Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan.

Diawali dari pencegahan, diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi

salah satu komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan

pada pelayanan kesehatan. Namun di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan

bila tidak memenuhi persyaratan, bila digunakan secara tidak tepat atau bila

disalahgunakan. Oleh karena itu berbeda dengan komoditas perdagangan

lainnya, peredaran obat diatur sedemikian rupa agar terjamin keamanan, mutu

dan ketepatan penggunaannya. Ketepatan penggunaan ini menjadi aspek

penting dalam penggunan obat karena ketidaktepatan penggunaan obat dapat

menyebabkan banyak kerugian, baik itu kerugian dari sisi finansial maupun

kerugian bagi kesehatan.

Ketepatan penggunaan obat ditandai dengan Penggunaan Obat secara

Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM) . POR merupakan suatu

kampanye yang disebarkan oleh World Health Organization (WHO) ke seluruh


dunia, termasuk di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa

definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima

pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai

dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang

terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci

yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, POR merupakan

upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif5

Penggunaan obat yang rasional menjadi salah satu tujuan dalam Kebijakan

Obat Nasional (KONAS) tahun 20066

. Masyarakat harus dilindungi dari

penggunaan obat yang salah dan penyalahgunaan obat. Dalam rangka


meningkatkan ketepatan penggunaan obat, selain juga untuk meningkatkan

keamanan dan pengamanan distribusinya, Pemerintah melakukan

penggolongan obat menjadi beberapa golongan, yaitu: obat bebas, obat bebas

terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika7

serta obat wajib apotek

(OWA).

Golongan obat bebas dapat dibeli masyarakat secara bebas tanpa resep dan

tidak membahayakan bagi si pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan8

Sedangkan golongan obat bebas terbatas sebenarnya termasuk obat keras,

namun dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam bungkus aslinya dari

produsen/pabriknya disertai dengan tanda peringatan pada kemasannya9

. Obat

wajib apotek (OWA) juga merupakan obat keras yang dapat diserahkan tanpa

resep dokter, namun dengan ketentuan yang lebih ketat, yaitu: yang

menyerahkan harus apoteker di apotek; apoteker tersebut diwajibkan untuk


memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien; membuat catatan

The Pursuit of Responsible Use of Medicines: Sharing and Learning from Country

Experiences, 2012, http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/index.html, diunduh

tanggal 7 Februari 2013

6 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 tentang

Kebijakan Obat Nasional, Lampiran.

7Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang Tanda Khusus Untuk Obat

Bebas dan Obat Bebas Terbatas Pasal 1 angka (4).

Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm. 17.
pasien serta obat yang telah diserahkan serta memberikan informasi meliputi

dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang

perlu diperhatikan oleh pasien10

Golongan obat keras sering juga disebut dengan obat daftar G (dari kata
gevaarlijk yang berarti berbahaya) hanya dapat diserahkan oleh apotek atas

dasar resep dokter. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah penggunaan

yang salah ataupun penyalahgunaan obat dari golongan ini. Penggunaan yang

tidak tepat dari obat golongan ini memiliki risiko yang cukup tinggi bagi

kesehatan sesuai dengan asal katanya yang berarti berbahaya. Atas risiko

tersebut maka undang-undang memberikan batasan-batasan terhadap peredaran

obat keras. Obat keras hanya dapat diperoleh di sarana-sarana kesehatan

tertentu, salah satunya adalah apotek, penyerahannya pun hanya boleh

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu Apoteker, dan

Apoteker di apotek hanya dapat mengeluarkan obat keras berdasarkan

permintaan resep dokter. Dengan dikeluarkannya Kepmenkes Nomor 347

Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotik, beberapa obat keras diperbolehkan

untuk diserahkan oleh Apoteker di Apotek tanpa resep. Namun untuk obat

keras yang tidak masuk dalam daftar Obat Wajib Apotek penyerahannya harus

tetap berdasarkan resep11

.
Akan tetapi saat ini terjadi fenomena penyimpangan dari peredaran obat

keras di masyarakat. Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan obat keras

10 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.

11 Yustina Sri Hartini dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan

Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek

Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 71.
secara legal diduga banyak melakukan pelayanan obat keras secara ilegal

dalam bentuk pelayanan obat keras tanpa dasar resep dokter. Di beberapa

daerah di Indonesia, fenomena ini telah menjadi pemberitaan di media. Di

Kalimantan Tengah, http://tabloidmingguandetak.blogspot.com menulis berita

berjudul “Obat Keras Beredar Bebas”. Dalam berita tersebut ditulis bahwa

sepertinya obat keras dan obat yang tergolong dalam daftar G sangat mudah

diperoleh masyarakat. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pihak PT. Kimia

Farma TD cabang Palangkaraya yang mengakui banyak obat keras beredar luas

di masyarakat yang tidak hanya di outlet resmi semisal apotek, tapi juga di
kios-kios atau toko obat12

. Di Kabupaten Ciamis pada bulan Agustus 2011

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis saat itu, drg H. Dendy Rahayu

telah mengimbau seluruh apotek di Kabupaten Ciamis agar tidak menjual obat

keras secara bebas, kecuali obat yang diberi logo merah tersebut dijual atas

resep atau izin dokter. Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Dinamis Ciamis telah mengecek dan

membeli obat berlogo merah itu tanpa resep dokter dari salah satu apotek di

Ciamis. Obat tersebut berinisial ST, yang diakui Kadinkes merupakan obat

keras yang tidak boleh sembarangan dijual13

12 Indra, 2011, Obat Keras Beredar Bebas,

http://tabloidmingguandetak.blogspot.com/2011/04/obat-keras-beredar-bebas.html, diunduh

tanggal 14 Februari 2013.

13 Mamay, 2011, Menjual Obat Keras Tanpa Resep Dokter,


http://www.tubasmedia.com/berita/menjual-obat-keras-tanpa-resep-dokter/, diunduh tanggal

14 Februari 2013.
Pelayanan obat keras di luar OWA tanpa resep dokter merupakan

pelanggaran dari Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Obat Keras (St. Nomor 419

tanggal 22 Desember 1949):

“Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep

Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak

berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada Pedagang – pedagang

Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan

Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahanpenyerahan menurut ketentuan pada
Pasal 7 ayat (5)”.

Demikian juga menurut ketentuan dalam Reglement DVG (St. 1949

Nomor 228) tentang Menjalankan Peracikan Obat, Pasal 67:

“Apoteker tidak dibolehkan mengeluarkan bahan-bahan racun

selain atas dasar resep seorang dokter atau kepada apoteker-apoteker

atau kepada dokter-dokter yang mempunyai izin untuk mengeluarkan

obat-obatan, kepada dokter-dokter hewan atau dengan permintaan

tertulis
lain yangyang dibubuhi tanda tangan dan maksud pemakaian bahanbahan racun itu kepada orang-orang
dikenalnya”.
Dalam Undang-Undang Obat Keras (St. Nomor 419 tanggal 22 Desember

1949) Pasal 12adalah


salah satunya disebutkan bahwa
larangan kepada
pada Pasal mereka yang melanggar peraturanperaturan larangan yang
3 ayat (2)

dikenakan hukum penjara setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang setinggitingginya 5.000 gulden.

Dalam hal terjadi suatu penyimpangan atau pelanggaran, salah satu sisi

yang menarik untuk dikaji adalah sisi pengawasannya. Pengawasan pada

dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan


penyelewengan atau penyimpangan14 sehingga pelaksanaan pengawasan

berkorelasi dengan kejadian penyimpangan. Pengawasan yang baik dapat

meminimalkan terjadinya penyimpangan dan ketika telah terjadi

penyimpangan, pengawasan yang baik harus dapat mendeteksi sejauh mana

penyimpangan terjadi15 dan sebab-sebab terjadinya penyimpangan tersebut16

Pengawasan dalam bidang obat telah menjadi salah satu landasan

kebijakan dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS) 2006 di mana disebutkan

bahwa Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian

obat. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung jawab


pemerintah dilakukan secara profesional, bertanggung jawab, independen dan

transparan. Pengawasan obat juga menjadi satu dari sembilan pokok-pokok dan

langkah kebijakan dalam KONAS 2006. Sasaran Pengawasan obat dalam

KONAS 2006 salah satunya adalah masyarakat terhindar dari penggunaan

yang salah dan penyalahgunaan obat17

Fenomena penyimpangan peredaran obat keras dalam bentuk pelayanan

obat keras tanpa resep di apotek ini tidak lepas dari keterlibatan masyarakat itu

sendiri. Kecenderungan masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri

(swamedikasi) mendorong maraknya fenomena penyimpangan ini. Kurangnya

pengetahuan, informasi dan edukasi dalam pengobatan sendiri justru dapat

menjerumuskan masyarakat ke dalam penggunaan obat yang salah sehingga

14 Yosa, 2010,
diunduh tanggalPengertian Pengawasan,
13 Februari 2013. itjen-depdagri.go.id/artcle-25-pengertianpengawasan.html,

15Ibid.

16 Sujamto, 1996, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia Cetakan keempat, Sinar Grafika,


Jakarta, hlm. 63-64.

17 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 tentang

Kebijakan Obat Nasional, Lampiran.


terjadi efek-efek buruk yang tidak diinginkan. Oleh karena itu perlu dilakukan

upaya-upaya untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang salah

yang menjadi salah satu tujuan dari pengawasan obat itu sendiri.

Dalam hal pengawasan obat, negara telah menunjuk Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen

yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan

obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BPOM berkedudukan di Jakarta dan untuk melaksanakan tugasnya di daerah

BPOM mempunyai unit pelaksana teknis salah satunya berbentuk Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan (Balai Besar POM) di daerah dengan wilayah

kerja masing-masing. Balai Besar POM mempunyai tugas melaksanakan

kebijakan di bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan

zat adiktif lain, obat tradisional, produk komplimen, keamanan pangan dan

bahan berbahaya. Oleh karena itu, pengawasan apotek sebagai sarana


pelayanan obat atau produk terapetik menjadi salah satu tugas Balai Besar

POM sesuai dengan wilayah kerja masing-masing

Di pihak lain, ada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku pemberi ijin

bagi sarana Apotek yang juga mempunyai tanggungjawab pengawasan

terhadap perilaku pengelola sarana yang telah diberinya ijin. Berdasarkan

Kepmenkes No. 1332 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Permenkes No. 922

Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan

dan pengawasan terhadap apotek, dengan tata cara pemeriksaan yang telah
ditentukan. Tata cara pemeriksaan tersebut salah satunya mencakup

pemeriksaan pengeluaran obat keras oleh apotek18

Fenomena pelayanan obat keras tanpa resep di apotek merupakan suatu

pelanggaran peraturan perundang-undangan, namun sampai saat ini fenomena

tersebut tampaknya masih marak terjadi dan sepertinya pengawasan

pemerintah belum cukup efektif dalam meminimalkan pelanggaran ini. Terkait


dengan hal tersebut, Peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana pengawasan

pemerintah melalui Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

terhadap pelayanan obat keras tanpa resep dokter di Apotek dengan lokasi

penelitian di Kota Yogyakarta. Sejauh yang Peneliti ketahui, belum ada

penelitian ilmiah yang mengkaji hal tersebut sehingga Peneliti memandang

perlu untuk melakukan penelitian ini. Di samping itu, karena fenomena

pelayanan obat keras tanpa resep di apotek di wilayah Kota Yogyakarta belum

dibuktikan obyektivitasnya melalui penelitian ilmiah sebelumnya, maka dalam

penelitian ini Penulis juga ingin memperoleh data obyektif untuk membuktikan

fenomena tersebut.

Peneliti memilih Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian dengan

beberapa pertimbangan. Masyarakat Kota Yogyakarta merupakan masyarakat

perkotaan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan relatif baik sehingga

menyebabkan tingginya kebutuhan obat di Kota Yogyakarta. Kebutuhan obat

yang tinggi di Kota Yogyakarta mendorong tingginya angka pertumbuhan

apotek, sehingga di Kota Yogyakarta yang wilayahnya tidak terlalu luas jumlah
18 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/SK/X/ 2002 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pemberian Izin Apotik, pasal 30 dan Lampiran form APT-16.


apoteknya mencapai 126 apotek19. Jumlah apotek yang banyak tersebut

menyebabkan persaingan yang cukup ketat. Faktor-faktor tersebut merupakan

faktor pendorong terjadinya pelanggaran pelayanan obat keras. Di sisi lain,

instansi-instansi pengawasan apotek yaitu Balai Besar POM dan Dinas

Kesehatan di Kota Yogyakarta keberadaannya cukup dekat sehingga

seharusnya pengawasan dapat menjangkau seluruh apotek di Kota Yogyakarta.

Untuk itu Peneliti tertarik untuk meneliti ada atau tidaknya fenomena

pelayanan obat keras tanpa resep yang dilakukan oleh apotek di wilayah Kota

Yogyakarta dan bagaimana pengawasannya selama ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan Penulis dalam Penelitian ini adalah:

1. Apakah fenomena pelayanan obat keras tanpa resep dokter di apotek yang

merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras (St. No.


419 Tahun 1949) terjadi di Kota Yogyakarta?

2. Apa standar pengawasan yang menjadi pedoman Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta

dalam melaksanakan pengawasan terhadap apotek?

3. Bagaimana pelaksanaan pengawasan apotek oleh Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta

terkait dengan pelayanan obat keras tanpa resep dokter?

19 Data Bidang Regulasi dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Dinas Kesehatan

Kota Yogyakarta

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui terjadi atau tidaknya fenomena pelayanan obat keras tanpa

resep
Tahundokter di Kota
1949) di apotek yang merupakan pelanggaran terhadap UndangUndang Obat Keras (St. No. 419
Yogyakarta.

2. Mengidentifikasi standar pengawasan yang menjadi pedoman Dinas

Kesehatan Kota Yogyakarta dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
di Yogyakarta dalam melaksanakan pengawasan terhadap apotek.

3. Mengkaji pelaksanaan pengawasan apotek oleh Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta

apotek terkait dengan pelayanan obat keras tanpa resep dokter.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan ilmu hukum kesehatan khususnya bidang kefarmasian.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

instansi-instansi yang terkait dengan pengawasan apotek, antara lain:

a. Memberikan informasi tentang fenomena pelayanan obat keras

tanpa resep di apotek di wilayah Kota Yogyakarta;

b. Menjadi bahan masukan bagi instansi-instansi terkait untuk

menentukan kebijakan apa yang perlu diambil demi terciptnya

sistem pengawasan yang lebih baik.


E. Keaslian Penelitian

Penelusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini telah dilakukan.

Sejauh yang Peneliti ketahui, belum ada penelitian yang sama yang pernah

dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki

keterkaitan dengan penelitian ini antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Yulinar pada tahun 2010 yang berjudul

Implementasi Pengawasan Obat Keras (Daftar G) di Jalur Ilegal: Studi

Kasus Obat Keras (Daftar G) di Toko Obat Kabupaten Pasaman Barat,

Sumatera Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi

pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas

Obat dan Makanan dan Dinas Kesehatan Kabupaten dalam hal

pengawasan obat keras di jalur ilegal di toko obat Kabupaten Pasaman

Barat, Sumatera Barat20. Persamaan dengan penelitian yang sekarang

yaitu mengkaji pengawasan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terhadap peredaran obat keras.


Sementara perbedaan dengan penelitian yang sekarang adalah

penelitian Yulinar mengkaji pengawasan peredaran obat keras di jalur

ilegal yaitu di toko obat di mana toko obat merupakan sarana yang

secara hukum tidak berhak menyalurkan obat keras, sedangkan

penelitian yang sekarang mengkaji pengawasan peredaran obat di jalur

legal yaitu apotek, namun penyerahannya dilakukan secara ilegal yaitu

20 Yulinar, 2010, Tesis Implementasi Pengawasan Obat Keras (Daftar G) di Jalur Ilegal: Studi

Kasus Obat Keras (Daftar G) di Toko Obat Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Magister

Hukum Kesehatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


tanpa berdasarkan resep dokter. Jika penelitian Yulinar menyoroti

pengawasan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh toko obat yang

secara hukum tidak berhak menyalurkan obat keras namun ternyata

menjual obat keras ke masyarakat, penelitian ini menyoroti pengawasan

terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh apotek yang secara hukum

berhak menyalurkan obat keras atas dasar resep dokter namun ternyata

banyak menjual obat keras tanpa dasar resep dokter.


2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Maryati pada tahun 2012 yang

berjudul Pelaksanaan Pengawasan Perlindungan Konsumen Oleh Balai

Besar Pengawas Obat dan Makanan Terhadap Kasus Peredaran Obat,

Makanan dan Minuman, Kosmetik dan Obat Tradisional Ilegal di

Sumatra Barat. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui

pelaksanaan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan

Makanan Padang terhadap peredaran kosmetik ilegal, mengetahui

fungsi dan peranan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Padang

dalam melindungi konsumen terhadap peredaran obat, makanan dan

minuman, kosmetika dan obat tradisional ilegal serta hambatanhambatan yang dijumpai dan cara
mengatasinya

21. Persamaan dengan

penelitian yang sekarang adalah mengkaji pelaksanaan pengawasan

oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. Sementara perbedaan

dengan penelitian yang sekarang adalah penelitian Dwi Maryati


mengkaji pelaksanaan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat

dan Makanan terhadap peredaran kosmetika ilegal, sedangkan


penelitian yang sekarang mengkaji pengawasan oleh Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan terhadap obat legal di jalur legal.

Anda mungkin juga menyukai