Anda di halaman 1dari 11

Nama Mahasiswa Shalsabila Kharismadini Kartika

NIM 190711637206
Pertemuan Ke 12
Hari/Tanggal Senin, 26 April 2021
Materi 1. Ketentuan Hukum Islam dalam bidang Jual Beli
2. Ketentuan Hukum Islam dalam bidang Perserikatan
Sumber Pustaka Saripudin, Udin. 2016. Syirkah dan Aplikasinya dalam Lembaga
Keuangan Syariah. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 4 No. 1
April 2016. Online (diakses tanggal 22 April 2021)
http://ojs.staibhaktipersada-
bandung.ac.id/index.php/Alamwal/article/download/6/4

Shobirin. 2015. Jual Beli dalam Pandangan Islam. Jurnal Bisnis dan
Manajemen Islam BISNIS, Vol. 3, No. 2, Desember 2015.
Online (diakses tanggal 22 April 2021)
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/view/1494

CATATAN HASIL BELAJAR

Ketentuan Hukum Islam dalam Bidang Jual Beli

A. Pengertian Jual Beli


Berdasarkan Fiqih Islam jual-beli berasal dari istilah Al-bai' yang artinya menjual,
mengganti atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal Al-bai' dalam
bahasa Arab terkadang juga digunakan untuk pengertian Asy-syira yang berarti beli.
Dengan demikian kata Al-bai' berarti jual tetapi sekaligus juga berarti beli. Pengertian
lain juga diungkapkan oleh para ahli seperti :
 Menurut Syekh Muhammad Ibn Qassim Al Ghazi, secara syara' pengertian
jual-beli yang paling tepat adalah memiliki sesuatu harta atau uang dengan
mengganti sesuatu atas dasar izin syara', sekedar memiliki manfaatnya saja
yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan
melalui pembayaran yang berupa uang. (Al-Ghazzi, t.th:30)
 Menurut Imam Taqiyyuddin dalam kitab Kifayatul al-Akhyar jual beli
diartikan sebagai kegiatan saling tukar harta, saling menerima dapat dikelola
dengan Ijab Qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara'. (Taqiyuddin,
t.th:329).
 Menurut Syekh Zakaria Al Anshari dalam kitabnya Fath Al wahhab jual beli
diartikan sebagai kegiatan tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus
atau dibolehkan. (Zakariya, t.th:157).
 Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah jual beli diartikan sebagai
penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan
hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Sabiq,
t.th:126)
 Sedangkan menurut ulama dengan mazhab Hanafiyah mengartikan jual beli
sebagai pertukaran harta dengan didasarkan pada cara khusus yang dibolehkan
syara' yang disepakati.
B. Dasar Hukum Jual Beli
 Dasar hukum jual beli tersirat dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berarti :

"Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila
keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata atau
berpendapat sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan Tuhannya lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, sebelum datang
larangan dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba) maka itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya. (Q.S.Al.Baqarah: 275)

Dengan menilik ayat tersebut maka dapat kita simpulkan jika pada dasarnya
Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-Nya namun ia melarang
praktik jual-beli yang mengandung riba.
 Hal ini dipertegas dalam QS An-nisa ayat 29 yang berbunyi :

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu. (Q.S. An-
Nisa: 29)
 Dan QS Al-baqarah ayat 282 yang berbunyi :

"Dan persaksikanlah apabila kamu jual beli. (QS. Al-Baqarah: 282).

Berdasarkan ayat tersebut Allah juga mengharamkan hambanya untuk


memakan harta sesama dengan jalan yang batil contohnya adalah korupsi,
menipu, mencuri, memeras, riba dan segala macam jalan yang tidak
dibenarkan Allah kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli yang didasari
atas suka sama suka dan saling menguntungkan dan disaksikan oleh keduanya
sehingga tidak ada unsur kecurangan.
 Sesungguhnya yang demikian itu telah disabdakan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bazzar yang berbunyi :
"Dari Rif'ah Ibnu Rafi sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya "Usaha apa
yang paling baik?" Rasulullah pun menjawab "Usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang mabrur atau jujur".
 Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh imam muslim Rasulullah juga
bersabda :

"Dari Hurairah RA. Rasulullah mencegah dari jual beli melempar kerikil dan
jual beli Garar." (H.R. Muslim (Muslim, t.th : 156-157)

Dengan demikian jelas sudah bahwa jual beli memiliki hukum mubah atau
boleh namun disisi lain Imam Asy-syathibi mengatakan jual beli bisa menjadi
haram yaitu ketika terjadi ihtikar atau penimbunan barang yang menyebabkan
persediaan dan harga melonjak naik. Namun ulama telah sepakat bahwa jual-
beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Rukun dan syarat jual beli harus di penuhi agar pihak-pihak yang terlibat dalam
hubungan tersebut tidak ada yang merasa dirugikan. Berikut syarat dan rukun yang
harus dipenuhi dalam melakukan transaksi jual beli.
a. Menurut pendapat Jumhur Ulama, Rukun jual beli terbagi menjadi empat hal
berikut yaitu :
1) Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidaini (penjual dan pembeli)
2) Ada shigat ijab dan qabul
3) Ada barang yang diperjualbelikan (objek)
4) Ada nilai tukar pengganti barang
b. Keempat rukun diatas harus memenuhi berbagai persyaratan yang menjadi
syarat jual beli, yaitu sebagai berikut :
1) Syarat orang yang berakad
 Berakal, artinya dapat membedakan mana yang terbaik
baginya.
 Baligh (dewasa). Kriteria baligh untuk laki-laki dalam hukum
islam adalah telah bermimpi dan berusia 15 tahun sedangkan
untuk perempuan ketika sudah haid.
 Dengan kehendaknya sendiri, artinya bukan didasarkan atas
paksaan pihak lain.
2) Syarat Ijab Qabul
Lafal akad beras dari bahasa arab Al-Aqd yang artinya perikatan,
perjanjian dan permufakatan. Sedangkan secara fiqh Islam akad berarti
pertalian (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul pernyataan
penerimaan ikatan sesuai kehendak syariat yang berpengaruh terhadap
objek perikatan. Akad artinya persetujuan antara si penjual dan si
pembeli. Perkataan penjual dinamakan ijab, umpamanya seperti, “Aku
menjual barangku dengan harga sekian,” sedangkan perkataan pembeli
disebut qabul, umpamanya seperti “Aku beli barangmu dengan harga
sekian." Jual beli dapat dikatakan sah setelah terdapat pernyataan ijab
qabul sebagai tanda kerelaan kedua pihak.
Syarat sah ijab qabul adalah sebagai berikut :
a) Antara sighat ijab qabul harus bersambung. Cirinya adalah
sebagai berikut :
 Tidak ada yang membatasi, si pembeli tidak boleh diam
saja setelah si penjual menyatakan ijab, begitupun
sebaliknya.
 Ada kesepakatan ijab dan qabul pada barang yang
saling mereka relakan berupa barang yang dijual dan
harga barang tersebut. Kemudian jika kedua pihak tidak
sepakat makan akad tidak sah.
 Tidak dita’likkan. Contohnya, “Jika bapakku telah mati,
barang ini akan kujual kepadamu”.
 Tidak dibatasi waktunya. Contohnya, “Aku jual barang
ini kepadamu untuk satu bulan ini saja”.
b) Dinyatakan dalam satu majelis.
Artinya kedua pihak harus hadir dan membicarakan topik yang
sama. Misalnya saja penjual mengucapkan ijab namun pembeli
sedang mengerjakan aktivitas lain tetapi kemudian mengucap
qabul atau ia berdiri sesaat setelah ijab diucapkan dan tanpa
mengucap qabul maka hal yang demikian itu tidak sah. Hal ini
dikarenakan pengertian hadir disini tidak hanya secara fisik
berada di tempat yang sama tetapi juga harus satu situasi dan
kondisi sehingga sekalipun antar keduanya berjauhan tetapi
topik yang dibicarakan harus sama yaitu perihal jual beli
tersebut.
3) Syarat barang yang diperjualbelikan (ma'qud alaih)
 Suci, barang tersebut harus suci, tidak najis atau mutanajis
(terkena najis). Dengan kata lain ma'qud alaih haruslah segala
sesuatu yang suci, yakni dapat dimanfaatkan menurut syara',
bukan termasuk benda yang diharamkan.
 Bisa diserahterimakan. Ma'qud alaih haruslah segala sesuatu
yang dapat diserahterimakan, yaitu bukan benda benda yang
mengandung gharar (spekulasi).
 Bermanfaat menurut syara'
 Barang itu milik sendiri dan dalam kekuasaan aqid. Artinya
barang yang diperjualbelikan adalah secara sah milik si penjual.
 Harus diketahui dengan jelas. Artinya kejelasan barang baik
dari zatnya (wujud, ukuran, jenis, kualitas, timbangan dll),
sifatnya maupun nilainya harus diketahui kedua belah pihak
untuk menjaga agar tidak terjadi persengketaan.
4) Syarat nilai tukar (harga barang)
 Harga yang disepakati kedua pihak harus jelas jumlahnya.
 Dapat diserahkan pada waktu akad, apabila berhutang maka
juga harus jelas waktu pelunasannya.
 Jika harga berupa uang maka akad tidak batal sebab dapat
diganti dengan namun jika harga menggunakan barang yang
dapat rusak dan tidak dapat diganti pada waktu itu maka
menurut ulama Hanafiyah akadnya batal.
D. Macam dan Bentuk Jual Beli
Ditinjau dari segi hukumnya, terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Jual beli yang dilarang agama dan batal hukumnya
a. Jual beli barang yang diharamkan hukumnya
b. Jual beli sperma (mani) hewan seperti mengawinkan seekor domba
jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan
c. Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan, dilarang karena
barangnya belum tampak
d. Jual beli dengan mubaqalah, baqalah artinya tanah, sawah, kebun.
Mubaqalah disini artinya menjual tanaman yang masih berada di
kebun, hal ini dilarang karena terdapat persangkaan riba
e. Jual beli mukhadarah, adalah menjual buah-buahan yang belum pantas
untuk dipanen. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar
f. Jual beli dengan mulammasah, adalah jual beli dengan praktik sentuh
menyentuh. Contohnya menyentuh berarti membeli. Hal yang
demikian dilarang karena mengandung tipuan dan dapat menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak
2. Jual beli yang dilarang agama tetapi sah hukumnya
a. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
b. Jual beli Najasyi, adalah menambah atau melebihi harga temannya
dengan maksud memancing orang-orang agar mau membeli barang
kawannya.
c. Menjual di atas penjualan orang lain. Contohnya dengan mengatakan :
"Kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja
kau beli dengan harga lebih murah dari itu."

Jual beli ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek, yaitu:

a. Jual beli benda yang kelihatan artinya pada waktu melakukan akad jual beli,
benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian atau jual beli salam
(pesanan). Artinya pembelian barang diserahkan kemudian hari, sedangkan
pembayarannya dilakukan di muka. Namun dalam melakukan transaksi jual
beli jenis ini haruslah memenuhi persyaratan yang telah disepakati untuk
menjaga agar tidak terjadi kerugian bagi semua pihak.
c. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat, adalah jual beli yang
dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap,
sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari cara-cara yang tidak
halal atau bukan milik sah si penjual dan dapat menimbulkan kerugian salah
satu pihak.
E. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli
Untuk menghindari terjadinya kerugian salah satu pihak maka jual beli haruslah
dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain
yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan
bagi kedua belah pihak. Maka kedua belah pihak haruslah melaksanakan apa yang
menjadi hak dan kewajiban masing-masing, diantaranya:
 Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli
 Kewajiban pihak pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran kepada
penjual

Ketentuan Hukum Islam dalam Bidang Perserikatan

A. Pengertian
Perserikatan atau syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilaf yang artinya campur atau
percampuran, yang dimaksud percampuran disini adalah pencampuran harta milik
sendiri dengan milik orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Sedangkan
secara syariah berarti transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha finansial dengan tujuan mencari keuntungan. Para fuqaha
mendefinisikan syirkah dalam beberapa pengertian yaitu sebagai berikut :
 Menurut Sayyid Sabiq syirkah adalah akad antara dua orang berserikat pada
pokok harta atau modal dan keuntungan.
 Menurut Al-syarbini Al-Khatib yang dimaksud syirkah adalah ketetapan hak
pada suatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur atau
diketahui.
 Menurut Syihab Al-Din Al-Qalyubi wa Umaira syirkah berarti penetapan hak
pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
 Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Al Husaini
mengatakan jika syirkah ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu
untuk dua orang atau lebih dengan cara yang diketahui.
 Menurut Imam Hasbie Ash-Shidieqie yang dimaksud dengan syirkah adalah
akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta'awun dalam bekerja
pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.
 Menurut Idris Muhammad mengatakan jika syirkah sama dengan syarikat
dagang yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama
dalam dagang dengan menyerahkan modal masing-masing di mana
keuntungan dan kerugiannya akan diperhitungkan menurut besar kecilnya
modal masing-masing.

Jadi secara istilah perserikatan atau yang biasa disebut syirkah dan musyarakah adalah
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan
dan resiko kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

B. Dasar Hukum
Hukum syirkah pada dasarnya mubah atau boleh. Dalil Alquran yang menerangkan
tentang syirkah antara lain :

"Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang bersyirkah itu, sebahagian mereka


berbuat zalim terhadap sebahagian yang lain kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh." (QS Shad 38:24)

Kemudian Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa Abu manhal pernah mengatakan :

"Aku dan syirkahku pernah membeli sesuatu secara tunai dan hutang. Kemudian
kami didatangi oleh Barra Bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya, ia menjawab,
"Aku dan Zaid bin Arqam juga mempraktikkan hal yang demikian. Selanjutnya kami
bertanya kepada Nabi SAW tentang tindakan kami tersebut. Beliau menjawab,
"Barang yang diperoleh secara tunai silahkan kalian ambil sedangkan yang
diperoleh secara hutang silakan kalian kembalikan." (HR al- Bukhari)

Hukum syirkah juga ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud Dari Abu
Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda,

"Sesungguhnya Allah telah berfirman aku jadi yang ketiga antara dua orang yang
berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu
berkhianat atas pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya." (HR Abu Dawud)

Kemudian terkait pelaku syirkah juga di singgung dalam hadis yang diriwayatkan
oleh muslim dari Abdullah bin Umar yang mana menjelaskan jika syirkah boleh
dilakukan antara sesama muslim, antara sesama kafir dzimmi atau antara seorang
muslim dan kafir. Maka dari itu seorang muslim juga boleh melakukan syirkah
dengan orang yang berbeda agama. Hal ini juga tersirat dalam sebuah hadis yang
berbunyi,

"Rasulullah pernah mempekerjakan penduduk Khaibar- mereka adalah Yahudi-


dengan mendapatkan bagian hasil panen buah dan tanaman."
C. Rukun dan syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah menurut para ulama adalah sebagai berikut :
1. Sighat atau ijab kabul
Adapun kalimat akad hendaknya mengandung arti izin buat membelanjakan
barang syirkah dari perseronya.
2. Al Aqidain atau subjek perikatan
Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu orang yang beraka, baligh dan
merdeka atau tidak dalam paksaan. Disarankan pula bahwa seorang mitra
hendaknya seseorang atau organisasi yang berkompeten dalam memberikan
kekuasaan perwakilan karena mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk
diusahakan.
3. Mahallul Aqd atau objek perikatan
Dapat berupa modal harta ataupun jasa kerja, modal harta hendaknya berupa
uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal yang disertakan oleh
masing-masing persero selanjutnya dijadikan satu yaitu menjadi harta
perseroan dan hendaknya tidak dipersoalkan lagi darimana asal-usul modal itu.

Syarat syirkah menurut mazhab Hanafiyah terbagi menjadi empat bagian yaitu :

1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk sirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan dan berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan diketahui oleh kedua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan
lain sebagainya.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah Mal atau harta terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi yaitu bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran seperti rupiah dan yang dijadikan modal atau
harta pokok ada harus ada ketika akad syirkah dilakukan.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, disyaratkan menenuhi
unsur-unsur berikut yaitu modal pokok harta dalam syirkah mufawadhah harus
sama, bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah dan bagi yang dijadikan objek
akad disyaratkan syirkah umum yakni pada semua macam jual-beli atas
perdagangan.
4. Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah Inan sama dengan syarat-
syarat syirkah mufawadhah.

Menurut Idris Ahmad syarat-syarat syirkah adalah sebagai berikut :

1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota


serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu,
2. Anggota Serikat itu harus saling mempercayai sebab masing-masing mereka
adalah wakil yang lainnya,
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing baik
berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
D. Macam dan jenis sirkah
Secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu :
1. Syirkah Amlak atau milik adalah perserikatan atau persekutuan antara dua
orang atau lebih untuk memiliki harta bersama tanpa melalui akad. Syirkah
dalam kategori ini juga terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu syirkah
ikhtiyariyah atau syirkah yang terjadi atas perbuatan dan kehendak pihak-
pihak yang berserikat dan syirkah ijbariyah atau syirkah yang terjadi tanpa
keinginan para pihak yang bersangkutan. Contohnya seperti persekutuan ahli
waris.
2. Syirkah uqud atau akad adalah persekutuan atau perserikatan antara dua
orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan
keuntungan. Menurut ulama mazhab Hambali membagi syirkah kategori ini
menjadi lima bentuk yaitu syirkah Inan Mufawadhah, Abdan, Wujuh dan
Mudharabah. Ulama mazhab Maliki membaginya menjadi empat bentuk yaitu
syirkah Inan, Mufawadhah, Abdan dan Mudharabah. Ulama Mazhab Syafi'i
hanya membenarkan syirkah Inan dan Mudharabah sedangkan ulama mazhab
Hanafi membaginya menjadi tiga yaitu syirkah Al-amwal (perserikatan
modal), syirkah Al-'amal (perserikatan kerja) dan syirkah Al-wujuh
(perserikatan tanpa modal).

Berikut beberapa pengertian terkait macam-macam syirkah uqud.

a. Syirkah Al-Amwal, adalah persekutuan antara dua pihak atau lebih pemodal
dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal bersama dan membagi
keuntungan dan resiko kerugian berdasarkan kesepakatan. Syirkah al-Amwal
terdapat dalam Pasal 146 dan 147 KHES yang menjelaskan “Dalam kerjasama
modal, setiap anggota syirkah harus menyertakan modal berupa uang tunai
atau barang berharga”. Dan dalam Pasal 147 KHES dijelaskan pula “Apabila
kekayaan anggota yang akan dijadikan modal syirkah bukan berbentuk uang
tunai, maka kekayaan tersebut harus dijual dan/atau dinilai terlebih dahulu
sebelum melakukan akad kerjasama”.
b. Syirkah Al-'Amal atau syirkah Abdan adalah persekutuan dua pekerja atau
lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan hasil atau upah dari
pekerjaan tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan. Diatur dalam pasal pasal
148 sampai 164 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
c. Syirkah Al-Wujuh adalah persekutuan antara dua pihak pengusaha untuk
melakukan kerjasama dimana masing-masing pihak sama sekali tidak
menyertakan modal dan mereka menjalankan usahanya berdasarkan
kepercayaan pihak ketiga. Diatur dalam pasal 140 sampai dengan 145
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
d. Syirkah Al-Inan adalah sebuah persekutuan atau perserikatan dimana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama baik
dalam hal modal pekerjaan, keuntungan maupun resiko kerugian. Syirkah Inan
diatur dalam Pasal 173 sampai dengan 177 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Pasal 173: (1) Syirkah inan dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama
modal sekaligus kerjasama keahlian dan atau kerja. (2) Pembagian keuntungan
dan atau kerugian dalam kerjasama modal dan kerja ditetapkan berdasarkan
kesepakatan. Pasal 174: Dalam syirkah Al-Inan berlaku ketentuan yang
mengikat para pihak dan modal yang disertakan. Pasal 175: (1) Para pihak
dalam syirkah inan tidak wajib untuk menyerahkan semua uangnya sebagai
sumber dana modal. (2) Para pihak dibolehkan mempunyai harta yang terpisah
dari modal syirkah inan. Pasal 176: Akad syirkah inan dapat dilakukan pada
perniagaan umum dan atau perniagaan khusus. Pasal 177: (1) Nilai kerugian
dan kerusakan yang terjadi bukan karena kelalaian para pihak dalam syirkah
inan, wajib ditanggung secara proporsional. (2) Keuntungan yang diperoleh
dalam syirkah inan dibagi secara proporsional.
e. Syirkah Al-Mufawadhah adalah persekutuan atau perserikatan dimana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlihat terlibat di dalamnya adalah sama baik
dari segi modal, pekerjaan dan resiko untung rugi. Diatur dalam pasal 165
sampai dengan 172 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
f. Syirkah Al-Mudharabah adalah persekutuan atau perserikatan antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang ahli dalam berdagang atau pengusaha di
mana pihak pemodal menyediakan seluruh modal kerja, dengan kata lain
perserikatan antara modal pada satu pihak dan pekerjaan pada pihak lain
sedangkan keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan dan kerugian
akan ditanggung oleh pihak pemodal. Diatur dalam Pasal 139 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah yang menyebutkan :
 Kerjasama dapat dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang
mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha.
 Dalam kerjasama mudharabah, pemilik modal tidak turut serta dalam
menjalankan perusahaan.
 Keuntungan dalam kerjasama mudharabah dibagi berdasarkan
kesepakatan dan kerugian ditanggung hanya oleh pemilik modal
E. Mengakhiri syirkah
Menurut Ahmad Azhar Basyir terdapat enam penyebab utama berakhirnya syirkah
yang telah diakibatkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah. Keenam penyebab
tersebut antara lain :
a. Syirkah akan berakhir jika terjadi hal-hal di mana salah satu pihak
membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini didasarkan
pada pandangan bahwa akad syirkah adalah wujud kerelaan dari kedua belah
pihak sehingga syirkah menjadi berakhir apabila ternyata salah satu pihak
sudah tidak menginginkannya lagi.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf atau keahlian
mengelola harta, baik karena gila maupun karena alasan lain.
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi jika anggota syirkah lebih dari dua
orang maka yang batal hanya yang meninggal saja sedangkan syirkah terus
berjalan pada anggota-anggota lain. Pun apabila anggota yang meninggal
memiliki ahli waris yang menghendaki untuk turut serta dalam syirkah
tersebut maka syirkah dapat terus berlanjut dengan dilakukan perjanjian baru
bagi ahli waris yang bersangkutan.
d. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampunan. Pengampunan yang
dimaksud di sini baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah
tengah berjalan maupun karena sebab lainnya.
e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta
yang menjadi saham syirkah.
f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum di belanjakan atas nama syirkah.
Apabila modal tersebut lenyap sebelum terjadinya percampuran harta sehingga
tidak dapat dipisah-pisahkan lagi maka yang menanggung resiko adalah
pemiliknya sendiri sedangkan apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran
yang tidak bisa dipisahkan lagi maka menjadi resiko bersama

Anda mungkin juga menyukai