Ketoasidosis Diabetikum
Dokter Pendamping:
dr. Dwi Satrio
Disusun oleh:
dr.Karel Respati
1
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Agama : Islam
I. ANAMNESIS
meningkat, sering terbangun ketika malam untuk pipis, dan sering minum.
timbul, sering teriak sendiri, berbicara sendiri dan sering membuka baju. demam
hilang timbul, batuk berdahak namun dahak sulit dikeluarkan dan OS makan dan
minum sedikit.
3 hari SMRS OS mengeluh batuk yang lebih sering kambuh, sesek sesekali,
sakit kepala makin sering dirasakan dan adanya nyeri ulu hati, mual tanpa muntah.
Saat masuk RS OS tidak sadarkan diri. BAB dan BAK dalam batas normal.
2
Keluhan mual dan muntah disangkal. Keluhan nyeri tenggorokan penurunan
RPD : Hipertensi (+), DM (+), Riwayat pengobatan paru selama 6 bulan dan sudah
RPO : Amlodipin 1x10 mg, obat lambung (keluarga pasien lupa nama obatnya).
Kesadaran : Apatis
GCS : E = 3, M = 5 V = 4
TTV :
b. Suhu : 37,2 C
c. Napas : 24 x/ menit
e. SpO2 : 97%
Status Generalisata
- Kepala :
Normocephal, wajah tampak pucat , Anemis -/-, ikterik -/-, pupil isokor ±3
mm, Pernapasan cuping hidung (-), Telinga dalam batas normal, Bibir tampak
kering, lidah tidak kotor, gigi-geligi baik, faring tidak hiperemis, T1-T1.
3
- Leher :
- Toraks :
Normo cest, nyeri tekan (-), masa (-), Vokal Fremitus +/+ simetris
Cor : ictus cordis teraba pada ICS 4 linea midclavikula, BJ 1 dan 2 normal, reguler
- Abdomen :
Tampak cembung, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Hepatomegali (-). Splenomegali (-),
- Ekstremitas
Akral dingin, tangan dan kaki lembab, sianosis (-), Odem (-), RCT < 2 “
a. Laboratorium
TANGGAL 17/09/2021
4
Analisa Gas Darah
pH 7.49 mmHg 7.27 – 7.45
PCO2 14.0 mmHg 32-46
PO2 122 mmoL/lt 74-108
Kelebihan Basa -12.9 mmoL/lt (-2.5) – (+2.5)
SBE -12.5 mmoL/lt (-3.0) – (+3.0)
HCO3 10.6 mmoL/lt 21-29
TCO2 11.0 mmoL/lt 22-30
Saturasi O2 99.2 mmoL/lt 92-96
Imunologi
Antigen SARS-COV Negatif Negatif
TANGGAL 18/09/2021
TANGGAL 19/09/2021
TANGGAL 20/09/2021
5
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
Analisa Gas Darah
pH 7.46 mmHg 7.27 – 7.45
PCO2 36.7 mmHg 32-46
PO2 134 mmoL/lt 74-108
Kelebihan Basa 2.5 mmoL/lt (-2.5) – (+2.5)
SBE 2.2 mmoL/lt (-3.0) – (+3.0)
HCO3 25.7 mmoL/lt 21-29
TCO2 26.9 mmoL/lt 22-30
Saturasi O2 99.2 mmoL/lt 92-96
TANGGAL 21/09/2021
Tanggal 17/09/2021
Tanggal 18/09/2021
Tanggal 19/09/2021
6
Tanggal 20/09/2021
Tanggal 21/09/2021
Tanggal 22/09/2021
Jantung membesar
7
Aorta elongasi
- Kesan :
o Pleuropneumonia Kanan
- Kesan :
d. EKG (17/09/2021)
Kesan : AF-RVR
8
IV. DIAGNOSIS/ SIMPULAN PERMASALAHAN PASIEN
b. AF-RVR
c. Dyspepsia
V. MANAJEMEN PASIEN
Saat di UGD
- HID 1x5000
- Lycoxy 1x1
- Amlodipin 1x10mg
- Vit E 1x1
- Omeprazole 2x40mg
VII. PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
9
VIII. FOLLOW UP
10
- Inhalasi ventolin
plus/8jam
- Cek Gen Expert Sputum
- Oxfezin 3x1 C
- NGT untuk Intake
- Pleuropneumonia GPT
20/09/2021 S : Keluhan disangkal
O : CM
- O2 Nasalkanul 3lpm
TD = 137/99 mmHg
Nadi = 77 x/menit - Parasetamol 2 Tablet
RR = 24 x/menit
T = 36,5oC - HID 1x5000
SpO2 = 99% O2 NC 3lpm - Lycoxy 1x1
A : KAD
Pleuropneumonia - Amlodipin 1x10mg
SOPT
- Vit E 1x1
AF
- Syr Oxfezin 3x1 C
- CPG 1x75mg
- Inj.Levofloxacin 1x750mg
- Inj. Omeprazole 2x40mg
- N-Asetylsistein 3x200mg
- Lapor dr.Desi, Sp.PD
hasil visit dr.arif Sp.An :
ACC terapi dr. Arif
- Cek ulang AGD
- Heparin 2x5000 U/Sc
- Kendaron 2x1 tab PO
11
22/09/2021 S : Keluhan disangkal - ACC pulang
O : CM - Oxfezin Syrup 3x1
TD = 110/80 mmHg
Nadi = 80 x/menit
RR = 20 x/menit
T = 36,5oC
SpO2 = 98% (RA)
A : KAD
Pleuropneumonia
SOPT
AF RVR
12
PEMBAHASAN
Pasien Laki-laki, 74 tahun, datang ke RSU Hasanah Graha Afiah pada tanggal
17 September 2021, dengan keluhan penurunan kesadaran, batuk, sakit kepala, nyeri
ulu hati, mual. Riwayat penyakit dahulu, hipertensi, DM, Riwayat pengobatan paru
selama 6 bulan dan sudah selesai bulan februari 2020. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan kesadaran apatis. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil GDS 267
yang terdapat pada pasien ini sesuai dengan kriteria diagnosis dari KAD,
pengobatan Loading NaCl 0,9% 500cc, konsul dr. Desi Sp.PD untuk terapi lanjutan
poli post rawat. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam.
IX.
13
TINJAUAN PUSTAKA
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DEFINISI
yang ditandai oleh trias yaitu, hiperglikemia, asidosis metabolik dan ketonemia. 1
gap.2 )Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
KAD merupakan komplikasi akut metabolik dari diabetes mellitus yang paling sring
dan mengancam nyawa. KAD dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dan
diabetes mellitus dimana apabila ditangani dengan baik dapat menyebabkan kematian.
14
sangat mengikat (330-380mO2/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.2
EPIDEMIOLOGI
KAD sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan
untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.
Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM pertahun.
KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per
tahun diAmerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya
tipe1 yang rendah. Laporan insiden KAD diIndonesia umumnya berasal dari data
ETIOLOGI
disebabkan oleh infeksi. Saat infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah. Infeksi yang diketahui paling
sering mencetuskan KAD adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih. Faktor
fenitoin.3
PATOFISIOLOGI
15
Ketoasidosis diakibatkan oleh defisiensi atau pun inefektivitas hormon insulin
perifer. Peningkatan benda keton disebabkan oleh defisiensi insulin dan peningkatan
pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserida menjadi
gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid). Gliserol merupakan substrat untuk
16
Gambar 2. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetium
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel, member
signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada
pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs daln mitokondria
sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang
DIAGNOSIS
pemeriksaan penunjang. Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasnaya tampak
dalam jangka waktu pendek (<24jam). Gambaran klinis klasik termasuk riwayat
polifagi, polidipsi, poliuria, penurunan berat badan, muntah, lemas, bahkan hingga
penurunan kesadaran. Gejala dari KAD berupa : (1) dehidrasi : kekeringan di mulut
dan hilangnya elastisitas kulit, (2) napas berbau keto/asam, (3) mual-mual, muntah-
muntah dan rasa sakit di perut, (4) napas berat, (5) tarikan napas menigkat, (6) merasa
17
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain perubahan status mental,
hipotensi, takikardia, nafas kussmaul, hipotermia, fruity odor, turgor kulit yang
DIAGNOSIS BANDING
Syndrome (HHS). HHS didefinisikan sebagai komplikasi akut dari diabetes mellitus
dehidrasi .4
Patogenesis HHS berbeda dengan KAD, yakni pada HHS terjadi dehidrasi
yang lebih berat, lalu terjadi peningkatan osmolalitas serum, dan tidak ditemukannya
18
ketonemia yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Pasien dengan HHS memiliki
konsentrasi yang lebih rendah pada asam lemak, kortisol, growth hormone, dan
glukagon. Pasien dengan HHS dapat terjadi asidosis metabolik ringan saat terjadi
HHS sering terjadi pada pasien DM tipe 2 dan dengan diserati komorbid.
Infeksi pneumonia (40-60% dan infeksi saluran kemih (5-16%), atau pun kondisi lain
terjadinya HHS. Prinsip tatalaksana HHS hampir sama dengan KAD, yakni resusitasi
TATALAKSANA
monitoring pasien. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tatalaksana
KAD.5
1. Terapi Cairan
Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi.
19
Studi menunjukkan bahwa selama 4 jam pertama, lebih dari 80%
penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam
pertama dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Total kekurangan cairan
pada pasien KAD menurut para ahli adalah 100 cc/kgBB atau sekitar 5-8
liter. 5
diberikan jika kadar natrium tinggi (>150 mEq/L) dan diberikan sebagai
dalam jangka waktu 24 jam pertama. Selama resusitasi cairan hal yang
darah mencapai 250 mg/dL, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan
2. Terapi Insulin
20
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD
hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam
insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada
KAD. Jika tidak terdapat hipokalemia (Kadar K+ < 3,3 mEq/L) dapat
kontinyu 0,1 unit/KgBB/Jam (5-7 unit/jam). Jika kadar kalum < 3,3
Jika glukosa darah tidak menurun sebanyak 50 mg/dL dari nilai awal pada
jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi,
infus insulin dapat dinaikan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 unit/kgBB yang terbagi
21
Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 unit insulin tambahan setiap
kenaikan glukosa darah 50 mg/dl pada glukosa darah di atas 150 mg/dl dan
dapat ditingkatkan 20 unit untuk glukosa darah ≥300 mg/dl. Ketika pasien
kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long
termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai, dua
pertiha dosis harian diberikan pagi hari dan sepertiga diberikan sore hari.
Pada pasien yang sebelumnya mengalami DM, maka dosis insulin dapat
3. Natrium
0,45%.5
4. Kalium
kalium dimulai jika kadar kalium serum 3,3 mEq/L untuk menghindari
kalium diberikan saat resusitasi cairan sudah dimulai dan tidak dilakukan
22
terapi kalium jika tidak ada produksi urin, terdapat kelainan ginjal, atau
5. Bikarbonat
Pada pasien KAD dengan kadar pH <6.9 diberikan 100 mmol natrium
diberikan jika pH > 7.0. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam
sampai pH menjadi 7,0 dan terapi diulangi setiap 2 jam jika diperlukan. 5
MONITORING
23
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboraturium yang
terapi KAD harus diperiksa kadar glukosa darah, elektrolit, BUN, serum kreatinin,
osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2-4 jam, sumber lain menyebutkan
bahwa kadar glukosa darah kapiler diperiksa tiap 1-2 jam, kadar elektrolit serum
diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6-8 jam. Kriteria resolusi KAD di antaranya
adalah kadar glukosa darah 7,3, dan anion gap ≤12 mEq/L. 5
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi dari KAD adalah hipoglikemia akibat
insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat
pemberian insulin yang tidak kontinyu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin
subkutan. Selain itu, pasien KAD umumnya mengalami hiperkloremia yang disebabkan
oleh penggunakan cairan saline yang berlebihan saat dilakukan resusitasi cairan. Namun
hiperkloremia terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus
gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem. Komplikasi yang jarang terjadi adalah edema paru
non kardiak. Pasien dengan KAD yang memiliki gradient oksigen alveolo-arteriolar yang
lebar yang diukur pada awal pemeriksaan AGD atau ditemukan ronkhi saat pemeriksaan
fisik memiliki risiko tinggi terjadinya edema paru. Komplikasi yang umumnya terjadi
pada anak adalah edema cerebri. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,
letargi, nyeri kepala. Kelainan neurologi yang terjadi antara lain kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradikardi, dan kegagalan respirasi. Pencegahan yang dapat dilakukan
untuk menurunkan risiko edema cerebri pada pasien dengan risiko tinggi adalah
24
penggantian natrium secara bertahap pada pasien hyperosmolar dan penambahan dextrose
PROGNOSIS
Pada DM yant]g tidak terkendali dengan kadar gula yang terlalu tinggi dan kadar
hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi.
Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi. Pemecahan lemak
tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam darah (ketosis). Ketosis menyebabkan
derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebut sebagai asidosis. Keduanya disebut
sebagai ketoasidosis.
Oleh karena itu prognosis pada KAD masih tergolong dubia, tergantung pada usia
adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangka panjang
dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.
X.
25
PNEUMONIA
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang.
Pneumonia menyerang sekitar 450 juta orang setiap tahunnya. Berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan yaitu sekitar 2% sedangkan tahun 2013 adalah 1,8%. Berdasarkan data
Kemenkes 2014, Jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 berkisar
antara 23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19%. Tahun 2010 di
Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
dengan crude fatality rate (CFR) atau angka kematian penyakit tertentu pada periode
waktu tertentu dibagi jumlah kasus adalah 7,6%. Menurut Profil Kesehatan Indonesia,
pneumonia menyebabkan 15% kematian balita yaitu sekitar 922.000 balita tahun
2015. Dari tahun 2015- 2018 kasus pneumonia yang terkonfimasi pada anak-anak
dibawah 5 tahun meningkat sekitar 500.000 per tahun, tercatat mencapai 505.331
pasien dengan 425 pasien meninggal. Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperkirakan
43.309 kasus pneumonia atau radang paru pada balita selama tahun 2019.6
PATOGENESIS
26
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi
langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4) Kolonosiasi
di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah
dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui
udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.9,10
KLASIFIKASI
a. Community Acquired Pneumonia (CAP)
Epidemiologi
Lebih dari 5 juta kasus CAP terjadi di Amerika Serikat; seringkali, 80% dari
pasien yang terkena dirawat sebagai pasien rawat jalan dan 20% sebagai pasien
rawat inap. Mortalitas dari pasien rawat jalan biasanya 1%, sedangkan pasien
27
yang dirawat di rumah sakit berkisar 12% sampai 40%, tergantung pada apakah
pengobatan disediakan di dalam atau di luar unit perawatan intensif (ICU). CAP
menghasilkan lebih dari 1,2 juta rawat inap dan lebih dari 55.000 kematian setiap
tahun. Tingkat kejadian pneumonia tertinggi pada usia ekstrem. Angka kejadian di
Amerika serikat pertahunnya 12 kasus/1000 orang, tetapi angkanya meningkat
menjadi 12-18 kasus/1000 di antara anak-anak usia <4 tahun dan 20kasus/1000 di
antara pasien usia >60 tahun. Faktor risiko CAP yakni alkoholisme, asma,
imunosupresi, dan usia 70 tahun.9
Tabel 1. Faktor-faktor penyebab CAP.7
Etiologi
28
Etiologi dari CAP termasuk bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Pathogen yang
baru diidentifikasi termasuk metapneumoviruse, koronavirus yang bertanggung
jawab atas sindrom pernafasan akut yang parah dan sindom pernafasan di Timur
Tengan, dan strain yang diperoleh dari komunitas methicillin-resis
Staphylococcus aureus (MRSA). Bagaimanapun, CAP disebabkan oleh beberapa
pathogen namun yang tersering yakni Streptococcus pneumoniae, penyebab
pneumonia bergantung pada faktor risiko dari pasien dan keparahan penyakitnya. 9
Diketahui berbagai pathogen yang cenderung dijumpai pada faktor risiko tertentu
misalnya H. influenza pada pasien perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram
negative pada rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopulmunal/jamak, atau paska terapi antibiotika sprektrum luas. 9
Diagnostik
1) Anamnesa
Pneumonia seringkali menunjukkan gejala seperti penyakit sistemik
akut seperti demam, lemas, gemetar, dan muntah. Nafsu makan menghilang
dan sakit kepala. Gejala pulmonal seperti sesak napas dan batuk, dimana pada
karakteristik awal batuk pendek, terasa nyeri dan kering, namun lama
kelamaan diikuti dengan sputum mukopurulen. Sputum berwarna rust (kuning
tua) mungkin dapat terlihat pada pasien dengan infeksi Strep. Pneumonia, dan
beberapa pasien dapat mengeluhkan hemoptisis. Nyeri dada pleuritic dapat
ditemukan dan dapat menjalar ke pundak atau dinding anterior abdomen.
Abdomen bagian atas teraba lunak kadangkala terjadi pada pasien dengan
pneumonia lobus bagian bawah atau jika terdapat hubungan dengan hepatitis.
Riwayat penyakit pasien harus fokus pada mendeteksi gejala yang
berhubungan dengan CAP. Seseorang dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) memiliki insidensi yang tinggi pada CAP. Pasien harus ditanyakan
terkait pekerjaannya, paparan terhadap binatang, dan riwayat seksual untuk
mengidentifikasi agen penyebab infeksi. Riwayat bepergian (dalam 2 minggu)
dapat membantu mengidentifikasi pneumonia Legionella, yang berkaitan
dengan menginap di hotel ataupun di kapal. 9
2) Pemeriksaan Fisik
29
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, pekak pada perkusi
paru, egofoni, takikardi, dan takipnea. Suara nafas asimetris, pleural rub,
egofoni dan fremitus yang meningkat secara relative jarang ditemukan, namun
sangat spesifik pada pneumonia; tanda-tanda ini membantu menegakkan
diagnose pneumonia jika ditemukan namun tidak membantu jika tidak ada.
Rales ataupun suara napas bronkial juga dapat membantu, namun tidak lebih
akurat dari rontgen dada. Takipnea sering ditemukan pada pasien tua dengan
CAP, mencapai 70% pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Skrining
dengan pulse oximetry harus dilakukan pada seluruh pasien dengan suspek
CAP. 9
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran infiltrat paru, pada rontgen thoraks, diperlukan untuk
mendiagnosis CAP, oleh karena itu, di pemeriksaan harus terlihat gambaran
tersebut pada pasien dengan klinis suspek CAP. Luasnya gambaran infiltrate
pada pemeriksaan radiografi dapat mengidentifikasi keparahan penyakit dan
dapat membantu memutuskan perawatan penyakit. Konsolidasi lobus, kavitas,
dan efusi pleura mengarahkan etiologi pada bakteri. Parenkim diffuse sering
kali berhubungan dengan Legionella atau viral pneumonia. Karena
penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan infeksi respiratori bagian atas
mengarahkan pada resistensi obat dan dapat memiliki efek buruk maka
mengidentifikasi pasien yang akan diuntungkan dalam pemberian terapi
antimikrobia sangat penting. 9
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman
Gram negative atau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan
kekebalan. Faal hati mungkin terganggu. 9
30
Semua Pasien
Sputum: Apusan langsung dengan pewarnaan Gram dan Ziehl-
Neelsen. Kultur dan uji sensitifitas antimikroba.
Kultur darah: Sering positif pada pneumonia pneumokokus
Serologi: Mendeteksi antigen pneumokokus dalam serum ataupun
urin
PCR: Mycoplasma dapat dideteksi dari swab ataupun orofaring.
Derajat keparahan
Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor
yaitu CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age
65 years or greater) seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini:6
Tabel. 3. CURB-65 Score.11
4) Diagnosis Banding
Diagnosis banding infeksi saluran napas bawah itu luas dan mencakup
infeksi saluran pernapasan atas, penyakit saluran napas reaktif, gagal jantung,
pneumonitis kriptogenik, kanker paru, vasculitis paru, penyakit tromboemboli
paru, dan atelectasis.9
Terapi
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya didasarkan pada
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan. Terapi empiris dapat diberikan hingga
31
didapatkan data mikroorganisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas dalam
perawatan di rumah sakit disebabkan oleh bakteri. Pemilihan antibiotik secara empiris
berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman
setempat, terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan faktor komorbid. Terapi
antimikroba harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan antibiotik dalam waktu 8 jam
sejak masuk rumah sakit (< 4 jam akan menurunkan angka kematian).12
Karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik menentukan hasil
dari terapi terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik harus segera di mulai,
dilanjutkan dengan total 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik parenteral dapat diganti ke oral
segera setelah ada perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri patogen dapat
diberikan setelah hasil kultur tersedia, jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman
penyebab, pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari). 12
32
Komplikasi
Seperti pada infeksi berat lainnya, komplikasi umum dari CAP yang parah
meliputi gagal napas, syok dan kegagalan multiorgan, kuagulopati, dan eksaserbasi
penyakit penyerta. Tiga kondisi yang sangat penting adalah infeksi metastasis, abses
paru, dan efusi pleura. Infeksi metastasis (mis., Abses otak atau endokartidit) sangat
tidak biasa dan akan membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi serta pemeriksaan
yang terperinci untuk mendapatkan perawatan yang tepat. Abses paru dapat terjadi,
berhubungan dengan aspirasi atau infeksi yang disebabkan oleh pathogen CAP
tunggal, seperti CA-MRSA, P. aeruginosa, atau (jarang) S. pneumonia. Pneumonia
aspirasi biasanya merupakan infeksi polimikroba yang melibatkan aerob dan
anaerob.9
Pencegahan
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influensza dan pneumokokus
pada orang dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat
termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga
perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit
kronik, dan usia di atas 65 tahun. 9
Prognosis
Kejadian CAP di USA adalah 3.4 – 4 juta kasus pertahun, dan 20% di
antaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengna
kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab
kematian no.6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada usia lanjut usia.
Mortalitas pada pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.9
33
HAP mengacu pada pasien yang telah menghabiskan setidaknya 2 hari di rumah
sakit dalam 90 hari terakhit, menghadiri unit hemodialisa, menerima antibiotik
intravena, atau telah menetap di panti jompo atau fasilitas perawatan jangka
panjang lainnya. 9
Etiologi
Ketika HAP terjadi dalam 4-5 hari sejak masuknya kuma (onset dini),
organisme yang terlibat serupa dengan yang terlibat pada CAP, namun onset
lambat HAP lebih sering dikaitkan dengan bakteri Gram negative (seperti
Eschericia, Pseudomonas dan Klebsiella spesies), Staph. Aureus (termasuk
methicillin-resistant Staph. Aureus (MRSA)) dan anaerob. 9
Diagnostik
1) Anamnesis
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun
HAP harus dipertimbangkan pada pasien rawat inap atau yang mengeluhkan
dahak purulent (atau sekresi endotrakeal). Penting juga digali informasi dari
pasien terkait faktor risiko HAP yaitu konsumsi antibotik dalam 90 hari
sebelumnya, melakukan terapi hemodialisa dalam 30 hari terakhir, tinggal di
panti jompo atau fasilitas kesehatan lainnya, adanya anggota keluarga dengan
infeksi yang melibatkan beberapa pathogen yang resisten terhadap obat, dan
pasien yang memiliki penyakit immunosupresan. 9
2) Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun 2
atau lebih temuan klinis dapat berupa demam, dan sputum purulent. 9
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan HAP dapat ditemukan leukositosis ataupun
leukopenia. Evaluasi diagnostik pada suspek HAP meliputi kultur darah dari
dua lokasi yang berbeda. Biakan darah dapat mengidentifikasi patogen hingga
20% dari semua pasien dengan HAP; hasil positif dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi dan tempat terjadinya infeksi. Blood count dan
uji kimia klinis tidak dapat menegakkan diagnosis HAP secara spesifik;
34
namun dapat membantu menentukan tingkat keparahan penyakit dan
mengidentifikasi komplikasi. 9
Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan gram ataupun biakan,
keduanya tidak sensitive dan tidak spesifik dalam diagnosis HAP. 9
Pemeriksaan Radiologi
Temuan radiografi dalam HAP / VAP tidak spesifik dan sering
dikacaukan oleh proses lain yang pada awalnya mengarah ke rawat inap atau
masuk ICU. Pada pemeriskaan radiografi dapat ditemukan adanya gambaran
infiltrate. 9
4) Diagnosis Banding
Diagnosis banding HAP yakni gagal jantung, atelectasis, ARDS,
pulmonary thromboembolism, perdarahan paru, dan reaksi obat. 9
Terapi
Tabel 5. Antibiotik Empirik Tatalaksana Pneumonia HAP.7
35
PENUTUP
metabolik yang ditandai oleh trias yakni, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
diakibatkan oleh defisiensi atau pun inefektivitas hormon insulin dan terjadi
kortisol, dan growth hormone). Penegakan diagnosis KAD didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Perubahan metabolik yang khas untuk
KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<24 jam). Gambaran klinis klasik
termasuk riwayat polifagi, polidipsi, poliuria, penurunan berat badan, muntah, lemas,
bahkan hingga penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik yang ditemukan antara lain
odor, turgor kulit yang menurun, dan nyeri perut. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain pemeriksaan glukosa darah sewaktu, darah lengkap, urinalisis,
elektrolit, EKG, dan analisis gas darah (AGD). Tatalaksana KAD meliputi resusitasi
cairan, terapi insulin, dan koreksi elektrolit. Pasien KAD harus mendapatkan evaluasi
36
REFERENSI
37