
semestinya.

A. Bagi Dinas Kesehatan dapat melakukan peninjauan terhadap wilayah tertentu


Melakukan pemantauan terhadap wilayah-wilayah yang berpotensi terhadap penyakit
DBD, wilayah endemis DBD, dan wilayah sekitan wilayah endemis tersebut.
Memberikan bantuan dalam melancarakan program puskesmas (termasuk penyediaan
air bersih) dengan waktu bulanan dan tahunan
B. Bagi Puskesmas diharapkan mampu melakukan pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat, Puskesmas melakukan koordinasi dengan tingkat kecamatan untuk
melaksanakan pengembangan kesehatan secara preventif dengan meningkatkan akses

20
dan mutu pelayanan fasilitas kesehatan yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi. Mengajukan program kegiatan yang dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat untuk mencegah terjangkitnya penyakit DBD (contoh: kegiatan kerja
bakti yang menerapkan 3M plus, pemberian bubuk abate gratis, pelatihan jumantik (1
rumah 1 jumantik), fogging, pemberian ikan pemakan jentik (ikan cupang) di
beberapa titik lokasi, bubuk abate di temat penampungan air spt gentong, vas bunga,
kolam), pemberian hadiah berupa tanaman tulsi / tulasi untuk menjauhkan nyamuk
dan mencegah perkembangbiakannya, serta memberikan penyuluhan kepada
masyarakat) dengan waku 2-3 bulan sekali.
C. Bagi masyarakat dengan Membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan
peningkatan kualitas kebersihan lingkungan dan cara untuk mencegah serta
menanggulanginya, Sosialisasi mengenai Penyebaran DBD yang semakin tinggi di
Puskesmas Ciputat dan cepat penularannya, cara pencegahan melalui menjaga
kebersihan lingkungan (mengajak untuk memasang kawat kasa, memakai obat
nyamuk oles, memasang kelambu, menanam tanaman tulasi, menggunakan bubuk
abate pada genangan air, menghimbau agar tidak menggantung pakaian di kamar,
menjaga kebersihan lingkungannya Penyuluhan dapat dilakukan sebanyak 2 bulan
sekali

21
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Rizki. 2016. Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013-2015. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Astuti, Endang Puji; Heni Prasetyowati; Aryo Ginanjar. 2016. Risiko Penularan Demam
Berdarah Dengue Berdasarkan Maya Indeks dan Indeks Entomologi Di Kota
Tangerang Selatan, Banten. Jawa Barat: Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan
Litbangkes, Kemenkes RI.
Amiruddin, R, 2013, Surveilans Kesehatan Masyarakat, IPB Press, Bogor.
Arias, Kathleen Meehan. 2010. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan
Kesehatan. Jakarta: EGC.
BBTKLPP. 2013. Surveilans Epidemiologi. Diakses melalui
http://www.btklsby.go.id/2010/01/surveilans-epidiomiologi.php
Burhan Bungin, M. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Candra Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2. FK-UNDIP Semarang
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Visi Dan Misi. Banten: Website Resmi Dinas
Kesehatan Kota Tangsel. Diakses pada 19 Desember 2017, melalui
http://dinkes.tangerangselatankota.go.id/main/content/index/visi_misi/3
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 1992. Petunjuk teknis penggerakan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) demam berdarah dengue. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2005. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dirjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011, Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue,
Kemenkes RI, Jakarta.

22
Ditjen P2PL Depkes RI. 2010. Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dirjen PP dan PL Kemenkes RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Kemenkes RI.
Epidemiologi, Jendela Buletin. 2010. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI : Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. (E-Jurnal).
www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.pdf.
Hariyana, Bambang. 2007. Pengembangan Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue untuk Kewaspadaan Dini dengan Sistem Informasi Geografis Di
Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara [Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Heryana, Ade. 2015. Surveilans Epidemiologi: Penyakit Menular (Materi Online Class Mata
Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular). Jakarta: Universitas Esa Unggul.
Isna, Nilna R. 2013. Pendahuluan Surveilans Epidemiologi. Diakses melalui
http://catatankuliahnya.wordpress.com/category/semester-4/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 374 Tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Kendalikan DBD dengan PSN 3M Plus.
Diakses melalui www.depkes.go.id/article/view/16020900002/kendalikan-dbd-dengan-
psn-3m-plus.html pada 18 Desember 2017.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kemenkes RI.

23
Mufidz Maulana. 2015. Evaluasi Input Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue di Dinas
Kesehatan Kabupaten Tegal. Skripsi : Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang
Murti, Bhisma. 2010. Surveileans Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedo

24

Anda mungkin juga menyukai