Anda di halaman 1dari 13

METODE PENELITIAN HUKUM

A.Latar Belakang

Ilmu adalah sesuatu yang ada disekitar kita, yang terkadang kita tidak menyadari

bahwa ilmu itu juga biasa tercipta dari lingkungan yang kita hidup didalamnya. Ilmu tidak

akan bias hilang karena ilmu adalah kekal. Ilmu hanya bisa dicegah penurunanya apabila

seseorang yang memiliki ilmu diambil nyawanya oleh maha kuasa, ilmu bisa miliki oleh

siapa saja bagi yang ingin mempelajarinya dan memahaminya. Ilmu bisa berguna bagi

kehidupan manusia atau pun bahkan malah menjadi kerusakan bagi manusia apabila orang

yang mempelajarinya tidak mau menurunkannya kepada orang lain atau malah

memanipulasinya untuk kepentingan pribadi.

Ilmu merupakan anugerah dari tuhan yang maha kuasa, bahkan tuhan sendiri telah

mewajibkan kepada manusia untuk mempelajari dan memahami tiga ilmu yang

berhubungan dengan ibadah bagi umat islam, diantaranya ilmu al-qur’an,ilmu al-hadistdan

terakhir ilmu fara’id (ilmu waris). Diantara tiga ilmu tersebut ada ilmu yang mewakili

setengah ilmu yang ada di dunia yaitu ilmu fara’id.ilmu fara’id(ilmu waris) ini sangat

penting karena menyangkut kehidupan manusia yang berhubungan dengan harta kekayaan.

Seandainya ilmu ini tidak ada yang mau mempelajarinya maka rusaklah kehidupan

manusia dibumi karena memperebutkan harta waris.

Harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang telah meninggal didunia

memiliki ahli waris yang berhak mendapatkan bagian-bagian harta waris

1
tersebut . Harta warisan tidak halal apabila diperebutkan oleh selain ahli waris.harta

warisan juga tidak bisa diwasiatkan sepenuhnya hanya kepada satu orang atau satu ahli

waris saja. Hanya sebagian tertentu saja yang boleh diwasiatkan dan tidak boleh sampai

membuat ahli waris tidak dapat bagian yang seharusnya, sehingga menjadikannya

teraniaya.

Sebelum harta waris bisa dibagi kepada ahli waris ada bebrapa hal yang penting

yang perlu diselesaikan dahulu, seperti hutang, harta gono-gini (harta yang bercampur

antara suami dan istri), wasiat dan lain-lain yang bersangkutan dengan pemilik harta waris

yang sudah meninggal, jika setelah penyeselain masalah tadi harta waris tersisa sedikit

atau habis, maka ahli waris harus menerimanya. Tetapi apabila masih menyisakan hutang

maka ahli waris wajib melunasi hutang tersebut.

Dan Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan,

yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan

(muwarrits), setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan (waratsah)

dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.

Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak terkait dengan

harta peninggalan si mayit. Orang-orang Arab di masa jahiliyah telah mengenal sistem

waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua

sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan tertentu, yaitu :

1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (qarabah).

Adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki yang dewasa yang ditandai

dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta rampasan

2
perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli

waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki,

paman, dan lainnya.

2. Persyaratan diatas mempunyai motivasi untuk menyisihkan anak-anak yang belum

dewasa dan kaum perempuan dari menerima pusaka.

Kaum perempuan karena fisiknya yang lemah dan tidak memungkinkan untuk

memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang lemah

disisihkan dari menerima pusaka. Dengan demikian maka semua ahli waris terdiri

dari kaum laki-laki.

3. Muhammad Yusuf Musa mengutip pendapat Jawwad yang mengatakan bahwa :

Riwayat-riwayat yang menerangkan pusaka orang perempuan dan istri masyarakat

jahiliyah itu bertentangan satu sama lain. Tetapi dari kebanyakan riwayat-riwayat

tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mempusakai sama sekali.

Namun, ada juga beberapa riwayat yang dapat difahamkan bahwa orang-orang

perempuan dan istri-istri itu dapat mempusakai harta peninggalan kerabatnya dan

suaminya dan tradisi yang melarang kaum wanita mempusakai harta peninggalan ahli

warisnya tidak merata pada seluruh kabilah, tetapi hanya khusus pada beberapa

kabilah, terutama banyak dilakukan orang-orang hijaz saja. Seterusnya beliau juga

menerangkan suatu riwayat yang menerangkan bahwa orang yang pertama-tama

3
memberikan pusaka kepada anak-anak perempuan jahiliyah ialah Dzul-Masajid ‘Amir bin

Jusyam bin Ghunm bin Habib. Ia mempusakakan harta peninggalannya kepada anak-

anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat

bagian anak perempuan. Disamping itu beliau juga menerangkan bahwa seorang anak yang

diadopsi oleh seseorang berstatus sebagai anak kandungnya sendiri dan anak diluar

perkawinan (anak zina) – pun dinasabkan kepada ayah mereka sehingga mereka

mempunyai hak mempusakai penuh.

Sebab atau alasan tertentu, yaitu :

a. Berdasarkan Janji setia

Yaitu dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan : “Darahku adalah

darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku

menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.” Sebagai

akibat dari ikatan perjanjian ini bila salah seorang meninggal dunia, pihak lain

berhak mempusakai harta peninggalan yang mendahuluinya sebanyak seper-enam.

Sisa harta setelah dikurang seper-enam dibagi-bagikan kepada ahli waris orang

yang meninggal.

b. Adopsi (Pengangkatan anak)

Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya.

Adopsi merupakan salah satu adat bangsa Arab yang sudah dikenal

di masa Jahiliyah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama,

4
mereka menjadikan adopsi salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan

perempuan dari orang tua yang mengadopsinya, haramnya anak laki-laki yang

diadopsi menikahi istri orang yang mengadopsinya. Kedua, mereka menjadikan

adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.

Di Indonesia, hukum Islam telah masuk secara damai sejak abad ke-7 Masehi atau

tepat abad ke-1 Hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 Hijriah. Ketika

wilayah nusantara dikuasai oleh para sultan dan raja-raja, maka hukum Islam diberlakukan

di wilayahnya, demikian juga dengan permasalahan hukum waris. Ketika VOC datang,

kebijakan yang dilaksanakan Sultan tetap dipertahankan di daerah kekuasaannya. Bahkan

dalam banyak hal mereka memberikan kemudahan, kondisi ini terus berlangsung sampai

penyerahan kekuasaan VOC kepada pemerintah kolonial Belanda dan masa itu terkenal

dengan masa berlakunya teori receptie in complexu, yakni hukum yang berlaku bagi

seseorang adalah hukum agama yang dianutnya.

Dalam perkembangannya pemerintah kolonial meneruskan apa yang ditempuh

VOC, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab pemerintah kolonial Belanda

mengubah pendirian ini akibat teori receptie, yaitu hukum yang berlaku dalam realita

masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat diberlakukan kalau sudah

beradaptasi dengan hukum adat, yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini

didukung oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, dan beberapa muridnya.Akibat teori ini

perkembangan dalam hukum Islam menjadi terhenti sebab pemerintah kolonial

mengeluarkan kebijakan baru yaitu Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 yang membatasi

5
kewenangan Peradilan Agama, antara lain melakukan pembatasan terhadap kewenangan

Peradilan Agama yang hanya terbatas pada masalah perkawinan, sedangkan masalah

kewarisan, hibah, wasiat, hadhanah dimasukkan kedalam wewenang Peradilan Umum.

Pengaruh lain dari teori receptie ini adalah timbulnya tiga sistem hukum pasca

kemerdekaan, yaitu sistem hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam dalam

penyelenggaaraan hukum di Indonesia hal ini karena pengaruh teori ini sangat kuat dalam

berbagai institusi pemerintah.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pemerintah melalui Departemen Agama

berusaha meluruskan persepsi tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Disamping itu, lahir beberapa teori baru yang menentang teori tersebut, diantaranya teori

receptie exit oleh Hazairin, teori receptie a contrario oleh Sayuthi Talib, teori eksistensi

yang disponsori Ichtijanto, dan teori pembaruan yang disponsori Busthanul Arifin dan

rekan-rekannya.

Disamping itu, Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama telah

mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan

kepada Pengadilan Agama agar para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara supaya berpedoman kepada 13 Kitab Fikih, yaitu Al Bajuri, Fathul Mu’in,

Syarqawi alat Tahrir, Qulyubi/Muhalli, Fathul Wahab dengan syarahnya, Tuhfah,

Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syariah Lissayid Usman bin Yahya, Qawaninusy

Syar’iyah Lisayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Fara’idh, Bughyatul Murtasydin, al-

Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj. Namun ternyata dalam pelaksanaan

menimbulkan banyak kendala, karena ternyata dalam pelaksanaan ada pihak-pihak yang

6
menunjukkan kitab-kitab lain sebagai solusi menyelesaikan masalah tersebut. Situasi

tersebut mendorong para pakar untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam terutama

dalam bidang hukum keluarga.

Langkah awal dari usaha ini adalah memperbaharui Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1946 tentang NTR (Nikah, Talak, Rujuk), kemudian diperbaharui lagi oleh Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam yang

didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat tiga buku, yaitu

bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf. Sebagaimana diketahui,

akibat dari lahirnya teori receptie terdapat tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum

Islam, hukum Perdata Barat, dan hukum Adat. Demikian pula hukum waris di Indonesia

berbeda-beda, antara lain :

1. Adanya hukum waris Islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia.

2. Adanya hukum waris menurut hukum perdata barat yang berlaku untuk golongan

penduduk yang tunduk pada hukum perdata barat.

3. Adanya hukum adat yang disana-sini berbeda tergantung pada daerah masing-

masing yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat

Hal ini didasarkan pada penggolongan penduduk menurut ketentuan Pasal 131 Pasal 163

Indische Staatsregeling, yaitu :

1. Orang-orang Belanda.

2. Orang-orang Eropa yang lain.

7
3. Orang-orang Jepang dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok

satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-asas hukum keluarga

yang sama.

4. Orag-orang pribumi yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih lanjut

Berdasarkan Pasal 131 jo, Pasal 163 Indische Staatsregeling, hukum waris yang

diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang

dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut. Berdasarkan Stb. 1917 No. 129, hukum

waris perdata berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa. Kemudian berdasarkan Stb.

1924 No. 557 hukum waris dalam KUH Perdata berlaku bagi orang- orang timur asing

Tionghoa di seluruh Indonesia.18 Hukum waris sama halnya dengan hukum perkawinan

merupakan bidang hukum yang sensitif atau rawan.

Keadaan yang demikian menyebabkan unifikasi hukum semakin sulit. Walaupun

telah ada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun 1974), namun masih ada

hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tersebut terutama dalam hal harta

perkawinan dan kewarisan sehingga melalui ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 masih tetap berlaku ketentuan hukum yang lama.20

Ketentuan penutup, Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

berbunyi :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan

berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang.

8
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen

(Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan

Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. Surini Ahlan Sjarif dan

Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.3.

18 Ibid. 19 R. Subekti, Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum

Waris. dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur

dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Melalui ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUH Perdata masih

berlaku bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa dan Eropa. Sebagaimana

dinyatakan Subekti : “Ini berarti bahwa KUH Perdata (BW) dan lain-lain undang-undang

tersebut tadi masih berlaku sekedar mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”22 Hal ini dipertegas dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan Ketua/Hakim

Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus Tahun 1975 No. M.A./Penb/0807/75, tentang

petunjuk-petunjuk pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975. Hal-hal

mengenai hukum waris sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum

Perdata tersebut, tentu saja hanya

berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUH Perdata, khususnya

Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.

Salah satu masalah hukum waris yang ada di Indonesia adalah mengenai anak luar

kawin, dimana terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara hukum Islam yang

berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dengan hukum perdata barat

9
yang berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUH Perdata,

khususnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa. Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU No. (1) Tahun 1974)

menyebutkan :

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.”

Jadi, walaupun sebuah pasangan telah melangsungkan perkawinan yang sah

berdasarkan hukum agamanya dan hukum adatnya, namun juga belum bisa disebut sebagai

perkawinan yang sah menurut hukum positif Indonesia. Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun

1974, menyebutkan :

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dengan demikian, maka hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang

membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada,

sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam

Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek). Dalam ayat selanjutnya pasal tersebut disebutkan bahwa selanjutnya kedudukan

anak tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, sampai saat ini PP

10
tersebut belum juga diatur.

Hal ini menimbulkan suatu ketidak adilan dan ketidak pastian hukum, terutama

Bagi anak dan ibu, sedangkan posisi pihak lelaki yang membenihkan sangat

menguntungkan, karena dari segi hukum tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa

terhadap si ibu dan si anak. Apalagi kedua sistem hukum, hukum Islam dan hukum perdata

BW menganut hal tersebut, karena salah satu tujuan perkawinan adalah memelihara

keturunan / nasab. Sehingga, hal ini dapat dikatakan bertentangan dengan hak-hak anak,

antara lain seperti yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak-

hak Anak dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, yaitu

hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan diasuh orang tuanya,

dan hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga. Hak-hak

anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia,

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52, yaitu :

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,

masyarakat dan Negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak

itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Allah SWT juga berfirman dalam Q. S. Al-Anam ayat 164, yang artinya :

“…Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..”

Dengan bertitik tolak pada ayat ini, sebagai orang pribadi tidak seharusnya sang

11
anak bertanggung jawab terhadap dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Anak

tersebut juga berhak mendapatkan perlindungan sebagai anak yang tak berdosa. Yaitu

mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang- undang Hukum

Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan anak, yaitu terhadap anak luar kawin

bukan terhadap anak zina dan anak sumbang.

Pada penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan

Agama (UU No. 3 Tahun 2006) khususnya huruf a disebutkan perkawinan adalah hal-hal

yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku

yang dilakukan menurut syariah, antara lain : adalah penetapan asal-usul seorang anak dan

penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini berkaitan dengan

perkara pengesahan anak, yang dalam bahasa Arab disebut Istilhaq. Sedangkan

pengangkatan anak masuk dalam pengertian tabany atau adopsi.

Terhadap anak yang telah mendapat pengesahan, maka timbul hubungan hukum

yang jelas antara ia dan kedua orang tuanya, demikian juga mengenai hak-

hak waris yang termasuk didalamnya. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah

tidak bersedia untuk mengakui atau mengesahkan anaknya, bagaimana perlindungan

hukum terhadap si anak tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi

Hukum Islam(KHI) ?

12

2. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata
BW?

3. Bagaimanakah perbandingan status hak waris anak luar kawin antara

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW ?

13

Anda mungkin juga menyukai