Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit pada saluran pernapasan yang bersifat kronis.
Kondisi ini disebabkan oleh peradangan saluran pernapasan yang menyebabkan hipersensitivitas
bronkus terhadap rangsang dan obstruksi pada jalan napas. Gejala klinis dari penyakit asma yang
biasanya muncul berupa mengi (wheezing), sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari
waktu ke waktu dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Gejala Gejala tersebut biasanya akan
memburuk pada malam hari, terpapar alergen (seperti debu, asap rokok) atau saat sedang
mengalami sakit seperti demam (Global Initiative of Asthma 2018)
Asma merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan di masyarakat dan memiliki angka
kesakitan dan kematian yang tinggi. Asma tidak hanya menyerang anak-anak melainkan seluruh
kelompok usia. Saat ini diperkirakan sebanyak 235 juta orang menderita asma didunia (WHO 2017).
Berdasarkan laporan WHO Desember 2016, tercatat pada tahun 2015 sebanyak 383.000 orang
meninggal karena asma. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional pada tahun 2018
jumlah pasien asma di Indonesia sebesar 2,4 % (Balitbangkes 2018).
Prevalensi asma di Bali cukup tinggi. Berdasarkan laporan Riskesdas Nasional 2018, prevalensi asma
di Bali menempati peringkat ke-3 di Indonesia setelah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
provinsi Kalimantan Timur. Tercatat prevalensi asma di Bali sebesar 3,9 % (Balitbangkes 2018).
Pembangunan kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2014 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, supaya terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomi.

Penderita asma berjumlah sebanyak 300 juta individu. Prevalensi asma secara global berkisar antara
1-16% populasi. Asma di kalangan anak-anak telah menurun beberapa dekade terakhir, prevalensi
gejala telah menurun di Eropa Barat dan meningkat di wilayah dimana prevalensi sebelumnya
rendah. Prevalensi gejala asma di Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur dan Asia terus meningkat
(Global Initiative for Asthma, 2017). World Health Organization (2017) memperkirakan bahwa 13,8
juta mengalami kecacatan. Asma mewakili 1,8% dari total beban penyakit global. Hal ini diperkirakan
bahwa asma menyebabkan 346.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun.

Asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh besar penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak,
dewasa. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (2013) mengatakan bahwa Indonesia mempunyai rata-
rata angka asma nasional sebanyak 4,5% dan beberapa angka provinsi melewati angka rata-rata
nasional dari 18 provinsi tersebut 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur,
DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Peningkatan prevalensi asma secara
nasional pada tahun 2007-2013 didapatkan sebesar 1%.
Penyakit asma merupakan 10 penyakit terbesar pada rawat jalan di pelayanan dasar yaitu 7.683
kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2015). Kasus di Puskesmas se-Kota Pekanbaru angka kesakitan
asma nomor tiga tertinggi dari sepuluh besar kunjungan kasus penyakit tidak menular sebesar 3.506
kasus (Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, 2015). Data dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru (2017)
menyatakan bahwa jumlah kunjungan rawat jalan pada penderita asma diseluruh puskesmas di Kota
Pekanbaru adalah 3.681 kasus. Jumlah kunjungan asma 5 besar tertinggi adalah Puskesmas Rejosari
dengan kunjungan sebanyak 901 kasus, Puskesmas Harapan Raya 320 kasus, Puskesmas Senapelan
285 kasus, Puskesmas Simpang Tiga 250 kasus, dan Puskesmas Payung Sekaki 212 kasus.
American Academy of Allergy Asthma and Immunologi (2018) menjelaskan bahwa penatalaksanaan
asma diberikan pada saat serangan terjadi dan dapat digunakan sebagai untuk pengontrolan asma.
Berbagai terapi farmakologi yang dapat digunakan untuk penderita asma berbentuk tablet, sirup,
dan yang paling sering digunakan adalah inhaler (Rowlands, 2010). Terapi inhalasi merupakan
pemberian obat yang diberikan kedalam saluran napas dan paru-paru melalui penghisapan, sehingga
penyempitan jalan napas dapat diatasi (Rihiantoro, 2014).
Penelitian di Asia Pasifik mendapatkan bahwa pasien asma yang menganggap penyakitnya
terkontrol, ternyata yang terkontrol total hanya sebanyak 5% dan yang terkontrol parsial 35%, 10%
yang menggunakan kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol asmanya, sedangkan pasien yang
menggunakan bronkodilator sebanyak 68% (Yunus, 2011). Keadaan ini membuat klinisi ataupun
peneliti memerlukan sebuah alat bantu yang dapat mendeskripsikan kontrol asma secara kuantitatif
atau semikuantitatif. Salah satu metode tersebut adalah Asthma Control Test (ACT). ACT berupa
kuesioner yang dikeluarkan oleh American Lung Association (ALA) (2010) dapat digunakan untuk
menilai tingkat kontrol asma, cara ini bersifat subjektif tetapi validitasnya telah diuji dan dapat
digunakan dengan mudah.

Berdasarkan Profil Kementrian Kesehatan RI Tahun 2017 menyebutkan bahwa 1 dari 22 orang di
Indonesia menderita asma. Namun, hanya 54% yang didiagnosis dengan hanya 30% kasus terkontrol
dengan baik. Prevalensi asma di Indonesia mencapai 4,5% atau setara dengan 11,8 juta pasien.
Hanya 29% dari populasi penderita dewasa penyakit asma yang dirawat , sisanya , sisanya tidak
terawat atau terawat sebagian. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti
Nusa Tenggara Timur (7,3%), D.I. Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Sedangkan provinsi
dengan prevalensi terendah terdapat di Lampung (1,6%), Riau (2,0%) dan Bengkulu (2,0%)
(Kemenkes RI, 2017).

Pasien dengan asma akan mengalami kelemahan pada otot-otot pernapasan. Hal ini disebabkan oleh
sering terjadi dypsneadan adanya pembatasan aktivitas. Melatih otot- otot pernapasan dapat
meningkatkan fungsi otot respirasi, mengurangi beratnya gangguan pernapasan, meningkatkan
toleransi terhadap aktivitas, dan menurunkan gejala dypsnea.6
Tujuan penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar
pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.7Latihan
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kebugaran fisik dan ketahanan tubuh pada pasien asma
adalah dengan melakukan senam asma. Senam asma dianjurkan karena melatih dan menguatkan
otot-otot pernapasan.
Senam asma adalah salah satu cara penanganan asma selain dengan pengobatan medis. Uji latih dan
patologi latihan makin mendapat perhatian para ahli karena kapasitas individu untuk berfungsi
sangat erat hubungannya dengan tampilan maksimal paru dan sistem kardiovaskular. Respons
fisiologi dari latihan ini mencakup kardiorespirasi, neurohumoral, vaskuler, darah, dan otot.
Selama ini masih terdapat keraguan dalam masyarakat mengenai latihan fisik bagi penyandang asma
sebab latihan fisik atau kegiatan jasmani yang intensitas tinggi kadang justru dapat mencetuskan
serangan asma yang dikenal dengan istilah Exercise Induced Asthma(EIA).Meskipun latihan fisikberat
dapat menimbulkan serangan asma, hal ini tidak boleh menjadi penghalang bagi penderita asma
untuk tetap melakukan latihan fisik dengan lebih terukur dan sesuai metode yang disarankan.
Dibutuhkan masukan dan bahkan perubahan persepsi bagi masyarakat luas dan penyandang asma
itu sendiri bahwa peranan latihan fisik dengan metode yang disarankan bagi penyandang asma
penting untuk meningkatkan fungsi paru.
Senam asma berguna untuk mempertahankan dan atau memulihkan kesehatan khususnya pada
penderita asma. Senam asma yang dilakukan secara teratur akan menaikkan volume oksigen
maksimal, selain itu dapat memperkuat otot-otot pernapasan sehingga daya kerja otot jantung dan
otot lainnya jadi lebih baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
asma.Review penelitian ini, penulis ingin mencoba mengkaji lebih jauh efekifitas senam asma dalam
peningkatan fungsi paru.

Anda mungkin juga menyukai