Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) dapat diselesaikan dengan
tepat waktu sesuai dengan kubutuhan RSUD Labuha.
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) ini yang mulai
dipergunakan pada tahun 2021 meliputi sasaran keselamatan pasien, standar pelayanan
berfokus pasien, standar manajemen rumah sakit, program nasional dan Integrasi
pendidikan kesehatan dalam pelayanan di rumah sakit.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun yang telah berjuang untuk
menyelesaikan standar ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada
para kontributor yang telah memberikan masukan sangat berharga.
TENTANG
Pasal 1
1. Direktur rumah sakit membentuk Komite PMKP atau bentuk organisasi lainnya untuk
mengelola kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sesuai dengan uraian
tugas.
2. Direktur rumah sakit menetapkan penanggung jawab data di tiap- tiap unit kerja.
3. Individu di dalam komite PMKP atau bentuk organisasi lainnya dan penanggungjawab
data telah dilatih serta kompeten.
BAB II
SISTEM MANAJEMEN DATA
Pasal 2
1. Rumah sakit mempunyai referensi yang dipergunakan untuk meningkatkan mutu asuhan
klinis dan proses kegiatan manajemen lebih baik.
2. Komite medis dan komite keperawatan mempunyai referensi peningkatan mutu asuhan
klinis terkini.
3. Rumah sakit mempunyai regulasi sistem manajemen data program PMKP yang
terintegrasi.
4. Rumah sakit menyediakan teknologi, fasilitas, dan dukungan lain untuk menerapkan sistem
manajemen data di rumah sakit sesuai dengan sumber daya yang ada di rumah sakit.
5. Rumah sakit telah melakukan pengumpulan data dan informasi untuk mendukung asuhan
pasien, manajemen rumah sakit, pengkajian praktik profesional, serta program mutu dan
keselamatan pasien secara menyeluruh
6. Kumpulan data dan informasi disampaikan kepada badan di luar rumah sakit sesuai dengan
peraturan dan perundangan-undangan.
7. Rumah sakit berkontribusi terhadap database ekternal dengan menjamin keamanan dan
kerahasiaan.
BAB III
PELATIHAN PMKP
Pasal 3
1. Rumah sakit mempunyai program pelatihan PMKP yang diberikan oleh narasumber yang
kompeten.
2. Pimpinan di rumah sakit termasuk komite medis dan komite keperawatan telah mengikuti
pelatihan PMKP.
3. Semua individu yang terlibat dalam pengumpulan, analisis, dan validasi data telah
mengikuti pelatihan PMKP, khususnya tentang sistem manajemen data.
4. Staf di semua unit kerja termasuk staf klinis dilatih sesuai dengan pekerjaan mereka sehari-
hari.
BAB IV
PEMILIHAN AREA PRIORITAS
Pasal 4
1. Komite PMKP memfasilitasi pemilihan prioritas pengukuran pelayanan klinis yang akan
dievaluasi.
2. Komite PMKP melakukan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran mutu di unit
pelayanan serta pelaporannya.
3. Komite PMKP melaksanakan supervisi terhadap progres pengumpulan data sesuai dengan
yang direncanakan.
4. Direktur rumah sakit berkoordinasi dengan para kepala bidang/divisi dalam memilih dan
menetapkan prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis yang akan dievaluasi.
5. Berdasar atas prioritas tersebut ditetapkan pengukuran mutu menggunakan indikator area
klinis.
6. Berdasar atas prioritas tersebut ditetapkan pengukuran mutu menggunakan indikator area
manajemen.
7. Berdasar atas prioritas tersebut ditetapkan pengukuran mutu menggunakan indikator
sasaran keselamatan pasien.
BAB V
PENGUKURAN MUTU
Pasal 5
1. Rumah sakit mempunyai regulasi pengukuran mutu dan cara pemilihan indikator mutu di
unit kerja yang antara lain meliputi butir.
2. Setiap unit kerja dan pelayanan telah memilih dan menetapkan indikator mutu unit
3. Setiap indikator mutu telah dilengkapi profil indikator
4. Setiap unit kerja melaksanakan proses pengumpulan data dan pelaporan.
5. Pengukuran mutu prioritas tersebut dilakukan menggunakan indikator-indikator mutu
sebagai berikut:
a. Indikator mutu area klinis (IAK) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area
pelayanan;
b. Indikator mutu area manajemen (IAM) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area
manajemen;
c. Indikator mutu Sasaran Keselamatan Pasien yaitu indikator mutu yang mengukur
kepatuhan staf dalam penerapan sasaran keselamatan pasien dan budaya keselamatan
6. Pimpinan unit kerja melakukan supervisi terhadap proses pengumpulan data dan pelaporan
serta melakukan perbaikan mutu berdasar atas hasil capaian indikator mutu.
7. Setiap indikator yang ditetapkan dilengkapi dengan profil indikator.
8. Profil indikator yang dimaksud ayat pasal meliputi:
a) judul indikator;
b) definisi operasional;
c) tujuan dan dimensi mutu;
d) dasar pemikiran/alasan pemilihan indicator;
e) numerator, denominator, dan formula pengukuran;
f) metodologi pengumpulan data;
g) cakupan data;
h) frekuensi pengumpulan data;
i) frekuensi analisis data;
j) metodologi analisis data;
k) sumber data;
l) penanggung jawab pengumpul data; dan
m) publikasi data
9. Direktur rumah sakit dan komite PMKP melakukan supervisi terhadap proses
pengumpulan dan analisis data.
10. Rumah sakit menetapkan evaluasi pelayanan kedokteran dengan melakukan evaluasi
panduan prak k klinis, alur klinis, atau protokol di prioritas pengukuran mutu rumah sakit.
11. Hasil evaluasi dapat menunjukkan pengurangan variasi pada 5 (lima) panduan praktik
klinis, alur klinis atau protokol di prioritas pengukuran mutu rumah sakit.
12. Rumah sakit telah melaksanakan audit medis dan atau audit klinis pada panduan praktik
klinis/alur klinis prioritas di tingkat rumah sakit.
BAB VI
EVALUASI PELAYANAN KEDOKTERAN
Pasal 6
BAB VII
ANALISIS DATA
Pasal 7
BAB VIII
VALIDASI DATA
Pasal 8
Pasal 9
1. Rumah sakit mempunyai program manajemen risiko
2. Rumah sakit mempunyai da ar risiko di ngkat rumah sakit
3. Rumah sakit telah membuat strategi untuk mengurangi risiko yang ada,
4. Rumah Sakit telah melakukan analisis efek modus kegagalan / FMEA setahun sekali pada
proses berisiko tinggi yang diprioritaskan.
5. Rumah sakit telah melaksanakan tindak lanjut hasil analisis modus dampak kegagalan
(FMEA).
BAB X
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 9
1. Rumah sakit telah membuat rencana perbaikan terhadap mutu dan keselamatan berdasar
atas hasil capaian mutu.
2. Rumah sakit telah melakukan uji coba rencana perbaikan terhadap mutu dan keselamatan
pasien.
3. Rumah sakit telah menerapkan/melaksanakan rencana perbaikan terhadap mutu dan
keselamatan pasien.
4. Tersedia data yang menunjukkan bahwa perbaikan bersifat efektif dan berkesinambungan.
5. Bukti perubahan-perubahan regulasi yang diperlukan dalam membuat rencana,
melaksanakan, dan mempertahankan perbaikan.
6. Keberhasilan telah didokumentasikan dan dijadikan laporan PMKP.
Ditetapkan Di Labuha
Pada Tanggal
Direktur RSUD Labuha
BAB I
PENDAHULUAN
Agar upaya peningkatan mutu pelayanan RS Artha Medica dapat seperti yang
diharapkan maka perlu disusun Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS
Artha Medica. Buku panduan tersebut merupakan konsep dan program peningkatan
mutu pelayanan RS Artha Medica, yang disusun sebagai acuan bagi pengelola RS
Artha Medica dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit.
Dalam buku panduan ini diuraikan tentang prinsip upaya peningkatan mutu, langkah-
langkah pelaksanaannya dan dilengkapi dengan indikator mutu.
1.2 Tujuan
Adapun maksud penyusunan pedoman agar tersedianya acuan atau panduan bagi
rumah sakit dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian serta
pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan mutu pelayanan rumah sakit.
Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit secara efektif, efisien dan berkesinambungan serta tersusunnya sistem
monitoring pelayanan rumah sakit melalui indikator mutu pelayanan.
BAB II
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada
tahun (1820–1910) Florence Nightingale seorang perawat dari Inggris menekankan pada
aspek-aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang
terkenal sampai sekarang adalah “hospital should do the patient no harm”, Rumah Sakit
jangan sampai merugikan atau mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai oleh ahli bedah Dr.
E. A. Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr. E. A. Codman dan beberapa ahli bedah
lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi penyulit.
Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang tidak memenuhi
syarat di Rumah Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang segala
sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha
mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons (ACS)
menyusun suatu Hospital Standardization Programme. Program standarisasi adalah upaya
pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan. Program ini
ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak Rumah Sakit
tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi
ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi
perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan essensial
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit, namun telah memacu
Rumah Sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai dengan
sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-1965
standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah Federal
memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-undang ini
mengabsahkan akreditasi Rumah Sakit menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak
saat itu Rumah Sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi
kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika sangat menentukan
utilisasi Rumah Sakit karena hanya 9,3% biaya Rumah Sakit berasal dari pembayaran
langsung oleh pasien.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus akreditasi suatu
Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang dilaksanakan
dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan dengan susah
payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru berhasil beroperasi
dalam 3 Negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima kehadirannya dan diakui
manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga sekarang kegiatan ACHS
telah mencakup semua negara bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada
dasarnya hampir sama dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi, namun
masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak kabur bagi
kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika sukar
diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di Eropa. Karena
itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an mengambil inisiatif untuk
membantu negara-negara Eropa mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan
disesuaikan dengan sistem pelayanan kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht, negeri Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol
suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk
mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada simposium
peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara nasional upaya
peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan akreditasi
Rumah Sakit secara nasional adalah Taiwan. Negara ini banyak menerapkan metodologi
dari Amerika. Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu pelayanan dengan
bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda,
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan
Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas
Rumah Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas
Rumah Sakit A, B, C, an D. Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar.
Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan,
ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas Rumah Sakit. Disamping
standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka
meningkatkan penampilan pelayanan Rumah Sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai indikator untuk
mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) Rumah Sakit pemerintah kelas C
dan Rumah Sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan Nasional. Indikator ini
setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi penampilan untuk tahun
1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan ketertiban Rumah Sakit dan yang
dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B serta Rumah Sakit swasta setara.
Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrumen
mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan Rumah Sakit ini merupakan
langkah awal dari Konsep Continuous Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada
pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih diarahkan kepada penampilan organisasi
melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang
sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa Rumah Sakit telah mengadakan monitoring dan
evaluasi mutu pelayanan Rumah Sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot Subroto telah
melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat kepuasan pasien.
Kemudian Rumah Sakit Husada pada tahun 1984 melakukan kegiatan yang sama. Rumah
Sakit Adi Husada di Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan
penampilan kerja perawat. Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya menilai mutu melalui
penilaian infeksi nosokomial sebagai salah satu indikator mutu pelayanan. Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat secara rasional. Rumah
Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan Gugus
Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa Rumah Sakit lainnya juga telah
mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun hasilnya belum ada yang
dilaporkan.
Sejalan dengan hal di atas maka Departemen Kesehatan telah mengadakan Pelatihan
Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa Rumah Sakit. Berdasarkan data
di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu sudah cukup meluas
walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.
BAB III
Mutu pelayanan rumah sakit merupakan derajat kesempurnaan pelayanan rumah sakit
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya
yang tersedia di Rumah sakit secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman
dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosiobudaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan konsumen.
Agar upaya peningkatan mutu didapat dilaksanakan secara efektif dan efisien maka
diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang konsep dasar upaya peningkatan mutu
pelayanan.
4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah:
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan Pasien
d. Kepuasan Pasien
e. Aspek Sosial Budaya
Mutu pelayanan suatu rumah sakit merupakan produk akhir dari interaksi dan
ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek rumah sakit
sebagai suatu system. Menurut Donabedian, pengukuran mutu pelayanan kesehatan
dapat diukur dengan menggunkan 3 variabel:
1. Struktur, segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan
kesehatan seperti: tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, teknologi, organisasi,
dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input
yang bermutu pula.
2. Proses intetraksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen
(pasien). Adalah apa yang dilakukan oleh dokter dan tenaga profesi lain
terhadap pasien: evaluasi, diagnosis, perawatan, konseling, pengobatan,
tindakan, penanganan jika terjadi penyulit, follow up. Pendekatan proses adalah
pendekatan paling langsung terhadap mutu asuhan.
3. Hasil/Outcome, adalah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang
terjadi pada konsumen (pasien), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
Adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain
terhadap pasien dalam arti perubahan derajat kesehatan dan kepuasan terhadap
provider. Outcome yang baik sebagian besar tergantung kepada mutu struktur
dan mutu proses yang baik. Sebaliknya outcome yang buruk adalah kelanjutan
struktur atau proses yang buruk.
RSUD Labuha adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat pakar
dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di RSUD labuha
menyangkut berbagai fungsi pelayanan, serta mencakup berbagai tingkatan maupun
jenis disiplin. Agar RSUD Labuha mampu melaksanakan fungsi yang demikian
kompleks, harus memiliki sumber daya manusia yang profesional baik di bidang
teknis medis maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu,
RSUD Labuha harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di
semua tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan RSUD Labuha diawali dengan penilaian
akreditasi RSUD Labuha yang mengukur dan memecahkan masalah pada tingkat input
dan proses. Pada kegiatan ini RSUD Labuha harus menetapkan standar input, proses,
output, dan outcome, serta membakukan seluruh standar prosedur yang telah
ditetapkan. RSUD Labuha dipacu untuk dapat menilai diri (self assesment) dan
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai
kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada latar ukur yang lain, yaitu
instrumen mutu pelayanan RSUD Labuha yang menilai dan memecahkan masalah
pada hasil (output dan outcome). Tanpa mengukur hasil kinerja RSUD Labuha tidak
dapat diketahui apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang
baik pula. Indikator RSUD Labuha disusun dengan tujuan untuk dapat mengukur
kinerja mutu RSUD Labuha secara nyata.
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya dan
kegiatan secara komprehensif dan integratif memantau dan menilai mutu pelayanan,
memecahkan masalah-masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya, sehingga mutu
pelayanan akan menjadi lebih baik.
Di rumah sakit upaya peningkatan mutu pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan
memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada pasien. Upaya peningkatan
mutu pelayanan akan sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu
menjadi tujuan sehari-hari dari setiap unsur di termasuk pimpinan, pelaksana
pelayanan langsung dan staf penunjang.
Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan atau
pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien. Walaupun
disadari bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti mutu yang lebih baik
selalu memerlukan biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih sedikit.
Berdasarkan hal di atas maka disusunlah definisi dan tujuan dari upaya peningkatan
mutu pelayanan:
1. Definisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan
Adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integratif yang
menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut
memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan
memecahkan masalah-masalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang
diberikan di berdaya guna dan berhasil guna.
3. Indikator mutu
Indikator mutu rumah sakit meliputi indikator klinik, indikator yang berorientasi
pada waktu dan indikator ratio yang berdasarkan pada efektifitas (effectivenes),
efisiensi (efficiency), keselamatan (safety) dan kelayakan (appropriateness).
4. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka disusunlah strategi sebagai
berikut:
a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip mutu
pelayanan sehingga dapat menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan
mutu di masing-masing unit kerjanya.
b. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di
Rumah Sakit Artha Medica, serta upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan.
c. Menciptakan budaya mutu di Rumah Sakit RSUD Labuha, termasuk di
dalamnya menyusun program mutu dengan pendekatan PDSA cycle.
5. Pendekatan Pemecahan Masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi
masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh proses
siklus (daur), karena akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari
pendekatan pemecahan masalah ini.
Masalah akan timbul apabila:
a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat
penyimpangan
b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan tindakan
perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah diadakan tindakan
perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari penilaian
kembali maka akan didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan masalah yang
masih tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan berulang mulai tahap
pertama.
BAB IV
Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan menggambarkan diagram sebab akibat atau
diagram tulang ikan (fish-bone). Diagram tulang ikan adalah alat untuk menggambarkan
penyebab-penyebab suatu masalah secara rinci. Diagram tersebut memfasilitasi proses
identifikasi masalah sebagai langkah awal untuk menentukan fokus perbaikan,
mengembangkan ide pengumpulan data, mengenali penyebab terjadinya masalah dan
menganalisa masalah tersebut (Koentjoro, 2007). Diagram tulang ikan diperlihatkan pada
gambar 1.
Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk
menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa pelayanan
yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah pengendalian
kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan (quality of
customer’s satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari setiap bagian di Rumah
Sakit Umum Daerah Ende.
Konsep P-D-S-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk proses perbaikan
kualitas (quality improvement) secara terus menerus tanpa berhenti tetapi meningkat ke
keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian organisasi, seperti tampak pada
gambar 2.
Dalam gambar 2 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan dan pencarian
sebab-sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus selalu didasarkan pada fakta.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur subyektivitas dan pengambilan
keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang bersifat emosional. Selain itu, untuk
memudahkan identifikasi masalah yang akan dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan
selanjutnya perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.
Plan
Action
Corrective
Do
Study
Improvement
up
Follow-
Action
(1) Plan
Acti Menentukan
(6) Tujuan dan
onn (2)
Mengambi sasaran
Menetapkan
l Metode untuk
tindakan Mencapai tujuan
yang tepat
Menyelenggaraka
(5) n
Pendidikan dan
Memeriksa
Stu (4 latihan
akibat
dy pelaksanaan )Melaksanakan (3)
pekerjaan Do
Keenam langkah P-D-S-A yang terdapat dalam gambar 4 di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Kepala RS atau Kepala Divisi. Penetapan
sasaran didasarkan pada data pendukung dan analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula diungkapkan dengan
maksud tertentu dan disebarkan kepada semua karyawan. Semakin rendah tingkat
karyawan yang hendak dicapai oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci
informasi.
b. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan
Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai tanpa
disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus rasional,
berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk
menggunakannya. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan
perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat diterima dan dimengerti
oleh semua karyawan.
Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja. Agar dapat
dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan para karyawan untuk
memahami standar kerja dan program yang ditetapkan.
Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan standar
kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah. Oleh karena
itu, ketrampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar untuk
mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena
ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.
Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau
tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan
mengikuti standar kerja, tidak berarti pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang harus
disampaikan kepada karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar
dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang bukan penyimpangan,
maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami
dengan jelas baik oleh karyawan maupun oleh manajer. Untuk mengetahui
penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul dari pelaksanaan pekerjaan dan
setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.
Konsep PDSA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang akan dicapai
diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua proses. Partisipasi semua
karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan kesungguhan (sincerety),
yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri
atau menolak cara berfikir dan berbuat yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap
kesungguhan tersebut yang dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai,
melainkan juga cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup semua jenis
kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung jawab atas kualitas
pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam pengendalian kualitas
pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap outcome, tetapi
terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu pelayanan
berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika terdapat pengendalian kualitas dalam
setiap tahapan dari proses. Dimana dalam setiap tahapan proses dapat dijamin adanya
keterpaduan, kerjasama yang baik antara kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai
tanggung jawab bersama untuk menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok, sebagai
mata rantai dari suatu proses.
BAB V
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan
ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang digunakan untuk
mengukur mutu pelayanan
Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat perubahan.
Indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Fokus utama upaya peningkatan mutu RS Artha Medica terintegrasi dengan Panduan
Patient Safety RSUD Labuha yang menerapkan Tujuh Langkah Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.
Awal/ akhir
proses Penghubu
ng
Kegiatan
Keput
usan
Pelaksanaan :
RS memastikan bahwa seluruh staf yang terkait mampu melakukan analisis akar
masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa masalah tersebut terjadi untuk
kemudian menyusun rencana tindak lanjutnya.
• Analisis akar masalah (RCA) dilakukan untuk melakukan identifikasi apabila
ditemukan permasalahan dalam pemenuhan indikator mutu dan manajerial serta
pengelolaan insiden.
• Proses mengurangi risiko dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun dan
dibuat dokumentasinya, dengan menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect
Analysis). Proses yang dipilih adalah proses dengan risiko tinggi.
BAB VII
PENUTUP
Pedoman yang disusun ini merupakan langkah awal sebagai pedoman/panduan bagi rumah
sakit untuk melakukan pengukuran, evaluasi dan tindak lanjut terhadap Indikator RS.
Pedoman ini diharapkan dapat diterapkan oleh RS dan menjadi pedoman bersama dalam
mengukur Indikator rumah sakit.
Hasil pengukuran indikator rumah sakit tersebut kedepannya diharapkan dapat diakses dan
dipublikasikan untuk perbaikan internal rumah sakit dan eksternal untuk bukti akuntabilitas
pada masyarakat. Buku pedoman ini masih dalam tahap perkembangan sehingga tidak
menutup kemungkinan adanya masukan demi tercapainya perbaikan bagi buku pedoman
ini