Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Ketoasidosis Diabetikum

Dokter Pendamping:
dr. Dwi Satrio

Disusun oleh:
dr.Karel Respati

1
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Usia : 74 tahun, 3 bulan, 6 hari

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Utanjaya 08/04

Tanggal Masuk RS : 17 September 2021

No. Rekam Medik : 00369967

Nama RS : RSU Hasanah Graha Afiah

I. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pada 1 tahun SMRS OS di diagnosis sakit Diabetes. Nafsu makan os

meningkat, sering terbangun ketika malam untuk pipis, dan sering minum.

Kemudian 2 minggu SMRS OS sering mengeluh nyeri kepala yang hilang

timbul, sering teriak sendiri, berbicara sendiri dan sering membuka baju. demam

hilang timbul, batuk berdahak namun dahak sulit dikeluarkan dan OS makan dan

minum sedikit.

3 hari SMRS OS mengeluh batuk yang lebih sering kambuh, sesek sesekali,

sakit kepala makin sering dirasakan dan adanya nyeri ulu hati, mual tanpa muntah.

Saat masuk RS OS tidak sadarkan diri. BAB dan BAK dalam batas normal.

2
Keluhan mual dan muntah disangkal. Keluhan nyeri tenggorokan penurunan

indra penciuman, penurunan indra pengecapan disangkal.

RPD : Hipertensi (+), DM (+), Riwayat pengobatan paru selama 6 bulan dan sudah

selesai bulan februari 2020.

RPK : Tidak ada

RPO : Amlodipin 1x10 mg, obat lambung (keluarga pasien lupa nama obatnya).

II. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Apatis

Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat

GCS : E = 3, M = 5 V = 4

TTV :

a. Tekanan Darah : 130/100 mmHg

b. Suhu : 37,2 C

c. Napas : 24 x/ menit

d. Nadi : 115 x/ menit

e. SpO2 : 97%

Status Generalisata

- Kepala :

Normocephal, wajah tampak pucat , Anemis -/-, ikterik -/-, pupil isokor ±3

mm, Pernapasan cuping hidung (-), Telinga dalam batas normal, Bibir tampak

kering, lidah tidak kotor, gigi-geligi baik, faring tidak hiperemis, T1-T1.

3
- Leher :

Thyroid (-), KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

- Toraks :

Normo cest, nyeri tekan (-), masa (-), Vokal Fremitus +/+ simetris

Pulmo : vesikuler +/+, ronki +/-, Wheezing -/-

Cor : ictus cordis teraba pada ICS 4 linea midclavikula, BJ 1 dan 2 normal, reguler

- Abdomen :

Tampak cembung, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Hepatomegali (-). Splenomegali (-),

Turgor kulit (+) lama kembali, Bising Usus (+) normal

- Ekstremitas

Akral dingin, tangan dan kaki lembab, sianosis (-), Odem (-), RCT < 2 “

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

TANGGAL 17/09/2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Hematologi
Hemoglobin 12.0 g/dL 14-16
Leukosit 12.7 ribu/mm3 3.8 -10.6
Hematokrit 36.8 % 40-52
Trombosit 235 ribu/mm3 150-440
Basofil 0.2 % 0-1
Eosinofil 0.0 % 2-4
Netforil 73.6 % 50-70
Limfosit 11.0 % 25-40
Monosit 15.2 % 2-8
Karbohidrat
GDS 317 mg/dL <180
Elektrolit
Natrium 141 mEq/L 135-147
Kalium 3.64 mEq/L 3.5 – 5.5
Chloride 97 mEq/L 98-107
Kimia Lain
Aseton/Keton Darah Positif Negatif
Karbohidrat (23.20)
GDS 267 mg/dL <180

4
Analisa Gas Darah
pH 7.49 mmHg 7.27 – 7.45
PCO2 14.0 mmHg 32-46
PO2 122 mmoL/lt 74-108
Kelebihan Basa -12.9 mmoL/lt (-2.5) – (+2.5)
SBE -12.5 mmoL/lt (-3.0) – (+3.0)
HCO3 10.6 mmoL/lt 21-29
TCO2 11.0 mmoL/lt 22-30
Saturasi O2 99.2 mmoL/lt 92-96
Imunologi
Antigen SARS-COV Negatif Negatif

TANGGAL 18/09/2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Hemostasis
Masa Protrombine 13.5 detik 3.9-11.6
(PT)
Kontrol `12.6 detik
APTT 41.1 detik 25.5-42.1
Kontrol 36.2 detik
D-Dimer 1181.19 ng/ml <550
Kimia
AST/GOT 117 U/L <50
ALT/GPT 59 U/L <50
Fungsi Ginjal
Ureum Darah 45 mg/dL 17 – 50
Creatinin Darah 0.4 mg/dL 0.7-1.2
eGFR 117 m//min/L
Kimia Lain
C-Reaktif Protein 117.2 mg/L <6
(CRP)

TANGGAL 19/09/2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Hemostasis
Masa Protrombine 13.5 detik 3.9-11.6
(PT)
Kontrol `12.6 detik
APTT 41.1 detik 25.5-42.1
Kontrol 36.2 detik
D-Dimer 1181.19 ng/ml <550

TANGGAL 20/09/2021

5
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
Analisa Gas Darah
pH 7.46 mmHg 7.27 – 7.45
PCO2 36.7 mmHg 32-46
PO2 134 mmoL/lt 74-108
Kelebihan Basa 2.5 mmoL/lt (-2.5) – (+2.5)
SBE 2.2 mmoL/lt (-3.0) – (+3.0)
HCO3 25.7 mmoL/lt 21-29
TCO2 26.9 mmoL/lt 22-30
Saturasi O2 99.2 mmoL/lt 92-96

TANGGAL 21/09/2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL


Hematologi
Hemoglobin 12.9 g/dL 14-16
Leukosit 5.99 ribu/mm3 3.8 -10.6
Hematokrit 37.4 % 40-52
Trombosit 234 ribu/mm3 150-440

KURVA GLUKOSA HARIAN

Tanggal 17/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 209 mg/dL 50-140
Jam 11.00 119 mg/dL 50-140
Jam 16.00 207 mg/dL 50-140

Tanggal 18/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 209 mg/dL 50-140
Jam 11.00 119 mg/dL 50-140
Jam 16.00 207 mg/dL 50-140

Tanggal 19/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 209 mg/dL 50-140
Jam 11.00 325 mg/dL 50-140
Jam 16.00 231 mg/dL 50-140

6
Tanggal 20/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 279 mg/dL 50-140
Jam 11.00 181 mg/dL 50-140
Jam 16.00 210 mg/dL 50-140

Tanggal 21/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 190 mg/dL 50-140
Jam 11.00 231 mg/dL 50-140
Jam 16.00 197 mg/dL 50-140

Tanggal 22/09/2021

JAM HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Jam 06.00 221 mg/dL 50-140
Jam 11.00 211 mg/dL 50-140
Jam 16.00 230 mg/dL 50-140

b. Pemeriksaan Rontgen Thorax : (17/09/2021)

Jantung membesar

7
Aorta elongasi

Kedua hilus kasar

Infiltrat di kedua perihiler paru dan lapangan bawan paru kanan

Efusi pleura minimal kanan

- Kesan :

o Kardiomegali dengan elongasi Aorta

o Pleuropneumonia Kanan

c. Pemeriksaan Rontgen Thorax (21/09/2021)

Kondisi Jantung dan Aorta Menetap

Trakea Lurus Ditengah

Kedua hilus basar

Infiltrat di paru kanan menipis dengan terbentuk fibrosis

Efusi pleura minimal kanan, penebalan pleura kiri sedikit berkurang

- Kesan :

o Kardiomegali dengan elongasi Aorta

o Pleuropneumonia Kanan Perbaikan

d. EKG (17/09/2021)

Kesan : AF-RVR

e. Pemeriksaan Swab Antigen : Negatif

8
IV. DIAGNOSIS/ SIMPULAN PERMASALAHAN PASIEN

a. Penurunan Kesadaran e.c Ketoasidosis Diabetikum

b. AF-RVR

c. Dyspepsia

V. MANAJEMEN PASIEN

Saat di UGD

1. Parasetamol tablet 500mg, 2 tab

2. NaCL 0,9% 500cc Loading

Lapor dr. Desi Sp.PD HCU Covid

- IVFD NaCl 0,9% /8 jam

- KGPH + Correctional Dose Skala V

- Inj. Levofloxasin 1 x 750 mg

- HID 1x5000

- Lycoxy 1x1

- Amlodipin 1x10mg

- Vit E 1x1

- Omeprazole 2x40mg

VI. EDUKASI PASIEN DAN KELUARGA

- Pasien disarankan cek gula rutin secara berkala

- Pasien disarankan menjaga pola makan diet diabetes mellitus

- Pasien disarankan untuk segera berobat apabila ada gejala-gejala infeksi

seperti demam, batuk dan lainnya.

VII. PROGNOSIS

Dubia ad Bonam

9
VIII. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Terapi


17/09/2021 S :Penurunan Kesadaran (+) Batuk (+), Sakit - Parasetamol 2 Tablet
(MASUK) Kepala (+)
- HID 1x5000
O : Apatis
TD = 120/80 mmHg - Lycoxy 1x1
Nadi = 92 x/menit
- Amlodipin 1x10mg
RR = 22 x/menit
T = 36.2oC - Vit E 1x1
SpO2 = 97% (RA)
A : KAD
Pleuropneumonia
SOPT
18/09/2021 S :Penurunan Kesadaran (+) Batuk (+), Sakit - O2 Nasalkanul 3lpm
Kepala (+)
- Parasetamol 2 Tablet
O : Apatis
TD = 120/80 mmHg - HID 1x5000
Nadi = 92 x/menit
- Lycoxy 1x1
RR = 22 x/menit
T = 36.2oC - Amlodipin 1x10mg
SpO2 = 95% (RA)
- Vit E 1x1
A : KAD
Pleuropneumonia - Syr Oxfezin 3x1 C
SOPT
- CPG 1x75mg
- Inj.Levofloxacin 1x750mg
- Inj. Omeprazole 2x40mg

19/09/2021 S : Demam hari ke 6, mual (+),kepala pusing


(+). - O2 Nasalkanul 3lpm
O : CM
TD = 90/60 mmHg
- Parasetamol 2 Tablet
Nadi = 70 x/menit - HID 1x5000
RR = 20 x/menit
T = 37,6oC - Lycoxy 1x1
SpO2 = 96% O2 NC 3lpm - Amlodipin 1x10mg
A : KAD
Pleuropneumonia - Vit E 1x1
SOPT
- Syr Oxfezin 3x1 C
- CPG 1x75mg
- Inj.Levofloxacin 1x750mg
- Inj. Omeprazole 2x40mg
Lapor dr.Indah Sp.P

10
- Inhalasi ventolin
plus/8jam
- Cek Gen Expert Sputum
- Oxfezin 3x1 C
- NGT untuk Intake
- Pleuropneumonia GPT
20/09/2021 S : Keluhan disangkal
O : CM
- O2 Nasalkanul 3lpm
TD = 137/99 mmHg
Nadi = 77 x/menit - Parasetamol 2 Tablet
RR = 24 x/menit
T = 36,5oC - HID 1x5000
SpO2 = 99% O2 NC 3lpm - Lycoxy 1x1
A : KAD
Pleuropneumonia - Amlodipin 1x10mg
SOPT
- Vit E 1x1
AF
- Syr Oxfezin 3x1 C
- CPG 1x75mg
- Inj.Levofloxacin 1x750mg
- Inj. Omeprazole 2x40mg
- N-Asetylsistein 3x200mg
- Lapor dr.Desi, Sp.PD
hasil visit dr.arif Sp.An :
ACC terapi dr. Arif
- Cek ulang AGD
- Heparin 2x5000 U/Sc
- Kendaron 2x1 tab PO

21/09/2021 S : Berdebar-debar dr. Frengky


O : CM - Digoxin 1x1 apabila
TD = 144/93 mmHg HR >140x/menit
Nadi = 88 x/menit - Bisoprolol 1x2,5mg
RR = 20 x/menit -
T = 36,5oC
SpO2 = 98% O2 NC 3lpm
A : KAD
Pleuropneumonia
SOPT
AF  RVR

11
22/09/2021 S : Keluhan disangkal - ACC pulang
O : CM - Oxfezin Syrup 3x1
TD = 110/80 mmHg
Nadi = 80 x/menit
RR = 20 x/menit
T = 36,5oC
SpO2 = 98% (RA)
A : KAD
Pleuropneumonia
SOPT
AF  RVR

12
PEMBAHASAN

Pasien Laki-laki, 74 tahun, datang ke RSU Hasanah Graha Afiah pada tanggal

17 September 2021, dengan keluhan penurunan kesadaran, batuk, sakit kepala, nyeri

ulu hati, mual. Riwayat penyakit dahulu, hipertensi, DM, Riwayat pengobatan paru

selama 6 bulan dan sudah selesai bulan februari 2020. Dari pemeriksaan fisik

ditemukan kesadaran apatis. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil GDS 267

dengan keton positif, Ro.Thorax : Pleuropneumonia Kanan, EKG : AF-RVR. Gejala

yang terdapat pada pasien ini sesuai dengan kriteria diagnosis dari KAD,

Peluropneumonia kanan, AF-RVR, Dyspepsia.

Sesuai dengan tatalaksana kegawatdaruratan terlebih dahulu, di IGD diberikan

pengobatan Loading NaCl 0,9% 500cc, konsul dr. Desi Sp.PD untuk terapi lanjutan

Pasien dirawat selama 6 hari di RSU Hasanah Graha Afiah, pasien

diperbolehkan pulang kerumah dikarenakan telah perbaikan dan disarankan kontrol ke

poli post rawat. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam.

IX.

13
TINJAUAN PUSTAKA

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

DEFINISI

Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi kekcauan metabolik

yang ditandai oleh trias yaitu, hiperglikemia, asidosis metabolik dan ketonemia. 1

Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion

gap.2 )Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.

KAD merupakan komplikasi akut metabolik dari diabetes mellitus yang paling sring

dan mengancam nyawa. KAD dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dan

2, paling sering pada diabetes mellitus tipe 1.3

Gambar 1. Definisi Ketoasisdosis Diabetikum

Status Hiperglikemia Hiperosmolar merupakan komplikasi akut metabolik

diabetes mellitus dimana apabila ditangani dengan baik dapat menyebabkan kematian.

Status Hiperglikemik Hiperosmolar ditandai dengan peningkatan glukosa darah

sangat tinggi (600-1200mg/dL), tanpa tanda gejala asidosis, osmolaritas plasma

14
sangat mengikat (330-380mO2/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau

sedikit meningkat.2

EPIDEMIOLOGI

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden

KAD sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan

untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.

Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM pertahun.

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per

tahun diAmerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya

insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,mengingat prevalensi DM

tipe1 yang rendah. Laporan insiden KAD diIndonesia umumnya berasal dari data

rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2. 3

ETIOLOGI

Faktor pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Sekitar 50%

disebabkan oleh infeksi. Saat infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan

glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah. Infeksi yang diketahui paling

sering mencetuskan KAD adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih. Faktor

lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark miokard,

trauma, pheochromacytoma, kepatuhan terapi DM yang inadekuat, dan obat-obatan.

Obat-obatan yang dapat mencetuskan KAD antaranya adalah kortikosteroid, thiazid,

obat-obatan simpatomimetik (seperti dobutamine dan terbutalin), beta blocker, dan

fenitoin.3

PATOFISIOLOGI

15
Ketoasidosis diakibatkan oleh defisiensi atau pun inefektivitas hormon insulin

dan terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,

katekolamin, kortisol, dan growth hormone). Kedua hal tersebut mengakibatkan

perubahan produksi dan pengeluaran glukosa, meningkatkan lipolisis, dan produksi

benda keton. Ketoasidosis diabetikum ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis

metabolik, dan peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. 3

Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal

(gluconeogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan

perifer. Peningkatan benda keton disebabkan oleh defisiensi insulin dan peningkatan

hormon kontraregulator sehingga menyebabkan aktivasi hormone lipase yang sensitif

pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserida menjadi

gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid). Gliserol merupakan substrat untuk

gluconeogenesis pada hepar, sedangkan asam lemak bebas yang berlebihan

diasumsikan sebagai prekursor utama ketoasid. 3

16
Gambar 2. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetium

Keadaan hiperglikemia yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic yang dapat

mengakibatkan hypovolemia dan penurunan glomerular filtration rate (GFR).

Peningkatan keton di dalam tubuh memicu terjadinya asidosis laktat. 3

Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel, member

signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada

sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis

pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs daln mitokondria

sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang

merupakan sumber energi utama sel. 3

Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin

relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak

bebas, hiperglikemia, gangguan kesimbangan elektrolit dan asam-basa dapat

mengganggu sensitivitas insulin. 3

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis KAD didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasnaya tampak

dalam jangka waktu pendek (<24jam). Gambaran klinis klasik termasuk riwayat

polifagi, polidipsi, poliuria, penurunan berat badan, muntah, lemas, bahkan hingga

penurunan kesadaran. Gejala dari KAD berupa : (1) dehidrasi : kekeringan di mulut

dan hilangnya elastisitas kulit, (2) napas berbau keto/asam, (3) mual-mual, muntah-

muntah dan rasa sakit di perut, (4) napas berat, (5) tarikan napas menigkat, (6) merasa

sangat lemah dan mengantuk. 3

17
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain perubahan status mental,

hipotensi, takikardia, nafas kussmaul, hipotermia, fruity odor, turgor kulit yang

menurun dan nyeri perut. 3

Pemeriksana penunjang yang dpaat dilakukan antara lain pemeriksaan glukosa

darah sewaktu, elektrolit, dan analisis gas darah (AGD). 3

Tabel 1. Kriteria KAD berdasarkan American Diabetes Association

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding KAD adalah kondisi Hyperosmolar Hyperglycemic

Syndrome (HHS). HHS didefinisikan sebagai komplikasi akut dari diabetes mellitus

yang ditandai oleh hiperglikemia berat, peningkatan osmolalitas serum, dan

dehidrasi .4

Patogenesis HHS berbeda dengan KAD, yakni pada HHS terjadi dehidrasi

yang lebih berat, lalu terjadi peningkatan osmolalitas serum, dan tidak ditemukannya

18
ketonemia yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Pasien dengan HHS memiliki

konsentrasi yang lebih rendah pada asam lemak, kortisol, growth hormone, dan

glukagon. Pasien dengan HHS dapat terjadi asidosis metabolik ringan saat terjadi

kegagalan ginjal dan dehidrasi. 4

Gambar 3. Patogenesis HHS. 4

HHS sering terjadi pada pasien DM tipe 2 dan dengan diserati komorbid.

Infeksi pneumonia (40-60% dan infeksi saluran kemih (5-16%), atau pun kondisi lain

seperti penyakit cerebrovascular, infark miokard, dan trauma juga meningkatkan

terjadinya HHS. Prinsip tatalaksana HHS hampir sama dengan KAD, yakni resusitasi

cairan, insulin, dan koreksi elektrolit. 4

TATALAKSANA

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia, asidosis, kelainan elektrolit, identifikasi faktor komorbid, dan

monitoring pasien. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tatalaksana

KAD.5

1. Terapi Cairan

Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.

Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi.
19
Studi menunjukkan bahwa selama 4 jam pertama, lebih dari 80%

penurunan kadar gula darah disebabkan oleh resusitasi cairan. 5

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Target

penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam

pertama dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Total kekurangan cairan

pada pasien KAD menurut para ahli adalah 100 cc/kgBB atau sekitar 5-8

liter. 5

Jenis cairan yang digunakan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9%,

diberikan dengan kecepatan 15-20 cc/kgBB/jam atau selama 1 jam

pertama 1-1,5 liter. Selanjutnya 250-500 ml/jam pada jam berikutnya.

Pilihan cairan selanjutnya disesuaikan dengan status hidrasi, kadar

elektrolit, dan pengeluaran urin. Pada umumnya cairan NaCl 0,45%

diberikan jika kadar natrium tinggi (>150 mEq/L) dan diberikan sebagai

koreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan

kecepatan 4-14 cc/kgBB/jam. 5

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan

dalam jangka waktu 24 jam pertama. Selama resusitasi cairan hal yang

harus diperhatikan adalah tanda overload cairan. Ketika kadar glukosa

darah mencapai 250 mg/dL, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan

yang mengandung dextrose, seperti dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl

0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45% untuk menghindari risiko

hipoglikemia dan mengurangi kemungkinan edema cerebri akibat

penurunan kadar glukosa darah yang terlalu cepat. 5

2. Terapi Insulin

20
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD

ditegakkan dan resusitasi cairan yang memadai. Pemakaian insulin akan

menurunkan hormon glukagon sehingga menekan produksi benda keton di

hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam

amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa. Pemberian

insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada

KAD. Jika tidak terdapat hipokalemia (Kadar K+ < 3,3 mEq/L) dapat

diberikan insulin reguler dosis 0,1 unit/KgBB diikuti dengan insulin

kontinyu 0,1 unit/KgBB/Jam (5-7 unit/jam). Jika kadar kalum < 3,3

mEq/L, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan

hipokalemia yang dapat mengakibatkan aritmia jantung. Insulin dosis

rendah menurunkan glukosa darah dengan kecepatan 50-75 mg/dL/jam.

Jika glukosa darah tidak menurun sebanyak 50 mg/dL dari nilai awal pada

jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi,

infus insulin dapat dinaikan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai

penurunan glukosa darah konstan antara 50-70 mg/dL/jam. Ketika glukosa

darah mencapai 250 mg/dL, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1

unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan tambahkan infus dextrose 5-10%.5

Jika pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat

diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 unit/kgBB yang terbagi

menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya diberikan secara

subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara

intramuskular atau subkutan 0,1 unit/kgBB/jam, selanjutnya protokol

pelaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena. 5

21
Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 unit insulin tambahan setiap

kenaikan glukosa darah 50 mg/dl pada glukosa darah di atas 150 mg/dl dan

dapat ditingkatkan 20 unit untuk glukosa darah ≥300 mg/dl. Ketika pasien

dapat makan, jadwal dosis multiple harus dimulai dengan memakai

kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long

acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Pada

pasien DM yang baru, insulin maintenance awal hendaknya 0,5-1,0

unit/kgBB/hari diberikan terbagi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang

termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai, dua

pertiha dosis harian diberikan pagi hari dan sepertiga diberikan sore hari.

Pada pasien yang sebelumnya mengalami DM, maka dosis insulin dapat

diberikan sesuai dengan dosis sebelum KAD. 5

3. Natrium

Pasien dengan KAD kadang-kadang memiliki kadar natrium yang

rendah karena peningkatan kadar glukosa darah. Sebaliknya, kadar natrium

dapat meningkat setelah diberikan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9%.

Jika serum natrium >150 mEq/L memerlukan koreksi dengan NaCl

0,45%.5

4. Kalium

Hipokalemia dapat terjadi saat dilakukan terapi insulin, koreksi

asidosis, dan resusitasi cairan. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian

kalium dimulai jika kadar kalium serum 3,3 mEq/L untuk menghindari

aritmia, gagal jantung, atau pun kelemahan otot pernapasan. Terapi

kalium diberikan saat resusitasi cairan sudah dimulai dan tidak dilakukan

22
terapi kalium jika tidak ada produksi urin, terdapat kelainan ginjal, atau

kadar kalium >6 mEq/L. 5

5. Bikarbonat

Pada pasien KAD dengan kadar pH <6.9 diberikan 100 mmol natrium

bikarbonat ke dalam 400 ml cairan fisioogis dan diberikan dengan

kecepatan 200ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0 diberikan 50

mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan

diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak

diberikan jika pH > 7.0. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam

sampai pH menjadi 7,0 dan terapi diulangi setiap 2 jam jika diperlukan. 5

6. Penatalaksanaan terhadap infeksi yang menyertai.

Antibiotik diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor

pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum ditemukan,

maka antibiotik yang dipilih adalah antibiotik spektrum luas. 5

SLIDING SCALE INSULIN

MONITORING

23
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboraturium yang

komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia darah,

elektrolit, AGD, EKG. Ameican Diabetes Association merekomendasikan selama

terapi KAD harus diperiksa kadar glukosa darah, elektrolit, BUN, serum kreatinin,

osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2-4 jam, sumber lain menyebutkan

bahwa kadar glukosa darah kapiler diperiksa tiap 1-2 jam, kadar elektrolit serum

diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6-8 jam. Kriteria resolusi KAD di antaranya

adalah kadar glukosa darah 7,3, dan anion gap ≤12 mEq/L. 5

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering terjadi dari KAD adalah hipoglikemia akibat

penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan pemberian

insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat

pemberian insulin yang tidak kontinyu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin

subkutan. Selain itu, pasien KAD umumnya mengalami hiperkloremia yang disebabkan

oleh penggunakan cairan saline yang berlebihan saat dilakukan resusitasi cairan. Namun

hiperkloremia terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus

gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem. Komplikasi yang jarang terjadi adalah edema paru

non kardiak. Pasien dengan KAD yang memiliki gradient oksigen alveolo-arteriolar yang

lebar yang diukur pada awal pemeriksaan AGD atau ditemukan ronkhi saat pemeriksaan

fisik memiliki risiko tinggi terjadinya edema paru. Komplikasi yang umumnya terjadi

pada anak adalah edema cerebri. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,

letargi, nyeri kepala. Kelainan neurologi yang terjadi antara lain kejang, inkontinensia,

perubahan pupil, bradikardi, dan kegagalan respirasi. Pencegahan yang dapat dilakukan

untuk menurunkan risiko edema cerebri pada pasien dengan risiko tinggi adalah

24
penggantian natrium secara bertahap pada pasien hyperosmolar dan penambahan dextrose

untuk cairan maintenance ketika glukosa darah mencapai 250 mg/dL. 5

PROGNOSIS

Pada DM yant]g tidak terkendali dengan kadar gula yang terlalu tinggi dan kadar

hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi.

Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi. Pemecahan lemak

tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam darah (ketosis). Ketosis menyebabkan

derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebut sebagai asidosis. Keduanya disebut

sebagai ketoasidosis.

Oleh karena itu prognosis pada KAD masih tergolong dubia, tergantung pada usia

adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangka panjang

dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.

X.

25
PNEUMONIA

DEFINISI

Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru. Meskipun pneumonia


merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi, pneumonia sering kali
salah didiagnosis, serta salah ditangani dan juga diremehkan. Di masa lalu,
pneumonia diklasifikasikan menjadi community-acquired pneumonia (CAP),
hospital-acquired pneumonia (HAP), atau ventilator-associated pneumonia (VAP).6,7

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang.
Pneumonia menyerang sekitar 450 juta orang setiap tahunnya. Berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan yaitu sekitar 2% sedangkan tahun 2013 adalah 1,8%. Berdasarkan data
Kemenkes 2014, Jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 berkisar
antara 23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19%. Tahun 2010 di
Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
dengan crude fatality rate (CFR) atau angka kematian penyakit tertentu pada periode
waktu tertentu dibagi jumlah kasus adalah 7,6%. Menurut Profil Kesehatan Indonesia,
pneumonia menyebabkan 15% kematian balita yaitu sekitar 922.000 balita tahun
2015. Dari tahun 2015- 2018 kasus pneumonia yang terkonfimasi pada anak-anak
dibawah 5 tahun meningkat sekitar 500.000 per tahun, tercatat mencapai 505.331
pasien dengan 425 pasien meninggal. Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperkirakan
43.309 kasus pneumonia atau radang paru pada balita selama tahun 2019.6

PATOGENESIS

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan


(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.8

26
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi
langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4) Kolonosiasi
di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah
dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui
udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.9,10

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan


reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi.
Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit
yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian
terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka
akan nampak empat zona (Gambar 1) pada daerah pasitik parasitik terset yaitu : 1)
Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona
permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah
tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar
makrofag.4

KLASIFIKASI
a. Community Acquired Pneumonia (CAP)
Epidemiologi
Lebih dari 5 juta kasus CAP terjadi di Amerika Serikat; seringkali, 80% dari
pasien yang terkena dirawat sebagai pasien rawat jalan dan 20% sebagai pasien
rawat inap. Mortalitas dari pasien rawat jalan biasanya  1%, sedangkan pasien
27
yang dirawat di rumah sakit berkisar 12% sampai 40%, tergantung pada apakah
pengobatan disediakan di dalam atau di luar unit perawatan intensif (ICU). CAP
menghasilkan lebih dari 1,2 juta rawat inap dan lebih dari 55.000 kematian setiap
tahun. Tingkat kejadian pneumonia tertinggi pada usia ekstrem. Angka kejadian di
Amerika serikat pertahunnya 12 kasus/1000 orang, tetapi angkanya meningkat
menjadi 12-18 kasus/1000 di antara anak-anak usia <4 tahun dan 20kasus/1000 di
antara pasien usia >60 tahun. Faktor risiko CAP yakni alkoholisme, asma,
imunosupresi, dan usia 70 tahun.9
Tabel 1. Faktor-faktor penyebab CAP.7

Etiologi

28
Etiologi dari CAP termasuk bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Pathogen yang
baru diidentifikasi termasuk metapneumoviruse, koronavirus yang bertanggung
jawab atas sindrom pernafasan akut yang parah dan sindom pernafasan di Timur
Tengan, dan strain yang diperoleh dari komunitas methicillin-resis
Staphylococcus aureus (MRSA). Bagaimanapun, CAP disebabkan oleh beberapa
pathogen namun yang tersering yakni Streptococcus pneumoniae, penyebab
pneumonia bergantung pada faktor risiko dari pasien dan keparahan penyakitnya. 9
Diketahui berbagai pathogen yang cenderung dijumpai pada faktor risiko tertentu
misalnya H. influenza pada pasien perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram
negative pada rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopulmunal/jamak, atau paska terapi antibiotika sprektrum luas. 9

Diagnostik
1) Anamnesa
Pneumonia seringkali menunjukkan gejala seperti penyakit sistemik
akut seperti demam, lemas, gemetar, dan muntah. Nafsu makan menghilang
dan sakit kepala. Gejala pulmonal seperti sesak napas dan batuk, dimana pada
karakteristik awal batuk pendek, terasa nyeri dan kering, namun lama
kelamaan diikuti dengan sputum mukopurulen. Sputum berwarna rust (kuning
tua) mungkin dapat terlihat pada pasien dengan infeksi Strep. Pneumonia, dan
beberapa pasien dapat mengeluhkan hemoptisis. Nyeri dada pleuritic dapat
ditemukan dan dapat menjalar ke pundak atau dinding anterior abdomen.
Abdomen bagian atas teraba lunak kadangkala terjadi pada pasien dengan
pneumonia lobus bagian bawah atau jika terdapat hubungan dengan hepatitis.
Riwayat penyakit pasien harus fokus pada mendeteksi gejala yang
berhubungan dengan CAP. Seseorang dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) memiliki insidensi yang tinggi pada CAP. Pasien harus ditanyakan
terkait pekerjaannya, paparan terhadap binatang, dan riwayat seksual untuk
mengidentifikasi agen penyebab infeksi. Riwayat bepergian (dalam 2 minggu)
dapat membantu mengidentifikasi pneumonia Legionella, yang berkaitan
dengan menginap di hotel ataupun di kapal. 9

2) Pemeriksaan Fisik

29
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, pekak pada perkusi
paru, egofoni, takikardi, dan takipnea. Suara nafas asimetris, pleural rub,
egofoni dan fremitus yang meningkat secara relative jarang ditemukan, namun
sangat spesifik pada pneumonia; tanda-tanda ini membantu menegakkan
diagnose pneumonia jika ditemukan namun tidak membantu jika tidak ada.
Rales ataupun suara napas bronkial juga dapat membantu, namun tidak lebih
akurat dari rontgen dada. Takipnea sering ditemukan pada pasien tua dengan
CAP, mencapai 70% pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Skrining
dengan pulse oximetry harus dilakukan pada seluruh pasien dengan suspek
CAP. 9

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran infiltrat paru, pada rontgen thoraks, diperlukan untuk
mendiagnosis CAP, oleh karena itu, di pemeriksaan harus terlihat gambaran
tersebut pada pasien dengan klinis suspek CAP. Luasnya gambaran infiltrate
pada pemeriksaan radiografi dapat mengidentifikasi keparahan penyakit dan
dapat membantu memutuskan perawatan penyakit. Konsolidasi lobus, kavitas,
dan efusi pleura mengarahkan etiologi pada bakteri. Parenkim diffuse sering
kali berhubungan dengan Legionella atau viral pneumonia. Karena
penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan infeksi respiratori bagian atas
mengarahkan pada resistensi obat dan dapat memiliki efek buruk maka
mengidentifikasi pasien yang akan diuntungkan dalam pemberian terapi
antimikrobia sangat penting. 9

Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman
Gram negative atau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan
kekebalan. Faal hati mungkin terganggu. 9

Tabel 2. Investigasi mikrobiologis pada pasien dengan CAP.9

30
Semua Pasien
 Sputum: Apusan langsung dengan pewarnaan Gram dan Ziehl-
Neelsen. Kultur dan uji sensitifitas antimikroba.
 Kultur darah: Sering positif pada pneumonia pneumokokus
 Serologi: Mendeteksi antigen pneumokokus dalam serum ataupun
urin
 PCR: Mycoplasma dapat dideteksi dari swab ataupun orofaring.

Derajat keparahan
Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor
yaitu CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age
65 years or greater) seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini:6
Tabel. 3. CURB-65 Score.11

4) Diagnosis Banding
Diagnosis banding infeksi saluran napas bawah itu luas dan mencakup
infeksi saluran pernapasan atas, penyakit saluran napas reaktif, gagal jantung,
pneumonitis kriptogenik, kanker paru, vasculitis paru, penyakit tromboemboli
paru, dan atelectasis.9

Terapi
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya didasarkan pada
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan. Terapi empiris dapat diberikan hingga

31
didapatkan data mikroorganisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas dalam
perawatan di rumah sakit disebabkan oleh bakteri. Pemilihan antibiotik secara empiris
berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman
setempat, terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan faktor komorbid. Terapi
antimikroba harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan antibiotik dalam waktu 8 jam
sejak masuk rumah sakit (< 4 jam akan menurunkan angka kematian).12
Karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik menentukan hasil
dari terapi terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik harus segera di mulai,
dilanjutkan dengan total 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik parenteral dapat diganti ke oral
segera setelah ada perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri patogen dapat
diberikan setelah hasil kultur tersedia, jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman
penyebab, pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari). 12

Tabel 4. Antibiotik Empirik Tatalaksana Pneumonia CAP.7

32
Komplikasi
Seperti pada infeksi berat lainnya, komplikasi umum dari CAP yang parah
meliputi gagal napas, syok dan kegagalan multiorgan, kuagulopati, dan eksaserbasi
penyakit penyerta. Tiga kondisi yang sangat penting adalah infeksi metastasis, abses
paru, dan efusi pleura. Infeksi metastasis (mis., Abses otak atau endokartidit) sangat
tidak biasa dan akan membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi serta pemeriksaan
yang terperinci untuk mendapatkan perawatan yang tepat. Abses paru dapat terjadi,
berhubungan dengan aspirasi atau infeksi yang disebabkan oleh pathogen CAP
tunggal, seperti CA-MRSA, P. aeruginosa, atau (jarang) S. pneumonia. Pneumonia
aspirasi biasanya merupakan infeksi polimikroba yang melibatkan aerob dan
anaerob.9

Pencegahan
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influensza dan pneumokokus
pada orang dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat
termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga
perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit
kronik, dan usia di atas 65 tahun. 9

Prognosis
Kejadian CAP di USA adalah 3.4 – 4 juta kasus pertahun, dan 20% di
antaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengna
kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab
kematian no.6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada usia lanjut usia.
Mortalitas pada pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.9

b. Hospital-acquired pneumonia (pneumonia nosokomial)


Pneumonia nosocomial yang didapat di rumah sakit mengacu pada episode
baru pneumonia yang terjadi setidaknya 2 hari setelah masuk ke rumah sakit. Ini
adalah infeksi yang didapat di rumah sakit kedua yang paling sering dan menjadi
penyebab utama kematian. Orang tua (lansia) sangat berisiko, seperti halnya
pasien di unit perawatan intensif, terutama ketika berhubungan dengan ventilasi
mekanis, dimana diistilahkan dengan Ventilator Associated Pneumonia (VAP).

33
HAP mengacu pada pasien yang telah menghabiskan setidaknya 2 hari di rumah
sakit dalam 90 hari terakhit, menghadiri unit hemodialisa, menerima antibiotik
intravena, atau telah menetap di panti jompo atau fasilitas perawatan jangka
panjang lainnya. 9

Etiologi
Ketika HAP terjadi dalam 4-5 hari sejak masuknya kuma (onset dini),
organisme yang terlibat serupa dengan yang terlibat pada CAP, namun onset
lambat HAP lebih sering dikaitkan dengan bakteri Gram negative (seperti
Eschericia, Pseudomonas dan Klebsiella spesies), Staph. Aureus (termasuk
methicillin-resistant Staph. Aureus (MRSA)) dan anaerob. 9
Diagnostik
1) Anamnesis
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun
HAP harus dipertimbangkan pada pasien rawat inap atau yang mengeluhkan
dahak purulent (atau sekresi endotrakeal). Penting juga digali informasi dari
pasien terkait faktor risiko HAP yaitu konsumsi antibotik dalam 90 hari
sebelumnya, melakukan terapi hemodialisa dalam 30 hari terakhir, tinggal di
panti jompo atau fasilitas kesehatan lainnya, adanya anggota keluarga dengan
infeksi yang melibatkan beberapa pathogen yang resisten terhadap obat, dan
pasien yang memiliki penyakit immunosupresan. 9

2) Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan HAP tidak spesifik, namun 2
atau lebih temuan klinis dapat berupa demam, dan sputum purulent. 9

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan HAP dapat ditemukan leukositosis ataupun
leukopenia. Evaluasi diagnostik pada suspek HAP meliputi kultur darah dari
dua lokasi yang berbeda. Biakan darah dapat mengidentifikasi patogen hingga
20% dari semua pasien dengan HAP; hasil positif dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi dan tempat terjadinya infeksi. Blood count dan
uji kimia klinis tidak dapat menegakkan diagnosis HAP secara spesifik;

34
namun dapat membantu menentukan tingkat keparahan penyakit dan
mengidentifikasi komplikasi. 9
Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan gram ataupun biakan,
keduanya tidak sensitive dan tidak spesifik dalam diagnosis HAP. 9

Pemeriksaan Radiologi
Temuan radiografi dalam HAP / VAP tidak spesifik dan sering
dikacaukan oleh proses lain yang pada awalnya mengarah ke rawat inap atau
masuk ICU. Pada pemeriskaan radiografi dapat ditemukan adanya gambaran
infiltrate. 9

4) Diagnosis Banding
Diagnosis banding HAP yakni gagal jantung, atelectasis, ARDS,
pulmonary thromboembolism, perdarahan paru, dan reaksi obat. 9

Terapi
Tabel 5. Antibiotik Empirik Tatalaksana Pneumonia HAP.7

35
PENUTUP

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias yakni, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan

ketonemia. Faktor pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. KAD

diakibatkan oleh defisiensi atau pun inefektivitas hormon insulin dan terjadi

bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,

kortisol, dan growth hormone). Penegakan diagnosis KAD didapatkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Perubahan metabolik yang khas untuk

KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<24 jam). Gambaran klinis klasik

termasuk riwayat polifagi, polidipsi, poliuria, penurunan berat badan, muntah, lemas,

bahkan hingga penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik yang ditemukan antara lain

perubahan status mental, hipotensi, takikardia, nafas kussmaul, hipotermia, fruity

odor, turgor kulit yang menurun, dan nyeri perut. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan antara lain pemeriksaan glukosa darah sewaktu, darah lengkap, urinalisis,

elektrolit, EKG, dan analisis gas darah (AGD). Tatalaksana KAD meliputi resusitasi

cairan, terapi insulin, dan koreksi elektrolit. Pasien KAD harus mendapatkan evaluasi

laboraturium yang komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil

kimia darah, elektrolit, AGD, mapun EKG.

36
REFERENSI

1. Gosmanov AR, Gosmanova E O, Kitabchi AE. Hyperglcemic Crises : Diabetic


Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State
2. PERKENI. Buku Pedoman Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: 2019
3. Gotera, W., Dewa, G.A., Agung, B. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum
(KAD). Journal Penyakit Dalam. Volume 11, Nomor. 2.
4. French, E.K., Amy, C.D., Mary, T.K. 2019. Diabetic Ketoacidosis and Hyperosmolar
Hyperglicemic SyndromeL Review of Acute Decompensated Diabetes in Adult
Patient. The British Medical Journal.
5. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. 2013. The Management of
Diabetic Ketoacidosis in Adults. 2nd Editions.
6. PDPI. Press release “perhimpunan dokter paru indonesia (pdpi) outbreak pneumonia
di tiongkok; 17 januari 2020
7. Longo dl, kasper dl, jameson jl, dkk. 2015. Harrison’s principles of internal medicine,
19th edition. United states of america: mcgraw-hill; 2015
8. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of
America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl. 2, S27–
S72. Tersedia di : www.thoracic.org/sections/publications/statements/
pages/mtpi/idsaats-cap.html [Diakses 3 Maret 2017].
9. PDPI. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
10. Dahlan Z. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia. 2009.
11. Mcnally M, Curtain J, O’Brien K,et.al, Validity of British Thoracic Society guidance (the
CRB-65 rule) for predicting the severity of pneumonia in general practice: systematic review
and meta-analysis. British Journal of General Practice 2010; 60 (579): e423-
e433. DOI: https://doi.org/10.3399/bjgp10x532422
12. PDPI. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014.

37

Anda mungkin juga menyukai