Namun, di usia yang sudah cukup matang itu, Kohati masih belum bisa menunjukkan
taringnya sebagai pelopor perjuangan hak-hak perempuan. Berdasarkan Catatan
Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 yang dirilis dalam website
komnasperempuan.go.id, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak
299.911 kasus. Dari maraknya kasus kekerasan tersebut kohati seharusnya bisa lebih
peka untuk merespon pelbagai persoalan tersebut.
Tak bisa dipungkiri Kohati punya peran besar untuk menggerakkan massa. Dengan
basis massa yang dimiliki, mestinya Kohati bisa sedikit lebih sadar akan fungsinya
sebagai organisasi keperempuanan yang bergerak dalam hal pembelaan dan
perlindungan hak-hak perempuan. Perlawanan demi perubahan bisa saja jadi lebih
nyata.
Gerakan perubahan tak akan pernah terjadi dalam tubuh Kohati, selama kader-kader
Kohati masih asik dengan perbincangan soal stuktural daripada diskusi persoalan
ketimpangan-ketimpangan yang di alami oleh kaum perempuan. Kongko-kongko di
warkop hanya ramai dengan gosip, setalahnya dihabiskan dengan berselfi ria.
Saat ini, HMI-Wati hanya di jadikan komoditas gerakan politik praktis belaka yang
buta akan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. Semangat emansipasi yang
diperjuangkan mati-matian itu sudah layu bersamaan dengan lesunya gerakan literasi.
telah setahun lebih kita dikurung pandemi, dan itu tidak lagi bisa dijadikan alasan
untuk tetap terkungkung dalam keterbatasan. Manuver literasi harus diperbaharui dan
itu adalah teka-teki yang harus dipecahkan oleh Kohati sebagai kader insan cita.
Kita tahu bersama “Perempuan adalah penyeimbang dunia” merupakan slogan yang
digencarkan oleh femenisme modern. Maka dari itu perjuangan perempuan bukan
hanya harus bisa mengambil peran dalam ruang-ruang publik, namun lebih dari itu,
perjuangan perempuan harus diimbangi dengan kapasitas intelektual yang cukup
untuk menjawab kebutuhan perempuan saat ini dan di masa yang akan datang.
Teori Ekofeminisme percaya bahwa perempuan punya peran yang besar dalam
menjaga kestabilan lingkungannya. Gerakan inilah yang harusnya di gencarkan oleh
HMI-Wati untuk menjaga eksistensinya yang kian susut. Namun lagi dan lagi, karena
minimnya intelektual dan kurangnya kesadaran akan literasi, membuat Kohati makin
kabur di lingkungannya sendiri.
Krisis identitas ini haruslah di eja dari awal. Kemana arah gerak Kohati haruslah
dipahami dengan baik oleh kader-kader Kohati. Peningkatan daya literasi, penguatan
spiritual serta penegasan kembali peran Kohati dengan nilai-nilai kemanusiaan,
keindonesiaan, dan keperempuanan adalah jawaban atas pelbagai problematika yang
di hadapi oleh Kohati di situasi dan kondisi yang serba keterbatasan ini.