Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Hukum Perkawinan Di Indonesia Hj. Yuliyanti, S.A.g.M.H.I

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Oleh Kelompok 2 :

Rahmah Fitriah : 19.11.1009


Nur Mufidah : 19.11.1005
Siti Rahmah : 19.11.1017
Wardaniah : 19.11.1021
Syarifah : 19.11.1019

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
MARTAPURA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang yang telah melimpahkan rahmat taufik serta hidayah-Nya sehingga
terwujud makalah Hukum Perkawinan Di Indonesia yang bertemakan “Syarat-
syarat Perkawinan”. Kami juga berterima kasih kepada Ibu Hj. Yuliyanti,
S.A.g.M.H.I selaku Dosen pembimbing kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan serta
pengetahuan yang lebih mendalam. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangannya, baik dari
segi tata bahasa maupun dalam hal segi lainnya. Oleh karena itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Untuk itu harapan besar jika adanya kritik, saran dan
juga usulan yang membangun demi sempurnanya makalah yang telah dibuat,
karena tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya kritik dan juga saran yang
bersifat membangun.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan Hukum Perkawinan
Di Indonesia. Semoga Allah yang maha pengasih dan maha penyayang selalu
memberikan petunjuk kepada kita dalam pembuatan generasi yang berakhlakul
karimah, cinta bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amiin.

Martapura, 06 Oktober 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Islam .................................................. 3


B. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Perundang-undangan ......................... 8
C. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam ................... 10

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 15

A. Kesimpulan ............................................................................................. 15
B. Saran ....................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun


keinginan didalam dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta
kewajiban dari seorang manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan
tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan,
lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt. Sehingga mereka
yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun
di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Menikah
merupakan perintah dari Allah Swt. Seperti dalil berikut ini:

ۚ‫ت‬ ‫اج ُك ْم َبىِيهَ َو َح َفدَةً َو َرزَ قَ ُك ْم ِمهَ ال ه‬


ِ ‫ط ِيّ َبا‬ ِ ‫َّللاُ َج َع َل لَ ُك ْم ِم ْه أ َ ْوفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا َو َج َع َل لَ ُك ْم ِم ْه أ َ ْز َو‬
‫َو ه‬
َ‫َّللاِ ُه ْم يَ ْكفُ ُرون‬
‫ت ه‬ ِ ‫اط ِل يُؤْ ِمىُونَ َوبِىِ ْع َم‬ ِ َ‫أَفَبِ ْالب‬

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu,
serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”(An-Nahl;72)

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk sebuah
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang perkawinan telah menetapkan dasar dan syarat


yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah-satunya yaitu yang
tercantum dalam pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang berbunyi. “perkawinan hanya diijinkan jika

1
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai
umur 16 tahun.

B. RUMUSAN MASALAH
a) Bagaimana Syarat-syarat Perkawinan Dalam Islam?
b) Bagaimana Syarat-syarat Perkawinan Dalam Perundang-
undangan?

c) Bagaimana Syarat-syarat Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum


Islam?

C. TUJUAN PENELITIAN
a) Untuk Memahami Syarat-syarat Perkawinan Dalam Islam.
b) Untuk Memahami Syarat-syarat Perkawinan Dalam Perundang-
undangan.
c) Untuk Mngetahui Syarat-syarat Perkawinan Dalam Kompilasi
Hukum Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Islam

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki


dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga bahagia. Demikian menurut
Dr. Anwar Haryono, SH. 1
Pada garis besarnya, syarat sah pernikahan itu ada dua, yaitu:
1) Laki-laki dan perempuanya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon
pengantin adalahn orang yang bukan haram dinikahi, baik karena haram
untuk sementara atau selamanya.
2) Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
Jadi, perkawinan itu adalah suatu aqad (perjanjian) yang suci untuk hidup
sebagai suami isteri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur
umumnya adalah sebagai berikut:2
1. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita.
2. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah,
dan rahmah).
3. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesempuranaan baik moral, materil
maupun spritual.
Unsur-unsur baik yang merupakan syarat dan rukun perkawinan Islam itu
adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantinan perempuan,
sedangkan di antara keduanya harus ada persetujuan bebas. Persyaratan ini
didasarkan kepemikiran yang rasional logis, bahwa tidaklah dapat dikatakan
adanya perkawinan bila hanya ada seorang laki-laki saja atau seorang
perempuan saja. Disamping itu calon pengantin laki-laki itu harus jelas laki-
lakinya, dan calon pengantin wanita itu jelas pula wanitanya.

1
Hazarin, Tinjauan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta 1975, hal
38.
2
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan
Zakat Menurut Hukum Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2006, hal 45.

3
2. Harus ada 2 (dua) orang saksi yang beragama Islam, laki-laki, aqil, balig,
dan „adl (tidak berdosa besar). Secara konkret/tegas mengenai saksi ini tidak
diatur di dalam Al-Quran, tetapi berdasarkan analogi (qias) dapat ditafsirkan
dari Al-Quran II:282 yang mengatur tentang muamalah dan Al-Quran Surah
At-Talaq ayat 2 (Q.LXV:2) yang mengatur tentang kesaksian mengenai
talaq.
۟ ًُ ‫ع ْذ ٍل ِّيُ ُك ْى َٔأَقِي‬
‫ٕا‬ ۟ ‫سكٍَُُّْٕ بِ ًَ ْع ُشٔفٍ أ َ ْٔ فَ ِاسقٍَُُّْٕ بِ ًَ ْع ُشٔفٍ َٔأَش ِْٓذ‬
َ ْٖ َٔ َ‫ُٔا ر‬ ِ ‫فَ ِئرَا بَ َه ْغٍَ أ َ َجهَ ٍَُّٓ فَأ َ ْي‬
﴾٢﴿ ‫ق ٱ َّّلِلَ يَجْ عَم نَّّۥُ َي ْخ َش ًجا‬ ِ ‫ظ بِ ِّۦ َيٍ كَاٌَ يُؤْ ِيٍُ بِٱ َّّلِلِ َٔٱ ْنيَ ْٕ ِو ٱ ْل َء‬
ِ َّ ‫اخ ِش َٔ َيٍ يَخ‬ ُ ‫ع‬َ ُٕ‫ش َٰ َٓ َذةَ ِ َّّلِلِ َٰرَ ِن ُك ْى ي‬
َّ ‫ٱن‬
Artinya “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.”
Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:3
 Berakal, bukan orang gila,
 Balig, bukan anak-anak,
 Merdeka, bukan budak,
 Islam,
 Kedua orang saksi itu mendengar.
3. Harus ada wali dari calon pengantin wanita menurut Mazhab Syafi‟I
bersumber Hukum Al-Quran Surah XXIV ayat 32.
ْ َ‫ٕا فُ َق َشآ َء يُ ْغُِ ِٓ ُى ٱ َّّلِلُ ِيٍ ف‬
ُ‫ض ِه ِّۦ َٔٱ َّّلِل‬ َّ َٰ ‫ٕا ٱ ْْل َ َٰيَ ًَ َٰٗ ِيُ ُك ْى َٔٱن‬
۟ َُُٕ‫ص ِه ِحيٍَ ِي ٍْ ِعبَا ِد ُك ْى َٔإِ َيآئِ ُك ْى إٌِ يَك‬ ۟ ‫َٔأََ ِك ُح‬
﴾٢٢﴿ ‫ع ِهي ٌى‬ َ ‫س ٌع‬ ِ َٔ َٰ

Artinya “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

3
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung 1999, hal 64

4
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dari aisyah, Rasulullah bersabda:
“Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua saksi yang aqil”(H.R.
Daruquthni)4
Tetapi menurut pendapat mazhab Imam Abu Hanifa (Hanafi), wali itu tidak
merupakan syarat akad nikah kecuali kalau yang akan menikah itu anak
perempuan yang masih di bawah umur (belum aqil balig).5
4. Kewajiban membayar mahar (mas kawin) dari pihak pengantin laki-laki
kepada pengantin wanita (Q. IV:4 dan 25)
َٰ َ ‫سا ٓ َء‬ ۟ ‫َٔ َءاح‬
ً ‫ص ُذ َقخِ ٍَِّٓ َِحْ هَتً َف ِئٌ ِط ْبٍَ نَ ُك ْى عٍَ ش َْٗءٍ ِ ّي ُُّْ ََ ْف‬
﴾٤﴿ ‫سا َف ُكهُٕ ُِ َُِْ ٓيـًٔا َّي ِش ٓيـًٔا‬ َ ُِّ‫ُٕا ٱن‬
Artinya “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.”.

‫ج‬ِ ََُٰ ‫ج فَ ًٍِ َّيا َيهَكَجْ أ َ ْي َٰ ًَُُكُى ِّيٍ فَخ َ َٰيَخِ ُك ُى ٱ ْن ًُؤْ ِي‬ ِ ََُٰ ‫ج ٱ ْن ًُؤْ ِي‬
ِ ََُٰ ‫ص‬
َ ْ‫سخَ ِط ْع ِيُ ُك ْى َط ْٕ ًًل أٌَ يَُ ِك َح ٱ ْن ًُح‬ ْ َ‫َٔ َيٍ نَّ ْى ي‬
ٍ ََُٰ ‫ص‬
‫ج‬ َ ْ‫ٔف ُيح‬ ِ ‫ٕسٍَُّْ بِٱ ْن ًَ ْع ُش‬ َ ‫ض فَٱَ ِك ُحٍَُّْٕ بِ ِئ ْر ٌِ أ َ ْْ ِه ٍَِّٓ َٔ َءاح ٍَُُّْٕ أ ُ ُج‬ ٍ ‫ضكُى ِ ّي ٍۢ بَ ْع‬ ُ ‫َٔٱ َّّلِلُ أ َ ْعهَ ُى بِ ِئي َٰ ًَُِكُى بَ ْع‬
ٍَ‫ج ِي‬ ِ ََُٰ ‫ص‬
َ ْ‫عهَٗ ٱ ْن ًُح‬ َ ‫ْف َيا‬ ُ ‫ش ٍت فَعَ َهي ٍَِّْٓ َِص‬ َ ‫َاٌ فَ ِئرَآ أُحْ ِصٍَّ فَ ِئ ٌْ أَح َ ْيٍَ ِب َٰفَ ِح‬
ٍ ‫ث أ َ ْخذ‬ ِ َ‫ج َٔ ًَل ُيخ َّ ِخ َٰز‬
ٍ ‫س ِف َٰ َح‬ َ َٰ ‫غي َْش ُي‬َ
۟ ‫ص ِب ُش‬ ْ َ ‫ِٗ ٱ ْنعَ َُجَ ِيُ ُك ْى َٔأٌَ ح‬ َٰ ‫ٱ ْنعَزَا‬
﴾٢٢﴿ ‫ٕس َّس ِحي ٌى‬ ٌ ‫غ ُف‬ َ ُ‫ٔا َخي ٌْش َّن ُك ْى َٔٱ َّّلِل‬ َ ‫ب رَ ِنكَ ِن ًَ ٍْ َخش‬ ِ

Artinya “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-
wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerbit PT Alma‟rif, Bandung 1980, hal 88
5
H. Zahry Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
Islam, Penerbit Bina Cipta, Jakarta,1978, hal.29.

5
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang
keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan
zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Mengenai jumlahnya tidak merupakan masalah, sedikit atau banyak
bergantung kepada kemampuan calon pengantin perempuan. Bilamana tidak
betul, dapat hanya berupa 2 (dua) pasangan terompah kayu saja.
5. perkawinan itu di samping harus disaksikan oleh dua orang saksi, harus
dicatat dituliskan dengan katibun bil‟adil (khatab atau penulis yang adil di
antara kamu). Q.II:282, mengatur bilamana kamu bermuamalah (perjanjian
dagang, jual beli, utang-piutang) dalam waktu yang tertentu (lama), maka
hendaklah kamu hadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki dan tuliskanlah
dengan penulis yang adil.6 Q.IV:21, mengatur, perkawinan itu adalah suatu
perjanjian yang suci, kuat dan kokoh (miitsaaqan ghaliizhan). Trasanksi
perdagangan berupa jual beli, utang-piutang saja harus dituliskan, betapa
lagi perjanjian perkawinan yang suci kuat dan kokoh dan mempunyai akibat
hukum yang luas turun-temurun terhadap anak-anak dan kewarisan.
6. Harus ada pengucapan (sighat) “Ijab dan Kabul” antara kedua pengantin itu.
Ijab artinya penawaran dari calon pengantin wanita biasanya menurut
mazhab Syafi‟I dilakukan oleh walinya, sedangkan “Qabul” artinya
penerimaan nikah itu oleh calon pengantin pria, maka resmilah antara
wanita yang mengucapkan ikrar (lafaz) ijab dengan pria yang mengucapkan
lafaz qabul itu menjadi pasangan suami isteri.
Sigat, yaitu ibarat dari ijab dan qabul, dengan syarat sebagai berikut:7

6
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, proyek Penerbit Kitab Suci Al-Quran,
Jakarta 1978, hal 70.
7
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat, hal 63-64.

6
1) Menggunakan lafal tertentu, baik dengan lafal sarih misalnya:
Tazwij ‫ تسويج‬atau Inkahin ‫اوكاح‬ maupun dengan lafal kinayah,
seperti:
 Lafal yang mengandung arti akad untuk memiliki, misalnya:
Saya sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak
saya kepada kamu, dan sebagainya.
 Lafal yang mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya:
Milikilah diri saya untukmu, milikilah anak perempuan saya
untukmu dengan Rp.500,00.
 Dengan lafal ijarah atau wasiat, misalnya: Saya ijarahkan diri
saya untukmu, saya berwasiat jika saya mati anak perempuan
saya untukmu.
2) Ijab dan kabul, dengan syarat yang dilakukan dalam salah satu
majlis.
3) Sigat didengar oleh orang-orang yang menyaksikannya.
4) Antara ijab dan kabul tidak berbeda maksud dan tujuannya.
5) Lafal sigat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
7. Namun untuk memformulering secara resmi ijab dan qabul itu diperlakukan
suatu lembaga lain lagi yakni walimah dan i‟lanu nikah, artinya diadakan
pesta dan pengumuman nikah.

Imam Malik berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:8
1) Wali dari pihak perempuan,
2) Mahar (mas kawin)
3) Calon pengantin pria,
4) Calon pengantin perempuan,
5) Sigat akad nikah.
Sedangkan Imam Syafi‟I berkata bahwa rukun nikah ada lima macam, yaitu:
1) Calon pengantin laki-laki,
2) Calon pengantin perempuan,

8
Ibid, hal 72.

7
3) Wali,
4) Dua orang saksi,
5) Sigat akad nikah.

B. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Perundang-undangan

Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 1974 tercantum dalam Bab II pasal 6 sampai dengan pasal 12.
Dalam pasal 6 dinyatakan bahwa:9
1. Perkawinan harus didasarkan atas pertunjukan kedua calom mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.

9
Widyawati, Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974, Penerbit SL Media,
Tangerang Selatan, hal 9.

8
Kemudian dijelaskan dalam pasal 7 :10
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Dalam pasal 8 dijelaskan perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun ke atas ;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara nenek nya ;
3. Berhubungan semaenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. Berhubungan susuan,yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawan.
Setelah itu dalam pasal 9 dinyatakan: seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Dalam pasal 10
dinyatakan bahwa : Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka
tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepamjamg hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan nya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

10
Widyawati, Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974,hal 10.

9
Kemudian dalam pasal 11 menyatakan bahwa :
1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan di atur dalam
peraturan pemerintah lebih lanjut.
Selanjutnya dalam pasal 12 dijelaskan bahwa : Tata cara pelaksanan
perkawinan di atur dalam perundang-undangan tersendiri.11
Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) peraturan pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 disebutkan bahwa” dengan mengindahkan tata cara perkawinan,
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”12
Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu
peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam suatu akta resmi (surat keterangan) yang dimuat dalam daftar
pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. Pencatatan itu perlu untuk
kepastiam hukum.13

C. Rukun Dan Syarat Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam Di


Indonesia

Bagian Kesatu Rukun Pasal 14:


Untuk melakukan perkawinan harus ada:
a. Calon suami,
b. Calon istri,
c. Wali nikah,
d. Dua orang saksi, dan
e.ijab dan Kabul.
Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15:14

11
Ibid, hal 11.
12
Andi Tahir, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya, Jakarta, Sinar
Grafika, 2005, hal 18
13
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan
Zakat Menurut Hukum Islam, hal 44.
14
Widyawati, Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974,hal 69.

10
1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.
2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 16:
1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas
Pasal 17:
1) Sebelum berlangsung perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat diulang sungkan.
3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tunarungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau syarat yang dapat
dimengerti.
Pasal 18:
Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan
tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VL
Bagian Ketiga Wali Nikah Pasal 19:
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20:
1) Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.
2) Wali nikah terdiri dari:

11
a. Wali nasab,
b. Wali hakim.
Pasal 21:15
1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakri ayah, kakek
dari pihak ayah, dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki
Ketiga, mereka. kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang
hanya seayah.
4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-
sama derajay kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka
sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih
tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22:
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derjat berikutnya.

15
Ibid, hal 70.

12
Pasal 23:16
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau enggan.
2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Bagian Keempat Saksi Nikah Pasal 24:
1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25:
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang laki-
laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
Bagian Kelima Akad Nikah Pasal 27:
ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntung
dan tidak berselang waktu.
Pasal 28:
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29:
1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi.
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas

16
Ibid, hal 71.

13
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh di langsungkan.17

17
Ibid, hal 73.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada garis besarnya, syarat sah pernikahan itu ada dua, yaitu: Laki-lai dan
perempuanya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin adalahn orang
yang bukan haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara atau selamanya.
Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Jadi, perkawinan itu adalah suatu aqad
(perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah, membentuk
keluarga bahagia dan kekal. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tanngga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan “KETUHANAN
YANG MAHA ESA”. Demikian perumusan perkawinan menurut pasal 1 undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat rukun dan
syarat perkawinan, rukun di antaranya adanya calon suami, calon istri, wali nikah,
dua orang saksi, dan ijab qabul.

B. SARAN

Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Kami sangat menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini belum mendekati sempurna bahkan jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga makalah
ini bisa menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, Aminuddin, Fiqih Munakahat, Penerbit CV Pustaka Setia,


Bandung 1999.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, proyek Penerbit Kitab
Suci Al-Quran, Jakarta 1978.
Hamid, Zahry,H, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan Islam, jakarta, Penerbit Bina Cipta, 1978.
Hazarin, Tinjauan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas,
Jakarta 1975.
Ramulyo, Idris, M, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta 2006,
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, Penerbit PT Alma‟rif, Bandung 1980.

16

Anda mungkin juga menyukai