Anda di halaman 1dari 14

Masalah-Masalah Birokrasi:

Politisasi Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia Pasca Reformasi


Mata Kuliah Lembaga Eksekutif dan Birokrasi di Indonesia
Pengajar: ​Dr. phil. Panji Anugrah Permana S.IP., M.Si.
Dr. Sri Budi Eko Wardani S.IP., M.Si.
Donni Edwin S.Sos., M.Sc

Ari Putra Utama (1706979915)


Erisa Sofia Rahmawati (1706979940)

Latar Belakang
Birokrasi dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam
mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi
melayani urusan orang banyak. Pemaknaan yang ideal terhadap fungsi pelayanan yang
diperankan birokrasi, tidaklah sepenuhnya bisa menjelaskan orientasi birokrasi di Indonesia.1
Perjalanan panjang kehidupan birokrasi selalu saja ditandai oleh dominannya aspek politis di
bawah kendali penguasa negara. Kasus birokrasi pada masa Orde Baru misalnya, pada
dasarnya merupakan cermin dari kuatnya penguasa negara dalam mempengaruhi dan
menjadikan birokrasi sebagai salah satu mesin politik.
Reformasi politik yang muncul pada 1998 membawa babak baru terhadap kehidupan
demokrasi di Indonesia, termasuk pada konteks birokrasi. Dalam rangka merespon
reformasi politik dalam konteks birokrasi ditetapkan UU No 32 tahun ​2004 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang juga mengatur relasi pejabat dan birokrat dalam
Pilkada, terdapat larangan bagi pejabat untuk melibatkan birokrat dalam politik praktis
maupun larangan bagi birokrat untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ketentuan bagi
birokrat untuk bersikap netral juga diatur dalam Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 3 ayat 2, disebutkan bahwa pegawai negeri harus netral

1
Luthfi Wahyudi. (2018). “Politisasi Birokrasi Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung”. ​Jurnal
Paradigma, Vol. 7 No. 3,​ hal. 155-156

1
dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.2
Dengan disahkannya UU No 32 Tahun 2004, maka pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung. Dengan kondisi seperti ini, konstelasi politik daerah akan
meningkat sebagai akibat dari proses memperebutkan kekuasaan di daerah. Untuk dapat
meraih kemenangan dan kekuasaan di daerah maka dilakukan berbagai upaya, salah satunya
dengan memanfaatkan birokrasi. Birokrasi menjadi instrumen penting karena menjadi
satu-satunya institusi yang menguasai data dan informasi serta seluk beluk penyelenggaraan
pemerintahan yang paling besar dan berpengaruh kepada masyarakat.. Peningkatan konstelasi
politik di daerah memiliki implikasi terhadap jalannya roda pemerintahan daerah atau sistem
birokrasi di daerah karena mendorong terjadinya politisasi birokrasi, dimana ada upaya untuk
menjadikan lembaga birokrasi sebagai alat kepentingan politik.3 Dampak Pilkada langsung
ini tentu saja membawa perubahan terhadap relasi birokrasi dengan politik, khususnya
netralitas birokrasi terhadap politik. Hal ini tentu saja bisa berdampak buruk kepada
reformasi birokrasi. Politisasi birokrasi kemudian menjadi masalah yang serius dalam
reformasi birokrasi, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal khususnya
dalam ranah pilkada langsung.

Rumusan Masalah
Terbukanya ruang demokrasi bagi segenap rakyat dalam pemilihan kepala daerah di
Indonesia sejak tahun 2004, memberikan beragam alternatif cara bagi setiap pasangan calon
untuk meraih dukungan masyarakat. Dari sekian banyak cara yang ditempuh untuk
mendulang suara dalam Pilkada, salah satu yang paling sering dilakukan oleh pasangan calon,
khususnya calon petahana, ialah dengan menggunakan akses dan sumber daya birokrasi di
daerah tersebut. Dengan kata lain, melakukan politisasi birokrasi. Politisasi birokrasi
merupakan suatu fenomena saat aparat/organisasi birokrasi dikondisikan untuk mendukung
dan melakukan kerja-kerja politik guna memenangkan seseorang dalam pemilihan umum
dan/atau mengikuti kepentingan politik yang berkuasa. Keterlibatan birokrasi dalam politik

2
M. Adian Firnas. (2016). “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era Reformasi”.
J​urnal Review Politik Vol. 06, No. 01, ​hal. 162
3
​ Luthfi Wahyudi. Op.Cit. hal. 156

2
praktis ini dilakukan dengan menjadi anggota tim sukses salah satu calon dan memobilisasi
bawahan dan massa di sekitarnya untuk mendukung calon tersebut.
Politisasi birokrasi marak terjadi di Indonesia, mengingat birokrasi memiliki beberapa
sumber daya penting yang tidak dimiliki lembaga/organisasi lain dan dapat dimanfaatkan
oleh pasangan calon, khususnya petahana. Sumber daya birokrasi itu meliputi: penguasaan
informasi dan keahlian, kewenangan yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan, adanya
legitimasi politik yang kuat dalam setiap pekerjaannya, dan sifatnya yang permanen dan
stabil4. Dengan adanya sumber daya tersebut, pemanfaatan aparat birokrasi dalam kegiatan
politik praktis pun terejawantahkan dalam beragam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi
yang paling memungkinkan bagi para aktor terkait. Namun, tujuan dari praktik politisasi
birokrasi tetaplah sama, yakni mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan politik
petahana, termasuk pula aparat birokrasi yang terlibat.

Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitian dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana bentuk-bentuk politisasi birokrasi dalam Pilkada di Indonesia pasca
reformasi?”

Kerangka Teori/Konsep
a. Teori Politik Birokrasi
Dalam membahas makalah ini, kami menggunakan pemikiran Graham Allison yang
mengidentifikasi bahwa birokrasi adalah bagian dari politik itu sendiri. Teori politik birokrasi
adalah teori yang menjelaskan peran administrasi dan birokrasi dalam proses pembuatan
kebijakan publik, sekaligus menolak pandangan yang memisahkan antara administrasi dan
politik. Kemunculan politik birokrasi berasumsi dari fakta empiris peran dan perilaku politik
dalam birokrasi. Dalam hal ini, politik birokrasi Allison dibangun melalui empat proposisi,
yaitu: ​pertama​, pemerintah/eksekutif terdiri atas sejumlah organisasi dan individu yang
divergen memiliki tujuan dan agenda masing masing. ​Kedua, tidak ada aktor pemerintah
yang dominan dan mampu bertindak sendiri/dapat bertindak unilateral. ​Ketiga, keputusan
final adalah sebuah hasil produk atau hasil ​bergaining ​dan kompromi dari proses politik.

4
B. Guy Peters .(1989). ​The politics of bureaucracy.​ New York : Logman Ign

3
Keempat, ​terdapat perbedaan antara pembuatan kebijakan dan pelaksananya atau penerima
keputusan. Dalam tulisan ini, teori politik birokrasi digunakan sebagai ​frame/​paradigma
untuk menunjukkan bahwa birokrasi adalah bagian dari politik pula.5
b. Konsep Politisasi Birokrasi
Menurut Nimatul Huda, politisasi birokrasi dapat diartikan sebagai upaya yang
dilakukan pasangan calon kepala daerah, khususnya petahana, yang memiliki kekuasaan dan
pengaruh untuk memobilisasi birokrasi pemerintah agar memilih calon pasangan kepala
daerah tersebut. Dalam praktiknya, politisasi birokrasi dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu:
pertama,​ berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi; ​kedua, berasal dari
internal eksekutif yang mempolitisasi birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri,
baik dari kepala daerah ataupun pejabat birokrasi. Namun, keduanya memiliki kepentingan
yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.6

Pembahasan
Meskipun begitu banyak produk perundangan yang keluarkan oleh pemerintah dalam
rangka membentengi birokrasi dari politik praktis, nampaknya hal ini belum berjalan secara
efektif. Kasus-kasus pelanggaran terkait politisasi birokrasi masih banyak ditemukan dalam
banyak pilkada di Indonesia. Mayoritas pola/bentuk politisasi birokrasi yang dilakukan oleh
aktor-aktor politik yang bertarung dalam pilkada cenderung sama, yakni berkutat pada
pemanfaatan fasilitas birokrasi, pemanfaatan jaringan birokrasi yang terstruktur dan hierarkis,
pemanfaatan informasi birokrasi, dan penempatan jabatan publik (birokrat karier)
berdasarkan relasi politik. Kegiatan-kegiatan itu dilakukan untuk menarik simpati rakyat, dan
mendongkrak suara dari pasangan calon tertentu yang memanfaatkan sumber daya birokrasi
tersebut. Namun, politisasi birokrasi tidak hanya berkutat pada adanya intervensi politik dari
partai politik atau pejabat eksekutif yang berupaya menggiring pegawai birokrasi agar
mendukung mereka. melainkan ada pula motivasi dari aparat birokrasi untuk mendapat
keuntungan dari dukungan politik tersebut, khususnya kenaikan jabatan/pangkat. Berdasar
hal ini, maka dalam politisasi birokrasi telah terjadi hubungan yang bersifat resiprositas,
yakni hubungan timbal balik yang saling menguntungkan baik bagi pihak politisi maupun

5
Frederickson, H. Gorge and Kevin B Smith. (2003). The Public Administration Theory Primer. U​ nited Kingdom:
Wetsview Press. In ​Daniarsyah, D. (2016). Bureaucratic political and neutrality of bureaucracy in Indonesia.
JIPSI-Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi UNIKOM,​ ​5​(2)​.
6
​Huda Nimatul. (2017). ​Penataan demokrasi dan pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. ​Jakarta : Kencana.

4
birokrasi. Hal ini karena politisi membutuhkan birokrasi sebagai mesin politik, dan birokrasi
membutuhkan dukungan politisi sebagai sarana penunjang karir.
Berikut akan dipaparkan beberapa bentuk politisasi birokrasi dalam pilkada di
Indonesia berdasar pada kasus-kasus yang sudah pernah terjadi sejak era reformasi.
a. Memanfaatkan Fasilitas Birokrasi
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dijelaskan bahwa
terdapat larangan bagi pejabat untuk menggunakan fasilitas negara saat berkampanye.
fasilitas negara yang dimaksud meliputi sarana mobilitas seperti kendaraan, gedung dan
ruang pertemuan di kantor, rumah dinas, sarana perkantoran lainnya, dan fasilitas-fasilitas
kantor lainnya yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Namun tidak dapat dipungkiri walaupun
sudah terdapat reformasi birokrasi dan sejumlah peraturan yang melarang penggunaan
fasilitas birokrasi untuk keperluan kampanye, hal ini masih dapat dijumpai dalam fenomena
pilkada era reformasi. Pemanfaatan fasilitas birokrasi merupakan salah satu bentuk politisasi
birokrasi yang digunakan untuk pemenangan calon yang bertarung dalam pilkada atau untuk
partai politik pengusung calon.
Fasilitas kantor seringkali digunakan oleh para petahana untuk kepentingan partainya
seperti fasilitas ruang pertemuan dalam kantor yang digunakan untuk merumuskan strategi
pemenangan atau untuk melakukan pertemuan dengan partai-partai pendukung, fasilitas
kendaraan dari kantor yang digunakan sebagai sarana mobilisasi petahan untuk melakukan
kampanye, fasilitas media milik kantor yang juga dimanfaatkan untuk melakukan kampanye.
Selain itu, jauh sebelum pilkada, secara sistematis dilakukan langkah-langkah guna
membantu kemenangannya. Pertama, ia berusaha melakukan manajemen pada wilayah
aktivitas birokrasi dan memanfaatkan mereka untuk kepentingannya. selain itu, dilakukan
pemanfaatan anggaran uang negara untuk mencari simpatik pemilih lewat program-program
proyek sosial APBD dan dana-dana simpanan BUMD untuk didistribusikan kepada
basis-basis pendukung. Pelanggaran pilkada oleh PNS tersebut banyak dipicu oleh kepala
daerah yang tidak bersikap negarawan. Kepala daerah seperti ini biasanya memaksa PNS
yang menjadi bawahannya agar berpihak kepada salah satu peserta pemilu, dengan ancaman
mencopot jabatan yang bersangkutan bila tidak menuruti kehendaknya. Memang sangat sulit
bagi PNS untuk tetap komit menjaga kenetralannya ketika kepala daerah yang menjadi atasan

5
langsungnya bersikap memihak salah satu peserta pemilu atau menjadi peserta pemilu.
Terlebih lagi jika kepala daerah itu juga menjabat pimpinan partai politik di daerahnya.7
Seperti yang dilakukan oleh lima bupati dari Kebumen, Demak, Kendal, Pati, dan
Batang yang diduga menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan partai politik tertentu.
Apalagi para bupati tersebut merupakan pengurus partai politik. Pelanggaran yang dilakukan
para bupati tersebut adalah memanfaatkan fasilitas kantor untuk kepentingan partainya,
memanfaatkan organisasi kantornya seperti Dharma Wanita untuk kepentingan partainya,
mengizinkan partainya memasang atribut partai tanpa izin dari panitia pengawas padahal
partai politik lain harus dengan seizin panitia pengawas terlebih dahulu.8 Dalam laporan
Ketua Panwaslu Sumut, di Kabupaten Tapanuli Tengah, juga ditemukan pelanggaran terkait
fasilitas birokrasi yaitu ditemukannya bukti rekaman Kepala Desa dan Camat yang dengan
sengaja menyerukan masyarakat memilih Partai Demokrat. Hal yang juga sama terjadi di
Pematang Siantar. Dalam rapat dengan Komisi II DPR pada 4 Mei 2009 Mendagri
Mardiyanto melaporkan ada 68 kasus pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara
untuk kepentingan kampanye politik parpol tertentu.9 Pemanfaatan fasilitas birokrasi juga
dilakukan pada masa pilkada di kabupaten Siak tahun 2011. Gedung Astaga kantor Camat
Kandis digunakan sebagai tempat penumpukan dan penyimpanan baliho pasangan
Syamsuar-Alfedri. Baliho ini merupakan baliho kampanye yang berisi ajakan kepada
masyarakat untuk memilih Syamsuar dan Alfredi sebagai bupati dan wakil bupati Kabupaten
Siak. Dalam hal ini, Syamsuar-Alfredi menggunakan fasilitas birokrasi untuk kepentingan
pribadinya dalam rangka memenangkan pilkada tahun 2011. dari beberapa kasus pilkada era
reformasi dimana masih banyaknya penggunaan fasilitas birokrasi untuk meraih dukungan
suara dalam pilkada, mencerminkan bahwa birokrasi belum sepenuhnya netral dari politik.
b. Memanfaatkan Jaringan Birokrasi yang Terstruktur dan Hierarkis
Birokrasi adalah Pegawai Negeri dari pejabat eselon atau jabatan struktural sampai
jabatan fungsional yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Dalam pengertian ini dapat
dipahami bahwa birokrasi memiliki jaringan yang terstruktur yang ditunjukan dalam tatanan
hierarkisnya dari mulai jabatan yang paling bawah yaitu eselon I hingga jabatan yang paling

7
Indaru Setyo Nurprojo. (2014). “Merit System and Political Bureaucracy in The Era of Regional
Autonomy”.​Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS​, Vol. 8, No. 1, Hal. 50
8
​M. Adian Firnas. Op.Cit. Hal. 182
9
Enny Suryanjari. (2009). “Catatan Kritis terhadap Politisasi Birokratisasi Dalam Pemilu”. ​Pusat Pengkajian dan
Penelitian Kepegawaian BKN,​ Vol. 3, No.1, Hal. 61

6
atas yaitu eselon V.10 Jaringan yang terstruktur dan hierarkis dalam birokrasi ini dimanfaatkan
untuk memperoleh dukungan suara dari masyarakat. Hal ini merupakan salah satu bentuk
yang membuat ketidaknetralan birokrasi di Indonesia khususnya dalam ranah pilkada era
reformasi.
Pemanfaatan jaringan birokrasi untuk pilkada ini terjadi karena adanya “paksaan”
dari atasan mereka yang merupakan seorang politisi atau petahana yang maju kembali dalam
pilkada. Atasan seperti ini biasanya “memaksa” bawahannya agar berpihak kepada salah satu
peserta pemilu dengan ancaman mencopot jabatan yang bersangkutan apabila tidak menuruti
kehendaknya. Apabila PNS menuruti kehendak dari atasannya dan atasannya tersebut dapat
memenangkan pilkada, maka para PNS akan dijanjikan untuk naik jabatan. Jenjang karier
yang ditawarkan ini menjadi salah satu faktor yang membuat akhirnya para birokrat menuruti
kehendak atasannya dengan terlibat dalam proses politik. Selain itu, terdapat adanya ikatan
emosional oknum birokrat terhadap salah satu partai politik atau politisi. Hal ini bisa terjadi
karena birokrat mempunyai hak pilih, dan mereka diberikan kebebasan untuk memilih. Di
lain pihak, birokrat juga merupakan target potensial, dengan jumlah jutaan dan perangkat
yang dimilikinya jelas mengundang selera partai politik atau politisi untuk memanfaatkan
mereka.11 Selain hal tersebut, birokrat juga dinilai efektif sebagai salah satu mesin kampanye
dalam pilkada. Birokrat dinilai mampu untuk memobilisasi masyarakat untuk mendukung
pasangan calon tertentu baik secara langsung maupun terselubung. Birokrat memobilisasi
masyarakat untuk mendukung pasangan calon tertentu dalam pilkada melalui ​vote buying dan
pork barrel​. Konsep pembelian suara atau ​vote buying dilakukan birokrat dengan
menjalankan pola pembelian suara di masyarakat tetapi para birokrat tidak terjun langsung
dalam hal mendistribusikan sumber daya untuk masyarakat. Para birokrat kembali
menggunakan jejaring perantara yang dapat dengan mudah terhubung dengan masyarakat
agar dalam proses pembelian suara bisa berjalan dengan lancar tanpa ada masalah. Sementara
pork barrel adalah kegiatan yang ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik
dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada politisi. Fenomena
Birokrat yang memobilisasi masyarakat lewat ​vote buying dan ​pork barrel​ ini dapat ditemui
dalam kasus pilkada kendari tahun 2017, dimana Asrun yang merupakan walikota aktif
menggunakan aparat birokrasi untuk memenangkan anaknya, Adriatma Dwi Putra sebagai

10
Ibid, hal. 58-59
11
​Enny Suryanjari. Op. Cit. Hal. 60

7
walikota Kendari pada pilkada tahun 2017. Asrun melibatkan birokrasi dengan perjanjian
meliputi penentuan karir dan jabatan birokrasi di Kendari, bentuk pertama ini dilakukan
dalam rangka konsolidasi dukungan dari birokrasi untuk memenangkan anaknya. Selain itu,
terdapat ​vote buying di masyarakat untuk memobilisasi suara masyarakat dalam hal memberi
dukungan untuk anaknya. metode ​Vote buying ini dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh
Camat, Lurah, dan Dinas Kebersihan Kendari. Selain itu juga terdapat ​pork barrel, dengan
membangun jalan, taman, dan lapangan tennis di perumahan khusus dosen dan tenaga
pendidik untuk memperoleh suara.12
Tidak hanya terselubung, Birokrat juga melakukan mobilisasi masyarakat secara
langsung, salah satunya dalam kasus pilkada di Sumatera utara, dimana Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Sumatera Utara menemukan sedikitnya terdapat tujuh kepala daerah
memobilisasi aparat pemerintahannya untuk memenangkan caleg dan parpol tertentu. Tujuh
daerah tersebut adalah Kota Pematang Siantar, Binjai, Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli
Tengah, Asahan, Serdang Bedagai, dan Labuhan Batu. Di Kabupaten Tapanuli Tengah
Panwaslu menemukan bukti rekaman kepala desa dan camat yang dengan sengaja
menyerukan masyarakat memilih Partai Demokrat. Sementara itu di Pematang Siantar,
panwaslu juga menemukan seorang Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Surung
Sialagan, melakukan kampanye yang melibatkan kepala sekolah, penilik, guru. Kampanye
dilakukan untuk memenangkan Partai Demokrat.13 Hal ini menunjukan bahwa tatanan
birokrasi yang hierarkis dan terstruktur mampu dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan
suara dari masyarakat dan dinilai efektif karena menciptakan hubungan antara birokrat dan
masyarakat.
c. Memanfaatkan Informasi Birokrasi
Birokrasi merupakan pusat dan/atau sumber informasi utama dalam suatu
pemerintahan. Birokrasi memiliki penguasaan atas informasi. Hal ini bisa dijelaskan karena
bertahun-tahun institusi dan aparat birokrasi menjalankan berbagai macam tugas dan
kewenangan yang secara rutin dilakukan. Selain itu, karena terus menerus berhubungan
dengan masalah teknis yang sama dalam kegiatannya, aparat birokrasi memiliki keahlian
teknis untuk menginterpretasikan informasi yang ada dalam pemerintahan. Hal ini
menyebabkan mereka memiliki kesempatan untuk mengetahui secara detail segala macam

12
Luthfi Wahyudi. Op.Cit. Hal. 161
13
​ Enny Suryanjari. Op. Cit. Hal. 61

8
informasi berkenaan dengan bidang tugas dan interkonektivitas faktor yang berhubungan
dengan tugas tersebut.
Informasi yang dirumuskan, dibentuk, dan disebarluaskan oleh institusi birokrasi
adalah salah satu sumber informasi utama yang diterima oleh rakyat dalam beragam bentuk,
baik itu yang memuat penjelasan teknis dari program pemerintah, kampanye/penuansaan atas
program dan kebijakan pemerintah, informasi keberhasilan program pemerintah, ataupun
sebatas himbauan-himbauan tertentu yang ditujukan kepada masyarakat. Dalam posisinya
yang sangat strategis dan menentukan inilah, informasi yang diproduksi institusi birokrasi
sering dimanfaatkan oleh para kepala daerah, khususnya petahana yang akan maju kembali
dalam pilkada, dengan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu yang bertujuan untuk
meraih kepentingan politik elektoralnya. Salah satu bentuk politisasi birokrasi di bidang
informasi yang paling dominan adalah menggunakan birokrasi untuk meningkatkan citra
petahana sebagai pemimpin yang berhasil dengan mengedepankan sosok individunya, bukan
visi-misi pemerintah atau daerah. Semua kebijakan-kebijakan yang dipandang memiliki
manfaat luas di masyarakat dikooptasi oleh petahana sebagai keberhasilan dirinya pribadi
dalam memimpin, dan birokrasi melakukan penuansaan itu melalui kampanye di beragam
media, seperti pemasangan spanduk bergambarkan calon kepala daerah petahana dan
iklan-iklan di media massa, seperti di media yang menjadi mitra pemerintah dan website
resmi birokrasi daerah. Spanduk dan iklan berisi beragam macam pesan, mulai dari ucapan
selamat atas pelantikan dan/atau hari-hari besar nasional, uraian keberhasilan pembangunan
daerah, program-program yang berorientasi pada bantuan sosial dan kesejahteraan, hingga
himbauan-himbauan tertentu yang mendayagunakan institusi birokrasi berdasarkan bidang
mereka masing-masing.
Pada dasarnya, sudah sangat banyak preseden yang menunjukkan bahwa pemanfaatan
informasi birokrasi untuk tujuan politik elektoral ini sering terjadi dalam pilkada di
Indonesia. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, media massa menjadi sarana
yang paling efektif untuk sosialisasi kinerja petahana. Pada akhir periode kepemimpinan
petahana, pemberitaan kegiatan dan aktivitas calon petahana sangat ramai diberitakan, baik
itu kegiatan memberi bantuan, peresmian rumah ibadah maupun kegiatan sosial lainnya.
Untuk memuluskan langkah tersebut, pemerintah daerah melakukan kerjasama dengan pihak
media cetak, guna melakukan publikasi kegiatan pemerintah dalam bentuk iklan dan

9
kampanye. Beberapa contoh kasus terjadi ialah di Pilkada Ternate tahun 2015 dan Pilkada
Jambi 2018.
Dalam Pilkada Ternate 2015, Wali Kota Ternate Burhan Abdurahman yang maju
kembali dalam kontestasi pilkada, memanfaatkan program dan kegiatan publikasi Bagian
Humas Pemerintah Kota Ternate dengan membuat pemberitaan yang berkaitan dengan
petahana dalam jumlah besar untuk mendominasi rubrik media massa. Terdapat kepentingan
politik elektoral yang dimotori oleh elite birokrasi untuk mendukung kegiatan petahana,
walaupun bentuk komunikasi yang ditampilkan ke publik menunjukkan kegiatan kerja
professional. Petahana melibatkan dukungan elite birokrasi dalam membantu kerja-kerja
politiknya untuk membentuk opini publik sehingga diterima masyarakat luas. Petahana
menggunakan publikasi media cetak sebagai sarana edukasi sekaligus kampanye guna
menepis isu korupsi dan kampanye hitam yang digemborkan lawan politik selama tahapan
pilkada. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima informasi yang berimbang
terkait dengan pencapaian dan keberhasilan dalam membangun kota Ternate14.
Dalam kasus lain di Pilkada Jambi tahun 2018, Pemerintah Kota Jambi melalui
birokrasinya mulai menyebarluaskan keberhasilan wali kota petahana dalam berbagai bidang,
disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Namun, pesan utama ingin disampaikan
ialah cenderung lebih menonjolkan pribadi petahana sebagai sosok yang layak untuk dipilih
kembali oleh masyarakat Kota Jambi dalam pilkada tahun 2018. Penyaluran informasi
birokrasi yang digunakan petahana disalurkan melalui media yang bermitra dengan
pemerintah, seperti Sorot Jambi dan website resmi birokrasi terkait ataupun dengan
memasang spanduk berukuran besar di depan kantor pejabat birokrasi. Hal ini menunjukkan,
bahwa informasi yang diproduksi oleh birokrasi digunakan untuk mengkampanyekan klaim
keberhasilan yang telah Syarif Fasha lakukan selama masa kepemimpinannya15.
d. Melakukan Penempatan Birokrat berdasarkan Relasi Politik
Dalam mendukung tugas dan fungsinya agar mampu bekerja secara profesional,
aparat birokrasi harus melalui beberapa pelatihan dan pembekalan yang sesuai dengan bidang
mereka masing-masing. Namun dalam tataran praktiknya, sebagaimana yang telah menjadi
pemahaman umum, motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan acapkali

14
Mansyur Jamal. (2018). Petahana dan Politisasi Birokrasi: Studi pada Pilkada Kota Ternate 2015. Tesis.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm. 45-49.
15
Candra Andika. (2019).​ ​Politisasi Birokrasi dalam Pilkada Kota Jambi tahun 2018. Skripsi. Depok: Universitas
Indonesia. hlm. 36-38.

10
bukan untuk menguasai keahlian yang dapat mendukung kinerjanya, melainkan hanya untuk
memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Dan sialnya, untuk
mendapat kenaikan pangkat dan jabatan tersebut, banyak birokrat yang mengalami kesulitan
apabila harus menempuh jalan yang berjenjang sesuai aturan main. Dalam kondisi seperti ini,
terlibat dalam politik praktis (politisasi) dipandang sebagai salah satu alternatif untuk
memuluskan jalan menuju kenaikan jabatan/pangkat tersebut. Maka dari itu, dalam
menjalankan pekerjaannya, para birokrat terkadang menempuh langkah-langkah politisasi
untuk mengamankan jabatannya. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah dengan
masuknya birokrat ke dalam kegiatan politik seperti pilkada. Dalam konteks ini, birokrat
berperan menjadi tim pemenangan salah satu calon kandidat yang akan bertarung.
Diharapkan dengan dukungan tersebut memudahkan jalan birokrat untuk mendapatkan posisi
jabatan strategis di daerah, apabila calon kandidat yang didukung memenangkan pilkada16.
Kondisi birokrasi yang semacam ini, dimanfaatkan oleh para politisi/petahana untuk
melanggengkan kekuasaan mereka. Ada timbal balik yang terjadi dalam hubungan yang
saling membutuhkan dan saling menguntungkan ini. Petahana membutuhkan birokrasi
sebagai mesin politik, dan birokrasi sangat mengharapkan adanya hubungan khusus dengan
petahana sebagai sarana penunjang karir. Meskipun ada mekanisme lelang jabatan, akan
tetapi pada akhirnya, keputusan tetap berada di bawah kendali kekuasaan politik, khususnya
kepala daerah. Maka dari itu, petahana s
Seringkali memanfaatkan kuasanya untuk menekan dan melakukan intervensi
terhadap birokrasi untuk mau mendukungnya dalam pilkada. Mengingat, hanya ada dua
kemungkinan yang terjadi bagi para aparat birokrasi, yakni: ​pertama, posisinya aman
dan/atau dapat naik pangkat jika mendukung petahana. ​Kedua, ​aparat birokrasi harus bersiap
dimutasi apabila dianggap tidak melakukan kerja-kerja politik atau memiliki kontribusi yang
minim bagi pemenangan petahana. Femonena-femonena semacam ini akhirnya memunculkan
akronim yang bernada sinis, yakni ASN-PNS (Asal Setia Naik Pangkat, Naik Status).
Fenomena promosi jabatan yang diberikan kepada pejabat birokrat yang mendukung
calon kepala daerah dalam pilkada merupakan sebuah masalah yang terus menerus terjadi di
Indonesia. Politisasi birokrasi semacam ini didukung dengan tidak adanya sistem merit yang

16
​Erman, E., & Rayadi, R. M. (2014). Politisasi Birokrasi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Studi Mobilisasi
Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Tahun 2011). ​Jurnal Online Mahasiswa Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau,​ ​1​(1).

11
mengharuskan penempatan pejabat secara kompetitif, transparan, dan berbasis pada
kompetensi membuat politisasi birokrasi meluas di hampir semua daerah. Padahal, promosi
seharusnya didasarkan pada prestasi kerja, kompetensi, profesionalitas, kedisiplinan, dan
loyalitas yang memberikan dampak positif bagi birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukan dengan memberi
promosi atas dasar loyalitas politis kepada pimpinan17.

Analisis
Pada hakikatnya, birokrasi dan politik adalah dua hal yang berbeda namun tidak dapat
dipisahkan satu sama lain yang dibuktikan dengan fakta empiris peran dan perilaku politik
dalam birokrasi. Ketidakterpisahan antara birokrasi dan politik ini didukung oleh teori
birokrasi politik yang dikemukakan oleh Graham Allison. Asumsi dari teori ini menjelaskan
peran administrasi dan birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, sekaligus
menolak pandangan yang memisahkan antara administrasi dan politik. Dalam konteks
pilkada dapat dilihat bahwa birokrasi seringkali dijadikan sebagai sarana bagi petahana untuk
melanggengkan kekuasaannya. Birokrasi dinilai efektif untuk memperoleh dukungan suara
bagi petahana karena sifatnya yang dekat dengan masyarakat. Hal ini menjadi salah satu
pemicu bahwa birokrasi tidak netral sepenuhnya dari politik. Ditambah lagi, untuk naik ke
sebuah jabatan dalam birokrasi, tak jarang diperlukan sebuah relasi yang terbangun antara
atasan dan bawahan dalam birokrasi. Apabila atasan merupakan seorang petahana, maka tak
jarang atasan menggunakan syarat apabila birokrat ingin naik jabatan maka harus mendukung
dirinya dan harus memobilisasi masyarakat untuk mendukung dirinya dalam pilkada. Dari
konteks pilkada dapat dilihat bahwa politik dan birokrasi adalah dua hal yang tidak
terpisahkan, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Graham Allison. Hal ini membuat
akhirnya birokrasi menjadi terpolitisasi. Politisasi birokrasi menurut Nimatul Huda dapat
berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi. Hal ini dapat terjadi ketika
partai politik pengusung petahana berusaha membantu petahana melanggengkan kekuasaanya
dengan memanfaatkan birokrasi. Hal ini juga dapat terjadi ketika “atasan” merupakan bagian
atau anggota partai politik tertentu sehingga tentu saja tidak terlepas dari adanya intervensi
partai politik. Selain itu, Politisasi birokrasi juga berasal dari internal eksekutif yang

17
​Sidete, H. (2016). ​POLITISASI PROMOSI JABATAN BIROKRASI (Kajian Politisasi birokrasi dan Promosi Jabatan
Di Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat)​ (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

12
mempolitisasi birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan), baik dari kepala daerah ataupun
pejabat birokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya. Petahana menggunakan birokrasi
sebagai alat untuk memperoleh dukungan suara dengan memanfaatkan birokrasi untuk
memobilisasi masyarakat dan memanfaatkan informasi yang dimiliki oleh birokrasi. Birokrat
menuruti kehendak petahana dengan balas jasa berupa kenaikan jabatan apabila petahana
terpilih kembali dalam pilkada. Apabila dilihat maka salah satu fokus dari reformasi birokrasi
yaitu netralitas memang belum sepenuhnya terwujud, karena pada dasarnya politik dan
birokrasi adalah dua hal yang sulit dipisahkan sehingga politisasi birokrasi masih marak
terjadi.

Kesimpulan
Reformasi politik pasca 1998 berimplikasi kepada birokrasi, dimana terdapat l​arangan
bagi pejabat untuk melibatkan birokrat (PNS) dalam politik praktis maupun larangan bagi
birokrat (PNS) untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Dalam artian, birokrasi haruslah
netral dari segala kegiatan dan praktik politik. Namun, pada era reformasi nyatanya masih
banyak birokrat yang terlibat dalam politik atau dilibatkan dalam politik yang kemudian
disebut politisasi birokrasi. Politisasi birokrasi salah satunya terjadi dalam pelaksanaan
pilkada secara langsung. Terdapat banyak calon yang memanfaatkan birokrasi sebagai mesin
politik untuk memperoleh dukungan suara dalam pilkada langsung karena birokrasi dinilai
sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendapatkan suara terutama suara dari masyarakat.
Para birokrat menuruti kehendak karena dijanjikan dengan kenaikan jabatan dan jenjang
karier. Bentuk-bentuk politisasi birokrasi diantaranya adalah sebagai berikut: ​memanfaatkan
fasilitas birokrasi; memanfaatkan jaringan birokrasi yang terstruktur dan hierarkis,
memanfaatkan informasi birokrasi, dan melakukan penempatan birokrat berdasarkan relasi
politik. Pada dasarnya menurut Graham Allison, Politik dan birokrasi adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan sehingga rentan untuk terjadinya politisasi birokrasi yang menurut
Nimatul Huda dapat berasal dari sisi partai politik ataupun sisi internal eksekutif. ​Politisasi
birokrasi kemudian menjadi salah satu masalah serius dalam birokrasi di Indonesia
khususnya dalam pelaksanaan pilkada secara langsung pada era reformasi karena di era
reformasi netralitas para birokrat nyatanya belum sepenuhnya terwujud.

13
Daftar Pustaka
Buku
B. Guy Peters .(1989). ​The politics of bureaucracy.​ New York : Logman Ign
Toha, Miftah. (2007). ​Birokrasi politik & pemilihan umum di Indonesia.​ Jakarta: Penerbit
Rajawali Pers.
Jurnal dan Artikel
Andika, Candra. (2019). Politisasi Birokrasi dalam Pilkada Kota Jambi tahun 2018. Skripsi.
Depok: Universitas Indonesia. hlm. 36-38.
Daniarsyah, D. (2016). Bureaucratic political and neutrality of bureaucracy in Indonesia.
JIPSI-Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi UNIKOM,​ ​5(​ 2).
E, Erman, & M. Rayadi, R. (2014). Politisasi Birokrasi pada Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Studi Mobilisasi Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Daerah Kabupaten Siak
Tahun 2011). ​Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau,​ ​1(​ 1).
Firnas, M. Adian. (2016). “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia
Era Reformasi”. J​urnal Review Politik Vol. 06, No. 01, h​ al. 160-194
H. ​Sidete. (2016). ​POLITISASI PROMOSI JABATAN BIROKRASI (Kajian Politisasi
birokrasi dan Promosi Jabatan Di Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat)
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Huda Nimatul. (2017). ​Penataan demokrasi dan pemilu di Indonesia Pasca Reformasi.
Jakarta : Kencana.
Jamal, Mansyur. (2018). Petahana dan Politisasi Birokrasi: Studi pada Pilkada Kota Ternate
2015. Tesis. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm. 45-49.
Nurprojo, Indaru Setyo. (2014). “Merit System and Political Bureaucracy in The Era of
Regional Autonomy”.​Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS​, Vol. 8, No. 1, Hal. 50
Suryanjari, Enny. (2009). “Catatan Kritis terhadap Politisasi Birokratisasi Dalam Pemilu”.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN,​ Vol. 3, No.1, Hal. 61
Wahyudi, Luthfi Wahyudi. “Politisasi Birokrasi Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah
secara Langsung”. ​Jurnal Paradigma, Vol. 7, No. 3, hal. 155-164.

14

Anda mungkin juga menyukai