Kelompok 1 Pancasila - Matematika - Diskusi Kelompok
Kelompok 1 Pancasila - Matematika - Diskusi Kelompok
Oleh :
Kelompok I
Anggota : 1) Dawam Mussurur Sipni (F1C221044)
2) Ezra Lidiana Gultom (F1C221032)
3) Puspa Hanaya Latifah Erjandsa (F1C221004)
4) Rahmawati (F1C221006)
5) Suci Anggraini (F1C221018)
Dosen Pembimbing : Aulia Farida, S.P., M.Si.
2) Pemerintahan SBY tidak bisa melindungi kepentingan nasional bangsa Indonesia dari
praktek eksploitasi dari luar.
Kebijakan ekonomi-politik SBY tidak mencerminkan negara berdaulat.
Banyak sekali kebijakan ekonomi dan politik pemerintahan SBY disetir oleh
pihak dari luar, terutama oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga
internasional (USAID, IMF, Bank Dunia, WTO, dll).
Pemerintahan SBY tidak bisa menegakkan kedaulatan ekonomi dan kontrol
negara terhadap aset-aset strategis nasional dan kekayaan alam Indonesia.
5) Pemerintahan SBY tidak punya itikad politik untuk mengusut tuntas berbagai
kejahatan Hak Azasi Manusia (HAM) di masa lalu, seperti peristiwa 1965/1966,
kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, DOM di Aceh dan Papua, pelanggaran HAM
di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), penculikan aktivis pro-demokrasi 1996-
1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi (I dan II), dan lain-lain. Di bawah
pemerintahan SBY sendiri, banyak sekali terjadi kasus pelanggaran HAM berat yang
dipicu oleh keberpihakan negara terhadap pemilik modal dalam berbagai kasus
konflik SDA. Untuk konflik agraria saja, sejak SBY berkuasa hingga sekarang, ada
44 orang petani yang gugur, 941 orang ditahan, dan 396 luka-luka.
6) SBY mempraktekkan sebuah sistem demokrasi, yakni demokrasi liberal, yang
mendegradasikan partisipasi politik rakyat menjadi ritual memberikan suara dalam
pemilu setiap lima tahun sekali atau “demokrasi lima menit” rakyat hanya punya
kekuasaan lima menit dalam bilik suara. Di dalam Pancasila, seperti di uraikan Bung
Karno dalam pidato 1 Juni 1945, tipe demokrasi yang kita kehendaki bukan
demokrasi yang menjamin badan perwakilan rakyat, tetapi demokrasi yang
mendatangkan kesejahteraan sosial. Sementara demokrasi liberal, seperti yang kita
alami dalam satu dekade terakhir, terbukti tidak mendatangkan kesejahteraan sosial
bagi rakyat. Sebaliknya, demokrasi liberal ini justru melahirnya banyak sekali produk
UU yang berpihak kepada kepentingan pemilik modal, khususnya modal asing.
7) Selama SBY memerintah dua periode, masih banyak terjadi praktek pelanggaran
terhadap hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.
SBY masih mengedepankan penggunaan cara-cara represif dalam menangani
aksi-aksi protes rakyat.
Masih diterapkannya praktek kriminalisasi terhadap aktivis yang
memperjuangkan hak-hak rakyat.
Adanya sejumlah RUU dan Inpres yang bertabraan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, seperti RUU Kamnas, RUU Intelijen, Impres Kamnas, RUU
Komponen Cadangan, dan lain-lain.
Dan yang paling mencolok adalah dihidupkannya kembali “Haatzai
Artikelen” atau “Lese Majeste”, yang notabene mengekang hak setiap warga
negara untuk menyampaikan kritik terhadap Presiden.
10) Pemerintahan SBY tidak berkomitmen memerangi korupsi yang tumbuh subur di
dalam pemerintahannya. Akibatnya, keuangan negara banyak dicoleng oleh negara,
bukan digunakan untuk membiayai pembangunan dan mensejahterakan rakyat.
Rendahnya komitmen SBY memberantas korupsi itu terlihat dari masih diberikannya
grasi bagi koruptor, ditolerirnya perlakuan khusus dan fasilitas khusus bagi koruptor
di dalam penjara, vonis ringan terhadap pelaku korupsi, dan tidak adanya komitmen
SBY mengusut kasus korupsi besar yang ditengarai melibatkan pejabat tinggi
pemerintahannya (kasus Bank Century).
11) Penegakan hukum di era pemerintahan SBY sangat jauh dari rasa keadilan.
Pemerintahan SBY tidak konsisten menerapkan azas “equality before the
law”. Buktinya, para pejabat negara dan keluarganya dan kaum kaya bisa menikmati
perlakuan khusus di hadapan hukum. Contohnya: Rasyid Rajasa, anak Menko
Perekonomian Hatta Rajasa, hanya dihukum 6 bulan hukuman percobaan dengan
hukuman pidana 5 bulan. Padahal, kelalaiannya mengendarai mobil menyebabkan 2
orang meninggal dan 3 orang lainnya terluka.
Kebijakan anti-demokrasi
Beberapa kebijakan Jokowi yang menyumbang pelemahan demokrasi, bisa dilihat
sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2
Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan Peraturan Presiden
(perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Perppu tentang ormas yang digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut
Tahrir Indonesia, walau benar secara substansi tapi cacat secara prosedur karena
mengeliminasi proses peradilan. Selain itu, perpres jabatan TNI juga dianggap
berbenturan dengan undang-undang (UU) dan semangat reformasi. Kekhawatiran
masyarakat sipil bukan tanpa sebab. Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi
perangkat otoritarianisme yang memfasilitasi banyak pelanggaran HAM dan
melanggengkan kekuasaan.
Pada 2019, ditangkapnya beberapa pendukung Prabowo Subianto - lawan politik
Jokowi pada masa pemilihan umum - advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal
Kivlan Zen atas tuduhan makar juga menjadi isu anti-demokrasi. Tuduhan makar
seperti ini belum pernah dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali
pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep
Karma karena mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Pada era Jokowi, banyak tokoh-tokoh aktivis yang dikriminalisasi. Di antaranya
seperti Veronika Koman karena tuduhan provokasi insiden asrama mahasiswa Papua
di Surabaya, Jawa Timur; lalu Dandhy Dwi Laksono atas konten tentang Papua yang
dia unggah dalam akun Twitter miliknya. Aktivis Ananda Badudu juga sempat ditahan
karena mendukung demonstrasi mahasiswa minggu lalu.
4) Banyaknya Pelanggaran Terhadap UU
Beberapa UU yang dilanggar antara lain adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014.
UU No. 4 tahun 2009 Tentang Minerba ; Pasal 170 Undang Undang Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Undang Undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Undang-Undang No 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dan Putusan MK
hasil Judicial Review UU 30 Tahun 2009.
Perpu No 1 Tahun 2017 Tentang. Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara
Zaman Kutai
Pada zaman ini masyarakat Kutai yang memulai zaman sejarah Indonesia pertama
kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan.
Zaman Sriwijaya
Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam sesuatu negara telah tercermin
pada kerajaan Sriwijaya yang berbunyi yaitu "marvuat vanua criwijaya siddhayara
subhika" (suatu cita-cita negara yang adil & makmur).
Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai.
Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha).
Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di
Indonesia. Bersama dengan itu maka berkembang pula kerajaan-karajaan Islam seperti
kerajaan Demak. Selain itu, berdatangan juga bangsa-bangsa Eropa di Nusantara. Bangsa
asing yang masuk ke Indonesia pada awalnya berdagang, namun kemudian berubah
menjadi praktek penjajahan. Adanya penjajahan membuat perlawanan dari rakyat
Indonesia di berbagai wilayah Nusantara, namun karena tidak adanya kesatuan &
persatuan di antara mereka maka perlawanan tersebut senantiasa sia-sia.
Lalu mengacu pada Rumusan pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan setelah
melalui rapat dan diskusi, maka telah disepakati berdasarkan sejarah perumusan dan
pengesahannya, yang sah dan resmi menurut yuridis menjadi Dasar Negara Indonesia
adalah Pancasila seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Kesimpulan:
Sebagai Falsafah Bangsa Indonesia, Pancasila cuma dijadikan alat legitimasi
sebuah rejim politik. Bahkan, di masyarakat Indonesia sendiri, keberadaan Pancasila juga
makin kurang peranannya sehingga muncul faham-faham baru di Indonesia, seperti
kapitalis dan liberal. Dampaknya Pancasila tidak tertanam pada diri dan jiwa anak-anak
bangsa. Sehingga tak heran jika saat ini kondisi bangsa sendiri sudah dalam keadaan
kritis dan diambang dekandensi penurunan nilai budaya. Sehingga muncul persoalan
dalam bidang politik seperti, korupsi, kolusi, nepotisme dan anarkisme, semua itu terjadi
karena kurangnya pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Hal ini terjadi karena, Pancasila berada pada dunia politik, dan setiap negara harus
memliki ideologi oleh karena itu ideologi digunakan sebagai alat pemegang
kekuasaan.namun apabila para tokoh politik yang berkuasa tidak memahami secar benar
makna serta nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa maka kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah akan menyimpang dari norma-norma pancasila, bahkan
banyak kebijakan yang hanya memementingkan kelompok atau golongan saja, hanya
atasan yang mendapatkan keuntungan. Jadi secara tidak sadar Pancasila telah dijadikan
alat legitimasi rejim politik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.