Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN RUANG KOTA SALA

SEJAK PERPINDAHAN KRATON SAMPAI DENGAN


PELETAKAN MOTIF DASAR KOLONIAL
KUSUMASTUTI
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA,
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Abstract: Kota Surakarta atau sering dikenal dengan sebutan Kota Sala adalah salah satu
kota yang pernah mengalami dualisme kepemimpinan antara Kraton Surakarta dan Kolonial
Belanda. Hal ini kemudian berpengaruh pada pola-pola bentukan ruang kota yang sampai
sekarang masih jelas terlihat di setiap sudut ruang-ruang kotanya, tergambar jelas dalam
wujud bangunan sebagai simbol-simbol budaya penguasa saat itu. Menurut Kuntowijoyo,
budaya dibedakan menjadi dua, yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan budaya yang tidak
kasat mata, sedangkan simbol adalah budaya yang kasat mata dan melibatkan nilai dalam
perwujudannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji
pengaruh budaya dalam pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari simbol budaya.
Metode penelitian menggunakan deskripitf kualitatif. Sehingga analisis dilakukan dengan
memaparkan berbagai sumber peta dan tulisan, dan hasil pengamatan di lapangan
kemudian hasilnya dideskripsikan. Hasil temuan menunjukkan bahwa dualisme
kepemimpinan di Solo sangat berpengaruh pada pola bentukan ruang. Artinya nilai-nilai
budaya yang dibawa dari masing-masing penguasa mempengaruhi pola bentukan ruang
kotanya yang merupakan wujud dari simbol-simbol budaya penguasa, seperti Beteng
Vastenburg merupakan simbol Pemerintah Kolonial dan alun-alun sebagai simbol Kraton
Surakarta.

Keywords: budaya, kota, kolonial, kraton, ruang

PENDAHULUAN adalah tempat berlindung, homo adalah tempat


Kota Sala adalah salah satu kota besar di untuk mengembangkan diri, serta habitat adalah
Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam tempat yang digunakan untuk menjalankan proses
perkembangannya. Semenjak terbentuk dari produksi dan reporoduksi. Sementara itu, kota
zaman kerajaan hingga sekarang, pertumbuhan adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari
dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi komponen-komponen sistem dengan fungsinya
oleh dinamika pemerintahannya. Dualisme masing-masing untuk mendukung fungsi kota.
kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, Maka dapat disimpulkan bahwa keempat
yaitu antara Kraton Surakarta dengan Pemerintah komponen oikos tersebut adalah komponen-
Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota komponen pembentuk kota yang akan tumbuh dan
dengan unsur nilai dan simbol kebudayaan yang berkembang seiring dengan pertumbuhan dan
dianut dua penguasa tersebut. perkembangan kota. Tumbuh dan berkembangnya
Menurut Kuntjoroningrat, kebudayaan kota terwujud dalam bentuk berbagai macam
dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu ide/ norma, simbol kebudayaan sebagai perwujudan dari nilai
perilaku dan karya/artefak. Sedangkan budaya yang dianut oleh penguasanya
Kuntowijoyo membedakannya menjadi dua unsur, (pemerintahannya) seperti pola bentuk ruang kota
yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan dan bangunan-bangunan yang ada di pusat kota.
kebudayaan yang tidak kasat mata, sedangkan Berdasarkan deskripsi di atas maka tujuan
simbol merupakan perwujudan nilai yang kasat dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
mata. dan mengkaji pengaruh budaya dalam
Menurut Jo Santoso (2002), kota adalah pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari nilai
oikos, yang didalamnya terdapat empat komponen dan simbol budaya.
pokok, yaitu humus adalah tempat produksi, home
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1-51 Kusumastuti, Pengaruh Budaya dalam Pembentukan…
METODE perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan
Penelitian ini menggunakan metode antara wilayah pedalaman Jawa (terutama Jawa
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Tengah) dengan laut serta menjadi jalur
Singarimbun (1986), tujuan dari penelitian pertukaran ekonomi dan peradaban antara
deskriptif adalah untuk mengetahui wilayah pedalaman dengan dunia luar. Maka
perkembangan sarana fisik dan sebaran suatu tidaklah mengherankan apabila sejarah mencatat
aspek dari fenomena sosial, dalam penelitian ini bahwa di sepanjang Sungai Bengawan Solo
adalah pola bentukan ruang dari fenomena terdapat 44 bandar perdagangan, artinya hal itu
dualisme kepemimpinan. Sedangkan penelitian menggambarkan betapa kaya wilayah ini
kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang sehingga mampu menghasilkan komoditi
menghasilkan data deskriptif dari obyek yang perdagangan dan menumbuhkan kegiatan
diamati dengan dasar teori berdasarkan perdagangan yang sangat ramai.
pendekatan fenomenologis dan kebudayaan,
dalam penelitian ini adalah fenomena dualisme
kepemimpinan yang mempengaruhi pola
bentukan ruang.

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dilakukan
dengan studi literature dan observasi/ pengamatan
lapangan. Observasi dilakukan terhadap bentuk
ruang Kota Sala dan simbol-simbol kebudayaan
yang ada di dalamnya. Sedangkan studi literatur
dilakukan terhadap peta-peta dan buku-buku
literatur yang berhubungan dengan penelitian, Gambar 1: Peta Desa Sala 1800
yaitu pada kurun waktu perpindahan kraton (Sumber: Sayid, 1984)
sampai dengan peletakan motif dasar Kolonial.

Metode Analisis Data Desa Sala merupakan daerah perdikan


Analisis data menggunakan metode yang dikuasai oleh Dinasti Kyai Sala. Di desa ini
kualitatif. Langkah pertama dari analisis data terletak sebuah bandar perdaganan dibawah
kualitatif adalah melakukan penafsiran data kekuasaan dinasti ini. Keramaian perdagangan
dengan menelaah data-data dari hasil observasi dan pelayaran di Sungai Bengawan Solo membuat
lapangan, peta, gambar dan literatur yang Desa Sala meningkat kesejahteraannya.Interaksi
berhubungan dengan simbol dan nilai budaya, antara masyarakat dengan kaum pendatang yang
serta bentuk ruang Kota Sala sejak perpindahan sebagian besar merupakan kaum pedagang
kraton hingga peletakan dasar motif Kolonial. meningkat seiring dengan aktivitas niaga. Para
Data-data tersebut kemudian dikelompokkan pedagang yang menyusuri sungai sebagai
sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu budaya distributor barang-barang dari luar dan
yang mempengaruhi pembentukan ruang Kota menampung produk-produk domestik bukan
Sala, yaitu pada masa kraton dan pada masa hanya terdiri atas orang-orang pribumi, akan
Kolonial Belanda. Setelah itu proses penulisan tetapi juga orang-orang asing seperti Cina, Arab
dilakukan dengan melakukan reduksi terhadap dan Moor. Para pedagang ini sebagai pelaku
beberapa data yang dianggap tidak relevan dengan bisnis aktif dipedalaman Jawa terutama sejak
tujuan penelitian. penghancuran pelabuhan-pelabuhan di pesisir
Jawa oleh Sultan Agung dan penerapan monopoli
ANALISIS DAN INTERPRETASI oleh VOC (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Sala, dari Bandar Perdagangan menjadi Para pedagang asing yang kemudian
Oikos melayani perdagangan dan aktivitas niaga
Pada abad XIII-XIV, ketika Kerajaan disepanjang Sungai Bengawan Solo ini juga
Majapahit masih berada pada puncak kejayaannya memiliki tempat singgah tetap di setiap bandar.
di Jawa Timur, sungai menjadi alat transportasi Persinggahan tetap ini digunakan oleh mereka
utama. Hal tersebut ditunjukkan pula pada gambar apabila harus menunggu persediaan produk yang
1 bahwa wilayah geografis Desa Sala dikelilingi akan dibawa, menjual habis produk yang diangkut
oleh sungai-sungai kecil sehingga memudahkan dari daerah hilir maupun untuk menunggu arah
bagi para pedagang untuk mendapatkan komoditi angin bagi kepentingan pergerakan perahu
perdagangan dari wilayah pedalaman. Pada saat mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, lokasi
itu, Sungai Bengawan Solo menjadi jalur utama persinggahan itu berubah menjadi perkampungan
28
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1-51 Kusumastuti, Pengaruh Budaya dalam Pembentukan…
orang asing. Di beberapa bandar sepanjang sungai berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena
itu bisa ditemukan sejumlah perkampungan letak geografisnya, kedua kota ini mengambil
pedagang Cina yang tinggal permanen disana. Di Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan
Sala, sejak tahun 1744 telah ditemui adanya sebagai orientasi makrokosmosnya. Di Kartosuro
komunitas pedagang Cina yang bertempat tinggal hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada
disebelah utara Kali Pepe dan menjadi salah satu disebelah timur gunung Merapi. Sehingga
pusat penting yang memainkan peranan bagi kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang
perdagangan didaerah ini dan sepanjang Sungai melintang alun-alun (lor) sejak pusat kota
Bengawan Solo (Solo Heritage Society, 2003). Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi
Komunitas yang terdapat di Desa Sala spiritual. Di Kota Sala sumbu timur-barat juga
merupakan perpaduan antara komunitas pedagang hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di
dan petani. Para petani tradisional tidak banyak tengah alun-alun karena adanya masjid Agung
menunjukkan perkembangan, diduga hal ini (Adrisijanti,2000).
berkaitan dengan letak Desa Sala yang terletak di Tatanan kosmologi kota Kerajaan
tanah yang rendah dan berawa-rawa. Sebelum Surakarta diterangkan oleh Behren (1984)
pusat kekuasan Kerajaan Mataram pindah ke mengikuti pola lingkaran-lingkaran konsentris
Desa Sala, di desa ini telah ada permukiman, yang berpusat di Probosuyoso sebagai dalem Raja.
antara lain Kampung Sampangan yang dihuni Setiap lapis lingkaran diwujudkan dalam bentuk
etnis Madura, Kampung Banjar yang dihuni etnis halaman-halaman kraton yang dibatasi oleh
Banjar Kalimantan, Kampung Kebalen yang regol/kori, yaitu lapis terdalam sampai
dihuni etnis Bali dan Kampung Pasar Kliwon Srimanganti, berikutnya Kamandungan,
yang dihuni etnis Arab. Oleh karena itu, kemudian Brajanala, dan terakhir Sitinggil.
kehidupan di Desa Sala lebih kuat bercorak desa Lingkar-lingkaran tersebut mencitrakan dunia
niaga atau komunitas dagang dibandingkan kosmos. (lihat gambar 3 dan 4).
agraris (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Sala, merupakan daerah perdikan,
yaitu suatu daerah otonom yang tidak memiliki
kewajiban membayar pajak kepada penguasa
kerajaan. Penguasa desa perdikan mendapatkan
kewenangan memerintah suatu daerah atau
wilayah karena jasanya kepada kerajaan di masa
lalu. Desa Sala ini karena letaknya di jalur urat
nadi perdagangan, memiliki bandar yang sangat
ramai dengan kegiatan perniagaan sehingga
bandar ini memberikan penghasilan yang sangat
besar bagi dinasti yang menguasainya. Namun hal
tersebut berubah sejak pusat Kerajaan Mataram
berpindah ke Desa Sala. Perpindahan tersebut
terjadi karena peristiwa geger Pecinan pada tahun
1741 yang menyebabkan terbakarnya kraton pusat
Kerajaan Mataram di Kartosuro. Mitos yang
Gambar 2: Konsep Kosmologi di Kraton Surakarta
menganggap istana yang sudah dihancurkan oleh
(Sumber:Behrend, 1982, dalam Solo Heritage Society,
musuh tidak lagi pantas dipakai sebagai pusat
2003)
pemerintahan menyebabkan dipindahkannya
pusat Kerajaan Mataram di Kartosuro. Setelah
melalui berbagai pertimbangan para penasehat
dan ahli nujum serta nasehat dari Kapten VOC
maka akhirnya dipilihlah Desa Sala sebagai lokasi
keraton yang baru.

Aplikasi Konsep Kota “Kosmologi” Jawa di


dalam Kota Sala
Pada masa kerajaan, Kota Sala
merupakan ibu kota baru yang memiliki
kekhususan dibanding semua ibu kota kerajaan
dari Kota Gede sampai Kartasura. Dilihat dari Gambar 3: Gambaran Kosmologi di Kraton Surakarta
pola dan morfologi pusat kotanya, Kota Sala (Sumber:Behrend, 1982, dalam Solo Heritage Society,
tampak meniru pola yang ada di Kartosuro. Ini 2003)

29
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1-51 Kusumastuti, Pengaruh Budaya dalam Pembentukan…
Kota Sala sebagai Kota Kolonial dengan “Dual” barak militer sembari mereka melakukan
Konsep Budaya pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan
Kota Sala merupakan sebuah kota yang (tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian
memiliki peninggalan budaya karena perjalanan yang tidak adil dan intervensi pada konflik-
sejarahnya sehingga mempengaruhi konflik keluarga keraton bahkan pengaturan
kebudayaannya. Kuntowijoyo mengatakan, nilai- kehidupan keluarga raja.
nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan Konsep Kota Kolonial tidak bisa lepas
fisik apakah ruang/bangunan atau konstruksi. dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan
Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai keputusan di negara jajahan, terjadi di negara
budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama induk. Artinya negara jajahan didominasi oleh
terorganisasi, pembagian kerja, dan hierarki sosial. sistem nilai, model dan penyelesaian-
Sejak abad XVI orang-orang Belanda penyelesaian masalah perkotaan dengan cara
datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk masyarakat metropolitan kolonial yang berbeda
berdagang, tapi pada akhirnya kemudian menjadi jauh budayanya dengan masyarakat Sala yang
penguasa. Belanda mulai menjajah ketika VOC cenderung tradisional.Para perencana kolonial
menguasai perdagangan komoditi pertanian di tidak mempedulikan dan cenderung menolak
Indonesia yang merupakan komoditi pasar dunia, sistem nilai tradisional yang dipegang oleh
seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila dan karet. penduduk pribumi.
Pada awal kehadirannya, perusahaan dagang Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC
Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep
Compagnie) mendirikan gudang-gudang yang disebut “founded Settlement” atau cikal-
(pachuizen) untuk menimbun barang-barang bakal permukiman Kolonial Belanda (gambar 4).
dagangan (rempah - rempah) serta kantor dagang Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemen-
sebagai contoh di Banten, Jepara dan Jayakarta elemen bangunan yang menganut pedoman dan
(Jakarta lama). Pada perkembangannya mereka petunjuk teknis yang dikendalikan dari
kemudian membuat pengamanan dengan Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral,
memodifikasi gudang dan kantor tersebut menjadi Residen serta para insinyur. Hal ini berhubungan
benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi
tinggal warganya. Sistem pertahanan ini hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini
dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing menunjukkan ketergantungan masyarakat yang
dengan pedagang-pedagang bangsa lain dijajah terhadap yang menjajah, akibat penekanan
(Soekiman, 2000). Dalam kegiatan perdagangan, fungsi militer dan administrasi yang dilakukan
VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur oleh penjajah.
perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka
juga berusaha menguasai daerah pedalaman.
Kebetulan Kerajaan Mataram pada abad XVII-
XVIII pusatnya selalu di wilayah pedalaman Jawa
dengan wilayah yang sangat luas dan subur.
Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan
Kerajaan Mataram mulai terasa diwilayah Sala
sejak pengambil-alihan Keraton Kartosuro oleh
PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensi
ini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tata-
ruang kota kerajaan yang dibangun kemudian
sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke
Desa Sala.
Kecerdikan VOC menerapkan konsep
kebudayaan lewat tata ruang Kota Sala
menghasilkan sebuah kota konsep “dualism”, kota
dengan dua konsep kebudayaan, yaitu konsep
kota kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial
(Gambar 5). Hal ini dilakukan untuk menghindari
konflik/ peperangan akibat adanya perbedaan
budaya. Simbol-simbol budaya dibiarkan berdiri
di dalam ruang kota, sementara itu VOC
Gambar 4: Rekonstruksi dan Analisis Sejarah Kota
memperkuat cengkeraman kekuasaannya melalui
Kolonial di Kota Solo
pembangunan-pembangunan infrastruktur
(Sumber:Solo Heritage Society, 2003)
pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak-
30
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1-51 Kusumastuti, Pengaruh Budaya dalam Pembentukan…
kota kerajaannya mengikuti lingkaran-lingkaran
konsentris yang berpusat di Probosuyoso sebagai
dalem Raja. Bentuk ruang kota yang diterapkan
keraton ini menunjukkan bahwa hubungan antara
rakyat dengan penguasa bersifat simbolik karena
rakyat hanya dapat berhubungan dengan rajanya
pada peristiwa-peristiwa tradisi budaya.
Selebihnya, rakyat hanya menjadi pelayan bagi
Raja yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai
sosok titisan Tuhan.

Daftar Pustaka
Adrisijanti, Inajati. (2000). Arkeologi Perkotaan
Gambar 5: Peta Kota Sala Tahun 1857: Tata Ruang Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.
Kota dengan Konsep ‘dual’ Konsep Budaya Kuntjoroningrat (1994-edisi 2). Kebudayaan
(Sumber:Solo Heritage Society, 2003) Jawa, Balai Pustaka.
Kuntowijoyo (2002). Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas, Mizan:
KESIMPULAN Bandung.
Sejak perpindahan Keraton Mataram dari Sayid, RM. (1984). Babad Sala, Rekso Pustoko:
Kartosuro ke Sala, maka tata ruang Kota Sala Solo
tanpa disadari telah terinvensi dengan konsep kota Santoso, Jo. (2002). (Menyiasati) Kota Tanpa
“dualism”, kota dengan dua konsep kebudayaan, Warga.,Centropolis: Jakarta.
yaitu konsep kota kosmologi Jawa dan konsep Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. (1986).
kota kolonial. Penerapan konsep ini tidak lepas Metode Penelitian Survei. Jakarta:
dari campur tangan Pemerintah Kolonial untuk Suntingan LP3ES.
menguasai Kota Sala dari segi budaya dengan Soekiman, Djoko. Prof. Dr. 2000. Kebudayaan
alasan untuk menghindari konflik/ peperangan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
akibat perbedaan budaya. Oleh karena itu, simbol- Pendukungnya di Jawa. Yogyakarta:
simbol budaya dibiarkan tetap berdiri dalam ruang Yayasan Benteng Budaya.
kota. Konsep kota kolonial menganut pedoman Solo Heritage Society (2003).Sejarah Dan
dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari Morfologi Kota Konflik: Dari Periode
Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral, Kolonial-Orde Baru. (suatu hasil
Residen serta para insinyur. Oleh karena itu, para penelitian yang tidak/belum
perencana kolonial tidak mempedulikan dan dipublikasikan).
cenderung menolak sistem nilai tradisional yang
dipegang oleh penduduk pribumi dalam Catatan Kaki
mewujudkan ruang kota. Seperti disebut pada syair dalam Babad Giyanti,
Namun demikian, simbol-simbol budaya desa Sala merupakan desa yang terletak di
keraton tetap terjaga meskipun dalam tataran yang dataran rendah dan penuh rawa-rawa. Jenis tanah
sangat mikro, hanya berada di pusat kota. demikian tidak cocok bagi kegiatan pertanian
Orientasi makrokosmos keraton mengambil padi mengingat ancaman banjir dan air yang sulit
sumbu utara selatan di utara dan Laut Kidul di surut selalu terjadi (Solo Heritage Society, 2003)
selatan. Sementara itu, dalam tatanan kosmologi

31
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1-51 Kusumastuti, Pengaruh Budaya dalam Pembentukan…

32

Anda mungkin juga menyukai