Anda di halaman 1dari 112

MANUSIA SEBAGAI PEMAKMUR DI MUKA BUMI DALAM

PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana


Strata Satu ( S. 1 ) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama

Oleh:
HUSNUL KHOTIMAH
NIM : UT. 160081

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2020
i
ii
iii
MOTTO

                

            

 

“Dan kepada Ṭsamud (kami utus) saudara mereka Ṣhaleh. Ṣhaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya)”. (Q.S Hūd:61)

iv
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil „alamin
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan
sehingga saya dapat menyelesaikan skipsi ini guna memperoleh Gelar Sarjana
Strata 1 (S1) shalawat besertakan salam tidak lupa pula kudoakan kepada Allah
semoga disampaikan-Nya kepada nabi Muhammad SAW
Akhirnya sebuah perjalanan berhasil kutempuh Walau terkadang aku tersandung
dan terjatuh Namun keyakinan tak pernah rapuh berkat doa dan usaha
Ayahanda (Agusri.A)..
Kini study ku telah selesai berkat doa dan restumu dalam hidupku besar harapan
anakmu ini mentjadi kebanggaanmu semogah ananda dapat mewujudkan segerah
mungkin apa yang diinginkan..aamiin.
Ibunda (Sur Iriyani )..
Lelah menanti keberhasilku, doamu membuat aku semangat kasih sayangmu
menjadikan aku tegar hingga mendapatkan Hidup dengan penuh kesabaran,
Walaupun beragam cobaan yang menghalangi. Ibunda tiada lagi yang
kuinginkan didunia ini selain terus berdoa dan berusaha tuk selalu
membahagiakanmu.
Ku Persembahkan karya kecil ku ini
sebagai bukti cinta dan hormat dan kasih sayang kepada ayahanda dan ibunda
tercinta yang telah bersusah payah demi tercapainya cita-cita dan keberhasilan
Kakak dan Adikku Yang Ku Sayangi
Egi surtinawati dan Aminatu Zuhriah, Darul Hikmah, Muhammad Sohibul Fajri,
Darul Sakinah, Muhammad Irsal Musoddik terima kasih atas segala motivasi,
doa dan dukungan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi diantara
kita merupakan rahmat dan anugerah dari-Nya, serta menjadi sesuatu yang indah
untuk selama-lamanya.
Teman-teman Seperjuangan
Saudara-saudaraku terbaik yang telah mengisi hari dengan canda tawa dan
senyum terindah yang pernah kumiliki, dan tanpamu teman aku tak akan pernah
berarti, tanpamu teman aku bukan siapa-siapa, terimakasih ku ucapkan kepada
teman-teman keluarga besar Ushuluddin terkususnya teman-teman di Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, ,juga kepada semua-semua orang yang telah menyemangati
saya yang banyak membantu dalam segi materil dan moril.

v
ABSTRAK

Nama/Nim :Husnul Khotimah (NIM. UT.160081)


Judul : Manusia Sebagai Pemakmur Di Muka Bumi Dalam
Perspektif Al-Qur’an
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah di permukaan bumi
ini. keunggulan manusia diantaranya makhluk lainnya adalah dengan dimilikinya
akal untuk berpikir. dengan akalnya tersebut. Manusia dapat menciptakan sesuatu
yang luar biasa, dan dengan akal yang dimilikinya yaitu pula, manusia diamanati
tanggung jawab yang besar yaitu amanah sebagai khalīfah untuk mengurus bumi.
Makna Khalīfah dalam al-Qur‟an Relevansinya dengan Tujuan (Analisis QS. al-
Baqarah ayat 30-35). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) makna
khalīfah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35; 2) relevansi makna khalīfah dalam
QS.al-Baqarah ayat 3035. Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan
Metode Riset Kepustakaan (library research), dengan Teknik Analisis Deskriptif
Kualitatif.
Data penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode Maudhuʽi dan Interpretasi. Dalam penelitian ini penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa makna khalīfah tidak hanya dapat dipahami
sebagai penggantian atau pewarisan. Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat
30-35, khalīfah berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya
di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada
manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Khalīfah adalah
manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalīfah adalah manusia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh.
Khalīfah adalah manusia kritis, kreatif serta dinamis yang mampu
membangun dunia ini sesuai dengan ketetapanNya. Secara operasional tugas
kekhalīfahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas kekhalīfahan terhadap diri
sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Kedua,
tugas kekhalīfahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah
tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga,
tugas kekhalīfahan dalam masyarakat, meliputi tugas mewujudkan persatuan dan
kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan
keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma‟ruf nahi
munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk
fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalīfahan terhadap alam,
menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan
kultur Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalīfahan dengan baik. Hasil
penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan bagi khazanah ilmu
pengetahuan dan bahan informasi serta masukan bagi para Ilmu Al-Qur‟an Tafsir
UIN Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

vi
KATA PENGANTAR
‫الش ِدٍْن‬
َّ ‫الشدْ َو ِي‬
َّ ِ‫ّللا‬
ّ ‫تِس ِْن‬
‫ الصالج ّالسالم على خٍش األًام ّعلى الَ ّأصذاتَ اّلى‬, ‫الذوذ هلل الزي علن تالقلن علن اإلًساى هالن ٌعلن‬
"‫الكشام "اها تعذ‬
Puji syukur kehadirat Allah swt. berkat rahmat hidayah serta inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabatnya dan
para pengikut setianya.
Adapun tujuan penyusunan skripsi ini, untuk memenuhi persyaratan
penyelesaian pendidikan pada program strata satu jurusan Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi Tahun
2019/2020. Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak
yang telah ikut berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam membantu proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis merasa sangat perlu
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang membantu, baik yang
telah membimbing, mengarahkan, memberikan petunjuk maupun yang senantiasa
memotivasi.
1. Bapak Prof. Dr. H. Suaidi Asy‟ari, MA.,Ph.D selaku Rektor UIN STS
Jambi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba
ilmu di kampus ini.
2. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati,SE.M.E.l, Bapak Dr. As‟ad Isma, M.pd, Bapak
Bahrul Ulum, S.Ag.,MA, selaku Wakil Rektor 1, II, dan III Universitas
Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Halim, S.Ag., M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN STS Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil dekan bidang Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
5. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M.Fil.l. selaku Wakil dekan bidang Administrasi
Umum Perencanaan dan Keuangan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. M. Led Al-Munir, M.Ag selakuWakil dekan bidang
Kemahasiswaan dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN STS Jambi.
7. Bapak Bambang Husni Nugroho,S.Th.l.,M.H.I Selaku ketua Prodi Ilmu
Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS
Jambi.
8. Drs. H. Muhsin Ham,M.Fil.l, sebagai pembimbing 1 dan A.
Mustaniruddin, M.Ag sebagai pembimbing II yang telah sabra membantu
dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Dr. H. Muhsin Ham, M.Fil.I selaku pembimbing akademi yang
senantiasa selalu memberi saran, semangat dan waktunya demi
terselesaikannya Skripsi ini.
10. Seluruh dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN
STS Jambi yang telah berjasa mengajar dan mendidik penulis selama
menjadi mahasiswa di UIN STS Jambi serta Staf Akademik yang dengan

vii
sabarnya melayani penulis dalam menyelesaikan prosedur akademik yang
harus dijalani hingga ke tahap penyelesaian.
11. Bapak Ibu Karyawan dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
12. Bapak dan ibu kepala perpustakaan UIN STS Jambi beserta staf-stafnya
yang telah menyediakan referensi yang dibutuhkan dalam penyelesaian
skripsi ini.
13. Ayah,Ibu, Kakak, keluarga, Besar, Saudara-saudara seperjuangan,
Mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafir Khusus teman-teman seangkatan
yang senantiasa memotivasi, memberikan kritik dan semangat kepada
penulis dan senantiasa menemani penulis baik dalam keadaan suka
maupun duka.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


tidak sempat disebutkan namanya satu persatu, semoga bantuan yang telah
diberikan bernilai ibadah di sisi Allah swt. dan semoga Allah swt. senantiasa
meridai semua amal usaha yang peneliti telah laksanakan dengan penuh
kesungguhan serta keikhlasan.
Pada kenyataanya walaupun menerima banyak bantuan dari berbagai
puhak, pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap tulisan ini adalah penulis
sendiri. Terakhir harus penulis sampaikan kepada mereka yang membaca dan
berkenan memberi saran, kritik atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan
kesalahan yang pasti masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan
kritik tersebut. Skripsi ini dapat diterima dikalangan pembaca yang lebih luas lagi
di masa yang akan datang. Semoga karena yang sangat sederhana ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Jambi, 14 Februari 2020


Penulis

Husnul Khotima

HUSNUL KHOTIMAH

NIM.UT.160081

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
NOTA DINAS ..................................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ORINALITAS SKRIPSI ....................................... ii
PENGESAHAN ................................................................................................ iii
MOTTO ............................................................................................................ iv
PERSEMBAHAN .............................................................................................. v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................10
C. Batasan Masalah ..........................................................................................10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................10
E. Tinjauan Pustaka .........................................................................................11
F. Metode Penelitian ........................................................................................12
G. Sistematika Penulisan ..................................................................................14
BAB II GAMBARAN UMUM MANUSIA SEBAGAI PEMAKMUR DI
MUKA BUMI ......................................................................................................15
A. Pengertian Manusia ....................................................................................15
B. Pengertian Makmur ......................................................................................27
C. Indikator Negeri Makmur ........................................................................... 28
D. Hakikat Kemakmuran ..……. .....................................................................30
BAB III AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA DAN KEMAKMURAN ...37
A. Ayat-Ayat Tentang Kedudukan Manusia ..................................................37
1. Makkiyyah ...........................................................................................41
2. Madaniyah ...........................................................................................42
3. Munasabah Ayat ..................................................................................43

B. Ayat-Ayat Tentang Peran dan Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalīfah


.....................................................................................................................44
1. Makkiyyah ...........................................................................................45
2. Madaniyah . ..........................................................................................45

ix
3. Asbab An-Nuzul ..................................................................................46
4. Munasabah Ayat ..................................................................................47

C. Ayat-Ayat Tentang Kemakmuran .............................................................51


1. Makkiyyah . ..........................................................................................51
2. Madaniyah . ..........................................................................................53
3. Asbab- An-Nuzul . ...............................................................................53
4. Munasabah Ayat . .................................................................................57

BAB IV Manusia Sebagai Pemakmur Di Muka Bumi Perspektif Al-Qur’an


................................................................................................................................64
A. Manusia Sebagai khalifah Dan ʽAbdu Allah ................................................64
B. Peran Dan Tanggung Jawab Manusia Di Bumi ...........................................84
C. Ciri-Ciri Negeri Yang Makmur Dalam Al-Qur‟an . ....................................87

BAB V PENUTUP ...............................................................................................91


A. Kesimpulan ..................................................................................................91
B. Saran- Saran .................................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................94
CURICULUM VITAE ........................................................................................99

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
‫ا‬ ‟ ‫ط‬ ṭ
‫ب‬ B ‫ظ‬ ẓ
‫خ‬ T ‫ع‬ „
‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh
‫ج‬ J ‫ف‬ F
‫ح‬ ḥ ‫ق‬ Q
‫ر‬ Kh ‫ك‬ K
‫د‬ D ‫ل‬ L
‫ر‬ Dz ‫م‬ M
‫س‬ R ‫ى‬ N
‫ص‬ Z ٍ H
‫ط‬ S ّ W
‫ش‬ Sh ‫ء‬ ‟
‫ص‬ ṣ ‫ي‬ Y
‫ض‬ ḍ

B. Vokal dan Harkat


Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
َ‫ا‬ A ‫ﺂ‬ Ā ‫اِي‬ ȋ
ِ‫ا‬ I ‫اِي‬ ȋ َّ‫ا‬ Aw
ُ‫ا‬ U ُّ‫ا‬ Ū ‫اَي‬ Ai

C. Tā’ marbūṭah
Transliterasi untuk Tā‟ marbūṭah ini ada dua macam
1. Tā‟ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun maka
transliterasinya adalah h.

xi
Arab Indonesia
‫دكوح‬ ḥilmah
‫جضٌح‬ Jaziyah
2. Tā‟ marbūṭah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan
dammah, maka transliterasinya adalah t.
Arab Indonesia
‫ّصاسج التشتٍح‬ Wizārat al-Tarbiyah
‫هشاج الضهي‬ Mir‟ātu al-zaman

3. Tā‟ marbūṭah yang berharakat tanwin makan transliterasinya adalah


tan/tin/tun.
Arab Indonesia
‫فجعح‬

D. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

Swt. = subḥanahu wa ta„ala

Saw. = sallallāhu „alaihi wa sallam

As. = „alaihi al - salām

Cet. = Cetakan

Vol = Volume

Jil + Jilid

t.th. = Tanpa tahun

H = Hijriah

M = Masehi

xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tesis prof. Dr. Marsel A. Boisard bahwa ada tiga macam yang paling
efektif untuk mempelajari dan mengenali manusia. Pertama, penyelidikan
terhadap hakikat dan kualitas manusia, seperti yang dilakukan oleh para filosof.
Kedua, penyelidikan terhadap prinsip-prinsip idiologis dan spiritual yang
mengatur tindakan manusia dan segenap hal yang berpengaruh terhadap
pembentukan personalitasnya, seperti yang dilakukan oleh para Sosiolog dan ahli
Agama. Ketiga, penyelidikan terhadap pranata etik dan yuridis yang terbentuk
dari pengalaman-pengalaman sejarah dan kemasyarakatan.1
Di dalam Al-Qur‟an, terdapat 34 ayat yang menjelaskan tentang
penciptaan manusia dengan merujuk pada berbagai elemen-elemen natural
yang memberikan derajat kualitatif pada manusia. Untuk kebutuhan kajian ini,
dapatlah dikemukakan beberapa ayat yang menegaskan hal tersebut, antara lain:
Surah Al-Mukminūn ayat 12-14
‫طفَح فًِ قَ َش ٍاس‬ ْ ًُ ٍُ‫) ث ُ َّن َجعَ ْلٌَا‬21( ‫ٍي‬ ٍ ‫س َاللَ ٍح ِه ْي ِط‬ ُ ‫ساىَ ِه ْي‬ ِ ْ ‫َّلَ َق ْذ َخلَ ْقٌَا‬
َ ًْ ‫اإل‬
َ ‫ضغَحَ ِع‬
َ ‫ظاها فَ َك‬
‫س ًَْْا‬ ْ ‫ضغَح فَ َخلَ ْقٌَا ْال ُو‬ ْ ‫علَقَح فَ َخلَ ْقٌَا ْالعَلَقَحَ ُه‬
َ َ‫طفَح‬ ْ ٌُّ‫) ث ُ َّن َخلَ ْقٌَا ال‬21( ‫ٍي‬ ٍ ‫َه ِك‬
)21( َ‫س ُي الخَا ِلقٍِي‬ْ َ َّ َ‫اسك‬
َ ْ‫ّللاُ أد‬ ْ ْ َ ُ
َ َ‫ام لذْ وا ث َّن أ ًْشَأًَاٍُ خَلقا آخ ََش فَتَث‬ َ َ ‫ْال ِع‬
َ ‫ظ‬
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari sesuatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus daging. Kemudian kami
jadikan dia sebagai makhluk (berbentuk) lain. Maha suci Allah sebagai
pencipta yang paling baik”.2

Yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan Allah dari saripati tanah,


lalu berubah menjadi air mani yang disimpan di rahim, lalu air mani berubah
menjadi segumpal daging, terus menjadi tulang belulang, lalu tulang belulang itu
dibungkus daging, akhirnya Allah menjadikan dia sebagai makhluk. Lalu, ayat 37-
39 Surah Al-Qiyāmah yang menegaskan.
1
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, (Jakarta: Penamadani, 2003), 34.
2
Qs Al-mukminun, 4-5.

1
2

Bahwa Allah menjadikan manusia dari setetes mani yang ditumpahkan ke


dalam rahim kemudian dia menyempurnakannya.
Selanjutnya, ayat 7-9 Surah As-Sajadah yang menggambarkan bahwa
Allah memulai menciptakan manusia itu dari tanah dan dari air mani yang hina,
kemudian meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, lantas menjadikan
pendengaran, penglihatan, dan hati. Juga, ayat 5 Surah Al-Hajj yang menyebutkan
bahwa manusia dijadikan dari setetes air mani, kemudian dari sesuatu yang
melekat, lalu menjadi segumpal daging yang sempurna dan tidak sempurna,
sampai waktu yag telah ditentukan maka lahirlah dia ke muka bumi sebagai
seorang bayi.3
Merujuk pada ungkapan ayat-ayat di atas, maka dapatlah dipahami bahwa
kualitas kehidupan manusia ditentukan melalui delapan fase kehidupan. Fase-fase
itu, itu antara lain sebagai berikut. pertama, tanah sebagai proses awal.
Kedua, proses yang berasal dari air mani (nutfah). Setelah manusia
memakan berbagai makanan yang bersumber dari tanah, akhirnya berbuah
sperma.
Ketiga, proses yang melekat (ʽalaqah). Konsekuensi dari senggama
(coitus) antara suami-istri tadi, mengeluarkan sperma dan ovum, kemudian
keduanya bercampur dan menetap di rahim setelah berubah menjadi embrio
(ʽalaqah).
Keempat, proses menjadi segumpal daging (mudghah). Segumpal daging
ini merupakan proses yang berasal dari ʽalaqah.
Kelima,proses menjadi tulang belulang (ʽizham).
Keenam, proses menjadi daging (lahmah). Lahmah merupakan fase
embrio sesudah „izham (tulang belulang).
Ketujuh, proses peniupan roh. Fase peniupan roh adalah fase kehidupan
mulai bergerak.
Kedelapan, proses kelahiran ke muka bumi.
Sebagaimana diketahui bahwa, Al-Qur‟an menegaskan kualitas dan nilai
manusia dengan mengunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling

3
Ibid.,34.
3

berhubungan, yakni al-insan, al-basyar, dan bani Adam. Manusia disebut al-
insan, Karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlakukan teguran dan
peringatan. Manusia disebut dengan al-basyar, karena dia cenderung perasa dan
emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai
bani Adam, karena dia menunjukkan pada asal-usul manusia yang bermula dari
Nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya4.
Al-Qur‟an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan
mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Al-Qur‟an justru
memuliakan manusia sebagai makhluk sorgawi yang sedang dalam perjalanan
menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia
harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan
kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini.
Al-Qur‟an turun membawa hukum-hukum dan syariʽat secara berangsur-
angsur menurut konteks peristiwa dan kejadian selama kurun waktu dua puluh
tahun lebih. Namun hukum-hukum dan syariʽat ini ada yang tidak dapat
melaksanakan sebelum arti, maksud, dan inti persoalannya betul-betul
dimengerti dan dipahami.
Telah diketahui bahwa Al-Qur‟an sebagai sumber hukum umat Islam
yang komprohensif, banyak menyinggung masalah problematika Umat, yang
dimana ia menjadi rujukan utama seperti yang telah disinggung diatas. Dalam hal
ini ada keterkaitan penulis tentang ayat–ayat yang berkaitan dengan penafsiran
manusia sebagai pemakmur di alam semesta, yang sangat menarik pada zaman
sekarang untuk dibahas.
Tuhan benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya, kemudian Tuhan kembalikan manusia tersebut ketempat yang
serendah-rendahnya, kecuali orang yang beriman dan beramal ṣaleh.5 Bentuk yang
sebaik-baiknya dalam diri manusia, baik dalam wujud jasmaniah maupun
rohaniah berbeda di banding dengan makhluk lain. Penampilan dan kemampuan

4
Ibid., 10-11.
5
Qs.Al-Tin(95):4-6.
4

manusia untuk mengurus dirinya guna mempertahankan hidupnya (survive) di


alam jagat raya ini telah memiliki potensi sebagai anugerah pemberian Tuhan.
Potensi manusia yang diilhamkan tuhan6 ia diberi akal dan kemampuan
berekspresi dan berbicara. Tubuhnya diperintah, ditegakkan akan dipermudahkan
geraknya dengan organ tubuhnya yang lengkap.
Manusia sebagai makhluk yang unik untuk mempertahankan hidupnya
antara lain dengan mengambil manfaat dari alam raya ini, baik yang berada di
permukaan bumi, diperut bumi atau diangkasa raya. Alam dalam hal ini bumi dan
langit dengan segala isinya disediakan Allah untuk kemaslahatan manusia. Allah
Rabbalʽalamin memelihara alam ini termasuk dunia dengan penuh kasih sayang
7
melalui Sunnatullah(hukum alam) yang dia tetapkan.
Manusia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan alam ini,
mengelolahnya atau memakmurkannya seoptimal mungkin dengan segala
fasilitas dan kemampuannya, sebagaimana Firman Allah Q.S Hūd /11:61
ِ ‫غٍ ُْشٍُ ُُ َْ أ َ ًْشَأ َ ُك ْن ِهيَ ْاأل َ ْس‬
‫ض‬ َ ٍَ َ‫ّللاَ َها لَ ُك ْن ِه ْي ِإل‬ َ ‫َّ ِإلَى ث َ ُوْدَ أَخَا ُُ ْن‬
َّ ‫صا ِلذا قَا َل ٌَاقَ ْْ ِم ا ْعثُذ ُّا‬
)12( ٌ‫ست َ ْغ ِف ُشٍُّ ث ُ َّن تُْتُْا إِلَ ٍْ َِ إِ َّى َستًِّ قَ ِشٌةٌ ُه ِجٍة‬ ْ ‫َّا ْست َ ْع َو َش ُك ْن فٍِ َِا فَا‬
“Dan kepada kaum Ṭsamud( kami utus ) saudara mereka Ṣhaleh. Ṣhaleh
berkata:” hai kaumku, sembahlah Allah,sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu pemakmurnyakarena itu mohonlah ampunannya, kemudian bertaubatlah
kepadanya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmatnya lagi
memperkenankan (doa hambanya)”.

Manusia diperintahkan untuk memakmurkan dan mengambil manfaat


sebaik mungkin dari alam raya ini, maka sama sekali tidak dibenarkan untuk
menelantarkan alam tersebut apalagi merusaknya.
Oleh karena itu, manusia dengan segala keterampilannya tidaklah bebas
nilai dalam memanfaatkan alam ini, akan tetapi perlu mengikuti penuntun yang
mampu mengendalikan akal dan nafsunya kearah positif dan konstruktif.
Tuntunan tersebut yang utama adalah Wahyu Al-Qur‟an yang mulia.

6
M. Quraish Shihab, Dia dimana-mana, tangan Tuhan di balik setiapFenomena, (
Ciputat Tangerang : Lentera Hati, 2007), 273. minsalnya Qs.Al-Syamsi(91):8.
7
Kaitan (Munasabah ) dalam Klausa” Rabb al-alamin “ dan al-Rahman al-Rahim
yakni Allah memelihara ala mini dengan sifat al-Rahman –al-Rahim yakni dengan Rahmat dan
kasih sayang
5

Didalam Al-Qur‟an terdapat banyak ayat yang menceritakan bumi, langit,


matahari, bulan, bintang-bintang, gunung, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan,
fenomena -fenomena alam sampai kepada makhluk yang bernama serangga yang
kesemuanya itu tidaklah Allah ciptakan secara sia–sia, melainkan memiliki
kegunaan. Misteri kegunaan inilah yang kadang-kadang manusia belum atau
tidak bisa menggali dan memanfaatkan secara optimal, bahkan cenderung tidak
mengetahuinya.
Manusia memang termasuk alam, namun berbeda dengan alam lainnya
8
yakni manusia mendapat predikat sebagai khalīfah yang bertugas mengatur
dan mengolah alam ini untuk kemaslahatan dan kedamaian hidup.
Sejarah telah mencatat semenjak manusia akan diciptakan Allah, Allah
telah menegaskan dan memberitahukan kepada malaikat, bahwa manusia
diciptakannya adalah untuk menjadikan khalīfahnya di bumi ini (Qs. Al-Baqarah
30).
ِ ‫ض َخ ِييفَتً قَبىُ٘ا أَحَجْ عَ ُو فِي َٖب ٍَ ِْ يُ ْف‬
‫س ُذ فِي َٖب‬ ِ ‫َٗإِ ْر قَب َه َسبُّلَ ِى ْي ََ ََلئِ َن ِت إِِّّي َجب ِع ٌو فِي ْاْل َ ْس‬
)03( ََُُ٘ َ‫ِس ىَلَ قَب َه إِِّّي أ َ ْعيَ ٌُ ٍَب ََل ح َ ْعي‬ُ ‫س ِبّ ُخ بِ َح َْ ِذكَ َُّٗقَ ّذ‬
َ ُّ ُِ ْ‫س ِفلُ اى ِ ّذ ٍَب َء ََّٗح‬ْ َ‫َٗي‬
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‟‟aku
hendek menjadikan khalīfah di bumi “. Mereka berkata,‟‟ apakah engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana,
sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama Mu? Dia
berfirman “sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Al-Qur‟an juga menjelaskan kejadian manusia berikutnya yaitu anak
cucu Nabi, yang Adam yang dimulai dari fase nutfah (air mani, sperma), lalu fase
„alaqah (darah kental yang menempel didinding rahim), kemudian fase mudhgah
(sekepal daging). Kemudian fase pembentukan tulang dan pembungkusan tulang
dengan daging, dan terakhir adalah peniupan ruh di jasad yang sudah siap hidup
(Al-Hajj:5).
Dilihat dari asal kejadianya seperti tanah dan sperma, manusia adalah
makhluk yang lemah, bahkan sangat lemah. Namun dibalik kelemahannya,

8
Melalui tugas kekhalifahan, Allah Swt. memerintahkan manusia membangun alam
ini sesuai dengan tujuan yang dikendakinya. Qurash Shihab, secercah cahaya ilahi, hidup
bersama al-quran (Bandung : Mizan, 2000), 273.
6

manusia mempunyai potensi yang luar biasa, yaitu mempunyai akal pikiran.
Dengan akal pikirannya manusia mampu memanfaatkan potensi sumber daya
alam dan bisa menciptakan peradaban. Allah sangat tahu akan potensi manusia
maka Allah mengangkatnya sebagai khalīfah di bumi.
Dalam kaitan pemanfaatan alam, penguasaan, pengembangan serta
pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) amat perlu, namun
IPTEK tersebut harus senantiasa berada di dalam jalur nilai -nilai kemanusiaan
dan keAgamaan yang luhur.9
Bagi umat Islam kesadaran akan Iman dan Taqwa (IMTQ) dan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) itu berkait erat dengan keyakinan terhadap
Al-Qur‟an yang diwahyukan dan pemahaman mengenai kehidupan dan alam
semesta yang diciptakan. Didalam kedunya terkadang ketentuan-ketentuan Allah
yang bersifat absolut, yang satu disebut kebenaran Qur‟ani dan yang lain
10
disebutnya kebenaran kauni.
Kehidupan manusia yang dinamis dan semakin berkembang akan terus
menerus memerlukan sumber daya alam, sumber daya manusia (SDM) dan
sumber daya alam (SDA) akan terus saling berkaitan dalam tempo yang tak
terbatas.
Dengan demikian berarti tugas hidup manusia di bumi ini adalah
sebagai khalīfah Allah.11 Q.S Al-Anʽām ayat 165
Sebagai khalīfah Allah dibumi ini manusia mempunyai dua kewajiban
pokok:
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah swt “ yang mengangkat manusia
sebagai khalīfah (pengelola) dimuka bumi, dan Allah yang mengangkat derajat
manusia itu satu sama lain tidaklah sama, ada yang ditinggikan dan ada pula
yang direndahkan. Tujuannya sebagai serana uji coba bagi manusia dalam
menyikapi semua pemberian allah swt, karena hal demikian merupakan perkara
yang sangat mudah bagi Allah dan bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat.

9
Wapres RI Sambutan seminar Internasional IV, Mukjizat al-quran dan As-Sunnah
tentang IPTEK (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), VI
10
Bj. Habibi (Menristek RI), Sambutan Seminar Internasional IV
11
Syahminan Zaini , Isi pokok Ajaran AL-Quran, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2005), 130.
7

Pertama Mewujudkan kemakmuran hidup manusia (Q.S Hūd 61)


ِ ‫شأ َ ُم ٌْ ٍَِِ ْاْل َ ْس‬
‫ض‬ َ ّْ َ ‫غي ُْشُٓ ُٕ َ٘ أ‬ ‫صب ِى ًحب قَب َه يَبقَ ْ٘ ًِ ا ْعبُذُٗا ه‬
َ ٍٔ َ‫َّللاَ ٍَب ىَ ُن ٌْ ٍِ ِْ ِإى‬ َ ٌْ ُٕ ‫ ث َ َُ٘ َد أ َ َخب‬َٚ‫َٗإ ِِى‬
)16( ‫يب‬ ٌ ‫يب ٍُ ِج‬ ْ ‫سخ َ ْع ََ َش ُم ٌْ فِي َٖب فَب‬
ٌ ‫سخ َ ْغ ِف ُشُٗٓ ث ُ هٌ حُ٘بُ٘ا ِإىَ ْي ِٔ ِإُه َسبِّي قَ ِش‬ ْ ‫َٗا‬
“Dan kepada kaum Tsamud( kami utus ) saudara mereka Ṣaleh. Ṣaleh
berkata:” hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunannya, kemudian
bertaubatlah kepadanya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmatnya lagi
memperkenankan (doa hambanya)”.

Selain mengisahkan perilaku kaum Ṭsamud yang menjadi umat Nabi


Ṣhaleh, Ayat diatas juga menegaskan fungsi manusia sebagai pemakmur bumi
yang merupakan anugerah Allah Swt. Itulah sebabnya, mengapa pengelolaan
dan pemakmuran bumi pada dasarnya merupakan salah satu bentuk peribadatan
manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai Al-Khaliq. Karena, Allah yang
mempersiapkan bumi dengan segala isinya, sementara manusia diberikan amanah
untuk melakukan pengelolaan sebagaimana mestinya.12
Kedua Mewujudkan kebahagiaan hidup manusia (Q.S Ar- Raʽdu 29 dan
Al-Ahzāb71).
Memakmurkan dan membahagiakan kehidupan dan penghidupan
manusia bukanlah kewajiban yang ringan dan mudah.Tetapi adalah kewajiban
yang berat dan sulit, sebab, manusia diciptakan dalam keadaan lemah ( Qs. An-
Nisā‟ 28), manusia dilahirkan tidak tahu apa–apa (Q.S An-Nahl 78)
Karena itu agar kedua kewajiban tersebut dapat diwujudkan oleh
manusia didalam kenyataan kehidupannya sehari-hari kepadanya dituntut
untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Diatas telah diuraikan bahwa tugas hidup manusia adalah sebagai
khalīfah Allah dengan dua kewajiban pokok, yaitu dengan mewujudkan
kemakmuran dan kebahagiaan hidup. Dan tugas serta kewajiban tersebut adalah
berat dan sulit. Karena itu tentu saja untuk keberhasilan tugas dan kewajiban
tersebut manusia memerlukan perlengkapan yang cukup, baik dan serasi, yaitu
serasi dengan manusia dan tugasnya.
12
Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi teks,terjemah,dan tafsir, (Jakarta : Amzah,
2015),42.
8

Al-Qur‟an, mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam. Banyak


sekali alasan yang dapat dikemukakan untuk ini. Tetapi yang terpenting
diantaranya ialah :
Pertama, seperti telah diketahui, bahwa alam termasuk salah satu hal
yang dibicarakan (dibahas) oleh Al-Qur‟an. Sedang Al-Qur‟an wajib dimengerti
(Q.S Ṣād 29, Q.S Muhammad 24 dan Q.S Al-Anʽām 155). Dengan demikian
berarti Alam juga Wajib dimengerti. Kalau alam tidak dimengerti mustahillah
pembicaraan Al-Qur‟an tentang alam tersebut akan dimengerti. Dengan demikian
berarti pengertian tentang alam merupakan jalan untuk mengerti Al-Qur‟an.
Ushul Fiqh mengatakan: diperintahkan mengerjakan sesuatu berarti
diperintahkan juga mengerjakan jalan-jalannya.13
Kedua, Al-Qur‟an memerintahkan kepada manusia untuk mengadakan
penelitian terhadap alam. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan
hal ini. Ayat ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan hal ini dapat dibagi kepada
dua bagian
1. Yang bersipat Umum, yaitu memerintahkan meneliti alam secara
keseluruhan seperti Q.S Al-Aʽrāf 185, Q.S Yūnus 101, Q.S Nūh 15.
2. Yang bersifat khusus, yaitu yang memerintahkan yang meneliti alam-
alam khusus binatang (Q.S Qhāsiyah 17), Gunung(Q.S Ghāsiyah19),
laut/kapal ( Q.S Lukmān 31), air (Q.S Faṭir 27), syetan ( Q.S
Maryam 83), kelebihan pada seseorang atau suatu bangsa (Q.S Al-
Isrā‟ 21) dan sebagainya. Setelah diadakan penelitian tentulah
manusia akan mengerti (mengenal) alam tersebut dengan baik.
Ketiga, Al-Qu‟an memerintahkan kepada manusia untuk mengambil
manfaat yang sebesar-besarnya dari alam agar kehidupan mereka dapat menjadi
makmur dan bahagia seperti yang dinyatakan oleh Q.S Al-Ankabūt 17, Al-
Jumaʽah 10 dan Q.S. Qaṣaṣ 77. Tetapi manusia tidaklah mungkin akan dapat
mengambil manfaat yang sebesarnya dari alam, kalau mereka tidak mengerti (
mengenal ) alam tersebut dengan baik. Karena itu untuk mengambil manfaat
dari alam manusia haruslah mengerti terlebih dahulu tentang alam tersebut.

13
Ibid., 212.
9

Keempat, Al-Qur‟an memerintahkan kepada manusia untuk melestarikan


alam. Menurut Al-Qur‟an alam itu adalah (sudah) baik. Al-Qur‟an melarang
manusia untuk merusaknya atau membuat kerusakan padanya (Q.S Al-Aʽrāf 56
dan 85). Dengan demikian berarti Al-Qur‟an menghendaki agar manusia
melestarikan alam. Apalagi Al-Qur‟an menghendaki kelangsungan kehidupan
manusia dengan baik ( QS. Al-Baqarah 36, dan QS. An-Nisā‟ 9). Kelangsungan
kehidupan manusia yang baik itu hanyalah dapat berlaku dalam keadaan alam
yang tetap baik. Apabila alam sudah rusak pastilah kehidupan manusia padanya
akan rusak pula.14
Seperti telah diketahui, bahwa kewajiban hidup manusia ialah
mewujudkan kemakmuran dan kebahagian hidup manusia. Dan seperti telah
diketahui pula. Bahwa salah satu syarat untuk melaksanakan kewajiban tersebut
ialah mempunyai ilmu yang banyak (mengerti ) tentang alam.
Manusia hidup dalam dan dari alam. Tetapi alam tidak lah selalu baik dan
memberikan kebaikan pada manusia. Sering juga alam tidak baik dan tidak
memberikan kebaikan kepada manusia. Sebab:
a. Didalam alam sering terjadi hal-hal yang merugikan bahkan dapat
menghancurkan manusia ,seperti hama, penyakit menular
b. Didalam alam terdapat tumbuh –tumbuhan, air, gas, binatang dan
lain-lainnya yang dapat mematikan manusia, karena mengandung
racun kabut asap, dan kebakaran.
Sebagai orang Islam, adanya pandangan yang berbeda dengan orang-orang
yang berpegang pada ekonomi konvensional dalam hal kemakmuran adalah suatu
hal yang lazim, karena itu sangatlah menarik untuk membahas dan mengkaji
konsep kemakmuran dalam Islam, berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan
mencoba menjelaskan tentang kemakmuran hidup di dunia melalui pendekatan
maudhuʽi dengan judul “Manusia Sebagai Pemakmur di Muka Bumi Dalam
Perspektif Al-Qur’an” .
B. Rumusan Masalah

14
Ahsin Sakho Muhammad , keberkahan al-quran ,( Jakarta: Qaf,2017), 55.
10

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, pokok permasalahan dapat


dirumuskan yaitu:
1. Bagaimana penafsiran mengenai ayat-ayat tentang manusia dan
kemakmuran?
2. Apa saja bentuk- bentuk dan gambaran manusia sebagai pemakmur di
muka bumi ?
3. Bagaimana kedudukan manusia sebagai pemakmur di muka bumi dalam
perspektif Al-Qur‟an
C. Batasan Masalah
Penelitian ini berfokus terhadap permasalahan untuk mencegah terjadinya
ketidak seimbangan manusia sebagai pemakmur di muka bumi dalam
pengelolahan alam. Karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis. Maka,
penulis merasa perlu adanya pembatasan masalah supaya penelitian ini bisa
menghindari perluasan pokok bahasan.15
Adapun kitab tafsir yang penulis jadikan rujukan pada penelitian ini yaitu
semua kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu‟i. Pembatasan masalah
adalah suatu yang amat penting agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik
dan sekaligus mendapatkan apa yang menjadi tujuan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui ayat-ayat manusia sebagai pemakmur di muka bumi
b. Untuk mengetahui gambaran umum manusia sebagai pemakmur di muka
bumi dalam perspektif Al-Qur‟an
c. Untuk mengetahui kedudukan manusia sebagai pemakmur di muka bumi
dalam perspektif Al-Qur‟an.
2. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memenuhi di
antaranya.
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi khazanah
keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan judul dari penelitian ini.

15
Ibid.,55.
11

b. Memberikan konstribusi pemikiran agar setiap pembaca semakin


mengarah dan mengacu pada Al-Qur‟an disetiap ucapan dan tingkah laku.
c. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan penulis dalam membuat
dan menyusun karya ilmiah yang baik dan benar.
E. Tinjauan Kepustakaan
Wacana tentang manusia sebagai pemakmur di muka bumi dalam
perspektif Al-Qur‟an. Merupakan fenomena yang sedang marak pada
masyarakat saat ini yang tidak mensesuaikan konsep Al-Qur‟an. Kerusakan
lingkungan asap dan kebakaran di sebabkan oleh perlakuan manusia oleh
sebab itu penulis mengupas bagaimana gambaran manusia sebagai pemakmur
di muka bumi dalam pandangan Al-Qur‟an. Fenomena yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat serta banyaknya karya tulis berupa artikel ataupun
laporan-laporan penelitian yang bermunculan seperti:
Pertama, dalam bentuk jurnal yang disusun oleh Dudung Abdullah
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN ) Alauddin
Makassar.16 dengan judul: Perspektif Al-Qur‟an Tentang Posisi Manusia
Dalam Memakmurkan Alam Raya. Dan konsep manusia dalam Al-Qur‟an
(telaah Krisis tentang Makna dan Eksistensi). Jurnal ini lebih mempokuskan
kajiannya terhadap peran manusia secara umum di dalam Al-Qur‟an.
Kedua, Husnul Amin, menulis jurnal yang berjudul memakmurkan bumi
dalam perspektif teologi pendidikan, (Raudhah vol. 3 No. 2 – 2018). Jurnal ini
berbeda dengan skripsi ini terlihat dari perspektif yang digunakan. Husnul
Amin menjelaskan tentang memakmurkan bumi dari perspektif yaitu teologi
pendidikan sedangkan skripsi ini adalah dilihat dari perspektip Al-Qur‟an
yang menggunakan metode maudhu‟i.
Ketiga, Aibdi Rahmat, menulis jurnal yang berjudul manusia sebagai
pemakmur bumi (manhaj jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam
jurnalnya Aibdi Rahmat manusia diberi potensi sebagai pengelolah bumi ini
yaitu berupa potensi pengetahuan yang kita kenal pada saat ini dan potensi itu
16
Dudung Abdullah, Perspektif Al-Quran Tentang Posisi Manusia Dalam
Memakmurkan Alam Raya, Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar, 14-15.
12

merupakan dasar utama kemampuan manusia untuk mengembangkan dan


menghantarkan mereka untuk mengelolah bumi dan hal ini dikajinya dalam
pandangan Islam sedangkan skripsi ini di susun berdasarkan pandangan Al-
Qur‟an.
keempat,Beberapa literatur–literatur lewat karangan buku dari beberapa
pengarang yang ada menulis berkaitan judul skripsi proposal tersebut
seperti buku syahminan Zaini isi pokok ajaran Al-Qur‟an,muhammad Amin
Suma tafsir ayat ekonomi teks, terjemah, dan tafsir,Yusuf Al-Qaradhawi
Islam Agama Ramah Lingkungan,Ahsin Sakho Muhammad keberkahan Al-
Qur‟an, ShihabUmar, Kontekstualitas Al-Qur‟an, Jakarta: Penamadani,
2003.17
F . Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yang
bersipat kualitatif. Penelian ini pokus pada masalah (maudhu‟i atau tema)
sesuai dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, artinya untuk mengamati bagaimana
penafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan manusia sebagai
pemakmur di muka bumi. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Teknik pengumpulan Data
Dalam penulisan Karya ilmiah ini, penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (library research), yang menyajikan secara sistematis data
yang berkenaan dengan permasalahan yang diperoleh berdasarkan
pemahaman terhadap buku-buku literatur-literatur yang berkaitan
dengan masalah yang akan dibahas, data tersebut akan diperoleh dari
sumber-sumber data, yaitu buku-buku literatur yang berhasil
dikumpulkan sebagai data tambahan.
2. Sumber data
Dikarenakan penelitian ini menyangkut ajaran Islam, maka sumber
data yang pertama adalah data primer( data pokok ) yaitu kitab suci Al-

17
Ahsin Sakho , Keberkahan Al-Quran, ( Jakarta: Qaf , 2017), 18.
13

Qur‟an yang mana akan dipilih beberapa ayat yang bersangkutan


dengan permasalahan penulisan ini lalu ditafsirkan oleh para mufassir
yang telah dipilih oleh penulis diantaranya adalah tafsir ibn katsir,
tafsir al-maraghi, Wahbah al- Zuhaili, Al- Tafsir Al-Munir Fi Al-
A‟qidah wa al- Syari‟ah wa Al- Manhaj, juz 12, hlm,99Sumber data
sekunder, yaitu buku-buku yang ada kaitan dengan tulisan, yaitu antara
lain adalah seperti Tafsir Ayat Ekonomi teks, Terjemahan dan Tafsir,
keberkahan Al –qur‟an, isi pokok Ajaran Al- Qur‟an, Islam Agama
Ramah Lingkungan.
3. Analisis data
Setelah melakukan pengumpulan data, maka data yang diperoleh
tersebut dianalisis dengan menggunakan metodologi maudhu‟i. Metode
tafsir maudhu‟i juga di sebut dengan metode tematik karena
pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat di dalam
Al-Qur‟an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir maudhu‟i yaitu :
Pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat–ayat Al-Qur‟an yang
berbicara tentang satu masalah (maudhu‟i/tematik) tertentu serta mengarah
kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunya berbeda dan tersebar
dalam pembagian surah Al-Qur‟an.
Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan Al-Qur‟an. adapun
langkah-langkah penerapan metode maudhu‟i:18
a. Menentukan terlebih dahulu masalah /topik (tema) yang akan dikaji
b. Inventarisir (menghimpun) ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkenaan
dengan tema /topik yang telah ditentukan
c. Merangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya baik makiyah
maupun madaniyah
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat dalam masing-masing
suratnya

18
Abdul Al-Hayy Al-Farmawi , metode Tafsir Maudhu‟i,( Jakarta : Raja Grafindo
Persada , 1994), 45.
14

e. Menyusun bahasan di dalam kerangka yang tepat, sistematis


sempurna dan utuh
f. Melengkapi bahasan dengan hadits, sehingga uraiannya menjadi jelas
dan semain sempurna
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian
yang serupa,menyesuaikan antara pengertian yang umum dan yang
khusus, antara muallaq dan muqayyad, atau ayat–ayat yang
kelihatannya kontradiksi, sehingga semua tidak ada pemaksaan dalam
penafsiran.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mensistematisasi penulisan dan menjawab pertanyan dalam
penelitian ini, maka penelitian merujuk pada tekhnik penulisan yang disepakati
pada fakultas Ushuluddin UIN STS Jambi.19Penelitian ini akan dibagi dalam
beberapa bab:
Bab I.. Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II. Bagaimana Gambaran Umum Manusia Sebagai Pemakmur di
Muka Bumi
Bab III. Ayat-ayat Tentang Manusia dan Kemakmuran
Bab IV. Manusia Sebagai Pemakmur Di Muka Bumi Perspektif
Al-Qur‟an
Bab V. Merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir penelitian, saran-saran penulis berkaitan dengan perlakuan
terhadap manusia sebagai pemakmuran di muka bumi dalam perspektif Al-
Qur‟an.

19
Moh .Arifullah, et, al , Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin UIN STS Jambi, Fak. Ushuluddin IAIN STS Jambi, 2016, 58.
BAB II

GAMBARAN UMUM MANUSIA SEBAGAI PEMAKMUR DI MUKA


BUMI

A. Pengertian Manusia
Manusia secara etimologi berarti makhluk yang berakal budi dan mampu
menguasai makhluk lain. Makhluk yaitu sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.
Kata manusia berasal dari kata manu (Sansekerta) atau mens (Latin) yang berarti
berpikir, berakal budi, atau homo (Latin) yang berarti manusia. Secara kodrati,
manusia merupakan makhluk monodualis. Artinya selain sebagai makhluk
individu, manusia berperan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
individu, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas unsur
jasmani (raga) dan rohani (jiwa) yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan raga inilah
yang membentuk individu.

Manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti


“manusia yang tahu”), sebuah spesies primate dari golongan mamalia yang
dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan
menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti
dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup, dalam
mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain.

Manusia adalah makhluk hidup yang harus produktif, menguasai dunia di


luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan kekuasaan manusiawinya yang
khusus, mengusai dunia dengan kekuasaannya ini. Karena manusia yang tidak
produktif adalah manusia yang reseptif dan pasif, dia tidak ada dan mati.20

1. Manusia menurut para filsuf


a. Menurut Augustinus

20
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat Dan Islam Tentang Manusia Dan Agama, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), 1.

15
16

Bahwa badan dan jiwa adalah dua perkara yang sangat berbeda satu sama
lain, sebab kalau yang pertama (badan), maka yang kedua (jiwa) sifatnya yang
khas satu-satunya ialah berpikir. Karena itu perasaan dan pengenalan terhadap
jiwa bersifat langsung, karena pikiran tidak memerlukan perantara dalam
mengenal dirinya sendiri. Selama jiwa itu berpikir, maka artinya ia ada, karena
pemikirannya sama benar dengan wujudnya. Seseorang bisa melepaskan diri dari
badanya, dan dari alam luar dengan segala peristiwa-peristiwanya, serta
mengingkari segala macam kebenaran, dan meragukan segala sesuatu. Namun
seseorang tidak bisa melepaskan diri sama sekali dari jiwanya yang menjadi
sumber keraguan dan pemikirannya itu.

b. Ibnu Sina Dan Aristoteles

Yaitu tentang kesempurnaan tubuh organik yang memberi kekuatan hidup.


Perkataan sempurna disebut dalam bahasa latin dengan actus primus dan dalam
bahasa arab disebut dengan kamil. Aristotoeles mengatakan, bahwa jiwa itu
termasuk bentuk tubuh, akan tetapi Ibn Sina membaginya dengan tiga jenis, yaitu
kekuatan, bentuk, dan sempurna. Kalau jiwa itu dipandang kepada tidaknya, ia
bernama kekuatan, dan kalau jiwa disebut sempurna, ia dipandang sebagai peri
manusia. 21
Aristoteles membagi jiwa atas tiga jenis, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan,
jiwa hewan dan jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga fungsi:
makanan, tumbuh dan hasil. Fungsi jiwa hewan adalah perasaan, yaitu penemuan
perasaan khusus oleh berbagai rasa dan gerakan yang ditimbulkan oleh kehendak
atau kemauan. Jiwa manusia yang disebutkan sebagai rational atau akal, adalah
bekerja dengan suatu rencana alam smesta, menghasilkan tujuan-tujuan dengan
pemilihan akal dan pemikiran.

21
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: PT, Raja Wali,
1988), 68.
17

c. Al-Ghazali

Untuk membuktikan adanya subtansi yang disebut al-nafs, Al-Ghazali


mengemukakan argument. “persoalan ke Nabian, ganjaran perbuatan manusia,
dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya, apabila al-nafs tidak ada.
Sebab, “seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (maujud) yang
dapat memahaminya. Yang mempuyai kemampuan memahami bukanlah fisik
manusia sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-
objek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami.

2. Pengertian Manusia dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an, kata al-Basyar, baik dalam bentuk mufrad atau tasniyah
berulang sebanyak 37 kali dan tersebar dalam 26 surat. Satu kali dalam bentuk
tasniyah dan 36 dalam bentuk mufrad. Dari 37 kali kata al-basyar berulang dalam
Al-Qur‟an, hanya 4 kali disebut dalam surah-surah Madaniyah, yaitu pada Q.S Ali
„Imran /3: 47,79, Q.S Al-Maidah/5: 18 dan Q.S al- Tgabun/64: 6. Sedangkan 33
kali disebutkan dalam surah-surah Madaniyah.22

keempat kata al-basyar dalam surah Makkiyah tersebut berbicara tentang


Maryam tidak pernah berhubungan suami istri, tanggapan Allah terhadap
pengakuan ahli-al-kitab bahwa „Isa adalah Tuhan, berbicara tentang jawaban Nabi
Saw. terhadap pengakuan Yahudi dan Nasrani bahwa mereka anak Allah. Dan
berbicara tentang penolakan Bani Israil terhadap Rasul karena dia juga seorang
basyar.Namun tidak ada perbedaan signifikasi antara basyar dalam surah
Makkiyah dan madaniyah, kecuali basyar lebih banyak disebutkan dalam
makkiyah. Secara etimologi al-basyar yang terdiri dari ba-sya-ra bermakna
sesuatu yang tampak dengan baik dan indah.

22
Ghaffar Abdur. “Manusia Dalam Perspektif Al-Qur‟an”. Jurnal, Vol. 4, Nol. 2 (2016),
233.
18

Al-Qur‟an memiliki peristilahan pengertian manusia: al-basyar, al-insan,


dan al-nas. Dalam banyak ayat, al-basyar merujuk pada manusia sebagai makhluk
biologis, misalnya, dalam kasus Maryam melahirkan:

                

        

“ Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,


Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah
berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka
Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia”. (Q.S Āli
Imrān: 47).23
M. Quraish Shihab (2000: 278-9) menunjukkan ada tiga kata yang
digunakan Al-Qur‟an dalam menyebut “manusia”, yaitu (1) Basyar, (2) kata-
kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas atau unas,
dan (3) bani Adam dan Zuriyah Adam.

Dari penafsiran para ahli tentang istilah Basyar, Al-Insan, dan Dzuruyyah
Adam dapat diperoleh beberapa pelajaran penting yaitu:

1. Penggunaan istilah “basyar” dalam Al-Qur‟an (1) lebih cenderung


digunakan pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek Fisik yang tampak
pada manusia secara umum (seperti: kulit, rambut, bentuk fisik secara
umum, kebutuhan biologis) yang tidak berbeda antara manusia satu dengan
lainnya, (2) dalam beberapa kasus istilah basyar juga digunakan untuk
menggambarkan aspek-aspek psikis seperti kebutuhan, batas-batas
kemampuan mengindra (melihat hal-hal yang ghaib), aktivitas belajar
(mendapatkan ilmu hanya yang diajarkan oleh Allah), dan tahab-tahab
perkembangan manusia hingga mencapai kedewasaan. Dengan kata lain

23
H.G Sarwar, Filsafat Al-Quran, (Jakarta: Raja Wali, 1991), 129.
19

istilah basyar lebih banyak menggambarkan persamaan yang ada pada


semua manusia,, baik dalam aspek fisik maupun psikis.24
2. Kata Al-Insan dalam Al-Qur‟an digunakan sebanyak 61 kali. Secara
etimologi, ulama‟ berbeda pendapat tentang asal katanya. sebagian
mengatakan bahwa al-insan berasal dari akar nawasa yang berarti
bergerak, ada juga yang mengatakan berasal dari kata anasa yang berarti
jinak, dan ada juga yang berkata dari kata nasiya yang berarti lupa.
Penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns,
dinyatakan dalam Al-Qur‟an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.
Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut,
tampak, atau pelupa.
Kata “insan” menurut Ibnu Manzhur (2002, 1: 231) berasal dari kata
“Insiyan”. Yang berarti manusia (kecil), sedang menurut M. Quraish
Shihab (2000: 280) istilah insan terambil dari kata “uns” yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak. Jinaknya manusia (normal) ini lebih tampak
manakala dibandingkan dengan binatang seprti harimau, serigala, ular, dan
binatang buas lainnya. Kata insan dalam Al-Qur‟an digunakan untuk (1)
menunjuk manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raganya.
Perbedaan manusia antara satu dengan lainnya adalah karena perbedaan
fisik, dan kecerdasan, (2) menggambarkan perbedaan-perbedaan dalam
aspek kerohanian, keimanan, dan akhlak. Dengan kata lain kata insan di
samping digunakan untuk menunjuk manusia secara utuh, juga
menggambarkan perbedaan antara seseorang dengan lainnya.
3. Al-Ins, Kata al-Ins dalam Al-Qur‟an digunakan sebanyak 18 kali dan selalu
ditandemkan dengan kata al-jinn atau jann. jika merujuk penggunaan al-
Qur‟an terhadap kata al-ins maka yang dimaksudkan adalah jenis makhluk
sehingga diperhadapkan dengan jenis jin. Dalam Q.S Al-An‟am/6: 130

24
Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pt, Pustaka
Pelajar, 2015), 36.
20

         

           

       

“Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata:
"Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu
mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir”.
Secara etimologi, kata al-ins berasal dari kata a-na-sa yang artinya sesuatu
yang tampak dan setiap sesuatu yang menyalahi cara liar. Namun, jika
diperhatikan bahwa Al-Qur‟an senantiasa menandemkan dengan kata al-jin yang
berarti tertutup, maka makna yang paling ideal untuk makna al-ins adalah sesuatu
yang tampak. Sementara pembahasan tentang al-ins terkait dengan perintah Allah
terhadap mereka untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. dalam Q.S. Al-
Zariyat/51:56.25

4. Al-Nas, Kata Al-Nas dinyatakan dalam Al-Qur‟an sebanyak 240 kali dan
tersebar dalam 53 surat. kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia
sebagai makhluk hidup sosial. secara keseluruhan, tanpa melihat status
keimanan atau kekafiran. Kata al-nas dipakai al-Qur‟an untuk menyatakan
adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai
kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya. Dalam menunjuk makna
manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata
al-insan. Keumumannya tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang
dikandungnya. Kata al-nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan
kebanyakan digambarkankan sebagai kelompok manusia tertentu yang
sering melakukan mafsadah dan pengisi neraka bersama iblis. Hal ini
terlihat dalam surah Al-Baqarah /2:24.

25
Ibid., 239-241.
21

5. Kata “ dzuriyyah” menurut Ibnu Manzhur (1996, V: 42) berkaitan dengan


keturunan, jika dikatakan “ inna fulanan la kariimu adz- dzurry”
maknanya adalah “ karimu ath- thabi‟ah” (pembawaannya sejak lahir
mulia). Dzuriyyah juga berkaitan dengan sesuatu yang jatuh (diperoleh)
anak dari orang tuanya bila kata dzuriyyah dikaitkan dengan Adam lebih
menggambarkan keturunan dari mana seseorang berasal, dan sifat-sifat
bawaan yang dibawa sejak lahir.

Konsep manusia sebagai khalīfah masuk dalam kata “dzuriyyah” menurut


Ibnu Manzhur (1996, V: 42) berkaitan dengan keturunan, jika dikatakan “ Inna
Fulanan lakarimu adz –dzurry” maknanya adalah “karimu ath-
thabi‟ah”(pembawaannya sejak lahir mulia). bila kata dzuriyat dikaitkan dengan
adam lebih menggambarkan keturunan dari mana seseorang berasal, dan sifat-
sifat bawaan yang dibawa sejak lahir. dari keterangan ini tampak pula, bahwa
semua makhluk yang tergolong manusia di jagad ini berasal dari induk yang sama
yaitu pasangan Nabi Adam dan Hawa.26

Didalam surah Al-Baqarah ayat 30 ada yang memahami kata khalīfah di


sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendaknyaNya
dan menerapkan ketetapan-ketetapanNya. Allah bermaksud dengan pengangkatan
itu untuk menguji manusia dan memberinya penghormatan. jadi esensi tujuan
penciptaan manusia adalah Allah hendak memberi tugas kepada manusia sebagai
khalīfah Allah di bumi, yaitu melaksanakan amanah sesuai tuntunan Allah dan
Rasul-Nya dalam bidang keahlian dan atau kewenangan sesuai yang dikaruniakan
Allah kepadanya.

Konsep manusia sebagai „ābid dan mu‟abbid masuk dalam pengertian


manusia (insan) yaitu menggambarkan perbedaan-perbedaan dalam aspek
kerohanian, keimanan, dan akhlak. Dengan kata lain kata insan disamping

26
Ibid., 37.
22

digunakan untuk menunjuk manusia secara utuh, juga menggambarkan perbedaan


antara seseorang dengan lainnya.27

Dalam surah Ad-Dzariyat ayat 56, M. Quraish Shihab, (2003, 13: 356-57)
dalam menafsirkan kata “liya‟ buduun” pada ayat diatas menjelaskan, bahwa
bukan berarti agar supaya mereka itu beribadah, atau agar Allah disembah.

Dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia sebagai “khalīfah”


seperti sudah diinformasikan dalam surah Al-Baqarah ayat 30, manusia dalam
melaksanakan tugas sebagai khalīfah itu ada sejumlah aturan berupa perintah dan
larangan yang harus dipatuhi. Dalam pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan
aturan Allah itu dinilai sebagai ibadah. Dari dua ayat ini bisa dipahami, bahwa
tujuan penciptaan manusia adalah agar supaya manusia itu melaksanakan amanah
sebagai khalīfah Allah di muka bumi dan sekaligus beribadah kepadaNya.

Nabi Muhammad Saw. Pernah diperintahkan untuk mengaku dan


menegaskan kepada manusia bahwa dirinya adalah seperti manusia pada
umumnya (basyarun mitslukum= manusia seperti kalian) yang diberi wahyu.

               

         

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang


diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Q.S Al-Kahfi : 110).
Secara singkat, konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat
biologis manusia: makan, minum, berhubungan seksual, berjalan. Dari segi inilah
tidak dapat di tafsirkan “basyarun mitslukum” sebagai manusia biasa dalam hal

27
Ibid., 37.
23

berbuat dosa. Kecenderungan para rasul untuk tidak patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat psikologis (atau spiritual).28

Di dalam Al-Qur‟an, manusia (insan atau basyar) merupakan salah satu


subjek utama yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan
konsep penciptaannya, kedudukan dalam masyarakat serta tujuan hidupnya. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena Al-Qur‟an memang diyakini oleh
kaum muslimin sebagai firman Allah yang ditujukan kepada dan untuk manusia.

Manusia Ali Syariʽati, al-basyar adalah manusia yang esensi


kemanusiaanya tidak Nampak dan aktivitasnya serupa dengan binatang. Al-
basyar hanya wujud, bukan hamba dan khalīfahNya.karena esensi
kemanusiaannya tidak Nampak padanya. Secara historis ayat-ayat yang
menunjukkan al-basyar merupakan ayat-ayat Makiyah (diturnkan di Makkah).

Jalaluddin Rahmat mengklasifikasikan penggunaan al-insan. Pertama,


insan dihubungkan dengan keistimewaan dengan keistimewaannya sebagai
khalīfah dan memikul amanah, kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi
negativ dalam diri manusia, dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia. Keistimewaan al-insan ialah berilmu pengetahuan,
mempunyai daya nalar. Manusia demikian disebut ulul albab, dengan ilmunya itu
manusia mampu mengkomunikasikannya. Makhluk yang menerima amanah dan
mempertanggung jawabkannya.29

Istilah ketiga untuk manusia ialah al-nas, yaitu konsep yang mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Banyak ayat yang menunjukkan manusia sebagai
kelompok dengan karakteristiknya yang khas. Misalnya, ayat yang menggunakan
ungkapan “waminannas” (dan diantara sebagian manusia)

           

28
Ibid., 128.
29
Abbas Mahmud Ai-Aqqad , Manusia di ungkap Al-Quran, (Jakarta: PT, Pustaka
Firdaus, 1991), 45-46.
24

“ Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman”. (Q.S Al-Baqarah: 8).
Ada lagi ungkapan “aktsaran nas” (kebanyakan manusia). Dapat
disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis, dan sosial.
Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya
secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku.
(sunnatullah).

3. Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia yang dimaksudkan di sini adalah konsep yang
menunjukkan hubungan manusia dengan Allah dan dengan lingkungannya.

a. Manusia Sebagai khalīfah

kata khalīfah dalam grametika bahasa arab merupakan bentuk kata benda
verbal yang mensyaratkan adanya subjek atau pelaku yang aktif yang disebut
khalīfah. Kata khīlafah dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalīfah. Oleh
karena itu tidak aka nada sesuatu khīlafah tanpa adanya seorang khalīfah.
Sedangkan secara teknis khīlafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang
berdasarkan pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Khīlafah merupakan medium untuk
menegakkan Agama dan mewujudkan Syariʽah. Dari pandangan yang demikian
muncullah suatu konsep yang menyatakan bahwa Islam meliputi di wa ad-daulah
(Agama dan Negara)30
kata khīlafah seakar dengan kata khalīfah (mufrad) , khalaf, (jama‟).
Semua padanan kata tersebut berasal dari kata dasar (fi‟il madi) khalafa. Kata
khalīfah dengan segala padanannya telah mengalami perkembangan arti, baik arti
khusus maupun umum, dalam firs Encylopedia of Islam , khalīfah berarti wakil,
pengganti, penguasa gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas Muslim dan
bermakna pengganti Rasulullah. Makna terakhir senada dengan al-Maududi

30
Muhammad Al-Khudhari Bek, Itsmam al-wafaa‟fi sirat Al-Khulafaa‟ (Beirut;Daar
AlFikr), 795.
25

bahwa khalīfah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai
pengganti Rasul.

b. Manusia Sebagai Pembangun

Kedudukan manusia sebagai pembangun peradaban berdasar pada firman


Tuhan yang telah dikemukakan, yakni Huwa ansya‟ akum min al-ardh wa
„sta‟marakum fiha, “Dia telah menghidupkan kamu di bumi dan memberi kamu
kekuasaan memakmurkannya (menjadikan kamu sebagai pembangun
kemakmuran). Pernyataan tersebut adalah bagian dari peringatan Nabi Ṣalih
kepada kaumnya bangsa Ṭsamud yang mendiami suatu wilayah pergunungan
antara Tabuk dan Madinah.

Dari ayat tersebut di atas terlihat bahwa ungkapan yang dipergunakan


untuk menunjukkan kedudukan manusia itu adalah kata kerja istaʽmara. Kata
kerja ini berakar dengan huruf-huruf „ain, mim dan ra‟. Susunan huruf ini
bermakna pokok “kekekalan dan zaman yang panjang, dan sesuatu yang meninggi
(seperti suara atau lainnya). Dari akar kata tersebut dengan makna pertama,
diperoleh kata kerja amara yaʽmuru yang bermakna leksikal “ panjang usia,
banyak harta, menghuni, memanjangkan usia, membangun dan mengurus sesuatu
dengan baik”. Kata kerja ini dipergunakan empat kali dengan dua makna. Dua
kali dipergunakan dengan obyek penderita kata masjid. Dalam hal ini kata
tersebut bermakna “memelihara bangunan masjid atau menziarahinya”.
Penggunaan lainnnya berobyek kata ganti yang merujuk kepada Al-Ardh dalam
Q.S Al-Rūm: 30/84: 9. Di sini kata tersebut bermakna “membangun di atas bumi
atau mengolahnya untuk memperoleh hasilnya. 31

Kata kerja yang menjadi kata kunci di atas berpola istaf ʽala, pola yang
telah dikenal dalam urain terdahulu. dengan pola ini, maka kata kerja istaʽmara
berarti “menjadikan sebagai penduduk dan mengolah bumi. Berdasarkan makna
ini, maka ayat di atas, Huwa ansya‟akum min al-ardh wa „staʽmarakum fiha,
menjelaskan siapa yang wajib disembah seperti yang diserukan Nabi Ṣalih itu. Dia

31
Ibid.,124.
26

adalah Tuhan yang telah menjadikan manusia dan memberinya kekuasaan untuk
menghuni dan mengolah bumi.

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa bangsa-bangsa terdahulu


tidak hanya menghuni suatu wilayah tertentu saja, tetapi mereka telah membangun
peradaban dan memanfaatkan potensi alam sekitar mereka untuk kemakmuran
hidup bersama. Di antara mereka itu adalah bangsa Ṭsamud yang keberadaan
mereka diungkapkan oleh Nabi Ṣhalih dengan ungkapan istaʽmar (bentuk
masdar dari istaʽmara). Pengertian “istikmar” seperti diungkapkan di atas dapat
disebut sebagai konsep pembangunan karena didalamnya terkandung usaha
mencapai kehidupan yang lebih baik dan maju. 32

c. Manusia Sebagai ʽAbdi Tuhan

Eksistensi manusia sebagai abdi atau hamba Allah dapat dipahami dari
klausa liyaʽbuduni “ agar mereka mengabdi (menyembah) kepada-Ku” dalam Q.S
Al-Dzariyāt, 51/67: 56 yag telah di kutip. Klausa tersebut berasal dari
yaʽbudunani. Yakni sebuah kata kerja, subyek dan obyeknya. Kontraksi terjadi
karena kata kerja itu didahului oleh partikel lam yang berfungsi sebagai
penghubung dan bermakna “ tujuan atau kegunaan”. Pada sisi lain ayat itu juga
mengandung makna hashr (pembatasan) yang terdiri dari partikel ma illa ini
memberikan pengertian bahwa kejadian jin dan manusia semata-mata untuk
mengabdi kepada Tuhan. 33

Kata kerja yaʽbuduna adalah bentuk mudhariʽ dari kata kerja „abada yang
berakar kata dengan huruf-huruf „ain, ba, dan dal. Struktur ini bermakna pokok
“kelemahan dan kehinaan dan “kekerasan dan kekasaran”. Dari makna pertama
diperoleh kata „abd yang bermakna mamluk “yang dimiliki” dan mempunyai
bentuk jamak „abid dan „ibad. Bentuk pertama menunjukkan makna “budak-
budak” dan yang kedua untuk makna “hamba-hamba Tuhan”. Dari makna terakhir

32
Ibid., 126.
33
Ibid.,149.
27

inilah bersumber kata „abada-ya‟budu-„ibadatan yang secara leksikal bermakna


“tunduk, merendahkan dan menghinakan diri kepada dan dihadapan Allah.

B. Pengertian Makmur

Makmur diambil dari kata piʽil madi ‘Ammaro- Yuʽammiru yaitu artinya
memakmurkan.34 Pendapat lain di ambil dari kata ‘Umroonun artinya
kemakmuran, peradaban.35 Makmur dalam.36 Makmur dalam bahasa Indonesia
artinya banyak hasil, banyak penduduk, sejahtera.37 Pengertian lain bahasa
Indonesia memakmurkan. adalah membuat atau menjadikan makmur: bantuan
uang dan alat-alat pertanian itu diharapkan akan kehidupan petani,38
kemakmuran. Keadaan makmur Negara itu sudah terkenal di seluruh dunia, dan
makna lain menghuni, tinggal, hidup lama, membagun, mendirikan.

Didalam kamus Al-Maurid,makmur bermakna: yang dihuni/didiami, yang


39
berjalan baik, tumbuh subur, berkembang, penuh dengan kehidupan . dan
didalam kamus lengkap Al-Fikri makmur diartikan, menjajah, mendiami,
membangun, perkembangan, perbaikan,kemajuan.40

Seperti telah diakui, bahwa pembangunan/makmur manusia secara utuh


adalah hal yang diperlukan /diharuskan bagi keselamatan dan kebahagiaan hidup
manusia. Karena itu tentulah Al-Quran akan mempunyai pula wawasan tentang
pembangunan manusia seutuhnya itu. Dengan tulisan ini kita hendak
mengungkapkan hal tersebut.

34
Asad M. Al- Kalam, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta: cet, 9,PT, Bulan Bintang,
2010), 209.
35
Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Surabaya: Pt. Muti Karya
Grafika Podok pesantren Krapyak, 1996), 1770.
36
Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab, Inggris, Indonesia,
(Rembang: 2006 M), 287.
37
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, cet, pertama 1992),
99.
38
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟an, (Jawa Barat: Pt, Pustaka Khazanah,
2017), 485-486.
39
Munir Baalbaki, Rohi baalbaki,Kamus Al-Maurid, Arab, Inggris, Indonesia,(Surabaya :
Pt,Halim Jaya,2006), 287.
40
Ahmad Sunarto, Kamus Lengkap Al-Fikri, Indonesia, Arab,Inggris, (Surabaya :Halim
Jaya,2002), 143.
28

Di sini makmur diartikan dalam makna pembangunan, secara bahasa kata


pembangunan berasal dari kata bangun yang berarti bangkit berdiri, bangkit dari
tidur, kemudian mendapatkan awalan pe dan akhiran an, yang berarti hal
(perbuatan, pekerjaan) membangun (memperbaharui, memperbaiki dan
sebagainya. Yang dimaksud dengan pembangunan di sini ialah membina manusia
dan penghidupannya agar tercapai tujuan Allah menciptakan manusia dan
pengirimannya ke bumi ini. Adapun tujuan Allah menciptakan manusia adalah
untuk mengabdikan diri (beribadah) kepadaNya. Allah berfirman:

      

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.(Q.S. Adz-Dzariyāt:56).
Mengabdikan diri kepada Allah itu berarti mematuhi segala perintahNya
dan menghentikan segala laranganNya. sedangkan perintah dan larangan Allah itu
meliputi seluruh aspek kemanusiaan dan kehidupannya.41 Karena itu manusia
harus mematuhi perintah dan larangan Allah di dalam seluruh aspek kemanusiaan
dan kehidupannya itu. Apabila manusia telah berbuat demikian, barulah
keselamatan dan kebahagiaan hidup itu akan di perolehnya.

C. Indikator Negeri Makmur

1. Beriman kepada Allah


Percaya kepada kesesaan Tuhan merupakan pangkal yang paling pokok bagi
kesejahteraan hidup manusia, dengan mengesakan tuhan berarti pula menjauhi
sejauh-jauhnya perbuatan yang bernilai penyembahan dan penghambaan selain
dari pada-Nya. Jika manusia percaya akan Allah percaya pula ia akan rahmat,
petunjuk dan pertolongan Allah.kepada manusia. Bahwasanya ia juga
menghendaki kejadian manusia dan ia juga menghendaki agar manusia hidup
yang baik, meskipun dalam mencapainya perlu berusaha.42

41
Ibid., 143.
42
Khaelany, Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1996), 66.
29

Indikator ini merupakan representasi dari pembangunan mental, hal ini


menunjukkan bahwa jika seluruh indikator kesejahteraan yang berpijak pada
aspek materi telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan
mengalami kebahagiaan, kita sering mendengar jika ada orang yang memiliki
rumah mewah, kendaraan banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu
gelisah dan tidak pernah tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri, padahal seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena
itulah ketergantungan manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam
penghambaan (ibadah) kepada-Nya secara ikhlas merupakan indikator utama
kesejahteraan (kebahagiaan yang hakiki) seseorang.
2. Memiliki Harta (Kekayaan)
Keinginan Memiliki harta kekayaan merupakan fitrah manusia dan ini
adalah lanjutan dari naluri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah seseorang
dapat mencapai dan memenuhi segala kebutuhan pokoknya, keinginan itu
meningkat tidak hanya sekedar mempertahankan hidup, melainkan juga timbul
keinginan yang lebih menyenangkan. Makanan yang semula hanya sekedar alat
untuk mempertahan hidup kemudian meningkat kepada makanan yang lebih lezat
dan nikmat.
Keinginan kepada kekayaan itu termasuk fitrah manusia yang tidak perlu
diselewengkan melainkan diberi pengarahan dan penyaluran yang telah diajarkan
oleh agama, dalam rangka ini perlu diperhatikan keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Kekayaan-kekayaan itu adalah merupakan kesenangan hidup manusia.43
Pemenuhan indikator ini harusnya dipenuhi setelah pemenuhan indikator
pertama Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya dibukanya semua pintu
kesenangan adalah sebagai cobaan dan ujian bagi mereka yang akhirnya antara
mereka ada yang lupa daratan dan semakin jauh. Kesenangan itu berubah menjadi
bencana bukan nikmat dan menjadi fitnah berbeda dengan orang yang sudah
dilandasi dengan iman bagi mereka dibukanya pintu-pintu kesenangan oleh Allah
menjadikan mereka bersyukur kepada-Nya. Lalu, digunakan untuk hal-hal baik,

43
Ibid. , 64.
30

untuk kepentingan pembangunan bukan kerusakan oleh karenanya mereka


mendapat balasan berupa penambahan kenikmatan di dunia dan pahala yang baik
kelak di akhirat.44
3. Hidup Seimbangan
Hidup berkeseimbangan itu mencakup a). keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat b). keseimbangan amal perbuatan untuk dunia dan
akhirat dan c). keseimbangan lahir batin dan dalam segala perbuatan dengan tidak
berlebihan. dalam membelanjakan harta, menolong orang lain hendaklah juga
diperhatikan bagian sendiri, jangan sampai menyerahkan semua harta yang
dimiliki, tetapi akhirnya hidup meminta-minta,45
4. Berilmu dan Bekerja
Berilmu dan bekerja atau bekerja dan berilmu adalah dua ungkapan yang
sama benarnya. Berilmu tidak beramal seperti pohon yang tidak berbuah.
Sebaliknya beramal atau bekerja tanpa ilmu seperti yang dihasilkan pohon yang
buruk. Oleh karena itulah Nabi mengatakan bahwa menuntut ilmu merupakan
suatu kewajiban orang muslim-mukmin baik laki-laki maupun perempuan.
Kewajiban itupun taka da batasnya tidak memandang umur dan waktu.46

D. Hakikat Kemakmuran
Adapun dari sudut pandang Islam, tepatnya pada ayat Al-Qur‟an
sebenarnya banyak sekali kata ayat Al-Qur‟an yang mengandung arti
memakmurkan seperti Al-falah, Bana, Ashlaha, Istaʽmar, „Umran, „Amar, Al-
Amanu.

1. Al-falah
Al-Qur‟an menggunakan kata yang terdiri dari akar kata F-L-H yang
berarti membelah. Petani dikatakan al-fallah karena pekerjaannya membelah
tanah agar bisa ditanami bibit. Dari pengertian ini kemudian muncul kata al-falah
yang artinnya keberuntungan. Jika dikaitkan dengan arti lughawi, mereka yang

44
BAB III Ayat dan Tafsirannya, 40.
45
Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, 69.
46
Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, 72.
31

mendapatkan keberuntungan adalah mereka yang telah rela bersusah payah demi
mendapatkan sesuatu yang diinginkan.47

Jika melihat kata yang berakar pada F-L-H, dan penggunaannya dalam Al-
Qur‟an, maka kita temukan bahwa mereka yang beruntung adalah orang yang
bertaqwa kepada Allah.

Dari penjelasan di atas dapat kita ambil bahwa orang yang mendapat
keuntungan di dunia dan akhirat adalah mereka yang melakukan aktivitas positif
dalam kehidupan mereka. Baik ibadah ritual-murni maupun ibadah sosial
kemasyarakatan. Memberikan kemanfaatan kepada orang lain.

2. ‫صيُ َخ‬
َ Kata: ْ ‫ص‬
‫َل َح‬ َ َ‫( ا َ ْىف‬kerusakan).
َ ‫( اى‬perbaikan) merupakan lawan dari ‫سب َد‬
Dan seringnya kedua kata ini khusus digunakan untuk perbuatan. Adapun
di dalam al-Quran, kebalikan dari kata ‫صَلَح‬
‫ اى ه‬ini terkadang menggunakan
َ َ‫اَىف‬, dan terkadang menggunakan kata
kata ‫سبد‬ ٌ‫س ِيّئَت‬
ّ ‫( اى‬kesalahan,
keburukan).48
Contoh ayat: Q.S At-Taūbāh: 102

           

      

“ Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dan pada ayat-ayat lain yang jumlahnya cukup banyak. Kata ‫صلُخ‬
ُ
(perdamaian) khusus digunakan untuk menunjukan hilangnya perselisihan
diantara manusia. Dari sinilah dikatakan ‫طلَ ُذ ْْا‬
َ ‫ص‬
ْ ِ‫ ا‬dan ‫صالَ ُذ ْْا‬
َ َ‫( ت‬mereka berdamai
َ ًْ ‫صالَ ُح هللاِ تَ َعا َل ا َ ْ ِإل‬
). Sedangkan cara ‫ساى‬ ْ ِ‫( ا‬Allah membuat seseorang menjadi baik)
adalah terkandung dengan menciptakannya sebagai seorang hamba yang shalih
47
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Al- Mufradat Fi Gharibil Quran Kamus Al-Quran, jilid 3,
(Jawa Barat:Pustaka Khazanah, Fawa‟id, 2017), 88-89.
48
Ibid., 196.
32

(baik), terkadang dengan menghilangkan keburukan yang ada pada dirinya setelah
keberadaannya, dan terkadang, dengan menghukuminya sebagai seorang yang
shalih.

Q.S Muhammad: 2

           

       

“Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang
diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah
menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan
mereka”,
Kata ‫ ا َ ْىعَ َْ ُش‬atau ‫ ا َ ْىعُ َْ ُش‬yang berarti usia adalah sebuah nama masa
kemakmuran badan manusia melalui sebuah kehidupan, ia bukan kekekalan. Jika
ُ ‫َطب َه‬
disebutkan dalam sebuah kalimat ُٓ ‫ع َْ ُش‬ maka maknanya adalah masa
kemakmuran badan ruhaninya panjang, namun jika disebutkan dalam kalimat ‫َب ِق َي‬
ُٓ‫ ع َُْ ُش‬itu bukan berarti kemakmuran badan dan ruhaninya kekal, karena kebalikan
dari kata ‫ ا َ ْى ْبقَب ُء‬adalah ‫ اَ ْىفَ َْبء‬yaitu kebinasaan. Kata ‫ا َ ْىبَ َقب ُء‬

Memiliki makna yang lebih mendalam dari kalimat ‫ ا َ ْىعُ َْ ُش‬karena itu Allah
disifati dengan kata ‫ا َ ْىبَقَب ُء‬, dan jarang sekali Allah disifati dengan kata ‫ اَ ْىعُ َْش‬.
Kata ‫ اىخ ه ْع َِي ُْش‬artinya memberikan usia dalam bentuk doa, baik itu dengan
perbuatan ataupun dengan perkataan.49
Contoh Q.S Al-Fāṭir: 37

              

            
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan Kami, keluarkanlah
Kami niscaya Kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang
telah Kami kerjakan". dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam
masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah

49
Ibid., 97.
33

tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami)
dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”.50

Kata ‫ اىعَش‬dan kata ‫ اىعَش‬maknanya sama, hanya saja untuk penggunaan


dalam sumpah ia menggunakan kata ‫ اىعَش‬bukan menggunakan kata ‫اىعَش‬.
Contoh seperti firman Allah SWT yang berbunyi: Q.S Al-Hijir: 72

     

“ (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), Sesungguhnya mereka


terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)".

Kalimat ‫ عَشك هللا‬artinya aku berdoʽa kepada Allah semoga Allah


memanjangkan umurmu. Dikhususkannya penggunaan kata ‫ عَش‬dalam ayat
tersebut untuk tujuan sebuah maksud, yaitu maksud sumpah. Kata ‫ االعتواس‬artinya
adalah ‫ اىعَشة‬yaitu berkunjung atau menziarahi sebuah tempat yang di dalamnya
dapat menumbuhkan rasa kecintaan. Maka dijadikannya kata ‫ عَش‬dalam kata
tersebut sebagai sebuah maksud, dan syariat menjadikannya untuk sebuah maksud
tertentu. 51
FirmanNya yang berbunyi: Q.S At-Taūbah: 18

           

            

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang


beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka
merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk”.

Kata ‫ يعَش‬dalam ayat tersebut bisa berasal dari kata ‫ اىعَبسة‬yang berarti
menjaga bangunan, atau berasal dari kata ‫اىعَشة‬ yang berarti berziatah, atau

50
Ibid., 97.
51
Ibid., 98.
34

berasal dari ungkapan arab yang berbunyi ‫ عَشث بَنبُ مزا‬artinya aku telah menetap
disuatu tempat ini. Diartikan demikian karena kalimat ُ‫ عَشث اىَنب‬yang berarti
aku memakmurkan tempat ini, sama seperti kalimat ُ‫ عَشث بيَنب‬yang berarti aku
memakmurkan dengan tempat, dan itu maksudnya aku menepati tempat ini. Kata
‫ اىعَبسة‬lebih khusus daripada kata ‫اىقبييت‬-‫ اىقبييت‬adalah kelompok yang menetapi
sebuah tempat dan memakmurkannya.52
Seorang penyair berkata:
‫ىنو أّبس ٍِ ٍعذ عَبسة‬
Setiap orang pasti mempunyai tempat yang harus ia jaga
Kata ‫ اىعَبس‬artinya adalah sesuatu yang diletakkan di atas kepala seorang
pemimpin sebagai tanda untuk menjaga kepemimpinannya, baik hal itu berupa
sorban ataupun sebuah kipas yang biasa digunakan untuk mengipasi. Jika kipas
tidak bisa disebut dengan kata ‫ اىعَبس‬maka itu merupakan sebuah makna pinjaman
dan sebuah gambaran. Kata ‫ اىَعَش‬artinya adalah tempat tinggal yang masih
dimakmurkan oleh penduduknya. Kata ‫ اىعشٍشٍت‬artinya adalah teman yang selalu
menunjukkan untuk memakmurkan (membangun) sebuah tempat melalui teman-
temanya. Kata ٙ‫ اىعَش‬yang biasa digunakan dalam pemberian adalah menjadikan
sesuatu sebagai pemberian baginya selama masanya hidupnya atau masa hidup
yang memberinya, dan ini sama seperti kata ٚ‫ اىشقب‬yang berarti budak.
Dikhususkanya kata tersebut dalam penggunaan maknanya adalah sebagai
pengingat bahwa pemberian itu adalah hanyalah sebagai pinjaman. Kata ‫اىعَش‬
artinya adalah daging yang ada diantara sela-sela gigi, jamak dari kata tersebut
adalah ‫عَ٘س‬. kata ‫ أً عبٍش‬adalah bahasa kiasan untuk serigala, sedangkan kata ٘‫أب‬
‫ عَشة‬adalah bahasa kiasan untuk orang yang bangkrut atau tidak punya harta.
3. ْٚ‫ب‬: artinya membangun dikatakan dalam sebuah kalimat ‫ بْيج‬artinya aku
telah membangun, atau kalimat ‫ ابْي بْبء‬artinya saya membangun sebuah
bangunan.53
Conto Allah berfirman: Q.S An-Nabā‟: 12.54

52
Ibid., 99.
53
Ibid.,
54
Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistha, Al-Wafi Hadist Arbain Imam Nawawi
pokok-pokok Ajaran Islam, 25-26.
35

    


“Dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh”.

Kata ‫ اىبْبء‬artinya adalah sesuatu yang dibangun (bangunan).


Kata ‫ اىبْيت‬biasa digunakan untuk menggambarkan baitullah. Allah swt
berfirman
Q.S Adz- Dzāriyāt: 47

     


“ Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya
Kami benar-benar berkuasa”.

Kata ُ‫ اىبْيب‬merupakan kata tunggal yang tidak ada kata jamaknya.


Sebagaimana firmanya Allah yang berbunyi:
Q.S At-Taūbah: 110

              

 
“ Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu Senantiasa menjadi pangkal
keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Bana dalam kamus lengkap fikri di artikan dengan makna membangun.
Disebutkan Dalam Al-Qur‟an surah Al-An‟am,( 1 ayat), Qap, (1 ayat), An-Nabā‟,
(1 ayat) Makna Bani Adam Kata Bani ( ‫ ) تًى‬berasal dari kata ban ā ( ‫ ) تًى‬artinya
membina, membangun, mendirikan, menyusun55. Jadi Bani Adam artinya susunan
keturunan anak cucu anak Nabi Adam dan generasi selanjutnya. Dari permulaan
kehadiran anak cucu Adam (manusia) seperti halnya hewan di bumi ini, hanya
manusia yang mencapai tahapan Adam yang mampu memikul tanggung jawab.
“Beberapa pemikir mengatakan, manusia lah yang beradab, sedangkan jin adalah
makhluk yang tidak berada Namun manusia/insan ini pun ada tingkatan-

55
Ahmad Sunarto, Kamus AL-Fikri Arab-Indonesia- Inggris, (Pt, Halim Jaya, 2012),
143.
36

tingkatannya. Manusia yang sudah mencapai tingkatan Adam, masih terus


berlanjut dan akan berakhir dengan kondisi yang lebih tinggi dibanding Adam.
Dari beberapa term di atas dapat dipadukan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan
sebagai keturunan Adam yang jelas wujudnya, mampu berbicara dan berpikir
serta hidup dalam komunitas kemasyarakatan.
BAB III

AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA DAN KEMAKMURAN

A. Ayat-Ayat Tentang Kedudukan Manusia

Memahami kedudukan manusia serta potensi yang dimilikinya hanya


dapat diketahuai secara pasti dari Sang Pencipta melalui wahyu sebagai petunjuk
yang mengungkap rahasia makhluk Tuhan ini. Menurut al-Raghib al-Ishfahany,
kata basyar adalah bentuk dari kata basyirah, yang artinya “kulit”. Manusia
disebut basyar karena memiliki kulit yang permukaannya ditumbuhi rambut, dan
berbeda dengan kulit pada hewan yang umumnya ditumbuhi bulu. Kata ini dalam
al-Qur‟an digunakan dalam makna yang khusus untuk menggambarkan sosok
tubuh lahiriah manusia. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bint al-
Syathi‟, menurutnya kata basyar merujuk kepada pengertian manusia dalam
kapasitasnya sebagai makhluk jasmaniah, yang secara fisik memiliki persamaan
dengan makhluk lainya, membutuhkan makan dan minum untuk hidupnya.
Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi
manusia adalah pada kulitnya, dibanding rambut atau bulunya.56

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim, ia mengatakan: “Allah


mewahyukan kepada salah seorang Nabi Bani Israil: „Hendaklah Kamu katakan
kepada kaummu bahwa warga desa dan anggota keluarga yang taat kepada Allah
tetatapi kemudian berubah berbuat maksiat atau durhaka kepada Allah, pasti Allah
merubah dari mereka apa yang mereka senangi menjadi sesuatu yang mereka
benci.”

Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas: Artinya, melainkan supaya


mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa.
Dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Sedangkan Ibnu Juraij
menyebutkan: “Yakni supaya mereka mengenal-Ku.” Dan masih mengenai
firman-Nya, “melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

56
Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Pespektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), 35.

37
38

Ar-Rabi‟bin Anas mengatakan: „Maksudnya tidak lain kecuali untuk


beribadah.” As-Suddi mengemukakan: “Diantara ibadah itu ada yang bermanfaat
dan ada pula yang tidak bermanfaat. dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah
mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah Malaikat bergelombang-gelombang.
Ibadah mereka yang disertai dengan kesyirikan itu sama sekali tidak
mendatangkan manfaat bagi mereka. Adh-Dhahhak mengatakan: “Dan yang
dimaksudkan dengan hal itu adalah orang-orang yang beriman.

Kedudukan manusia sebagai pemakmur di muka bumi salah satunya yaitu:

1. Sebagai khalīfah:
a. Q.S Al-Anʽām ayat 165

          

           

.”Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.57
Sebagai khalīfah di bumi,” yaitu berkesinambungan dari satu umat kepada
umat setelahnya, satu generasi kepada generasi setelahnya serta satu masyarakat
kepada masyarakat setelahnya. Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan
menjadikan mereka seluruhnya dalam satu waktu, tidak menjadikan sebagian
mereka sebagai anak cucu dan bagian yang lain. Bahkan, seandainya Dia
menghendaki, niscaya Dia akan menciptakan mereka semua sekaligus,
sebagaimana Dia menciptakan Adam dari tanah. Seandainya Dia menghendaki
untuk menjadikan sebagian mereka sebagai keturunan dari sebagian yang lain, dan
Dia tid Dalam konteks makna khalīfah dalam Al-Qur‟an, para ulama‟berbeda
pendapat tentang siapa yang digantikan oleh manusia?

57
Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata, (Jakarta: Pt, Magfirah Pustaka,2009), 150.
39

Pertama, ada pendapat bahwa manusia semenjak Nabi Adam


menggantikan makhluk sebelumnya yaitu yang berjuluk “al-Hinn” dan “al-
Binn” atau “ath-Thimm” atau ar-rimm”. Kedua makhluk itu telah berbuat
kerusakan di bumi, sehingga mereka di usir oleh Allah dan dibinasakan.
Demikian papar Ibn Katsir dan Muhammad Abduh dalam tafsir mereka.
Manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.

Kedua, manusia dalam kiprahnya di dunia menggantikan manusia


sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata : ‫ خالئف األسض‬atau ‫خالئف فى‬
‫ األسض‬kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang huni bumi seperti kaum Nūh,
kaum „ad, kaum Ṭsamud, dan lain lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan
oleh generasi setelahnya (al-Aʽrāf:69).58

Ketiga, menggantikan Allah dalam melaksanakan titahNya untuk sekalian


makhlukNya . manusia dijuluki “ Khalīfatullah” atau pengganti Allah. Hal ini
bisa tercermin dari firman Allah: Hai Dawud, aku telah jadikan kamu menjadi
Khaīifah di bumi (syam). Agama adalah pesan-pesan Allah untuk dilaksanakan
di bumi ini. Manusia diserahi tugas oleh Allah untuk menyosialisasikan pesan-
pesan ini. Istilah Khalīfatullah digunakan juga oleh para sultan di Yogyakarta
yang bergelar „Khalīfatullah).59

2. Abdul Mu’abbid

Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar
adalah sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah Swt. Hal ini biasanya
didasarkan pada petunjuk ayat yang berbunyi:

a. Adz-dzāriyāt : 56

      

58
Ibid., 150.
59
Ibid., 150.
40

“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diberi potensi untuk
mengembangkan diri dan kemanusiaannya. potensi-potensi tersebut merupakan
modal dasar bagi manusia dalam menjalankan berbagai fungsi dan
tanggungjawab kemanusiaannya. Agar potensipotensi itu menjadi aktual dalam
kehidupan perlu dikembangkan dan digiring pada penyempurnaan-
penyempurnaan melalui upaya pendidikan, karena itu diperlukan penciptaan arah
bangun pendidikan yang menjadikan manusia layak untuk mengembang misi
Ilahi. 60

Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di


dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan
dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan,
yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk menempuh hidup dengan kesabaran
penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah “perkenan” atau ridha
Allah swt.

Bentuk jamak dari Khalīfah adalah Khalaif, sementara kata Khulafa‟


adalah bentuk jamak dari khalīf. Ta‟ta‟nis pada kata “khalīfah” dimaksudkan
sebagai mubalaghah( menguatkan sesuatu makna) seperti kata „allamah artinya
yang sangat alim.

` Dalam konteks makna khalīfah dalam Al-Qur‟an, para ulama‟berbeda


pendapat tentang siapa yang digantikan oleh manusia?

Pertama, ada pendapat bahwa manusia semenjak Nabi Adam


menggantikan makhluk sebelumnya yaitu yang berjuluk “al-Hinn” dan “al-
Binn” atau “ath-Thimm” atau ar-rimm”. Kedua makhluk itu telah berbuat

60
Muhammad Abqari “Bentuk Bumi Dalam Pespektif Al-Qur‟an”. Skripsi. Semarang:
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Serjana Agama (S.1) UIN
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2017, 11.
41

kerusakan di bumi, sehingga mereka di usir oleh Allah dan dibinasakan.


Demikian papar Ibn Katsir dan Muhammad Abduh dalam tafsir mereka.
Manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.

Kedua, manusia dalam kiprahnya di dunia menggantikan manusia


sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata : ‫ خالئف األسض‬atau ‫خالئف فى‬
‫ األسض‬kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang huni bumi seperti kaum Nūh,
kaum „ad, kaum Ṭsamud, dan lain lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan
oleh generasi setelahnya (al-Aʽrāf:69).

Ketiga, menggantikan Allah dalam melaksanakan titahNya untuk sekalian


makhlukNya . manusia dijuluki “ Khalīfatullah” atau pengganti Allah. Hal ini
bisa tercermin dari firman Allah: Hai Dawud, aku telah jadikan kamu menjadi
Khaīifah di bumi (syam). Agama adalah pesan-pesan Allah untuk dilaksanakan
di bumi ini. Manusia diserahi tugas oleh Allah untuk menyosialisasikan pesan-
pesan ini. Istilah Khalīfatullah digunakan juga oleh para sultan di Yogyakarta
yang bergelar „Khalīfatullah).

6. Makkiyyah

Pembicaraan Al-Qur‟an tentang kedudukan manusia pada periode Mekkah


ini terdapat 2 ayat dalam surah Al-An‟am: 165 dan Surah Adz- Dzariyat: 56
pada ayat-ayat berikut: 61

a. Q.S Al-Anʽām ayat 165

          

           

.”Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya

61
Aflikasi Al-Qur‟an Indonesia, Q.S, 6, 150.
42

Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun


lagi Maha Penyayang”.
b. Q.S Adz-Dzariyāt: 56

      

“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka”.

2. Madaniyah
Pada pariode Madinah ini Al-Qur‟an turun dengan ayat-ayatnya untuk
memberikan berbagai pemecahan dan jawaban terhadap persoalan sekitar tugas
manusia sebagai pemakmur di muka bumi. Pada pariode Madinah ini, banyak ayat
yang turun untuk mengatur tata cara untuk memakmurkan bumi dan cara untuk
mengelolah dengan baik. Semua ajaran dan pesan- pesan yang banyak turun pada
pariode Madinah ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang berbudi
mulia dan saling mengasihi, tidak sepantasnya ada yang kuat menindas yang
lemah, dengan begitu maka tercipta lah kedamaian, aman, sejahtera dan makmur
sebagaimana firman Allah:62

a. Q.S Al-Baqarah Ayat 30

               

              

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku


hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

62
Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟I, (Jakarta: Pt, Raja Grafindo Persada,
1994), 65.
43

3. Munasabah Ayat
a. Q.S Al-An‟am: 165 berhungan dengan Surah An-Nmal Ayat 62 Allah
berfirman: wa Huwal ladzi ja‟alakum khalaa ifa fil ardli (“Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa- penguasa di bumi,”) maksudnya,
Allah telah menjadikan kalian pemakmur bumi itu dari generasi ke
generasi, dari satu masa ke masa yang lain, generasi berikutnya setelah
generasi sebelumnya. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Zaid dan
ulama lainnya. Hal itu sama seperti firmanNya yang artinya: “Dan yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi”. (Qs. An-
Naml:62).63
FirmanNya selanjutnya: wa rafa‟a ba‟dlakum fauqa ba‟dlin darajaat
(“Dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagai yang lain
beberapa derajat.”) Artinya, Allah membedakan di antara kalian dalam
hal rizki, akhlak, kebaikan, keburukan, penampilan, bentuk, dan warna,
dan dalam hal itu semua Allah mempunyai hikmah.64
b. Q.S Adz-dzariyāt : 56 berkaitan dengan Surah Al-Baqarah 30“liya‟
buduun” pada ayat di atas menjelaskan, bahwa bukan berarti agar
supaya mereka itu beribadah, atau agar Allah di sembah. Pemaknaan
seperti ini dipandang mustahil sebab Allah tidak membutuhkan
sesuatu. Dari sini bisa dipahami, bahwa tujuan penciptaan manusia itu
bukan untuk Allah, tetapi untuk diri manusia itu sendiri. Jadi bila
dalam ayat tersebut dikatakan agar manusia beribadah, maka manfaat
ibadah yang dilakukan manusia itu bukan untuk Allah, tetapi untuk
manusia sendiri.

Dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia sebagai “Khalīfah”


seperti diinformasikan pada surah al-Baqarah ayat 30, manusia dalam
melaksanakan tugas sebagai khalīfah itu ada sejumlah aturan berupa perintah dan
larangan yang harus dipatuhi. Dalam pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan
aturan Allah itu dinilai sebagai ibadah. Dari dua ayat ini bisa dipahami, bahwa

63
ibid., 150.
64
ibid., 150.
44

tujuan penciptaan manusia adalah agar supaya manusia itu melaksanakan amanah
sebagai khalīfah Allah di bumi dan sekaligus beribadah kepadaNya.

B. Ayat-ayat Tentang Peran dan Tanggung Jawab Manusia Sebagai


Khalīfah

Kekhalīfahan manusia di satu pihak berperan sebagai subjek dan di sisi


lain menjadi objek, sebagai subjek, manusia mempunyai tanggung jawab yang
lebih kompleks dalam meningkatkan kualitas dirinya. Seperti dalam LKNU
menyatakan bahwa Manusia berkualitas harus bercermin keimanannya, sehat
jasmani dan rohani, berpendidikan, mengerjakan amal saleh, berbuat baik kepada
orang lain, bertanggung jawab terhadap keluarganya, bertanggung jawab terhadap
keluarganya, arif terhadap lingkungan hidupnya. Dalam konsep ekologi manusia,
terdapat berbagai macam pandangan dalam memandang hubungan antara manusia
dan alam. Islam mengakui keberadaan semua makhluk hidup di muka bumi
sebagai kesatuan atas penciptaan dari sang khalik, sehingga jika terjadi kerusakan
terhadap ciptaan Allah, hal ini merupakan pengingkaran terhadap ciptaan Allah.

Bahkan lebih dalam lagi, Islam memiliki prinsip-prinsip dasar dalam


upaya melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Kewajiban manusia
untuk mengelola alam dan menjaga akan diminta pertanggung jawabannya,
sehingga manusia tidak berhak berlaku sewenang-wenang dalam memimpin dan
mengelola alam. 65

Salah satu untuk memakmurkan bumi ialah mempunyai sikap amanah,


amanah ini mencakup seluruh ruang lingkup ajaran agama Islam inilah pendapat
jumhur Ulamak. Untuk merealisasikan hal ini sudah tentu tidak mudah, sangat
berat. Sangatlah beralasan bahwa langit, bumi, gunung-gunungnya yang demikian
kokoh enggan menerima “amanah” ini. Semuanya menjadi tanggung jawab
manusia. Manusialah yang menjadi pemeran utama di dunia ini. Atas semua

65
Dudung Abdullah. “Perspektif Al-Quran Tentang Posisi Manusia Dalam Memakmurkan
Alam Raya”. Jurnal, Vol. 5, No.1 (2016), 15-17.
45

amanah yang diberikan Allah kepada manusia, Allah akan meminta tanggung
jawab kepada seluruh manusia baik selaku individu maupun selaku pemimpin
masyarakat . Tugas-tugas kekhalīfahan bisa kita dapatkan dalam Al-Qur‟an dalam
berbagai macam trmnya.66

1. Makkiyyah
a. Q.S Al-Anʽām ayat 165

          

           

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.

2. Madaniyyah
a. Q.S An-Nur: 55

          .4

         

            

       

“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-
benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan

66
Ahsin Sakho Muhammad, keberkahan Al-Quran,(Jakarta: Qaf, 2017), 57.
46

menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada


mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

Hasbi dalam menafsirkan Ayat ini menjelaskan bahwa prasyarat seorang


untuk memperoleh kekuasaan, menjadi khalīfah adalah merealisasikan dirinya
pada keimanan dan melakukan amal saleh. Kedua hal tersebut merupakan syarat
mutlak sebagaimana dijanjikan oleh Allah Swt. Sebagaimana yang telah
dikisahkan di dalam Al-Qur‟an, dimana kaum Bani Israil telah dijadikan penguasa
(khalīfah ) di bumi Syam dengan kebinasaan kaum angkara murka.67

b. Q.S Al-Ahzāb: 72

         

         

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat dzalim dan Amat bodoh”.68

3. Asbabun Al-Nuzul
Q.S An-Nur: 55 Ubay bin Ka‟ab ra. Menuturkan, bahwa saat Rasulullah
Saw. Dan para sahabat datang ke madinah, kaum Anshar memberi mereka
tempat tinggal. Sementara di satu sisi, kaum kafir Arab di Madinah bersatu
memusuhi mereka. Akibatnya, kaum Muslim setiap saat selalu membawa
senjata di siang dan malam hari. Mereka berkata, “dapatkah kita hidup aman,
tidak takut kecuali kepada Allah? Maka itu, turunlah ayat ini. (Hadits sahih
riwayat Hakim dan Thabrani).69

67
Millati, kekuasaan dalam Tafsir Nusantara dan relevansinya terhadap persoalan
kebangsaan kajian terhadap ayat-ayat khalifah dalam tafsir An-Nur, Al-Azhar dan al-Mishbah,
jurnal of Islamic Studies and Humanities, vol, 1, No.2 (2016), 161.
68
Aflikasi Al-Qur‟an Indonesia, Q.S, 33, 427.
69
Ibid., 150.
47

4. Munasabah Ayat
a. Q.S Al-Anʽām: 165, Mempunyai keterkaitan dengan Surah setelahnya
Q.S Al-A‟raf ayat: 11

         

      

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk


tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu
kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk
mereka yang bersujud”.70

Surah Al-Anʽām ayat 165 menjelaskan tentang tugas hidup manusia di


bumi ini adalah untuk menjadi khalīfah Allah. Dan dia yang menjadikan kamu
khalīfah di bumi. Tugas kekhalīfahan ini cukup berat. Antara lain harus
menggarap alam, agar terwujud kemakmuran hidup. Penggarapan alam hanya
dapat dilakukan dengan jasmani yang kuat, sehat dan trampil. Karena itu jasmani
manusia yang pada mulanya sangat lemah tersebut harus di bangun sedemikian
rupa sehingga menjadi kuat, sehat dan trampil, agar tugas kekhalīfahan itu dapat
terlaksana dengan baik dan mencapai tujuan.

Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu maksudnya ayah kamu yaitu


Adam (lalu kami bentuk tubuhnya) kami membentuk tubuhnya sedangkan kamu
berada didalam sulbinya (kemudian kami katakan kepada para malaikat,
bersujudlah kamu kepada adam) sebagai penghormatan, yaitu dengan
menundukkan punggung (maka mereka pun bersujud kecuali iblis yaitu kakek
moyang bangsa jin yang ada di antara malaikat (dia tidak termasuk mereka yang
bersujud).

70
Ibid., 150.
48

Sebagai khalīfah di bumi,” yaitu berkesinambungan dari satu umat kepada


umat setelahnya, satu generasi kepada generasi setelahnya serta satu masyarakat
kepada masyarakat setelahnya. Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan
menjadikan mereka seluruhnya dalam satu waktu, tidak menjadikan sebagian
mereka sebagai anak cucu dan bagian yang lain. Bahkan, seandainya Dia
menghendaki,.niscaya Dia akan menciptakan mereka semua sekaligus,
sebagaimana Dia menciptakan Adam dari tanah. Seandainya Dia menghendaki
untuk menjadikan sebagian mereka sebagai keturunan dari sebagian yang lain, dan
Dia tidak mematikan seorang pun dalam waktu yang sama hingga kematian71

Istikhlaf: memberikan kepercayaan untuk mengelolah sesuatu, apakah


berupakan jabatan atau harta benda. Sebagaimana firman Allah:

b. Q.S An-Nūr: 55 mempunyai keterkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu


ayat :54

            

            

 

“Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu
berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa
yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”72
(katakanlah! “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan jika
kalian berpaling) dari taat kepadanya. Lafaz Tawallau asalnya adalah Tatawallau:
maksudnya pembicaraan ini ditujukan kepada mereka (maka sesungguhnya
kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya) yaitu menyampai
risalah (dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepada kalian yakni untuk taat kepadanya (dan jika kalian taat kepadanya, niscaya
71
Ahsin Sakho, Keberkahan Al-Qur‟an,(Jakarta: Qaf Media,2017), 58.
72
Ahsin Sakho, Membumikan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Qaf Media,2019), 166-165.
49

kalian mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan amanat Allah dengan terang) yaitu secara jelas dan gamblang.

Q.S An-Nūr: 55 Pendapat Al-Baqa`i dan Thahir Ibn `Asyur tentang kaitan
antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, lalu menepisnya menandakan bukan itu
yang terpenting. Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini menyatakan. Dan Allah
telah menjanjikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan membuktikan
keimanannya dengan mengerjakan amal-amal yang shaleh yakni yang baik dan
bermanfaat sesuai tuntunan agama untuk menganugrahkan mereka kekuasaan, dan
Dia bersumpah bahwa Yang Maha Kuasa itu pasti akan menjadikan mereka
penguasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka penguasa, dan pasti Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
mereka anut yang telah dirhidai-Nya untuk mereka yakni agama Islam, dan Dia
benar-benar akan mengganti buat mereka sesudah ketakutan yang mencekam
mereka dengan rasa aman sentasa yang sangat mendalam.73

Allah menjanjikan bagi mereka yang bisa melaksanakan amanah:

1. Diberikan penguatan kekuasaan


2. Menguatkan pelaksanaan pesan-pesan ilahi
3. Terciptanya kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan manusia di bumi,
dan mendapatkan ridha Allah (baldah thayyibah wa rabbun ghafur).

Hal ini bisa tercermin pada surah Shad ayat 26 ketika Allah mengangkat
Nabi Dawud menjadi khalīfah di tanah syam. Allah mewasiatkan kepadanya agar
Nabi Dawud menegakkan keadilan, memutuskan hukum dengan benar dan tidak
mengikuti hawa nafsu semata. Sebab, hal itu akan menyebabkan dia tersesat.

73
Ibid,. 165.
50

c. Q.S Al-Ahdzāb: 72 berkaitan dengan surah Al-Baqarah ayat 30

         

         

“ Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”.
Amanah dalam Q.S Al-Ahzab ayat 72 menurut pandangan Ibnu Katsir
yang di jelaskan pada kitabnya Al-Qur‟an al-ʽadzim bahwasanya makna amanah
yang dimaksud adalah yang telah Allah tawarkan kepada langit, bumi dan
gunung-gunung sebelum Allah menawarkan kepada Nabi Adam As. Amanah
ditawarkan kepada manusia berkaitan dengan tugas pokok manusia sebagai
khalīfah fi ard. Allah Swt. Menciptakan manusia di muka bumi ini agar manusia
dapat menjadi khalīfah di muka bumi. Maksud dari khalīfah adalah seseorang
yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan dan
juga sebagai pengatur apa-apa yang di bumi seperti tumbuhan, hewan, hutan, air,
dan lain sebagainya. 74

Tugas manusia sebagai khalīfah adalah untuk menjaga dan bertanggung


jawab atas dirinya, sesama manusia dan alam yang menjadi sumber penghidupan.
Karena sudah menjadi kewajiban bagi manusia yang merupakan khalīfah di bumi
memiliki dua bentuk sunatullah yang harus dilakukan, yaitu baik kewajibannya
antara manusia dengan tuhannya, antara sesama manusia sendiri, dan antara
manusia dengan ekosistemnya. Kewajiban tersebut haru dilaksanakan karena
merupakan amanah dari Allah sang pencipta. Tanggung jawab manusia terhadap
moral agama sebagai khalīfah di bumi yaitu mengelola sebaik-baiknya alam
semesta dan kehidupan sosial didalamnya. Kehidupan manusia sangat tergantung
kepada komponen-komponen lain dalam ekosistem sehingga secara moral

74
Ibid.,165.
51

manusia terhadap alam dituntut untuk bertanggungjawa kepada kelangsungan,


keseimbangan dan kelestarian alam yang menjadi sumber kehidupannya. Menjaga
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, baik alam ataupun lingkungan
sosial merupakan tugas daripada khalīfah dalam upacara memformasi bumi,
Madjid menegaskan bahwa muara dari semua prinsip kekhalīfahan manusia
adalah reformasi bumi.

C. Ayat-Ayat Tentang Kemakmuran

Khalīfah: adalah seorang hamba Allah yang mendapatkan mandat sebagai


pelaksana, pengatur, penentu kebijakan dan menetapkan hukum-hukum sesuai
dengan kehendak Allah swt. dan aspirasi orang-orang yang membaiatnya sebagai
khalīfah;

Bumi atau wilayah tertentu adalah tempat atau sarana dalam melaksanakan
kekhalīfahan. Bumi merupakan tempat berbagai potensi yang dibutuhkan oleh
manusia untuk mendapatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, khalīfah
berkewajiban mengelolah ( ista‟mara /memakmurkan) bumi dan semua isinya atau
sumber-sumbernya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, seorang
khalīfah harus memiliki ilmu pengetahuan untuk mengelolah objek kekuasaan
itu.75

1. Makkiyah
a. Q.S Al-Anʽam: 141

          .1

         

75
Makmur. “Pandangan Al-Quran Dalam Politik”. Jurnal Penelitian dan penngabdian
Masyarakat, Vol 1, No. 1 (2019), 53.
52

             

 

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama
(rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

b. Q.S Sabā‟: 15
               .5

        

“ Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".76
c. Q.S Hūd: 61

                

            

 

“ Dan kepada Ṭsamud (kami utus) saudara mereka Ṣhaleh. Ṣhaleh berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."77

76
Aflikasi Al-Qur‟an Indonesia Q.S Saba‟/ 15, 430.
77
Ibid., 228.
53

d. Q.S Al-Zukhrūf: 32

             

            

 

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.78
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”

2. Madaniyah
a. Q.S Al-Baqarah: 267

           

             

     

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.79

3. Asbab An-Nuzul

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang Asbab-An-


Nuzul, salah satunya yang cukup popular adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi

78
Ibid., 53.
79
Qurais Titis Rosowulan, Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduannya dalam
Perspektif Al-Quran”. Jurnal Studi Islam, Vol, 14. No. 1 (2019), 27-28.
54

pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana
kandungan ayat tersebut berkaitan/ dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.
Sebagaimana firman Allah: di sini terdapat empat ayat:80

Q.S Al-Baqarah ayat 267

           

             

     

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Al-Barra Ra. Berkata,” Ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar, yang
merupakan para pemilik kebun kurma. Saat itu, tiap orang mengeluarkan sedekah
hasil perkebunannya disesuaikan dengan sedikit banyaknya kebun yang mereka
miliki. Ada seseorang yang mengeluarkan sedekahnya dengan satu atau dua
tandan kurma, dan menggantungkannya di masjid. Saat itu, Ahlu ash-Suffah
(orang yang tinggal di masjid) tidak mempunyai makanan, dan apabila salah
seorang dari mereka sedang lapar, maka dia akan mendatangi tandan kurma
tersebut, lalu memukulnya dengan tongkat hingga korma yang masih muda
berjatuhan, lalu mereka memakannya. Namun, ada beberapa orang yang tidak
suka dengan perintah bersedekah, apabila mengeluarkan sedekahnya, dia
mengeluarkan setandan kurma yang jelak dan tidak berkualitas, serta setandan
kurma yang tidak utuh, kemudian menggantungkannya di masjid. Atas hal

80
Shihab, Kaidah Tafsir, (Tenggerang: Lentera Hati, 2013), 235.
55

tersebut, Allah menurunkan ayat ini.(Hadis hasan Gharib, menurut Tirmidzi, dan
Hadits sahih menurut Hakim dan sesuai ketentuan Muslim.81

a. Q.S Al-Anʽām: 141

          

           

            

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama
(rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.82
Ibnu Juraij ra. Menjelaskan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Ṭsabit bin Qais bin Syammas yang memanen kurmanya. Setelah itu, ia
mengadakan pesta, sehingga di sore hari, semua hasil panennya habis sama sekali.
(HR. Ibnu Jarir. Lihat Ibnu Katsir:2/346

b. Q.S. Sabā‟:15

               

       

81
Ibid., 54.
82
Ibid., 54.
56

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".

„Ali bin Rabah Ra. Meriwayatkan, bahwa ketiga ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Farwah bin Masik al-Ghathifi ra. Yang suatu ketika menemui
Rasulullah Saw. Dan berkata, “Rasulullah, kaum saba‟ adalah kaum yang
terpandang di masa jahiliah. Aku khawatir manakala mereka menolak masuk
Islam. Boleh aku memerangi mereka? (HR. Ibn Abi Hatim. Lihat Ibn Katsir
4/316 dan Qurthubi: 8/5551).83

c. Q.S. al-Zukhrūf : 32

             

            

 

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan


antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ad-Dhahhak dari ibdu Abbas bahwa ketika
Allah mengutus Muhammad sebagai Rasul, sebagian bangsa Arab
memgingkarinya. Kata mereka, “Allah terlalu Agung untuk mengangkat seorang
Rasul dari kalangan manusia.” Maka Allah menurunkan firmannya,” dan kami
tidak mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki setelah berulang kali

83
Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata, (Jakarta: Pt, Magfirah Pustaka, 2009), 150.
57

Allah menunjukkan hujjah kepada mereka, mereka pun berkata, kalaupun


manusia, maka selain Muhammad tentu lebih berhak menerima risalah. Allah swt
berfirman, dan mereka berkata, mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada
seseorang yang lebih mulia daripada Muhammad, yang mereka maksud adalah al-
Walid bin Mughirah dari Mekah dan Mas‟ud bin Am rats- Tsaqafi dari Thaif,
maka Allah menurunkan Ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka. 84

4. Munasabah ayat

Munasabah dari segi bahasa bermakna kedekatan. Nasab adalah kedekatan


hubungan antara seseorang dengan yang lain disebabkan oleh hubungan darah/
keluarga. Ulama-ulamak Al-Qur‟an menggunakan kata Munasabah untuk dua
makna. 85

Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat Al-


Qur‟an satu dengan lainnya. Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain,
misalnya, pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak
bersyarat, dan lain-lainnya seperti:

a. Q.S Al-Baqarah: 267 Berkaitan dengan Surah Al-Hajj: 37 artinya:


“Daging- daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan Allah, tetapi ketaqwaan darimu yang dapat mencapainya.” (Q.S
Al-Hajj: 37). Allah Swt. Tidak membutuhkan makhlukNya sedangkan
seluruh makhlukNya itu adalah fuqara (butuh kepadanya). Dia Maha luas
karuniaNya dan apa yang ada padaNya tiada akan pernah habis. Barang
siapa bersedekah dengan harta dari hasil usaha yang baik, maka hendaklah
ia mengetahui bahwa Allah Ta‟ala Mahakaya, maha luas karuniaNya,
Maha mulia dan Maha dermawan.

84
Ibid., 150.
85
Ibid,. 243.
58

           

             

     

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersedekah dengan harta
terbaik yang mereka dapatkan dan yang Allah berikan dari hasil bumi, seperti
pertanian, perkebunan, dan barang tambang. Dan Allah melarang mereka sengaja
berinfak dengan harta yang demikian, merekapun tidak mau menerimanya kecuali
dengan hati yang enggan. Maka bagaimana kalian berinfak dengan harta yang
demikian untuk melaksanakan kewajiban yang Allah berikan? Dan ketahuilah
Allah Maha Kaya dari sedekah kalian, dan Maha terpuji dalam segala perbuatan
dan firmanNya.86

b. Q.S Al-Anʽām: 141 berhubungan dengan Surah Al-Furqan ayat 67 juga


disebutkan yang artinya, “Dan orang-orang yang apabila membelanja
(harta), kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang
demikian. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bentuk, jenis dan rasa beraneka macam buah, serta tumbuhan-tumbuhan
yang tumbuh diatas tanah dengan disirami air yang sama, menunjukkan
tanda-tanda kebesaran Allah Swt.
2. Air, tanah, cahaya dan oksigen merupakan dasar tumbuhnya tanaman-
tanaman tersebut dengan kekuasaan Allah. Sebenarnya seluruh hasil-hasil
tanaman tersebut di tentukan oleh Allah Swt. Karena itu berinfakkan di
jalan Allah dan jangan pelit.
86
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagian, (Bandung:
Mizan,1989), 229.
59

         

          

              

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama
(rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.87
c. Q.S Hūd: 61 berkaitan dengan surah Ali Imran ayat 133: Maksud surah
Al-Baqarah ayat 133 diatas adalah hendaknya kita sebagai umat manusia
yang telah diciptakan oleh Allah dari bahan bumi/ tanah untuk
bersegerahlah memohon ampun kepadaNya . kita diciptakan atas
kehendakNya maka kita pun harus kembali pasrah kepadaNya pula. 88

Sebagaimana digambarkan dalam firman Allah dalam surah Hūd


dikatakan: 6189

                

            

 

“Dan kepada Ṭsamud (kami utus) saudara mereka Ṣhaleh. Ṣhaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."

87
Ibid., 146.
88
Ibid., 228.
89
ibid., 228.
60

Isti‟mar: menjadikan manusia sebagai pemakmur di bumi. Memakmurkan


berarti menjadikan bumi ini menjadi ramai, sejahtera, aman, dan damai. Untuk
menjadikan bumi ini aman dan damai, manusia harus mengusung nilai-nilai
ketuhanan. Kesempatan lain manusia juga diberikan kesempatan untuk berkuasa.

Kita telah dibekali Allah dengan akal dan pikiran, maka kita harus
memengoptimalkan akal pikiran untuk menggali potensi bumi dan alam semesta
untuk memakmurkan mereka semua yang ada di alam semesta ini bisa
dimanfaatkan seluas-luasnya oleh manusia, baik yang ada didaratan, lautan dan
bahkan di angkasa luar, jika kita mau.

Ciri-ciri negeri yang makmur seperti yang digambar dalam:

d. Q.S Sabā‟: 15 berhubungan dengan berhungan dengan ayat An-Naml: 22

Tetapi, lama-kelamaan kaum saba‟ menjadi sombong dan lupa bahwa


kemakmuran yang mereka miliki adalah anugerah dari yang Maha kuasa dan
Maha pemurah. Allah dengan perantaraan rasulNya memerintahkan agar mereka
mensyukuriNya atas segala nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka.
Negeri mereka menjadi subur dan makmur berkat karunia Allah yang Maha
pengampun, melindungi mereka dari segala macam bahaya dan malapetaka. 90

               

       

“ Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
Sungguh beruntung mereka mendapat berbagai kenikmatan itu, agar
mereka bersyukur kepada Allah. Negeri yang kaya sumber daya alamnya, bebas
dari penyakit dan permasalahan, sejahtera, memiliki pemandangan yang indah,
90
Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata, (Jakarta: Pt, Magfirah Pustaka,2009), 430.
61

tanah yang lapang dan subur, sungai-sungai yang membawa banyak kebaikan,
pepohonan yang menghasilkan buah terbaik, dan Tuhan yang Maha pengampun,
mengampuni banyak dosa dan memberi pahala yang besar atas amalan yang
sedikit.

Hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya


dengan pemberi kekuasaan (Allah swt.), Sebagai mustakhlif. Mustakhlif, selain
Allah swt, adalah manusia (rakyat) yang turut serta dalam mengangkat khalīfah .
Hal ini dipahami dari informasi ayat yang berbicara tentang kekhalīfahan Nabi
Daud As. di mana redaksi ayat mengatakan “Kami menjadikan kamu (Daud)
sebagai Khalīfah”. Kata “Kami” yang merupakan kata ganti jamak menunjukkan
adanya pihak selain Allah yang terlibat dalam pengangkatan khalīfah tersebut
yaitu rakyat (penduduk). Dari sinilah dapat dipahami adanya demokrasi dalam Al-
Qur‟an. Hal ini berbeda ketika Allah menyatakan Adam A.s sebagai khalīfah.
Redaksi yang digunakan adalah “sesungguhnya Aku akan menjadikan khalīfah di
muka bumi”. Hal ini menandakan, selain baru merupakan rencana, juga karena
pada saat itu belum ada manusia selain Adam yang terlibat dalam pengangkatan
Khalīfah.91

Hubungan manusia dengan alam raya atau hubungan manusia dengan


sesamanya bukanlah merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan
atau antara tuan dan hamba, tetapi dalam konsep kekhalīfahan, hubungan
manusia (khalīfah) dengan alam dan sesamanya merupakan hubungan
kebersamaan, hubungan timbal-balik dalam rangka mewujudkan tugas-tugas
kekhalīfahan untuk mencapai tujuan yang diridai Allah swt. Hal ini disebabkan
karena kekhalīfahan dapat terwujud atau manusia mampu mengelolah bumi dan
segala isinya, selain karena kemampuannya yang diberikan Allah swt., juga
karena Allah swt. yang menundukkannya. Oleh karena itu, kekhalīfahan menuntut
adanya interaksi yang positif antara manusia dengan sesamanya dan manusia

91
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an,
(Jakarta: Pt, Rineka Cipta, 1994), 89-91.
62

dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah swt sebagaimana yang tertera
dalam wahyu-wahyu-Nya.

e. Q.S Al-Zukhrūf (43): 32 berhungan dengan ayat sesudahnya ayat: 35 ayat


ini menegaskan bahwa harta tidak dapat dijadikan dasar untuk mengukur
tinggi rendahnya derajat seseorang, karena harta itu merupakan hiasan
kehidupan duniawi, bukan berarti kesenagan akhirat.

             

            

 

“ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”
Hubungan manusia dengan sesamanya merupakan hubungan kebersamaan,
di mana masing-masing individu menjalankan fungsinya untuk menggerakkan
roda kehidupan dengan tujuan kesejahteraan bersama.92 Sayyid Qutub
mengomentari potongan ayat tersebut (saling menggunakan) dengan mengatakan
bahwa roda kehidupan manusia ketika berputar, sebagian manusia pasti
menggunakan manusia selainnya. Tetapi hal ini tidak berarti hubungan
perbudakan atau kelas elit memperbudak kelas menengah atau kelas sosial yang
paling rendah atau seseorang memperbudak orang lain.

Namun hal itu dimaksudkan untuk suatu perubahan dan perkembangan


dalam kehidupan masyarakat manusia. Orang kaya membutuhkan orang yang
miskin untuk dipekerjakan, sementara orang miskin membutuhkan orang kaya

92
Titis Rosowulan, Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduannya dalam Perspektif
Al-Quran”. Jurnal Studi Islam, Vol, 14. No. 1 (2019), 33.
63

untuk tempat ia bekerja. Demikian perbedaan tingkat rezeki manusia menciptakan


dinamisasi kehidupan.

Sayyid Qutub melanjutkan komentarnya dengan mengatakan bahwa


kehidupan manusia mestilah dibangun atas dasar perbedaan profesi. Perbedaan
profesi ini adalah hal yang sangat penting dalam menata roda kehidupan dunia.
Seandainya manusia hanya memiliki satu profesi tidak akan mungkin kehidupan
ini dinamis.
BAB IV

MANUSIA SEBAGAI PEMAKMUR DI MUKA BUMI PERSPEKTIF AL-


QUR’AN

A. Manusia Sebagai Khalīfah dan Abd’ Allah

Tujuan diciptakan manusia ini bisa dilihat pada dialog Antara Allah Swt.
Dengan para malaikat ketika hendak menciptakan manusia, dialog itu diabadikan
dalam surah al-Baqarah (2) ayat 30 berikut:

             

             

  

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku


hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
M. Quraish Shihab, (2000, 1: 140) dalam menafsirkan kata khalīfah pada
ayat di atas menjelaskan, bahwa kata “khalīfah” pada mulanya berarti yang
mengantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar
ini, yang memahami kata khalīfah di sini dalam arti yang menggantikan Allah
dalam menegakkan kehendakNya dan menerapkan ketetapannya tetapi hal ini
tidak berarti karena Allah tidak mampu, atau menjadikan manusia berkedudukan
sebagai Tuhan. Tidak! Allah bermaksud dengan pengangkatan itu untuk menguji
manusia dan memberinya penghormatan. 93

Jadi esensi tujuan penciptaan manusia adalah Allah hendak memberi tugas
kepada manusia sebagai khalīfah Allah di bumi, yaitu melaksanakan amanah
93
Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran, (Yogyakarta: Pt, Pustaka
Pelajar,2015), 36-37.

64
65

sesuai tuntunan Allah dan RasulNya dalam bidang keahlian dan atau kewenangan
sesuai yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Jika demikian, kekhalīfahan yang dianugerahkan kepada Daud As


bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya
berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu
pengetahuan. Makna “pengelolaan wilayah tersebut”, atau katakanlah bahwa
pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada
ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa‟. (perhatian ketiga ayat yang
ditunjuk di atas.) ini, berbeda dengan kata khala‟if, yang tidak mengesankan
adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa
sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Qur‟an
khala‟if tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak digunakannya bentuk
mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalīfahan yang
diambil oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda
dengan khalīfah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat
mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujud kannya dalam bentuk otoriter
atau diktator.94

Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang menggunakan kata
khalīfah untuk Adam As, maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat
yang membicarakan Daud As., baik persamaan dalam redaksi maupun dalam
makna dan konteks uraian.95

Adam juga dinamai khalīfah. Beliau, sebagaimana Daud, juga diberi


pengetahuan –wa‟allama Adam al-asma‟kullaha yang kekhalīfahan keduanya
berkaitan dengan Al-Ardha: Inni ja‟il fi al-ardhi khalīfa (Adam) dan ya Daud inna
ja‟alnaka khalīfatan fi al-ardh (Daud).

Di dalam Tafsir Nurul Al-Quran ayat 30, Manusia, wakil Allah di bumi
kita mengetahui dari ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menciptakan segenap

94
Ibid., 36.
95
Ibid., 37.
66

karunia di bumi untuk manusia, sedangkan dalam ayat- ayat ini pemimpin dan
kekhalīfahan manusia dinyatakan dengan resmi. Dengan begitu, kedudukan
spiritual manusia dan nilai semua manfaat diandal kan.

Dalam ayat ini, yang dimulai dari ayat 30 dan berakhir pada ayat 39
penciptaaan Adam (manusia pertama) disinggung dan tiga persoalan yang
fundamental juga disampaikan: pertama Allah memberi tahu para malaikat
mengenai kekhalīfahan manusia di bumi dan pertanyaan mereka kepada Allah,
kedua para malaikat diperintahkan bersujud di hadapan manusia pertama, Adam.
Situasi ini disinggung dalam banyak ayat dalam Al-Qur‟an Al-Karim berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa yang berbeda-beda96

Ketika, Ilustrasi Adam dan kehidupan di surga serta peristiwa-peristiwa


yang menyebabkan dia dikeluarkan dari surga, kemudia taubatnya Adam dan
keharusan dia dan istrinya tinggal di dunia diperlihatkan.

Ayat-Ayat yang sedang di kupas berbicara mengenai tahapan pertama.


Keinginannyalah dia menciptakan satu makhluk di bumi untuk dijadikan khalīfah.
Sifat-sifat khalīfah ini akan menjadi pantulan cahaya sifat Allah dan posisinya
lebih tinggi daripada para malaikat. Atas kehendaknyalah, bumi dan segala ,
karunianyalah, seperti kekuatan, harta, tambang, dan seganap potensinnya
dipersembahkan sesuai dengan kehendak manusia.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalīfah pada ayat
ini bukan hanya Nabi Adam As. Tetapi seluruh umat manusia, yang menjadi
khalīfah satu masa dengan masa yang lain, satu zaman dengan zaman yang lain.
Artinya manusia akan menjadi pengelola bumi dan akan terus digantikan oleh
anak cucunya.

Ibnu Qutaibah menjelaskan: Allah berkata kepada malaikat bahwa


manusia diciptakan di muka bumi. Manusia itu akan melakukan beberapa

96
Kamal Allamah, Fakih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2004), 373-374.
67

perbuatan dan anak cucunya juga akan melakukan perbuatan, salah satunya adalah
saling menumpah darah.

Hal ini lah yang menjadi malaikat bertannya tentang perihal manusia. Jika
tidak maka malaikat tidak akan tahu. Ayat di atas menegaskan bahwa sebelum
manusia diciptakan, Allah Swt. Telah menjelaskan tugasnya sebagai khalīfah di
muka bumi. Dengan demikian ayat ini menunjukkan bahwa kekhalīfahan terdiri
dari wewenang yang dianugerahkan Allah Swt. Kepada manusia untuk
menegakkan kehendakNya dan menerapkan ketetapan- ketetapanNya.

Menurut para ulama‟ besar dan intelektual Islam, serta para pakar dalam
bidang tafsir, makna objektif “khalīfah”(wakil) adalah wakil Ilahi di muka bumi,
karena pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat yang megatakan bahwa umat
manusia mungkin akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di
permukaan bumi sedangkan mereka (para malaikat) bertasbih kepadanya
menguatkan makna ini bahwasanya wakil Allah di muka bumi tidak bersesuaian
dengan perbuatan seperti ini.

Namun Allah, puas menciptakan suatu makhluk di atas segala makhluk di


alam raya, makhluk terbaik, yang cocok menjadi seorang khalīfah , Wakil Allah di
muka bumi. Dalam sebuah Hadits, Imam Ash-Shadiq as. Ketika menafsirkan ayat-
ayat ini, menyinggung makna yang sama dan berkata bahwa para malaikat, setelah
mengetahui kedudukan Adam, menyadari bahwa ia dan keturunannya layak
menjadi wakil-wakil Allah di bumi dan berperan sebagai pembimbing manusia
dengan izin Allah.97

Di sisi lain, ditemukan pula kedudukan manusia sebagai ʽAbdu/hamba


dalam surah ad-Dzariyāt (51):

      

97
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran, jilid 1, cet, 2 (Jakarta: pt, Al-Huda,
2006), 375.
68

“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Terjemahan Hadits Arbaʽin Hadits kedua puluh Sembilan amal yang
memasukkan ke Surga, Dari Mu‟adz bin Jabal R.A., ia berkata: “Aku berkata
kepada Rasulullah “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang suatu amal,
yang dapat memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari Neraka. “Beliau
bersabda: “Sesungguhnya engkau telah bertanya tentang suatu perkara yang
agung, dan sesungguhnya hal itu ringan bagi orang yang dimudahkan Allah
untuk mengamalkannya, yaitu engkau beribadah kepada Allah dan jangan
menyekutukannya sesuatu pun denganNya, dan engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan Zakat, puaso di bulan Ramadhan dan mengerjakan Haji ke
Baitullah.” Kemudian beliau bersabda lagi: “ inginkah engkau kuberi petunjuk
jalan tentang pintu-pintu kebaikan? Yaitu puasa itu perisai, sedekah itu
menghapuskan kesalahan (dosa) bagaikan air memadamkan api, dan solat
seseorang di tengah malam.” Kemudia Rasulullah Saw. Membaca ayat:
Tatajaafa junuu buhum „alal madlaaji‟i‟ hingga sampai kata “Ya maluun”
kemudian beliau bersabda: “ maukah bila kuberitahukan kepadamu pokok-pokok
perkara (amal), tiang-tiang dan puncak-puncaknya? “saya menjawab: “Tentu
saja, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda: “ Perkara yang pokok ialah
Islam, dan tiangnya adalah Shalat, dan puncaknya ialah jihat.” Lalu sabdanya
lagi “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang maksud dari keseluruhan
(kuncinya) semua itu? Saya menjawab: “ tentu saja, wahai Rasulullah .” Maka
beliau memegang mulutnya dan bersabda: “jagalah ini (sambil mengisyaratkan
lidah).” Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah sesungguhnya kita disiksa
karena pembicaraan kita? Maka menjawab beliau: Ibumu akan kehilangan
kamu, (semoga selamat engkau), bukankah manusia itu tidak menelungkupkan
muka-muka mereka ke dalam neraka kecuali lantaran karena ucapan mereka?”
(HR. Turmudzi).98
M. Quraish Shihab, (2003, 13: 356-57) dalam menafsirkan kata “liya‟
buduun” pada ayat di atas menjelaskan, bahwa bukan berarti agar supaya mereka
itu beribadah, atau agar Allah disembah. Pemaknaan seperti ini dipandang
mustahil sebab Allah tidak membutuhkan sesuatu. Dari sini bisa dipahami, bahwa
tujuan penciptaan manusia itu bukan untuk Allah, tetapi untuk diri manusia itu
sendiri. Jadi bila dalam ayat tersebut dikatakan agar manusia beribadah, maka
manfaat ibadah yang dilakukan manusia itu bukan untuk Allah, tetapi untuk
manusia sendiri.

98
Achmad Sunarto, Terjemahan Hadits Ar-Baʽin Annawawiyyah, (Jakarta: Pt, Pustaka
Amani), 7-8.
69

Dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia sebagai “khalīfah”


seperti diinformasikan pada surah al-Baqarah (2) ayat 30, manusia dalam
melaksanakan tugas sebagai khalīfah itu ada sejumlah aturan berupa perintah dan
larangan yang harus di patuhi. Dalam pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan
aturan Allah itu dinilai sebagai ibadah. Dari dua ayat ini bisa dipahami, bahwa
tujuan penciptaan manusia adalah agar supaya manusia itu melaksanakan amanah
sebagaimana:

Didalam Terjemahan Hadits Arba‟in Annawawiyyah, dari Abu Hurairah


R.A., ia berkata : Rasulullah Saw. Bersabda: “Bahwasanya Allah Ta‟ala
berfirman: barang siapa yang memusuhi kekasihKu maka Aku menyatakan
perang padanya. Sesuatu yang paling kusukai dari apa yang dikerjakan oleh
hambaKu untuk mendekatkan diri kepadaKu yaitu bila mengerjakan apa yang
telah kuwajibkan kepadanya. Seseorang itu akan selalu mendekatkan diri
kepadaKu dengan mengerjakan sunnah-sunnah sehingga aku mencintainya.
Apabila aku mencintainya. Apabila aku mencintainnya, maka aku merupakan
pendengaran yang dipergunakan untuk mendengarkannya, aku merupakan
penglihatan yang dipergunakan untuk mendengarkannya, aku merupakan tangan
tangan yang dipergunakan untuk menyerangnya dan aku merupakan kaki yang ia
pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia bermohon kepadaKu pasti aku akan
mengabulkannya. Dan seandainnya ia berlindung diri kepadaku pasti aku akan
melindunginnya.” (HR. Bukhari).99

Di dalam Q.S Al-Anʽām Ayat 165 Tafsir Nurul Quran, Pada ayat ini,
yang merupakan ayat terakhir surat Al-Anʽām untuk melengkapkan pembahasan
sebelumnya tentang penguatan pondasi tauhid dan perjuangan melawan
kemusyrikin, Al-Qur‟an menunjukkan kedudukan manusia dan keadaan di dunia
ini. Manusia adalah wakil Allah di bumi dan semua sumber yang terdapat didunia
ini diatur untuk dimanfaatkannya. Allah swt telah memberikan perintah dan
kekuasaan pada manusia atas semua makhluk. Karena itu manusia, manusia

99
Ibid.,43
70

seperti ini mestinya tidak menjatuhkan dirinya begitu rendah sehingga menjadi
lemah.100

Berdasarkan Hadits Al-Lu‟lu uwal, kewajiban manusia kepada Allah pada


garis besarnya ada dua yaitu: Pertama, mentauhidkanNya, maksudnya yakni tidak
memusyrikkanNya kepada sesuatu apapun dan beribadat kepadaNya. Orang yang
demikian mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi
pahala yang berlipat ganda. Kewajiban manusia terhadap Allah juga harus
diimbangi dengan iman dan amal saleh. Oleh karena itu, kedudukan manusia
dalam Islam yang pertama yaitu manusia sebagai hamba Allah.

Perwakilan manusia di bumi, Al-Qur‟an secara berulang-ulang


menyatakan, manusia adalah wakil dan pemegang amanat Allah Swt di bumi.
Pernyataan ini untuk lebih memperjelas posisi manusia dalam penciptaan, juga
juga menjelaskan kebenaran bahwa harta, kekayaan, bakat, dan semua keutamaan
yang telah diberikan Allah Swt kepada manusia itu, sesungguhnya adalah milik
Allah Swt manusia hanyalah wakilNya yang diberikan kesempatan olehNya untuk
menggunakannya dalam satu masa tertentu (yang begitu singkat). Kebenarannya
ialah bahwa tidak ada wakil yang mandiri dalam kekuasaannya, melainkan
kekuasaan itu pasti dibatasi oleh kebolehan dan perizinan dari sang pemilik
sesungguhnya.

Di dalam Q.S Al-Anʽām Ayat 165 Tafsir Al-Muyassar, Dan Allah SWT
yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di muka bumi yang menggantikan
umat manusia sebelum kalian, setelah Allah memusnahkan mereka dan
menjadikan kalian pengganti mereka di bumi, untuk memakmurkannya
sepeninggal mereka dengan ketaatan kepada Tuhan mereka, dan dia meninggikan
sebagian dari kalian dalam soal rizki dan kekuatan di atas sebagian yang lain
beberapa derajat, untuk menguji kalian terkait karunia-karunia yang diberikan

100
Kamal Allamah, Fakih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, ( Jakarta: Al-Huda, 2004), 373-374.
71

kepada kalian, sehingga tanpak dalam pandangan manusia siapa orang yang
bersukur dan yang tidak.101

Sejalan dengan ayat-ayat al-Qur‟an di atas, Rasulullah juga pernah


mengingatkan: Rasulullah bersabda,” pada hari kiamat, kedua tapak kaki hamba
tidak akan bergeming sebelum ditanya terlebih dahulu tentang empat persoalan:
tentang umurnya yang dihabiskannya, waktu muda yang dijalaninya, tentang
hartanya dari mana diperolehnya dan untuk apa dinafkahkannya, dan tentang ilmu
yang diamalkannya” (H.R. Turmudzi).

Setelah manusia dimintai tanggung jawab pada hari kiamat, mereka


mendapat balasan dari Dzat Yang Maha Agung dari apa yang pernah dilakukan
selama hidup di dunia, baik atau buruk, sekecil apa pun. Tidak ada peluang untuk
berbohong, karena pada saat itu mulutnya ditutup, kemudia tangan, kaki, mata,
telinga, hati, bahkan kulit akan menjadi saksi dari apa yang mereka kerjakan
selama hidup di dunia. Seperti disajikan di atas, bahwa sumber penghidupan
manusia adalah di bumi ini, yaitu dari hasil pengelolaan alam semesta dengan
memanfaatkan potensi fisik, akal dan pengetahuannya Namun demikian,
cukupkah hanya dengan memanfaatkan potensi fisik, akal dan pengetahuan saja
manusia bisa mengelola bumi dan mendatangkan hasil?

Q.S. Hūd 61

                

            

 

“ Dan kepada Ṭsamud (kami utus) saudara mereka Ṣhaleh. Ṣhaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah

101
Ibid., 449.
72

kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi


memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Secara lahiriah kelihatannya bisa, seorang yang telah disediakan lahan
pertanian, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk bertani, dan
tersedia alat-alat yang diperlukan dengan memadahi dimungkinkan bisa bertani
dan berhasil dengan baik. Tetapi dalam fakta keseharian tidak selalu demikian,
banyak petani yang gagal gara-gara hama padahal menyemprotnya obat
pemberantas hama dan pemupukan juga sudah dilakukan. Sebagaimana firman
Allah Q.S Az-Zukhrūf: 32:

             

            

 

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.102
Di dalam Tafsir Jalalain di jelaskan (Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmad Rabbmu?) yang dimaksud dengan rahmad adalah kenabian (kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia) maka
kami jadikan sebagian dari mereka dari mereka kaya dan sebagian lainnya miskin
(dan kami telah meninggikan sebagian mereka) dengan diberi kekayaan (atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan) golongan orang-orang yang berkecukupan (sebagian yang lain)
atas golongan orang-orang yang miskin (sebagai pekerja) maksudnya, pekerja
berupah: huruf ya disini menunjuk makna Nasab, dan menurut suatu Qiraat lafal
Sukhriyyan dibaca Sikhriyyan yaitu dengan dikasrahkan huruf sinnya (Dan

102
Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Terjemahan
Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzuul, (Bandung: Pt, Sinar Baru Algensindo, 1999), 918.
73

rahmat Rabbmu) yakni surga Rabbmu (lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan) di dunia.

Q.S An-Nūr: 55

         

          

             

     

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”103
Quraish Shihab menuliskan pendapat Al-Baqa`i dan Thahir Ibn `Asyur
tentang kaitan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, lalu menepisnya
menandakan bukan itu yang terpenting. Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini
menyatakan. Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan membuktikan keimanannya dengan mengerjakan amal-amal yang
shaleh yakni yang baik dan bermanfaat sesuai tuntunan agama untuk
menganugrahkan mereka kekuasaan, dan Dia bersumpah bahwa Yang Maha
Kuasa itu pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka penguasa, dan pasti Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang mereka anut yang telah dirhidai-Nya untuk
mereka yakni agama Islam, dan Dia benar-benar akan mengganti buat mereka

103
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 651-653.
74

sesudah ketakutan yang mencekam mereka dengan rasa aman sentasa yang
sangat mendalam.104
Kata ( ٌ‫ )ٍْن‬dipahami oleh sementara para ulama dalam arti sebagian dari
kamu. Ada juga yang memahaminya hanya tertuju kepada masyarakat Nabi dan
sahabat-sahabat beliau, yang hidup pada abad pertama hijriah, sehingga kata (
‫ )اَلسض‬mereka pahami dalam arti kota Mekkah atau paling tinggi wilayah
kekuasaan Khulafa ar-Rashidin. Pendapat tersebut membatasi pengertian ayat ini,
padahal tidak ditemukan qarinah/indikator yang jelas untuk pembatasannya,
karena itu pendapat yang memahaminya dalam arti umum, bahkan memahaminya
sebagai salah satu hukum kemasyarakatan adalah pendapat yang lebih tepat.
Kata ( ‫ )عَو‬dipahami dalam arti penggunaan daya. Manusia memiliki
empat daya pokok. Daya fisik, daya pikir, daya kalbu dan daya hidup. Dalam fisik
melahirkan keterampilan, daya pikir melahirkan ilmu dan teknologi, daya kalbu
mengantar kepada keimanan dan akhlak yang luhur, berimajinasi serta mendorong
lahirnnya seni, sedang daya hidup menjadikan seseorang mampu menghadapi
aneka tantangan serta menyesuaikan diri dengan lingkungan. Penggunaan salah
satu dari daya ini dinamai `amal.
Kata ( ‫ )صبىحبث‬terambil dari kata ( ‫ )صيخ‬yang biasa dipahami dalam arti
baik atau bermanfaat. Sesuatu yang saleh adalah yang terpelihara nilai-nilainya
sehingga dapat tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. seorang yang beramal
saleh dituntut untuk memelihara ciptaan Allah agar tetap berfungsi, juga dituntut
untuk melakukan kegiatan memulihkan nilai sesuatu yang berkurang atau hilang
sehingga menjadi baik dan bermanfaat lagi, bahkan jika dapat maka hendaknya ia
melakukan amal yang dapat melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga
kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.
Qurai Shihab menjelaskan maksud mengerjakan amal-amal shaleh pada
ayat ini tentu bukan semua amal saleh, tetapi sebagian besar dari amal-amal saleh
itu yang kadarnya cukup untuk menjadikan seseorang digelar sebagai orang saleh
dan kumpulan dari mereka dinamai masyarakat yang saleh. Memang amal-amal
saleh yang diamalkan oleh mayoritas anggota masyarakat akan memberi dampak

104
Ibid., 651-653.
75

bagi perkembangan positif masyarakat itu, menjadikan mereka kuat dan sejahtera
lahir dan batin serta mengantar terjalinnya hubungan harmonis antar semua pihak
sesuai dengan tuntunan agama.105
Qurai Shihab menambahkan Thahir Ibn `Asyur menggaris bawahi sekian
banyak tuntunan agama baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menjadi
syarat pokok bagi tercapainya janji ini. Antara lain firman-Nya.

          

      

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,


memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Naḥl 16: 90).106

          

              
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa‟ 4: 29).107

Juga firman-Nya yang mengandung kecaman kepada para pendurhaka agar


dihindari oleh kaum beriman, yakni:

 …           

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk


Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang
ternak,..” (QS. Al-Baqarah 2: 205).108 dan firman-Nya

          

105
Ibid, 186.
106
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 277.
107
Ibid. , 83.
108
Ibid. , 32.
76

“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad
47: 22).109
Di sisi lain Rasul ṣalallahu „alaihi wasallam telah menjelaskan pula
kebijaksanaan yang harus ditempuh oleh para penguasa terhadap rakyat dan
anggota masyarakat secara umum, juga terhadap musuh dalam peperangan,
perdamaian dan perjanjian serta menjelaskan pula prinsip-prinsip interaksi antar
anggota masyarakat. Nah, jika para penguasa dan masyarakat umum
mengindahkan tuntunan yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya di atas,
niscaya janji Allah ini pasti terlaksana.110
Kalau ada masyarakat non-Muslim yang melaksanakan tuntunan di atas dan
menerapkannya dalam masyarakat mereka walau tanpa iman kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka mereka juga akan meraih sukses serupa dengan yang dapat
diraih kaum muslimin karena tuntunan-tuntunan itu telah menjadi hukum-hukum
kemsyarakatan dan sunnatullah serta sebab-sebab yang menghasilkan janji itu.
Memang ketiadaan iman serta kedurhakaan mereka kepada Allah dalam bentuk
syirik, atau mengingkari kerasulan menjadikan mereka tidak memperoleh
dukungan Allah dalam menolak bencana, namun demikian mereka dapat berhasil
karena Allah subhana wata`ala, tidak menghalangi mereka mencapai sukses itu
melalui kesungguhan mereka berusaha. Inilah yang kita lihat dewasa ini pada
banyak negara di dunia Barat. Demikian lebih kurang uraian Ibn `Asyifa. 111
Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai isyarat tentang kekuasaan
yang diraih oleh masyarakat Nabi dan keempat khalīfah beliau. Kalaupun
pendapat ini diterima, namun redaksinya yang bersifat umum dapat mencakup
semua generasi sejak masa Nabi Saw hingga akhir zaman. Karena seperti
dikemukakan di atas, janji ini berkaitan dengan syarat-syaratnya yang telah
hukum-hukum kemasyarakatan, sehingga kapan dan dimanapun syarat-syarat itu
terpenuhi, janji ini akan terlaksana. Di sisi lain perlu dicatat bahwa tidak semua
masyarakat yang meraih kekuasaan, dapat dinilai sebagai telah diridhai Allah,
karena pemberian kekuasaan di samping sebagai anugerah dan ganjaran juga
109
Ibid. , 509.
110
Ibid., 509.
111
Ibid , 391.
77

sebagai ujian dna cobaan. Bukankah sebagian penguasa dan masyarakat bersifat
tirani dan durhaka kepada Allah Swt.?
Firman-Nya ( ٌْ ِٖ ‫ف اىه ِزيَِ ٍِ ِْ َق ْب ِي‬
َ َ‫سخ َ ْخي‬
ْ ‫ ) َم ََب ا‬sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka penguasa. Mencakup para penguasa yang taat
sebelum kehadiran Nabi Muhammad seperti Nabi Daud, Sulaiman, Yusuf As dan
lain-lain.
Kata ( ‫ )اَلسض‬pada ayat ini dapat dipahami dalam pengertian terbatas yakni
wilayah tertentu di pentas bumi ini.
Kata ( ‫ ) َٗىَيُ ََ ِ ّنَِْه‬terambil dari kata ( ِ‫ )اىخَني‬yang pada mulanya dari kata ( ُ‫ٍنب‬
) yakni tempat: at-tamkin adalah pemantapan disuatu tempat, dan ini mengandung
arti kehadirannya tanpa gangguan berarti. Agama bila dimantapkan pada satu
tempat maka, masyarakat di tempat itu memiliki kebebasan melaksanakan syariat
agama itu tanpa gangguan dari siapa pun. Pada awal masa Islam, kaum muslimin
belum memperoleh tamkin itu, sehingga mereka selalu dikejar-kejar, dan terpaksa
bersembunyi atau berhijrah guna menghindari dari ancaman lawan-lawan mereka.
Didahulukannya kata ( ٌٖ‫ )ى‬buat mereka pada penggalan ayat di atas untuk
memberi penekanan bahwa pemantapan itu dilakukan Allah untuk mereka.112
Firman-Nya ( ‫ ) َٗىَيُبَ ِ ّذىَْه ُٖ ٌْ ٍِ ِْ بَ ْع ِذ َخ ْ٘ ِف ِٖ ٌْ أَ ًٍْْب‬mengandung makna bahwa anggota
masyarakat mereka hidup dalam suasana penuh rasa aman tidak mengkhawatirkan
adanya serangan musuh dari dalam atau luar, bahkan hidup sejahtera terbutuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, dalam kesehatan, pendidikan dan
perlindungan sosial secara umum, bertolak belakang dengan keadaan dan situasi
yang mereka alami sebelumnya.113
Firman-Nya ( ‫ )يَ ْعبُذَُِّْٗي‬mereka menyembah-Ku merupakan uraian tentang
keadaan mereka yang dijanjikan oleh ayat ini merupakan kesimpulan syarat-syarat
peroleh janji itu dan yang sebelum ini telah diuraikan oleh Ibn `Asyur
sebagaimana penulis sadur di atas. Penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan
datang (mudhari`) pada kata tersebut menuntut kesinambungan ibadah itu, atau

112
Ibid., 509.
113
Ibid., 509.
78

dengan kata lain kensistensi masyarakat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan


Allah dan yang disimpulkan dalam kata beribadah kepada-Nya semata-mata.114
Penggunaan bentuk tunggal yang menunjuk Allah pada ayat ini mengisyaratkan
bahwa ibadah tersebut harus sepenuhnya tulus di arahkan kepada Allah swt, dan
َ yakni
َ ‫)َل يُش ِْشمَُُ٘ ِبي‬
ini ditegaskan lebih jauh dengan penggalan berikut yaitu (‫ش ْيئ ًب‬
mereka dalam beribadah itu tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, tidak
juga sedikit persekutuan pun.115
Firman Allah Ta‟ala “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Dan inilah yang menjadi obyek sumpah,
yaitu bahwa Allah Ta‟ala telah menciptakan manusia dalam wujud dan bentuk
yang sebaik-baiknya, dengan perawakan yang sempurna serta beranggotakan
badan yang normal.

“Bagi manusia ada para Malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di muka
bumi dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”. Maksudnya,
setiap orang mempunyai malaikat yang bergiliran menjaganya, ada penjaga
pada siang hari dan ada penjaga pada malam hari, menjaga mereka dari
kejahatan dan kecelakaan. Selain itu juga ada malaikat yang mencatat
perbuatanya, baik dan buruk, ada malaikat yang bertugas malam dan ada yang
bertugas siang, ada dua malaikat di kanan dan kiri yang mencatat amal
perbuatan manusia. Yang di sebelah kanan bertugas mencatat perbuatan baik
dan disebelah kiri bertugas mencatat perbuatan buruk. 116

Masih ada dua malaikat lain yang menjaga, satu didepan dan satu lagi
dibelakang. Ada yang mengatakan, penjagaan mereka (para Malaikat) untuk
manusia itu dari perintah Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh „Ali bin Abi
Thalhah dan lain-lai, dari Ibnu „Abbas dan pendapat ini didukung leh mujahid,
sa‟id bin Jubair,Ibrahim an-Nakha‟i dan lain-lain. Sebagian lain mengatakan,

114
Ibid. , 391.
115
Ibid. , 392.
116
Muhammad Chirzin. “Etika Al-Quran Menuju Masyarakat Adil Dan Makmur”. Jurnal
Studi Al-Quran Dan Hadis Vol.1, No. 2 (2017), 173.
79

mereka menjaganya kerena perintah Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits


bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, apakah engkau berpendapat
bahwa ruqyah (jampi) yang kita ucapkan itu dapat menolak sesuatu dari taqdir
Allah?

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim, ia mengatakan: “Allah


mewahyukan kepada salah seorang Nabi Bani Israil: „Hendaklah Kamu katakan
kepada kaummu bahwa warga desa dan anggota keluarga yang taat kepada Allah
tetatapi kemudian berubah berbuat maksiat atau durhaka kepada Allah, pasti Allah
merubah dari mereka apa yang mereka senangi menjadi sesuatu yang mereka
benci.”

bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas: Artinya, melainkan


supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela maupun
terpaksa. Dan itu pulayang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Sedangkan Ibnu Juraij
menyebutkan: “Yakni supaya mereka mengenal-Ku.” Dan masih mengenai
firman-Nya, “melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”117

Ar-Rabi‟bin Anas mengatakan: „Maksudnya tidak lain kecuali untuk


beribadah.” As-Suddi mengemukakan: “Diantara ibadah itu ada yang bermanfaat
dan ada pula yang tidak bermanfaat. dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah
mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah Malaikat bergelombang-gelombang.
Ibadah mereka yang disertai dengan kesyirikan itu sama sekali tidak
mendatangkan manfaat bagi mereka. Adh-Dhahhak mengatakan: “Dan yang
dimaksudkan dengan hal itu adalah orang-orang yang beriman.118

Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di


dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan
dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan,
yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk menempuh hidup dengan kesabaran

117
Ibid., 173.
118
Ibid., 174.
80

penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah “perkenan” atau ridha
Allah swt.

Dalam literatur keislaman dikenal ada ibadat mahdah (ibadah dalam arti
khas), ta‟abbudi atau taalluh dan ada ibadah „ammah, lazim juga disebut sebagai
muamalah atau al- „adah . Yang pertama adalah yang dikenal sebagai ritus, dan
yang kedua adalah muamalah yakni aktivitas yang menuntut untuk kreatif dan
inovatif. Ibadah dalam arti luas juga dinamakan syariʽah. Kalau syariʽah diartikan
aturan agama tentang prinsipprinsip ibadat dan muamalat, maka fikih
pengembangan dari syariʽah untuk menjawab segala persoalan yang ditemukan
dalam kehidupan bermasyarakat dan belum ditemukan petunjuk yang jelas dan
tegas dalam al-Qur‟an dan hadits. Dengan demikian, syariʽah dan fikih adalah
aturan atau hukum Allah tentang segenap perilaku pribadi dan kelompok. Aturan
atau hukum itu ada yang wajib, sunah, haram, makruh dan ada yang mubah,
boleh dilakukan boleh tidak.

Sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai ibadat atau ubudiyah
ini ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus hanya
mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (Kitab
dan Sunnah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara
dan pola mengerjakannya. Justru suatu kreasi, penambahan atau invasi di bidang
ibadat dalam pengertian khusus ini akan tergolong sebagai penyimpangan
keagamaan (bidʽah) yang terlarang keras. Sebaliknya ibadah kedua, yang dalam
pembicaraan sebelumnya yang disebut muamalah menuntut untuk kreatif dan
inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum dan pengarahan saja. Islam
memerintahkan qitāl (memerangi) kaum yang Dzalim. Nabi mencontohkan
dengan pedang, panah, perisai, kuda, dan unta. Islam memberikan119

119
Watsiqotul,Leo, Agung, Sunardi,. “ Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi
Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam”. Tesis. Surakarta: Program Magister Pendidikan
sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta,
2018, 360-361.
81

Sebagai mustakhlif. Mustakhlif , selain Allah Swt., adalah manusia


(rakyat) yang turut serta dalam mengangkat khalīfah . Hal ini dipahami dari
informasi ayat yang berbicara tentang kekhalīfahan Nabi Daud As. di mana
redaksi ayat mengatakan “Kami menjadikan kamu (Daud) sebagai Khalīfah”.
Kata “Kami” yang merupakan kata ganti jamak menunjukkan adanya pihak selain
Allah yang terlibat dalam pengangkatan khalīfah tersebut yaitu rakyat (penduduk).
Dari sinilah dapat dipahami adanya demokrasi dalam Al-Qur‟an. Hal ini berbeda
ketika Allah menyatakan Adam As sebagai khalīfah. Redaksi yang digunakan
adalah “sesungguhnya Aku akan menjadikan khalīfah di muka bumi”. Hal ini
menandakan, selain baru merupakan rencana, juga karena pada saat itu belum ada
manusia selain Adam yang terlibat dalam pengangkatan Khalīfah. Dari ayat dia
tas tentang kekhalifah di dukuatkan pendapat oleh Hadits:120

1. Hadits No. 1721 tentang khilafah, Bai‟at, ketaatan dan pemerintahan

Dari jarir bin Samurah, dia bertutur Umar pernah berkhutbah di hadapan
khalayak manusia di daerah al-Jabiyah. Ia berkata: “Dahulu, Rasulullah saw
berdiri di tempat aku berdiri sekarang ini. Beliaupun bersabda: “ berbuat baiklah
kepada sahabatku, kemudian kepada generasi-generasi setelah mereka, setelah
itu kepada generasi sesudah generasi kedua! Kemudian akan muncul suatu kaum
yang salah seorang dari mereka mengumbar sumpah sebelum dimintak untuk
bersumpah, serta memberikan kesaksian sebelum dimintak untuk memberikan
kesaksian. Oleh sebab itu, barang siapa diantara kalian berhasrat memperoleh
surga terbaik, hendaklah ia menepati jamaah! Karena sesungguhnya, syaitan
bersama orang yang sendirian dan menjauh dari dua orang. Janganlah seorang
laki-laki berada ditempat sepi bersama seorang perempuan!sebab pihak yang
ketiga adalah sayaitan. Barang siapa dari kalian yang perbuatan baiknya
membuat jiwanya senan, serta perbuatan buruknya membuat jiwanya risau, maka

120
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Shahih, (Jakarta: PT. Pustaka Imam
Asy-Syafi‟I, 2011), 69.
82

ia adalah seorang Mukmin. “ no. 430, (HR. Ibnu Majah, Ath-Thahawi, Ibnu
Hibban, ath-Thayalisi, Ahmad)121

2. 1550. Di riwayatkan dari Abi Hurairah RA. dia telah berkata: Nabi saw
telah bersabda :” Sesungguhnya Allah SWT telah mencatat nasip anak
Adam. Kecenderungan anak adam adalah senang senang terhadap
perbuatan zina. Keinginan itu tidak dapat dielakkan lagi, di mana dia
akan melalukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam
bentuk ucapan, zina perasaan yaitu bercita-cita dan berkeinginan
mendapatkannya. Kemaluan lah yang dapat menentukan jadi atau tidak
perbuatan zina.
3. Dalam Sanad lain diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Anas bin Malik
bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: berkata para malaikat kepada Allah, “Ya Tuhan kami, Engkau
telah menciptakan kami dan menciptakan anak-anak Adam, mereka dapat
makan makanan, minum minuman, mengenakan pakaian, kawin dan
menunggang binatang-binatang tidur dan beristirahat, sedang kami tidak
menikmati sedikitpun itu semua, maka jadikanlaj dunia bagi mereka dan
akhirat bagi kami”. Maka berfirmanlah Allah, “Aku tidak akan menjadikan
makhluk yang kuciptakan dengan tanganku serta meniupkan ruhKu
kepadanya seperti makhluk yang kuciptakan dengan ucapan “kun” lalu
terciptalah dia”.122

4. Bahwa jenis manusia adalah lebih afdhal dari jenis malaikat.


Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Abdullah bin Amr, bahwa
Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: berkata para malaikat kepada Allah, “Ya Tuhan kami, Engkau
telah memberi anak-anak Adam dunia, mereka maka, minum dan berpakaian,
sedang kami bertasbih memuji-Mu. Tidak makan dan tidak minum dan tidak pula
bermain-main, maka berilah kepada akhirat sebagaimana Engkau memberi dunia
121
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Shahih, ( Jakarta: PT. Pustaka
Imam Asy-Syafi‟I, 2011), 69.
122
83

kepada anak-anak Adam”. Allah menjawab, “aku tidak akan menjadikan orang-
orang yang saleh dari anak cucu orang yang Ku ciptakan dengan tanganKu
seperti makhluk yang ku ciptakan dengan ucapan “kun” dan terciptalah ia”.

Hubungan manusia dengan alam raya atau hubungan manusia dengan


sesamanya bukanlah merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan
atau antara tuan dan hamba, tetapi dalam konsep kekhalī- fahan, hubungan
manusia (khalīfah) dengan alam dan sesamanya merupakan hubungan
kebersamaan, hubungan timbal-balik dalam rangka mewujudkan tugas-tugas
kekhalīfahan untuk mencapai tujuan yang diridai Allah swt. Hal ini disebabkan
karena kekhalīfahan dapat terwujud atau manusia mampu mengelolah bumi dan
segala isinya, selain karena kemampuannya yang diberikan Allah swt., juga
karena Allah swt. yang menundukkannya. Oleh karena itu, kekhalīfahan menuntut
adanya interaksi yang positif antara manusia dengan sesamanya dan manusia
dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah swt sebagaimana yang tertera
dalam wahyu-wahyu-Nya. Q.S. al-Zukhrūf (43): 32 menjelaskan bahwa Allah lah
yang membagi-bagi rahmat kepada manusia.

Hubungan manusia dengan sesamanya merupakan hubungan kebersamaan,


di mana masing-masing individu menjalankan fungsinya untuk menggerakkan
roda kehidupan dengan tujuan kesejahteraan bersama.123 Sayyid Qutub
mengomentari potongan ayat tersebut (saling menggunakan) dengan mengatakan
bahwa roda kehidupan manusia ketika berputar, sebagian manusia pasti
menggunakan manusia selainnya. Tetapi hal ini tidak berarti hubungan
perbudakan atau kelas elit memperbudak kelas menengah atau kelas sosial yang
paling rendah atau seseorang memperbudak orang lain.

Namun hal itu dimaksudkan untuk suatu perubahan dan perkembangan


dalam kehidupan masyarakat manusia. Orang kaya membutuhkan orang yang
miskin untuk dipekerjakan, sementara orang miskin membutuhkan orang kaya
123
Titis Rosowulan, Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduannya dalam Perspektif
Al-Quran”. Jurnal Studi Islam, Vol, 14. No. 1 (2019), 33.
84

untuk tempat ia bekerja. Demikian perbedaan tingkat rezeki manusia menciptakan


dinamisasi kehidupan. Sayyid Qutub melanjutkan komentarnya dengan
mengatakan bahwa kehidupan manusia mestilah dibangun atas dasar perbedaan
profesi. Perbedaan profesi ini adalah hal yang sangat penting dalam menata roda
kehidupan dunia. Seandainya manusia hanya memiliki satu profesi tidak akan
mungkin kehidupan ini dinamis. Oleh karena itu, keharmonisan. hubungan antara
khalīfah , manusia, Allah dan alam raya akan menentukan keberhasilan
kekhalīfahan bahkan akan memperoleh manfaat yang besar.

Permasalahan lingkungan alam semakin berkembang seiring berjalannya


waktu dan saling terkait secara global. Bahkan masing-masing manusia dalam
setiap negara berlomba-lomba merusak sumber daya alam dengan dilakukannya
pembangunana yang dilakukan, khususnya yang paling banyak berada di negara
berkembang. Tugas dari seorang khalīfah menjadikan perlindungan bagi umat
dan menjaga kelestarian alam (ekosistem), sehingga khalīfah dan umat harus
bersatu dan saling mencintai guna menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat
islam dan keberlangsungan hidup.

B. Peran dan Tanggung Jawab Manusia di bumi

Beberapa Ahli Tafsir Mengemukakan Pendapat yang Berbeda Mengenai


Kedudukan Manusia sebagai Pemakmur di Muka Bumi. apa lagi ketika
menjelaskan surah Hud 61:124

                

            

 

“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain

124
Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, jilid 4,
(Surabaya:Pt, Bina Ilmu, 2005,), 330.
85

Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Menurut tafsir Ibnu Katsir (dan) sungguh kami telah mengutus (kepada
Ṭsamud) merekalah yang dahulu bertempat tinggal di kota-kota al-hajar antara
tabuk dan madinah. Mereka adalah generasi setelah Aad. Maka Allah mengutus
dari mereka saudara mereka saleh dia memerintahkan mereka agar beribadah

kepada Allah saja. Untuk itu ia berkata:   (Allah telah menciptakan

kamu dari bumi (tanah). Maksudnya, Allah memulai penciptaan kalian dari tanah,

dari itulah diciptakannya Adam, bapak kalian   (dan menjadikan

kamu sebagai pemakmurnya) maksudnya Allah menjadikan kamu sebagai


pemakmur, penduduk yang meramaikan bumi dan memanfaatkan. 125

 ( karena itu mohonlah ampunan kepadanya) untuk dosa-dosamu yang

telah lalu.    (kemudian bertaubatlah kepadaNya) pada apa yang akan

kamu hadapi. Sesungguhnya Rabbku amat dekat rahmatNya lagi


memperkenankan doa hambanya.

Menurut tafsir Al-Misbah  menciptakan kamu mengandung

makna mewujudkan serta mengembangkan. Obyek kata ini biasanya adalah

manusia dan binatang. Sedangkan kata  terambil dari kata (‫)عوش‬

„Amara yang berarti memakmurkan. Huruf Sin dan Ta‟ yang menyertai kata
ista‟mara ada yang memahaminya dalam Arti perintang sehingga kita tersebut

125
Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsir, jilid 4,
(Surabaya:Pt, Bina Ilmu, 2005,), 331.
86

Allah memerintahkan kamu memakmurkan bumi da nada juga yang


memahaminnya sebagai penguat yakni menjadikan kamu benar-benar mampu
memakmurkan dan membangun bumi. Ada juga yang memahaminya dalam arti
menjadikan kamu mendiaminya atau memanjangkan usia kamu. Ibn Katsir
memahaminya dalam arti menjadikan kamu pemakmur-pemakmur dan
pengelolah- pengelolahnya.126

Menurut Thabathaba‟I memahami kata ( ‫ فى األسض‬ )

ista‟marakum Fil ard dalam arti mengolah bumi sehingga berlalih menjadi suatu
tempat dan kondisi yang memungkinkan manfaatnya dapat dipetik seperti
membangun pemukiman untuk di huni, masjid untuk tempat beribadah, tanah
untuk pertanian, taman untuk dipetik buahnya dan rekseasi. Dan dengan demikian,
tulis Thabthaba‟I lebih lanjut, panggalan ayat tersebut bermakna bahwa Allah
Swt telah mewujudkan melalui bahan bumi ini, manusia yang dia sempurnakan
menganugrahkannya Fitrah berupa potensi yang menjadikan ia mampu mengolah
bumi dengan mengalihkannya ke suatu kondisi di mana ia dapat
memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya. 127

Menurut Tafsir Quran Dan kepada kaum Ṭsamud kami mengutus saudara
mereka, Ṣhaleh. Dia berkata, “wahai kaumku! Sembahlah Allah saja! Kalian tidak
punya sesembahan lain yang berhak disembah selain Allah. Dia lah yang telah
menciptakan kalian dari tanah melalui penciptaan bapak kalian, Adam dari tanah
liat yang diambil dari bumi. Dan dia telah menjadikan kalian sebagian penghuni
bumi. Maka mohonlah ampunan kepadaNya, dan kembalilah kepadaNya dengan
menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sesungguhnya Tuhanku
dekat dengan orang yang memurnikan ibadahnya kepadaNya. Dan dia senantiasa
mengabulkan doanya.

126
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, pt, Lentera Hati, 2002), 277.
127
Ibid., 277.
87

Dalam Tafsir Al-Muyassar / kementerian Agama Saudi Arabia Dan kami


telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Dia memerintahkan
mereka untuk menyembah Allah semata, karena hanya dia yang berhak di
128
sembah. Dan bentuk kesempurnaan ketuhananNya dan bukti keesaanNya, dia
menciptakan kalian dari tanah dan mengilhami kalian untuk memakmurkan bumi
dengan bercocok tanam, dan menyiapkan kalian cara-cara mendapat penghidupan
di bumi kalian menahan gunung-gunungnya, dan mendirikan bangunan di
tanahnya yang lapang, menikmati rezekinya, dan mengeluarkan harta bendanya
maka mohonlah ampun kepadaNya atas kesalahan yang kalian perbuat, karena dia
memerintahkan kalian untuk memohon ampun dan berjanji akan menerimanya,
dan tetaplah di atas jalan taubat dan istiqamah sebagaimana dia memerintahkan
kalian. Sesungguhnya Tuhanku dekat dengan hamba-hambanya yang beriman dan
mengabulkan mereka yang berdoa kepadanya.

C. Ciri-Ciri Negeri Yang Makmur Dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa kemakmuran dan keadilan


akan diperoleh suatu bangsa apabila mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah
Swt. Kemakmuran merupakan sebuah anugrah dan keberkahan dari Allah Swt129.

1. Q.S Al-A‟rāf: 96

          

       

“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah


Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”.

128
Syaikh Al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu Asy-Syaikh, Tim penyusun Hikmar
Basyir, Mushthafa Muslim, Hazim Haidar, Abdul Aziz Isma‟il, Tafsir Muyassar, cet, 1,(Jakarta:
PT, Darul Haq, 2016), 688.
129
Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di, Tafsir Qur‟an, (Jakarta: Pt, Darul Haq, 2013),
494-495.
88

Hikmah ayat ini dijelaskan Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaali Al-Qur‟an,


disitulah beliau menguraikan panjang lebar. Seandainya penduduk suatu Negeri
benar-benar beriman untuk menggantikan sikap mendustakan ajaran-ajaran Allah
dan bertaqwa untuk menggantikan sikap fasik mereka, niscaya Allah akan
membukakan pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Jadi, imam dan taqwa tidak
terlepas dari realitas kehidupan manusia. Seberapa banyak dan berkah rezeki
seseorang sangat tergantung pada keimanan dan ketaqwaan seseorang. Semakin
baik keimanan seseorang dan ketaqwaannya semakin banyak dan berkah
rezekinya.

Ats- Tsaani, mari kita renungkan dalam-dalam janji tersebut sesuai dengan
dorongan keimanan yang ada dalam hati kita. Niscaya kita akan mendapatkan
jawaban atas janji-janji Allah itu.

Imam kepada Allah membebaskan manusia dari penghambaan kepada


hawa nafsu dan sesama hamba Allah. Manusia yang hanya menyembah Allah
adalah manusia merdeka. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengelola
bumi ini sesuai dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah yang maha
mengetahui. 130

Al-Qur‟an telah menjelaskan kepada kita kisah kaum saba‟ dan nikmat-
nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka, lalu mereka mengingkarinya.
Balasan bagi mereka adalah kehancuran dan dicabutnya kembali nikmat-nikmat
itu. Negeri yang subur makmur berubah menjadi hancur lebur karena mereka
kufur. Di firmankan oleh Allah dalam Surat Saba‟ ayat:15131

              

        

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.

130
Ibid., 494.
131
Ibid., 495.
89

(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)


Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".132
Intinya, untuk menuju kemakmuran adalah dengan beriman dan bertaqwa
kepada Allah Swt. Al-Qur‟an telah tegas menjelaskan bahwa syarat mendapatkan
kemakmuran adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Syarat ini
mutlak dan tidak mungkin salah karena Allah Swt sendiri yang menyatakannya.
Kemudian, bagaimana kita memulai langkah menuju kemakmuran ini?

Didalam Hadits di jelaskan sebagai berikut: Didalam Hadits Qudsi, Allah


Swt. Berfirman, “ wahai hambaKu, tiap-tiap dari kalian berada dalam kelaparan
kecuali orang-orang yang Kuberi makan. Oleh karena itu, mintaklah makanan
kepadaKu niscaya aku akan memberi makan.” Dalam kehidupan manusia, rezeki
merupakan kebutuhan mendasar untuk melangsungkan hidup dan masa
depannya. Rezeki adalah setiap anugerah atau nikmat yang diberikan Allah
kepada manusia. Rezeki itu bisa berbentuk makanan, minuman, kesehatan,
keluarga, uang, pekerjaan, jabatan, dan kesenagan hidup, ketenangan, umur,
ilmu.

Jelaslah sudah bahwa untuk menggapai kemakmuran suatu bangsa,


rakyatnya harus beriman dan bertaqwa begitu pula pemimpinnya. Pemimpin yang
beriman senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh perbuatan
baik dan mencegah dari kemungkaran.

Menurut tafsir Al-Misbah kata toyyibah terambil dari kata (thaba) yaitu
sesuatu yang sesuai, baik dan menyenangkan bagi subyeknya. Negeri yang baik
antara lain adalah yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara
mudah oleh penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan
persatuan antar anggota masyarakatnya. 133

132
Kamal Allamah, Fakih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, ( Jakarta: Al-Huda, 2004), 375.
133
Syaikh Al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu Asy- Syaikh, Tim penyusun Hikmar
Basyir, Musthafa Muslim, Hazim Haidar, Abdul Aziz Ismaʽil Tafsir Muyassar, cet,1, (Jakarta:
Pt, Darul Haq, 2016), 687-688.
90

Firman Allah (baldatun thaiyibah wa rabbun ghafur/ negeri yang baik dan
tuhan maha pengampun, memberi isyarat bahwa satu masyarakat tidak dapat tidak
dapat luput dari dosa dan kedurhakaan. Seandainya tidak demikian, maka
tidaklah arti penyebutan kalimat rabbun ghafur / Tuhan maha pengampun. 134

Surah saba‟ ayat 15 tafsir Ibnu Katsir Allah Swt. Berfirman tentang kaum
saba‟ yang menguasai, pemerintah dan menjadi raja-raja Yaman, yang diantara
mereka adalah ratu Balqis yang hidup dan memerintah di zaman kenabian Nabi
Sulaiman As. Kerajaan saba‟ adalah suatu kerajaan yang besar daripada
zamannya, tanahnya subur, penduduknya santausa dan bahagia, rezeki dan pangan
berlimpah-limpah, di mana-mana terdapat ladang-ladang dan tanaman-tanaman
yang menghijau dan di kanan kiri, jalan negeri mereka Allah tumbuhkan dua buah
kebun yang luas dan indah dan lewat rasul-rasulnya di perintahkan untuk
bersenang-senang menikmati rezeki dan pemberian Allah karuniakan kepada
mereka dan negeri mereka seraya bersyukur drngan melakukan ibadah kepada
Allah yang Maha Esa. Akan tetapi mereka berpaling dari perintah dan tuntunan
Allah dan kebalikan daripada bersyukur kepadanya.135

Manusia dalam masyarakat adalah satu kesatuan . bahkan seluruh jagat


raya merupakan satu kesatuan. Allah Swt berfirman: “ Dan tiadalah binatang-
binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat juga seperti kamu. Tiada kami alpakan sesuatupun
dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (Al-An‟am/6:
38). Sepanjang mengenai kebutuhan jasmani, manusia dan makhluk lain, semua
dicukupi kebutuhannya oleh Allah Swt. Oleh karena itu manusia harus tunduk
kepada hukum alam seperti yang dilakukan oleh binatang. Tetapi kodrat manusia
mempunyai cita-cita untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, yaitu kepuasan
rohani. untuk tercapainya cita-cita rohani inilah Allah mengutus para Nabi dari
zaman ke zaman.

134
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 277-278.
135
Salim Bahreisy,Said Bahreis, Terjemahan Singkat Tafsir Ibn Katsir, (Surabaya:Pt,
Bina Ilmu, 2005), 331.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan tentang manusia dalam Al-Qur‟an di atas,


penulis membuat beberapa poin sebagai kesimpulan dalam skripsi ini sebagai
berikut:

1. Dalam Al-Qur‟an, kata al-basyar, baik dalam bentuk mufrad atau


tasniyah berulang sebanyak 37 kali dan tersebar dalam 26 surat. Satu
kali tasniyah dan 36 dalam bentuk mufrad. Hanya 4 kali disebut dalam
Surah- surah Madaniyah, yaitu pada Q.S Ali „imran/3: 47, 79, Q.S Al-
Maidah/ 5: 18 dan Q.S Al-Tagabun/ 64: 6. Sedangkan kata al-insan
dalam Al-Qur‟an digunakan sebanyak 61 kali. Penamaan manusia
dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam
Al-Qur‟an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat, kata insan
juga digunakan dalam Al-Qur‟an untuk menunjuk proses kejadian
manusia sedudah Adam. Q.S Al-Nahl/16:78; Q.S Al- Mu‟minun /23;
12-14. Dan kata Al-Ins digunakan dalam Al-Qur‟an sebanyak 18 kali
dan selalu ditandemkan dengan kata al-jinn atau janna. Jika merujuk
penggunaan al-Qur‟an terhadap kata al-ins maka yang dimaksudkan
adalah jenis makhluk sehingga diperlihatkan dengan jenis jin. dalam
Q.S Al-An‟am /6; 130, sementara pembahasan tentang al-ins terkait
dengan perintah Allah terhadap mereka untuk melaksanakan ibadah
kepada Allah. Q.S Al- Zariyat/ 51: 56. dan kata Al-Nas kata Al-Nas
dinyatakan dalam Al-Qur‟an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53
surat. Q.S Al-Baqarah /2;24. Dan lafaz bani Adam dalam Al-Qur‟an
disebutkan 7 kali dalam surah Al-Maidah/5; 27-31, Q.S Yasin/36; 60,
dan Q.S Al-A‟raf/7;27. di dalam Al-Qur‟an dijelaskan juga ayat
tentang kemakmuran Q.S Al-An‟am/6; 41, Q.S Saba‟/34; 15, Q.S
Hud/11; 61, Q.S Az-zukhruf/43; 32, Q.S. Al-Baqarah/2; 267.

91
92

2. Term dalam Al-Qur‟an yang merujuk pada manusia ada yang


menunjuk pada makna umum dan ada yang menunjuk pada makna
khusus. terma umum seperti al-basyar, al-ins, al-nas dan al-insan,
sedangkan terma khusus seperti al-rajul, imra‟ah dan sejenisnya .
namun dalam skripsi ini, penulis menjelaskan tentang al-basyar yang
menunjuk pada manusia dari aspek makhluk fisik yang dapat diamati
secara empirik, al-insan yang dapat dihubungkan ke dalam 3aspek,
yaitu: insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khal fah

atau pemikul amanah, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif


diri manusia, dan insan dihubungkan dengan proses penciptaan
manusia. Semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis
atau spiritual, sedangkan al-nas yang mengacu pada manusia sebagai
makhluk sosial. Proses penciptaan manusia terdapat dalam Al-Qur‟an
dan hadits . Al-Qur‟an menjelaskan dengan detail tentang proses
penciptaan manusia, baik manusia pertama maupun manusia
selanjutnya. Hal tersebut dapat dipahami dari penggunaan kata yang
digunakan mulai dari turab berubah menjadi tin, berubah menjadi
hama‟in masnun dan akhirnya menjadi salsal. Dengan demikian,
penggabungan informasi yang ditemukan dalam Al-Qur‟an dan hadits
menguatkan tentang proses penciptaan tersebut . pada akhirnya proses
penciptaan itu, Allah Swt. meniupkan ruh sebagai penggerak jasadnya.
3. sementara tujuan penciptaan manusia, di sisi lain, ditemukan dalam
surah Ad-Dzariyat ayat 56-58, Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak
menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi aku makan. sesungguhnya Allah Dialah Maha
pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat Kukuh.

Dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia sebagai khal fah seperti

diinformasikan pada surah Al-Baqarah ayat 30 Sejumlah aturan berupa perintah


93

dan larangan yang harus dipatuhi. Dalam pelaksanaan yang dilakukan sesuai
dengan aturan Allah itu dinilai sebagai ibadah . dari dua ayat ini biasa dipahami ,
bahwa tujuan penciptaan manusia adalah agar supaya manusia itu melaksanakan.

Salah satu prasyarat mewujudkan persatuan dan kehormanisan dalam


kehidupan manusia ialah kedamaiaan Allah Swt mengutus para nabi untuk
memberi peringatan dan keputusan tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Manusia niscaya bekerja sama dan saling menopong demi kebahagiaan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Manusia niscaya berjuang untuk
menegakkan kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. kezaliman, apapun
bentuknya, dimanapun dan kapanpun, harus disingkirkan.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang dapat diberikan adalah


sebagai berikut:

1. Perlu diadakannya sosialisasi dengan cara yang efisien. Kegiatan tersebut


diharapkan bisa memberi wawasan lebih terhadap manusia mengenai
pengelolaan alam dan mengenai kerukunan hidup dalam bumi untuk
menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
2. Masalah Pengelolaan alam bukan lagi menjadi masalah bagi masyarakat
secara umum tergantung ingin mengelolahnya. Oleh sebab itu itu alangkah
baiknya kita sebagai manusia sewajarnya menjaga alam dan
mengelolahnya dan tidak merusaknya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Lajnah pentashih Al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan Terjemahan. Bandung: Syaamil


Qur‟an, 2012.

Buku

Ash- Shiddieqy Hasbi Muhammad, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Al- Maraghi Mustahafa Ahmad, Tafsir Al-Maraghi.

Abdullah Saleh Rahman Abdur, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an,


Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Ali Daud Muhammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1998.

Al-Ghazali, Menjelang Hidayah Mukadimah Ihya Ulumuddin, Bandung: Mizan,


1985.

Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, Bandung: Mizan, 1984.

Al-Ghazali, Aku mencintaimu Allah, Cikurang: 2007.

Al-Qaradhawi Yusuf, Islam Agama Ramah Lingkungan, Jakarta Timur: Putaka,


Al-Kautsar,2002.

Al-Farmawi Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu‟iy, Jakarta, Raja Grafindo,


1995.

Bucaille Maurice, Asal Usul Manusia, Menurut Bibel Al-Qur‟an Sains,


Bandung: pt, Mizan, 1984

Carrel Alexia, Misteri-Manusia, Bandung: PT, Remadja Karya, 1987.

94
95

Chandra Julius, Dan Dahler Franz, Asal Dan Tujuan Manusia, Yogyakarta:
Kanisius (Anggota Ikapi), 1971.

Daudy Ahmad, Allah Dan Manusia, pt, Raja Wali, 1983.

Daghfaq Abdullah Yusuf, Berbuat Adil jalan menuju bahagia, Jakarta: Gema
Insani press, 1995

Dawabah M. Asyraf, Menjadi Penguasa Muslim, Jakarta Timur: 2005.

Haddad Abdullah Sayyid Allamah, Thariqah Menuju Kebahagiaan,


Bandung:Mizan, 1086.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun,


1965.

Iqbal Sirojuddin Mashuri, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung : Angkasa, 2005


Kamal Allamah, Fakih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, Jakarta: Al-Huda, 2004.

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jakarta, Lentera Abadi, 2010.

Mukham Munir Abdul, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammad Diyah,
Dalam perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Machasin, Menyelami kebebasan Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offser,


1996.

Muhammad Sakho Ahsin, Membumikan Ulumul Qur‟an, Jakarta: Qaf, 2019..

Nasution Yasir Muhammad, Manusia menurut Al-Ghazali, Jakarta: Raja Wali,


1998.

Nasution Yasir Muhammad, Manusia menurut Al-Ghazali, Jakarta: Raja Wali,


1988.

Sarwar H.G, Filsafat Al-Qur‟an, Jakarta: Raja Wali, 1991.


96

Salim Muin Abd, Fiqih Siyasah (Konsepsi kekuasaan politik Dalam Al-Qur‟an,
Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1995.

Nawawi Hadari,Demi Masa Di Bumi Di Sisi Allah SWT, Yogyarta: Gadjah Mada
University Press Anggota Ikapi, 1995.

Faizin Hamam, Sejarah pencetakan Al-Qur‟an, Yogyakarta : Era baru Pressindo,


2012
Sakho Ahsin, Keberkahan Al-Qur‟an, Jakarta : Qaf, 2017
Suma Amin, Tafsir Ayat Ekonomi Teks, Terjemah, dan Tafsir, Jakarta : Amzah,
2015
Schimmel Ahnemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986.

Sarwar,Filsafat Al-Qur‟an, Jakarta: Raja Wali, 1991.

Shihab, Quraish, Pengantin Al-Qur‟an, Tenggerang: Lentera hati, 2015.

Shihab Quraish, Kaidah Tafsir, Tenggerang: Lentera Hati, 2013.

Shihab Quraish, Sejarah „Ulumul Al- Qur‟an ,Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008
Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, kualitatif, Bandung : Alfabeta, 2018
Shihab Umar, Kontekstualitas Al-Qur‟an, Jakarta: Penamadani, 2003
Tafsir Jalalain, Diterjemahkan Dari Buku Asli yang berjudul “Terjemahan Tafsir
Jalalain Berikut As-Baabun Nuzul” Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan
Jalaluddin As-Syuthi, Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 1999.
Sarwar H.G, Filsafat Al-Qur‟an, Jakarta: Raja Wali, 1991.

Salim Muin Abd, Fiqih Siyasah (Konsepsi kekuasaan politik Dalam Al-Qur‟an,
Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1995

Tafsir Ibn Katsir, Diterjemahkan Dari Buku Asli yang Berjudul “ Terjemahan
Singkat Tafsir Ibnu Katsir”, Salim Bahreisy Dan Said Bahreisy, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2005.
97

Pulungan Suyuthi.J, Fiqh, Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.

Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya Filsafat Manusia, Jakarta: PT, Bina


Aksara, 1970.

Qardawi Yusuf,et,al., kebangkitan Islam Dalam Perbincangan Para Pakar,


Jakarta:Gema Insani Pess, 1998

Zaini Syahminan, Isi Pokok Ajaran Al-qur‟an,Jakarta : Kalam Mulia, 2005


Jurnal
Nuryamin. “Kedudukan Manusia Di Dunia Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Islam”. Jurnal, Vol. VII. No.2. (2018).
Rizal Syamsul, “Melacak Terminologi Manusia Dalam Al-Qur‟an”. Jurnal At-
Tibyan, Vol. 2, No. 2 (2018).
Chirzin Muhammad. “Etika Al-Qur‟an Menuju Masyarakat Adil Dan Makmur”.
Jurnal Studi Al-Qur‟an Dan Hadis Vol.1, No. 2 (2017).
Abqari Muhammad. “Bentuk Bumi Dalam Pespektif Al-Qur‟an”. Skripsi.
Semarang: Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Serjana
Agama (S.1) UIN Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2017.
Agung leo, Sunardi, Watsiqotul. “ Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka
Bumi Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam”. Tesis. Surakarta: Program
Magister Pendidikan sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2018.
Makmur. “Pandangan Al-Qur‟an Dalam Politik”. Jurnal Penelitian dan
penngabdian Masyarakat, Vol 1, No. 1 (2019).
Rosowulan Titis. “Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduannya dalam
Perspektif Al-Qur‟an”. Jurnal Studi Islam, Vol, 14. No. 1 (2019).
Ghaffar Abdur. “Manusia Dalam Perspektif Al-Qur‟an”. Jurnal, Vol. 4, Nol. 2
(2016)
Abdullah Dudung. “Perspektif Al-Qur‟an Tentang Posisi Manusia Dalam
Memakmurkan Alam Raya”. Jurnal, Vol. 5, No.1 (2016), 15-17.
98

Amin Muhammad. “Wawasan Al-Qur‟an Tentang Manusia Dan Lingkungan


Hidup Sebuah Kajian Tafsir Tematik”.Tesis. Palembang: Program Pasca
Sarjana UIN Raden Fatah Palembang, 2016.
Khalik Tholib Abu. “Negara Adil Makmur Dalam Perspektif Founding Fathers
Negara Indonesia Dan Filosof Muslim”. Skripsi. Lampung: Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung, 2016.
Rahim. Abd. “ Khalifah Dan Khilafah Menurut Al-Qur‟an” Tesis. Makassar”:
Program Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar, 2012.
Web-site
Malikhatundayyanah. “Tugas Manusia Sebagai Khalifah Di Muka Bumi”.
https://malikhayatundayya/2015/11/24/tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi/. Tanggal 26 Februari 2020.(20:51).
Mukit. “peran khalifah dalam perkembangan perekonomian islam”. Diakses
www.kompasiansa.com/mukit/ 58b2efee9273271365d108/ peran khalifah
dalam perkembanganperenomian islam page=all. Tanggal 26 Februari 2020.
(21-11).
Qothrotulfalah. “Tugas kekhalifahan membangun”. https://qothrotulfalah.com
/home/literatur/artikel santri/125 tugas kekhalifahan tugas membangun.htm
99

CURICULUM VITAE

A. Informasi Diri

Nama : Husnul khotimah

Tempat, Tanggal lahir : Desa Ngaol, 18 Agustus 1994

Pekerjaan : Mahasiswi

Alamat : Perumahan Griya Sungai Duren Indah

Rt.11, Blok A. Kec. JalukoKab,Muaro Jambi

Prov. Jambi

B. Riwayat Pendidikan

1. Memperoleh gelar S 1 (Strata Satu) di UIN STS Jambi pada Tahun


2020
2. Pondok Pesentren Salafiyah Tingkat Paket B (Wustha) Darul
Muhajirin pada tahun 2011
3. (UN) Paket C Setara Sekolah Menengah Atas (PKBM) Pangkalan
Jambu pada tahun 2016
4. Sekolah Dasar Negeri Desa Ngaol 2006/2007

Anda mungkin juga menyukai