Anda di halaman 1dari 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI–2 SKP

Tatalaksana Pasca-Henti Jantung


Herick Alvenus Willim,1 Infan Ketaren,2 Alice Inda Supit2
1
RSUD Dr. Agoesdjam, Kabupaten Ketapang, 2Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, RSUD Dr. Soedarso, Pontianak,
Kalimantan Barat, Indonesia

ABSTRAK
Sindrom pasca-henti jantung merupakan keadaan kompleks dan kritis dengan mortalitas tinggi. Tatalaksana pasca-henti jantung membutuhkan
pendekatan multidisiplin meliputi stabilisasi status kardiopulmoner, penanganan penyebab, strategi neuroproteksi dini, dan pencegahan
berulangnya henti jantung. Pendekatan multimodal diperlukan untuk prediksi keluaran neurologis.

Kata kunci: Henti jantung, sindrom pasca-henti jantung

ABSTRACT
Post-cardiac arrest syndrome is complex and critical condition associated with high mortality. Post-cardiac arrest management needs
multidisciplinary approach including stabilization of cardiopulmonary status, managing the underlying cause, early neuroprotective strategy,
and prevention of recurrent cardiac arrest. Multimodal approach is needed to predict neurological outcome. Herick Alvenus Willim, Infan
Ketaren, Alice Inda Supit. Post-cardiac Arrest Management

Keywords: Cardiac arrest, post-cardiac arrest syndrome

PENDAHULUAN membutuhkan pendekatan multidisiplin yang membantu klinisi menentukan rencana terapi
Henti jantung seringkali merupakan keadaan meliputi stabilisasi status kardiopulmoner, yang tepat.4
akhir dari progresivitas dan dekompensasi penanganan penyebab, strategi neuroproteksi
berbagai patofisiologi penyakit. Henti jantung dini, dan pencegahan berulangnya henti Cedera Otak
dapat terjadi di luar rumah sakit (out-hospital jantung.1 Reperfusi yang terjadi setelah periode
cardiac arrest - OHCA) ataupun di dalam hipoksia otak menyebabkan formasi radikal
rumah sakit (in-hospital cardiac arrest - IHCA).1 POST-CARDIAC ARREST SYNDROME bebas dan aktivasi jalur sinyal kematian sel
Resusitasi pasien henti jantung dengan Patofisiologi kompleks yang terjadi selama yang menyebabkan gangguan homeostasis
pendekatan bantuan hidup jantung dasar respons iskemia seluruh tubuh selama henti mikrovaskular otak dan edema otak. Proses
dan lanjut bertujuan mencapai keadaan jantung diikuti reperfusi selama resusitasi ini dapat berlanjut dalam hitungan jam-hari,
kembalinya sirkulasi spontan (return of jantung paru (RJP) dan setelah ROSC disebut diperberat oleh penyulit lain seperti demam,
spontaneous circulation - ROSC) yang ditandai sindrom pasca-henti jantung (post-cardiac kontrol glukosa buruk, dan hiperoksia.
dengan terabanya nadi dan terukurnya arrest syndrome - PCAS).4 PCAS terdiri dari Manifestasi klinis cedera otak meliputi koma
tekanan darah.1 5 fase, yaitu: immediate (20 menit pertama persisten, kejang, mioklonus, disfungsi
setelah ROSC), early (20 menit hingga 6-12 jam neurokognitif, dan mati batang otak.5,6
Morbiditas dan mortalitas pasien pasca-henti setelah ROSC), intermediate (6-12 jam hingga
jantung masih signifikan; kematian terutama 72 jam setelah ROSC), recovery (3 hari setelah Disfungsi Miokardium
dalam 24 jam pertama pasca-henti jantung.2 ROSC), dan rehabilitation (Gambar).4 Pasca-henti jantung, terjadi hipokinesia
Pasien OHCA yang bertahan hidup hingga miokardium yang berhubungan dengan
keluar rumah sakit diperkirakan sebesar 8 – Patofisiologi PCAS meliputi 4 komponen menurunnya fraksi ejeksi ventrikel kiri secara
10%, sedangkan pada pasien IHCA sebesar utama: cedera otak, disfungsi miokard, signifikan, terutama dalam 24-48 jam setelah
15 – 20%.3 Strategi tatalaksana optimal pasca- respons iskemik/reperfusi sistemik, dan ROSC. Hal ini dapat terjadi meskipun aliran
henti jantung dapat meningkatkan keluaran penyebab henti jantung yang menetap darah koroner baik. Manifestasi klinis meliputi
yang baik. Tatalaksana pasca-henti jantung (Tabel 1). Pemahaman patofisiologi ini dapat takikardi, hipotensi, curah jantung rendah, dan
Alamat Korespondensi email: herick_alvenus@yahoo.co.id

CDK-296/ vol. 48 no. 7 th. 2021 375


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel Tabel 1. Patofisiologi, manifestasi klinis, dan terapi potensial PCAS4
kiri.6 Patofisiologi Manifestasi Klinis Terapi Potensial
Cedera otak „„ Gangguan autoregulasi „„ Koma „„ Hipotermia
serebrovaskular „„ Kejang „„ O p t i m a l i s a s i
„„ Edema otak „„ Mioklonus hemodinamik dini
„„ Neurodegenerasi pasca- „„ Disfungsi kognitif „„ Proteksi jalan napas dan
iskemik „„ Vegetatif persisten ventilasi mekanik
„„ Parkinsonisme sekunder „„ Kontrol kejang
„„ Stroke kortikal „„ Re-oksigenasi terkontrol
„„ Stroke spinal „„ Terapi suportif
„„ Mati batang otak
Disfungsi miokardium „„ Hipokinetik global „„ Berkurangnya curah „„ Re-vaskularisasi dini
„„ ACS jantung „„ O p t i m a l i s a s i
„„ Hipotensi hemodinamik dini
„„ Disritmia „„ Cairan intravena
„„ Kolaps kardiovaskular „„ Inotropik
„„ IABP
„„ LVAD
„„ ECMO
Respons iskemik/reperfusi „„ SIRS „„ Iskemik/hipoksia jaringan „„ O p t i m a l i s a s i
sistemik „„ Gangguan vasoregulasi „„ Hipotensi hemodinamik dini
„„ Peningkatan koagulasi „„ Kolaps kardiovaskular „„ Cairan intravena
„„ Supresi adrenal „„ Demam „„ Vasopressor
„„ Gangguan oksigenisasi „„ Hiperglikemia „„ Hemofiltrasi volume
jaringan „„ Kegagalan multiorgan tinggi
„„ Kerentanan terhadap „„ Infeksi „„ Kontrol suhu
infeksi „„ Kontrol glukosa
„„ Antibiotik jika infeksi
Penyebab henti jantung „„ Penyakit kardiovaskular „„ Spesifik sesuai penyebab „„ Terapi spesifik sesuai
yang menetap „„ Penyakit paru penyebab
„„ Penyakit sistem saraf
pusat
Gambar. Fase PCAS4 „„ Penyakit tromboemboli
„„ Toksin
„„ Infeksi
Respons Iskemik/Reperfusi Sistemik „„ Hipovolemia
Iskemia seluruh tubuh saat henti jantung yang Keterangan: ACS: acute coronary syndrome; ECMO: extracorporeal membrane oxygenation; IABP: intra-aortic
diikuti reperfusi setelah ROSC menyebabkan balloon pump; LVAD: left ventricular assist device; SIRS: systemic inflammatory response syndrome
respons inflamasi sistemik melalui jalur
imunologi dan koagulasi. Hal ini mirip Tabel 2. Penyebab henti jantung dan tatalaksana spesifik1
patofisiologi sepsis berat, dapat menyebabkan Penyebab Tatalaksana
disfungsi multiorgan, dan meningkatkan Sindrom koroner akut Re-vaskularisasi koroner: percutaneous coronary intervention (PCI)/fibrinolitik
kerentanan infeksi.6 Hipoksia Tatalaksana penyebab, ventilasi mekanik jika perlu
Emboli paru Antikoagulan, pertimbangkan fibrinolitik dan trombektomi
Penyebab Henti Jantung yang Menetap Gangguan elektrolit Hipokalemia: suplementasi kalium
Hiperkalemia: kalsium klorida/kalsium glukonas, natrium bikarbonat, nebulisasi albuterol,
Penyebab henti jantung perlu segera sodium polystyrene sulfonate, atau diuretik
diidentifikasi dan tatalaksana spesifik sesuai Hipomagnesemia: suplementasi magnesium
penyebab (Tabel 2). Infark miokard akut Asidosis: tatalaksana penyebab, pertimbangkan bikarbonat pada asidosis metabolik berat
Hipoglikemia: dextrose intravena
merupakan penyebab 50% kasus OHCA. Tamponade jantung Perikardiosintesis
Pasien IHCA sering mengalami kegagalan Pneumotoraks Torakostomi jarum diikuti pemasangan chest tube
multiorgan, sebagian besar akibat kasus Anafilaksis Epinefrin
infeksi sistemik.5 Toksin Antidotum spesifik
Hipovolemia/anemia Cairan kristaloid isotonik, transfusi darah
EVALUASI KLINIS Hipotermia berat Penghangatan
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Stroke Re-vaskularisasi untuk stroke iskemik sesuai onset, pertimbangkan dekompresi untuk stroke
perdarahan
Pasien pasca-henti jantung umumnya
mengalami koma setelah ROSC, sehingga Tabel 3. Dosis obat-obatan vasoaktif12
tidak dapat memberitahukan riwayat penyakit
Obat Dosis Awal (lalu titrasi)
atau kondisi medis sebelumnya. Klinisi harus
Epinefrin 0,1-0,5 µg/kg/menit
mencari sumber informasi lain dari keluarga,
Norepinefrin 0,1-0,5 µg/kg/menit
saksi mata, tenaga kesehatan lain, dan rekam
Fenilefrin 0,5-2,0 µg/kg/menit
medis. Selain riwayat penyakit, medikasi, dan
alergi obat, beberapa kunci informasi spesifik Dopamin 5-10 µg/kg/menit

antara lain:7 Dobutamin 5-10 µg/kg/menit

1. Apakah terdapat gejala prodromal Milrinon Dosis awal 50 µg/kg dalam 10 menit lalu dilanjutkan infus 0,375 µg/kg/menit

376 CDK-296/ vol. 48 no. 7 th. 2021


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

(misalnya nyeri dada, sesak napas)? henti jantung. Leukositosis (10.000 - 20.000/µl) dievaluasi.9 Hiperoksia dalam 24 jam setelah
2. Apakah henti jantung disaksikan? umum ditemukan pasca-henti jantung akibat ROSC berhubungan dengan keluaran buruk
3. Apakah terdapat petugas yang terlatih respons inflamasi. Pemeriksaan toksikologi dibandingkan hipoksemia atau nomoksemia
RJP? spesifik diindikasikan pada kecurigaan dalam 24 jam.10
4. Bagaimana irama jantung saat awal henti toksikosis. Troponin diperiksa setiap 8-12
jantung? jam untuk mendeteksi infark miokard. Laktat Banyak penelitian mendefinisikan hipoksia
5. Berapa lama RJP dilakukan? diperiksa setiap 6 jam hingga normal, karena sebagai PaO2<60 mmHg dan hiperoksia
6. Berapa dosis obat bantuan hidup jantung konsentrasi awal dan klirens laktat berkorelasi sebagai PaO2>300 mmHg, namun batas
lanjut yang telah diberikan? dengan kesintasan. Pemeriksaan fungsi hepar optimal minimal dan maksimal PaO2 belum
dan ginjal penting untuk evaluasi klinis dan diketahui.9 Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) perlu
Pemeriksaan fisik dan neurologis dasar perlu pilihan/dosis obat-obatan yang digunakan.7 dititrasi untuk mencapai saturasi oksigen
dilakukan pada semua pasien pasca-henti target 94-98%.8 Vasokonstriksi perifer setelah
jantung untuk menemukan penyebab henti Pencitraan ROSC dapat menyulitkan pemeriksaan saturasi
jantung, mengetahui kondisi klinis pasien, Pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk oksigen dengan oksimetri denyut; mungkin
dan menentukan targeted temperature konfirmasi posisi selang endotrakeal, dibutuhkan pemeriksaan darah arteri sebelum
management (TTM). Pemeriksaan neurologis kateter vena sentral, dan evaluasi kelainan titrasi FiO2.9
dapat ditunda bila sebelumya diberi obat kardiopulmoner. Edema paru dan aspirasi
sedasi dan penyekat neuromuskular kerja umum dijumpai pasca-RJP dan dapat tidak 2. Kontrol Ventilasi
panjang.7 berhubungan dengan penyebab henti Intubasi endotrakeal, sedasi, dan ventilasi
jantung. Pneumotoraks atau abnormalitas terkontrol dipertimbangkan pada pasien
Elektrokardiogram mediastinum memerlukan perhatian segera. pasca-henti jantung yang tidak sadar. Hindari
Pemeriksaan EKG 12 sadapan penting dilakukan Pemeriksaan ultrasonografi bedside dapat hiperventilasi, mulai dengan 10 napas/menit
setelah ROSC. EKG dapat memberikan data menjadi alat skrining penyebab henti dan titrasi hingga mencapai target end tidal
diagnostik penyebab henti jantung. Klinisi jantung, meliputi tamponade jantung, CO2 (ETCO2) 35-40 mmHg.9 Strategi ventilasi
harus dapat mengenali gambaran elevasi pneumotoraks, emboli paru massif, mekanik protektif dianjurkan dengan volume
segmen ST (ST-elevation myocardial infarction/ perdarahan intraperitoneum, dan menilai tidal 6-8 mL/kg berat badan ideal dan positive-
STEMI) atau gambaran iskemik akut lain ejeksi fraksi ventrikel kiri. Pemeriksaan end expiratory pressure (PEEP) 4-8 cmH2O.11
yang membutuhkan reperfusi emergensi. computed tomography (CT) scan kepala tanpa
Insidens lesi arteri koroner tertinggi pada kontras dapat mengevaluasi ada tidaknya Selang nasogastrik perlu untuk dekompresi
pasien dengan irama awal shockable (fibrilasi stroke perdarahan/iskemik dan edema otak. perut. Distensi gastrik akibat ventilasi saat
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi). Pemeriksaan CT angiografi toraks dilakukan RJP dapat mendorong diafragma dan
Klinisi juga harus mengevaluasi gambaran pada kecurigaan emboli paru. CT scan mengganggu ventilasi. Obat sedasi diberikan
predisposisi aritmia primer seperti sindrom abdomen dan pelvis diindikasikan pada sesuai protokol untuk mengurangi kebutuhan
Brugada, sindrom Wolff-Parkinson-White, dan kasus trauma, temuan klinis peritonitis, atau oksigen. Obat penyekat neuromuskular
sindrom long QT. Gambaran strain jantung peningkatan laktat signifikan.7 dapat diberikan selama ≤48 jam pada acute
kanan mengarah ke emboli paru.7 respiratory distress syndrome (ARDS) untuk
TATALAKSANA mengurangi disinkroni pasien-ventilator dan
Pemeriksaan Laboratorium Pasien pasca-henti jantung membutuhkan mencegah barotrauma.8
Abnormalitas pemeriksaan laboratorium perawatan kritis di intensive care unit (ICU)
yang sering ditemukan adalah gangguan setelah mendapatkan resusitasi awal. Circulation
elektrolit dan asam-basa. Pemeriksaan analisis Tatalaksana memerlukan koordinasi tim 1. Stabilisasi Hemodinamik
gas darah (AGD) arteri harus dilakukan multidisiplin. Prinsip tatalaksana pasca-henti Pasien pasca-henti jantung sering
setiap 6 jam selama induksi hipotermia jantung meliputi ABCD (Airway, Breathing, mengalami ketidakstabilan hemodinamik
dan rewarming untuk menilai status asam- Circulation, dan Disability).5,8 yang bermanifestasi sebagai hipotensi,
basa dan memandu manajemen ventilator. indeks kardiak rendah, dan aritmia.8 Terapi
Pemeriksaan elektrolit serum juga setiap 6 Airway dan Breathing awal bertujuan menjaga perfusi serebral
jam selama induksi hipotermi dan rewarming. 1. Kontrol Oksigenasi dan koroner adekuat, serta perfusi ke organ
Fluktuasi cepat kalium dapat terjadi akibat Hipoksemia dan hiperkarbia dapat vital lainnya.6 Target utama manajemen
iskemia, asidosis, peningkatan katekolamin, menyebabkan henti jantung berulang dan hemodinamik adalah mencegah dan
dan perubahan suhu tubuh. Induksi hipotermi cedera otak sekunder. Hiperoksia juga dapat menatalaksana hipotensi. AHA 2015
dapat menyebabkan diuresis dan kehilangan berdampak buruk akibat stres oksidatif.8 merekomendasikan target tekanan darah
kalium.7 American Heart Association (AHA) 2015 sistolik ≥90 mmHg atau mean arterial pressure
merekomendasikan bahwa pasien pasca- (MAP) ≥65 mmHg.9 Diperlukan pemantauan
Pemeriksaan darah lengkap penting henti jantung harus diberi oksigen konsentrasi tekanan darah, denyut jantung, keluaran urin,
dilakukan. Anemia berat mengarahkan tertinggi hingga tekanan parsial oksigen arteri klirens laktat plasma, dan saturasi oksigen
kehilangan darah sebagai faktor kontribusi (PaO2) atau saturasi oksigen arteri (SaO2) dapat untuk memandu tatalaksana. Ekokardiografi

CDK-296/ vol. 48 no. 7 th. 2021 377


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

serial diperlukan, terutama pada pasien antipiretik.8 3. Kontrol Glukosa


hemodinamik tidak stabil untuk mendeteksi Hiperglikemia berhubungan dengan keluaran
disfungsi miokardium.8 Berbagai metode dapat digunakan untuk neurologis buruk pasien pasca-henti jantung.
induksi dan mempertahankan TTM seperti Dibandingkan dengan normotermia,
Pemberian cairan intravena dan obat- surface cooling (misalnya ice packs dan cooling induksi hipotermia berhubungan dengan
obatan vasoaktif diperlukan untuk mengatasi blankets) dan cairan infus kristaloid dingin. hiperglikemia. Kadar glukosa darah perlu
hipotensi. Cairan NaCl 0,9%; atau Ringer Laktat Surface cooling dapat menurunkan suhu dipertahankan ≤180 mg/dL dan cegah
dapat diberikan sebanyak 1-2 liter bolus tubuh 0,5oC-1oC/jam, sedangkan infus NaCl hipoglikemia.8
intravena.9 Jika kebutuhan volume cairan 0,9% dengan suhu 4oC dan dosis 30 mL/kgBB
sudah tercukupi namun tekanan darah atau dapat menurunkan suhu tubuh hingga 2oC/ 4. Sedasi
MAP belum mencapai target, diperlukan obat- jam.7 Infus NaCl 0,9% dingin sebanyak 1-2 L Pasien pasca-henti jantung umumnya
obatan vasoaktif (vasopressor atau inotropik) dapat diberikan untuk induksi hipotermia memerlukan ventilasi mekanik, sehingga
seperti epinefrin, norepinefrin, fenilefrin, pada pasien tanpa gagal jantung.7 Menggigil tidak nyaman dan menimbulkan nyeri.
dopamin, dobutamin, atau milrinon sesuai adalah efek samping induksi hipotermi dan Obat sedasi atau analgetik perlu diberikan
indikasi (Tabel 3).1 dapat dicegah dengan MgSO4 (5 gram/5 jam), berkala atau kontinu pada kondisi ini.
sedasi, dan analgetik yang sesuai.14 Sedasi juga dapat mencegah menggigil
2. Tatalaksana Penyebab Reversibel selama induksi hipotermia.13 Obat sedasi
Setelah ROSC, tim resusitasi harus melakukan 2. Kontrol Kejang umumnya dapat menyebabkan hipotensi,
evaluasi dan tatalaksana penyebab Kejang sering dijumpai pasca-henti jantung, sehingga status kardiovaskular pasien perlu
reversibel henti jantung, meliputi 5H dan 5T terjadi pada 1/3 pasien koma setelah ROSC. diperhatikan. Pasien dengan hemodinamik
(hipovolemia, hipoksia, hidrogen [asidosis], Mioklonus paling sering meliputi 18-25% stabil dapat diberi propofol hingga 50 µg/
hipo/hiperkalemia, hipotermia, tension pasien dan sisanya dapat kejang fokal, kg/menit. Fentanil (0,1-0,5 µg/kg/jam) dapat
pneumotoraks, tamponade jantung, toksin, tonik-klonikumum, atau campuran.8 Status ditambahkan bila perlu.7
trombosis pulmoner, dan trombosis koroner.13 epileptikus nonkonvulsif dapat menyebabkan
pasien tidak pulih dari koma dan dapat 5. Terapi Lain
Sindrom koroner akut adalah penyebab menyebabkan cedera otak sekunder. EEG Obat-obatan neuroprotektif seperti koenzim
sering henti jantung pada pasien OHCA dianjurkan untuk diagnosis kejang, harus Q10, tiopental, glukokortikoid, nimodipin,
tanpa penyebab ekstrakardiak yang jelas. sering diulang atau kontinu pada pasien koma lidoflazin, dan diazepam belum terbukti
EKG 12 sadapan harus segera dilakukan setelah ROSC. Antikonvulsan untuk status bermanfaat pada kasus pasca-henti jantung.8
setelah ROSC untuk menentukan ada epileptikus pada umumnya dapat diberikan
tidaknya elevasi segmen ST akut.13AHA 2015 pada kasus kejang pasca-henti jantung.9 PROGNOSIS
merekomendasikan bahwa angiografi koroner Penentuan prognosis perlu untuk prediksi
harus segera dilakukan (diikuti dengan PCI bila
diindikasikan) jika ditemukan elevasi segmen Tabel 4. Pemeriksaan untuk prediksi keluaran9,15
ST, sedangkan pasien tanpa elevasi segmen Prognostikasi Deskripsi Tingkat Positif Palsu
ST, angiografi koroner dipertimbangkan jika Pemeriksaan klinis „„ Semua dapat dipengaruhi TTM, sedatif, dan 0-15%
dicurigai masalah kardiak sebagai penyebab „„ Refleks pupil paralitik
„„ Refleks kornea „„ Hilangnya refleks pupil bilateral setelah 72 jam
henti jantung.9 „„ Respons motorik sangat spesifik untuk keluaran neurologis buruk
„„ Mioklonus „„ Hilangnya respons motorik dan sikap tubuh
Disability (Optimalisasi Pemulihan ekstensi memiliki tingkat positif palsu yang tinggi
pada TTM
Neurologis) „„ Status mioklonus (kontinu, kedutan mioklonik
1. Kontrol Suhu repetitif >30 menit) berhubungan dengan
prognosis buruk
Istilah targeted temperature management (TTM)
Elektroensefalogram (EEG) „„ Data literatur bervariasi 0-2%
digunakan untuk tindakan induksi hipotermia „„ Supresi burst „„ EEG sangat berguna untuk deteksi kejang
untuk mencapai target suhu tertentu. TTM „„ Tidak ada reaktivitas EEG selama subklinis
dan setelah TTM
dianjurkan pada pasien OHCA yang tetap koma „„ Status epileptikus
setelah ROSC untuk meningkatkan kesintasan Somatosensory evoked potentials „„ Menilai respons kortikal terhadap stimulasi saraf 1-2%
dan mempertahankan fungsi neurologis. AHA (SSEPs) perifer repetitif
„„ Tidak terlalu dipengaruhi sedasi dan TTM
2015 merekomendasikan induksi hipotermia dibandingkan EEG dan respons motorik
dengan target suhu 32oC hingga 36oC dan Penanda darah „„ Kadar S-100 tinggi dalam 24 jam pertama dan Belum diidentifikasi
dipertahankan minimal 24 jam, kemudian „„ S-100 kadar NSE tinggi setelah 72 jam berhubungan
„„ Neuron-specific enolase (NSE) dengan keluaran neurologis buruk
suhu dinaikkan bertahap (0,25oC/jam) „„ Belum ada ketetapan nilai cut off
hingga normotermia.9 Hipertermia umum Pencitraaan „„ Berkurangnya rasio gray-white matter pada CT dan 0-8%
dijumpai dalam 48 jam pertama pasca-henti „„ Computed tomography (CT) apparent diffusion coefficient dan abnormalitas
„„ Magnetic resonance imaging (MRI) diffusion-weighted imaging pada MRI adalah
jantung dan berhubungan dengan keluaran penanda edema otak yang berhubungan
buruk. Demam (suhu ≥37,6oC) perlu terapi dengan keluaran neurologis buruk

378 CDK-296/ vol. 48 no. 7 th. 2021


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

keluaran neurologis. Pemeriksaan klinis dan Pemeriksaan untuk Prediksi Keluaran menetap. Tatalaksana pasca-henti jantung
penunjang yang tepat perlu dilakukan dengan Pemeriksaan meliputi pemeriksaan klinis, kompleks dan membutuhkan pendekatan
akurat.15 elektroensefalogram, somatosensory evoked multidisiplin. Prinsip tatalaksana meliputi
potentials, penanda darah, dan pencitraan airway dan breathing (kontrol oksigenasi dan
Saat Prediksi (Tabel 4).9,15 ventilasi), circulation (stabilisasi hemodinamik
Saat paling cepat untuk prediksi prognosis dan tatalaksana penyebab reversibel), dan
pasca-henti jantung adalah 72 jam SIMPULAN disability (optimalisasi pemulihan neurologis
setelah rewarming pada pasien TTM. Pasien pasca-henti jantung mengalami proses dengan kontrol suhu, kejang, glukosa, dan
Pada pasien tanpa TTM, prognostikasi patofisiologi kompleks dan kritis yang disebut sedasi). Prognosis ditentukan paling cepat
dilakukan 72 jam pasca-henti jantung.9 PCAS, terdiri dari cedera otak, disfungsi ≥72 jam setelah rewarming pada TTM dan ≥72
miokardium, respons iskemik/reperfusi jam pasca-henti jantung pada pasien tanpa
sistemik, dan penyebab henti jantung yang TTM.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangla A, Daya MR, Gupta S. Post-resuscitation care for survivors of cardiac arrest. Indian Heart J. 2014;66:105-12.
2. Vancini-Campanharo CR, Vancini RL, de Lira CAB, Andrade MDS, de Gois AFT, Atallah AN. Cohort study on the factors associated with survival post-cardiac arrest.
Sao Paulo Med J. 2015;133(6):495-501.
3. Mackenney J, Soar J. Cardiopulmonary resuscitation and post-resuscitation care. Anaesth Intensive Care Med. 2013;14(1):15-8.
4. Neumar RW, Nolan JP, Adrie C, Aibiki M, Berg RA, Bottiger BW, et al. Post-cardiac arrest syndrome: Epidemiology, pathophysiology, treatment, and prognostication.
Circulation. 2008;118(23):2452-82.
5. Binks A, Nolan JP. Post-cardiac arrest syndrome. Minerva Anestesiol. 2010;76(5):362-8.
6. Pothiawala S. Post-resuscitation care. Singapore Med J. 2017;58(7):404-7.
7. Rittenberger JC, Doshi AA, Reynolds JC. Postcardiac arrest management. Emerg Med Cin N Am. 2015;33(3):691-712.
8. Nolan JP, Soar J, Cariou A, Cronberg T, Moulaert VRM, Deakin CD, et al. European Resuscitation Council and European Society of Intensive Care Medicine Guidelines
for post-resuscitation care 2015 section 5 of the European Resuscitation Council Guidelines for resuscitation 2015. Resuscitation. 2015;95:202-22.
9. Callaway CW, Donnino MW, Fink EL, Geocadin RG, Golan E, Kern KB, et al. Part 8: Post-cardiac arrest care: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2015;132:465-82.
10. Kilgannon JH, Jones AE, Shapiro NI, Angelos MG, Milcarek B, Hunter K, et al. Association between arterial hyperoxia following resuscitation from cardiac arrest and
in-hospital mortality. JAMA. 2010;303(21):2165-71.
11. Slutsky AS, Ranieri VM. Ventilator-induced lung injury. N Eng J Med. 2013;369:2126-36.
12. Peberdy MA, Callaway CW, Neumar RW, Geocadin RG, Zimmerman JL, Donnino M, et al. Part 9: Post-cardiac arrest care: 2010 American Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2010;122:768-86.
13. Kim YM, Park KN, Choi SP, Lee BK, Park K, Kim J, et al. Part 4. Post-cardiac arrest care: 2015 Korean guidelines for cardiopulmonary resuscitation. Clin Exp Emerg Med.
2016;3:27-38.
14. Navarro-Vargas JR, Diaz JL. Post cardiac arrest syndrome. Rev Colomb Anestesiol. 2014;42(2):107-13.
15. Walker AC, Johnson NJ. Critical care of the post-cardiac arrest patient. Cardiol Clin. 2018;36(3):419-28.

CDK-296/ vol. 48 no. 7 th. 2021 379

Anda mungkin juga menyukai