Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL

PENETAPAN ASAL-USUL ANAK DARI PERNIKAHAN

FASID (STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR

78/Pdt.P/2019/PA.Tar)

Oleh :

AFIDAH TURROHMAH
17.40501.025

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
FAKULTAS HUKUM
2021
Penetapan Asal Usul Anak dari Pernikahan Fasid (Studi Kasus Penetapan
Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar)

1
AFIDAH TURROHMAH
17.40501.025
Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Jalan Amal Lama Nomor 1,
Tarakan, Kalimantan Utara
ABSTRAK

Afidah Turrohmah, NPM. 1740501025 dengan Judul Penetapan Asal


Usul Anak dari Pernikahan Fasid (Studi Kasus Penetapan Asal-Usul Nomor
78/Pdt.P/2019/PA.Tar), dengan Dosen Pembimbing Dr. Basri, S.H., M.Kn dan
Dr. Nurasikin, S.HI., M.H.
Permasalahan dalam perkawinan yang terjadi di Indonesia diatur dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana undang-
undang tersebut telah diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019
tentang Perkawinan. Salah satunya adalah permasalahan keabsahan perkawinan.
Keabsahan sebuah perkawinan tentu saja berakibat hukum pada status anak yang
nantinya dilahirkan. Salah satu contoh kasus mengenai status anak terdapat pada
Penetapan yang di keluarkan oleh Pengadilan Agama Tarakan yaitu Penetapan
Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar tentang Permohonan Asal Usul Anak. Pada
penetapan tersebut terdapat permasalahan perkawinan para pemohon dimana
hakim menyatakan perkawinannya fasid.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertimbangan hakim untuk
menetapkan permohonan asal-usul anak dan status hukum anak yang telah
dilahirkan dari pernikahan fasid. Metode penelitian yang digunakan penulis
adalah penelitian Normatif dimana penulis melakukan study kepustakaan terhadap
Penetapan Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar dan buku-buku teks mengenai status
hukum anak, selain itu penulis juga melakukan wawancara kepada pihak-pihak
yang terkait serta melakukan pengamatan terhadap peraturan perundang-
undangan.
Dalam memberikan pertimbangan hukum, hakim perlu mengetahui terlebih
dahulu keabsahan pernikahan para pemohon untuk dapat memberikan
penetapannya. Setelah itu, barulah hakim dapat mempertimbangkan keabsahan
anak yang telah dilahirkan dari pernikahan fasid tersebut. Mengenai status anak
yang dilahirkan dari pernikahan fasid, tidak berlaku surut terhadap pernikahan
para pemohon. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan tetap berstatus hukum sebagai
anak sah dari para pemohon.

Kata Kunci : Fasid, Perkawinan, Status hukum anak.


ABSTRACT

2
Afidah Turrohmah, NPM. 1740501025 with the Title Determination of
the Origin of Children from Fasid Marriage (Case Study of Determination of the
Origin Number 78/Pdt.P/2019/PA Tar), with the Supervising Lecturer Dr. Basri,
S.H., M.Kn and Drs. Nurasikin, S.HL, M.H.
Problems in marriage that occur in Indonesia are regulated by Law
Number 1 of 1974 on Marriage, which the law has been updated to Law Number
16 of 2019 on Marriage. One of them is the issue of the validity of marriage. The
validity of a marriage, of course, has a legal effect on the status of the child who
will be born. One example of a case, regarding the status of the child is contained
in the Determination issued by the Tarakan Religious Court, namely the
Determination Number 78/Pdt.P/2019/PA.Tar on the Application for the Origin
of the Child. In the determination, there is a problem of the marriage of the
petitioners where the judge declared the marriage to be fasid
The formulation of the problem in this study is the judge's consideration to
determine the application of the origin of the child and the legal status of the
child who has been born from a fasid marriage. The research method used by the
author is Normative research where the author conducted a literature study on
Determination Number 78 Pdt.P/2019 PA Tar and textbooks on the legal status of
children, in addition the author also conducted interviews with relevant parties
and made observations on legislation
In giving legal consideration, the judge needs to know in advance the
validity of the marriage of the petitioners to be able to give a determination. After
that, then the judge can consider the validity of the child who has been born from
the fasid marriage. Regarding the status of children born from fasid marriages,
there is no revocation to the marriages of the petitioners. In this case, the
children born remain legal status as legitimate children of the petitioners.

Keywords : fasid, marriage. child legal status.

3
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Keabsahan anak erat hubungannya dengan keabsahan pernikahan yang
telah dilaksanakan oleh ayah dan ibunya. Menurut aturan-aturan hukum yang
ada, lahirnya anak dari pernikahan yang legal serta pernikahan itu telah tercatat
di Kantor Pencatatan Pernikahan merupakan anak yang sah, sedangkan untuk
pernikahan yang legal namun tidak tercatat, maka hal itu akan berdampak pada
perlindungan hukum yang didapatkan oleh anak yang dilahirkan, seperti
perlindungan dalam hak hidup dan berkembangnya sang anak akan kurang
terpenuhi. Dampaknya akan dirasakan oleh perempuan yang melahirkan anak
tersebut. Selaku seorang ibu, ia akan dihadapkan dengan pemberian kebutuhan
materi ataupun psikis anaknya tersebut, sedangkan untuk ayahnya tidak akan
dibebani dengan tanggung jawab dan kewajiban tersebut. Selain itu anak juga
tidak akan mendapatkan akta kelahiran ataupun hak keperdataannya jika
perkawinan orang tuanya tidak dicatatkan.
Pernikahan yang terpenuhinya syarat serta rukun pernikahan dalam akad
nikahnya merupakan pernikahan yang sah dalam hukum Islam. Akad nikah
dinilai tidak sah jika pernikahan yang dilaksanakan ternyata kurang salah satu
syarat serta rukunnya. Apabila yang tidak terpenuhi merupakan bagian dari
rukun pernikahannya maka pernikahan tersebut dinilai batal, adapun
pernikahan akan dinilai fasid apabila yang tidak terpenuhi adalah salah satu
syarat pernikahan.
Fenomena yang sering kita temui sekarang adalah mereka yang
melaksanakan pernikahan yang sah namun tidak dicatatkan (perkawinan
dibawah tangan) langsung berinisiatif menikah kembali di Kantor Urusan
Agama untuk bisa memperoleh keabsahan anak yang mereka miliki tanpa
menyadari apakah pernikahan yang mereka laksanakan sebelumnya telah
benar-benar sah dan tidak berdampak apapun atau ternyata pernikahannya
menemui sebuah kesalahan hingga menyebabkan pernikahannya dibatalkan
atau fasid.

4
Terdapat salah satu kasus yang menyerupai fenomena diatas yakni kasus
perkara permohonan asal-usul anak dengan nomor perkara :
78/Pdt.P/2019/PA.Tar, yang mana kasus tersebut dijadikan subjek dan objek
dalam penelitian ini. Kasus tersebut merupakan kasus permohonan keabsahan
anak yang terjadi di kota Tarakan dan dijadikan sebagai bahan penelitian sebab
telah mendapatkan keputusan inkrah dari Majelis Hakim. Duduk perkaranya
bermula pada pernikahan yang dilaksanakan oleh Agus Sugiyanto yang mana
disebut sebagai Pemohon I dengan Tini sebagai Pemohon II, pernikahan
tersebut mereka jalankan menurut agama Islam atau biasa para hakim
menyebutnya sebagai pernikahan secara adat. Pernikahan tersebut dilaksanakan
pada tanggal 20 Mei 2017, yang rukun dan persyaratan pernikahannya telah
terpenuhi dari wali nikah, saksi dan sebagainya. Adapun dalam pernikahan
yang dijalankan itu yang bertugas sebagai wali nikah adalah Pak Ismail,
seorang imam kampung dan terdapat dua orang saksi yang ada dalam
pernikahan itu. Setelah menikah, para pemohon dalam perkara ini dikaruniai
anak laki-laki bernama Adam Tabrani yang terlahir pada tanggal 30 Oktober
2018.
Pada tanggal 22 Juli 2019, para pemohon dalam perkara ini melakukan
pernikahan kembali dihadapan Pegawai Pencatat Pernikahan KUA Kecamatan
Tarakan Barat Kota Tarakan. Atas hal tersebut maka terdapat perbedaan antara
tanggal pernikahan mereka dengan tanggal kelahiran anak dimana status
hukum anak yang dilahirkan akan menjadi dampaknya. Akibat dari perbedaan
tanggal itu, para pemohon akhirnya mengambil langkah untuk mengajukan
perkara keabsahan anaknya kepada Pengadilan Agama Tarakan sebagai suatu
solusi mendapatkan status hukum sang anak. Namun berdasarkan fakta di
persidangan, pernikahan pemohon yang dilakukan secara adat dianggap fasid
oleh Majelis Hakim dalam penetapannya dengan nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar
dikarenakan wali nikahnya yaitu Pak Ismail kapasitasnya bukanlah wali hakim
dan juga bukan wali nasab dari Pemohon II.
Berdasarkan hal tersebut diatas dan pengalaman penulis saat
melaksanakan Praktek Kerja Profesi di Pengadilan Agama Tarakan, dimana

5
masih banyak sekali mereka yang melanggar ketentuan perkawinan, maka
penulis melakukan kajian dan penelitian terhadap Penetapan Asal Usul Anak
dari Pernikahan Fasid (Studi Kasus Penetapan Nomor
78/Pdt.P/2019/PA.Tar)

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah
dalam artikel ini adalah :
1. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan Permohonan Asal-Usul
Anak pada perkara nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar.
2. Status hukum anak dari pernikahan fasid.
B. METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Penelitian
Hukum Normatif, yaitu penelitian yang mengkaji suatu peraturan undang-undang,
teori hukum dan yurisprudensi yang memiliki hubungan dengan isu hukum pada
masalah yang sedang dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam tipe penelitian
ini terdiri dari pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan
pendekatan konseptual. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan
metode studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan itu sendiri dilakukan
penulis dengan mengkaji bahan-bahas sekunder seperi buku-buku yang terkait
dengan isu yang dibahas. Responden dalam wawancara penulis adalah hakim
yang mengeluarkan penetapan yang dikaji. Adapun bahan-bahan yang didapatkan
penulis selanjutnya diolah secara deskriptif kualitatif.
C. KERANGKA TEORI
1. Tinjauan Umum tentang Pernikahan Fasid
Nikah fasid menurut Abdurrohman Al-Jaziry adalah tidak terpenuhinya
salah satu syarat dari pernikahan tersebut, dan batalnya sebuah pernikahan
diartikan sebagai tidak dipenuhinya salah satu dari rukun pernikahan,
adapun pernikahan yang batal maupun pernikahan yang dinyatakan fasid
sama-sama memiliki akibat hukum yang tidak sah.1

1
Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, Pustaka Baru Press,
Yogyakarta, 2017, h. 77.

6
2. Tinjauan Umum tentang Anak
Anak merupakan sebuah karunia dari Tuhan, dimana tuhan telah
memberikan kepada ciptaannya tentang karunianya yang didalamnya
tersebut telah melekat harkat serta martabat menjadi manusia seutuhnya.
Adapun seorang yang umurnya belum genap hingga 18 tahun baik dia masih
di dalam kandungan sekalipun, ialah yang disebut sebagai anak, hal tersebut
dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.2
3. Tinjauan Umum tentang Penetapan
Prof. Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai penetapan hakim
sebagai berikut, penetapan hakim atau putusan hakim adalah pernyatakan
pejabat negara dalam hal ini adalah hakim yang memiliki kewenangan
dalam hal itu, diucapkan dalam persidangan atas dasar untuk menuntaskan
masalah atau suatu perkara antara pihak-pihak yang bersangkutan. Tidak
hanya sekedar diucapkan merupakan putusan, namun pernyataan yang
dibuat dalam bentuk tulisan yang kemudian oleh Hakim diucapkan dimuka
persidangan juga merupakan putusan. Putusan yang hanya dituliskan tidak
berkekuatan hukum tanpa diucapkan oleh Majelis Hakim di persidangan.3
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan Permohonan Asal-Usul
Anak pada Perkara Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar.
Dalam mengeluarkan penetapan tentang keabsahan anak, perlu terlebih
dahulu para hakim mempertimbangkan keabsahan pernikahan para
pemohon, dalam hal ini hakim merujuk pada aturan Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 jo. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
Mengenai keabsahan pernikahan para pemohon, terdapat fakta yang
ditemukan pada saat dijalankannya persidangan, yang mana diketahui

2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN tahun 2002 No.
109, TLN No. 4235, ps. 1.

3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 2002, h. 212.

7
bahwa yang menjadi wali nikah Pemohon II (dalam hal ini yang bertindak
sebagai Isteri) bukanlah wali nasabnya melainkan hanya seorang Imam
Kampung yang tidak ada hubungan nasab terhadap Pemohon II.
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2005
menjelaskan bahwasannya pejabat yang berwenang untuk menjadi wali
hakim adalah Kepala KUA Kecamatan, untuk ketentuan ditunjuknya wali
hakim diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 30
tahun 2005. Dalam hal ini, Imam Kampung tersebut bukan berasal dari wali
nasab Pemohon II, oleh sebab itu maka seharusnya yang menjadi wali nikah
Pemohon II ialah wali hakim dalam hal ini adalah Kepala Kantor KUA
Kecamatan yang mewilayahi peristiwa pernikahan tersebut. bukan orang
secara personal yang diangkat menjadi wali oleh para pemohon.
Berdasarkan hal diatas, maka majelis hakim berpendapat bahwa
pernikahan para pemohon yang ia laksanakan pada tanggal 20 Mei 2017 di
Tarakan memiliki cacat salah satu rukun perkawinan sehingga pernikahan
tersebut termasuk nikah fasid. Karena fasidnya pernikahan tersebut maka
pertimbangan Majelis Hakim atas anak yang dilahirkan sebagai berikut.
Bahwa berdasarkan Kitab Fiqh Islami wa Adillatuhu juz 10 halaman 14
yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim
dikemukakan bahwa:
Artinya : Penetapan nasab nikah fasid sama halnya dengan nikah sohih,
karena penetapan nasab tersebut erat kaitannya dengan memberikan
penghidupan dan pemeliharaan terhadap anak. Untuk menetapkan nasab
dalam nikah fasid ada 3 syarat. Pertama, laki-laki (suami) adalah orang yang
dapat menyebabkan kehamilan. Kedua, telah nyata adanya persetubuhan
dengan perempuan (isteri) atau bermesraan dengan perempuan tersebut.
Ketiga, batas waktu sang isteri melahirkan anak dari nikah fasid itu adalah
enam bulan atau lebih dari terjadinya persetubuhan atau bermesraan.
Menimbang, bahwa dalam menetapkan batas waktu minimal usia
kehamilan yang dihitung mulai sejak akad nikah dilangsungkan, Majelis
Hakim berpedoman pada ketentuan dalam Al-Qur`an sebagai berikut:

8
Artinya: Masa mengandung sampai menyapinya adalah selama tiga
puluh bulan (Surat Al-Ahqaf ayat 15)
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu (Surat Luqman ayat 14)
Bahwa menurut Ibnu Abbas dan disepakati oleh para ulama yang
selanjutnya pendapat tersebut diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim,
dikatakan bahwa Surat Al-Ahqaf ayat 15 dan Surat Luqman ayat 14 tersebut
menunjukkan bahwa jumlah waktu keseluruhan yang dibutuhkan dalam
proses mengandung dan menyapih bagi seorang ibu adalah 30 bulan, dengan
pertimbangan waktu menyepih setelah bayi disusukan secara sempurna
membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Artinya bayi membutuhkan
waktu minimal 6 bulan di dalam kandungan, dengan penghitungan 30 bulan
sebagai masa mengandung dan menyapih dikurangi 24 bulan masa
menyapih = 6 bulan. Batas minimal waktu hamil paling sedikit 6 bulan yang
dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan tersebut, dijadikan metode
Majelis Hakim dalam penetapan hukum (istinbath) atas anak yang
dilahirkan. Dengan kata lain, apabilah terjadinya sebuah pernikahan antara
laki-laki dan perempuan dimana dalam pernikahan tersebut melahirkan anak
dengan kondisi yang sempurna bentuknya sebelum mencapai usia
kehamilan 6 bulan, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada laki-
laki yang menghamilinya.
Bahwa para Pemohon melakukan pernikahan secara adat pada tanggal 20
Mei 2017. Sedangkan anak tersebut lahir di Tarakan pada tanggal 30
Oktober 2018. Ternyata usia kehamilan Pemohon II terhitung sejak akad
nikah dilangsungkan hingga anak tersebut dilahirkan telah mencapai batas
minimal usia kehamilan, yakni 6 bulan. Sehingga secara hukum, anak
tersebut bisa dinisbahkan kepada ayah dan ibu kandungnya yakni para
pemohon.

9
Bahwa untuk menjaga keteraturan hubungan nasab sebagai tujuan
ditetapkannya syariat Islam, serta untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, maka Majelis Hakim menetapkan status hukum seorang anak
bernama Adam Tabrani, lahir di Tarakan tanggal 30 Oktober 2017, adalah
sebagai berikut:
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II menikah pada tanggal 20 Mei 2017.
Sedangkan anak tersebut lahir di Tarakan pada tanggal 30 Oktober 2018.
Ternyata usia kehamilan Pemohon II terhitung sejak akad dilangsungkan
hingga anak tersebut dilahirkan telah mencapai batas minimal usia
kehamilan, yakni 6 bulan. Sehingga secara hukum, anak tersebut bisa
dinisbahkan kepada para Pemohon sebagai ayah dan ibu kandungnya.
Bahwa untuk mendapatkan perlindungan bagi kepentingan hukum para
pemohon dan anak yang dilahirkan, maka penetapan ini dijadikan dasar
hukum bagi Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tarakan
untuk diterbitkannya dan diperbaruinya akta kelahiran atas anak tersebut di
atas, dan mencantumkan bahwa Pemohon I dan Pemohon II sebagai kedua
orang tua yang bersangkutan.
Adapun dalam mempertimbangkan sebuah penetapan nomor
78/Pdt.P/2019/PA.Tar, tentunya Majelis Hakim telah merujuk pada
peraturan perundang-undangan sebagai acuan menimbang sebuah
penetapan. Dasar hukum Majelis Hakim dalam menimbang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan serta dalam pasal-pasal berikut ini:
a. Pasal 49 angka (14) Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang
menjelaskan bahwasannya suatu perkara perkawinan salah satunya
tentang putusan sah atau tidak status anak yang para pemohonnya
beragama Islam merupakan perkara tingkat pertama yang mana dalam

10
hal ini perkara tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut.4
b. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang mana jelaskan bahwa keputusan tentang sah atau
tidaknya seorang anak diputuskan oleh Pengadilan jika terdapat
kepentingan yang mendasarinya.5
c. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai jo.
Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwasannya pada
pasal 10 menjelaskan pemberian materai untuk dokumen yang dimaksud
pada pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilaksanakan oleh Pejabat Pos
dengan tetap beracuan pada tata cara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.6 Sedangkan pasal 1888 KUH Perdata menjelaskan
bahwasannya akta aslilah yang memiliki kekuatan pembuktian pada
suatu tulisan. Salinan akta serta kutipan dapat dipercaya jika salinan dan
kutipan tersebut masih sesuai dengan aslinya dan sewaktu-waktu dapat di
tunjukkan sesuai keperluan namun hal ini berlaku apabila akta yang asli
masih ada.7
d. Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
jo. Pasal 285 Reglement Buiten Govesten (R.Bg), yang menjelaskan
mengenai akta otentik sebagai berikut:
Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek menjelaskan mengenai akta otentik
yaitu akta yang terbentuk berdasarkan ketetapan Undang-Undang serta
harus dibuat dihadapan pejabat yang berwenang di tempat akta tersebut
dibuat.8
Adapun pasal 285 Reglement Buiten Govesten (R.Bg) menjelaskan
mengenai akta otentik yaitu akta yang terbuat yang bentuknya telah

4
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun
1989 tentang Pengadilan Agama, LN tahun 2006 No. 22, TLN No. 4611, penjelasan ps. 49.
5
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, LN tahun 1974 No. 1, TLN No.
3019, ps. 44.
6
Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai, LN tahun 1985 No. 69, TLN No.
3313, ps. 10.
7
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Citra Media Wacana, Jakarta, 2016, ps. 1888.
8
Ibid, ps. 1868

11
disesuaikan dengan Undang-Undang dan harus dibuat dihadapan pejabat
berwenang dimana tempat akta itu dibuat. Akta otentik ini merupakan
bukti lengkap bagi para pihak hingga keturunannya dan mereka dapat
menerima hak atas apa yang tertuliskan didalam akta tersebut meskipun
hanya sebuah pernyataan semata selama pernyataan itu masih
bersangkut-paut dengan pokok pembahasan dalam akta itu.9
e. Pasal 308 ayat (1) Reglement Buiten Govesten R.Bg, yang menjelaskan
mengenai saksi sebagai berikut bahwa setiap pernyataan dalam kesaksian
harus menyertakan alasan-alasan yang diberikan saksi atas
pengetahuannya mengenai sebuah perkara yang sedang dihadapi.10
f. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, menjelasakan mengenai hak anak sebagai berikut,
bahwasannya anak-anak yang terlahir telah memiliki hak untuk tahu
siapa orang tua mereka dan anak tersebut mendapatkan hak untuk
dibesarkan dan diasuh oleh kedua orang tuanya.11
g. Pasal 14 KHI, yang mana dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa syarat
yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pernikahan. Adapun menurut
pasal tersebut, syarat yang perlu di penuhi saat melaksanakan pernikahan
adalah perlu adanya calon suami dan calon istri, adanya wali nikah dan
adanya dua orang saksi serta dalam pernikahan tersebut telah
dilakukannya ijab dan qobul.12
h. Pasal 20 ayat (1) dan (2) KHI, dimana pasal tersebut menjelaskan tentang
wali nikah. Berdasarkan pasal tersebut, wali nikah merupakan laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh.
Menurut KHI, wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim .13

9
http://pta-jambi.go.id/attachments/article/1110/RBg.pdf, ps. 285 (diakses pada hari Kamis,
08 September 2021, Pukul 15.21 WITA.)
10
Ibid, ps. 308
11
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN tahun 2002 No.
109, ps. 7.
12
Intruksi Presiden RI. No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ps.
14.
13
Ibid, ps. 20.

12
i. Pasal 21 ayat (1) KHI, dimana dalam pasal tersebut menjelaskan
mengenai Wali Nasab yang dibagi menjadi empat kategori sesuai dengan
urutan kedudukannya, satu kategori diprioritaskan, dan kategori lainnya
berkerabat dekat dengan calon pengantin menurut struktur kekerabatan.
Kategori pertama adalah kerabat laki-laki yang memiliki garis keturunan
lurus, yaitu ayah, kakek, dll. Kategori kedua, kerabat dari saudara
kandung atau saudara tiri dan keturunan laki-lakinya. Kategori ketiga,
kerabat paman, yaitu saudara kandung ayah, saudara laki-laki ayah dan
anak laki-lakinya. Terakhir, kelompok kakak atau adek kandung kakek,
saudara tiri dan keturunan laki-lakinya.”14
j. Pasal 23 KHI jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 30
Tahun 2005, berbunyi sebagai berikut:
“(1) Bertindaknya wali hakim sebagai wali nikah apabila yang
menjadi wali nasab berhalangan hadir atau keberatan ataupun tidak
ada serta tempat tinggalnya tidak diketahui.
(2) Apabila wali enggan hadir dalam hal ini di sebut wali adhal, maka
wali yang dapat bertindak dalam hal ini adalah wali hakim yang telah
diputuskan oleh Pengadilan Agama.”15
k. Pasal 28 KHI, berbunyi sebagai berikut:
“Pelaksanaan akad nikah dilakukan secara mandiri dengan wali nikah
yang bersangkutan, ataupun dapat juga wali nikah tersebut mewakilkan
kembali kepada orang lain.”16
Setelah membaca isi pertimbangan para hakim, peraturan perundang-
undangan yang majelis hakim gunakan untuk memutuskan perkara ini telah
sesuai dengan hukum positif yang ada di Indonesia. Namun penulis merasa
perlunya ditambahkan aturan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) huruf (a)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan
Perundang-Undangan tersebut lebih berkaitan dengan kasus permohonan

14
Ibid, ps. 21.
15
Ibid, ps. 23.
16
Ibid, ps. 28.

13
asal-usul anak ini, dikarenakan dalam pasalnya menyebutkan bahwa
pernikahan yang dibatalkan tidak akan berlaku surut kepada anak yang telah
dilahirkan. Dengan demikian adanya pasal tersebut dalam pertimbangan
hakim, akan lebih menyempurnakan Penetapan Nomor
78/Pdt.P/2019/PA.Tar.
2. Status Hukum Anak dari Pernikahan Fasid
Berbicara mengenai status hukum anak, maka sangat penting jika terlebih
dahulu penulis mendeskripsikan keabsahan pernikahan para pemohon pada
perkara permohonan asal-usul anak dengan Penetapan Nomor
78/Pdt.P/2019/PA.Tar. Pada penetapan tersebut, dijelaskan bahwa pada tanggal
20 Mei 2017 para pemohon melakukan pernikahan berdasarkan hukum Islam,
dengan wali nikahnya yang mana adalah Wali Hakim, bernama Ismail, serta
dihadiri dua orang saksi nikah yaitu Mega Rahmat umur 30 tahun beragama
Islam dan Ali umur 27 tahun beragama Islam dengan mas kawin sebesar
seratus ribu rupiah, namun pernikahan itu tidak dicatatkan secara resmi di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Tarakan Utara, karena akta cerai pemohon
II belum diambil di Pengadilan Agama Ponogoro Provinsi Jawa Timur. Pada
pernikahan tersebut mereka melahirkan anak bernama Adam Tabrani bin Agus
Sugiyanto yang lahir di Tarakan, 30 Oktober 2018.
Setelah melahirkan seorang anak, para pemohon ingin anaknya
mendapatkan akta kelahiran, karena hal tersebut para pemohon mengulang
pernikahannya di hadapan Pegawai Pencatat Pernikahan KUA Kecamatan
Tarakan Barat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara dengan wali nikah
adik kandung Pemohon II dan dihadiri dua orang saksi nikah yaitu Petugas
KUA Tarakan Barat dan Ketua RT. Karang Balik serta telah dikeluarkan
Kutipan Akta Nikah tertanggal 22 Juli 2019 nomor: 270/27/VII/2019. Karena
keawaman para pemohon, mereka menyangka dengan menikah ulang di Kantor
Urusan Agama akan otomatis mendapatkan akta kelahiran sang anak yang
secara hukum tidak akan terjadi seperti hal tersebut jika mereka tidak

14
mengajukan perkara ini kepada Pengadilan Agama dengan kategori perkara
permohonan Asal-Usul Anak.17
Untuk mengetahui keabsahan pernikahan para pemohon yang dilaksanakan
pada tanggal 20 Mei 2017, Majelis Hakim bertumpu pada Pasal 14 KHI yang
menjelaskan tentang rukun perkawinan dimana perkawinan dikatakan sah
apabila pelaksanaan perkawinan tersebut telah memenuhi rukun pernikahan
dan syarat sahnya perkawinan menurut syari`at Islam. Adapun dalam ketentuan
pasal 14 KHI disebutkan bahwasannya untuk melaksanakan pernikahan yang
sah maka harus terpenuhinya hal-hal seperti adanya calon suami dam calon
isteri, terdapat wali nasab dari pihak perempuan yang menjadi wali nikahnya,
adanya dua orang yang menjadi saksi dalam pernikahannya serta
terlaksanakannya Ijab dan Qabul. Setelah diselediki lebih lanjut oleh Majelis
Hakim dengan berlandasan pasal tersebut, ternyata terdapat suatu hal yang
menjadikan pernikahan para pemohon dalam perkara ini menjadi cacat. Pada
pernikahannya telah terbukti bahwa yang bertindak sebagai wali nikah dari
Pemohon II adalah Imam Kampung bernama Pak Ismail. Bedasarkan ketentuan
dalam pasal 20 ayat (2) KHI, yang menyebutkan bahwa wali nikah terdiri dari
wali nasab dan wali hakim, sedangkan Pak Ismail disini ternyata bukanlah wali
nasab dan tidak memperoleh izin ataupun persetujuan dari wali nasab Pemohon
II untuk mewakilinya sebagai wali nikah. Dengan demikian, wali nikah
Pemohon II bukanlah wali yang berhak sehingga rukun nikah adanya wali yang
benar mengandung cacat hukum.
Atas hal tersebut pernikahan pemohon yang dilaksanakan pada tanggal 20
Mei 2017 dinyatakan nikah fasid oleh Majelis Hakim. Dengan fasidnya
pernikahan tersebut, muncullah sebuah permasalahan bagaimana dengan status
anak yang dilahirkan pada pernikahan tersebut, apakah ia tetap menjadi anak
sah atau mungkin anak tersebut juga berstatus cacat hukum.
Bapak Bassaruddin, S.H.I., M.Pd selaku Hakim Pengadilan Agama Tarakan
menjelaskan apabila terdapat suatu pernikahan yang mendapatkan pernyataan
tidak sah, maka otomatis anak yang terlahir dari perkawinan tersebut juga tidak

17
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Tarakan, 31 Maret 2021.

15
sah. Tetapi dalam permasalahan pernikahan fasid ini, status sahya seseorang
anak tidak bisa disamakan dengan hasil ikatan biologis tanpa jalinan
pernikahan.18 Dikala anak yang terlahir dari hubungan luar kawin, maka ia
dinyatakan selaku anak luar kawin atau anak yang tidak sah yang ikatan
keperdataannya hanya dengan ibu serta keluarga ibunya. Berbeda dengan anak
yang dilahirkan akibat sesuatu pernikahan yang dinyatakan fasid, maka anak
itu memiliki status hukum yang jelas selaku anak dari ibu dan ayahnya dan
memiliki ikatan keperdataan dengan bapak serta ibunya. Perihal tersebut
penulis simpulkan dari sebagian uraian dibawah ini.
Berdasarkan Perspektif hukum positif di Indonesia, tidak dinyatakan secara
tegas tentang pernikahan fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Dalam
peraturan perundang-undangan yang membahas perkara perkawinan, hanya
terdapat beberapa pasal yang membahas mengenai pembatalan pernikahan.
Pada pasal 27 sampai 38 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwasannya Pengadilan Agama
memiliki kewenangan untuk membatalkan sebuah pernikahan jika pernikahan
tersebut tidak sah, ataupun jika pernikahan tersebut tidak memenuhi syarat
maupun rukun pernikahan yang telah ditetapkan. Pernikahan yang memiliki
kecacatan hukum karena suatu kelalaian dari mempelai ataupun karena
terdapat kebohongan serta paksaan dalam melangsungkan pernikahannya,
maka Pengadilan Agama juga dapat membatalkan pernikahan tersebut.19
Terkait pernikahan yang dapat dibatalkan, salah satu contohnya adalah
peristiwa pembatalan pernikahan yang terjadi dalam perkara ini, yaitu wali
nikah yang dihadirkan oleh pemohon tidak sebagai memiliki hak sebagai wali
nikah. Atas hal tersebut, maka terdapat salah satu dari rukun nikah yaitu
adanya wali tidak terpenuhi yang mengakibatkan pernikahan para pemohon
dinyatakan fasid. Karena fasidnya nikah tersebut terdapat keraguan dari
keabsahan anak yang dilahirkan para pemohon. Bassarudin selaku Majelis

18
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Tarakan pada tanggal 26 April 2021.
19
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2012, h. 43.

16
Hakim Pengadilan Agama Tarakan menegaskan bahwa untuk menangani
sebuah permasalah seperti ini, Majelis Hakim tidak serta merta memberikan
sebuat penetapan yang menyatakan anak tersebut terlahir tidak sah karena
pernikahan orang tuanya fasid. Untuk kasus fasidnya pernikahan memiliki
sebuah pertimbangan sendiri dalam penentuan keabsahan anak.
Manurut Abdul Manan bahwasannya nikah fasid yang bisa dibatalkan
tersebut tidak akan berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan itu.20 Artinya batalnya pernikahan yang membuat keabsahan
pernikahannya jadi tidak sah tersebut tidak akan berpengaruh pada keabsahan
anaknya. Anak yang terlahir dari pernikahan itu masih dapat memiliki ikatan
hukum dengan ibu bahkan ayahnya, sebab kelalaian yang dilakukan kedua
orang tuanya bukan menjadi tanggung jawab sang anak dan tidak dapat
dibebankan pada anak yang terlahir dari pernikahan fasid itu.
Dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menjelaskan bahwa keputusan pembatalan perkawinan yang
telah dikeluarkan oleh Pengadilan tidak dapat berlaku surut pada beberapa
ketentuan dibawah ini yang antara lain:
1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut;
2. Suami ataupun isteri yang telah beritikad baik kecuali soal pengurusan
harta bersama ataupun batalnya pernikahan disebabkan adanya
pernikahan lain yang lebih dahulu;
3. Pihak ketiga yang bukan diantara kedua hal di atas dimana mereka tetap
beritikad baik dalam mendapatkan hak-haknya meskipun keputusan
pembatalan pernikahan belum berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, menurut hal-hal diatas, keabsahan anak yang dilahirkan
dari pernikahan yang dibatalkan atau dalam hal ini dikatakan fasid, masih
memiliki hubungan keperdataan dengan ayah maupun ibunya dan status anak
yang dilahirkan tersebut merupakan anak sah dari kedua orang tuanya.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan:

20
Ibid, h. 47.

17
1. Majelis Hakim Pengadilan Agama Tarakan menyatakan bahwa pernikahan
para pemohon dinyatakan fasid atas sebab wali nikah yang dihadirkan oleh
Pemohon II tidak memiliki hak menjadi wali nikah karena ia bukan wali
nasab dari Pemohon II. Namun atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang
telah di musyawarahkan oleh para hakim, yakni Kitab Fiqh Islami wa
Adillatuhu juz 10 halaman 14, surat Al-Ahqaf ayat 15, surat Al-Luqman
ayat 14, Pendapat Ibnu Abbas yang telah disepakati oleh para Ulama, serta
Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
permohonan dalam perkara asal-usul anak dalam hal ini perkara pada
Penetapan Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar diatas dikabulkan.
2. Pernikahan yang telah dinyatakan fasid (dibatalkan) tidak membuat
keabsahan sang anak juga menjadi tidak sah, dalam artian suatu penetapan
fasidnya pernikahan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut, maka status hukum anak yang bernama Adam
Tabrani Sugiyanto dinyatakan sebagai anak sah dari para pemohon.
Berdasarkan kesimpulan diatas, makan saran yang dapat diberikan penulis adalah:
1. Untuk para masyarakat diharapkan untuk sebisa mungkin melaksanakan
pernikahan di depan Pegawai Pencatat Nikah untuk mengedepankan
kepentingan anak yang akan dilahirkan. Selain itu, dengan dicatatkannya
pernikahan, bisa meminimalisirkan masalah-masalah yang timbul akibat
pernikahan yang tidak tercatatkan.
2. Kepada Yang Mulia Majelis Hakim, diharapkan kedepannya dapat lebih
teliti dalam hal menuliskan penetapan dan putusan, hal ini dilakukan agar
tidak terjadi kesalahan dalam penulisan unsur-unsur yang terdapat di
penetapan dan putusan, salah satunya adalah peraturan perundang-
undangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana,


Jakarta, 2012.

Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, Pustaka Baru
Press, Yogyakarta, 2017.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta,


Yogyakarta, 2002.
B. SKRIPSI
Afidah Turrohmah, “Penetapan Asal-Usul Anak dari Pernikahan Fasid (Study
Kasus Penetapan Nomor 78/Pdt.P/2019/PA.Tar.), Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Borneo Tarakan, 2021.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN tahun
2002 No. 109, TLN No. 4235.

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7


tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, LN tahun 2006 No. 22, TLN No.
4611.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, LN tahun 1974 No. 1,


TLN No. 3019.

Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai, LN tahun 1985 No. 69,
TLN No. 3313.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN tahun 2002


No. 109.

Intruksi Presiden RI. No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Citra Media Wacana, Jakarta, 2016, ps.
1888.

http://pta-jambi.go.id/attachments/article/1110/RBg.pdf, ps. 285 (diakses pada


hari Kamis, 08 September 2021, Pukul 15.21 WITA.)

19
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Sidoarjo pada tanggal 07 Maret


1999 dari ayah Ayub Utomo Asharyanto dan ibu Eny
Widayanti S.Pd. Penulis adalah putri pertama dari
empat bersaudara. Tahun 2017 penulis lulus dari
SMA Negeri 1 Tanjung Selor dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleski masuk Universitas Borneo
Tarakan melalui jalur SNMPTN dan diterima di
Jurusan Hukum, Fakultas Hukum.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif menjalani
kegiatan organisasi internal kampus maupun eksternal
kampus. Pada tahun 2020 penulis menjabat sebagai Ketua Umum Borneo Moot
Court Community Fakultas Hukum Universitas Borneo. Penulis juga pernah
menjabat sebagai Bendahara Umum Borneo Moot Court Community Fakultas
Hukum Universitas Borneo Tarakan pada tahun 2019. Penulis juga pernah aktif
pada anggota Departemen Keperempuanan BEM UBT. Penulis juga aktif sebagai
anggota Departemen Pendidikan dan Akademik BEM Fakultas Hukum UBT.
Pada tahun 2018, penulis juga aktif pada organisasi daerah Keluarga Besar
Mahasiswa Kabupaten Bulungan. Pada bulan September – November 2020
penulis melaksanakan Praktek Kerja Profesi di Pengadilan Agama Tarakan.

20

Anda mungkin juga menyukai